Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH FILSAFAT POSITIVISME

Disusun oleh :

Agustina Riska Eka Saputri 1185030009


Agil Nofri Azmi 1185030007
Ajeng Yupika 1185030011
Almira Salsabila 1185030017
Desti Salsabila 1185030042

III A
SASTRA INGGRIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG
DJATI BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT. karena telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga
makalah yang kami buat dengan judul “Positivisme” untuk memenuhi tugas mata
kuliah Dasar-Dasar Filsafat bisa selesai pada waktu yang telah ditentukan..

Akhir kata, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini bisa
menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih baik lagi.

Bab I

Pendahuluan
A. Latar Belakang

Saat ini kehidupan kita sudah sangat jauh dari hukum-hukum alam, sebab
telah digantikan oleh hukum-hukum buatan manusia sendiri yang sangat egoistis
dan mengandung nilai hedonis yang sangat besar, sehingga banyak bencana yang
melanda diri kita yang dirasakan saat ini. Kita sudah terabaikan begitu jauh dari
etika hubungan yang humanis dengan tiga kompenen relasional hidup, jadi kita
tidak boleh mengharap hidup kita di masa mendatang akan tetap lestari dan
berlangsung harmonis dengan alam.

Makalah ini kami susun berdasarkan Tugas Mata Kuliah Dasar-Dasar Ilmu
Filsafat, dengan bahasan “Potivisme” Makalah ini difokuskan pada pemikiran-
pemikiran para filosof aliran positivisme.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari postivisme?

2. Sebutkan ciri-ciri dari positivisme?

3. Apa kelebihan dan kelemahan positivisme?

4. Sejarah munculnya filsafat dan tokoh positivisme?

5. Apa pengaruh filsafat positivisme dalam kehidupan sehari-hari?

C. Tujuan

Tujuan makalah ini dbuat adalah agar pembaca lebih memahami secara
mendalam tentang filsafat positivisme dengan harapan bisa menerapakan dalam
kehidupan sehari-hari.

Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Positivisme

Positivisme adalah salah satu aliran filsafat yang berasal dari fakta yang
positif.yang dimaksud dengan positif adalah segala gejala dan segala sesuatu yang
tampak apa adanya.

Istilah positivisme diperkenalkan oleh Comte. Istilah itu berasal dari kata positif.
Dalam prakata Cours de Philosophie Positive, dia mulai memakai istilah filsafat
positif dan terus menggunakannya dengan arti yang konsisten di sepanjang bukunya.
Kata filsafat‖ dia artikan sebagai sistem umum tentang konsep-konsep manusia‖,
sedangkan positif diartikannya sebagai teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-
fakta yang teramati. Dengan kata lain, positif sama dengan faktual, atau apa yang
berdasarkan fakta-fakta. Dalam hal ini, positivisme menegaskan bahwa pengetahuan
hendaknya tidak melampaui fakta-fakta.

Comte menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain, seperti etika, teologi, dan
seni yang melampaui fenomena yang teramati. Baginya, objek adalah yang faktual.
Satu-satunya bentuk pengetahuan yang sahih mengenai kenyataan hanyalah ilmu
pengetahuan.

Fakta dimengerti sebagai fenomena yang dapat diobservasi‖. Oleh karena


itu,sebenarnya positivisme terkait erat dengan empirisme. Akan tetapi, sementara
empirisme masih menerima adanya pengalaman subjektif yang bersifat rohani,
positivisme menolaknya sama sekali. Pada positifisme, yang dianggap sebagai
pengetahuan sejati hanyalah pengalaman objektif yang bersifat lahiriah, yang bisa
diuji secara indriawi. Oleh karena itu, positivisme adalah hasil ahli waris empirisme
yang sudah diradikalkan dalam Pencerahan Prancis.

Dalam Cours de Philosophie Positive, Comte menjelaskan bahwa munculnya


ilmu-ilmu alam tak bisa dipahami secara terlepas dari sejarah perkembangan
pengetahuan umat manusia dari abad ke abad. Sejarah pengetahuan itu berkembang
melalui tiga tahap, yakni: tahap teologis, tahap metafisis, tahap positif. Ketiga tahap
itu dipahami oleh Comte sebagai tahap-tahap perkembangan mental umat manusia
sebagai suatu keseluruhan, dan menurut Comte, juga besesuaian dengan tahap-tahap
perkembangan individu dari masa kanak-kanak, melalui masa remaja, ke masa
dewasa.

Dalam tahap teologis, menurut Comte, umat manusia mencari sebab-sebab


terakhir di belakang peristiwa-peristiwa alam dan menentukannya dalam
kekuatankekuatan adimanusiawi. Kekuatan-kekuatan ini, entah disebut dewa-dewa
atau Allah, dibayangkan memiliki kehendak atau rasio yang melampaui manusia.
Zaman ini lalu dibagi menjadi tiga sub-bagian. Pada sub-tahap yang paling primitif
dan kanak-kanak, yaitu tahap fetisisme atau animisme, manusia menganggap objek-
objek fisik itu berjiwa, berkehendak, dan berhasrat. Pada tahap berikutnya, politeisme,
kekuatan-kekuatan alamitu diproyeksikan dalam rupa dewa-dewa. Akhirnya, pada
tahap monoteisme, dewadewa dipadukan menjadi satu kekuatan adimanusiawi yang
disebut Allah.

Dalam tahap metafisis, umat manusia berkembang dalam pengetahuannya seperti


seseorang melangkah pada masa remajanya. Kekuatan adimanusiawi dalam tahap
sebelumnya itu sekarang diubah menjadi abstraksi-abstraksi metafisis. Misalnya,
konsep ‖ether‖, dan ―causa‖. Dengan demikian, peralihan ke tahap ini diselesaikan
sesudah seluruh konsep mengenai kekuatan-kekuatan adimanusiawi diubah menjadi
konsep-konsep abstrak menganai alam sebagai keselurahan. Tidak ada lagi Allah dan
dewata, yang ada adalah entitas-entitas abstrak yang metafisis.Akhirnya, umat
manusia mencapai kedewasaan mentalnya dalam tahap positif.

Pada zaman ini, umat manusia tidak lagi menjelaskan sebab-sebab di luar fakta-
fakta yang teramati. Pikiran hanya memusatkan diri pada yang factual, yang
sebenarnya bekerja menurut hukum-hukum umum, seperti hukum gravitasi. Pada
tahap inilah ilmu pengetahuan berkembang penuh. Ilmu pengetahuan tidak hanya
melukiskan yang real, tapi juga bersifat pasti dan berguna.

Comte juga menghubungkan tahap-tahap mental tersebut dengan bentuk-bentuk


organisasi sosial. Tahap teologis dihubungkannya dengan absolutisme, misalnya
otoritas absolut raja dan golongan militer. Pada tahap metafisis, absolutisme raja
dihancurkan dan diganti dengan kepercayaan akan hak-hak abstrak rakyat dan hukum.

Akhirnya, pada tahap positif, organisasi masyarakat industri menjadi pusat


perhatian. Ekonomi menjadi primadona, dan kekuasaan elit intelektual muncul.
Mereka ini menduduki peran organisasi sosial, dan bagi Comte, sosiologi merupakan
ilmu baru yang dapat mereka pakai untuk mengorganisasikan masyarakat
industri.4Comte juga berusaha mengklasifikasikan ilmu-ilmu yang ada. Menurutnya,
semua ilmu pengetahuan memusatkan diri pada kenyataan faktual, dan karena
kenyataan faktual itu berbeda-beda, maka harus ada perbedaan sudut pandang dari
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, terjadi pengkhususan dalam ilmu pengetahuan.
Untuk menetapkan ilmu-ilmu khusus, Comte berusaha menemukan ilmu-ilmu yang
bersifat fundamental, artinya dari ilmu-ilmu itu diturunkan ilmu-ilmu lain yang
bersifat terapan. Dalam adikaryanya itu, Comte menyebutkan enam ilmu fundamental,
yakni: matematika, astronomi, fisika, kimia, fisiologi biologi, dan fisika sosial
(sosiologi).

Keenam ilmu dasar itu diurutkan sedemikian rupa sehingga mulai dari yang
paling abstrak ke yang paling konkret, yang lebih kemudian tergantung pada yang
terdahulu. Misalnya, matematika lebih abstrak dari astronomi, dan astromoni
tergantung pada matematika. Fisiologi dan biologi menyelidiki hukum-hukum umum
yang mengatur makhluk hidup, dan keduanya tergantung pada kimia yang
menyelidiki perubahan zat, tetapi juga lebih abstrak daripada sosiologi dan diandaikan
oleh sosiologi. Sebagai ilmu pengetahuan terakhir, menurut Comte, sosiologi baru
berkembang sesudah ilmu-ilmu lain menjadi matang. Sebaliknya, sebagai pangkal,
matematika bagi Comte adalah model metode ilmiah bagi ilmu-ilmu lainnya. Akan
tetapi baru dalam sosiologi, menurut Comte, ilmu-ilmu mencapai tahap positifnya,
yakni secara penuh memakai metode ilmiah untuk menyelidiki fakta yang paling
konkret, yakni perilaku sosial manusia. Dalam hal ini, dia mengklaim dirinya sebagai
orang yang membawa ilmu pengetahuan ke tahap positifnya dalam sosiologi.

Dalam hierarki ilmu-ilmu di atas, kita tidak melihat psikologi dan etika. Dalam
anggapannya, psikologi yang ilmiah itu mustahil, sebab psikologi adalah refleksi
manusia atas rohnya sendiri, dan roh ini bukan fakta positif, melainkan pengalaman
subjektif. Pada zaman Comte, psikologi lebih dipahami sebagai psikologi introspektif.

Dia belum melihat perkembangan psikologi menjadi psikologi eksperimental.


Lalu, bagaimana dengan etika? Etika dalam arti ilmu normatif tentang apa yang
seharusnya ada jelas melampaui yang faktual. Dalam arti ini, etika bisa masuk dalam
hierarkinya. Akan tetapi, Comte lalu memperlakukan etika sebagai ilmu tambahan
untuk meneruskan hukum-hukum yang memungkinkan kita meramalkan dan
merencanakan susunan sosial. Dalam arti ini, etika menjadi tambahan untuk sosiologi.

Dalam pengembangannya ada tiga positivisme, yaitu positivisme sosial,


positivisme evolusioner, dan positivisme kritis (Muhadjir, 2001: 69).

1. Positivisme Sosial. Positivisme sosial merupakan penjabaran lebih jauh dari


kebutuhan masyarakat dan sejarah. Auguste Comte dan John Stuart Mill
merupakan tokoh-tokoh utama positivisme sosial.
2. Positivisme Evolusioner. Positivisme evolusioner berangkat dari phisika dan
biologi. Digunakan doktrin evolusi biologik.
3. Positivisme Kritis.

B. Ciri-ciri Positivisme

Ciri-ciri positivisme antara lain:

a. Objektif/bebas nilai: dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan
subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan bersikap bebas nilai.
Hanya melalui fakta-fakta yang teramati-terukur, maka pengetahuan kita
tersusun dan menjadi cermin dari realitas (korespondensi).
b. Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu
pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut.
Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala
penampakan ditolak (antimetafisika).
c. Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas
partikularlah yang nyata. Contoh: logam dipanaskan memuai, konsep logam
dalam pernyataan itu mengatasi semua bentuk particular logam: besi,
kuningan, timah dan lain-lain.
d. Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.
e. Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta
yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memilii
strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri.
f. Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip
yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem
mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai a giant clock work.

C. Kelebihan dan Kelemahan Positivisme

Dari deskriptif ringkas di atas mengenai positivisme, maka sebenarnya


positivisme mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan, yaitu antara lain : ().

a. Kelebihan Positivisme

1) Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari
faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.

2) Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan
suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas
kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi
mutlak, teratur dan valid.

3) Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong


untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun
fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya.

4) Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan


teknologi.

5) Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada


epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar
pemikirannya.

b. Kelemahan Positivisme

1) Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai


sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisikbiologik.

2) Akibat dari ketidak percayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji
kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang
nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal
yang demikian itu didalam ajaran agama adalah benar kebenarannya dan
keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada
abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
3) Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak
dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic
semua hal itu dinafikan.

4) Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat
menemukan pengetahuan yang valid.

5) Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak


yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung
kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah
terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang
nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan
kajian.

6) Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi
yang optimis, tetapi juga terkesan lincah-seakan setiap tahapan sejarah evolusi
merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian
bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic. Bias
teoritik seperti itu tidak memberikan ruang bagi realitas yang berkembang atas
dasar siklus-yakni realitas sejarah berlangsung berulang-ulang tanpa titik akhir
sebuah tujuan sejarah yang final.

D. Sejarah Filsafat Positivisme dan Tokoh

Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern. Secara umum boleh
dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada masa
Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-
permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui percobaan (aliran Empirisme). Sementara
Kant adalah orang yang melaksanakan pendapat Hume ini dengan menyusun Critique
of pure reason (Kritik terhadap pikiran murni / aliran Kritisisme). Selain itu Kant juga
membuat batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk
menghukumi pengetahuan tersebut dengan menjadikan pengalaman sebagai
porosnya.

Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar 1825).
Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh seorang filosof
berkebangsaan Inggeris yang bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar abad ke-
17 (Muhadjir, 2001). Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-
komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika
murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam.

Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang
filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang menggunakan istilah ini kemudian
mematoknya secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan
agama dan filsafat dalam karya utamanya yang berjudul Course de Philosophie
Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam enam
jilid.

Dari tulisan Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan tentang
perkembangan penting yang terjadi pada pemikiran manusia beralih dari fase teologis,
menuju ke fase metafisis, dan terakhir fase positif.

Pada fase teologis (tahapan agama dan ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa
yang diluar kodrat untuk mengatur semua fungsi alam ini. Zaman ini dibagi menjadi
tiga periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk
menjelaskan fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau
Tuhan-Tuhan. Pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa adikodrati tersebut telah
digantikan oleh konsep- konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’. Pada fase ini
manusia menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman
metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi. Dan
akhirnya pada masa positif (tahap positivisme) manusia telah membatasi diri pada
fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi
dan kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua bentuk tafsir agama
dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap
fenomena-fenomena.

Selain itu, berikut adalah tokoh-tokoh filsafat positivisme :

a) Auguste Comte
Philosophe Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte, yang lebih dikenal
dengan Auguste Comte, adalah seorang filsuf Perancis. Dia adalah pendiri
dari disiplin sosiologi dan doktrin positivisme. Lahir: 19 Januari 1798,
Montpellier, Prancis. Meninggal: 5 September 1857, Paris, Prancis. Nama
lengkap: Isidore Auguste Marie François Xavier Comte. Pendidikan:
Universitas Montpellier, École Polytechnique
b) John Stuart Mill
Adalah seorang filsuf Inggris, ekonom politik dan pegawai negeri sipil. Dia
adalah seorang kontributor berpengaruh untuk teori sosial, teori politik dan
ekonomi politik. Lahir: 20 Mei 1806, Pentonville, London. Meninggal: 8 Mei
1873, Avignon, Prancis. Pasangan: Harriet Taylor Mill. (M 1851-1858).
Pendidikan: University College London. Orangtua: James Mill, Harriet
Burrow
c) Hippolyte Taine Adolphe
Adalah seorang kritikus Perancis dan sejarawan. Dia adalah pengaruh teoritis
kepala naturalisme Perancis, pendukung utama positivisme sosiologis dan
salah satu praktisi pertama kritik historis. Lahir: 21 April 1828, Vouziers,
Prancis. Meninggal: 5 Maret 1893, Paris, Prancis. Pendidikan: École Normale
Supérieure
d) Émile Durkheim
Sosiolog David Émile Durkheim adalah seorang sosiolog Perancis, psikolog
sosial dan filsuf. Ia secara resmi mendirikan disiplin akademis dan, dengan
Karl Marx dan Max Weber, yang sering dikutip sebagai kepala sekolah.
Lahir: 15 April 1858, Épinal, Prancis. Meninggal: 15 November 1917, Paris,
Prancis. Pendidikan: Lycée Louis-le-Grand, École Normale
Supérieure,Universitas Leipzig.

Bab III

Penutup
Kesimpulan

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang berasal dari fakta yang positif.
Positivisme, sebagai sistem umum tentang konsep - konsep manusia yang bertujuan
untuk menyusun fakta – fakta yang teramati. Positivisme terkait dengan empiris,
dalam segi tertentu sampai pada kesimpulan logis yang ekstrim karena pengetahuan
satu satu nya bentuk yang mengenai kenyataan hanyalah ilmu pengetahuan.

Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang menyakini bahwa satu-
satunya pengetahuan yang benar adalah yang berdasarkan pada pengalaman
aktualfisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-
teori melalui metodesaintifik, yang karenanya spekulasi metafisis dan manusia telah
membatasi pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta atas dasar
observasi dan kemampuan rasio. Positivisme telah di kenal sejak Yunani Kuno
sebagai pendekatan dan pada abad ke-19 muncullah Auguste Comte yang
menggunakan istilah positivisme kemudian mematoknya secara mutlak sebagai
tahapan paling akhir sesudah tahapan tahapan agama dan filsafat. Comte percaya
bahwa dalam perkembangan peting yang terjadi pada pikiran manusia melewati
tigatahapan historis yaitu teologi, metadisik, dan ilmiah atau positif.
Bab IV

Daftar Pustaka

Wahyuni, Sri, UIN Sunan Kalijaga, jurnal


Tysna, Ade Wahyu, Positivisme

Anda mungkin juga menyukai