Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MADZHAB POSITIVISME HUKUM


Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Filsafat Hukum
Dosen Pengampu : Dr. Novita Dewi Masyithoh, SH., M.H.

Disusun Oleh :
1. Qothrun Nada Zahrotun Nabila (2102056041)
2. Ira Arista Kurniawati (2102056042)
3. Aisha Rachmadian Puteri (2102056049)
4. Ilham Dhiya Ul Haq Ramadhan (2102056066)

ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas semua limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Madzhab Positivisme Hukum" ini dengan
tepat waktu. Sholawat serta salam kami junjungkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing umat manusia ke jalan yang benar.

Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat, menambah wawasan


pengetahuan, dan menyadarkan kepada pembaca mengenai konsep dari aliran madzhab
positivisme dalam filsafat hukum ini. Makalah ini tentunya masih memiliki banyak
kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat penting bagi penyusun
makalah ini agar dapat menyusun makalah yang lebih baik kedepannya.

Semarang, 11 September 2022

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………1
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………..2
BAB I : PENDAHULUAN…………………………………………………………….3

A. Latar Belakang…………………………………………………………………3
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………...3
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………………3
BAB II : PEMBAHASAN……………………………………….…………………….4
A. Pengantar Madzhab Positivisme Hukum………………………………………4
B. Aliran-Aliran dalam Madzhab Positivisme Hukum……………………………5
1.Aliran Hukum Positif Analitis…………………………………………5
2.Aliran Hukum Murni…………………………………………………..7
C. Tokoh-Tokoh Madzhab Positivisme Hukum………………………………….9
1. Jeremy Bentham……………………………………………………….9
2. John Austin…………………………………………………………….9
BAB III : PENUTUP…………………………………………………………………11

A. Kesimpulan…………………………………………………………………...11
B. Kritik dan Saran………………………………………………………………11
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...12

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah filsafat hukum memiliki sinonim dengan legal, yaitu philosophy,
philosophy of law, atau rechts filosofie. Secara sederhana, filsafat hukum dapat
dikatakan sebagai cabang filsafat yang mengatur tingkah laku atau etika yang
mempelajari hakikat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis.
Dalam filsafat hukum, terdapat beberapa madzhab atau aliran di dalamnya,
salah satunya adalah aliran Madzhab Positivisme Hukum. Positivisme adalah suatu
aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu dikonsepsikan
sebagai ius yang telah mengalami positifisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin
kepastian antara yang terbilang hukum atau tidak.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengantar madzhab positivisme hukum?


2. Bagaimana aliran-aliran dalam madzhab positivisme hukum?
3. Bagaimana madzhab positivisme hukum menurut Jeremy Bentham?
4. Bagaimana madzhab positivisme hukum menurut John Austin?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk memahami pengantar madzhab positivisme hukum.


2. Untuk memahami aliran-aliran dalam madzhab positivisme hukum.
3. Untuk memahami madzhab positivisme hukum menurut Jeremy Bentham.
4. Untuk memahami madzhab positivisme hukum menurut John Austin.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengantar Madzhab Positivisme Hukum


Madzhab positivisme hukum muncul pada abad 18-19 dan berkembang di Eropa
Kontinental, khususnya Prancis.1 Aliran positivisme hukum berpendapat bahwa hukum
adalah positivisme yuridis dalam arti yang mutlak dan memisahkan antara hukum dengan
moral dan agama serta memisahkan antara hukum yang berlaku dan hukum yang
seharusnya, antara das sein dan das sollen. Bahkan tidak sedikit pembicaraan terhadap
positivisme hukum sampai pada kesimpulan, bahwa dalam kacamata positivisme tiada
hukum lain kecuali perintah penguasa (law is command from the lawgivers), hukum itu
identik dengan undang-undang.2
Positivisme sebagai sistem filsafat muncul pada kisaran abad ke-19. Sistem ini didasarkan
pada beberapa prinsip bahwa sesuatu dipandang benar apabila ia tampil dalam bentuk
pengalaman, atau apabila ia sungguh-sungguh dapat dipastikan sebagai kenyataan, atau
apabila ia ditentukan melalui ilmu-ilmu pengetahuan apakah sesuatu yang dialami
merupakan sungguh-sungguh suatu kenyataan.
Dalam kaitannya dengan positivisme hukum (aliran hukum positif), maka dipandang perlu
memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum,
yang seterusnya, antara das Sein dan das Sollen). Dalam kacamata positivis, tiada hukum
lain kecuali perintah penguasa (law is a command of the lawgivers). Bahkan, bagian aliran
hukum positif yang dikenal dengan nama Legisme, berpendapat lebih tegas, bahwa hukum
itu identik dengan undang--undang.3
Menurut Hart, menjelaskan bahwa ada lima prinsip yang dapat dimasukkan dalam filsafat
positivisme hukum, yaitu :

1. Hukum adalah perintah terhadap manusia


2. Analisis terhadap konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis
ini harus dipisahkan dengan studi sosiologis, historis dan evaluasi kritis.
3. Keputusan-keputusan dapat dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah
ada lebih dahulu, tanpa menunjuk pada tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
4. Tidak ada hubungan antara hukum dan moral, karena moral adalah metayuridis.
5. Pertimbangan moral tidak dapat ditetapkan. 4
Filsafat hukum positivisme merupakan upaya untuk mempelajari hukum positivisme
secara mendalam, terperinci dan radikal untuk menemukan kebenaran dari hukum
positivisme. Upaya yang dilakukan adalah dengan memahami teori hukum yang

1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT Citra Adtya Bakti, 1995). Hlm. 267
2 Islamiyati, “Kritik Filsafat Hukum Positivisme Sebagai Upaya Mewujudkan Hukum Yang Berkeadilan,”
(Semarang: Law & Justice Journal, Vol 1 No. 1, 2018), Hlm. 84
3 S.H Prof. Dr. Sukarno Aburaera, Filsafat Hukum: Teori Dan Praktik (Jakarta: Kencana, 2013). Hlm. 107
4 R.W.M. Dias, Jurisprudence (London: Butterworths, 1976).

4
dikemukakan oleh tokoh aliran hukum positivisme, yang kemudian melahirkan konsep
hukum yang benar dalam tataran aliran hukum positivisme.5
Mazhab positivisme hukum memandang hukum dari sudut pandang yang berbeda jika
dibandingkan dengan mazhab hukum alam. Jika mazhab hukum alam memandang hukum
sebagai instrumen keadilan yang tidak bisa lepas dari moral dan etika, maka mazhab
positivisme hukum memandang hukum sebagai sarana untuk menciptakan kepastian
hukum, maka harus dipisahkan dari nilai baik atau buruk, serta nilai adil atau tidak adil.
Bagi mazhab positivisme hukum, hukum hanya dipandang sebagai perintah-perintah yang
berdaulat.6
Aliran positivisme ini sangat mengagungkan hukum tertulis, sehingga aliran ini
beranggapan bahwa tidak ada norma hukum di luar hukum positif, semua persoalan dalam
masyarakat diatur dalam hukum tertulis. Pandangan yang sangat mengagung-agungkan
hukum tertulis pada positivisme hukum ini, pada hakikatnya merupakan penghargaan yang
berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum tertulis itu, sehingga dianggap
sumber hukum dari kekuasaan adalah hukum. 7
Menurut W. Friedmann (1907-1972), secara umum, tesis-tesis pokok dari aliran hukum
positif ini dapat dirumuskan sebagai berikut:8
 Hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang sah;
 Hanya fakta yang dapat menjadi objek pengetahuan;
 Metode filsafat tidak berbeda dari metode ilmu;
 Tugas filsafat adalah menemukan asas umum yang berlaku bagi semua ilmu dan
menggunakan asas-asas ini sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan menjadi landasan
bagi organisasi sosial;
 Semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan semata-mata atas pengalaman
(empiris-verifikatif);
 Bertitik tolak pada ilmu- ilmu alam;
 Berusaha memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia fenomena, baik dunia
fisik maupun dunia manusia, melalui aplikasi metode-metode dan perluasan jangkauan
hasil-hasil ilmu- ilmu alam.
B. Aliran-Aliran dalam Madzhab Positivisme Hukum
1. Aliran Hukum Positif Analitis (Analytical Jurisprudence)
Aliran hukum positif analitis ini dipelopori oleh John Austin, seorang ahli hukum dari
Inggris. Austin menyatakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang
tertinggi dalam suatu negara. Sedangkan sumber-sumber lain hanyalah sebagai sumber yang
lebih rendah. Sumber hukum itu adalah pembuatnya langsung, yaitu pihak yang berdaulat
atau badan perundang-undangan yang tertinggi, dan semua hukum dialirkan dari sumber

5 Islamiyati, “Kritik Filsafat Hukum Positivisme Sebagai Upaya Mewujudkan Hukum Yang Berkeadilan.”
(Semarang: Law & Justice Journal, Vol 1 No. 1, 2018), Hlm. 87
6 Syofyan Hadi, Kekuatan Mengikat Hukum Dalam Perspektif Mazhab Hukum Alam Dan Mazhab Positivisme

Hukum (Surabaya: Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus, 2017). Hlm. 93


7 Muhamad Erwin, FILSAFAT HUKUM Refleksi Kritis Terhadap Hukum Dan Hukum Indonesia (Depok: Rajawali

Pers, 2018). Hlm. 235


8 Lili Rasjidi dan Arief Sidharta, Filsafat Hukum (Mazhab Dan Refleksinya) (Bandung: Remadja Karya, 1989).

Hlm. 50-51

5
yang sama itu. Hukum yang bersumber dari situ harus ditaati tanpa syarat, sekalipun terang
dirasakan tidak adil.9
John Austin kemudian membagi dua kategori dari hukum, yaitu:

 Hukum dalam arti yang sebenarnya (laws properly so called); dan


 Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya (laws improperly so called)
Pada hukum dalam arti yang sebenarnya, John Austin membedakannya lagi menjadi dua
bagian, yaitu:10

 Hukum yang dibuat oleh Tuhan (law set by God to his human creatures);
 Hukum yang dibuat oleh manusia untuk manusia (laws set by men to men).
Kemudian terhadap hukum yang dibuat oleh manusia untuk manusia, Austin membaginya
lagi menjadi:11

 Hukum Positif, yaitu hukum yang dibentuk oleh manusia yang disebut sebagai
penguasa. Contoh: peraturan perundang-undangan;
 Bukan Hukum Positif, yaitu hukum yang dibentuk oleh manusia yang bukan penguasa
atau hukum dengan suatu aturan-aturan kebiasaan yang tidak tertulis pada suatu situasi atau
lingkungan tertentu (laws of fashion/laws of honours). Contoh: perintah dari pengusaha
kepada pekerjanya.
Ajaran John Austin tentang kedaulatan dirumuskan bahwa jika ada sesuatu kekuasaan dari
penguasa yang terdiri dari orang-orang, yang tidak taat pada sesuatu kekuasaan yang di
atasnya (yang tidak mengakui adanya sesuatu kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaan
mereka) menerima ketaatan dari sebagian besar masyarakat tertentu maka kekuasaan itu
adalah berdaulat dalam masyarakat tersebut. 12
Lili Rasjidi merumuskan inti dari ajaran hukum positif analitis dari John Austin itu sebagai
berikut:13

 Ajarannya tidak berkaitan dengan soal atau penilaian baik dan buruk, sebab penilaian
itu berada di luar hukum;
 Walau diakui adanya hukum moral yang berpengaruh terhadap masyarakat, namun
secara yuridis tidak penting bagi hukum. Austin memisahkan secara tegas antara moral di
satu pihak dan hukum di lain pihak;
 Pandangannya bertolak belakang dengan, baik penganut hukum alam maupun mazhab
sejarah;
 Hakikat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah dari yang
berkuasa;

9 Erwin, FILSAFAT HUKUM Refleksi Kritis Terhadap Hukum Dan Hukum Indonesia . Hlm. 237
10 John Austin, The Province of Jurisprudence Determined (Cambridge: Wilfrid E. Rumble Ed., University Press,
1995). Hlm. 18
11 Erwin, FILSAFAT HUKUM Refleksi Kritis Terhadap Hukum Dan Hukum Indonesia. Hlm. 238
12 Ibid, Hlm. 239
13 Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1990). Hlm. 42

6
 Kedaulatan adalah merupakan hal di luar hukum, yaitu berada pada dunia politik atau
sosiologi karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai suatu yang telah ada
dalam kenyataan;
 Ajaran Austin kurang/tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Dari penjelasan di atas, maka aliran hukum positif analitis memandang bahwa hukum yang
sebenarnya adalah hukum yang memiliki empat unsur, yaitu: 1) perintah (command), 2)
sanksi (sanction), 3) kewajiban (duty), 4) kedaulatan (souverignity).14

2. Aliran Hukum Murni (Reine Rechtslere/The Pure Theory of Law)


Tokoh yang paling menonjol pada aliran hukum murni adalah Hans Kelsen, seorang
kelahiran Austria yang akhirnya jadi warga negara Amerika. Ia mengatakan, bahwa teori
hukum murni adalah teori hukum positif. Ia merupakan teori tentang hukum positif umum,
bukan penafsiran tentang norma hukum nasional atau internasional tertentu, namun ia
menyajikan teori penafsiran.15 Pernyataan di atas menunjukkan pemahaman Hans Kelsen
tentang hukum yang merupakan suatu yang positif (nyata, jelas, tegas) dan berlaku secara
umum (how the law is) dan bukan sesuatu yang abstrak dan tidak nyata (how the law ought
to be).16
Ia disebut teori hukum “murni” lantaran ia hanya menjelaskan hukum dan berupaya
membersihkan objek penjelasannya dari segala hal yang tidak bersangkut paut dengan
hukum. Yang menjadi tujuannya adalah membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur asing.
Inilah landasan metodologis dari teori tersebut. 17 Jadi, kemurnian pemikiran Hans Kelsen
tentang hukum tersebut dapat dilihat secara nyata dari dua hal, yaitu pemisahannya antara
hukum sebagai suatu subjek dengan bidang-bidang lainnya yang non-hukum dan cara
penyelidikan yang dilakukannya terhadap hukum dengan memisahkannya dari bidang-
bidang lainnya tersebut.18
Hukum menurut Kelsen adalah juga merupakan suatu perintah (command) yang sudah
semestinya akan dipatuhi dan diinginkan oleh setiap orang untuk berbuat sesuai dengan
aturan hukum tersebut. Sistem hukum dalam pengertian Hans Kelsen, adalah suatu sistem
hukum yang berbentuk struktur piramida (hierarkis). Hal ini lebih dikenal dengan sebutan
stufenbau theorie atau tata urutan (hierarki) norma-norma.19
Kelsen dalam teori murninya menyatakan bahwa hukum itu adalah tidak lain daripada
kemauan negara, namun orang taat kepada hukum bukan karena negara menghendakinya

14 Prof. Dr. Sukarno Aburaera, Filsafat Hukum: Teori Dan Praktik. Hlm. 108
15 Raisul Muttaqien, Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif (Bandung:
Nusamedia dan Nuansa, 2006). Hlm. 1
16 Erwin, FILSAFAT HUKUM Refleksi Kritis Terhadap Hukum Dan Hukum Indonesia. Hlm. 242
17 Ibid, Hlm. 242-243
18 Ibid, Hlm. 243
19 Somardi, Hans Kelsen, General Theory of Law and State (Jakarta: Rimdi Press, 1995). Hlm. 126

7
tetapi orang taat kepada hukum karena ia merasa wajib menaatinya sebagai perintah
negara.20
Mengenai dasar berlakunya atau validitas dari suatu peraturan atau norma hukum terletak
pada peraturan atau norma hukum yang lebih tinggi lagi, dan pada akhirnya sampai pada
suatu peraturan atau norma yang tertinggi, yaitu norma dasar (grundnorm/basic norm).21
Norma hukum itu sendiri mendapatkan dasar berlaku atau validitasnya dari suatu postulat
yang telah dianggap demikian adanya dan disepakati oleh masyarakat umumnya, tidak
terkecuali jika norma hukum tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai moral, contohnya
hukuman mati yang terdapat dalam hukum pidana. 22
Kemudian terhadap validitas hukum, Kelsen memperjelasnya dalam empat pengertian,
yakni:23

 A norm exists with binding force; (Sebuah norma ada dengan kekuatan mengikat;)
 A particular norm concerned is identiflaby part of legal order which is efficacious;
(Suatu norma tertentu yang bersangkutan merupakan bagian dari tatanan hukum yang
berlaku;)
 A norm is conditioned by another norm of higher level in the hierarchy of norms; (Suatu
norma dikondisikan oleh norma lain yang tingkatnya lebih tinggi dalam hierarki norma;)
 A norm which is justified in conformity with the basic norm. (Suatu norma yang
dibenarkan sesuai dengan norma dasar.)
Dalam pandangan Hans Kelsen, pemaksaan atau penggunaan kekerasan (coercian) adalah
ciri penting dari hukum, sehingga motivasi moral atau agama adalah juga merupakan suatu
hal yang penting, karena mempunyai daya efektif lebih tinggi dibandingkan dengan rasa
khawatir terhadap suatu pemaksaan dari sanksi hukum. 24
Pada akhirnya, Friedmann menyatakan bahwa dasar-dasar terpenting dari teori hukum
murni Hans Kelsen, adalah:25

 Teori hukum adalah menyederhanakan kekacauan dan hal bermacam-macam hal ke


suatu kesatuan;
 Teori hukum adalah suatu ilmu pengetahuan, bukan kehendak, di mana teori hukum
adalah pengetahuan tentang apa saja yang diartikan dengan hukum, tidak mengenai
bagaimana hukum seharusnya;
 Teori hukum adalah suatu ilmu normatif bukan suatu ilmu kealaman;
 Teori hukum sebagai teori norma-norma tidak menaruh perhatian pada akibat norma-
norma hukum;
 Teori hukum adalah formal, suatu teori mengenai cara mengatur isi yang berubah-ubah
dengan cara yang khusus;

20 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989). Hlm. 63
21 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999). Hlm. 50
22 Somardi, Hans Kelsen, General Theory of Law and State. Hlm. 13
23 J.G. Starke, Fundamental Views and Ideas of Hans Kelsen (1881-1973), n.d. Hlm. 43
24 Somardi, Hans Kelsen, General Theory of Law and State. Hlm. 18
25 W. Friedmann, Teori Dan Filsafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, Susunan I. (Jakarta: Rajawali

Pers, 1996). Hlm. 170

8
 Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif khususnya adalah
hubungan antara hukum yang mungkin dan hukum yang positif.

C. Tokoh-Tokoh Madzhab Positivisme Hukum


1. Jeremy Bentham (1748-1832)
Bentham adalah seorang filsuf terdepan dalam tradisi Anglo-Amerika dalam bidang
hukum, dan juga dikenal sebagai “pendiri” dari aliran utilitarianisme. Ia dilahirkan pada 15
Februari 1748, di Houndsditch, London. Ayahnya seorang jaksa, begitu pula kakeknya.
Pandangan hidupnya dipengaruhi oleh kepercayaan pious, yang diperoleh dari ibunya, dan
gaya berpikir rasionalis ala Abad Pencerahan, yang diperolehnya dari ayahnya. Bentham
hidup dalam periode perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang menggelora di seluruh
peradaban Barat. Revolusi Industri, bangkitnya kelas menengah di Inggris, dan revolusi di
Perancis dan Amerika, telah memberikan pemikiran refleksif yang mendalam bagi
Bentham.
Pengaruh pandangan Bentham dalam bidang hukum memang dikenal amat besar. Garis
besarnya kurang lebih demikian. Bentham menolak pandangan hukum kodrat yang begitu
yakin akan nilai-nilai “subjektif” dibalik hukum yang harus dicapai. Ia sangat percaya
bahwa hukum harus dibuat secara utilitarianistik, melihat gunanya dengan patokan-patokan
yang didasarkan pada keuntungan, kesenangan, dan kepuasan manusia. Dalam hukum tidak
ada masalah kebaikan atau keburukan, atau hukum yang tertinggi atau yang terendah dalam
ukuran nilai.
Bagi Bentham, hukum hanya dapat diidentifikasi dan digambarkan berkaitan dengan
fakta-fakta hukum yang relevan, yang mengikutsertakan hal-hal yang berkenaan dengan
proses penciptaan hukum dan pelaksanaannya oleh orang-orang yang dalam posisi memiliki
kekuasaan dan kontrol dalam masyarakat. Teori Bentham merupakan teori hukum yang
bersifat imperatif, yang di dalamnya terdapat konsep-konsep kunci, yaitu: Sovereignty
(kedaulatan), Power (kekuasaan), dan Sanction (sanksi) dalam sebuah masyarakat politik.
Menurut Bentham, tidak ada hukum yang tidak bersifat imperatif maupun tidak permisif.
Seluruh hukum memerintahkan atau melarang atau membolehkan bentuk-bentuk tertentu
dari perilaku tertentu. Bentham menyadari, bahwa sifat imperatif dari hukum sering
disembunyikan, bahwa hukum diekspresikan secara deskriptif, atau lebih jauh, pengacuan
terhadap penghukuman sering tersembunyi. 26
2. John Austin (1790-1859)
Dilahirkan pada 1790, di Suffolk, dari keluarga kaum pedagang. Austin, seorang
berkewarganegaraan Inggris, yang pernah berdinas di tentara, dan ditugaskan di Sisilia dan
Malta. Namun, ia juga mempelajari hukum.
Austin adalah pemikir positivis yang meneruskan pemikiran Bentham, walaupun karya
Bentham terbit lebih belakangan dibanding dengan Austin. Austin menjadi corong dari
ajaran Bentham dengan mengembangkan ajaran dari Bentham. Ia menyebut dua istilah yang
dapat dibandingkan dengan istilah Benthamian Expositional Jurisprudence dan Censorial

26 Antonius Cahyadi, Pengantar Ke Filsafat Hukum (Jakarta: Kencana, 2007). Hlm. 66-70

9
Jurisprudence, yaitu Analytical Jurisprudence dengan Normative Jurisprudence. Ilmu
hukum analitis memperhatikan fakta-fakta mendasar dari hukum, asal-usulnya, keberadaan
dan konsep yang melatarinya. Ilmu hukum normatif memfokuskan diri pada pertanyaan
tentang kebaikan dan keburukan dari hukum yang ada. Aspek positif ajaran Austin adalah
sangat mencolok dalam pemisahan secara kaku antara hukum dan moral.27
Bagi Austin, hukum merupakan perintah (command) dari pihak yang berkuasa (sovereign)
yang memiliki sanksi. Hukum adalah terpisah dari moral. Austin bersikukuh pada orang
atau lembaga yang menentukan sebagai sumber dari suatu command, yang dapat dianggap
pada pijakan bahwa suatu command merupakan pelaksanaan kehendak dari orang-orang
tertentu. Masalah yang paling utama dalam jurisprudence atau filsafat hukum atau ilmu
hukum adalah hukum positif, hukum positif ialah hukum yang dibuat oleh penguasa politik
untuk yang dikuasai secara politik. 28
Unsur penting dalam hukum adalah command dan sanction. Command diterjemahkan
sebagai perintah. Sanksi atau kepatuhan yang dipaksakan adalah “the evil” (tercermin dalam
sikap dan tindakan) yang muncul apabila sebuah perintah tidak dipatuhi. Sanksi itu dapat
berbentuk bahasa verbal (ungkapan) dan bahasa nonverbal (gerak tubuh, bahasa tubuh yang
bersifat psikologis).29
Yang penting bagi Austin adalah secara empiris “sesuatu yang berupa ungkapan dan
isyarat tadi” secara faktual dianggap sebagai hukum (ada command dan sanksi). Karena itu,
dapat disimpulkan bahwa sovereinitas adalah orang atau sekelompok orang yang
menentukan, tidak dapat kondisi patuh pada siapa pun atau apa pun yang lebih tinggi
darinya, menerima kepatuhan dari masyarakat atau sekelompok masyarakat. Orang yang
menguasai dan yang dikuasai dilingkupi dalam masyarakat politis dan independen. 30

27 Ibid, Hlm. 71
28 Ibid, Hlm. 71-72
29 Ibid, Hlm. 72
30 Ibid, Hlm. 73

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Madzhab positivisme hukum memandang hukum sebagai sarana untuk menciptakan
kepastian hukum, maka harus dipisahkan dari nilai baik atau buruk, serta nilai adil atau tidak
adil. Bagi mazhab positivisme hukum, hukum hanya dipandang sebagai perintah-perintah
yang berdaulat. Positivisme hukum mengedepankan hukum tertulis atau undang-undang
sebagai perintah dari otoritas yang sah.
Dalam positivisme hukum terbagi menjadi dua aliran madzhab, yaitu Aliran Hukum
Positif Analitis (Analytical Jurisprudence) dan Aliran Hukum Murni (Reine Rechtslehre).
Pada aliran hukum positif analitis memandang bahwa hukum yang sebenarnya adalah
hukum yang memiliki empat unsur, yaitu: 1) perintah (command), 2) sanksi (sanction), 3)
kewajiban (duty), 4) kedaulatan (souverignity).
Kemudian dalam aliran hukum murni yg mengartikan hukum, yaitu suatu yang positif
(nyata, jelas, tegas) dan berlaku secara umum (how the law is) dan bukan sesuatu yang
abstrak dan tidak nyata (how the law ought to be).
Menurut Jeremy Bentham, tidak ada hukum yang tidak bersifat imperatif maupun tidak
permisif. Seluruh hukum memerintahkan atau melarang atau membolehkan bentuk-bentuk
tertentu dari perilaku tertentu. Bentham menyadari, bahwa sifat imperatif dari hukum sering
disembunyikan, bahwa hukum diekspresikan secara deskriptif, atau lebih jauh, pengacuan
terhadap penghukuman sering tersembunyi.
Menurut John Austin, hukum merupakan perintah (command) dari pihak yang berkuasa
(sovereign) yang memiliki sanksi. Hukum adalah terpisah dari moral. Unsur penting dalam
hukum adalah command dan sanction. Command diterjemahkan sebagai perintah. Sanksi
atau kepatuhan yang dipaksakan adalah “the evil” (tercermin dalam sikap dan tindakan)
yang muncul apabila sebuah perintah tidak dipatuhi. Sanksi itu dapat berbentuk bahasa
verbal (ungkapan) dan bahasa nonverbal (gerak tubuh, bahasa tubuh yang bersifat
psikologis).

B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada pembaca dapat memahami isi tentang
Positivisme Hukum. Tentunya kepada penulis telah menyadari jika dalam penyusunan
makalah masih banyak terdapat kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kami menerima kritik maupun saran yang akan diberikan. Dikarenakan kritik dan saran itu
sangat diperlukan untuk membangun makalah yang sempurna.

11
DAFTAR PUSTAKA

Austin, John. The Province of Jurisprudence Determined. Cambridge: Wilfrid E. Rumble


Ed., University Press, 1995.

Cahyadi, Antonius. Pengantar Ke Filsafat Hukum. Jakarta: Kencana, 2007.

Dias, R.W.M. Jurisprudence. London: Butterworths, 1976.

Erwin, Muhamad. FILSAFAT HUKUM Refleksi Kritis Terhadap Hukum Dan Hukum
Indonesia. Depok: Rajawali Pers, 2018.

Friedmann, W. Teori Dan Filsafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum. Susunan
I. Jakarta: Rajawali Pers, 1996.

Hadi, Syofyan. Kekuatan Mengikat Hukum Dalam Perspektif Mazhab Hukum Alam Dan
Mazhab Positivisme Hukum. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus, 2017.

Islamiyati. “Kritik Filsafat Hukum Positivisme Sebagai Upaya Mewujudkan Hukum Yang
Berkeadilan.” Law & Justice Journal 1, no. 1 (2018).

Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1989.

Muttaqien, Raisul. Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif.
Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2006.

Prof. Dr. Sukarno Aburaera, S.H. Filsafat Hukum: Teori Dan Praktik. Jakarta: Kencana,
2013.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Adtya Bakti, 1995.

Rasjidi, Lili. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1990.

Sidharta, Lili Rasjidi dan Arief. Filsafat Hukum (Mazhab Dan Refleksinya). Bandung:
Remadja Karya, 1989.

Somardi. Hans Kelsen, General Theory of Law and State. Jakarta: Rimdi Press, 1995.

Starke, J.G. Fundamental Views and Ideas of Hans Kelsen (1881-1973), n.d.

Syahrani, Riduan. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

12

Anda mungkin juga menyukai