Anda di halaman 1dari 19

POLITIK IDENTITAS DI INDONESIA

(ETNONASIONALISME PAPUA DI INDONESIA )

DISUSUN
OLEH:

DOMINGGUS KOSAMAH
2116021025
REG -A
SISTEM POLITIK INDONESIA
PENGAMPU : BUDI HARJO,S.SOS.,M.IP.

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Atas Segala Kemudahan Dan Petunjuk Dari-
Nya Yang Tak Henti-Hentinya Penulis Terima, Hingga Saat Ini Penulis Telah Menyelesaikan
Sebuah Karya Tulis Yang Dengan Judul “POLITIK IDENTITAS DI INDONESIA

(ETNONASIONALISME PAPUA DAN DEMOKRATISASI DI INDONESIA)”

Karya ilmiah ini di buat untuk memberi kita pemahaman tentang politik identitas di Indonesia
serta solusi keetnisan di papua.

Penulis Berterima Kasih Kepada Semua Pihak Yang Telah Membantu Dan Memberi
Dukungan Dalam Proses Penyelesaian Karya Tulis Ini. Kepada Keluarga, Teman- Teman
Yang Telah Membantu Untuk Menyelesaikan Karya Ini, Penulis Ucapkan Banyak Terima
Kasih.

Penulis Menanti Saran Dan Kritikan Yang Membangun Agar Penulis Kedepanyanbisa
Menulis Dengan Lebih Baik Lagi. Semoga Karya Ini Dapat Memberikan Kontribusi Dalam
Pengembangan Pendidikan Di Sekolah. Sebagaimana Peribahasa Tak Ada Gading Nan Tak
Retak, Mohon Dimaafkan Segala Kekeliruan Yang Ada Pada Karya Tulis Ini. Segala Kritik
Dan Saran, Tentu Akan Diterima Dengan Tangan Terbuka.

Bandar Lampung, Sabtu, 18 Juni 2022

Dominggus Kosamah
DAFTAR ISI

HALAM JUDUL .................................................................................................................................... I

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. II

DAFTAR ISI ............................................................................................................................................ III

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1

1.1 LATAR BELAKANG....................................................................................................................... 1


1.2 RUMUSAN MASALAH................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................................... 3

2.1 PENGERTIAN POLITIK IDENTITAS.......................................................................................... 4

2.2 DEFENISI ETNONASIONALISME .............................................................................................. 5

BAB III ETNONASIONALISME PAPUA DI INDONESIA ............................................................. 6

3.1 KONSTRUKSI ETNONASIONALISME PAPUA......................................................................... 6

3.2 KEKERASAN NEGARA DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) ............... 7

3.3 PERANAN DIALONG SEBAGAI SOLUSI UNTUK MENGATASI KONFLIK DI PAPUA .. 8

BAB IV PENUTUP.................................................................................................................................. 9

1.3 KESIMPULAN.................................................................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... v


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Konflik papua sejauh ini belum mengarah pada Gerakan etnonasionalisme yang
secara politik dan ekonomi mampu secara signifikan mengancam keutuhan dan itegritas
republic Indonesia (RI). Etnonasionalisme papua sebagai wacan dan tuntutan pemisahan
diri memang sempat menguat beberapa tahun setelah soeharto jatuh pada 1998, namun
melemah sejak pembunuhan Theys Eluay pada 2001.

Selain kelemahan internal di dalam Gerakan papua merdeka, keberhasilan sistem


politik electoral terutama pilkada, papuanisasi di lingkungan birokraasi, dan menguatnya
upaya penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi, mempengaruhi penguatan
integrasi nasional dalam bentuk peningkatan partisipasi orang asli papua ke dalam sistem
politik kepercayaan publik secara terbatas pada sistem hukum republik Indonesia (RI).

Namun demikian, kualitas integrasi praktik demokrasi yang substansial dan


pembangunan manusia masih terhalang oleh berbagai persoalan mendasar dari masa lalu
yang belum di selesaikan untuk membagun hubungan politik Jakarta – papua yang lebih
adil, konstruktif dan demokratis.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Mengapa Orang Papua Menuntut Kemerdekaan Dengan Menggunakan Platfom
Etnisitas Papua?
2. Apa Faktor – Faktor Yang Menyebakan Orang Papua Menggunakan Identitas
Kepapuanya Untuk Menuntut Pemisahan Diri Dari Republik Indonesia ?
3. Bagaimna Perkebangan Demokrasi Indonesia Di Papua ?
4. Bagaimna Solusi Untuk Menyelesaikan Konflik – Konflik Di Papua Secara
Menyeluruh ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PEGERTIAN POLITIK IDENTITAS

Pada dasarnya politik identitas bisa dikatakan sebagai alisan politik yang di dasari
pada kesamaan masyarakat yang terpnggirkan atau yang mencoba menghimpun kekuatan
untuk menunjukan kelompok-kelompok tertentu dalam proses eksistensi dirinya menjadi
lebih besar.

Politik Identitas adalah politik yang didasari atas kesamaan beranegarakam bentuk
gerakan sosial dalam masyarakat. Politik identitas ini dimanfaatkan untuk mendulang suara-
suara dalam pemilihan demokrasi di berbagai belahan negara di dunia.

Politik identitas secara sederhana dimaknai sebagai strategi politik yang


memfokuskan pada pembedaan dan pemanfaatan ikatan primordial sebagai kategori
utamanya. Politik identitas dapat memunculkan toleransi dan kebebasan, namun di lain pihak,
politik identitas juga akan memunculkan pola-pola intoleransi, kekerasan verbal-fisik, dan
pertentangan etnik dalam kehidupan. Problematika kebangsaan kembali mengedepan tatkala
bangsa ini memasuki era demokratisasi.

2.1.1 Pengertian Politik Identitas Menurut Para Ahli

Definisi politik identitas dalam pendangan para ahli, antara lain;

 Abdillah (2002), Definisi politik identitas adalah politik yang dasar utama kajiannya
dilakukan untuk merangkul kesamaan tas dasar persamaan-persamaan tertentu, baik
persamaan agama, etnis, dan juga persamaan dalam jenis kelamin.
 Cressida Heyes, Arti politik identitas adalah suatu jenis aktivitas politik yang diakaji
secara teoritik berdasarkan pada pengalaman-pengalaman persamaan da ketidakadilan
yang dirasakan oleh golongan-golongan tertentu, sehingga menghimpun kesatuan
untuk menaikan drajat dan martabatnya.
 Stuart Hall, Makna politik identitas adalah proses sosial dan interaksi sosial yang
dibentuk melalui sistem sosial bawah sadar manusia, sistem ini rejadi karena adanya
ketidakpuasaan dalam menghadapi berbagai macam arti masalah sosial yang terjadi.
2.1.2 Konsep Politik Identitas
Politik identitas sendiri merupakan konsep baru dalam kajian ilmu politik.
Politik identitas adalah nama lain dari biopolitik dan politik perbedaan. Biopolitik
mendasarkan diri pada perbedaan-perbedaan yang timbul dari perbedaan tubuh.
Dalam filsafat, sebenarnya wacan ini sudah lama muncul, namun penerapannya dalam
kajian ilmu politik mengemuka setelah disimposiumkan pada suatu pertemuan
internasional Asosiasi Ilmuan Politik Internasional di Wina pada 1994.

Pertemuan tersebut menghasilkan konsepsi tentang dasar-dasar praktek politik


identitas dan menjadikannya sebagai kajian dalam bidang ilmu politik. Agnes Haller
mengambil definisi politik identitas sebagai konsep dan gerakan politik yang fokus
perhatiannya adalah perbedaan (difference) sebagai suatu kategori politik yang utama.
Setelah kegagalan narasi besar (grand narative), ide perbedaan telah menjanjikan
suatu kebebasan (freedom), toleransi dan kebebasaan bermain (free play), meskipun
kemudian ancaman baru muncul. Politik perbedaan menjadi suatu nama baru dari
politik identitas; rasisme (race thinking), biofeminimisme dan perselisihan etnis
menduduki tempat yang terlarang oleh gagasan besar lama. Berbagai bentuk baru
intoleransi, praktek-praktek kekerasan pun muncul.

kerangka ini, hubungan interaktif antar kelompok perbedaan, terutama


kelompok etnis yang berbeda-beda harus menjalin suatu kerangka etis, dalam hal ini
adalah sikap toleran. Toleransi politik hanya mungkin dalam suasana politik negara
yang demokratis. Oleh karena toleransi politik (political tolerance) sangat dipengaruhi
oleh sistem, struktur, dan atmosfer politik yang berlaku. John Sullivan at al. yang
menganalisis konsep dan penerapan toleransi poltik di tiga negara yang berbeda:
Amerika Serikat,Selandia Baru, dan Israel, menemukan kadar intensitas toleransi
yang berbeda- beda. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain tingkat
kemakmuran ekonomi, struktur dan sistem politik, faktor psikologi politik.
2.1.3 Perkembangan Politik Identitas
Klaus Von Beyme menganalisis karakter gerakan identitas dalam beberapa
tahap perkembangannya, mulai dari tahap premodern sampai dengan postmodern.
Perpecahan fundamental, kelompok-kelompok kesukuan dan kebangsaan
memunculkan gerkan sosial politik.

Kemunculan politik etnis diawali dengan tumbuhnya kesadaran yang


mengidentikan mereka kedalam suatu golongan atau kelompok etnis tertentu.
Kesadaran ini kemudian memunculkan solidaritas kekelomokkan dan kebangsaan.
Politik etnis mengacu pada politik “kelompok etnis” dan “minoritas kecil”, sementara
penfsiran kelomok etnis bisa mencakup bangsa etnis (ethnic nation). Pada wacana
politik kontemporer nuansanya lebih sempit. Dalam konteks ini, biasanya kelompok
etnis atau minoritas etnis tidak memiliki teritori tertentu.

2.2 DEFENISI ETNONASIONALISME


Nasionalisme etnis, juga dikenal dengan sebutan etno-nasionalisme, adalah jenis
nasionalisme yang mendefinisikan "bangsa" berdasarkan etnis. Gagasan utama yang
diangkat oleh kelompok nasionalis etnis adalah "bangsa didefinisikan oleh warisan
budaya yang sama, yang biasanya mencakup bahasa yang sama, agama yang sama, dan
nenek moyang etnis bersama". Gagasan ini berbeda dengan gagasan "bangsa"
berdasarkan budaya, karena gagasan tersebut memungkinkan seseorang dari kelompok
etnis lain untuk berasimilasi. Gagasan ini juga berbeda dengan nasionalisme linguistik
yang mendefinisikan "bangsa" berdasarkan bahasa yang dituturkan.

Asumsi utama dalam gagasan ini adalah kelompok etnis dapat didefinisikan
dengan jelas, dan setiap kelompok memiliki hak penentuan nasib sendiri. Aspirasi yang
diinginkan bisa bermacam-macam, dari keinginan untuk memiliki pemerintahan sendiri
di dalam suatu negara, keinginan untuk memperoleh otonomi, hingga keinginan untuk
merdeka. Dalam hubungan internasional, nasionalisme etnis dapat melahirkan gerakan
iredentisme.

Etnonasionalisme juga merupakan paham kebangsaan yang didasarkan pada


sentimen suku, ras, agama sebagai dasarnya. Etnisitas atau semangat etnosentris
kemudian dimanifestasikan ke dalam suatu entitas politik yang sering disebut dengan
negara bangsa. Perspektif etnis di sebuah negara, merujuk pada kelompok-kelompok
kecil yang mempunyai sejarah panjang dan budaya tersendiri dalam sebuah negara.
Konsensus gerakan etnonasionalisme ini secara fundamental terletak pada problematik
politisasi kebangsaan dan primordialistik daripada masalah ekonomi.
BAB III
ETNONASIONALISME PAPUA DI INDONESIA

3.1 KONSTRUKSI ETNONASIONALISME PAPUA

3.1.1 Etnonasionalisme Didikan Belanda

Menurut Richard Chauvel, sejak awal pejabat pemerintahan kolonial Belanda mulai
dari J.P.K van Eechoud hingga Th. H. Bot sama – sama memyadari bahwa topografi dan
keragaman etnis papua membuat kesadaran nasionalisme ke – Papuan – an di kalangan orang
asli papua lemah. Salah satu tujuan penting pemerintah saat itu adalah merangsang
tumbuhnya kesadaran nasionalisme itu. Identitas kepapuaan dan nasionalisme yang berbeda
dengan Indonesia secara terprogram di bangun oleh belanda. Kontribusi Lembaga pusat
Pendidikan dan pelatihan yang didirikan belanda sangat besar. Dua produk utamanya yang
terpenting adalah papau virjwilige korps (PVK) dan dewan Nieuw Guinea.

Dalam proses nation bulding papua, dua tokoh utamanya adalah pendeta Issak Kijne
dan Miei wandamen sejak 1925, Kijne telah mendidik lebih dari 1.000 orang papua. Pada
1930, generasi pertama sudah lulus dan berperan penting dalam kepemimpinan baru orang
papua dengan kebanggaan, harga diri, dan kebesarn orang Papua. Pada 1961, Kijne pulang
yang menciptakan lagu Hai Tanahku Papua yang menjadi symbol utama Gerakan papua
merdeka selain bintang kejora (BK). Sedangkan Van Eechoud berjasa dalam papuanisasi
jabatan administrasi pemerintahan dan membentuk batalyon papua pertama yang berjumlah
400 orang serdadu papua.

Pada 1949, pemerintah belanda degan bantuan misi dan zending sudah berhasil
meluluskan 1.700 orang asli papua yang bekerja sebagai guru, pegawai, paramedis, petugas
pertanian, dan pegawai pemerintah pada umunya. Pada awal 1960-an, sebelum belanda
meninggalkan Indonesia, jumlah orang asli papua yang terdidik mencapai 40.000. diantara
generasi pertama terdidik papua yang menonjol antra lain Nicholas Markus Kaisepo,A.Indey,
Lukas Rumkorem, Silas Papare, dan H,Womsiwor.

Para pejabat dan intelektual Belanda juga gencar membuat dan memperkuat citra
Antagonis antra papua dan non papua atau amber (Orang Indonesia). Sebagai contoh,
menurut Van Baal seorang pejabat koloniel, orang asli papua menganggap amber sebagai
orang asing yang mengonolisasi tanah mereka. Hubungan papua-amber dikonstruksikan oleh
literartur colonial dalam karakter antagonistis. Indonesia merupakan amber yang menjajah
tanah papua. Sementara itu belanda dikonstruksikan secara protagonistis dan mulai seperti
pembawa kemajuan Pendidikan, agama Kristen, kemakmurang, dan perlakuan yang
manusiawi terhadap orang asli papua.

3.1.2 Perbedaan Ras Dan Budaya

Faktor ras dan budaya merupakan argument formal utama pemerintah belanda untu
ktidak menyerahkan papua ke Indonesia pada 1949. Argumen ini pulah yang berkembang di
kalangan pemimpian papua pada masa itu. Menurut salah satu OPM, Jacob Prai, alasan
utama utnuk menuntut kemerdekaan papua adalah perbedaan mendasar secara rasial antara
orang Indonesia dan orang asli papua . orang Indonesia berasal dari Ras Melayu dan papua
adalah Ras Melanesia. Orang papua sesuai dengan ciri fisiknya yang berkulit Gelap dan
berambut Keriting, berbeda dengan orang Indonesia yang berkulit terang dan berambut lurus.
Lebih jauh lagi, secara teologis di katakana bahwa akar persoalan dari tuntutan papua
merdeka ialah Tuhan, karena Tuhan menciptakan manusia yang berbeda. Salah satu fondasi
identitas ke-papua-an dalam hal ini didasarkan pada perbedaan Rasial.

Selain perbedaan Rasial, perbedaan itu juga dilihat dari segi Budaya. Benny Giay
mengutip suatu ungkapan,”perbedaan , makanan dan pakaian , warna kulit dan rambut
mereka jadikan dasar untuk membenarkan bahwa orang damal bukan orang Indonesia, dan
orang Indonesia bukan orang damal”, Benny Giay mempertajam perbedaan itu dengan
meluaskan tanda – tanda perbedaan dengan menunjukkan bahwa perbedaan budaya itu
seakan – akan secara permanen tidak bisa membuat orang papua menjadi orang Indonesia.

Pendekatan rasial dan budaya sebagai dasar pembentukan nasion bertentangan secara
langsung dengan nilai-nilai idieal Indonesia.presidengan republik Indonesia (RI) pertam,
soekarnao,mengatakan bahwa suatu bangsa bukan soal Ras, warna kulit, atau kebudayaan. Di
mata Soekarno, Perbedaan yang dimiliki oleh orang Asli papua dengan warga negara
Indonesia lainnya tidak menjadi masalah dalam membangun bangsa Indonesia. Indonesia
adalah Bermacam – macam suku bangsa yang mendiami daratan dan pulau-pulau bekas
Hindia Belanda yang berbenteng dari Merauke hingga Sabang. Dengan dasar ini, kalangan
Nasionalis Indonesia menilai keinginan orang papua untuk memisahkan diri dari RI sebagai
Aspirasi Separatis.

3.1.3 Antaginosme Papua-Amber

Antagonisme papua - amber berawal degan pendirian pos pemerintah belanda pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Yaitu jumlah aparatur dari pihak belanda terbatas.
Petugas kolonial menegah bawah sebahian besar diisi oleh orang-orang Indonesia asal
maluku dan daerah lain di luar papua. Pendatang terasa mendominasi birokrasi kolonial
belanda. Baru setelah 1945, orang-orang asli papua mulai menjadi pegawai pemerintah
kolonial belanda. Setelah tahun 1950-an Bersama degan ekspansi administrasi kolonial di
papua, perekrutan pegawai asli papua di lakukan dalam jumlah besar. Pada 1960-an sudah di
rekrut 10.000. dari jumlah itu, pada tahun 1962 -1963 saat transfer kekuasaan ke Indonesia
oleh (UNTEA) hanya ada 60 pegawai asli papau di posisi menengah.

Hubungan papua – amber ini kata Chauvel berakar dari sistim dual colonialism
belenda. Sehari-hari representasi pemerintah kolonial adalah amber. Kontestasti yang
menempatkan posisi amber superior, melahirkan antagonisme pegawi asli papua versus
amber. Dalam kaitan dengan kontestasi itu, kaum amber di sebut sebgai antek-antek penjajah
dari pada orang -orang belanda sendiri yang tidak setiap hari bertatap muka dengan rakyat
papua. Ini menjadi salah satu bibit penting perasaan anti-indonesia.

Sikap anti – amber ini mengeras juga karena Nederlandase Nieuw Guinea (NNG)
sendiri sudah dipisahakan dari struktur administrasi hindia belanda di Batavia, sehingga
pegawai asli papua tidak terdidik atau di tempatkan di luar NNG. Penempatan pegawai asli
papua di luar suku di lingkungan NNG, memungkinkan pertemuan antara warga suku-suku
sesame papua dengan ciri fisik dan perasaan yang sama. Hal ini juga memperkuat dan
memperluas identitas papua meskipun masih terbatas di kalangan pegawai kolonial asal
papua.

Citra buruk amber yang berasosiasi dengan Indonesia semakin kuat Ketika
pemerintah Indonesia sejak 1963 dinilai justru menyingkirkan elit-elit papua didikan belanda
karena perbedaan fisik dan pandangan politik. E.J.Bonay, Herman Wayoi, Fritz Krihio dan
Clemens Runaweri pernah mencoba pragmatis dan masuk ke dalam sistim Indonesia tetapi
merasa gagal dan tersingkir. Pihak pemerintah RI cenderung menyingkirkan elit-elit strategis
papua yang di anggap separatis. Para elit produk papuanissasi di masa RI. Kegagalan ini
memotivasi tumbuhnya nasionalisme papua dan membentuk interpretasi dominan di kalangan
publik asli papua atas sejarah hubungan papua-amber pada satu sisi dan papua-indonesia
pada sisi lainnya.

Pahitnya, pada masa awal pemerintah Indonesia berkuasa,penguasa pemerintahan


pada masa itu yang didominasi oleh militer rasa sebagai pemenang perang.akibatnya,
pemerintah tidak memiliki kebijakan yang inklusif apalagi yang rekonsiliatif. Terlebih lagi
pada saat itu pemerintah Indonesia terobsesi untuk mematikan nasionalosme papua, namun
yang terjadi sebaliknya, menyuburkan nasionalisme papua dan mengalienasi mereka dari
Indonesia. Konstruksi sosial papua-amber yang antagonistis di lingkungan birokrasi
pemerintah berlanjut dan berkembang meluas ke masyarakat umum hingga rezim orde baru
berkhir dan sampai sekarang.

3.1.4. Pembangunan Meninggalkan Orang Papua

Masyarakat orang asli papua Sebagian besar hidup di pedesaan dan di pedalaman
setelah 56 tahun terintergrasi ke dalam republik Indonesia, belum menikmati manfaat
optimal kehadiran negara melaluai pelayanan publik terutama di bidang
Pendidikan,Kesehatan,infrastruktur, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Di bidang
Pendidikan dasar, maslah -maslah dasar ketersediaan sekolah dan guru untuk anak-anak usia
sekolah belum pernah di tuntaskan. Begitu juga di bidang Kesehatan,puskesmas dan
puskesmas pembantu di pedesaan yang tepencil masih mengalahmi maslah dasar, yakni
pengadaan obat dan ketersediaan tenanga medis dan pramedis. Desa-desa terpencil masih
mengalami persoalan infrastruktur tanpa perbaikan yang signifikan. Belu mlagi kondisi
ekonomi rakyat papua di pedalaman masih melingkar di persoalan yang kurang lebih sama.
Kegagalan penyediaan pelayaan publik yang mendasar, membuat masyrakat asli papua
kebanyakan yang berada di pedalaman dan daerah terpencil terhalang untuk meningkatkan
kesejaterahannya.

Kegagalan itu juga disebabkan oleh kontrasnya perbedaan budaya orang asli papua
dengan unsur negara, dunia usaha, dan pendatang yang mendominasi dinamika perubahan
ditanah mereka. Meskipin sudah 56 tahun memerintah di papua, pemertintah Indonesia secara
umum tidak berhasil membuat kebijakan yang berbasis kondisi sosial budaya dan geografis
yang memungkinkan orang asli papua belajar memahami dan mempersiapkan diri untuk
berpartisipasi secara aktif dalam berbagai kegiatan pembagunan dan perubahan yang
mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi mereka. Alhasil, Interaksi sosial budaya yang
terbangun adalah hubungan yang asing secara mutual, stereotipikal, penuh dengan stigma,
dan kesalapahaman yang kerap fatal. Masyarakat asli sering berperilaku resista pada program
pemerintah yang sebenarnya menguntungkan mereka sendiri, sementara petugas pemerintah
sulit melaksanakan program yang telah di tetapkan kartena gagal melakukan pendekatan yang
sesuai dengan kebudayaan lokal.

Strategi pembangunan nasional selama orde baru dan setelahnya, memang di tunjukan
untuk moderinisasi kehidupan masyarakat papua dan memperkuat integrasi nasional.
Tekanan pade agenda politik intergrasi nasional diberikan secara berlebihan , sehunga
kebijakan Jakarta pada masa orde baru cenderung militeristik. Kepentingan dan pertimbagan
keamanan lebih di utamakan, sehinga seringkali mengorbankan kepentingan untuk
membangun dan mensejaterahkan masyarakat asli papua. kehadiran indonesai di daeraj-
daerah pedalaman dan terpencil secara dominan di representasikan oleh kehadiran pos militer
dengan kekerasan sebagai ekses dan bukan aparat sipil dengan manffat pelayanan publiknya.
Intergrasi nasional secara fisik dan legal memang bisa di pertahankan sekarang ini, tetapi
pada saat yang sama legitimasi melemah dan akibatnya aspirasi orang asli papua untuk
pemisahan diri juga menguat

Selama ini pembangunan ekonomi nasional di papua bertumpuh pada eksploitasi


sumber daya alam. Kegiatan eksploitasi ini dinilai telah mengabaikan suara dan hak-hak
orang asli papua atas tanah ulayat mereka. Pengambil-alihan lahan untuk kegiatan ekonomi
tersebut, telah menjadi sumber konflik antara penduduk lokal pemilik tanah ulayat melawan
perusahaan dan juga pemerintah. Di dalam konflik tersebut, aparat keamanan negara (TNI
dan POLRI) jelas melindungi kepentingan perusahan dan pemerintah. Aparat negara yang
terlibat dan berkepentingan dalam berbagai konflik, mengunakan kekerasan dengan
mengunakan stigma separatis dan dengan dalih menjaga intergritas NKRI. Meskipun sudah
terjadi perubahan pola dan pelaku konflik, keterlibatan aparat keamanan ini setidaknya
berlangsung hinga beberapa tahun setelah jatuhnya Soehareto. Konflik kekerasan ini
merupakan salah satu sebab penting terjadinya pelangaran HAM di papua.
3.2 KEKERASAN NEGARA DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Berbagai publikasi menunjukan bahwa kekerasan oleh aparat negara terhadap


penduduk sipil papua terjadi sejak awal dasawarsa 1960 – an. Konflik bersenjata antara
pasukan ABRI dengan gerilyawan OPM serta kekerasan terhadap penduduk sipil, tidak
pernah muncul ke permukaan secara jelas apalagi dipertanggungjawabkan. Baru pada
pertengahan 1980-an, praktik kekerasan ini menjadi wacana publik. Sejalan dengan
menguatnya Gerakan pro- demokrasi Indonesia pada 1990-an, kasus pelanggaran HAM di
papua mulai dimunculkan ke publik persisnya sejak kasus tembagapura akhir 1994-1995 dan
kasus Bella Alama 1997.

Sejak 1998 reformasi politik bergulir, kekerasan oleh aparat negara tidak berhenti.
Saat itu tuntutan kemerdekaan papua meluas dan dilakukan dengan terbuka, tuntutan ini
mengundang represi yang juga meningkat. Tahun 1998 hingga 2006 merupakan masa yang
diwarnai secara dominan oleh kekerasan politik,utamanya oleh aparat keamanan, baik TNI
maupun Polisi.

Berbagai LSM dan komnas HAM telah berusaha membawa kasus – kasus pelangaran
HAM ke pengadilan HAM, Namun kasus – kasus ini ada yang di sidangkan tapi hasilnya
nihil dan ada kasus yang sama sekali tidak di selesaikan.

Operasi militer di papua sejak 1965 hingga 1998, dimaksudkan untuk mengakhiri
Gerakan bersejanta OPM yang beroperasi di hutan dan di daerah pedelamaan papua. Bayak
militer yang di kirim ke papua untuk memutuskan jaringan Gerakan OPM di papua, tetapi
banyak masyarakat sipil yang jadi korban. Jumlah korban kekerasan yang di perkirakan sejak
1963 hingga sekarang di berbagai publikasi masih spekulatis, bervariasi antara 100 ribu jiwa
hingga 500 – 1.000 jiwa .

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa fondasi kesadaran dan identitas papua secara
sistematis dikonstruksi oleh pemerintah kolonial belanda. Upaya konstruksi ini di lakukan
dengan memanfatkan faktor perbedaan ras dan budaya yang digunakan sebagai wacana
formal. Proses menjadi papua bagi orang – orang asli papua yang membedakannya dengan
orang Indonesia di perkuat oleh Tindakan pemerintah Indonesia sejak Indonesia menguasai
papua pada tahun 1963, yang di mulai dengan pengelaman sejarah intergrasi papua “cacat
legitima” di perparah dengan antagonisme dan kompetisi antara amber versus asli papua yang
menghasilkan marginiggalkan sehingga menimbulkan efek diskriminatif terhadap orang asli
papua, dan diperburuk dengan catatan kekerasan negara dan pelanggaran HAM. Jadi,
identitas papua digunakan sebagai pembeda, instrument, sekaligus representasi berbagai
persoalan konkret yang semakin kompleks dari sejak zaman colonial hingga sekarang ini.

3.3 PERANAN DIALONG SEBAGAI SOLUSI UNTUK MENGATASI KONFLIK DI


PAPUA

Dari perspektif saya , dialog tidak dilihat sebagai solusi dari suatu konflik. Dialog
bukanlah salah satu solusi di antara sekian solusi yang ditawarkan atau tersedia. Dialog
dipandang sebagai sarana atau alat yang dapat digunakan untuk mendalami konflik secara
intensif dan menemukan solusi yang terbaik bagi semua pihak yang terlibat dalam konflik.

Dialog diakui sebagai sesuatu yang esensial, tetapi tetap merupakan salah satu, bukan
satu-satunya, sarana dalam memperjuangkan keadilan dan perdamaian. Proses perubahan
konflik Papua dari destruktif menjadi konstruktif tidak dapat dilakukan melalui jalan
kekerasan. Pengalaman selama 52 tahun memperlihatkan bahwa penembakan, pembunuhnan,
penganiayaan, intimidasi, teror, operasi militer, dan bentuk-bentuk kekerasan yang lain tidak
pernah berhasil mengubah situasi yang destruktif menjadi konstruktif di Tanah Papua.

Hal ini dapat dimaklumi karena sesuatu yang konstruktif tidak dapat dibangun dengan
mengandalkan dan menggunakan pendekatan dan sarana yang destruktif. Maka, perubahan ke
arah yang konstruktif menuntut cara-cara dan mekanisme yang konstruktif. Tanpa
mengabaikan sarana-sarana perubahan konstruktif yang lain, dialog mempunyai kedudukan
yang penting dalam proses transformasi konflik Papua.

Dalam dialog pihak pemerintah dan orang Papua tidak saling menuding, menuduh,
dan mempersalahkan satu sama lain. Dialog bukan tempat saling mengadili, melainkan
wadah semua pihak yang terlibat dalam konflik Papua bisa bertemu dan atau dipertemukan.
Tujuannya untuk mengatur proses transformasi konflik dari yang destruktif menjadi
konstruktif.

Caranya adalah bersama membangun mekanisme penyelesaikan konflik yang


berprinsip anti-kekerasan (non-violence), berkesinambungan, partisipatif, dan bersikap
responsif dalam jangka waktu pendek tetapi juga strategis dalam jangka panjang. Dalam
dialog, partner dialog tidak dipandang sebagai musuh yang perlu dibasmi dari muka bumi,
melainkan sebagai sesame manusia yang mempunyai martabat kemanusiaan. Kemanusiaan
dari partner dialog, bukan hanya diakui dan dihormati, tetapi dijadikan fondasi dari dialog.
Partner dialog dipandang sebagai sesama manusia yang dapat memberikan sumbangan yang
konstruktif dalam menyelesaikan konflik Papua.

Melalui dialog, semua pemangku kepentingan dapat berpartisipasi dalam menganalisa


tentang perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh konflik pada beberapa level yakni
personal, relasional, struktural, dan budaya. Melalui dialog, para pemangku kepentingan
dapat mengidentifikasi perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh konflik Papua,
masalahmasalah yang perlu dicarikan solusinya dengan cepat di berbagai level (personal,
relasional, spiritual, dan budaya), serta merancan perubahanperubahan yang dikehendaki, dan
bersama-sama menetapkan mekanisme untuk mendapatkan solusi-solusi yang responsif tetapi
juga strategis.

Dialog Jakarta-Papua membuka ruang dan kesempatan bagi semua pemangku


kepentingan untuk menggali masalah-masalah yang mendasari konflik Papua, menganalisa
perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh konflik Papua, merancang visi bersama tentang
masa depan Papua yang dikehendaki oleh semua pihak, serta menetapkan perubahan-
perubahan yang dikehendaki oleh semua pihak.

Pentingnya dialog antara pemerintah pusat yang berkedudukan di Jakarta dan orang
Papua yang bergabung dalam OPM guna menyelesaikan konflik Papua sudah diakui dan
didukung oleh banyak pihak di Tanah Papua. Para pimpinan agama di Tanah Papua, baik
secara pribadi maupun kolektif, telah menyatakan dukungannya terhadap dialog sebagai
sarana penyelesaian konflik Papua. Para pimpinan agama Islam, Kristen Protestan, Katolik,
Hindu, dan Budha di Tanah Papua, secara bersama, berulang kali menekankan pentingnya
dialog demi menciptakan Papua Tanah Damai
BAB IV

PENUTUP

1.4 KESIMPULAN

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa fondasi kesadaran dan identitas papua secara
sistematis dikonstruksi oleh pemerintah kolonial belanda. Upaya konstruksi ini di lakukan
dengan memanfatkan faktor perbedaan ras dan budaya yang digunakan sebagai wacana
formal. Proses menjadi papua bagi orang – orang asli papua yang membedakannya dengan
orang Indonesia di perkuat oleh Tindakan pemerintah Indonesia sejak Indonesia menguasai
papua pada tahun 1963, yang di mulai dengan pengelaman sejarah intergrasi papua “cacat
legitima” di perparah dengan antagonisme dan kompetisi antara amber versus asli papua yang
menghasilkan marginiggalkan sehingga menimbulkan efek diskriminatif terhadap orang asli
papua, dan diperburuk dengan catatan kekerasan negara dan pelanggaran HAM. Jadi,
identitas papua digunakan sebagai pembeda, instrument, sekaligus representasi berbagai
persoalan konkret yang semakin kompleks dari sejak zaman colonial hingga sekarang ini.

Konflik antara pemerintah Indonesia dan orang Papua perlu ditransformasi dari
destruktif menjadi konstruktif. Perubahan ini dapat dilaksanakan melalui proses transformasi
konflik. Tentu semua pemangku kepentingan perlu dilibatkan dalam proses perubahan ini.
Keterlibatan mereka dapat dimungkinkan melalui dialog.

Sebuah team fasilitator perlu dibentuk guna mengintensifkan keterlibatan dari semua
pemangku kepentingan dalam proses transformasi konflik Papua melalui dialog. Team
fasilitator ini terdiri dari team pemerintah pusat yang diangkat oleh wakil presiden dan satu
team yang diangkat oleh masyarakat sipil di Tanah Papua. Team gabungan ini diharapkan
memfasilitasi dan mengatur tahapan dan keterlibatan dari semua pemangku kepentingan
dalam proses transformasi konflik.


DAFTAR PUSTAK

Vincet, Andrew. 2002. Nationalism and particularity.cambridge: cambridfge university


press.

Lederach, John Paul. 2003. Conflict Transformation. Intercourse (PA): Good

Books.

Sarapung, Elga. J. 2013. 100 Orang Indonesia Angkat Pena Demi Dialog Papua,

Yogyakarta: Interfidei.

Tebay, Neles. 2009. Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua, Jayapura:

Sekretariat Keadilan dan Perdamaian.

_____. 2012. Angkat Pena Demi Dialog Papua, Yogyakarta: Interfidei.

Tim Imparsial. 2011. Sekuritisasi Papua: Implikasi Pendekatan Keamanan

terhadap Kondisi HAM di Papua, Jakarta: Imparsial.

Widjojo, Muridan, S. (ed). 2009. Papua Road Map: Negotiating the Past,

Improving the Present and Securing the Future, Jakarta: LIPI

Sumber Internet

https://brainly.co.id/tugas/7431740

https://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme_etnis

Anda mungkin juga menyukai