Anda di halaman 1dari 3

AGUSTE COMTE

Auguste Comte (Nama panjang: Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; 19 Januari


1798 – 5 September 1857)[1] adalah seorang filsuf Prancis yang dikenal karena memperkenalkan
bidang ilmu sosiologi serta aliran positivisme. Melalui prinsip positivisme, Comte membangun dasar
yang digunakan oleh akademisi saat ini yaitu pengaplikasian metode ilmiah dalam ilmu
sosial sebagai sarana dalam memperoleh kebenaran. Comte juga merupakan Tokoh yang pertama
menciptakan istilah sosiologi, sehingga ia mendapat julukan sebagai Bapak Sosiologi Dunia.

Kehidupan[sunting | sunting sumber]
Comte lahir di Montpellier,[1] sebuah kota kecil di bagian barat daya dari negara Prancis. Setelah
bersekolah disana, ia melanjutkan pendidikannya di École Polytechnique di Paris. École
Polytechnique saat itu terkenal dengan kesetiaannya kepada idealis republikanisme dan filosofi
proses. Pada tahun 1816, politeknik tersebut ditutup untuk re-organisasi. Comte pun meninggalkan
École dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokteran di Montpellier.
Tak lama kemudian, ia melihat sebuah perbedaan yang mencolok antara agama Katolik yang ia
anut dengan pemikiran keluarga monarki yang berkuasa sehingga ia terpaksa meninggalkan Paris.
Kemudian pada bulan Agustus 1817 dia menjadi murid sekaligus sekretaris dari Claude Henri de
Rouvroy, Comte de Saint-Simon, yang kemudian membawa Comte masuk ke dalam lingkungan
intelek. Pada tahun 1824, Comte meninggalkan Saint-Simon karena lagi-lagi ia merasa ada
ketidakcocokan dalam hubungannya.
Saat itu, Comte mengetahui apa yang ia harus lakukan selanjutnya: meneliti tentang
filosofi positivisme. Rencananya ini kemudian dipublikasikan dengan nama Plan de travaux
scientifiques nécessaires pour réorganiser la société (1822) (Indonesia: Rencana studi ilmiah untuk
pengaturan kembali masyarakat). Tetapi ia gagal mendapatkan posisi akademis sehingga
menghambat penelitiannya. Kehidupan dan penelitiannya kemudian mulai bergantung pada sponsor
dan bantuan finansial dari beberapa temannya.
Ia kemudian menikahi seorang wanita bernama Caroline Massin. Comte dikenal arogan, kejam dan
mudah marah sehingga pada tahun 1826 dia dibawa ke sebuah rumah sakit jiwa, tetapi ia kabur
sebelum sembuh. Kemudian setelah kondisinya distabilkan oleh Massin, dan ia mengerjakan
kembali apa yang dulu direncanakannya. Namun sayangnya, ia bercerai dengan Massin pada
tahun 1842 karena alasan yang belum diketahui. Saat-saat di antara pengerjaan kembali
rencananya sampai pada perceraiannya, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul Le Cours de
Philosophie Positivistic.
Pada tahun 1844, Comte menjalin kasih dengan Clotilde de Vaux, dalam hubungan yang
tetap platonis. Setelah Clotilde wafat, kisah cinta ini menjadi quasi-religius. Tak lama setelahnya,
Comte menerbitkan bukunya yang berjudul Système de politique positive (1851 - 1854).
Comte wafat di Paris pada tanggal 5 September 1857 dan dimakamkan di Cimetière du Père
Lachaise.

Pemikiran[sunting | sunting sumber]
Salah satu sumbangan pemikirannya terhadap sosiologi adalah tentang hukum kemajuan
kebudayaan masyarakat yang dibagi menjadi tiga zaman yaitu: Zaman teologis adalah zaman di
mana masyarakatnya mempunyai kepercayaan magis, percaya pada roh, jimat serta agama, dunia
bergerak menuju alam baka, menuju kepemujaan terhadap nenek moyang, menuju ke sebuah dunia
dimana orang mati mengatur orang hidup. Zaman metafisika yaitu masa masyarakat dimana
pemikiran manusia masih terbelenggu oleh konsep filosofis yang abstrak dan universal. Zaman
positivis yaitu masa dimana segala penjelasan gejala sosial maupun alam dilakukan dengan
mengacu pada deskripsi ilmiah (hukum-hukum ilmiah).[2]

Rujukan[sunting | sunting sumber]
1. ^ Lompat ke:a b   Chisholm, Hugh, ed. (1911). "Comte, Auguste".  Encyclopædia
Britannica.  6 (edisi ke-11). Cambridge University Press. hlm. 814–822.
2. ^ Atik Catur Budiati (2009). Sosiologi Kontekstual Untuk SMA & MA  (PDF). Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional. hlm. 6. ISBN 978-979-068-219-1. Diarsipkan dari  versi
asli  (PDF) tanggal 2021-01-22. Diakses tanggal  2020-11-03.

Metodologi merupakan isu utama yang di bawa positivisme yang memang dapat dikatakan bahwa
refleksi filsafatnya sangat menitiberatkan pada aspek ini. Metodologi Positivisme berkaitan erat dengan
pandangannya tentang objek positif. Jika metodologi bisa di artikan suatu cara untuk memperoleh
pengetahuan yang sahih tentang kenyataan , maka kenyataan yg dimaksud adalah objek positif.

Objek positif sebagaimana dimaksud Comte dapat di pahami dengan membuat beberapa distingsi atau
antinomi, yaitu : antara yang nyata dan yang khayal ; yang pasti  dan yang meragugan ; yang tepat dan
yang kabur ; yang berguna dan yang sia-sia . yang kemudian antinomi – antinomi tersebut
diterjemahkan kedalam  norma-norma metodologis sebagai berikut :

1.    Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa kepastian (sense of certainty) pengamatan sistematis
yang terjamin secara intersubjektif.

2.               Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa kepastian, kesahihan pengetahuan ilmiah
dijamin oleh kesatuan metode.

3.        Ketepatan pengetahuan kita dijamin hanya oleh bangunan teori-teori yang secara formal kokoh
mengikuti  deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai hukum.

4.                Pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara teknis atas proses-proses alam maupun
sosial.

5.            Pengetahuan kita peda prinsipnya tak pernah selesai dan relatif, sesuai dengan sifat relatif dan
semangat positif.

Atas dasar pandangan di atas, menurut Comte metode penelitian yang harus di gunakan dalam proses
keilmuan adalah : observasi, eksperimental, kemudian komparasi. Yang terakhir ini digunakan, terutama
untuk melihat hal-hal yang lebih komplek, seperti biologis dan sosiologis.
         Sir
Karl Raymund Popper (28 Juli 1902 – 17 September 1994) merupakan seorang filsuf dan
profesor asal Vienna dan Inggris.[1] Dia juga disebut sebagai filsuf terbesar abad 20 dibidang filsafat
ilmu.[2]
Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi sebagai lawan dari verifikasionisme dan induktivisme
klasik dalam metode ilmiah. Falsifikasionime mengatakan bahwa suatu teori ilmiah tidaklah terbukti
keilmiahannya hanya dengan pembuktian saja, tapi harus diusahakan mencari kesalahan dari teori
tersebut sampai kemudian teori tersebut bisa difalisfikasi. Apabila teori tersebut tidak berhasil di
falsifikasi maka teori tersebut tidak teruji keilmiahannya. Popper juga dikenal sebagai penentang
besar aspek justifikasionisme dalam studi ilmiah yang dilakukan para induktivis. Ia memahami
bahwa keseluruhan studi ilmiah tidak semestinya dicapai dengan justifikasi, melainkan rasionalisme
kritis.[3]
Sebagaimana disebutkan dalam uraian pendahuluan di atas bahwa meski Popper banyak berkenalan
dengan gagasan-gagasan para filosuf yang tergabung di lingkaran Wina atau kaum positivism logis,
namun ia tidak sependapat dengan gagasan mereka dalam bidang keilmuan terutama terkait dengan
tiga ide utama, yakni masalah induksi, demarkasi, dan dunia ketiga (Muslih, 2005 : 105). Dalam masalah
induksi, Popper tidak sependapat dengan 450 | Komarudin, Falsifikasi Karl Popper dan ......… penerapan
keabsahan generalisasi yang didasarkan pada prinsip induksi (Popper, 2008 : 4). Misalnya, “Apabila
sejumlah besar A telah diobservasi pada variasi kondisi yang luas, dan apabila semua A yang diobservasi
tanpa kecuali memiliki sifat B, maka semua A memiliki sifat B” (Chalmers, 1983 : 5). Proses induksi
melalui observasi seperti inilah yang dipandang oleh kaum positivisme logis sebagai prinsip
pembentukan ilmu atau pengetahuan. Proses induksi ini pula yang dijadikan untuk menciptakan hukum
umum dan mutlak berdasarkan kriteria kebermaknaan (meaningfull) dan ketidakbermaknaan
(meaningless). Bagi kaum positivisme logis kebenaran suatu teori umum dapat ditentukan dan
dibuktikan melalui prinsip verifikasi, yakni ditentukan kebermaknaan dan ketidakbermaknaannya
berdasarkan kriteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris (Muslih, 2005 : 106). Selanjutnya
proposisi-proposisi ilmu atau pengetahuan tersebut dipandang ilmiah, selain dibangun berdasar prinsip
induksi melalui eksperimen atau observasi, juga jika dipandang memiliki kemampuan untuk menjelaskan
dan meramalkan (Chalmers, 1983 : 5). Suatu pengetahuan adalah ilmiah, misalnya apabila seorang ahli
astronomi dapat meramalkan kapan akan terjadi gerhana bula berikutnya, atau bila seorang ahli fisika
dapat menjelaskan mengapa titik mendidih air ti tempat yang tinggi lebih rendah daripada di tempat
yang normal

Anda mungkin juga menyukai