Anda di halaman 1dari 14

FILSAFAT PENDIDIKAN POSITIVISME DAN

FILSAFAT PENDIDIKAN EMPIRISME

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 2

DOSEN PENGAMPU : Muhammad Toyib, M.Pd

NAMA ANGGOTA : Helda Salsabila (2018 143 150)


Marlina Ayu Lestari (2018 143 142)
Nur Billah Rizky W (2018 143 321)
Viona Quiteria Palicida (2018 143 153)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG

2019
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah karena alhamdulillah atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas yaitu membuat makalah untuk
matakuliah Filsafat Pendidikan. Makalah ini bertujuan untuk menginformasikan
kepada seluruh pembaca mengenai materi “Filsafat Pendidikan Empirisme dan
Filsafat Pendidikan Positivisme”.
Kendala yang penulis hadapi dalam menulis makalah ini yaitu, penulis
kesulitan dalam mencari referensi dan sumber bacaan. Terima kasih penulis
ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membuat buku tentang materi ini karena
telah memudahkan penulis untuk melancarkan penulisan ini.
Harapan penulis setelah membuat makalah ini, diharapkan para pembaca
mampu memahami pengetahuan mengenai materi ini.

Palembang, 03 Maret 2019

Kelompok 2

2
Daftar Isi

BAB 1: PENDAHULUAN.....................................................................................4
1.1 Latar Belakang...................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................4

BAB 2: PEMBAHASAN........................................................................................5
2.1 Filsafat Pendidikan Empirisme..........................................................................5
2.2 Filsafat Pendidikan Positivisme.........................................................................9

BAB 3: PENUTUP...............................................................................................13
3.1 Kesimpulan......................................................................................................13
3.2 Saran.................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Berbagai penemuan manusia dapat membahayakan kehidupan dirinya


sendiri. Bom dan nuklir akan menghancurkan alam dalam sekejap. Penemuan
ilmiah telah menjadikan manusia memperoleh kemewahan dan ilmuwan telah
melepas ambisinya untuk menjelajahi ruang angkasa. Penemuan-penemuan
baru bermunculan sehingga seorang ilmuwan dipaksa untuk menjadi spesialis
dalam satu cabang ilmu tertentu lainnya. Jadi, ilmu pengetahuan telah
membawa manusia dari periode batu ke periode perunggu, dari periode
pengangkut menjadi periode uap, lalu ke periode listrik, periode atom, dan
periode angkasa.1 Oleh karena itu, hasil-hasil penemuan dan penciptaan
manusia harus dilandasi nilai-nilai moral yang tinggi. Filsafat pendidikan
dikembangkan untuk menyeimbangkan kehidupan lahiriah dan batiniah
manusia. Alam boleh ditaklukan oleh manusia, tetapi Pencipta Alam harus
menjadi tujuan kehidupan manusia. Seperti materi yang akan penulis bahas
yaitu tentang pemahaman Filsafat Pendidikan Positivisme dan Filsafat
Pendidikan Empirisme.

1.2 RUMUSAN MASALAH

a. Bagaimana pemahaman mengenai filsafat pendidikan positivisme?


b. Bagaimana pemahaman mengenai filsafat pendidikan empirisme?

1
Abdul Rozak dan Isep Z.A., Filsafat umum, hlm. 111.

4
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 FILSAFAT PENDIDIKAN POSITIVISME

Pemikiran manusia terus berkembang, kepercayaan terhadap berbagai


mitos mulai berkurang. Manusia semakin bertambah ilmu pengetahuannya
dan cara berpikirnya pun lebih rasional. Perkembangan itu pun dilanjutkan
dengan lahirnya positivisme yang di perkenalkan oleh August Comte (1798-
1857) yang tertuang dalam karya utamanya adalah Cours de Philosophic
Positive, yaitu “Kursus tentang Filsafat Positif” (1830-1842) yang diterbitkan
dalam enam jilid. Selain itu, karyanya yang lain adalah Discour L’esprit
Positive (1844) yang artinya “Pembicaraan tentang Jiwa Positif”. Dalam
karya inilah, Comte menguraikan secara singkat pendapat-pendapat positivis,
hokum tiga stadia, klasifikasi ilmu-ilmu pengetahuan, dan bagan tatanan dan
kemajuan.2

Positivisme yang di perkenalkan oleh August Comte berpandangan


bahwa pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta. Positivisme menolak
pemahaman metafisika dan mitos-mitos irasional. Positivisme selalu
mempertanyakan “hakikat” benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya”.
Positivisme mengutamakan pengalaman tetapi tidak dengan pengalaman
batiniah. Karena menurut positivisme pengalaman batiniah tersebut tidak
faktual.3

Kebanyakan kelompok positivisme berasal dari kalangan orang-orang


yang progresif, yang bertekad mencampakkan tradisi-tradisi irasional dam
memperbarui masyarakat menurut hukum alam sehingga menjadi lebih
rasional. Comte percaya bahwa penemuan hukum-hukum alam akan
membukakan batas-batas yang pasti yang dalam kenyataan sosial, dan jika

2
Juhaya S. Pradja, Aliran-aliran dalam Filsafat dan Etika, hlm. 89.
3
Herabudin, IAD, Bandung: Personal Press, 2009.

5
melampaui batas-batas itu, usaha pembaruan akan rusak dan menghasilkan
yang sebaliknya.

August Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseleruhan organik


yang kenyataannya lebih daripada sekadar jumlah bagian yang saling
bergantung. Akan tetapi, untuk memahami kenyataan ini, metode penelitian
empiris harus dipergunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan
suatu bagian dari alam, seperti halnya gejala fisik.

Gagasan untuk menggunakan metode penelitian empiris yang sama,


seperti yang digunakan dalam ilmu fisika dan biologi untuk menganalsis
gejala sosial sejalan dengan pandangan Comte mengenai kesatuan filosofis
dari semua ilmu. Sesungguhnya salah satu tujuan utama dari bukunya, yaitu
Course of Positive Philosophy adalah menunjukkan kesatuan ini dengan
menganalisis dasar-dasar filosofis dari semua ilmu, dari matematika dan
astronomi sampai sosiologi.4

Menurut Comte, kesatuan ilmu memperlihatkan hukum perkembangan


intelektual yang sama, seperti tampak dalam perkembangan melalui tiga
tahap pemikiran, yaitu teologis, metafisik, dan positif.

Menurut August Comte, Tahap Teologis, manusia mencari hakikat


dan kodrat dasar manusia, yakni sebab pertama dan sebab akhir (asal dan
tujuan) dari segala akibat. Tahap teologis merupakan periode yang paling
lama dalam sejarah manusia untuk analisis yang lebih terperinci. Comte
membaginya ke dalam periode fetisisme, politeisme, dan monoteisme.
Fetisisme merupakan bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat
primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan
kekuatan hidupnya sendiri. Fetitisme ini diganti dengan politeisme, yaitu
kepercayaan akan sejumlah hal supernatural yang meskipun berbeda dari
benda-benda alam, terus mengontrol semua gejala alam. Ketika pemikiran
manusia terus maju, kepercayaan akan banyak dewa diganti dengan
monoteisme, yaitu kepercayaan akan satu yang tinggi.
4
Ibid, hlm. 83.

6
Dalam Fase Metafisik, yang hanya merupakan bentuk lain dari dari
yang pertama, rasio mengandaikan bukan hal yang supernatural, melainkan
kekuataan-kekuataan abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat pada
semua benda (abstraksi-abstraksi yang dipersonifikasikan), dan yang mampu
menghasilkan semua gejala. Paul Jhonson mengemukakan bahwa tahap
metafisik merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. Tahap ini
ditandai dengan satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi, yang
dapat ditemukan dengan akal budi.

Dalam Fase Positif, rasio manusia sudah meninggalkan pencarian yang


sia-sia terhadap pengertian-pengertian absolut, asal, dan tujuan alam semesta
serta sebab-sebab gejala seperti pada fase teologis dan metafisik. Namun,
telah memusatkan perhatiannya pada studi tentang hukum-hukum alamiah,
yaitu hubungan-hubungan urutan dan persamaanya yang tidak berubah.
Penalaran dan pengamatan yang digabungkan secara tepat yang merupakan
sarana-sarana pengetahuan ini.5 Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan
data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Akan tetapi, pengetahuan
selalu sementara sifatnya, tidak mutlak. Semangat positivisme
memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus terhadap data baru atas
dasar pengetahuan yang dapat ditinjau kembali dan diperluas.

Comte, dalam bukunya yang berjudul Course of Positive Philoshopy, ia


menyatakan bahwa cara-cara berpikir prapositif lebih rendah daripada cara-
cara berpikir positif modern. Dalam penilaiannya ini, Comte sama dengan
kelompok progresif yang siap untuk menghapus sebagian besar sejarah
pemikiran manusia sebagai suatu cerita dongeng bohong yang menyedihkan,
atau takhayul demi takhayul yang pengaruh kumulatifnya menghalangi
perkembangan manusia.

Contoh dalam pemahaman tentang tahap-tahapan yang dikemukakan


oleh Comte yaitu apabila kita ingin menjelaskan suatu gejala alam seperti
angina topan. Dalam tahap teologis, gejala serupa akan dijelaskan sebagai

5
Ibid, hlm. 86.

7
hasil tindakan langsung dari seorang dewa angina atau tuhan yang agung.
Dalam tahap metafisik, gejala yang sama dapat dijelaskan sebagai manifestasi
dari suatu hukum alam yang tidak dapat diubah. Dalam tahap positif, angina
topan akan dijelaskan sebagai hasil dari suatu kombinasi tertentu dan
tekanan-tekanan udara, kecepatan angin, kelembapan, serta semua variabel
yang dapat diukur, yang berubah terus-menerus dan berinteraksi sehingga
menghasilkan angin topan.

Pandangan August Comte yang dikemukakan oleh Paul jhonson


secara mendalam tersebut, memberikan pemahaman bahwa sesungguhnya
Comte menerima pandangan bahwa perkembangan pemikiran manusia
berawal dari mitologi dan kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai
mitologis. Manusia tidak secara langsung berpikir rasional dan serba positif,
melainkan melalui tahap-tahapan yang sistematis.

Pada tahap pertama, seluruh pandangan akal budi, kepercayaan, dan


keyakinan manusia dibentuk oleh cara berpikit metafisik yang disebut sebagai
pemikiran irasional manusia terhadap berbagai realitas yang dilaluinya dalam
kehidupan sehari-hari. Pada tahap kedua, manusia senantiasa melibatkan
gejala alam dan realitas kehidupan dengan pemahaman teologis yang
membentuk keyakinan terhadap keberadaan para dewa, Tuhan, dan Dzat
Yang Maha Kuat dan menguasai kehidupan manusia dengan seluruh alam
yang ada. Akan tetapi, pada tahapan terakhir, manusia menuju dan
menunjukkan pemahaman rasional tentang keberadaan sesuatu yang benar-
benar ada, yaitu yang dibatasi oleh lingkaran empiris dan serba realistik.
Semua yang ada adalah materi dan materi akan mengalami kehancuran
sebagai bentuk dari hakikat materi yang sebenarnya. Kehancuran materi
merupakan perubahan terhadap situasi dan kondisi alamiah yang tidak ada
kaitannya dengan pemahaman metafisik dan teologis. Dengan demikian,
pemahaman mitologis terhadap semua yang ada dan nyata tidak akan lagi
menjadi jawaban terhadap keadaan perubahan yang disaksikan oleh manusia,
tetapi sebagai gejala alamiah yang normal.

8
Pandangan dan penemuan ilmiah manusia mengenai alam jagat raya ini
telah mendorong lahirnya filsafat pendidikan berbasis positivisme.
Pendidikan yang diarahkan pada suatu tujuan yang realistik. Masyarakat
harus menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan tidak bergantung pada mitos
dan berbagai legenda karena semua itu akan membuat masyarakat terlihat
bodoh. Kehidupan bergantung pada kebutuhan yang nyata, pasti, dan rasional.
Oleh karena itu, masyarakat harus melihat pengetahuan dengan memperdalam
pendidikan yang empiris dan realistis. Pendidikan harus berbasis pada
penelitian dan kebenaran yang pasti.

2.2 FILSAFAT PENDIDIKAN EMPIRISME

Penganut empirisme berpandangan bahwa pengalaman merupakan


sumber pengetahuan bagi manusia. Tanpa pengalaman, rasio tidak memiliki
kemampuan untuk memberikan gambaran tertentu.

George Barkeley (1685-1753) berpandangan bahwa seluruh gagasan


dalam pikiran atau ide datang dari pengalaman. Oleh karena itu, tidak ada
jatah ruang bagi gagasan yang lepas begitu saja dari pengalaman, dengan
begitu ide tidak bisa bersifat independen. Pengalaman konkret adalah
“mutlak” sebagai sumber pengetahuan utama bagi manusia, hal ini karena
penalaran bersifat abstrak dan membutuhkan rangsangan dari pengalaman.

Menurut Francis Bacon (1210-1292 M) pengetahuan yang sebenarnya


adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan indriawi dengan
dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati.
Pengetahuan harus dicapai dengan induksi. Menurut Bacon, ilmu yang benar
adalah yang telah terakumulasi antara pikiran dan kenyataan, kemudian
diperkuat dengan sentuhan indriawi.

Pendapat Thomas Hobbes (1588-1679 M), bahwa pengalaman me-


rupakan permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain
merupakan semacam perhitungan, yaitu penggabungan data-data indriawi

9
yang sama dengan cara berlainan tentang dunia dan manusia. Oleh karena itu,
ajaran Hobbes merupakan sistem materialisme yang pertama dalam sejarah
modern. Sebagai penganut empirisme, Hobbes berpendapat bahwa
pengenalan atau pengetahuan diperoleh karena pengalaman. Pengalaman
adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-
asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala ilmu
pengetahuan diturunkan dari pengalaman. Dengan demikian, hanya
pengalamanlah yang memberi jaminan kepastian.

Pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang


disimpan di dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan
masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lain.

John Locke (1632-1704) salah seorang penganut empirisme yang juga


“Bapak Empirisme” mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan
akalnya masih bersih. Ibarat kertas kosong yang belum bertuliskan apapun.
Pengetahuan baru muncul ketika indriawi manusia menimba pengalaman
dengan cara melihat dan mengamati berbagai kejadian dalam kehidupan. Bagi
Locke, pengalaman terbagi dua yaitu pengalaman lahiriah dan pengalaman
batiniah.

Beberapa pandangan filsuf tentang pengalaman sebagai sumber


pengetahuan, menggambarkan secara mendalam kepada kita bahwa sumber
pertama pengetahuan adalah pengalaman. Dengan demikian, The Experience
is The Best Teacher, bukan pernyataan yang salah. Manusia yang belajar dari
pengalamannya adalah manusia yang memahami bahwa masa depannya akan
sangat bergantung pada kecerdasannya mengambil pelajaran atau hikmah
dibalik semua pengalamannya.

Pada dasarnya, pengetahuan memiliki tiga kriteria, yaitu :

10
1. adanya suatu sistem gagasan dalam pikiran
2. Persesuaian antara gagasan dan benda-benda yang sebenarnya
3. Adanya keyakinan tentang persesuaian

Gagasan dalam pikiran manusia adalah ide yang terdapat dalam alat
piker yang disebut dengan akal atau otak. Tidak ada seorang pun yang dapat
menggambarkan bentuk konkret dari akal. Gagasan muncul dari adanya
realitas, sedangkan realitas yang dapat dijumpai manusia ada dua macam
yaitu:

1. realitas yang disepakati, yaitu segala sesuatu yang dianggap nyata


karena kita mengatakan sebagai kenyataan.

2. realitas yang didasarkan pada pengalaman, yaitu pengalaman manusia


sendiri.6

Berdasarkan dua realitas tersebut, pengetahuan pun dibagi menjadi dua


macam, yaitu: (1) pengetahuan yang diperoleh dari persetujuan, maksudnya
diperoleh dengan cara mempercayai apa yang dikatakan orang lain karena
kita tidak dapat belajar segala sesuatu melalui pengalaman kita sendiri. (2)
pengetahuan yang diperoleh melalui pengetahuan langsung atau observasi.

Pengetahuan diperoleh dengan tiga cara yaitu dari gagasan dalam


pikiran atau ide, dari pengalaman, dan dari intuisi. Ahmad Tafsir
mengatakan, pengetahuan dibagi tiga, yaitu:

1. Pengetahuan sains
2. Pengetahuan filsafat
3. Pengetahuan mistik

Dari pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh


pengetahuan manusia bersumber dari dua alat utama yang terdapat dalam diri
manusia, yaitu: (1) akal dengan penalarannya. (2) intuisi dengan

6
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm. 67

11
penghayatannya. Lalu, pengetahuan dari keduanya diperkuat oleh
pengalaman, baik pengalaman rasional maupun pengalaman intuisional.7

Filsafat pendidikan yang berbasis pada empirisme telah menciptakan


suatu aliran empirisme pendidikan yang berpandangan bahwa dasar-dasar
pendidikan harus digali dari pengalaman manusia sehingga segala hal yang
diberikan kepada manusia sesuai dengan perjalanan kehidupannya yang
nyata. Pengalaman manusia memiliki kebenaran yang pasti dan dapat
dirasionalisasi sesuai dengan daya ingat pemilik pengalamannya masing-
masing. Dengan pendidikan yang berbasis pada pengalaman, antara subjek
dan objek, pendidikan akan terjadi saling memberi informasi karena
pendidikan tidak akan dinamis apabila tidak ada dua unsur penting, yaitu
memberi dan menerima.8

7
Ibid.
8
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Teori Pendidikan Pelaku Sosial
Kreatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000, hlm. 1.

12
BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Pandangan dan penemuan ilmiah manusia mengenai alam jagat


raya ini telah mendorong lahirnya filsafat pendidikan berbasis
positivisme. Masyarakat harus menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan
tidak bergantung pada mitos dan berbagai legenda karena semua itu
akan membuat masyarakat bodoh. Kehidupan bergantung pada
kebutuhan yang nyata, pasti, dan rasional.

Filsafat pendidikan yang berbasis pada empirisme telah


menciptakan suatu aliran empirisme pendidikan yang berpandangan
bahwa dasar-dasar pendidikan harus digali dari pengalaman manusia
sehingga segala hal yang diberikan kepada manusia sesuai dengan
perjalanan kehidupannya yang nyata.

3.2 SARAN

Untuk memahami isi materi, sebaiknya pembaca benar-benar


menghayati dan berkonsentrasi penuh untuk membaca materi ini.
Sebab, bahasa yang digunakan sebagian besar adalah bahasa ilmiah
yang sukar dimengerti dengan mudah serta cara penulisannya juga
masih sedikit berantakan karena penulis masih dalam tahap belajar.
Harapannya, para pembaca memahami tentang pemahaman filsafat
pendidikan positivism dan filsafat pendidikan empirisme dengan baik
tanpa hambatan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Salahudin Anas. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia. 2011.

14

Anda mungkin juga menyukai