Anda di halaman 1dari 11

POLITIK IDENTITAS DAN MULTIKULTURALISME

Oleh kelompok 6:

 Farhan Ramadan C1E120028


 Muhammad Aditya C1E120104
 Putri Diermala Sultan C1E120058
 La Ode Dicky Irfan C1E120098
 Muhaimin Kadri C1E120046
 Fendi C1E120030
 Mahmud C1E120006
 Marwan C1E120042
 Anjas Asmara C1E120074
 Rahmat Anas C1E120118
 La Ode Muhamad Ikrar C1E120040
 Irfan Mansur A C1E119040

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HALUOLEO
BAB 1
Pendahuluan
1.1.Latar Belakang

Menguatnya politik identitas di ranah lokal bersamaan dengan politik desentralisasi.


Pasca pemberlakuan UU No. 22/1999, gerakan politik identitas semakin jelas wujudnya. Bahkan,
banyak aktor politik lokal maupun nasional secara sadar menggunakan isu ini dalam power-
sharing. Di Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Irian Jaya yang secara
nyata menunjukkan betapa ampuhnya isu ini digunakan oleh aktor-aktor politik, ketika
berhadapan dengan entitas politik lain. Oleh karena itu, politisasi identitas yang dilakukan oleh
para elit lokal di empat daerah benar-benar dikreasi sedemikian rupa supaya mereka yang
awalnya tersingkir dari pusat-pusat kekuasaan bisa masuk dan menikmati kekuasaan. Tentu saja,
cara kerja dari proyek politik identitas di empat daerah diekspresikan dalam bentuk yang
bervariasi. Pertama, politik identitas dijadikan basis perjuangan elit lokal dalam rangka
pemekaran wilayah terjadi di Provinsi Kalimantan Barat dan Irian Jaya. Kedua, politik identitas
yang dicoba ditransformasi ke dalam entitas politik dengan harapan bisa menguasai
pemerintahan daerah sampai pergantian pimpinan puncak. Atau dalam istilah Gerry Van Klinken
(2007) disebut elit lokal yang mengambilalih seluruh bangunan institusi politik lokal. Hal ini
terjadi di Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Irian Jaya. Ketiga, politik
etnisitas digunakan untuk mempersoalkan antara ‘kami dan mereka’ ‘saya’ dan ‘kamu’ sampai
pada bentuknya yang ekstrim ‘jawa’ dan ‘luar jawa’ ‘islam’ dan ‘kristen’. Dikotomi oposisional
semacam ini sengaja dibangun oleh elit politik lokal untuk menghantam musuh ataupun rival
politiknya yang notabene ‘kaum pendatang’. Poin ini terjadi di empat provinsi. Keempat, politik
identitas dimobilisir untuk mendapat simpatik pemerintah yang lebih di atasnya. Dalamnya
politisasi identitas di ranah lokal sebagaimana digambarkan di atas merupakan realitas politik
yang harus diterima sekalipun dengan nada cemas. Mengapa cemas? Karena, ketika politisi
identitas sudah terlanjur didemontrasikan, sangat sulit untuk dikendalikan apalagi dikembalikan
pada tempatnya semula. Karena itu, perlu dicarikan jalan tengah supaya penggusuran aktor
politik, aktor ekonomi dan para birokrat tidak terjadi maka perangkat pengaturan power-sharing
antar etnis agama dan suku perlu dilakukan. Makalah ini akan memaparkan perihal menguatnya
politik identitas di tanah air beserta dampaknya bagi persatuan dan kesatuan warga negara
Indonesia
1.2.Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan politik identitas?

2. Jelaskan perbedaan politik identitas dan identitas politik!

3. Jelaskan dampak positif dan negatif adanya politik identitas di Indonesia!

1.3.Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk:

1. Menjelaskan pengertian politik identitas.

2. Menjelaskan perbedaan mengenai politik identitas dan identitas politik.

3. Mengulas dampak positif dan negatif adanya politik identitas di Indonesia.

1.4.Manfaat
Setelah disusunnya makalah ini diharapkan mampu memberi manfaat kepada
pembaca berupa:

1. Pembaca mengerti apa yang dimaksud dengan politik identitas.

2. Pembaca mengerti perbedaan antara politik identitas dan identitas politik.

3. Pembaca mengerti mengenai dampak positif dan negatif adanya politik


identitas di Indonesia.
BAB 2
Pembahasan
2.1 Pengertian Politik Identitas

Politik adalah segala urusan yang menyangkut negara atau pemerintahan melalui suatu
sistem politik yang menyangkut penentuan tujuan dari sistem tersebut dan cara mencapai tujuan
tersebut. Identitas didefinisikan sebagai karakteristik esensial yang menjadi basis pengenalan
dari sesuatu hal. Identitas merupakan karakteristik khusus setiap orang atau komunitas yang
menjadi titik masuk bagi orang lain atau komunitas lain untuk mengenalkan mereka. Secara
teoritis politik identitas menurut Lukmantoro adalah politis untuk mengedepankan kepentingan-
kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau
karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan. Politik identitas
merupakan rumusan lain dari politik perbedaan. Politik Identitas merupakan tindakan politis
dengan upaya-upaya penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas
distribusi nilai-nilai yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yakni
penentuan nasib sendiri atas dasar keprimordialan. Dalam format keetnisan, politik identitas
tercermin mula dari upaya memasukkan nilai- nilai kedalam peraturan daerah, memisahkan
wilayah pemerintahan, keinginan mendaratkan otonomi khusus sampai dengan munculnya
gerakan separatis. Sementara dalam konteks keagamaan politik identitas terefleksikan dari
beragam upaya untuk memasukan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembuatan kebijakan,
termasuk menggejalanya perda syariah, maupun upaya menjadikan sebuah kota identik dengan
agama tertentu.

Sedangkan Cressida Heyes mendefinisikan politik identitas sebagai sebuah penandaan


aktivitas politis (Cressida Heyes, 2007). Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas politik
identitas berkepentingan dengan pembebasan dari situasi keterpinggiran yang secara spesifik
mencakup konstituensi (keanggotaan) dari kelompok dalam konteks yang lebih luas. Jika
dicermati Politik identitas sebenarnya merupakan nama lain dari biopolitik yang berbicara
tentang satu kelompok yang diidentikkan oleh karakteristik biologis atau tujuan-tujuan
biologisnya dari suatu titik pandang. Sebagai contoh adalah politik ras dan politik gender.

Menurut Kauffman (dalam Maarif, 2012: 4) politik identitas bermula dari adanya
kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa tersingkir oleh dominasi
kelompok lainnya di dalam sebuah bangsa atau negara. Contoh seperti yang terjadi di Amerika
Serikat, di mana praktik pembedaan kelompok masyarakat telah membangun kesadaran
golongan yang merasa terpinggirkan seperti masyarakat kulit hitam, dan etnis-etnis lainnya
melawan golongan masyarakat kulit putih. Berdasarkan hal tersebut Politik identitas seakan-akan
meneguhkan adanya keutuhan yang bersifat esensialistik tentang keberadaan kelompok sosial
tertentu berdasarkan identifikasi primordialitas. Agnes Heller mendefinisikan politik identitas
sebagai sebuah konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya pada perbedaan sebagai
suatu kategori politik yang utama (Abdilah S, 2002: 16). Di dalam setiap komunitas, walaupun
mereka berideologi dan memiliki tujuan bersama, tidak bisa dipungkiri bahwa di dalamnya
terdapat berbagai macam individu yang memiliki kepribadian dan identitas masing-masing. Jadi
secara umum teori umum politik identitas dan berbagai hasil penelitian menunjukkan, ada dua
faktor pokok yang membuat etnis dan agama menjadi menarik dan muncul untuk dipakai dan
berpengaruh dalam proses politik. Pertama, ketika etnis dan agama menjadi faktor yang
dipertaruhkan. Ada semacam keperluan untuk mempertahankan atau membela identitas yang
dimiliki suatu kelompok. Kedua, ketika proses politik tersebut berlangsung secara kompetitif.
Artinya, proses politik itu menyebabkan kelompok-kelompok identitas saling berhadapan dan
tidak ada yang dominan, sehingga tidak begitu jelas siapa yang akan menjadi pemenang sejak
jauh-jauh hari. Pemilihan umum, termasuk pilkada, adalah proses politik di mana berbagai faktor
seperti identitas menjadi pertaruhan. Tinggal sekarang bagaimana aktor-aktor yang terlibat di
dalamnya mengelola isu-isu seperti etnis dan agama, menjadi hal yang masuk pertaruhan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa politik identitas adalah suatu tindakan politik yang
dilakukan individu atau sekelompok orang yang memliki kesamaan identitas baik dalam hal
etnis, jender, budaya, dan agama untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan anggotanya.
Politik identitas sering digunakan untuk merekrut dukungan orang-orang yang termarjinalkan
dari kelompok mayoritas.

2.2 Perbedaan Politik Identitas dengan Identitas Politik

Dalam literatur ilmu politik, politik identitas betul-betul dipilah, sehingga terlihat
perbedaan yang jelas tentang apa itu politik identitas (political of identity) dan apa itu identitas
politik (political identity). Identitas politik (Political identity) merupakan sebuah konstruksi yang
menentukan posisi kepentingan subjek, di dalam ikatan suatu komunitas politik. Adapun politik
identitas (political of identity) akan mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas,
baik itu dalam identitas politik maupun identitas sosial yang menjadi sumber dan sarana politik
(Setyaningrum, 2005: 19)

Secara sederhana, apa yang dimaksud identitas didefinisikan sebagai karakteristik


esensial yang menjadi basis pengenalan dari sesuatu hal. Identitas merupakan karakteristik
khusus setiap orang atau komunitas yang menjadi titik masuk bagi orang lain atau komunitas lain
untuk mengenalkan mereka (Widayanti, 2009: 13). Ini adalah definisi umum yang sederhana
mengenai identitas. Menurut Stuart Hall, identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari sense
(rasa/kesadaran) terhadap ikatan kolektivitas. Dari pernyataan tersebut, maka ketika identitas
diformulasikan sebagai sesuatu yang membuat seseorang memiliki berbagai persamaan dengan
orang lain, maka pada saat yang bersamaan juga identitas memformulasikan perbedaan atau
sesuatu yang diluar persamaan-persamaan tersebut. Sehingga karakteristik identitas bukan hanya
dibentuk oleh ikatan kolektif, melainkan juga oleh kategori-kategori pembeda (Setyaningrum,
2005: 26).
Identitas selalu melekat pada setiap individu dan komunitas. Identitas merupakan
karakteristik yang membedakan antara orang yang satu dengan orang yang lain supaya orang
tersebut dapat dibedakan dengan yang lain. Identitas adalah pembeda antara suatu komunitas
dengan komunitas lain. Identitas mencitrakan kepribadian seseorang, serta bisa menentukan
posisi seseorang.

Ada 3 pendekatan pembentukan identitas, yaitu:

1. Primodialisme. Identitas diperoleh secara alamiah, turun temurun.

2. Konstruktivisme. Identitas sebagai sesuatu yang dibentuk dan hasil dari proses sosial yang
kompleks. Identitas dapat terbentuk melalui ikatan-ikatan kultural dalam masyarakat.

3. Instrumentalisme. Identitas merupakan sesuatu yang dikonstruksikan untuk kepentingan elit


dan lebih menekankan pada aspek kekuasaan (Widayanti, 2009: 14-15).

Politik identitas bisa dikatakan terjadi di setiap kelompok atau komunitas, salah satunya yang
terjadi dalam serial film Upin dan Ipin. Masing-masing individu yang memiliki identitas pribadi
yang berbeda dari suku, etnis dan agama telah bergabung menjadi satu komunitas yang memiliki
identitas kolektif. Walaupun mereka memiliki identitas kolektif sebagai warga negara Malaysia
yang sah, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka tetap memiliki ego untuk memperjuangkan
identitas pribadinya. Disinilah terjadi persaingan antar individu dalam suatu komunitas yang ada
dalam film Upin dan Ipin ini. Hal ini disebut sebagai politik identitas.

2.3 Dampak Positif dan Negatif Politik Identitas di Indonesia

Di Indonesia, konsep politik identitas semakin menguat terutama saat adanya kontes politik.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) M. Imdadun Rahmat mengatakan
bahwa dewasa ini ada peningkatan yang signifikan terkait kasus intoleransi akibat pelanggaran
hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Ia menyatakan bahwa pada tahun 2015 Komnas
HAM menerima sejumlah 87 laporan dan meningkat menjadi 97 laporan pada tahun 2016.
Sementara itu pada tahun 2017, aksi intoleran semakin meningkat terutama semenjak masa
kampanye pilkada DKI Jakarta berlangsung. Aksi intoleransi yang cenderung meningkat saat
berlangsungnya Pemilu maupun Pilkada terjadi karena politik identitas yang membeda-bedakan
keanggotaan masyarakat juga cenderung menguat. Masyarakat akhirnya rentan menjadi sarana
dalam perebutan kekuasaan politik dalam kepentingan politik praktis.

Menurut Buchari (dalam Buchari, 2014: 27), konsep identitas merupakan tindakan yang
membedakan individu atau suatu kelompok dengan individu atau kelompok lain dan dilakukan
secara simultan dalam interaksi sosial hingga memunculkan opini tertentu yang berkaitan dengan
keberadaan individu atau kelompok tersebut. Kondisi ini akhirnya membuat kemajemukan tidak
lagi sebagai ikatan dalam persatuan dan kesatuan. Dalam kontes politik, setiap orang dapat
terlegitimasi untuk melakukan pembedaan SARA sesuai kepentingan maupun pandangan
politiknya. Perbedaan SARA yang selama ini merupakan bentuk pluralisme yang berhasil
dirangkul oleh toleransi menjadi berbalik dan membuat masyarakat aktif dalam melakukan
politik balas dendam dengan sentimen identitas. Kontes Politik akhirnya membuat perbedaan
SARA semakin terlihat. Masyarakat yang majemuk dengan kesadaran telah mengkotak-kotakkan
dirinya sesuai dengan persamaan SARA dalam menentukan pilihan politiknya.Selain itu, bentuk
ekstrem politik identitas juga dapat membawa gagasan tentang separatisme. Hal tersebut dapat
terjadi bila gerakan politik identitas terus menguat dalam masyarakat.

Salah satu contoh efek dari politik identitas yang memecah belah bangsa diungkapkan oleh
Presiden Afganistan, Ashraf Ghani, kepada Presiden Joko Widodo di mana Afganistan sejatinya
merupakan negara kaya dan memiliki kekayaan tambang emas, gas, serta minyak yang luar
biasa, namun akibat terjadinya pertikaian membuat negara tersebut sudah sangat sulit sekali
untuk dirukunkan kembali. Kerukunan sulit tercipta kembali karena pertikaian tersebut yang
awalnya terjadi akibat konflik dari 2 kelompok, saat ini telah berkembang menjadi 40 kelompok.
Oleh karena itu, penting bagi setiap elemen bangsa untuk terus menjaga kerukunan dan persatuan
agar konflik tidak meluas di Indonesia. Baik elit politik maupun masyarakat perlu untuk kembali
memulihkan suasana yang sempat tercederai akibat menguatnya politik identitas di masyarakat.
Terutama, terkait politik identitas yang masih berkelanjutan dan banyak terjadi baik di dunia
maya melalui media sosial dan situs onlinemaupun diskriminasi dalam kehidupan masyarakat
pada umumnya. Kehadiran politik identitas melalui isu SARA tersebut perlu diatasi dan
diantisipasi agar tidak terjadi kembali pada Pilkada Serentak yang akan digelar pada tahun 2018
maupun pada Pemilu 2019.

Berdasarkan contoh diatas hal positif yang dapat diambil dari politik identitas adalah ada
upaya untuk tetap melestarikan nilai budaya yang menjadi ciri khas kelompok yang
bersangkutan, sehingga pengguatan akan budaya tidak akan luntur dan hilang. Penguatan
identitas tersebut muncul apabila identitas yang dikonsepkan untuk mewadahi sesuatu yang
dirasa tidak dapat mewakili atau menyatukan kelompok-kelompok tersebut. Bahkan, kekuatan
kelompok tersebut menimbulkan juga ketegangan antar kelompok untuk memperoleh dominasi
dari sebuah konsep yang akan dibangun. Penguatan identitas kelompok untuk menjadikannya
sebagai dominasi dalam sebuah wadah atau bahkan keluar dari wadah disebut sebagai Politik
Identitas. Tujuan sebenarnya dari politik adalah mencapai kebaikan bersama. Maka entah
menggunakan politik identitas atau identitas politik, asalkan pemerintahan yang dibangun atas
dasar politik tersebut mampu mewujudkan kebaikan bersama maka ia menjadi baik.

Namun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa politik identitas juga masih banyak memiliki
dampak negatif yang jika dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab
mampu memicu adanya diskriminasi antar kelompok satu dengan yang lain, misalnya dominasi
mayoritas atas minoritas. Bahkan, jika dibiarkan begitu saja dapat menimbulkan gerakan
separatisme yang mengarah pada disintegrasi di Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Indonesia
membutuhkan rekonsiliasi agar perpecahan yang ditimbulkan oleh politik identitas tidak semakin
bertambah parah dan memicu perpecahan bangsa. Menurut Fahrenholz (dalam Geiko Muller-
Fahrenholz, 2005: 123-132) rekonsiliasi merupakan tindakan yang berfokus pada cara untuk
membangun kembali hubungan yang telah rusak akibat konflik, sehingga dalam rekonsiliasi
harus ada sikap saling memaafkan baik dari pihak korban maupun pelaku penindasan.

Munculnya banyak pendapat yang berbeda dari para tokoh terutama saat kontes politik telah
membuat masyarakat cenderung hanya menyukai pendapat yang sesuai dengan kepentingan dan
identitasnya saja. Oleh sebab itu, dalam mewujudkan rekonsiliasi terutama pasca Pilkada DKI
Jakarta 2017, peran para pemuka agama, tokoh masyarakat, maupun tokoh politik sangat
diperlukan untuk menanggulangi politik identitas demi persatuan bangsa. Hal ini karena
rekonsiliasi tidak hanya mempertemukan pihak yang saling benci, namun rekonsiliasi adalah
suatu tempat yang di dalamnya mengandung kebenaran (truth), sifat welas asih manusia (mercy),
keadilan (justice), maupun damai (peace) (John Paul Lederach, 1999: 29).Selain itu, rekonsiliasi
juga selalu membutuhkan suatu cara pandang untuk dapat melihat permasalahan utama yang ada,
wacana yang berkembang, maupun usahausaha yang telah ada, agar dapat menemukan suatu
inovasi baru dalam upaya rekonsiliasi.

Seperti halnya yang terjadi pasca kontestasi politik Pilkada DKI Jakarta 2017, salah satu
tindakan rekonsiliasi yang dilakukan oleh masyarakat muncul dalam kegiatan 1000 lilin serta
nyanyian lagu kebangsaan di gedung kantor Gubernur DKI Jakarta. Gerakan ini merupakan salah
satu contoh gerakan yang dilakukan oleh masyarakat untuk merajut kembali semangat pluralisme
yang sempat terkoyak dalam kontestasi pilkada di DKI Jakarta. Namun demikian, tindakan
tersebut tidak cukup bila tidak didukung oleh adanya peran serta tokoh masyarakat maupun
pemerintah serta DPR RI. Oleh sebab itu, perlu adanya kesadaran masyarakat dan setiap eleman
bangsa agar tidak terprovokasi dalam benturan identitas, sehingga, masyarakat dapat kembali ke
konsensus identitas Pancasila dan mampu menerima setiap perbedaan yang ada. Selanjutnya,
rekonsiliasi tersebut harus terus dilakukan secara berkesinambungan. Hal ini penting karena
rekonsiliasi akan membuat setiap pihak dalam bangsa ini mampu memahami bahwa keragaman
dan perbedaan merupakan kenyataan bangsa sekaligus menjadi penggerak agar setiap pihak tetap
maju bergerak ke depan. Dalam masyarakat yang terpecah akibat konflik maupun pertikaian,
rekonsiliasi adalah suatu keharusan yang mutlak dilakukan untuk menuju masa depan yang
damai. (John Paul Lederach, 1999: 23).
BAB 3

PENUTUPAN

3.1.Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dipaparkan maka dapat ditarik suatu kesimpulan :

1. Politik identitas adalah suatu tindakan politik yang dilakukan individu atau sekelompok
orang yang memliki kesamaan identitas baik dalam hal etnis, gender, budaya, dan
agama untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan anggotanya.
2. Identitas politik merupakan sebuah konstruksi yang menentukan posisi kepentingan
subjek. Sedangkan Politik identitas mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian
identitas.
3. Dampak positif dari adanya politik identitas adalah ada upaya untuk tetap melestarikan
nilai budaya yang menjadi ciri khas kelompok yang bersangkutan, sehingga
pengguatan akan budaya tidak akan luntur dan hilang. Sedangkan dampak negatif dari
adanya politik identitas adalah jika dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab mampu memicu adanya diskriminasi antar kelompok satu dengan
yang lain.

3.2.Saran

Dari makalah yang telah kami susun, kami dapat memahami pentingnya politik identitas
di Indonesia. Saran kami adalah agar warga negara Indonesia menerapkan politik identitas
namun masih mengingat dengan jelas bahwa kita adalah bangsa yang satu dan berlandaskan
Pancasila sehingga tidak menimbulkan perpecahan dan diskriminasi baik dalam segi agama,
social, suku, ekonomi, maupun budaya.
Daftar Pustaka

Abdillah, Ubed. (2002). Politik Identitas Etnis. Magelang: Indonesia Tera.

Buchari, Sri Astuti. (2014). Kebangkitan Etnis Menuju politik Identitas. Jakarta: YOI.

Cressida Heyes. 2007. Identity Politic. Amerika Serikat: Stanford Encyclopedia of


Philosophy.

Geiko Muller dan Fahrenholz. (2005). Rekonsiliasi Upaya Memcah Spiral Kekerasan dalam
Masyarakat. Maumere: Ledalero.

Gerry Van Klinken.2007. Peran Kota Kecil. Jakarta. YOI dan KITLV

Habibi, Muhammad. 2017. Analisis Politik Identitas di Indonesia. Samarinda : Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman.
https://www.researchgate.net/publication/315338050

Haboddin, Muhtar. 2012. Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal. Malang : Jurusan
Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya. http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0007

John Paul Lederach. (1999). Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies.
Liverpool: Library of British Council.

Kristianus. 2016. Politik dan Strategi Budaya Etnik dalam Pilkada Serentak di Kalimantan
Barat. Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review. Vol. 1 (1): 87-101.
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI

Maarif , Ahmad Syafii. (2012). Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta:
Democracy Project.

Nasrudin, Juhana., Ali Nurdin, Ahmad. 2018. POLITIK IDENTITAS DAN


REPRESENTASI POLITIK (Studi Kasus pada Pilkada DKI Periode 2018-2022). Hanifiya:
Jurnal Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 1(1): 34-47.

Sanur L, Debora. 2017. REKONSILIASI POLITIK IDENTITAS DI INDONESIA. Majalah


Info Singkat Pemerintahan dalam negeri. Vol. IX, No.10.

Setyaningrum, Arie.”Memetakan lokasi bagi politik identitas dalam wacana politik


poskolonial dalam “Politik perlawanan” Yogyakarta: IRE, 2005.

Widayanti, Titik. 2009. Politik Subalter: Pergulatan Identitas Waria. Yogyakarta: UGM.
Wantona,Saradi, dkk. 2018. PRAKTIK POLITIK IDENTITAS DALAM DINAMIKA
POLITIK LOKAL MASYARAKAT GAYO. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, Vol.6 (1):
79-87.

Zahrotunnimah’. 2018. Sejarah Politik Identitas dan Nasionalisme di Indonesia. ADALAH


Buletin Hukum & Keadilan. Vol.18,No.10b.

Anda mungkin juga menyukai