Anda di halaman 1dari 18

ALIRAN POSITIVISME MENURUT AUGUSTE COMTE

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Filsafat Umum

Dosen Pengampu:
Andri Azis Putra, Lc, M. Phil

Disusun oleh Kelompok 3


Alando Hartono Putra 190810606
Muklas Dwi Saputro 18081975
Rizky Ramadhan Sekti Aji 190810511
Umi Choirini 18081861
Wahyu Eko Prabowo 18081983
Zanityara Syahsyadilla 180811017

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MERCUBUANA YOGYAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbilalamin, puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat


Allah SWT yang telah melimpahkan segala nikmat dan karunianya sehingga kami
menyelesaikan makalah kami sebagai upaya untuk memenuhi tugas Filsasat Umum
dengan judul “ALIRAN POSITIVISME MENURUT AUGUSTE COMTE”.
Dalam proses penyusunan makalah ini kami mendapatkan bantuan serta
dorongan motivasi dari berbagai pihak, teruntuk pihak-pihak yang telah
berkontribusi pada karya ini kami mengucapkan terima kasih.
“Tak ada jalan yang tak berlubang”, peribahasa itu lah yang tepat
menggambarkan karya kami ini, kami sudah berusaha memberikan yang terbaik
pada pengerjaan makalah ini, namun kesempurnaan hanyalah milik Allah
karenanya kami memohon maaf apabila ada beberapa hal yang mungkin tidak
berkenan bagi pembaca, dan kami mohon kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca agar kami dapat memperbaiki kesalahan serta menambahkan hal-hal
yang menjadi kekurangan kami.
Akhir kata kami berharap bahwa makalah ini mampu memberikan manfaat
serta wawasan bagi para pembacanya, dan juga pada kelompok kami pada
khususnya.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan Makalah
D. Manfaat Penulisan Makalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Pemikiran Positivisme menurut para Tokoh
B. Positivisme Menurut Auguste Comte
C. Kritik terhadap Pemikiran Positivisme
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadirnya aliran positivisme dalam ranah ilmu pengetahuan sosial
erat kaitannya dengan tokoh Augeste Comte, seorang filosof sekaligus
sosiolog ternama. Aliran ini mulai dikembangkan oleh Comte sejak abad ke-
19. Seiring dengan kemajuan jaman, positivisme juga dikembangkan oleh
beberapa tokoh teoritis lainnya. Beberapa pemikir positivisme, selain
Comte, yang cukup besar pengaruhnya dalam perkembangan positivisme
adalah Saint Simon, Emile Durkheim, Kolakowski dan Anthony Giddens.
Jika diartikan secara etimologi Positivisme berasal dari kata positive,
yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-
benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Dapat disimpulkan
pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham
yang dalam ‘pencapaian kebenaran’-nya bersumber dan berpangkal pada
kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak
dikaji dalam positivisme.
Auguste comte memadankan positivisme dengan sifat empiric,
objektif dan realitas. Pemikiran ini hanya mendasarkan dan membatasi
pengetahuan manusia pada data yang didapatkan oleh pancaindera belaka.
Mereka meyakini bahwa manusia tidak dapat lagi mengetahui lebih dari hal
tersebut. Comte meyakini bahwa konsepsi-konsepsi universal dan hal hal
yang tidak didapatkan langsung dari pancaindera. Oleh karena itu,
metafisika tidak bisa disebut sebagai sesuatu yang bersifat ilmiah. Pada
akhirnya, mereka sampai pada kesimpulan bahwa proposisi-proposisi
metafisik adalah serangkaian pengetahuan yang nihil dan tidak memiliki
makna. Auguste Comte meyakini ada tiga tahapan pemikiran yaitu tahap
teologis, tahap metafisik dan tahap positif. (Mohsen Gharawiyan, 2012 : 65-
66).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pemikiran Para Tokoh Terhadap Aliran Positivisme ?
2. Bagaimana Pemikiran Aliran Positivisme Menurut Auguste Comte ?
3. Bagaimana Kritik terhadap Pemikiran Aliran Positivisme ?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk mengetahui bagaimana pemikiran
Positivisme menurut Auguste Comte beserta beberapa tokoh lain, tahapan
pemikiran positivisme menurut Auguste Comte serta kritik terhadap
pemikiran positivisme dimana akan dijelaskan sesuai dengan referensi
tentang pemikiran Aliran positivisme.

D. Manfaat
1. Makalah ini bermanfaat bagi para pembacanya yang ingin mengetahui
bagaimana Pemikiran Auguste Comte tentang Positivisme.
2. Makalah ini bermanfaat bagi kami (kelompok 3) untuk memperdalam
pengetahuan dan memberikan pengetahuan bagi pembaca supaya ilmu
yang kami dapat dapat kami bagikan ke teman teman pembaca, selain
itu makalah ini bermanfaat bagi kami untuk dapat memenuhi tugas mata
kuliah Filsafat Umum. Makalah inipun digunakan untuk penilaian
secara objektif dalam pembelajaran mata kuliah Filsafat Umum.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tokoh yang menganut paham Positivisme


● Auguste Comte
Lahir pada 19 Januari 1798 di Montpellier, Perancis. Meninggal pada 5
September 1857 (umur 59 tahun). Comte berkebangsaan Perancis.
Pandangan tentang positivisme menurut Comte, gagasan bahwa kekuatan
sebenarnya mendorong orang dalam kehidupan adalah perasaan. Adapun
titik tolak dari pemikiran positivisme ini adalah yang telah diketahui secara
faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Yang dimaksud
“positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya. Positivisme
haanya membatasi diri pada apa yang tampak dari segala gejala. Positivisme
suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas berkenaan dengan
metafisik.
● John Stuart Mill
Lahir pada 20 Mei 1806 di Pentonville, London. Meninggal pada 8 Mei 1873
di Avignon, Perancis. Mengenyam pendidikan di University College
London
Pandangan Mill ia menerima psikologi sebagai ilmu. Jadi prinsipnya
terhadap Positivisme pantas untuk diteruskan karena berasal dari
pengalaman.
● Hippolyte Taine Adolphe
Lahir pada 21 April 1823 di Vouziers, Perancis. Meninggal pada 5 Maret
1893 di Paris, Perancis. Mengenyam pendidikan di École Normale
Supérieure. PandanganTaine untuk positivisme adalah ia mendasarkan diri
pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik, dan kesastraan.
● Emile Durkheim
Lahir pada 15 April 1858 di Épinal, Perancis. Meninggal pada 15 November
1917 di Paris, Perancis. Mengenyam pendidikan Lycée Louis-Le-Grand,
École Normale Supérieure, Universitas Leipzig
Pandangan Émile terhadap positivisme ia menganggap positivisme sebagai
asas sosiologi.

B. Positivisme Menurut Auguste Comte


Augeste comte membagi tahapan atau fase asumsi dalam positivisme,
antara lain:
1. Ilmu pengetahuan harus bersifat objektif. Objektivitas berlangsung pada
kedua pihak, yaitu subjek dan objek ilmu pengetahuan.
Pada pihak subjek, seorang ilmuwan tidak boleh membiarkan dirinya
terpengaruh oleh sentimen pribadi, penilaian etis, kepercayaan agama,
kepentingan kelompok, filsafat, atau apapun yang mempengaruhi
objektivitas dari objek yang sedang diobservasi. Pada pihak objek, aspek
dan dimensi lain yang tidak bisa diukur dalam observasi, misalnya roh atau
jiwa, tidak dapat ditoleransi keberadaannya.
2. Ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang terjadi berulang
kali, bukan berurusan dengan hal-hal yang unik dan terjadi satu kali karena
hal tersebut tidak akan membantu untuk meramalkan sesuatu yang akan
terjadi. Comte menjelaskan hubungan antara penjelasan ilmiah dan prediksi:
“Karena penjelasan ilmiah merupakan sisi depan prediksi, penjelasan ilmiah
itu meletakkan dasar bagi pengendalian instrumental atas fenomena dengan
cara memberikan jenis informasi yang akan memungkinkan orang
memanipulasi variabel-variabel tertentu untuk menciptakan suatu keadaan
atau mencegah terciptanya keadaan itu.”
3. Ilmu pengetahuan menyoroti setiap kejadian alam dari antarhubungannya
dengan kejadian alam yang lain. Mereka diandaikan saling berhubungan dan
membentuk suatu sistem yang bersifat mekanis. Oleh sebab itu, perhatian
ilmuwan tidak diletakkan pada hakikat atau esensi, melainkan pada relasi-
relasi luar, khususnya relasi sebab akibat, antara benda-benda atau kejadian-
kejadian alam. Augustee Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian
yaitu Social Statics dan Social Dynamic.
1. Social Dynamic
Social dynamic adalah teori tentang perkembangan dan kemajuan
masyarakat, karena social dinamic merupakan study tentang sejarah
yang akan menghilangkan filsafat yang spekulatif tentang sejarah itu
sendiri.
a. The law of three stages (hukum tiga tahap)
Comte berpendapat bahwa di dalam masyarakat terjadi
perkembangan yang terus-menerus, namun perkembangan umum dari
masyarakat tidak terus-menerus berjalan lurus. Ada banyak hal yang
mengganggu perkambangan suatu masyarakat seperti faktor ras, iklim,
dan tindakan politik. Comte berpendapat jawaban tentang perkembangan
sosial harus dicari dari karakteristik yang membedakan manusia dan
binatang yaitu perkembangan inteligensinya. Comte mengajukan tentang
tiga tingkatan inteligensi manusia, yakni teori evolusi atau yang biasa
disebut hukum tiga tahap yaitu:
1) Tahap teologis
Dimulai sebelum tahun 1300 dan menjadi ciri dunia. Tahap
ini meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini
dikendalikan oleh kekuatan supranatural yang dimiliki oleh para
dewa, roh atau tuhan. Pemikiran ini menjadi dasar yang mutlak
untuk menjelaskan segala fenomena yang terjadi di sekitar manusia,
sehingga terkesan irasional. Dalam tahap teologis ini terdapat tiga
kepercayaan yang dianut masyarakat. Yang pertama fetisysme
(semuanya) dan dinamisme yang menganggap alam semesta ini
mempunyai jiwa.
Kemudian animisme yang mempercayai dunia sebagai
kediaman roh-roh atau bangsa halus. Yang kedua politeisme
(memilih), sedikit lebih maju dari pada kepercayaan sebelumnya.
Politeisme mengelompokkan semua dan kejadian alam berdasarkan
kesamaan-kesamaan diantara mereka. Sehingga politeisme
menyederhanakan alam semesta yang beranekaragam. Contoh dari
politeisme, dulu disetiap sawah di desa berbeda mempunyai dewa
yang berbeda. Politeisme menganggap setiap sawah dimanapun
tempatnya mempunyai dewa yang sama, orang jawa mengatakan
dewa padi yaitu yaitu dewi sri. Yang terakhir, monoteisme yaitu
kepercayaan yang menganggap hanya ada satu Tuhan. Dalam tahap
teologis kami dapat mencontohkannya sebagai berikut
bergemuruhnya Guntur disebabkan raksasa yang sedang berperang.
2) Tahap metafisik
Tahap ini terjadi antara tahun 1300 sampai 1800. Pada tahap
ini manusia mengalami pergeseran cara berpikir. Pada tahap ini,
muncul konsep-konsep abstrak atau kekuatan abstrak selain tuhan
yakni alam. Segala kejadian di muka bumi adalah hukum alam yang
tidak dapat diubah. Contoh, pejabat negara adalah orang yang
berpendidikan dan telah mengenal ilmu pengetahuan namun ia
masih saja bergantung dan mempercayai kekuatan dukun.
Pada tahap ini manusia mulai mengadakan perombakan atas
cara pikir lama, yang dianggapnya tidak lagi memenuhi keinginan
manusia, untuk menemukan jawaban yang memuaskan tentang
kejadian alam semesta. Pada tahap ini semua gejala dan kejadian
tidak lagi diterangkan dalam hubungannya dengan kekuatan yang
bersifat supranatural atau rohani. Manusia kini mulai mencari
pengertian dan penerangan yang logis dengan cara membuat
abstraksi-abstraksi dan konsepsi-konsepsi metafisik.
Manusia pada tahap ini berusaha keras untuk mencari
hakikat atau esensi dari segala sesuatu. Mereka tidak puas hanya
dengan mencari pengertian-pengerian umum, tanpa dilandasi oleh
pemikiran- pemikiran dan argumentasi-argumentasi logis. Zaman
metafisika, sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja
dari zaman teologis. Sebab kekuatan yang adikodrati atau dewa-
dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak, dengan
pengertian-pengertian, atau dengan pengada-pengada yang lahiriah,
yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum,
yang disebut alam, yang dipandang sebagai asal segala penampakan
atau gejala yang khusus.
3) Tahap positivisme
Pada tahap ini semua gejala alam atau fenomena yang terjadi
dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan peninjauan, pengujian
dan dapat dibuktikan secara empiris. Tahap ini menjadikan ilmu
pengetahuan berkembang dan segala sesuatu menjadi lebih rasional,
sehingga tercipta dunia yang lebih baik karena orang cenderung
berhenti melakukan pencarian sebab mutlak (Tuhan atau alam) dan
lebih berkonsentrasi pada penelitian terhadap dunia sosial dan fisik
dalam upayanya menemukan hukum yang mengaturnya. Contoh,
tanaman padi subur bukan karena akibat kehendak Dewi Sri
melainkan akibat dari perawatan dan pemupukan yang baik.
Tahap positif, tahap ketika orang tahu, bahwa tiada gunanya
untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang
mutlak, baik pengenalan teologis maupun pengenalan metafisis. Ia
tidak mau lagi melacak asal tujuan akhir seluruh alam semesta ini,
atau melacak hakekat yang sejati dari segala sesuatu yang berada di
belakang segala sesuatu.
Tahap positif pada dasarnya merupakan tahap peralihan saja
dari cara berpikir lama (teologis) ke cara berpikir baru dan final,
yakni cara berpikir positif.seperti halnya proses alam yang lazim
terjadi, sebelum sampai pada masa dewasa, dari masa anak-anak,
manusia harus mengalami masa transisi pada masa remaja.demikian
pula, sebelmu sampai pada tahap positif, akal budi manusia harus
gerak lebih dulu dari tahap teologis ke tahap transisi, yakni tahap
metafisis. Untuk menerangkan tahap perkembangan akal budi
manusia secara individual, Comte menulis: “Sebagai anak kita
menjadi seorang teolog, sebagai remaja kita menjadi ahli metafisika,
dan sebagai orang dewasa kita menjadi ahli ilmu alam”.
b. The law of the hierarchie of the sciencies (hierarki dari ilmu
pengetahuan)
Di dalam menyusun susunan ilmu pengetahuan, Comte
menyadarkan diri kepada tingkat perkembangan pemikiran manusia
dengan segala tingkah laku yang terdapat didalamnya. Sehingga sering
kali terjadi didalam pemikiran manusia, kita menemukan suatu tingkat
pemikiran yang bersifat scientific. Sekaligus pemikiran yang bersifat
theologies didalam melihat gejala-gejala atau kenyataan-kenyataan.
c. The Law of the correlation of practical activities
Comte yakin bahwa ada hubungan yang bersifat natural antara cara
berfikir yang teologis dengan militerisme. Cara berfikir teologis
mendorong timbulnya usaha-usaha untuk menjawab semua persoalan
melalui kekuatan (force). Karena itu, kekuasaan dan kemenangan selalu
menjadi tujuan daripada masyarakat primitif dalam hubungan satu sama
lain. Pada tahap yang bersifat metafisis, prinsip-prinsip hukum
(khususnya hukum alam) menjadi dasar daripada organisasi
kemasyarakatan dan hubungan antara manusia. Tahap metafisis yang
bersifat legalistic demikian ini merupakan tahap transisi menuju ke tahap
yang bersifat positif.
d. The Law of the correlation of the feelings
Comte menganggap bahwa masyarakat hanya dapat dipersatukan
oleh feelings. Demikianlah, bahwa sejarah telah memperlihatkan adanya
korelasi antara perkembangan pemikiran manusia dengan perkembangan
dari sentimen sosial. Di dalam tahap yang teologis, sentimen sosial dan
rasa simpati hanya terbatas dalam masyarakat lokal. Tetapi dalam abad
pertengahan, sosial sentimen berkembang semakin meluas seiring
dengan perkembangan agama Kristen. Abad pertengahan adalah abad
yang oleh Comte dianggap sebagai abad dalam tahap metafisis. Namun
dalam tahap yang positif/ scientific, social simpati berkembang menjadi
semakin universal. Comte yakin bahwa sikap positif dan scientific
pikiraan manusia akan mampu memperkembangkan semangat alturistis
(rasa mengahargai orang yang lebih tinggi) dan menguniversilkan
perasaan sosial (social simpati).
2. Social Static
Fungsi social static dimaksudkan sebagai suatu studi tentang hukum-hukum
aksi dan reaksi dari berbagai bagian di dalam suatu sistem sosial. Dalam sosial static
terdapat empat doktrin, yaitu doktrin tentang individu, keluarga, masyarakat dan
negara. Mengarah pada struktur yang ada dalam masyarakat. Diibaratkan sebagai
sebuah bangunan dan segala sesuatu yang menyusun bangunan itu.

Agama dan Hukum


Auguste Comte benar-benar hanya menempatkan ilmu pasti sebagai dasar dari
filsafat karena ia memiliki dalil-dalil yang bersifat umum dan paling abstrak.
Sedangkan psiologi tidak diberi ruang dalam system Comte. Hal ini sesuai dengan
pendapatnya bahwa manusia tidak akan pernah menyelidiki diri sendiri.
Sedangkan soal agama, Comte menciptakan suatu kristianitas yang baru
berdasarkan dirinya sendiri. Ia mengelompokkan dalam tiga jenis agama. Pertama,
agama sebagai penghormatan atas alam, dan semua adalah Tuhan. Kedua, agama
merupakan penyembahan terhadap kaidah moral sebagai kekuasaan. Ketiga, agama
adalah kekuasaan yang tidak terbatas yang terungkap dalam alam yang merupakan
sumber dan akhir dari cita moral. Moralitas adalah hakikat dari benda-benda.
Soal kehidupan, Comte menekankan kepada hal yang bersifat emosional yang
penuh perasaan dalam hal ini untuk dapat menciptakan suatu masyarakat yang
bersifat alturistik.
Dan ia juga menekankan pada kehidupan yang bersifat praktis, jelas, nyata, dan
mudah, ini adalah sambungan dari filsafat positifnya. Alasannya, jika ilmu
pengetahuan haruslah terbukti real dan nyata, maka kehidupan haruslah kehidupan
yang jelas, nyata, real dan mudah.
Filsafat positivisme juga berpengaruh ke filsafat hukum. Perkembangan hukum pun
bisa ditarik alurnya mulai dari teologi, metafisik, hingga ke hukum positif. Walau
dalam istilahnya dibagi dalam empat pembabakan, yaitu zaman purbakala, abad
pertengahan, zaman renaissance dan zaman baru, hingga ke zaman modern ini,
namun dalam karakternya memiliki kesamaan dengan filsafat pada umumnya.

C. Kritik Terhadap Pemikiran Positivisme


Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat
terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang
berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah
berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut
paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme, naturalisme filsafat
dan empirisme. Akan tetapi, ada problem epistemologis yang sangat mendasar di
dalam inti pemikiran positivisme logis tersebut. Apa yang akan dilakukan, dengan
berbekal paradigma positivisme logis tentunya, ketika dua teori yang berbeda
menjelaskan satu fenomena yang sama secara berbeda? Disamping itu, pernyataan
bahwa suatu teori haruslah dapat diverifikasi tidaklah dapat diverifikasi. Artinya,
teori yang dikembangkan oleh pemikir positivisme logis ini dapat dikenai kritiknya
sendiri. Maka, teori ini juga problematic secara internal. Akan tetapi, walaupun
ide-ide yang dipaparkan diatas dominan didalam perdebatan filsafat ilmu
pengetahuan, tetapi realitas actual praktek ilmu pengetahuan sendiri, terutama
didalam teori relativitas dan fisika kuantum, ternyata tidak sesuai dengan ide-ide
positivism logis ini. Bahkan, refleksi filsafat ilmu pengetahuan tentang teori-teori
saintifik dan perkembangannya merupakan suatu reaksi kritis terhadap pandangan
ini.
Karl Popper, dengan teorinya, juga bersikap kritis terhadap tesis-tesis dasar
positivism logis, serta menunjukkan pentingnya perannya proses falsifikasi didalam
perumusan dan perubahan suatu teori. Yang lebih signifikan lagi, ada beberapa
pendapat, seperti yang dirumuskan oleh Thomas Kuhn, yang melihat bahwa teori-
teori ilmu pengetahuan selalu sudah berada didalam sebuah pandangan dunia
tertentu. Oleh sebab itu, perubahan radikal di dalam lmu pengetahuan hanya dapat
terjadi, jika seluruh pandangan dunia yang ada ternyata sudah tidak lagi memadai,
dan diganti yang lain.
Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang
digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang
konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan
seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris.
Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang
dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam)
atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam)
mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan
sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang
berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam)
akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.
Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis
buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934.
Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu
dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan
(falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan
antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara
pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya,
pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan
yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan
metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai
contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya,
sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti
berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka
akan dapat digolongkan sebagai ilmiah. Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi,
dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan
istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada
abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami
dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa
hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena
masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga
alam.
Positivisme menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku
bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah. Manusia muda
atau suku-suku primitif pada tahap teologis” dibutuhkan figur dewa-dewa untuk
“menerangkan” kenyataan. Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-
prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-
metode positif dan ilmiah. Aliran positivisme dianut oleh August Comte (1798-
1857), John Stuart Mill (1806-1873) dan H Spencer (1820-1903), dan
dikembangkan menjadi neo-positivisme oleh kelompok filsuf lingkaran Wina.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
a. Positivisme menurut auguste comte yaitu, gagasan bahwa kekuatan
sebenarnya mendorong orang dalam kehidupan adalah perasaan. Dan
positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak
aktifitas berkenaan dengan metafisik.
b. Pada dasarnya positivisme memiliki tahapan atau fase dalam
positivisme yaitu ilmu pengetahuan harus bersifat objektif. Dan
objektifitas berlangsung pada subjek dan objek pada ilmu pengetahuan.
Dan ilmu pengetahuan hanya terjadi pada hal yang sering muncul
berulangkali,dan tidak terjadi pada hal yang unik tetapi terjadi pada hal
yang mucul pada satu kali karena hal tersebut tidak menjajikan hal
tersebut terjadi. Dan dua fase ini dikelompokan menjadi statistika sosial
dan dinamika sosial. Statistika sosial merupakan masyarakat yang
sebagai wadah kaidah kaidah untuk menyusun tatanan sosial.
Sedangkan dinamika sosial merupakan, masyarakat sebagai pencipta
sejarah dan berkembang pada kemajuannya.
c. Sehingga masyarakat sebagai pelaku positivisme bisa memiliki suatu
perasaan, dan bisa menjadi wadah dalam menyusun tatanan sosial serta
bisa menjadi pelaku sejarah pada kemajuannya

B. SARAN
Dalam merangkai makalah ini, kami sangat menyadari masih banyak
kekurangan nya. Baik dari segi materi dan isi dari makalah. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan penulis. Kami sangat
membutuhkan kritik dan saran yang membangun dan akan kami terima
dengan bai
DAFTAR PUSTAKA

Wibisono,Koento. 1983. Arti Perkembanqan Menurut Filsafat Positivisme Auqus


te Comte, Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Achmadi, Drs. Asmoro.1997. Filsafat Umum. Ed. 1, cet. Ke-2. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Praja, Prof. Dr. Juhaya S. 2005. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Ed. 1. cet. Ke-2.
Jakarta: Kencana.
Syaebani. 2008. Filsafat Positivisme dan Ciri-Cirinya.
http://syaebani.blogspot.com/2008/05/filsafat-positivisme-dan-ciri-
cirinya.html 17 Dec 16.30
Purwanto, Edi. 2008. Menyelami Dunia Positivisme.
http://jendelapemikiran.wordpress.com/2008/05/14/menyelami-dunia-
positivisme-mencari-dunia-post-positifisme/ 17 Dec 17.10
Ahmad, Abu. 2009. Logical Positivisme.
http://philosophisme.blogspot.com/2007/06/logical-positivisme.html 17
Dec 16.53
Diningrat, Kanjeng. 2010. Positivisme.
http://punyahari.blogspot.com/2010/01/filsafat-positivisme.html 17 Dec
20.00
Adi, Bambang, Nugraha. 2012. Filsafat Positivisme
http://psikologibebas.blogspot.com/2012/09/filsafat-
positivisme_2540.html 17 Dec 20.10
Meuko, E Nurlis. 2016. Filsafat Positifisme Auguste Comte.
http://malahayati.ac.id/?p=15827 24 Oct 18.04

http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte 17 Dec 18.10


http://en.wikipedia.org/wiki/John_Stuart_Mill 17 Dec 18.16
http://en.wikipedia.org/wiki/Hippolyte_Taine 17 Dec 18.23
http://en.wikipedia.org/wiki/%C3%89mile_Durkheim 17 Dec 18.28
https://books.google.co.id/books?id=seZ1DwAAQBAJ&pg=PA65&dq=buku+pos
itivisme&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjFv7vjkv3lAhW_4zgGHWVkBHEQ6AEI
NzAC#v=onepage&q=buku%20positivisme&f=false
https://books.google.co.id/books?id=YCyiPacY4zsC&pg=PA72&dq=buku+positi
visme&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjFv7vjkv3lAhW_4zgGHWVkBHEQ6AEIY
TAI#v=onepage&q=buku%20positivisme&f=false
Coser, L.A. 1971. Master of Sociological Thought. New York: Columbia University
Hotman, M.S. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta:
Erlangga
Koentjaraningrat. 2014. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.
Soekanto, S. & Budi, S. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai