diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Teori Sosiologi Klasik
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Gurniwan Kamil Pasya, M.Si
disusun oleh:
Ai Kartini Mustiani 1305614
Anisya A mustari 1300001
Ilman Nafian 1303621
Kurniawati Gunardi 1300302
Auguste Comte lahir di Montpellier, Perancis, pada 17 Januari 1798. Bernama asli
Isidore Marie Auguste Farancois Xavier Comte, ia berasal dari keluarga bangsawan
Katholik, tapi kehidupan Auguste Comte tergolong sangat miskin.
Hailbron (dalam George Ritzer dan Goodman 2012: 18) melukiskan Comte
sebagai orang yang pendek (sekitar 5 kaki lebih 2 inci) bermata sedikit juling
dan sangat gelisah dalam pergaulan, terutama di tengah lingkungan wanita. Ia
juga terasing dalam pergaulan bermasyarakat. Fakta ini menjelaskan mengapa
comte menikahi Caroline Massin, yang merupakan pelacur miskin,
perkawinannya berlangsung dari 1825 hingga 1841.
Auguste Comte menempuh pendidikan di Ecole Polytechnique dan mengambil
jursan kedokteran di Montpellier. Comte juga berpengalaman memberi les matematika
dan menjadi murid sekaligus sekretaris Saint Simon yang merupakan seorang filsuf
yang 40 tahun lebih tua dari Comte, selain itu Saint Simon juga merupakan orang yang
berpengaruh dalam kehidupan Auguste Comte, hal ini dikarenakan Saint Simon adalah
orang yang memberikan dorongan dalam studi filsafatnya namun pada tahun 1824
keduanya saling bersengketa, Comte merasa bahwa Saint simon ingin menghilangkan
namanya dari salah satu karya sumbangannya.
Auguste Comte tergolong mahasiswa yang cerdas, namun ia tidak pernah
mendapatkan ijazah perguruan tinggi, hal ini dikarenakan pemikiran gagasan politik dan
melakukan pemberontakan bersama teman sekelasnya, daya ingat Auguste Comte
memang terkenal luar biasa, ia dapat mengingat kata-kata yang tertulis dalam satu
halaman buku yang hanya 1 kali dibaca. Meski ia tak mendapatkan jabatan resmi di
Ecole Polytechnique, ia diberikan jabatan kecil sebagai asisten dosen pada tahun 1832.
Tahun 1837 ia diberi pekerjaan tambahan, hak untuk menguju, dan jabatan inilah yang
memberikannya penghasilan yang memadai hingga pada tahun 1844 jabatan aisiten
dosennya tidak diperpanjang karna ia menyerang Ecole Polytechnique dengan gagasan
filsafatnya.
Comte juga dikenal sebagai sosok emosional dalam persahabatan. Comte juga
kerap terlibat konflik dalam persoalan cinta. Percobaan bunuh diri pun pernah ia
lakukan, hal ini sangat berbanding terbalik dengan keyakinan yang sangat besar
terhadap kapasitas intelektualnya. “August Comtee merupakan orang yang pertamakali
memberikan nama sosiologi pada ilmu yang mengkaji tentang hubungan antar
masyarakat sehingga ia pun dijuluki Bapak Sosiologi” (Soerjono soekanto 1990: 23). Hal
ini dibuktikan dengan tercipta beberapa karya fenomenal yang pokok bahasanya adalah
tentang ilmu sosiologi, antara lain, The scientific Labors Necessary For The
Reganization of Society (1822), Cour de Philosophie Positive pada (1830-1840) terdirI
dari 6 jilid, dalam karyanya tersebut Comte melukiskan sosiologi sebagai ultimate
science, yaitu ilmu pengetahuan yang paling mewah dari ilmu pengetahuan yang
lainnya, selain itu System de Politique Positive (1851) yang terdiri dari 5 jilid, yang berisi
pemikiran yang lebih praktis dan menawarkan rencana besar yang mereorganisasi
masyakat,
Hailbron (dalam George Ritzer dan Goodman 2012: 18) mengemukakan bahwa
pada tahun 1838 comte mendapatkan ganguan mental yang sangat besar
hingga menyebabkan gangguan otak , dimana comte selalu beranggapan selalu
ada orang yang serius hendak merampas karyanya, comte mulai tidak mau
membaca karya orang lain sehingga ia tidak dapat mengikuti perkembangan
intelektual terakhir. Pada tahun 1838 ia mulai membangun gagasan aneh
tentang reformasi sosial yang menemukan pengungkapannya dalam System de
Politique Positive.
Comte berhayal jika ia dapat membuat suatu aliran keagamaan baru, dimana
aliran keagamaan ini terfokus kepada kemanusiaan dan dia menjadi imam besar dalam
aliran tersebut, ia pun yakin bahwa kehidupan didunia ini pada akhirnya akan dipimpin
oleh seorang sosiolog, meskipun gagasan ini sedikit keterlaluan dan tidak masuk akal
namun ada beberapa orang yang mengikuti aliran ini di prancis dan negara-negara lain.
Auguste Comte meninggal pada tanggal 5 september 1857.
e. Agama Humanitas
(Anonim. 2014) Perang yang terus-menerus dan individualism yang berlarut-
larut di zaman postrevolusi di Negri Perancis membuat Comte merasa cemas,
semakinia tua semakin ia menyadari bahwa tingkah laku manusia tidak
berpangkal pada akal budi melainkan berasal dari hatinya.
Hati yang dimaksud merupakan perasaan atau kemauan, kedua unsur ini memainkan
peranan yang menentukan bagi prilaku dan sikap seseorang .”menurut Auguste Comte
pendidikan elektualistis terus-menerus hanya bertujuan untuk menambah ilmu
pengetahuan saja tanpa adanya cinta kasih dan mitivasi menghasilkan intelektualisme
kering dan rasionalisme mandul”. Dalam (Ebook Sosiologi Literatur 2014). Tidak dapat
dipungkiri bahwasanya akal budi memang bertindak sebagai penuntun dan juru
penerang dalam hidup, tetapi akal budi manusia tidak menduduki tempat tertinggi.
Wanita merupan manusia yang memiliki perasaan yang paling halus sehingga dalam
aliran agama humanitas ini Wanita dianggap sacral.
Wanita atau kewanitaan akan disembah sebagai perwujudan kehidupan
perasaan dan sebagai pernyataan yang paling lenkap dari cinta dan altruisme.
Berulangkali Comte mengemukakan bahwa perasaan wanita dan altruisme lebih
tinggi daripada intelek dan egoisme pria menurut nilai sosialnya. Comte dikesankan
oleh kebudayaan abad pertengahan. Bukan tahap evolusi pemikiran manusia yang
mengesankan dia masa itu, melainkan pengintegrasian yang ditonjolkan antara nilai-nilai
rohani dengan nilai-nilai duniawi. Misalnya lembaga keluarga tidak semata-mata
dianggap sebagai lembaga sekuler saja, tetapi dianggap suci dan sakral juga.
Terddorong oleh keyakinan bahwa hati manusia merupakan daya ang terutama, ia
melucuti angkatan bersenjata dari cita sakralnya, dan sebagai gantinya ia memberi
status sakral kepada kaum wanita. Ia meningkatkan status sosial mereka dan
meluhurkan peranan mereka dalam rumah tangga. Ia menentang perceraian. Bunda
Maria, ibu Yesus al Masih, dihormatinya. Melalui hormat kepada Bunda Maria ia
menyatakan hormatnya kepada seluruh ibu.
Dengan demikian harus ditemukan pengganti dewa-dewa lama di dunia yang
baru muncul ini. Agama yang sudah kuno harus diganti dengan “Mahluk Agung” yang
baru yaitu “Kemanusiaan”. Untuk itu, Comte pada tahun 1847 memproklamirkan
terciptanya sebuah agama kemanusiaan , yang disembah sebagai yang Maha Tinggi
bukanklah Allah melainkan humanitas atau manisia, kita harus menivintai humanitas,
namun bukan sembarang orang yang boleh disembah melainkan orang-orang terbaik
yang pernah dihasilkan oleh sejarah dan masih hidup melalui karya dan pengaruh
mereka, kita harus mencibtai kemanusiaan mereka yang abadi sehingga Comte
mengungkapkan bahwa para ilmuwan tidak cukup memiliki inteligensia, namun harus
memiliki cinta dan kasih sayang.
3. Simpulan
August Comte telah memiliki gelar yaitu sebagai bapak Sosiologi, karena
memang beliau ini telah menemukan dan menamakan sosiologi sebagai salah satu ilmu
pengetahuan.
Comte mengemukakan tentang teori evolusi dimana teori ini mengambil ciri khas
manusia, yaitu akal budi sebagai prinsip evolusinya. Selain itu juga ada tahap
perkembangan masyarakat, yang dapat dilihat dari du pendekatan yaitu social dynamic
dan social static.
Dalam social dynamic terdapat beberapa tahapan yang merupakan manusia
intelek. Pertama tahap teologis yakni tahap ini meyakini bahwa segala sesuatu yang
terjadi di dunia ini dikendalikan oleh kekuatan supranatural yang dimiliki oleh para dewa,
roh atau tuhan. Dalam tahap teologis ini terdapat tiga kepercayaan yang dianut
masyarakat, yang pertama fetisysme, kedua politeisme, ketiga monoteisme. Kedua
tahap metafisik, yakni pada tahap ini manusia mengalami pergeseran cara berpikir.
Pada tahap ini, muncul konsep-konsep abstrak atau kekuatan abstrak selain tuhan yakni
alam. Ketiga tahap positivisme, pada tahap ini semua gejala alam atau fenomena yang
terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan peninjauan, pengujian dan dapat
dibuktikan secara empiris.
Sedangkan social static merupakan suatu studi tentang hukum-hukum aksi dan
reaksi dari berbagai bagian di dalam suatu sistem sosial. Dalam sosial static terdapat
empat doktrin, yaitu doktrin tentang individu, keluarga, masyarakat dan negara.
Mengarah pada struktur yang ada dalam masyarakat.
Daftar Pustaka
Buku
Ritzer, George. Dan Douglas J. Godman, (2012). Teori Sosiologi Modern, Jakarta:
Kencana.
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. (2001). Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta:
Prenatal Media Group.
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. (2011). Pengantar Sosiologi. Bandung:
Internet
Lestari, N. dkk. (2013). Makalah Teori Sosiologi Klasik August Comte. [Online]. Tersedia
di: http://gurumudasosiologi.blogspot.co.id/2013/09/makalah-teori-
sosiologi-klasik-auguste.html. Diakses Senin 28 September 2015
Wardani, L. E. (2014). Positivisme August Comte serta Fakta Sosial dan Solidaritas
Sosial Emile Durkheim. [Online] Tersedia di:
http://lauraerawardani.blogspot.co.id/2014/04/positivisme-august-comte-
serta-fakta.html. Diakses Senin 28 September 2015
Diposting oleh sosiator pada 14:52, 08-Nov-14
Di: Sosiologi
1. Social statics
2. Social Dynamics
b. Positivisme
2.3. Metodologi
[2] Soerjono, Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo.1990. Hal: 35
Kompasnia 2015
Auguste Comte merupakan filosof dan warga negara Perancis yang hidup di abad
ke-19 setelah revolusi Perancis yang terkenal itu. Ia lahir di Montpellier,
Perancis, pada tanggal 19 Januari 1798. Ia belajar di sekolah Politeknik di Paris,
tetapi ia dikeluarkan karena ia seorang pendukung Republik, sedangkan
sekolahnya justru royalistis. Auguste Comte menerima dan mengalami secara
langsung akibat-akibat negatif secara langsung revolusi tersebut khususnya
dibidang sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan. Pengalaman pahit yang dilalui
dan dialaminya secara langsung bersama bangsanya itu, memotivaisi dirinya
untuk memberikan alternatif dan solusi ilmiah-filosofis dengan mengembangkan
epistemologi dan metodologi sebagaimana buah pikirannya itu tercermin di
dalam aliran Positivisme. Aliran ini menjadi berkembang dengan subur karena
didukung oleh para elit-ilmiah dan maraknya era industrialisasi saat itu. Comte
bukanlah orang yang menyukai hal-hal yang berbau matematika, tetapi lebih care
pada masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Bersama dengan Henry de'Saint
Simon. Comte mencoba mengadakan kajian problem-problem sosial yang
diakibatkan industrialisasi. Karena ketekunan dan kepiawaiannya dalam bidang-
bidang sosial menjadikan Comte sebagai bapak sosiologi. Meskipun Comte tidak
menguraikan secara lebih rinci masalah apa yang menjadi obyek sosiologi, tetapi
ia mempunyai asumsi bahwa sosiologi terdiri dari dua hal, yaitu sosial statis dan
sosial dinamis. Menurut Comte, sebagai sosial statis sosiologi merupakan sebuah
ilmu pengetahuan yang mempelajari timbal balik antara lembaga
kemasyarakatan. Sedangkan sosial dinamis melihat bagaimana lembaga-lembaga
tersebut berkembang.
Dasar pemikiran Comte diperoleh secara inspiratif dari Saint Simon, Charles
Lyell, dan Charles Darwin. Selain dari itu, pemikiran Herbert Spencer mengenai
"hukum perkembangan" juga mempengaruhi pemikirannya. Kata "rasional" bagi
Comte terkait dengan masalah yang bersifat empirik dan positif yakni
pengetahuan riil yang diperoleh melalui observasi (pengalaman indrawi),
eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif diperoleh hukum yang
sifatnya umum sampai kepada suatu teori. Karena itulah maka bagi positivisme,
tuntutan utama adalah pengetahuan faktual yang dialami oleh subjek, sehingga
kata rasional bagi Comte menunjuk peran utama dan penting rasio untuk
mengolah fakta menjadi pengalaman. Berdasarkan atas pemikiran yang demikian
itu, maka sebagai konsekuensinya metode yang dipakai adalah "Induktif-
verifikatif". Auguste Comte meninggal pada tahun 1857 dengan meninggalkan
karya-karya seperti Cours de Philosophie Possitive, The Sistem of Possitive
Polity, The Scientific Labors Necessary for Recognition of Society, dan Subjective
Synthesis.
Auguste Comte & Hukum Tiga Tahap
Di antara karya-karyanya Auguste Comte, Cours de Philosphie Possitive dapat
dikatakan sebagai masterpiece-nya, karena karya itulah yang paling pokok dan
sistematis. Buku ini dapat juga dikatakan sebagai representasi bentangan
aktualisasi dari yang di dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan
perkembangan manusia. Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung
dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua, tahap metafisik, ketiga, tahap
positif. 1. Tahap Teologis Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa
dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur
fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai
makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang
percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-
makhluk selain insani. Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama,
tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa
segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan
kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan
adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-
gejala memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme). Gejala-gejala "suci" dapat
disebut "dewa-dewa", dan "dewa-dewa" ini dapat diatur dalam suatu sistem,
sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan,
dewa angin, dan seterusnya. Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap
ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi
(esa), yaitu dalam monotheisme. Singkatnya, pada tahap ini manusia
mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di
sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya,
di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu. 2. Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan
ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di
dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak,
dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian
dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam.
Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat
bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep "alam", sebagai
asal mula semua gejala.
1.
2. Tahap Positif
Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai
pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun
metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam
semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari "segala sesuatu" yang berada
di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum
kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya,
yaitu dengan "pengamatan" dan dengan "memakai akalnya". Pada tahap ini
pengertian "menerangkan" berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan
suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah
menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum. Bagi
comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani
seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan.
Dalam hal ini, comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula
dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan
pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga
tahapan perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa
atau suku tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu penget Lebih jauh Comte
berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia
yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat
dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan
perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongrit. Dengan demikian, maka ada
kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu
pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh
mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif.
Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam
metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
Demikianlah pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga tahapnya, yang pada
intinya menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa
melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah. Dalam hal ini
Auguste Comte memberikan analog; manusia muda atau suku-suku primitif pada
tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk "menerangkan"
kenyataan. Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak
dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif
dan ilmiah.
Positivisme Auguste Comte
Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir pada
abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan
dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi tititk tolak dari
pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan
positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan "positif"
adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-
pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur
sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa
depan. Sebenarnya, tokoh-tokoh aliran ini sangat banyak. Namun begitu, Auguste
Comte dapat dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran filsafat
Positivisme. Menurut Comte, dan juga para penganut aliran positivisme, ilmu
pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak
metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang
sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan
dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat
antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-
hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Dengan model pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba
mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal
ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang
memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya
dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang
bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme. Selanjutnya, karena agama
(Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka agama
tidak mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat bahwa suatu pernyataan
dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah
pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris. Contoh
misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Model pemikiran ini dalam
epistemologi disebut dengan teori Korespondensi. Keberadaan (existence)
sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus
bagi Positivisme Comte, yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan
makna yang terkandung di dalam kata "positif". Kata nyata (riil) dalam kaitannya
dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat
dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau
oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah, sedangkan sebaliknya yang tidak
dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah.
Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya
nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan, dan nantinya berujung kepada penataan
atau penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa
pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber
dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan
bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi. Dari
model pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi
antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalah veriviable,
dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau tidak
(meaningful dan meaningless), ia melakukan verifikasi terhadap suatu gejala
dengan gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud.
Dan sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-
Verivikatif, yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat
khusus ke umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga
menggunakan pola operasional metodologis dalam bentuk observasi,
eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif Singkatnya, filsafat
Comte merupakan filsafat yang anti-metafisis, dimana dia hanya menerima
fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua
pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang
terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak),
artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara
gejala-gejala, agar supaya dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi. Filsafat
positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa
pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak
mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan
pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara "terisolasi", dalam arti harus
dikaitkan dengan suatu teori. Dengan demikian positivisme menolak keberadaan
segala kekuatan atau subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di
luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri
abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan
universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-
lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui
eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai
oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value). Apabila
dikaitkan dengan ilmu sosial budaya, positivisme Auguste Comte berpendapat
bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu
sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-
generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur serta metode
penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam
dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya. Sebagai akibat dari
pandangan tersebut, maka ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan
explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-
generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali
menegasikan adanya "contra-mainstream". Manusia, masyarakat, dan
kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis. Demikianlah beberapa
pemikiran Auguste Comte tentang tiga tahapan perkembangan manusia dan juga
bagaimana positivisme Auguste Comte memandang sumber ilmu pengetahuan.
Kritik Pemikiran
Positivisme Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban
dan pemikiran manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik. Pada
tahap teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada tahap
metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada tahap
positivistik manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada
tahap ketiga itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman
positivistik yang bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora
baru dapat dikatakan sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan
metode positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri, pendewaan terhadap aspek
metodologis. Selain itu, model filsafat positivisme-nya Auguste Comte tampak
begitu mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolok ukur
"kebenaran". Sebenarnya "kebenaran" sebagai masalah pokok pengetahuan
manusia adalah bukan sepebuhnya milik manusia. Akan tetapi hanya merupakan
kewajiban manusia untuk berusaha menghampiri dan mendekatinya dengan "cara
tertentu". Kata cara tertentu merujuk pada pemikiran Karl Popper mengenai
"kebenaran" dan sumber diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan tangkapan
manusia terhadap objek melalui rasio (akal) dan pengalamannya, namun selalu
bersifat tentatif. Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni harus
dihadapkan kepada suatu pengujian yang ketat dan gawat (crucial-test) dengan
cara pengujian "trial and error" (proses penyisihan terhadap kesalahan atau
kekeliruan) sehingga "kebenaran" se1alu dibuktikan melalui jalur konjektur dan
refutasi dengan tetap konsisten berdiri di atas landasan pemikiran Rasionalisme-
kritis dan Empirisme-kritis. Atau dengan meminjam dialektika-nya Hegel, sebuah
"kebenaran" akan selalu mengalami proses tesis, sintesis, dan anti tesis, dan
begitu seterusnya. Pandangan mengenai "kebenaran" yang demikian itu bukan
berarti mengisyaratkan bahwa Penulis tergolong penganut Relativisme, karena
menurut hemat Penulis, Relativisme sama sekali tidak mengakui "kebenaran"
sebagai milik dan tangkapan manusia terhadap suatu objek. Penulis berkeyakinan
bahwa manusia mampu menangkap dan menyimpan "kebenaran" sebagaimana
yang diinginkannya serta menggunakannya, namun bagi manusia, "kebenaran"
selalu bersifat sementara karena harus selalu terbuka untuk dihadapkan dengan
pengujian (falsifikasi). Dan bukanlah verifikasi seperti apa yang diyakini oleh
Auguste Comte. Hal demikian karena suatu teori, hukum ilmiah atau hipotesis
tidak dapat diteguhkan (diverifikasikan) secara positif, melainkan dapat disangkal
(difalsifikasikan) Jelasnya, untuk menentukan "kebenaran" itu bukan perlakuan
verifikasi melainkan melalui proses falsifikasi dimana data-data yang telah
diobservasi, dieksperimentasi, dikomparasi dan di generalisasi-induktif berhenti
sampai di situ karena telah dianggap benar dan baku (positif), melainkan harus
dihadapkan dengan pengujian baru.