Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan kita sekarang ini sudah sangat jauh dari hukum-hukum alam, yang digantikan
oleh hukum-hukum buatan manusia sendiri yang sangat egoistis dan mengandung nilai
hedonis yang sangat besar, sehingga kita pun merasakan betapa banyaknya bencana yang
melanda diri kita. Etika hubungan kita yang humanis dengan tiga komponen relasional,
hidup kita sudah terabaikan begitu jauh, jadi jangan harap hidup kita di masa mendatang
akan tetap lestari dan berlangsung harmonis dengan alam. Pemikiran hukum ditandai
dengan perkembangan pemikiran dalam aliran-aliran filsafat hukum. Kemunculan suatu
aliran hukum merupakan respon atau kritik terhadap aliran hukum sebelumnya, atau ia
muncul sebagai respon terhadap perkembangan sosial masyarakat pada masa itu. Salah-satu
aliran yang muncul dan berkembang adalah dalam khazanah pemikiran hukum meliputi
Positivisme Hukum ( Aliran Hukum Murni ).
Positivisme hukum atau disebut sebagai mahzab formalistik, mencoba menjawab masalah
masalah hukum melalui sistem-sistem norma, aturan-aturan. Bagi aliran ini, alam berpikir
hukum adalah berpikir normatif bahkan cenderung legisme.
Makalah ini kami susun berdasarkan tugas mata kuliah filsafat hukum, dengan bahasan
“Positivisme” makalah ini dititikberatkan pada pemikiran-pemikiran para filosof aliran
positivesme.
B. Rumusan masalah
1. Apakah pengertian positivism ?
2. Bagaimana sejarah lahirnya hukum positivism ?
3. Bagaimana pemikiran tokoh-tokoh mazhab positivism ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian positivism
2. Menguraikan sejarah lahirnya lahirnya hukum positivism
3. Mengetahui bagaimanakah pemikiran tokoh-tokoh positivism

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Positivisme
Positivisme kata asalnya adalah “positif” berarti yang di ketahui, yang factual,
dan yang positif. Segala uraian yang di luar fakta atau kernyataan di kesampingkan.
Oleh karena itu, metafisika ditolak. Apa yang diketahui secara positif adalah segala
yang Nampak dan dapat diukur. Dengan demikian positivism membatasi filsafat dan
ilmu pada bidang gejala-gejala saja. Gejala-gejala disusun dalam hukum-hukum tertentu
dengan melihat hubungan antara gejala tersebut. Setelah hukum itu tersusun, barulah
seseorang melihat ke masa depan untuk mengembangkan ilmu.
Prinsip-prinsip dasar positivisme hukum, yaitu
1. Suatu tata hukum berlaku bukan karena mempunyai dasar kehidupan sosial ( menurut
Comte dan Spancer, bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa dan juga bukan
karena dasar-dasar hukum alam melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya suatu
instansi yang berwenang.
2. Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya
3. Isi hukum materil diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum karena dapat merumuskan
kebenaran ilmiah ilmu hukum.
Dengan demikian seorang politivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa
dilihat, bisa diukur, dan bisa dibuktikan kebenarannya, karena agama (tuhan) tidak dapat
dilihat, diukur, dan dibuktikan, agama tidak mempunyai arti dan faedah. Suatu
pernyataan dianggap benar oleh positivisme apabila pernyataan tersebut sesuai dengan
fakta. Contoh, ada badak bercula satu di Ujung Kulon. Jika ada badak bercula satu di
sana berarti pernyataan itu benar, jika sebaliknya, bearti pernyataan itu salah.
Aliran positivisme adalah suatu paham yang meyakini asumsi bahwa alam
semesta adalah suatu instansi acak di bawah rana indrawi, memperlihatkan adanya
beragam proses interaktif yang fungsional antara elemen ditengah kancah yang penuh
kocokan yang menghasilkan berbagai kemungkinan dalam jumlah yang terbelenggu.
Aliran ini menunjukkan bahwa aliran positivisme berdasarkan teori kausalitas, ada sebab
dan ada akibat. Aliran positivisme dalam ilmu hukum mempunyai ciri-ciri atau karakter
sebagai berikut :

2
1. Hukum dibentuk menjadi UU ( Legal ) yang termaksud dalam rumusan sebab akibat.
2. Hukum netral dan objektif ( Rule of Law not Rule of Man )
3. Hukum di beri status yang tertinggi ( Supreme corpus dan Rechtstaat )
4. Hukum dikelola oleh ahlinya yang independen/imparsial
5. Hukum bersifat formal, tak personal esensi/ substansi moralnya
6. Hukum ada demi kepastian aturan hukum undang-undang
Positivisme mengatakan bahwa pada zaman dulu banyak pembicaraan yang tidak ada
faedahnya dan tidak ada mengandung arti. Contohnya, “Apa maksud Tuhan menciptakan
alam ?” Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang kosong dan tidak berarti. Pertanyaan
demikian bukan tidak dapat mengetahui maksud Tuhan karena kita sebagai manusia,
tetapi karena setiap susunan kata mengenai ketuhanan tidak mengandung arti apa pun.
Begitu juga dalam bidang etika, positivisme lebih menekankan pada relativisme. Kalau
ada pernyataan bahwa kezaliman itu jelek, proposisi tersebut tidak ada artinya karena
jelek tidak dapat diukur dan diuji. Pernyataan sehat lebih bisa diukur daripada jelek,
seperti makanan itu tidak sehat karena sudah basi. Basi dapat diukur dan diuji karena ada
perubahan zat kimia yan terjadi dalam makanan tersebut. Jadi, ungkapan dalam bidang
moral bersifat emosional yang bergantung pada perasaan tentang sesuatu, bukan keadaan
sesuatu itu.
Alfred Yules Ayer, salah seorang penganut positivisme berkata, “Argumen tentang
pengalaman keagamaan adalah tidak benar. Banyak orang yang mempunyai pengalaman
keagamaan adalah suatu yang menarik perhatian dari sudut psikologi, tetapi tidak bearti
ada pengetahuan keagamaan yang objektif. Begitu juga bila seseorang memiliki
pengalaman moral , tidak berarti ada sesuatu hal yang dinamakan pengetahuan ideal.
Orang yang percaya kepada Allah dan memegang paham-paham moral mungkin percaya
bahwa pengalamannya merupakan pengalaman yang berdasarkan pengetahuan. Akan
tetapi, kalau dia tidak dapat menyusun pengetahuannya dalam susunan kata yang dapat
dibuktikan secara empiris, kita dapat mengatakan bahwa orang itu menipu dirinya
sendiri.”
Salah seorang pendukung positivism adalah Herbert Spencer. Spencer sependapat dengan
Comte, terutama tentang eksistensi Tuhan. Menurutnya, keterangan mengenai dunia, baik
yang bersifat keagamaan maupun metafisik menimbulkan pertentangan. Agama dan

3
metafisika ingin membekukan penjelasan tentang asal mula sesuatu, padahal manusia
tidak mampu mengetahui hal itu. Oleh karena itu, kita harus mengesampingkan hal-hal
yang tidak bisa dikenal (the flit’tit unknowable). Lagi pula, menyibukkan diri dengan hal-
hal yang demikian adalah sia-sia. Lebih baik menyibukkan diri pada hal-hal yang
mungkin diketahui, yaitu gejala-gejala yang telah dikenal atau yang disajikan oleh
pancaindra.
Dalam beberapa aspek, positivisme memiliki hal-hal yang baik untuk kehidupan umat
manusia. Sebab, positivism menyuguhkan suatu metode ilmiah dan ukuran-ukuran yang
dipertanggung jawabkan secara empiris. Dalam hal ini, positivism menyumbangkan
gagasan baru dalam kemajuan sains dan teknologi.
Dalam aspek lain, positivisme mempersempit alam pada hal-hal yang terukur, tidak mau
melihat alam yang lebih luas dan besar. Bahkan, kesenangan rohani atau penderitaan
rohani dianggap sebagai sesuatu yang tidak berarti. Padahal kesenangan dan penderitaan
meskipun tidak dapat diukur dengan tepat dialami oleh semua orang hingga penganut
positivism.
Positivisme terlalu mereduksi kemampuan pada hal-hal yang dapat diuji secara empiris.
Padahal daya akal tidak hanya bergantung pada pengujian secara empiris. Akal amapu
merekayasa sesuatu yang belum pernah dilihatnya dan akal juga mampu menulis tanpa
memakai kertas dan pulpen. Tulisan itu dapat digambarkan dalam pikiran tanpa perlu
diempiriskan. Oleh karena itu, posotivisme sebenarnya harus mengakui hal yang
demikian sebagai suatu realitas. Dengan demikian, kepercayaan kepada Tuhan berarti
tidak mustahil karena daya akal mampu mencapai realitas dibalik dunia empiris.

B. Sejarah Lahirnya Hukum Positivisme


Muncul pada abad ke-19, setelah mazhab hukum alam mengalami kemunduran dan
kegagalan. Hukum alam pada waktu ini tidak bisa lagi memberikan tuntunan di tengah-
tengah gugatan terhadap kepercayaan social dan moral pada saat itu.
Pertentangan pemikiran oleh para pemikir yang menyusun dunia dari konsep- konsep
dan gagasan-gagasan apriori, dan mereka yang memandang bahwa materi lebih dulu
dari gagasan-gagasan, selalu ada sepanjang sejarah filsafat, meskipun banyak dari
antinomy ini: kaum idealis versus materialis, metavisis versus positivis, ontologisme

4
versus empiris, dan lain-lain. Dalam berbagai cara perbedaan antara pendekatan Plato
dan Aristoteles terhadap masalah alam semesta merupakan pertentangan antara mazhab-
mazhab dalam filsafat. Dengan demikian, maka dapatlah diartikan bahwa positivism
sama tuanya dengan filsafat. Akan tetapi seperti gerakan yang tetap dalam filsafat
umum, sosiologi dan ilmu hukum pada hakikatnya adalah gejala modern, yang disatu
pihak menyertai dan menggambarkan ruang lingkup dan sangat pentingnya ilmu
pengetahuan, dan di lain pihak, dalam filsafat politik dan teori hukum munculnya negara
modern.
Pada awal belahan abad ini semakin marak melahirkan suatu pemikiran filsafati yang
dikenali dengan sebutan paham positivisme. Positivisme adalah suatu paham filsafati
dalam alur tradisi Galilean yang muncul dan berkembang pada abad ke-18. Positivisme
yang berkembang sebagai hasil pemikiran filsafati perintisnya yang bernama Auguste
Comte (1798-1857) mencoba mendayagunakan paradigm Galilean ini untuk
menjelaskan kehidupan manusia dalam masyarakatnya. Menurut Comte yang
melatarbelakangkan kesarjanaan matematika dan fisika itu konsep dan metode ilmu
alam kodrat dapat juga dipakai untuk menjelaskan kehidupan kolektif manusia. Menurut
Comte, kehidupan manusia itu sebagaimana peristiwa-peristiwa yang berlangsung
“seperti apa adanya” dikancah alam benda-benda anorganik yang tak bernyawa pun
terjadi dibawah imperative hukum sebab akibat dengan segala kondisi dan factor
probabilitasnya. Hubungan sebab-akibat antar variable seperti itu nyata kalau terlepas
dari sembarang kehendak atau rencana yang bersengajaan yang sifatnya subjektif.
Dalam kehidupan yang serba carut marut pasca-Revolusi Prancis abad ke-19,
diantaranya dikarenakan raja berbuat sewenang-wenang maka rakyat bosan dan
menginginkan suatu hukum yang membatasi raja tersebut, munculah apa yang
dinamakan magna carta (piagam inggris). Auguste Comte mencoba untuk menstabilkan
sebuah masyarakat dengan memberikan sebuah solusi tentang konsep masyarakat ideal
yaitu masyarakat positivistik. Auguste Comte hadir dalam rangka memberikan jawaban
atas keresahan dan keracut-marutan masyarakat Perancis. Dengan teori determinannya
dia mencoba menggambarkan masyarakat Perancis dalam tiga tahap, yaitu masyarakat
teologis atau mitos, masyarakat metafisika, dan masyarakat politivis yang disebut oleh
Auguste Comte sebagai masyarakat yang mapan. Positivisme memberikan sebuah kunci

5
pencapaian hidup manusia dan ia merupakan satu-satunya formasi social yang benar-
benar bisa dipercaya kehandalan dan akurasinya dalam kehidupan dan keberadaan
masyarakat.
C. Pemikiran Tokoh-tokoh Mazhab Positivisme
Ada begitu banyak tokoh yang menganut aliran/mazhab positivisme hukum dengan
pandangan dan pemikirannya masing-masing. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya:
1. Mazhab Hukum Positif Analitis: John Austin (1790-1859)
John Austin adalah seorang positivis yang utama mempertahankan bahwa satu-
satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara.
Austin mengartikan ilmu hukum (yurisprudence) sebagai teori hukum positif
yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Ilmu hukum hanyalah untuk
menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum moderen.
Dalam bukunya The Province of Jurisprudence Determined (1790-1859), Austin
menyatakan, hukum adalah perintah yang mengatur orang perorang. Hukum
berasal dari pihak superior (penguasa) untuk mengikat atau mengatur pihak
inferior. hukum adalah perintah yang memaksa dan mengikat, yang dapat saja
bijaksana dan adil, atau sebaliknya.
2. Aliran Hukum Murni: Hans Kelsen (1881-1973)
Hans Kelsen adalah seorang eksponen utama dari positivisme. Dipengaruhi dari
epistemology Neo-Kantian, Kelsen dimasukan sebagai kaun Neo-Kantian karena
ia menggunakan pemikiran Kant tentang pemisahan bentuk dan isi. Kelsen
membedakan secara tajam antara “yang ada” (is) dan “yang seharusnya” (the
ought), dan secara konsekuen antara ilmu-ilmu alam dan disiplin-disiplin, seperti
ilmu hukum yang mempelajari fenomena “normative” jadi bagi Kelsen hukum
berhubungan dengan bentuk (formal), bukan isi (material). Jadi, keadilan sebagai
isi hukum berada di luar hukum, dengan demikian hukum dapat saja tidak adil,
tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa.
Inti ajaran yang disampaikan Hans Kelsen seperti dalam bukunya The Pure
Theory of Law, adalah: “bahwa hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir
yang tidak yuridis seperti etika, sosiologi, politik, sejarah, dan lain sebagainya”.

6
Selanjutnya menurut Kelsen bahwa orang menaati hukum karena ia merasa
wajib untuk menaatinya sebagai suatu kehendak negara
3. Pemikiran H.L.A. Hart (1907-1992)
Hart merupakan salah seorang pengikut positivisme. Pandangan positivisme
Hart berkaitan denga ajaran rasionalisme kritis Karl R. Popper. Hart
berpandangan bahwa undang-undang adalah perintah manusia (law are
commands of human being), tidak perlu ada hubungan antara hukum dan moral
atau hukum yang ada dengan hukum yang seharusnya ada.
Sistem hukum adalah sistem logis tertutup, artinya putusan-putusan hukum yang
tepat dapat dihasilkan dengan cara-cara yang logis dari peraturan-peraturan
hukum yang telah ditentukan terlebih dahulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan
sosial, kebijaksanaan, dan norma-norma sosial.
4. Pemikiran Ronald Dworkin
Meskipun menurut beberapa ahli hukum Indonesia bahwa Dworkin merupakan
salah satu tokoh positivisme, tetapi di dalam teorinya, dia tidak sependapat
dengan teori positivis yang mengabaikan substansi hukum dan hanya memutus
perkara berdasarkan norma-norma saja (normatif). Teori yang diwakili Dworkin
adalah Content Theory yang muncul karena ketidaksetujuan terhadap sistem
formalisme hukum yang ditokohi Langdell. Dalam hal ini Dworkin tidak setuju
dengan penggunaan metode deduktif dalam pengambilan putusan. Dworkin
dipandang sebagai penganut teori hukum alam modern karena sebelumnya
mazhab hukum alam hanya berpegang pada asas legal formal dalam proses
hakim membuat keputusan, tanpa mempertimbangkan substansi dari peraturan
perundang-undangan yang ada.
D. Kritik Terhadap Mazhab Positivisme Hukum
Hukum pada saat berhadapan dengan alam dan kehidupan sosial yang berkembang,
harus dapat berlaku secara fleksibel mengikuti situasi dan kondisi yang dibutuhkan agar
selalu dapat mengatur dan menciptakan hasil yang berkeadilan. Dengan begitu
pekerjaan penafsiran bukan semata-mata membaca peraturan dengan menggunakan
logika peraturan, melainkan juga membaca kenyataan atau apa yang terjadi di
masyarakat.

7
Salah satu penyebab kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum adalah karena
masih terjerat kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi
sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup karakteristik manusia
yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun
pada peristiwa hukumnya. Sehingga hukum hanya dipahami dalam artian yang sangat
sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai diluar
undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum.
Positivisme hukum ini sangat ditentang oleh aliran Sosiological Yurisprudence,
Sosiological Yurisprudence adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang antara lain
dipelopori oleh Eugen Ehrlich. Menurutnya, bahwa titik pusat dari perkembangan
hukum, tidak terletak pada pembuat undang-undang/ilmu hukum, dan tidak pula terletak
pada keputusan-keputusan hakim, melainkan pada masyarakat itu sendiri. Pada dasarnya
norma hukum selalu bersumber dari kenyataan sosial, yang berdasarkan keyakinan akan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sanksi yang berasal dari penguasa untuk
mempertahankan hukum tidaklah esensial, tetapi hanya merupakan pelengkap.

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia sebagai negara yang besar serta kaya akan budaya dan adat istiadat yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke. Disetiap daerah memiliki kehidupan sosial yang
berbeda-beda pula begitu juga pranata norma-norma yang ada. Norma-norma yang ada
berupa hukum adat yang masih hidup ditengah-tengah masyarakat. Hal ini telah ada
sebelum datangnya Belanda menjajah Indonesia dan menerapkan positivisme dalam
dunia hukum.
Dengan adanya Positivisme hukum menutup ruang gerak bagi hukum adat dan hukum
kebiasaan-kebiasaan lainnya yang hidup ditengah masyarakat untuk dapat berlaku
ditengah-tengah masyarakat, sehingga kearifan lokal berupa hukum adat terhimpit oleh
undang-undang yang dibuat oleh penguasa. Sehingga perlawanan-perlawanan terhadap
hukum dan putusan pengadilan di Indonesia sampai hari ini masih terjadi karena hukum
yang tersusun dalam undang-undang dan putusan pengadilan sangat jauh dari nilai-nilai
keadilan yang berlaku ditengah masyarakat.
Perkembangan masyarakat berkembang dengan sangat cepat, sehingga untuk
mengimbangi perkembangannya tersebut hukum harus selalu mengikuti perkembangan
masyarakat. Hukum yang ada harus bisa menjadi pedoman dan solusi terhadap semua
permasalahan yang terjadi pada saat tersebut. Sedangkan didalam aliran positivisme
hukum berada dalam sebuah prosedur yang rumit., sehingga untuk melakukan sebuah
pembaharuan hukum selalu tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Al hasil hukum
yang ada tidak mampu untuk menjawab tantangan-tantangan zaman.

B. Saran
Semoga makalah yang kami paparkan ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca
sekalian, serta kritik dan saran senantiasa kami harapkan dari semua pihak sebagai bahan
acuan evaluasi agar dapat memperbaiki kedepannya.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Dr.H.R Otje Salman.SH , 2010, Filsafat Hukum’ Perkembangan dan Dinamika
Masalah’, Bandung: PT Rafika Aditarma.
2. Haryono. 2019, “Eksistensi Aliran Positivisme Dalam Bentuk Ilmu Hukum”, Jurnal
Meta-Yuridis, FH Universitas PGRI semarang Vol 2. No 1, hal. 12
3. Mahrus Ali, 2017, “Pemetaan Tesis Dalam Aliran-aliran Filsafat Hukum Dan
Konsekuensi Metodologinya ”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO.2 VOL.24,
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Vol.24. No 2, hal. 2

10

Anda mungkin juga menyukai