Anda di halaman 1dari 24

AUGUSTE COMTE

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Teori Sosiologi Klasik
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Gurniwan Kamil Pasya, M.Si

disusun oleh:
Ai Kartini Mustiani 1305614
Anisya A mustari 1300001
Ilman Nafian 1303621
Kurniawati Gunardi 1300302

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2015
1. Pengantar

Auguste Comte lahir di Montpellier, Perancis, pada 17 Januari 1798. Bernama asli
Isidore Marie Auguste Farancois Xavier Comte, ia berasal dari keluarga bangsawan
Katholik, tapi kehidupan Auguste Comte tergolong sangat miskin.
Hailbron (dalam George Ritzer dan Goodman 2012: 18) melukiskan Comte
sebagai orang yang pendek (sekitar 5 kaki lebih 2 inci) bermata sedikit juling
dan sangat gelisah dalam pergaulan, terutama di tengah lingkungan wanita. Ia
juga terasing dalam pergaulan bermasyarakat. Fakta ini menjelaskan mengapa
comte menikahi Caroline Massin, yang merupakan pelacur miskin,
perkawinannya berlangsung dari 1825 hingga 1841.
Auguste Comte menempuh pendidikan di Ecole Polytechnique dan mengambil
jursan kedokteran di Montpellier. Comte juga berpengalaman memberi les matematika
dan menjadi murid sekaligus sekretaris Saint Simon yang merupakan seorang filsuf
yang 40 tahun lebih tua dari Comte, selain itu Saint Simon juga merupakan orang yang
berpengaruh dalam kehidupan Auguste Comte, hal ini dikarenakan Saint Simon adalah
orang yang memberikan dorongan dalam studi filsafatnya namun pada tahun 1824
keduanya saling bersengketa, Comte merasa bahwa Saint simon ingin menghilangkan
namanya dari salah satu karya sumbangannya.
Auguste Comte tergolong mahasiswa yang cerdas, namun ia tidak pernah
mendapatkan ijazah perguruan tinggi, hal ini dikarenakan pemikiran gagasan politik dan
melakukan pemberontakan bersama teman sekelasnya, daya ingat Auguste Comte
memang terkenal luar biasa, ia dapat mengingat kata-kata yang tertulis dalam satu
halaman buku yang hanya 1 kali dibaca. Meski ia tak mendapatkan jabatan resmi di
Ecole Polytechnique, ia diberikan jabatan kecil sebagai asisten dosen pada tahun 1832.
Tahun 1837 ia diberi pekerjaan tambahan, hak untuk menguju, dan jabatan inilah yang
memberikannya penghasilan yang memadai hingga pada tahun 1844 jabatan aisiten
dosennya tidak diperpanjang karna ia menyerang Ecole Polytechnique dengan gagasan
filsafatnya.
Comte juga dikenal sebagai sosok emosional dalam persahabatan. Comte juga
kerap terlibat konflik dalam persoalan cinta. Percobaan bunuh diri pun pernah ia
lakukan, hal ini sangat berbanding terbalik dengan keyakinan yang sangat besar
terhadap kapasitas intelektualnya. “August Comtee merupakan orang yang pertamakali
memberikan nama sosiologi pada ilmu yang mengkaji tentang hubungan antar
masyarakat sehingga ia pun dijuluki Bapak Sosiologi” (Soerjono soekanto 1990: 23). Hal
ini dibuktikan dengan tercipta beberapa karya fenomenal yang pokok bahasanya adalah
tentang ilmu sosiologi, antara lain, The scientific Labors Necessary For The
Reganization of Society (1822), Cour de Philosophie Positive pada (1830-1840) terdirI
dari 6 jilid, dalam karyanya tersebut Comte melukiskan sosiologi sebagai ultimate
science, yaitu ilmu pengetahuan yang paling mewah dari ilmu pengetahuan yang
lainnya, selain itu System de Politique Positive (1851) yang terdiri dari 5 jilid, yang berisi
pemikiran yang lebih praktis dan menawarkan rencana besar yang mereorganisasi
masyakat,
Hailbron (dalam George Ritzer dan Goodman 2012: 18) mengemukakan bahwa
pada tahun 1838 comte mendapatkan ganguan mental yang sangat besar
hingga menyebabkan gangguan otak , dimana comte selalu beranggapan selalu
ada orang yang serius hendak merampas karyanya, comte mulai tidak mau
membaca karya orang lain sehingga ia tidak dapat mengikuti perkembangan
intelektual terakhir. Pada tahun 1838 ia mulai membangun gagasan aneh
tentang reformasi sosial yang menemukan pengungkapannya dalam System de
Politique Positive.

Comte berhayal jika ia dapat membuat suatu aliran keagamaan baru, dimana
aliran keagamaan ini terfokus kepada kemanusiaan dan dia menjadi imam besar dalam
aliran tersebut, ia pun yakin bahwa kehidupan didunia ini pada akhirnya akan dipimpin
oleh seorang sosiolog, meskipun gagasan ini sedikit keterlaluan dan tidak masuk akal
namun ada beberapa orang yang mengikuti aliran ini di prancis dan negara-negara lain.
Auguste Comte meninggal pada tanggal 5 september 1857.

2. Latar Belakang Pemikiran Auguste Comte


Untuk dapat memahami pemikiran-pemikiran sintetis Comte, tentunya kita harus
memahami atau mengetahui latar belakang dari pemikiran Comte ini. Ada beberapa
sumber penting yang menjadi latar belakang yang menentukan jalan pemikiran August
Comte yaitu:
a. Revolusi Perancis
Revolusi Perancis menimbulkan krisis sosial yang maha hebat dimasa itu.
Sebagai seorang ahli pikir, Comte berusaha untuk memahami krisis yang sedang terjadi
tersebut. Ia berpendapat bahwa manusia tidak dapat keluar dari krisis sosial yang terjadi
itu tanpa melalui pedoman-pedoman berpikir yang bersifat scientifik.
b. Aliran Reaksioner
Aliran Reaksiner ini lahir dari para ahli pikir Thoecratic terutama yang bernama
De Maistre dan De Bonald. Aliran reaksioner dalam pemikiran Katolik Roma adalah
aliran yang menganggap bahwa abad pertengahan kekuasaan gereja sangat besar,
adalah periode organis, yaitu suatu periode yang secara paling baik dapat memecahkan
berbagai masalah-masalah sosial.
c. Lahirnya Aliran yang dikembangkan oleh Para Pemikir Sosialistik
Comte telah membangun hubungan yang sangat erat dengan Sain–Simont dan
juga dengan para ahli pikir sosialis Prancis lainnya. Comte di satu pihak akan
membangun pengetahuan sosial dan dipihak lain akan membangun kehidupan ilmu
pengetahuan sosial yang bersifat scientific. Sebenarnya Comte memiliki sifat tersendiri
terhadap aliran ini, tetapi sekalipun demikian dasar–dasar aliran masih tetap dianutnya
terutama pemikiran mengenai pentingnya suatu pengawasan kolektif terhadap
masyarakat, dan mendasarkan pengawasan tersebut didalam suatu dasar yang bersifat
scientific.
(Lestari, dkk. 2013) Comte adalah penyumbang terbesar untuk membangun
sosiologi sebagai suatu ilmu serta Comte menguraikan metode–metode berpikir
ilmiah yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak lebih
dari pada suatu perluasan metode yang sangat sederhana dari akal sehat,
terhadap semua fakta–fakta yang tunduk kepada akal pikiran manusia.

Teori yang Dikemukakan oleh Auguste Comte


a Positivisme
Bagi kalangan awam kata ’positif’ lebih mudah dimaknai sebagai ’baik’ dan
’berguna’ sebagai antonim dari kata negatif. Pemahaman awam ini bukannya tanpa
dasar, karena jika kita membaca misalnya, kamus saku Oxford kita akan menemukan
’baik’ dan ’berguna’ dalam daftar makna untuk kata positive. Dalam konteks
epistemologi, kata positive, yang pertama kali digunakan Auguste Comte, berperan vital
dalam ”mengafirkan” filsafat dan sains di Barat, dengan memisahkan keduanya dari
unsur agama dan metafisis, yang dalam kasus Comte berarti mengingkari hal-hal non-
inderawi.
(Wardani, L. E. 2014) Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang
meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan
pada pengalaman aktual-fisikal yang dihasilkan melalui penetapan teori-teori
melalui metode saintifik yang ketat, oleh karenanya spekulasi metafisis harus
dihindari.
Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang tertuang
dalam karya utamanya Cours de Philosophic Positive (1830-1842) yang diterbitkan
dalam enam jilid. Selain itu, karya lainnya yakni Systeme de politique positive yang
masing – masing mewakili tahapan tertentu dalam jalan pemikirannya.
Dalam kaitannya (positivisme) tentang masyarakat, Comte meyakini bahwa
masyarakat merupakan bagian dari alam, maka untuk memperoleh pengetahuan
tentang masyarakat menuntut pengetahuan metode-metode penelitian empiris dari ilmu-
ilmu alam lainnya. Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat
alamiah sebagai puncak suatu proses kemajuan intlektual yang logis yang telah dilewati
oleh ilmu-ilmu lainnya. Kemajuan ini mencakup perkembangan dari bentuk-bentuk
pemikiran teologi purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya sampai terbentuknya
hukum-hukum ilmiah yang positif.
Melihat kepada perkembangan ilmu alam (natural science) yang dengan
penyelidikannya atas prilaku alam, lalu dapat menemukan hukum-hukum tetap yang
dapat berlaku pada alam (hukum alam), Comte kemudian melakukan copy-paste
metodologi ilmu alam tersebut untuk digunakan menyelidiki prilaku sosial, dengan
begitu, menurut keyakinannya akan ditemukan hukum-hukum tetap yang berlaku
general pada masyarakat (hukum sosial).
Comte memulai pekerjaannya tersebut dengan melakukan refleksi mendalam
terkait sejarah perkembangan alam pikir manusia. Ia kemudian mendapati bahwa
sejarah perkembangan alam pikir manusia terdiri dari tiga tahap, yaitu teologik, metafisik
dan positif, yang akan di jelaskan pada bahagian berikutnya. Dari ketiga tahapan
tersebut, tahap positif merupakan babak terakhir dimana pada tahapan itu manusia telah
memasuki peradaban yang positif. Selanjutnya, Comte membuat norma-norma ilmiah
yang disebut metodologi ilmiah.
Comte dengan beberapa filosof Perancis lainnya membuat barisan kontra
revolusioner yang bersifat kritis pada objek pencegahan berikut ini merupakan pemikiran
Auguste Comte dalam kajian epistimologis, ontology dan aksiologi:

1) Kajian aspek etimologogis Auguste Comte


Comte melakukan penelitian-penelitian atas penjelasan-penjelasan yang perlu
dirombak karena tidak sesuai dengan kaidah keilmiahan Comte tetapi, layaknya filsuf
lainnya, Comte selalu melakukan kontemplasi juga guna mendapatkan argumentasi-
argumentasi yang menurutnya ilmiah. Dan, dari sini Comte mulai mengeluarkan
argumentasinya tentang ilmu pengetahuan positif pada saat berdiskusi dengan kaum
intelektual lainnya sekaligus melakukan uji coba argumentasi atas mazhab yang sedang
dikumandangkannya dengan gencar yaitu Positivisme.
Comte sendiri menciptakan kaidah ilmu pengetahuan baru ini bersandarkan
pada teori-teori yang dikembangkan oleh Condorcet, De Bonald, Rousseau dan
Plato, Comte memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan yang
lebih dulu timbul. Pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya bukan hanya berguna,
tetapi merupakan suatu keharusan untuk diterima karena ilmu pengetahuan kekinian
selalu bertumpu pada ilmu pengetahuan sebelumnya dalam sistem klasifikasinya.
Asumsi-asumsi ilmu pengetahuan positif itu sendiri, antara lain : Pertama, ilmu
pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai dan netral) seorang ilmuwan tidak boleh
dipengaruhi oleh emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang
sedang diteliti. Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang
berulang kali. Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti tentang fenomena atau kejadian alam
dari mutualisme simbiosis dan antar relasinya dengan fenomena yang lain.
2) Kajian aspek ontologi pemikiran Comte.
Tiga hal yang menjadi ciri pengetahuan yang dibangun, yaitu,
a) Membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan,
b) Mengumpulkan dan mengklasifikasikan gejala itu menurut hukum yang
menguasai mereka
c) Memprediksikan fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan hukum-
hukum itu dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat.
Dalam pengembangannya keyakinan Comte ini dinamakannyapositivisme.
Positivisme sendiri adalah faham filsafat, yang cenderung untuk membatasi
pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai
metoda ilmu pengetahuan. Disini Comte berusaha mengembangan kehidupan manusia
dengan menciptakan sejarah baru, merubah pemikiran-pemikiran yang sudah
membudaya, tumbuh dan berkembang pada masa sebelum Comte hadir. Comte
mencoba dengan keahlian berpikirnya untuk mendekonstruksi pemikiran yang sifatnya
abstrak (teologis) maupun pemikiran yang pada penjalasan-penjelasannya
spekulatif (metafisika).

3) Kajian aspek aksiologi pemikiran Comte


Comte percaya bahwa humanitas keseluruhan dapat tercipta dengan kesatuan
lingkungan social yang terkecil, yaitu keluarga. Keluarga-keluarga merupakan satuan
masyarakat yang asasi bagi Comte. Keluarga yang mengenalkan pada lingkungan
social, pentingnya keakraban menyatukan dan mempererat anggota keluarga yang satu
dengan keluarga yang lain. Dalam diri manusia memiliki kecendrungan terhadap dua
hal, yaitu egoisme dan altruisma (sifat peribadi yang didasarkan pada kepentingan
bersama). Kecenderungan pertama terus melemah secara bertahap, sedang yang
kedua makin bertambah kuat. Sehingga manusia makin memiliki sosialitas yang
beradab, akibat bekerja bersama sesuai pembagian kerja berdasarkan pengalaman
adanya pertautan kekeluargaan yang mengembang. Tidak dapat dikatakan tidak ini juga
karena adanya sosialisasi keluarga terhadap keluarga lainnya.
Comte menganggap keluargalah yang menjadi sumber keteraturan sosial, dimana nilai-
nilai kultural pada keluarga (kepatuhan) yang disinkronisasikan dengan pembagian kerja
akan selalu mendapat tuntutan kerja sama. Tuntutan kerjasama berarti saling
menguntungkan, menumbuhkan persamaan dalam mencapai suatu kebutuhan. Menurut
Comte mencintai kemanusian, inilah yang menyebabkan lahirnya keseimbangan dan
keintegrasian baik dalam pribadi individu maupun dalam masyarakat. Bagi Comte untuk
menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak
dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
a) Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
b) Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
c) Metode ini berusaha ke arah kepastian
d) Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan,
perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan
dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk
mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.

b. Kritik Pemikiran Positivisme


(Wardani, L. E. 2014) Positivisme dikritik karena generalisasi yang dilakukannya
terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua ”proses dapat
direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, kimia dan proses-proses
sosial dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan
bahwa ”organisme biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika”.
Kritik ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan
realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung status
quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara sistematis gagal memahami
bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam
realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi
secara sosial. Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas
sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas
sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang
yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti. Kritik kedua menunjuk
positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter konservatif.
Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik tertentu.

c. Teori Evolusi (Hukum Tiga Tahap)


Veeger (dalam Nasir 2009: 3) menjelaskan bahwa “Augute Comte
mengemukakan teori evolusinya dengan mengambil ciri khas manusia, yaitu akal budi
sebagai prinsip evolusinya”. Akal budi menurut comte dikekang oleh suatu hukum atau
daya gerak evolusioner dari dalam diri manusia secara bertahap menyebabkan umat
manusia mula-mula berfikir konkrit dan partikular, lantas berfikir abstrak dan umum, dan
akhirnya berpikir positif serta empiris.
Sumbangan pemikirannya yang mendorong kemajuan perkembangan
sosiologi terkenal dengan istilah hukum kemajuan manusia atau hukum tiga tahap.
Auguste Comte (dalam Elly M. Setiady dan Usman Kolip 2011: 11) memaparkan bahwa
manusia akan melewati tiga tahap, yaitu:
1) Jenjang teologis, artinya segala sesuatu dijelaskan dengan menggacu
pada hal-hal yang bersifat adikodrati (kodrat yang bersifat ilahiah).
2) Metafisik, artinya di tahap ini manusia memahami sesuatu dengan
mebgacu pada kekuatan-kekuatan metafisik (hal-hal yang berada di luar
kemampuan akal pikirannya) atau hal-hal yang bersifat abstrak.
3) Jenjang Positif, artinya gejala alam dan gejala sosial dijelaskan secara
deskriptif ilmiah (jenjang ilmiah)

Kehidupan sosial itu menurut comte mencerminkan ketiga tahap diatas.


Misalnya di zaman orang masih berfikir konkrit, partikurar, dan bukan disiplin rasional,
maka magic, takhyul dan agama, memainkan peranan utama dalam masyarakat. Rakyat
mengenakan kesaktian dan adi daya manusia secara mutlak pada pemimpin mereka
yang berkuasa. Sedangkan di masa pemikiran empiris, teknologi dan ilmu pengetahuan
mengambil alih peran magic, dan rakyat mengganggap diri berwenang dan berkuasa.
Menurut Comte, agama di zaman pemikiran empiris merupakan sesuatu anakronisme
atau peninggalan dari suatu zaman yang telah lewat dan mestinya diganti. Patung-
patung di gereja atau klenteng mestinya memberi tempat kepada lambang-lambang
negara. Hari-hari raya keagamaan mestinya ditukar dengan hari-hari raya sipil. Ibadat
agama mestinya menjadi upacara bendera, pawai politik dan sebagainya. Hidup yang
diresapi nilai-nilai sakral mestinya menjadi profan atau sekular melulu.

Kelemahan Auguste Comte dalam teori diatas, adalah menganggap agama,


filsafat, magic, harus ditinjau kembali, diubah, disesuaikan, dan dilengkapi pemikiran
bebas di bawah kekangan hukum evolusi. Gagasan Comte tersebut membuktikan
bahwa ia yang menjadi korban dari teorinya sendiri. Meski evolusi mengakui bahwa
mereka selalu meninggalkan pendahulu-pendahulunya, seperti anak kecil yang
berkembang menjadi dewasa dan meninggalkan ciri-ciri masa kanak-kanak, namun
agama dari zaman manusia masih berfikir konkritatau filsafat dari zaman manusia
berfikir absrak, bukan hanya merupakan produk evolusi semata tetapi juga karena
adanya pemikiran bebas.

d. Sosiologi Dinamika dan Sosiologi Statistika


Comtee mengatakan bahwa sosiologi menempati peringkat teratas di dalam
tingkatan ilmu-ilmu sosial. Ia membagi sosiologi dalam dua kelompok besar yaitu,
statistika sosial mewakili stabilitas dan kemantapan, dan dinamika sosial yang mewakili
perubahan.
1) Sosiologi Dinamika
(Soekanto 2005:34) Sosiologi dinamik adalah teori tentang perkembangan
manusia. “perkembangan ini menggambarkan cara-cara pokok dalam
perkembangan manusia, terdiri dari tingkat inteligensia yang rendah ke tingkat
yang lebih tinggi sehingg berkembang menuju suatu kesempurnaan”.
Comte tidak membicarakan tentang asal usul manusia karena itu berada di luar batas
ruang lingkup ilmu pengetahuan. Karena ajaran filsafat positif yang diajukannya
mengatakan bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah dapat dibuktikan dalam
kenyataan. Dia berpendapat bahwa di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang
terus menerus, sekalipun dia juga menambahkan bahwa perkembangan umum dari
masyarakat tidak merupakan jalan lurus.
Ada banyak hal yang mengganggu perkembangan suatu masyarakat seperti
faktor ras manusia sendiri, faktor iklim dan faktor tindakan politik. Comte berpendapat
bahwa jawaban tentang perkembangan sosial harus dicari dari karakteristik yang
membedakan antara manusia dengan binatang. Menurut Comte, yang membedakan
manusia dengan binatang adalah perkembangan inteligensi manusia yang lebih tinggi.
Comte mengajukan hukum tentang 3 tingkatan inteligensi manusia, yaitu pemikiran yang
bersifat theologis atau fictious, metaphisik atau abstrak, scientific atau positive. Sjarah
umat manusia sebenarnya ditentukan oleh pertumbuhan dari pemikiran manusia, hukum
tertinggi dari sosiologi haruslah hukum tentang perkembangan inteligensi manusia.
a) The law of the hierarchie of the sciencies (hierarki dari ilmu pengetahuan)
Di dalam menyusun susunan ilmu pengetahuan, Comte menyadarkan diri
kepada tingkat perkembangan pemikiran manusia dengan segala tingkah laku yang
terdapat didalamnya. Sehingga sering kali terjadi didalam pemikiran manusia, kita
menemukan suatu tingkat pemikiran yang bersifat scientific. Sekaligus pemikiran yang
bersifat theologies didalam melihat gejala-gejala atau kenyataan-kenyataan.
b) The Law of the correlation of practical activities
Comte yakin bahwa ada hubungan yang bersifat natural antara cara berfikir
yang teologis dengan militerisme. Cara berfikir teologis mendorong timbulnya usaha-
usaha untuk menjawab semua persoalan melalui kekuatan (force). Karena itu,
kekuasaan dan kemenangan selalu menjadi tujuan daripada masyarakat primitif dalam
hubungan satu sama lain. Pada tahap yang bersifat metafisis, prinsip-prinsip hukum
(khususnya hukum alam) menjadi dasar daripada organisasi kemasyarakatan dan
hubungan antara manusia. Tahap metafisis yang bersifat legalistic demikian ini
merupakan tahap transisi menuju ke tahap yang bersifat positif.
c) The Law of the correlation of the feelings
Comte menganggap bahwa masyarakat hanya dapat dipersatukan oleh feelings.
Demikianlah, bahwa sejarah telah memperlihatkan adanya korelasi antara
perkembangan pemikiran manusia dengan perkembangan dari sentimen sosial. Di
dalam tahap yang teologis, sentimen sosial dan rasa simpati hanya terbatas dalam
masyarakat lokal. Tetapi dalam abad pertengahan, sosial sentimen berkembang
semakin meluas seiring dengan perkembangan agama Kristen. Abad pertengahan
adalah abad yang oleh Comte dianggap sebagai abad dalam tahap metafisis. Tetapi
dalam tahap yang positif/ scientific, social simpati berkembang menjadi semakin
universal. Comte yakin bahwa sikap positif dan scientific pikiraan manusia akan mampu
memperkembangkan semangat alturistis (rasa mengahargai orang yang lebih tinggi) dan
menguniversilkan perasaan sosial (social simpati).
d) The law of three stages (hukum tiga tahap)
Comte berpendapat bahwa di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang
terus-menerus, namun perkembangan umum dari masyarakat tidak terus-menerus
berjalan lurus. Ada banyak hal yang mengganggu perkambangan suatu masyarakat
seperti faktor ras, iklim, dan tindakan politik. Comte berpendapat jawaban tentang
perkembangan sosial harus dicari dari karakteristik yang membedakan manusia dan
binatang yaitu perkembangan inteligensinya. Comte mengajukan tentang tiga tingkatan
inteligensi manusia, yakni teori evolusi atau yang biasa disebut hukum tiga tahap yaitu:
2) Sosiologi Statik
(Soekanto 1990: 33) Sosiologi statik memusatkan perhatian pada hukum-
hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat. “social statics merupakan
semacam anatomi sosial yang mempelajari aksi-aksi dan reaksi timbal balik dari
system-sistem sosial”.
Comte membagi sosiologi kedalam dua bagian yang memiliki kedudukan yang tidak
sama. Sekalipun social statics adalah bagian yang lebih elememter didalam sosiologi
tetapi kedudukannya tidak begitu penting dibandingkan dengan social dynamics. Fungsi
dari sosial statics adalah untuk mencari hukum – hukum tentang aksi dan reaksi dari
pada berbagai bagian didalam suatu sistem sosial. Sedangkan dalam sosial statics
mencari hukum – hukum tentang gejala – gejala sosial yang bersamaan waktu
terjadinya. Didalam sosial statics, terdapat 4 doktrin yaitu doktrin tentang individu,
keluarga, masyarakat dan negara.

a) The Doctrine Of The Individual


Comte menganggap tentang teori sikap-sikap dasar manusia sangat penting
didalam sosiologi, dia menganggap bahwa individu adalah cerrminan dari suatu
masyarakat, jadi jika kita menghulangkan dari sesuatu indivisu sama saja kita
menghilangkannya dari masyarakat. Comte mengakui adanya yang disebut insting yang
dibagi menjadi dua yaitu: egoistic insting dan altruistic insting.
b) The Doctrine Of The Family
Keluarga adalah unit masyarakat yang sebenarnya, keluarga terbentuk melalui
insting dan daya tarik alamiah atau natural affection.
c) The Doctrine Of The Society
Keluarga menurut comte bukanlah masyarakat namun, masyarakat merupakan
kesatuan yang lebih luas yang terdiri dari sejumlah keluarga.
d) The Doctrine Of The State
Comte menganggap bahwa negara dan masyarakat itu merupakan dua hal yang
berbeda. Menurutnya negara adalah bentuk khusus dari asosiasi atau organisasi sosial.

e. Agama Humanitas
(Anonim. 2014) Perang yang terus-menerus dan individualism yang berlarut-
larut di zaman postrevolusi di Negri Perancis membuat Comte merasa cemas,
semakinia tua semakin ia menyadari bahwa tingkah laku manusia tidak
berpangkal pada akal budi melainkan berasal dari hatinya.
Hati yang dimaksud merupakan perasaan atau kemauan, kedua unsur ini memainkan
peranan yang menentukan bagi prilaku dan sikap seseorang .”menurut Auguste Comte
pendidikan elektualistis terus-menerus hanya bertujuan untuk menambah ilmu
pengetahuan saja tanpa adanya cinta kasih dan mitivasi menghasilkan intelektualisme
kering dan rasionalisme mandul”. Dalam (Ebook Sosiologi Literatur 2014). Tidak dapat
dipungkiri bahwasanya akal budi memang bertindak sebagai penuntun dan juru
penerang dalam hidup, tetapi akal budi manusia tidak menduduki tempat tertinggi.
Wanita merupan manusia yang memiliki perasaan yang paling halus sehingga dalam
aliran agama humanitas ini Wanita dianggap sacral.
Wanita atau kewanitaan akan disembah sebagai perwujudan kehidupan
perasaan dan sebagai pernyataan yang paling lenkap dari cinta dan altruisme.
Berulangkali Comte mengemukakan bahwa perasaan wanita dan altruisme lebih
tinggi daripada intelek dan egoisme pria menurut nilai sosialnya. Comte dikesankan
oleh kebudayaan abad pertengahan. Bukan tahap evolusi pemikiran manusia yang
mengesankan dia masa itu, melainkan pengintegrasian yang ditonjolkan antara nilai-nilai
rohani dengan nilai-nilai duniawi. Misalnya lembaga keluarga tidak semata-mata
dianggap sebagai lembaga sekuler saja, tetapi dianggap suci dan sakral juga.
Terddorong oleh keyakinan bahwa hati manusia merupakan daya ang terutama, ia
melucuti angkatan bersenjata dari cita sakralnya, dan sebagai gantinya ia memberi
status sakral kepada kaum wanita. Ia meningkatkan status sosial mereka dan
meluhurkan peranan mereka dalam rumah tangga. Ia menentang perceraian. Bunda
Maria, ibu Yesus al Masih, dihormatinya. Melalui hormat kepada Bunda Maria ia
menyatakan hormatnya kepada seluruh ibu.
Dengan demikian harus ditemukan pengganti dewa-dewa lama di dunia yang
baru muncul ini. Agama yang sudah kuno harus diganti dengan “Mahluk Agung” yang
baru yaitu “Kemanusiaan”. Untuk itu, Comte pada tahun 1847 memproklamirkan
terciptanya sebuah agama kemanusiaan , yang disembah sebagai yang Maha Tinggi
bukanklah Allah melainkan humanitas atau manisia, kita harus menivintai humanitas,
namun bukan sembarang orang yang boleh disembah melainkan orang-orang terbaik
yang pernah dihasilkan oleh sejarah dan masih hidup melalui karya dan pengaruh
mereka, kita harus mencibtai kemanusiaan mereka yang abadi sehingga Comte
mengungkapkan bahwa para ilmuwan tidak cukup memiliki inteligensia, namun harus
memiliki cinta dan kasih sayang.

f. Kritik Pemikiran Auguste Comte


(Kompasiana. 2013 Positivisme Auguste Comte mengemukakan tiga tahap
perkembangan peradaban dan pemikiran manusia ke dalam tahap teologis,
metafisik, dan positivistik.
Pada tahap teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada tahap
metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada tahap positivistik
manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahap ketiga itulah
aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman positivistik yang bercorak eksak,
terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru dapat dikatakan sejajar dengan ilmu-
ilmu eksak manakala menerapkan metode positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri,
pendewaan terhadap aspek metodologis.
Selain itu, model filsafat positivisme-nya Auguste Comte tampak begitu
mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolok ukur “kebenaran”.
Sebenarnya “kebenaran” sebagai masalah pokok pengetahuan manusia adalah bukan
sepebuhnya milik manusia. Akan tetapi hanya merupakan kewajiban manusia untuk
berusaha menghampiri dan mendekatinya dengan “cara tertentu”.
(Sosiatoris. 2012) Kekurangan dalam teori Comte juga yaitu ia mengatakan
bahwa perkembanagan pola pikir manusia akan berakhir pada tahap
positivisme.
Sehingga manusia tidak lagi percaya pada suatu hal yang bersifat supra
natuaral atau sesuatu yang bersifat abstrak, karena semua yang terjadi dalam
kehidupan ini dapat ketahui secara empiris. Namun hal itu tidaklah seperti yang
digambarkan oleh Comte karena meskipun demikian dalam kehdupan sekarang ini
masyarakat masih percaya pada sesuatu yang bersifat mistis (gaib).

3. Simpulan
August Comte telah memiliki gelar yaitu sebagai bapak Sosiologi, karena
memang beliau ini telah menemukan dan menamakan sosiologi sebagai salah satu ilmu
pengetahuan.
Comte mengemukakan tentang teori evolusi dimana teori ini mengambil ciri khas
manusia, yaitu akal budi sebagai prinsip evolusinya. Selain itu juga ada tahap
perkembangan masyarakat, yang dapat dilihat dari du pendekatan yaitu social dynamic
dan social static.
Dalam social dynamic terdapat beberapa tahapan yang merupakan manusia
intelek. Pertama tahap teologis yakni tahap ini meyakini bahwa segala sesuatu yang
terjadi di dunia ini dikendalikan oleh kekuatan supranatural yang dimiliki oleh para dewa,
roh atau tuhan. Dalam tahap teologis ini terdapat tiga kepercayaan yang dianut
masyarakat, yang pertama fetisysme, kedua politeisme, ketiga monoteisme. Kedua
tahap metafisik, yakni pada tahap ini manusia mengalami pergeseran cara berpikir.
Pada tahap ini, muncul konsep-konsep abstrak atau kekuatan abstrak selain tuhan yakni
alam. Ketiga tahap positivisme, pada tahap ini semua gejala alam atau fenomena yang
terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan peninjauan, pengujian dan dapat
dibuktikan secara empiris.
Sedangkan social static merupakan suatu studi tentang hukum-hukum aksi dan
reaksi dari berbagai bagian di dalam suatu sistem sosial. Dalam sosial static terdapat
empat doktrin, yaitu doktrin tentang individu, keluarga, masyarakat dan negara.
Mengarah pada struktur yang ada dalam masyarakat.
Daftar Pustaka

Buku

Nazsir, Nasrullah, (2008). Teori-Teori Sosiologi. Bandung: Widya Padjajaran.

Ritzer, George. Dan Douglas J. Godman, (2012). Teori Sosiologi Modern, Jakarta:
Kencana.

Soekanto, Soerjono. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar Jakarta: Raja Grafindo.

Soekanto, Soerjono. (2005). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.

Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. (2001). Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta:
Prenatal Media Group.
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. (2011). Pengantar Sosiologi. Bandung:

Internet

Anonim. (2014). Teori Sosiologi Klasik August Comte. [Online]. Tersedia


di:http://ebooksociologyliterature.blogspot.co.id/2014/09/teori-sosiologi-
klasik-august-comte.html. Diakses Senin 12 Oktober 2015

Lestari, N. dkk. (2013). Makalah Teori Sosiologi Klasik August Comte. [Online]. Tersedia
di: http://gurumudasosiologi.blogspot.co.id/2013/09/makalah-teori-
sosiologi-klasik-auguste.html. Diakses Senin 28 September 2015

Kompasiana. (2013). Positivisme dan Agueste Comte [Online]. Tersedia di:


http://www.kompasiana.com/laylaelfitrim/positivisme-dan-august-
comte_5529e334f17e61ff35d623f9 [ Online]. Diakses Senin 28
September 2015

Sosiatoris. (2012). Pemikiran Auguste Comte. [Online]. Tersedia di:


http://sosiatoris.mywapblog.com/pemikiran-auguste-comte.xhtml Diakses
Senin 28 September 2015

Wardani, L. E. (2014). Positivisme August Comte serta Fakta Sosial dan Solidaritas
Sosial Emile Durkheim. [Online] Tersedia di:
http://lauraerawardani.blogspot.co.id/2014/04/positivisme-august-comte-
serta-fakta.html. Diakses Senin 28 September 2015
Diposting oleh sosiator pada 14:52, 08-Nov-14

Di: Sosiologi

Auguste Comte merupakan sosok filosof besar dan cukup


berpengaruh bagi perkembangan technoscience, dimana dia merupakan
penggagas dari aliran Positivisme, yaitu sebuah aliran filsafat Barat yang
timbul pada abad-19 dan merupakan kelanjutan dari empirisme.

Sejarah telah melukiskan bahwa masalah perolehan pengetahuan


menjadi problem aktual yang melahirkan aliran Rasionalisme. Rasionalisme
adalah strategi yang paling bertentangan dengan empirisme. Dua pendirian
utama rasionalisme: pertama, masyarakat adalah fakta umum yang otonom,
independen dan bekerja dengan hukum-hukumnya sendiri yang telepas dari
semua lelemen-elemen pembentuknya, kedua, hakikat manusia adalah ide-
ide universal. Pedirian pertama mengasumsikan bahwa masyarakat adalah
realisat sosial secara umum yang mengatasi dan menetukan individu-individu
terhubung satu sma lainnya. Empirisme adalah kombinasi antara
materialisme dan nonmaterialisme. Kenyataan sosial di pandang sebagai
bentukan dari objek-objek, aspek-aspek serta unsur-unsur material. Prinsip
utama epitemologi empirisme adalah bahwa pengalam menjadi satu-satunya
fondasi pengetahuan yang menjaminn pengetahuan yang falid[1]. Disinilah
arti penting dari kemunculan Positivisme yang merupakan representasi
jawaban terhadap problem-problem mendasar tersebut.

a. Tahap Perkembangan Masyarakat

Auguste Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian yaitu Social


Statics danSocial Dynamic. Social statics dimaksudkannya sebagai suatu study
tentang hukum– hukum aksi dan reaksi antara bagian– bagian dari suatu sistem
sosial. Social statics merupakan bagian yang paling elementer dari ilmu
sosiologi, tetapi dia bukanlah bagian yang paling penting dari study mengenai
sosiologi, karena pada dasarnya social statics merupakan hasil dari suatu
pertumbuhan.

Bagian yang paling penting dari sosiologi menurut Auguste Comte


adalah apa yang disebutnya dengan social dynamic, yang didefinisikannya
sebagai teori tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat. Karena social
dynamic[2] merupakan study tentang sejarah yang akan menghilangkan filsafat
yang spekulatif tentang sejarah itu sendiri.

Pembagian sosiologi kedalam dua bagian ini bukan berarti akan


memisahkannya satu sama lain. Bila social statics merupakan suatu study
tentang masyarakat yang saling berhubungan dan akan menghasilkan
pendekatan yang paling elementer terhadap sosiologi, tetapi study tentang
hubungan– hubungan sosial yang terjadi antara bagian – bagian itu tidak akan
pernah dapat dipelajari tanpa memahaminya sebagai hasil dari suatu
perkembangan. oleh karena itu, Comte berpendapat bahwa tidaklah akan dapat
diperoleh, suatu pemahaman yang layak dari suatu masalah sosial tanpa
mengguanakan pendekatan social dynamic atau pendekatan historis.

1. Social statics

Dengan social statics dimaksudkan Comte sebagai teori tentang dasar


masyarakat. Comte membagi sosiologi kedalam dua bagian yang memiliki
kedudukan yang tidak sama. Sekalipun social statics adalah bagian yang lebih
elememter didalam sosiologi tetapi kedudukannya tidak begitu penting
dibandingkan dengan social dynamics. Fungsi dari sosial statics adalah untuk
mencari hukum – hukum tentang aksi dan reaksi dari pada berbagai bagian
didalam suatu sistem sosial. Sedangkan dalam sosial statics mencari hukum –
hukum tentang gejala – gejala sosial yang bersamaan waktu terjadinya. Didalam
sosial statics, terdapat 4 doktrin yaitu doktrin tentang individu, keluarga,
masyarakat dan negara.

2. Social Dynamics

Social dynamics adalah teori tentang perkembangan manusia. Comte


tidak membicarakan tentang asal usul manusia karena itu berada di luar batas
ruang lingkup ilmu pengetahuan. Karena ajaran filsafat positif yang diajukannya
mengatakan bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah dapat dibuktikan dalam
kenyataan. Dia berpendapat bahwa di dalam masyarakat terjadi perkembangan
yang terus menerus, sekalipun dia juga menambahkan bahwa perkembangan
umum dari masyarakat tidak merupakan jalan lurus[3].

Ada banyak hal yang mengganggu perkembangan suatu masyarakat


seperti faktor ras manusia sendiri, faktor iklim dan faktor tindakan politik.
Comte berpendapat bahwa jawaban tentang perkembangan sosial harus dicari
dari karakteristik yang membedakan antara manusia dengan binatang. Menurut
Comte, yang membedakan manusia dengan binatang adalah perkembangan
inteligensi manusia yang lebih tinggi. Comte mengajukan hukum tentang 3
tingkatan inteligensi manusia, yaitu pemikiran yang bersifat theologis atau
fictious, metaphisik atau abstrak, scientific atau positive. Sjarah umat manusia
sebenarnya ditentukan oleh pertumbuhan dari pemikiran manusia, hukum
tertinggi dari sosiologi haruslah hukum tentang perkembangan inteligensi
manusia.

b. Positivisme

Bagi kalangan awam kata ’positif’ lebih mudah dimaknai sebagai


’baik’ dan ’berguna’ sebagai antonim dari kata negatif. Pemahaman awam ini
bukannya tanpa dasar, karena jika kita membaca, misalnya, kamus saku
Oxford kita akan menemukan ’baik’ dan ’berguna’ dalam daftar makna untuk
kata positive. Dalam konteks epistemologi, kata positive, yang pertama kali
digunakan Auguste Comte, berperan vital dalam ”mengafirkan” filsafat dan
sains di Barat, dengan memisahkan keduanya dari unsur agama dan
metafisis, yang dalam kasus Comte berarti mengingkari hal-hal non-inderawi

Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang


positif, sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam
pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.Pada dasarnya positivisme
adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang
benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan
demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui
metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari.

Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857)[4] yang


tertuang dalam karya utamanya Cours de Philosophic Positive (1830-1842)
yang diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu, karya lainnya yakni Systeme de
politique positive yang masing – masing mewakili tahapan tertentu dalam
jalan pemikirannya.

Dalam kaitannya (positivisme) tentang masyarakat, Comte meyakini


bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam, maka untuk memperoleh
pengetahuan tentang masyarakat menuntut pengetahuan metode-metode
penelitian empiris dari ilmu-ilmu alam lainnya. Comte melihat
perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah sebagai
puncak suatu proses kemajuan intlektual yang logis yang telah dilewati oleh
ilmu-ilmu lainnya. Kemajuan ini mencakup perkembangan dari bentuk-
bentuk pemikiran teologi purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya sampai
terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif.

Melihat kepada perkembangan ilmu alam (natural science) yang


dengan penyelidikannya atas prilaku alam, lalu dapat menemukan hukum-
hukum tetap yang dapat berlaku pada alam (hukum alam), Comte kemudian
melakukan copy-paste metodologi ilmu alam tersebut untuk digunakan
menyelidiki prilaku sosial, dengan begitu, menurut keyakinannya akan
ditemukan hukum-hukum tetap yang berlaku general pada masyarakat
(hukum sosial).

Comte memulai pekerjaannya tersebut dengan melakukan refleksi


mendalam terkait sejarah perkembangan alam pikir manusia. Ia kemudian
mendapati bahwa sejarah perkembangan alam pikir manusia terdiri dari tiga
tahap, yaitu teologik, metafisik dan positif, yang akan di jelaskan pada
bahagian berikutnya. Dari ketiga tahapan tersebut, tahap positif merupakan
babak terakhir dimana pada tahapan itu manusia telah memasuki peradaban
yang positif. Selanjutnya, Comte membuat norma-norma ilmiah yang disebut
metodologi ilmiah.

2.3. Metodologi

Menurut Comte, metode positif mengarah pada perkembangan


kebenaran organis atau kebenaran yang tertinggi. Metode ini
mengembangkan penggunaan observasi (Penelitian), percobaan
(eksperimen), serta perbandingan untuk memahami keseluruhan statistika
dan dinamika sosial. Metode-metode tersebut memberikan gambaran
terhadap hukum-hukum sosial melalui eksperimentasi, baik secara langsung
maupun tak langsung, sebagaimana halnya evolusi masyarakat secara
umum. Dengan cara ini Comte menyebutnya sebagai metodologi yang
mengarah pada pengembangan yang lebih luas terhadap model teorinya
yang di dasarkan organik dan natural, yaitu pada asumsi-asumsi organik dan
natural.

2.5. Kritik Pemikiran Comte

Positivisme Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan


peradaban dan pemikiran manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan
positivistik. Pada tahap teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama,
pada tahap metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada
tahap positivistik manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada tahap ketiga itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman
positivistik yang bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora
baru dapat dikatakan sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan
metode positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri, pendewaan terhadap
aspek metodologis.

Selain itu, model filsafat positivisme-nya Auguste Comte tampak begitu


mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolok ukur “kebenaran”.
Sebenarnya “kebenaran” sebagai masalah pokok pengetahuan manusia adalah
bukan sepebuhnya milik manusia. Akan tetapi hanya merupakan kewajiban
manusia untuk berusaha menghampiri dan mendekatinya dengan “cara
tertentu”.

Kekurangan dalam teori Comte juga yaitu ia mengatakan bahwa


perkembanagan pola pikir manusia akan berakhir pada tahap positivisme.
Sehingga manusia tidak lagi percaya pada suatu hal yang bersifat supra natuaral
atau sesuatu yang bersifat abstrak, karena semua yang terjadi dalam kehidupan
ini dapat ketahui secara empiris. Namun hal itu tidaklah seperti yang
digambarkan oleh Comte karena meskipun demikian dalam kehdupan sekarang
ini masyarakat masih percaya pada sesuatu yang bersifat mistis (gaib).

[1]Rahmad Hidayat, ilmu yang seksis( Pengantar: Mansour Fakih). Yigyakarta:


Jendela. 2003.hal: 51.67

[2] Soerjono, Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo.1990. Hal: 35

Kamanto, Sunarto, Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI. 1993.


[3]
Hal: 3

[4] Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi. Surabaya: Kencana. 2007.hal: 10

Kompasnia 2015

Auguste Comte merupakan filosof dan warga negara Perancis yang hidup di abad
ke-19 setelah revolusi Perancis yang terkenal itu. Ia lahir di Montpellier,
Perancis, pada tanggal 19 Januari 1798. Ia belajar di sekolah Politeknik di Paris,
tetapi ia dikeluarkan karena ia seorang pendukung Republik, sedangkan
sekolahnya justru royalistis. Auguste Comte menerima dan mengalami secara
langsung akibat-akibat negatif secara langsung revolusi tersebut khususnya
dibidang sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan. Pengalaman pahit yang dilalui
dan dialaminya secara langsung bersama bangsanya itu, memotivaisi dirinya
untuk memberikan alternatif dan solusi ilmiah-filosofis dengan mengembangkan
epistemologi dan metodologi sebagaimana buah pikirannya itu tercermin di
dalam aliran Positivisme. Aliran ini menjadi berkembang dengan subur karena
didukung oleh para elit-ilmiah dan maraknya era industrialisasi saat itu. Comte
bukanlah orang yang menyukai hal-hal yang berbau matematika, tetapi lebih care
pada masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Bersama dengan Henry de'Saint
Simon. Comte mencoba mengadakan kajian problem-problem sosial yang
diakibatkan industrialisasi. Karena ketekunan dan kepiawaiannya dalam bidang-
bidang sosial menjadikan Comte sebagai bapak sosiologi. Meskipun Comte tidak
menguraikan secara lebih rinci masalah apa yang menjadi obyek sosiologi, tetapi
ia mempunyai asumsi bahwa sosiologi terdiri dari dua hal, yaitu sosial statis dan
sosial dinamis. Menurut Comte, sebagai sosial statis sosiologi merupakan sebuah
ilmu pengetahuan yang mempelajari timbal balik antara lembaga
kemasyarakatan. Sedangkan sosial dinamis melihat bagaimana lembaga-lembaga
tersebut berkembang.
Dasar pemikiran Comte diperoleh secara inspiratif dari Saint Simon, Charles
Lyell, dan Charles Darwin. Selain dari itu, pemikiran Herbert Spencer mengenai
"hukum perkembangan" juga mempengaruhi pemikirannya. Kata "rasional" bagi
Comte terkait dengan masalah yang bersifat empirik dan positif yakni
pengetahuan riil yang diperoleh melalui observasi (pengalaman indrawi),
eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif diperoleh hukum yang
sifatnya umum sampai kepada suatu teori. Karena itulah maka bagi positivisme,
tuntutan utama adalah pengetahuan faktual yang dialami oleh subjek, sehingga
kata rasional bagi Comte menunjuk peran utama dan penting rasio untuk
mengolah fakta menjadi pengalaman. Berdasarkan atas pemikiran yang demikian
itu, maka sebagai konsekuensinya metode yang dipakai adalah "Induktif-
verifikatif". Auguste Comte meninggal pada tahun 1857 dengan meninggalkan
karya-karya seperti Cours de Philosophie Possitive, The Sistem of Possitive
Polity, The Scientific Labors Necessary for Recognition of Society, dan Subjective
Synthesis.
Auguste Comte & Hukum Tiga Tahap
Di antara karya-karyanya Auguste Comte, Cours de Philosphie Possitive dapat
dikatakan sebagai masterpiece-nya, karena karya itulah yang paling pokok dan
sistematis. Buku ini dapat juga dikatakan sebagai representasi bentangan
aktualisasi dari yang di dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan
perkembangan manusia. Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung
dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua, tahap metafisik, ketiga, tahap
positif. 1. Tahap Teologis Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa
dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur
fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai
makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang
percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-
makhluk selain insani. Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama,
tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa
segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan
kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan
adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-
gejala memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme). Gejala-gejala "suci" dapat
disebut "dewa-dewa", dan "dewa-dewa" ini dapat diatur dalam suatu sistem,
sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan,
dewa angin, dan seterusnya. Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap
ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi
(esa), yaitu dalam monotheisme. Singkatnya, pada tahap ini manusia
mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di
sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya,
di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu. 2. Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan
ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di
dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak,
dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian
dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam.
Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat
bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep "alam", sebagai
asal mula semua gejala.

1.
2. Tahap Positif

Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai
pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun
metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam
semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari "segala sesuatu" yang berada
di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum
kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya,
yaitu dengan "pengamatan" dan dengan "memakai akalnya". Pada tahap ini
pengertian "menerangkan" berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan
suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah
menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum. Bagi
comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani
seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan.
Dalam hal ini, comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula
dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan
pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga
tahapan perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa
atau suku tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu penget Lebih jauh Comte
berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia
yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat
dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan
perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongrit. Dengan demikian, maka ada
kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu
pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh
mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif.
Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam
metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
Demikianlah pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga tahapnya, yang pada
intinya menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa
melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah. Dalam hal ini
Auguste Comte memberikan analog; manusia muda atau suku-suku primitif pada
tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk "menerangkan"
kenyataan. Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak
dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif
dan ilmiah.
Positivisme Auguste Comte
Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir pada
abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan
dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi tititk tolak dari
pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan
positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan "positif"
adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-
pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur
sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa
depan. Sebenarnya, tokoh-tokoh aliran ini sangat banyak. Namun begitu, Auguste
Comte dapat dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran filsafat
Positivisme. Menurut Comte, dan juga para penganut aliran positivisme, ilmu
pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak
metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang
sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan
dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat
antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-
hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Dengan model pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba
mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal
ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang
memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya
dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang
bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme. Selanjutnya, karena agama
(Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka agama
tidak mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat bahwa suatu pernyataan
dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah
pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris. Contoh
misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Model pemikiran ini dalam
epistemologi disebut dengan teori Korespondensi. Keberadaan (existence)
sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus
bagi Positivisme Comte, yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan
makna yang terkandung di dalam kata "positif". Kata nyata (riil) dalam kaitannya
dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat
dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau
oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah, sedangkan sebaliknya yang tidak
dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah.
Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya
nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan, dan nantinya berujung kepada penataan
atau penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa
pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber
dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan
bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi. Dari
model pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi
antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalah veriviable,
dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau tidak
(meaningful dan meaningless), ia melakukan verifikasi terhadap suatu gejala
dengan gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud.
Dan sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-
Verivikatif, yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat
khusus ke umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga
menggunakan pola operasional metodologis dalam bentuk observasi,
eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif Singkatnya, filsafat
Comte merupakan filsafat yang anti-metafisis, dimana dia hanya menerima
fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua
pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang
terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak),
artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara
gejala-gejala, agar supaya dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi. Filsafat
positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa
pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak
mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan
pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara "terisolasi", dalam arti harus
dikaitkan dengan suatu teori. Dengan demikian positivisme menolak keberadaan
segala kekuatan atau subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di
luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri
abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan
universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-
lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui
eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai
oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value). Apabila
dikaitkan dengan ilmu sosial budaya, positivisme Auguste Comte berpendapat
bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu
sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-
generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur serta metode
penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam
dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya. Sebagai akibat dari
pandangan tersebut, maka ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan
explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-
generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali
menegasikan adanya "contra-mainstream". Manusia, masyarakat, dan
kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis. Demikianlah beberapa
pemikiran Auguste Comte tentang tiga tahapan perkembangan manusia dan juga
bagaimana positivisme Auguste Comte memandang sumber ilmu pengetahuan.
Kritik Pemikiran
Positivisme Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban
dan pemikiran manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik. Pada
tahap teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada tahap
metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada tahap
positivistik manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada
tahap ketiga itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman
positivistik yang bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora
baru dapat dikatakan sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan
metode positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri, pendewaan terhadap aspek
metodologis. Selain itu, model filsafat positivisme-nya Auguste Comte tampak
begitu mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolok ukur
"kebenaran". Sebenarnya "kebenaran" sebagai masalah pokok pengetahuan
manusia adalah bukan sepebuhnya milik manusia. Akan tetapi hanya merupakan
kewajiban manusia untuk berusaha menghampiri dan mendekatinya dengan "cara
tertentu". Kata cara tertentu merujuk pada pemikiran Karl Popper mengenai
"kebenaran" dan sumber diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan tangkapan
manusia terhadap objek melalui rasio (akal) dan pengalamannya, namun selalu
bersifat tentatif. Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni harus
dihadapkan kepada suatu pengujian yang ketat dan gawat (crucial-test) dengan
cara pengujian "trial and error" (proses penyisihan terhadap kesalahan atau
kekeliruan) sehingga "kebenaran" se1alu dibuktikan melalui jalur konjektur dan
refutasi dengan tetap konsisten berdiri di atas landasan pemikiran Rasionalisme-
kritis dan Empirisme-kritis. Atau dengan meminjam dialektika-nya Hegel, sebuah
"kebenaran" akan selalu mengalami proses tesis, sintesis, dan anti tesis, dan
begitu seterusnya. Pandangan mengenai "kebenaran" yang demikian itu bukan
berarti mengisyaratkan bahwa Penulis tergolong penganut Relativisme, karena
menurut hemat Penulis, Relativisme sama sekali tidak mengakui "kebenaran"
sebagai milik dan tangkapan manusia terhadap suatu objek. Penulis berkeyakinan
bahwa manusia mampu menangkap dan menyimpan "kebenaran" sebagaimana
yang diinginkannya serta menggunakannya, namun bagi manusia, "kebenaran"
selalu bersifat sementara karena harus selalu terbuka untuk dihadapkan dengan
pengujian (falsifikasi). Dan bukanlah verifikasi seperti apa yang diyakini oleh
Auguste Comte. Hal demikian karena suatu teori, hukum ilmiah atau hipotesis
tidak dapat diteguhkan (diverifikasikan) secara positif, melainkan dapat disangkal
(difalsifikasikan) Jelasnya, untuk menentukan "kebenaran" itu bukan perlakuan
verifikasi melainkan melalui proses falsifikasi dimana data-data yang telah
diobservasi, dieksperimentasi, dikomparasi dan di generalisasi-induktif berhenti
sampai di situ karena telah dianggap benar dan baku (positif), melainkan harus
dihadapkan dengan pengujian baru.

Anda mungkin juga menyukai