PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1
C. Tujuan Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Rake Sarasin, edisi III, 2006) hlm 191
2
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum islam dan Pemikiran Orientalis, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1991), hlm. 27.
3
Perinsip pokok positivism berbunyi “ilmu yang dapat mengajarkan
kepada kita tentang kenyataan hanyalah ilmu-ilmu positif”. Ini adalah ilmu
pengetahuan (ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan manusia) yang
ditunjukan pada pengamatan keadaan yang sesungguhnya, untuk mengenal
keteraturan hukum di dalamnya. Disamping ilmu-ilmu positir ini (yang
membicarakan kenyataan) positivism mengakuikeilmiahan ilmu formal
(didalamnya dilakukan putusan-putusan kenyataan), yaitu logika dan ilmu pasti.
Dengan menganut prinsip ini maka filsafat, teologi dan etika tidak lagi
dianggap sebagai suatu yang ilmiah.3
3
Fathuraahman Djamil. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm 53
4
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum islam dan Pemikiran Orientalis, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1991), hlm. 27-28.
4
Pada abad 18M pendekatan tersebut digunakan untuk IPA, dan
dikembangkan dengan logika matematik induktif untuk menguji relevansi antar
jenis. Pada abad 19M pendekatan positivism data empiric factual digunakan
untuk ilmu sosial dan humaniora menggunakan positivism pendekatan kualitatif
dengan teori budaya universalisme dan teori partikularisme historis. Pada abad
20 M pendekatan kualitatif ilmu sosial dan humaniora menggunakan
pendekatan rasional empiric factual dengan beragam teori ilmu soaial 5
5
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Rake Sarasin, edisi III, 2006) hlm 6
6
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum islam dan Pemikiran Orientalis, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1991), hlm. 13.
5
abad 19.7 Sebelum lahirnya aliran positivism ini, telah berkembang suatu
pemikiran dalam hukum yang dikenal dengan legisme. Pemikiran hukum ini
berkembang sejak abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh dibanyak
negara, tidak terkecuali Indonesia. Aliran ini mengidentikkan hukum dengan
undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.8
7
Fathuraahman Djamil. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm 55
8
Lili Rasjidi, Ira Tania Rasjidi, Dasar-Dasar Falsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2007) hlm 56
9
Sahal Mahfudh, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2001) , hlm.
22.
6
mempengaruhi sikapnya, yang merupakan kecenderungan-kecenderungan
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia, benda
maupun keadaan.
10
Lili Rasjidi, Ira Tania Rasjidi, Dasar-Dasar Falsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2007), hlm. 40-45.
11
Lili Rasjidi, Ira Tania Rasjidi, Dasar-Dasar Falsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2007), hlm. 49.
7
Konsepsi hukum sebagai “sarana” yang menjadi kesepakatan sosial
(masyarakat) yang dituangkan dalam undang-undang, dan supaya pelaksanaan
perundang-undangan yang bertujuan untuk pembaharuan itu dapat berjalan
sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu
sesuai dengan apa yang menjadi pemikiran sosiological jurisprudence yaitu
hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup didalam
masyarakat. Kaitan yang erat antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya
masyarakat itu ternyata bahwa hukum yang baik tidak lain adalah hukum yang
mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.12
12
Lili Rasjidi, Ira Tania Rasjidi, Dasar-Dasar Falsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2007) hlm 81
8
Persoalaan muncul ketika Rasulullah sebagai referensi para sahabat
telah wafat. Banyak peristiwa hukum muncul sehubungan dengan
perkembangan waktu dan bertambahnya problem umat islam, akibat dari
persentuhan budaya lokal yang muncul akibat meluasnya wilayah kekuasaan
islam akibat ekspansi dakwah dan dalam batas-batas tertentu politik. Akibat
dari problem ini muncul kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda lgi, yaitu
inovasi dan solusi hukum, yang kelak dikenal dengan tern ijtihad. Kendati
ijtihad sebenarnya bukan tern teknis yang muncul sepeninggal Rasul, sementara
pendapat menyatakan bahwa ijtihad muncul secara spektakuler pada masa-masa
Sahabat Umar Ibn al-Khattab. Demikian juga sahabat-sahabat besar lainnya.
Kenyataan ini kemudian bergulir secara terus-menerus, nyaris tiada henti,
hingga kelak terbentuknya madzhab-madzhab Hukum, baik Sunni, Zahiri,
maupun Syi’i.14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Positivisme, dalam pengertian modern, adalah suatu sistem filsafat yang
dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857), yang mengakui hanya
13
Sahal Mahfudh, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm.
33
14
Ibid hlm 37
9
fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi, dengan
hubungan obyektif fakta-fakta ini dan hukum-hukum yang menentukannya,
meninggalkan semua penyelidikan menjadi sebab-sebab atau asal-usul
tertinggi. Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Pada
pertengahan abad ke-19 sebuah gerakan mulai menentang tendensi-tendensi
metafisika yang ada pada abad-abad sebelumnya.
Hukum dalam sudut pandang positivisme berkembang sejak abad pertengahan
dan telah banyak berpengaruh dibanyak negara, tidak terkecuali Indonesia.
Aliran ini mengidentikkan hukum dengan undang-undang.
Hukum dalam sudut pandang Islam merupakan formulasi dari syari’ah dan
fiqh sekaligus. Artinya, meskipun Hukum Islam merupakan fomula aktivitas
nalar, ia tidak bisa dipisahkan eksistensinya dari syari’ah sebagai panduan dan
pedoman yang datang dari Allah sebagai al-Syari’.
DAFTAR PUSTAKA
10
Djamil, Fathuraahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Rasjidi, Lili dan Ira Tania Rasjidi, Dasar-Dasar Falsafat dan Teori Hukum. 2007.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
11