Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filsafah adalah suatu pemikiran untuk memberikan gambaran hidup


yang menyeluruh berdasarkan refleksi atas pengalaman hidup maupun
pengalaman ilmiah. Filsafah merupakan suatu ilmu pengetahuan karena memiliki
logika, metode dan sistem.

Dalam pandangan filsafat positivism suatu pemikiran yang membatasi


pemikirannya pada sesuatu hal yang hanya dapat terbukti dengan pengamatan
ataupun dengan analisis semata. Dapat pula di katakana bahwa positivism adalah
suatu aliran yang beranggapan bahwa filsafat semata-mata hanya berpangkal
pada kejadian yang tampak atau kejadian yang benar di alami oleh manusia.

Jika kebenaran sepenuhnya hanya di serahkan kepada pengadilan yang


unfair maka hukum di suatu negara tersebut tidak akan pernah mendapatkan
kebenaran sosial yang sesungguhnya. Maka dari itu kita perlu menghapus
pemikiran yang hanya mengedepankan pendapat melalui kejadian yang terjadi
saja. sebab banyak kejadian-kejadian diluar akal kita.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu paradigma positivism, sejarah dan perkembangannya ?

2. Bagaimana definisi hukum dalam sudut pandang positivism dan islam ?

3. Bagaimana hukum sebagai kesepakatan sosial ?

4. Bagaimana hukum islam, paduan anatara kesepakatan sosial yang


particular/local dari firman Allah yang universal/eternal ?

1
C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian paradigma positivism, sejarah dan perkembangannya.

2. Mengetahui definisi hukum dalam sudut pandang positivism dan islam.

3. Mengetahui hukum sebagai kesepakatan sosial.

4. Mengetahui hukum islam, paduan anatara kesepakatan sosial yang


particular/local dari firman Allah yang universal/eternal.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian paradigma positivism, sejarah dan perkembangannya

Paradigma adalah discaurses atau wacana diskusi untuk menyepakati


atau setidaknya memahami rekonseptualisasi telaah filosofik ataupun teoritik
ilmu pengetahuan, diskusi dalam discaurses ini bersifat interaktif dan mengarah
ke pembentukan konsep baru berupa kerangka fikir dalam telaah filsafat atau
teori ilmu tertentu.1

Positivisme, dalam pengertian modern, adalah suatu sistem filsafat


yang dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857), yang mengakui hanya
fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi, dengan
hubungan obyektif fakta-fakta ini dan hukum-hukum yang menentukannya,
meninggalkan semua penyelidikan menjadi sebab-sebab atau asal-usul tertinggi.
Comte, seorang matematikus dan filsuf Prancis, membedakan tiga tahap evolusi
dalam pemikiran manusia. Langkah pertama dalam sistemnya, adalah tahap
teologis, di mana semua fenomena dijelaskan dengan menunjuk kepada sebab-
sebab supernatural dan intervensi sesuatuyang bersifat ilahi. Tahap kedua
adalah tahap metafisika, di mana pemikiran diarahkan menuju prinsip-prinsip
dan ide-ide tertinggi, yang dipahami sebagai ada di bawah permukaan sesuatu.
Langkah ketiga dan yang terakhir adalah tahap positif, yang menolak semua
konstruksi-hipotesis di dalam filsafat dan membatasi diri pada observasi
empiric dan hubungan fakta-fakta di bawah bimbingan metode-metode yang
dipergunakan dalam ilmu-ilmu alam.2

1
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Rake Sarasin, edisi III, 2006) hlm 191

2
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum islam dan Pemikiran Orientalis, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1991), hlm. 27.
3
Perinsip pokok positivism berbunyi “ilmu yang dapat mengajarkan
kepada kita tentang kenyataan hanyalah ilmu-ilmu positif”. Ini adalah ilmu
pengetahuan (ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan manusia) yang
ditunjukan pada pengamatan keadaan yang sesungguhnya, untuk mengenal
keteraturan hukum di dalamnya. Disamping ilmu-ilmu positir ini (yang
membicarakan kenyataan) positivism mengakuikeilmiahan ilmu formal
(didalamnya dilakukan putusan-putusan kenyataan), yaitu logika dan ilmu pasti.
Dengan menganut prinsip ini maka filsafat, teologi dan etika tidak lagi
dianggap sebagai suatu yang ilmiah.3

Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Pada


pertengahan abad ke-19 sebuah gerakan mulai menentang tendensi-tendensi
metafisika yang ada pada abad-abad sebelumnya. Gerakan ini mungkin
dijelaskan sebagai positivism yang sebagai sebuah sikap ilmiah, menolak
spekulasi-spekulasi apriori dan berusaha membatasi dirinya pada data
pengalaman.

Dimulai dengan pertengahan kedua abad ke-19, positivism menjalar ke


dalam segala cabang ilmu pengetahuan social, termasuk ilmu pengetahuan
hukum. Ia berusaha untuk mendepak pertimbangan-pertimbangan nilai-nilai
dari ilmu Yurisprudensi Dn membatasi tugas ilmu-ilmu ini pada analisa dan
mendobrak hukum positif. Pakar hukum positif mengajarkan bahwa hukum
positiflah yang merupakan hukum yang berlaku, dan hukum positif disini
adalah norma-norma yudisial yang telah dibangun oleh otoritas negara. Ia juga
menekankan pada pemisahan ketat hukum positif dari etika dan kebijaksanaan
social, dan cenderung mengidentifikasikan keadilan dengan legalitas, yakni
ketaatan kepada aturan-aturan yang ditentukan oleh negara.4

3
Fathuraahman Djamil. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm 53

4
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum islam dan Pemikiran Orientalis, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1991), hlm. 27-28.
4
Pada abad 18M pendekatan tersebut digunakan untuk IPA, dan
dikembangkan dengan logika matematik induktif untuk menguji relevansi antar
jenis. Pada abad 19M pendekatan positivism data empiric factual digunakan
untuk ilmu sosial dan humaniora menggunakan positivism pendekatan kualitatif
dengan teori budaya universalisme dan teori partikularisme historis. Pada abad
20 M pendekatan kualitatif ilmu sosial dan humaniora menggunakan
pendekatan rasional empiric factual dengan beragam teori ilmu soaial 5

B. Definisi hukum dalam sudut pandang positivism dan Islam

Hukum adalah kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan


formal maupun dari kebiasaan, di mana suatu negara atau masyarakat tertentu
mengaku terikat sebagai anggota atau sebagai subyeknya, orang yang tunduk
padanya atau pelakunya. Tetapi dalam pengertiannya yang paling luas, istilah
hukum mencakup setiap aturan bertindak, katakanlah, setiap standar atau pola
di mana perbuatan-perbuatan (baik yang melalui perantara rasio atau kerja-kerja
alamiah itu), ada atau harus disesuaikan. Menurut Hooker istilah hukum berlaku
bagi setiap aturan atau norma di mana perbuatan-perbuatan terpola. Sedangkan
Blackstone mengatakan bahwa hukum dalam pengertiannya yang paling umum
dan komprehensif berarti suatu aturan bertindak, dan diterapkan secara tidak
pandang bulu kepada segala macam perbuatan baik yang bernyawa maupun
tidak, rasional maupun irasional.6

1. Hukum dalam sudut pandang positivism

Positivism mulai merambah kesegala cabang ilmu pengetahuan


sosial, termasuk ilmu pengetahuan tentang hukum, pada pertengahan keduan

5
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Rake Sarasin, edisi III, 2006) hlm 6

6
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum islam dan Pemikiran Orientalis, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1991), hlm. 13.
5
abad 19.7 Sebelum lahirnya aliran positivism ini, telah berkembang suatu
pemikiran dalam hukum yang dikenal dengan legisme. Pemikiran hukum ini
berkembang sejak abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh dibanyak
negara, tidak terkecuali Indonesia. Aliran ini mengidentikkan hukum dengan
undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.8

2. Hukum dalam sudut pandang islam

Istilah hukum Islam menurut Prof. Hasby ash-Shiddieqy seperti


dikutip Amir Syarifuddin adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk
menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat. Jadi, Hukum Islam adalah
peraturan-peraturan yang dirumuskan berdasar wahyu Allah dan sunnah
Rasul-Nya tentang tingkah laku muakallaf yang diakui dan diyakini berlaku
mengikat bagi semua pemeluk Islam. Dengan demikian, kedudukan Hukum
Islam sangat penting dan menentukan pandangn hidup serta tingkah laku
mereka. Di sinilah, kata Hukum Islam merupakan formulasi dari syari’ah
dan fiqh sekaligus. Artinya, meskipun Hukum Islam merupakan fomula
aktivitas nalar, ia tidak bisa dipisahkan eksistensinya dari syari’ah sebagai
panduan dan pedoman yang datang dari Allah sebagai al-Syari’.9

C. Hukum sebagai kesepakatan sosial

Di dalam suatu masyarakat yang oleh maclever (the web of


government, 1954) digambarkan sebagai sarang laba-laba, yang terdapat
berbagai kaidah yang mengatur hubungan antar individu yang bertujuan untuk
tercapainya kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan. Pola-pola piker manusia

7
Fathuraahman Djamil. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm 55

8
Lili Rasjidi, Ira Tania Rasjidi, Dasar-Dasar Falsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2007) hlm 56
9
Sahal Mahfudh, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2001) , hlm.
22.
6
mempengaruhi sikapnya, yang merupakan kecenderungan-kecenderungan
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia, benda
maupun keadaan.

Dan dalam masyarakat pasti terdapat adanya kebutuhan yang tidak


selalu sama, oleh karena itu diperlukan adanya kaidah-kaidah atas suatu aturan
agar segala sesuatunya berjalan tertib dan teratur.Ciri yang menonojol dari
hukum mulai tampak pada penciptaan norma-norma hukum yang “murni”,
yaitu yang dibuat secara sengaja oleh suatu badan perlengkapan dalam
masyarakat yang khusus ditugasi untuk menjalankan pembuatan hukum itu,
seringkali para ahli hukum menganggap bahwa perbedaan yang pokok antara
kaidah hukum di satu pihak dengan kaidah-kaidah sosial lainnya dan kaidah
agama terletak pada bahwa kaidah hukum itu dapat dipaksakan berlakunya
karena didukung oleh suatu kekuasaan (negara), semakin besar terdapatnya
perbedaan antara kaidah hukum dengan perikelakuan yang nyata, makin besar
pula kekuasaan yang diperlakukan untuk memaksakan berlakunya kaidah
tersebut.10

Dalam masyarakat pada umumnya memiliki baik lembaga hukum


maupun lembaga non hukum. Terdapat dua ukuran untuk membedakan
lembaga hukum dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, pertama,
lembaga hukum terdiri dari ketentuan-ketentuan tentang cara-cara
menyelesaikan perselisihan-perselisihan dalam masyarakat. Kedua, lembaga
hukum mencakup dua jenis ketentuan, yaitu penetapan kembali aturan-aturan
lembaga non hukum dan aturan yang mengatur aktivitas lembaga-lembaga
hukum itu sendiri.11

10
Lili Rasjidi, Ira Tania Rasjidi, Dasar-Dasar Falsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2007), hlm. 40-45.
11
Lili Rasjidi, Ira Tania Rasjidi, Dasar-Dasar Falsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2007), hlm. 49.
7
Konsepsi hukum sebagai “sarana” yang menjadi kesepakatan sosial
(masyarakat) yang dituangkan dalam undang-undang, dan supaya pelaksanaan
perundang-undangan yang bertujuan untuk pembaharuan itu dapat berjalan
sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu
sesuai dengan apa yang menjadi pemikiran sosiological jurisprudence yaitu
hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup didalam
masyarakat. Kaitan yang erat antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya
masyarakat itu ternyata bahwa hukum yang baik tidak lain adalah hukum yang
mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.12

D. Hukum Islam, paduan antara kesepakatan sosial yang particular/local


dan firman Allah yang universal/eternal

Fazlur Rahman mengemukakan beberapa teori mengenai kenyataan


historis yang melatari kelahiran islam dibelahan Timur Tengah. Meskipun
harus dipahami kenyataan historis tersebut, tidak berarti sebgai kausalitas
terhadap turunnya wahyu. Namun demikian, pemahaman terhadap kenyataan
itu akan sangat membantu memehami sejauh mana eksistensi Hukum Islam
memainkan fungsinya sebagai blue-print atau cetak biru dari Tuhan untuk
merekayasa sosial masyarakat, bukan sebaliknya sebagai formulasi hukumhasil
rekayasa sosial, karena jika yang terakhir yang terjasi,-seperti dipahami oleh
aliran historis-maka hukum adalah semata-mata produk sejarah oleh suatu
komunitas. Islam memang tidak menafikan sama sekali sebuah praktik dan
kebiasaan yang terjadi secara berulang-ulang dalam masyarakat untuk dijadikan
sebagai kebiasaan yang mengikat (baca sebagai hukum), tetapi penerimaan
kebiasaan tersebut melalui seleksi yang ketat, yang muaranya adalah
terealisasinya kemaslahatan dalam masyarakat.13

12
Lili Rasjidi, Ira Tania Rasjidi, Dasar-Dasar Falsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2007) hlm 81
8
Persoalaan muncul ketika Rasulullah sebagai referensi para sahabat
telah wafat. Banyak peristiwa hukum muncul sehubungan dengan
perkembangan waktu dan bertambahnya problem umat islam, akibat dari
persentuhan budaya lokal yang muncul akibat meluasnya wilayah kekuasaan
islam akibat ekspansi dakwah dan dalam batas-batas tertentu politik. Akibat
dari problem ini muncul kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda lgi, yaitu
inovasi dan solusi hukum, yang kelak dikenal dengan tern ijtihad. Kendati
ijtihad sebenarnya bukan tern teknis yang muncul sepeninggal Rasul, sementara
pendapat menyatakan bahwa ijtihad muncul secara spektakuler pada masa-masa
Sahabat Umar Ibn al-Khattab. Demikian juga sahabat-sahabat besar lainnya.
Kenyataan ini kemudian bergulir secara terus-menerus, nyaris tiada henti,
hingga kelak terbentuknya madzhab-madzhab Hukum, baik Sunni, Zahiri,
maupun Syi’i.14

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
 Positivisme, dalam pengertian modern, adalah suatu sistem filsafat yang
dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857), yang mengakui hanya
13
Sahal Mahfudh, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm.
33
14
Ibid hlm 37
9
fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi, dengan
hubungan obyektif fakta-fakta ini dan hukum-hukum yang menentukannya,
meninggalkan semua penyelidikan menjadi sebab-sebab atau asal-usul
tertinggi. Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Pada
pertengahan abad ke-19 sebuah gerakan mulai menentang tendensi-tendensi
metafisika yang ada pada abad-abad sebelumnya.
 Hukum dalam sudut pandang positivisme berkembang sejak abad pertengahan
dan telah banyak berpengaruh dibanyak negara, tidak terkecuali Indonesia.
Aliran ini mengidentikkan hukum dengan undang-undang.
 Hukum dalam sudut pandang Islam merupakan formulasi dari syari’ah dan
fiqh sekaligus. Artinya, meskipun Hukum Islam merupakan fomula aktivitas
nalar, ia tidak bisa dipisahkan eksistensinya dari syari’ah sebagai panduan dan
pedoman yang datang dari Allah sebagai al-Syari’.

B. Kritik dan Saran


Demikian yang dapat kami uraikan dalam makalah ini, semoga kita bisa
memahami dengan baik dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Apabila ada kesalahan dalam pembuatan makalah ini baik materi maupun tulisan
kami mohon maaf sebesar-besarnya. Kritik dan saran anda merupakan hal untuk
menuju lebih baik dalam pembuatan makalah ini. Sekian dan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

Muhadjir, Noeng. 2006. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Muslehuddin, Muhammad. 1991. Filsafat Hukum islam dan Pemikiran Orientalis.


Penerjemah Yudian Wahyudi Asmin. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

10
Djamil, Fathuraahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Rasjidi, Lili dan Ira Tania Rasjidi, Dasar-Dasar Falsafat dan Teori Hukum. 2007.
Bandung: Citra Aditya Bakti.

Mahfudh, Sahal. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. 2001. Yogyakarta: Gama


Media.

11

Anda mungkin juga menyukai