Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Positivisme yang menandai krisis-krisis di barat itu sebenarnya
marupakan salah satu dari sekian banyak aliran aliran filsafat di barat, dan aliran
ini berkembang sejak abad ke-19 dengan perintisnya adalah seorang ahli filsafat
dari Prancis yang bernama Auguste Comte. Meski dalam beberapa segi
mengandung kebaruan namun pandangan ini merupakan bukan suatu hal yang
sama sekali baru, karena pada masa sebelumnya Kant sudah berkembang
dengan pendangannya mengenai empirisme yang dalam beberapa segi
berkesesuaian dengan positivisme.
Banyak orang yang mengenal kata positif dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka mengartikan positif sebagai kata yang mengandung arti baik atau
berguna. Sesuatu yang baik maka itu sesuatu yang positif, begitu sebaliknya,
jika sesuatu yang buruk maka sesuatu itu dianggap negatif, yang merupakan
lawan kata dari positif.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang positif yang artinya berbeda
dengan arti yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kata positif
pertama kali digunakan oleh August Comte yang berperan penting dalam
mengafirkan filsafat dan sains di Barat, dengan memisahkan keduanya dari
unsur agama dan metafisis, yang dalam kasus Comte berarti mengingkari hal-
hal non-inderawi. Ada perbedaan makna positif antara makna positif dalam
kehidupan sehari-hari dan makna positif dalam positivisme August Comte. Bagi
orang awam, pasti belum mengetahui arti positivisme, oleh karena itu dalam
makalah ini akan membahas tentang arti positivisme, positivisme August
Comte, apa pengaruh positivisme, dan yang lainnya pada bab pembahasan.

1
1.2. Rumusan Masalah
1) Bagaimana riwayat hidup seorang August Comte ?
2) Apa pengertian positivisme dan Apa ajaran yang ada dalam positivisme ?

3) Bagaimana teori positivisme menurut August Comte ?


4) Bagaimana kritik atas positivisme dan Apa pengaruh positivisme August
Comte?
5) Apa definisi pengetahuan dan bagaimana terjadinya pengetahuan?
6) Bagaimana pergolongan ilmu menurut aguste comte?

1.3. Tujuan Masalah


Pembuatan makalah ini bertujuan untuk lebih meningkatkan lagi
pemahaman kita mengenai filsafat pada umumnya, dan filsafat positivisme pada
khususnya. Pada filsafat ini nanti akan kita bahas mengenai sejarah dari
positivisme, dan tokoh-tokoh penganutnya. Selain itu juga akan kita bahas
berbagai sub bab/pokok yang berkaitan dengan positivisme. Sehingga
diharapkan setelah membaca makalah yang kami susun ini,kita semua bisa
mengetahui tentang positivisme itu sendiri dan dapat juga dapat mengambil hal
positif untuk diplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Riwayat Hidup Comte


August Comte dilahirkan pada 1798 di Montpellier, Prancis. Pada
umur belasan tahun ia menolak beberapa adat kebiasan dari keluarganya
yang katholik orthodox, yaitu kesalehan dalam agama dan dukungan
terhadap bangsawan. Ia belajar disekolah politeknik di Paris dan menerima
pelajaran ilmu pasti. Auguste Comte tidak terlalu peduli dengan
kebangsawanannya.Namun tidak sempat menyelesaikan sekolahnya karena
banyak ketidakpuasan didalam dirinya, dan sekaligus ia adalah mahasiswa
yang keras kepala dan suka memberontak.
Auguste Comete memulai karir profesionalnya dengan memberi les
prifat bidang matematika. Meskipun ia sudah memperoleh pendidikan dalam
matematika, perhatian yang sebenarnya adalah pada masalah-masalah
kemanusiaan dan sosial, minat ini tumbuh dan berkembang dibawah
penggaruh Saint Simon, yang memperkerjakan Auguste sebagai
sekertarisnya dan dengan Auguste menjalin kejarasama erat dalam
mengembangkan karya awalnya sendiri.
Sesudah tujuh tahun lamanya pasangan sahabat ini pecah karena
perdebatan mengenai kepengarangan karya bersama, dan auguste pun
menolak pembimbingnya ini.
Kondisi ekonomi comte sangat pas-pasan, dan hampir terus menerus
hidup dalam kemiskinan. Dia tidak pernah mampu menjamin posisi
profesional yang dibayar dengan semestinya dalam sistem pendidikan tinggi
perancis, Banyak karirnya berupa les prifat, menyajikan ide-ide teoretisnya
dalam suatu kursus prifat yang dibayar oleh peserta-peserta dan menjadi
pengguji akademik kecil.
Selain dalam bidang akademik, dalam Pergaulanya comte dengan

3
gadis-gadis justru mendatangkan malapetaka, tetapi relevan untuk
memahami evolusi dalam pemikiran comte, khususnya perubahan dalam
tekanan tahap-tahap akhir kehidupanya dari positivisme ke cinta.
Pada tahun 1842 ia menyelesaikan karya besarnya yang berjudul
Course of positive philosophy dalam 6 jilid dan juga karya besar yang cukup
terkenal adalah system of positive polities yang merupakan persembahan
comte bagi pujaan hatinya Clothilde de vaux, yang begitu banyak
mempengaruhi pemikiran comte di karya besar keduanya itu. Karya comte
dalam politik positif itu didasarkan pada gagasan bahwa kekuatan yang
sebenarnya mendorong orang dalam kehidupan adalah perasaan, bukan
pertumbuhan intelegensi manusia yang mantap, Dia mengusulkan suatu
teorganisasi masyarakat, dengan sejumlah tatacara yang dirancang untuk
membangkitkan cinta murni dan tidak egoistis, demi “kebesaran
kemanusiaan”.
Comte hidup pada masa akhir revolusi perancis termasuk didalamnya
serangkaian pergolakan yang terus berkesinambungan sehingga comte sangat
menekankan arti pentingnya keteraturan sosial.
Pada akhir hidupnya, ia berupaya membangun agama baru tanpa
teologi atas dasar filsafat positifnya. Agama baru tanpa teologi ini
mengagungkan akal dan mendambakan kemanusiaan dengan semboyan
“Cinta sebagai prinsip, teratur sebagai basis,kemajuan sebagai tujuan”.
Sebagai istilah ciptanya yang terkenal altruisim yaitu menganggap
bahwa soal utama bagi manusia ialah Usaha untuk hidup bagi kepentingan
orang lain. .
2.2. Pengertian Positivisme
Positivisme diturunkan dari kata positif, dalam hal ini positivisme
dapat diartikan sebagai suatu pandangan yang sejalan dengan empirisme,
menempatkan penghayatan yang penting serta mendalam yang bertujuan
untuk memperoleh suatu kebenaran pengetahuan yang nyata, karena harus

4
didasarkan kepada hal-hal yang positivisme. Dimana positivisme itu sendiri
hanya membatasi diri kepada pengalaman-pengalaman yang hanya bersifat
objektif saja. Hal ini berbeda dengan empirisme yang bersifat lebih lunak
karena empirisme juga mau menerima pengalaman-pengalaman yang bersifat
batiniah atau pengalaman-pengalaman yang bersifat subjektif juga.
Bagi kalangan awam kata ’positif’ lebih mudah dimaknai sebagai
’baik’ dan ’berguna’ sebagai antonim dari kata negatif. Pemahaman awam ini
bukannya tanpa dasar, karena jika kita membaca, misalnya, kamus saku
Oxford kita akan menemukan ’baik’ dan ’berguna’ dalam daftar makna untuk
kata positive.
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa
satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada
pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan
melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang
karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian diatas
dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dan juga digunakan
oleh Ibn al-Haytham dalam karyanya Kitab al-Manazhir. Sekalipun
demikian, konseptualisasi positivisme sebagai sebuah filsafat pertama kali
dilakukan Comte di abad kesembilan belas. Adapun yang menjadi tititk tolak
dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang
faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud
dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya,
sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh,
fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam
asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Ajaran-Ajaran Dalam Positivisme
1) Dalam alam terhadap hukum yang dapat diketahui.
2) Dalam alam penyebab benda-benda tidakdapat diketahui.
3) Setiap pernyataan yang pada prinsipnya tidak dapat direduksikan ke

5
pernyataan sedehana mengenai fakta, baik khusus maupun umum.
4) Hanya berhubungan antara fakta yang dapat diketahui.
5) Perkembangan intelektual merupakan sebab utama perubahan social
2.3. Positivisme Auguste Comte
Menurut Comte, jiwa dan budi adalah basis dari teraturnya masyarakat
maka jiwa dan budi haruslah mendapatkan pendidikan yang cukup dan
matang. Dikatanya bahwa sekarang ini sudah massanya harus hidup dengan
pengabdian ilmu yang positif yaitu Matematika, Fisika, Biologi dan ilmu
kemasyrakatan. Adapun yang tidak positif tidak dapat kita alami, dan
sebaliknya orang bersikap tidak tahu- menahu. Adapun budi itu mengalami
tiga tingkatan atau zaman, yaitu Teologi, Metafisika, dan Positif.
Selanjutnya, pokok ajaran Comte yang terkenal adalah tanggapanya
bahwa perkembangan pengetahuan manusia baik manusia perorangan
maupun umat manusia sebagai keseluruhan, yang mengumpamakan kanak-
kanak sebagai seorang teolog, pemuda menjadi metafisikus dan orang
dewasa sebagai seorang fisikus. Meliputi tiga zaman, seperti yang sudah di
sebutkan diatas.
Bagi Comte perkembangan tiga zaman ini merupakan suatu hukum
yang tetap.
 Dalam jaman teologis manusia percaya bahwa dibelakang gejala-
gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi
dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai
makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi
orang yang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi
daripada makhluk-makhluk insani yang biasa. Zaman Teologis ini
dibagi lagi atas tiga periode. Periode pertama,benda-benda dianggap
berjiwa (animisme), periode kedua manusia percaya pada dewa-dewa
(politheisme), periode ke-tiga, manusia memandang satu Allah
sebagai penguasa segala sesuatu (monotisme).
 Dalam jaman Metafisis, kuasa- kuasa adikodrati diganti dengan

6
konsep- konsep dan prinsip-prinsip yang abstrak, misalnya “kodrat”
dan “ penyebab”. Metafisika dijunjung tinggi di jaman ini.
 Dalam jaman positif, sudah tidak diusahakan lagi untuk mencari
penyebab-penyebab yang terdapat dibelakang fakta-fakta. Dalam
zaman tertinggi ini manusia membatasi diri pada fakta-fakata yang
disajikan kepadanya. Atas dasar Observasi dan dengan mengginkan
rasionya ia berusaha menetapkan relasi-relasi persamaan atau urutan
yang terdapat antara fakta-fakta. Baru dalam zaman terakhir ini
dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.
Bagi Comte, ilmu sejarah tidak bisa mencapai taraf ilmu pengetahuan
yang sejati, karena tidak mungkin menentukan relasi-relasi tetap antara fakta-
fakta historis, Ia berpendapat juga bahwa suatu pisikologi yang bersifat
ilmiah harus dianggap mustahil. Dalam psikologi, manusia mengusahakan
suatu refleksi atas psikisnya sendiri, Tetapi usaha sedemikian itu tidak
mungkin. Psikologi tidak memandang

2.4. Pengaruh Positivisme


Positivisme yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan
intelektual abad sembilan belas. Di Inggris, sahabat Comte, Jhon Stuart Mill,
dengan antusias memerkenalkan pemikiran Comte sehingga banyak tokoh di
Inggris yang mengapresiasi karya besar Comte, diantaranya G.H. Lewes,
penulis The Biographical History of Philosophy dan Comte’s Philosophy of
Sciences; Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian mengkritisi
pandangan-pandangan Comte; John Austin, salah satu ahli paling
berpengaruh pada abad sembilan belas; dan John Morley, seorang politisi
sukses. Namun dari orang-orang itu hanya Mill dan Lewes yang secara
intelektual terpengaruh oleh Comte.
Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu,
Paul Tannery, yang meyakini bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih dari

7
siapapun. Ilmuwan lain yang dipengaruhi Comte adalah Emile Meyerson,
seorang filosof ilmu, yang mengkritisi dengan hormat ide-ide Comte tentang
sebab, hukum-hukum saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang ini adalah
salah satu dari pembaca pemikiran Comte yang serius selama setengah abad
pasca kematiannya. Karya besar Comte bagi banya filososf, ilmuwan dan
sejarawan masa itu adalah bacaan wajib.
Namun Comte baru benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim
yang pada 1887 merupakan orang pertama yang ditunjuk untuk mengajar
sosiologi, ilmu yang diwariskan Comte, di universitas Prancis. Dia
merekomendasienkan karya Comte untuk dibaca oleh mahasiswa sosiologi
dan mendeskripsikannya sebagai ”the best possible intiation into the study of
sociology”. Dari sinilah kemudian Comte dikenal sebagai bapak sosiologi
dan pemikirannya berpengaruh pada perkembangan filsafat secara umum.
Kritik atas Positivisme
Dalam sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi yang
dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua
”proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau
kimia” dan bahwa ”proses-proses sosial dapat direduksi ke dalam hubungan
antar tindakan-tindakan individu” dan bahwa ”organisme biologis dapat
direduksi kedalam sistem fisika”.
Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain.
Kritik ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi
sosial dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif
dan mendukung status quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme
secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai
”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih
merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial.
Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial
dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas

8
sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh
orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti. Kritik
kedua menunjuk positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang
mendorongnya berkarakter konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya
populer.
2.5. Penggolongan Ilmu Menurut August Comte
a. Ilmu pasti (matematika)
Ilmu pasti merupakan dasar bagi semua ilmu pengetahuan, karena
sifatnya yang tetap, abstrak dan pasti. Dengan metode-metode yang
dipergunakan melalui ilmu pasti, kita akan memperoleh pengetahuan
tentang sesuatu yang sebenarnya, yaitu hukum ilmu pengetahuan tingkat
“kesederhanaan dan ketetapan” yang tertinggi, sebagaimana abstraksi
yang dapat dilakukan akal manusia.
b. Ilmu perbintangan (astronomi)
Dengan didasari rumus-rumus ilmu pasti, maka ilmu perbintangan
dapat menyusun hukum-hukum yang bersangkutan dengan gejala-gejala
benda langit. Ilmu perbintangan menerangkan bagaimana bentuk,
ukuran, kedudukan, serta gerak benda langit seperti bintang, bumi,
matahari, atau planet-planet lainnya.
c. Ilmu alam (fisika)
Ilmu alam merupakan ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu
perbintangan, maka pengetahuan mengenai benda-benda langit
merupakan dasar bagi pemahaman gejala-gejala organik. Gejala-gejala
dalam ilmu alam lebih kompleks, yang tidak ada dapat difahami tanpa
terlebih dahulu memahami hukum-hukum astronomi.
Melalui gejala-gejala fisika dan hukumfisika, maka akan dapat
diramalkan dengan cepat semua gejala yang ditunjukkan oleh suatu
benda, yang berada pada suatu tatanan atau keadaan tertentu.
d. Ilmu kimia (chemistry)
Gejala-gejala dalam ilmu kimia lebih kompleks daripada ilmu

9
alam, dan ilmu kimia mempunyai kaitan dengan ilmu hayat (biologi)
bahkan juga dengan sosiologi. Pendekatan yang dipergunakan dalam
ilmu kimia ini tidak hanya melalui pengamatan (observasi) dan
percobaan (eksperimen), melainkan juga dengan perbandingan
(komparasi)
e. Ilmu hayat (fisiologi atau biologi)
Ilmu hayat (biologi) merupakan ilmu yang kompleks dan
berhadapan dengan gejala-gejala kehidupan. Gejala-gejala dalam ilmu
hayat ini mengalami perubahan yang cepat dan perkembangannya belum
sampai pada tahap positif. Ini berbeda dengan ilmu-ilmu sebelumnya
seperti ilmu pasti, ilmu perbintangan, ilmu alam, dan ilmu kimia yang
telah berada pada tahap positif. Karena sifatnya yang kompleks, maka
cara pendekatannya membutuhkan alat yang lebih lengkap.
f. Fisika sosial (sosiologi)
Fisika sosial (sosiologi) merupakan urutan tertinggi dalam
penggolongan ilmu pengetahuan. Fisika social sebagai ilmu berhadapan
dengan gejala-gejala yang paling kompleks, paling konkret dan khusus,
yaitu gejala yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia dalam
berkelompok. .

2.6. Definisi Pengetahuan


Pengetahuan adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menuturkan
apabila seseorang mengenal tentang sesuatu. Suatu hal yang menjadi
pengetahuannya adalah selalu terdiri dari unsur yang mengetahui dan yang
diketahui serta kesadaran mengenai hal yang ingin diketahuinya.
Oleh karena itu, pengetahuan selalu menuntut adanya subjek yang
mempunyai kesadaran untuk mengetahui tentang sesuatu dan objek yang
merupakan sesuatu yang dihadapinya sebagai hal ingin diketahuinya. Jadi
bisa dikatakan pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap
sesuatu.Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa

10
percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan
bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang.
Pengetahuan itu hanya dikenal dan ada di dalam pikiran manusia, tanpa
pikiran maka pengetahuan tidak akan eksis. Oleh karena itu keterkaitan
antara pengetahuan dan pikiran sesuatu yang kodrati. Asal-usul pengetahuan
adalah hal yang harus detahui oleh seseorang. Karena tanpa mengetahui asal-
usul pengetahuanm tersebut, maka kita tidak berangkat dari pemahaman awal
munculnya pengetahuan. Seorang yang berakal tentu ingin mengetahui tidak
hanya apa pengetahuan tetapi juga bagaimana ia muncul. Keinginan ini
dimotivasi sebagian oleh asumsi bahwa penyelidikan asal-usul pengetahuan
dapat menjelaskannya.
Terjadinya Pengetahuan
Masalah terjadinya pengetahuan adalah masalah yanag sangat ungen
untuk dibahas di dalam Epistemologi, sebab orang akan berbeda pandangan
terhadap terjadinya pengetahuan. Terjadinya pengetahuan dapat bersifat
apriori dan aposteriori. Apriori yaitu pengetahuan yang terjadi tanpa adanya
atau melalui pengalaman, baik pengalaman indera maupun pengalaman batin.
Aposteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman.
Sebagai alat untuk mengetahui terjadinya pengetahuan menurut John
Hospers dalam bukunya An Introduction to Philosophical Analysis
mengemukakan ada enam hal, diantaranya:
1) Pengalaman Indera (Sense Experience)
Orang sering merasa penginderaan merupakan alat yang paling
vital dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera merupakan
sumber pengetahuan yang berupa alat-alat untuk menangkap objek
dari luar diri manusia melalui kekuatan indera. Kekhilafan akan
terjadi apabila ada ketidak normalan antara alat-alat itu. Ibn Sina
mengutip ungkapan filosof terkenal Aristoteles menyatakan bahwa
barang siapa yang kehilangan indra-indranya maka dia tidak

11
mempunyai makrifat dan pengetahuan. Dengan demikian bahwa
indra merupakan sumber dan alat makrifat dan pengetahuan ialah hal
yang sama sekali tidak disangsikan. Hal ini bertolak belakang dengan
perspektif Plato yang berkeyakinan bahwa sumber pengetahuan
hanyalah akal dan rasionalitas, indra-indra lahiriah dan objek-objek
fisik sama sekali tidak bernilai dalam konteks pengetahuan. Dia
menyatakan bahwa hal-hal fisikal hanya bernuansa lahiriah dan tidak
menyentuh hakikat sesuatu. Benda-benda materi adalah realitas-
realitas yang pasti sirna, punah, tidak hakiki, dan tidak abadi.
2) Nalar (Reason)
Nalar adalah salah satu corak berfikir dengan menggabungkan
dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapatkan
pengetahuan baru. Salah satu tokoh dari paham ini adalah Plato,
seorang filosof Yunani yang dilahirkan di Athena. Plato berpendapat
bahwa untuk memperoleh pengetahuan itu pada hakikatnya adalah
dengan mengingat kembali.
3) Otoritas (Authority)
Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh
seseorang dan diakui oleh kelompoknya. Otoritas menjadi salah satu
sumber pengetahuan, karena kelompoknya memiliki pengetahuan
melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam
pengetahuannya. Pengetahuan yang diperoleh dari otoritas ini
biasanya tanpa diuji lagi, karena orang yang telah menyampaikannya
mempunyai kewibaan tertentu.
4) Intuisi (Intuition)
Intuisi adalah kemampuan yang ada pada diri manusia berupa
proses kejiwaan tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk
membuat pernyataan yang berupa pengetahuan. Pengetahuan yang
diperoleh melalui intuisi tidak dapat dibuktikan seketika atau melalui

12
kenyataan karena pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan
lebih dahulu. Menurut Mohamad Taufiq dalam sebuah tulisannya
mengatakan bahwa intuisi adalah daya atau kemampauan untuk
mengetahui atau memahami sesuatu tanmpa ada dipelajari terlebih
dahulu dan berasal dari hati.

5) Keyakinan (Faith)
Keyakinan adalah suatu kemampuan yang ada pada diri
manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Adapun keyakinan itu
sangat statis, kecuali ada bukti-bukti yang akurat dan cocok untuk
kepercaya.

13
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Positivisme diturunkan dari kata positif, dalam hal ini positivisme dapat
diartikan sebagai suatu pandangan yang sejalan dengan empirisme, menempatkan
penghayatan yang penting serta mendalam yang bertujuan untuk memperoleh
suatu kebenaran pengetahuan yang nyata, karena harus didasarkan kepada hal-hal
yang positivisme. Dimana positivisme itu sendiri hanya membatasi diri kepada
pengalaman-pengalaman yang hanya bersifat objektif saja. Hal ini berbeda
dengan empirisme yang bersifat lebih lunak karena empirisme juga mau
menerima pengalaman-pengalaman yang bersifat batiniah atau pengalaman-
pengalaman yang bersifat subjektif juga.
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa
satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman
aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan
teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi
metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian diatas dan sebagai pendekatan
telah dikenal sejak Yunani Kuno.

3.2. Saran
Semoga dengan membaca makalah kami ini bisa bermanfaat dan pengetahuan kita
bisa bertambah lagi. Saran dari kami buat teman-teman mahasiswa yang membaca

14
makalah ini jangan hanya membaca saja tapi memahami apa itu positivisme, dan
juga materi-materi yang berkaitan dengan positivisme.

DAFTAR PUSTAKA

Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan, 2005), hal. 33. Lihat Juga Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu
Sejarah & Ruang Lingkup Bahasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)

15
16

Anda mungkin juga menyukai