Anda di halaman 1dari 22

BAB VI

PARADIGMA HUKUM

A. PARADIGMA HUKUM
Berbicara istilah paradigma yang berasal dari bahasa Latin yaitu
paradeigma yang berarti pola. Konsep paradigma untuk pertama kalinya
diintroduksi kembali oleh Thomas S. Kuhn pada tahun 1940-an dalm
konteks filsafat sains. Oleh Kuhn istilah ini dipergunakan untuk menunjuk
dua pengertian utama, pertama sebagai totalitas konstelasi pemikiran,
keyakinan , nilai, persepsi, dan teknik yang dianut oleh akademisi mapun
praktisi disiplin ilmu tertentu yang mempengaruhi cara pandang realitas
mereka. Kedua sebagai upaya manusia untuk memecahkan rahasia ilmu
pengetahuan yang mampu menjungkirbalikkan semua asumsi maupun
aturan yang ada.1
Gagasan hukum berawal dari hukum alam yang pada masa itu
mendapatkan tantangan dari bagian alirannya yang lebih muda (hukum
alam rasional), ilmu hukum kemudian berkembang dalam suatu bentuk
revolusi sains yang khas.
Bentuk revolusi sains yang khas dalam bidang ilmu ini, yaitu bahwa
kehadiran suatu paradigma baru dihadapkan pada paradigma lama tidak
selalu menjadi sebab bergesernya atau jatuhnya paradigma itu. Sehingga
kehadiran paradigma baru tidak selalu dapat mengubah gagasan hukum
yang telah ada sebelumnya.
Dalam bidang ilmu hukum, revolusi itu telah lebih banyak menyentuh
bidang epistemologi dan ontologi ilmu hukum tanpa harus mengecilkan
arti dimensi aksiologis dari bidang ilmu ini. Disebabkan pertentangan
besar antara aliran hukum positif dengan hukum alam yaitu mengenai
persoalan esensi hukum, sumber, bentuk dan cara berfungsinya.

1
Lubis, R. K. (2014, June). Pancasila: Paradigma Ilmu Hukum Indonesia. In Conference: Kongres
Pancasila VI, Ambon. (Zahira Alya Zahrani, Zekshar Arafka, Ade Oktaviani Lebani, Agung Dwi
Anugrah, Agung Zulfikar, Agus, Dian Permata Putri)
Selain itu, tersentuh pula dimensi aksiologinya dengan ditolaknya
unsur pendekatan sejarah terhadap hukum oleh aliran hukum positif.
Kemudian hal serupa juga terulang terhadap paradigma hukum positif
ketika aliran hukum pragmatis mengajukan gagasan-gagasan tentang
hukum.
Hukum positif betul-betul mengalami guncangan eksistensial yang
hebat, sehingga mengakibatkan lunturnya kepercayaan orang-orang
terhadap masalah kepastian hukum dan keadilan yang selama hampir satu
setengah abad ini dimitoskan oleh aliran hukum positif.
Menurut Robert Friendrichs bahwa, paradigma adalah pandangan
mendasar dari suatu disiplin ilmu tetntang apa yang menjadi pokok
persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajarinya (a fundamental
image a dicipline has of its subject matter).2
Dengan maksud lebih memperjelas lagi, George Ritzer mencoba
mentesiskan pengertian yang dikemukakan oleh Kuhn, Mastermann, dan
Friedrich, dengan mengartikan paradigma sebagai Pandangan yang
mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang
semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan (Lili Rasjidi
dan I.B.Wyasa Putra, 2003 : 105).
Bertolak dari berbagai pengertian yang dikemukakan di atas,
pengertian paradigma oleh mereka tampaknya diberatkan pada beberapa
unsur yaitu, sebagai pandangan mendasar sekelompok ilmuwan, tentang;
objek ilmu pengetahuan yang seharusnya dipelajari oleh suatu disiplin
tentang: metode kerja ilmiah yang digunakan untuk mempelajari objek itu.
Pengembangan ini tampaknya akan membawa persolalan tersendiri bagi
pengertian paradigma. Usaha-usaha pemberian pengertian dengan dasar
kepentingan individual dari masing-masing disiplin dapat mengakibatkan
timbulnya suatu dampak yang bersifat ganda, yaitu pertama menjadi
jelasnya makna paradigma bagi kepentingan masing-masing disiplin yang

2
Lubis, R. K. (2014, June). Pancasila: Paradigma Ilmu Hukum Indonesia. In Conference: Kongres
Pancasila VI, Ambon.
menjelaskannya. Kedua, mengaburnya makna esensial paradigma, dari
hakikat dasar pengertiannya sebagaimana pada mulanya diintroduksi oleh
Kuhn.
Bertolak dari gagasan Kuhn tentang perkembangan sains, maka
sangatkan menarik mengamati pertumbuhan ilmu hukum. Sejumlah
gagasan tentang hukum telah eksis dalam suatu rangkaian pertumbuhan
sains yang menyerupai gagasan Kuhn. Bermula dari gagasan tentang
hukum alam yang mendapatkan tantangan dari bagian alirannya yang lebih
muda (hukum alam rasional), ilmu hukum kemudian telah berkembang
dalam suatu bentuk revolusi sains yang khas. Salah satu bentuk khas dari
revolusi sains dalam bidang ilmu ini adalah bahwa kehadiran suatu
paradigma baru dihadapan paradigma lama tidak selalu menjadi sebab
tergeser atau jatuhnya paradigma itu.
Demikian juga kehadiran paradigma baru didalam masyarakat
ilmuwan tidak selalu mengubah gagasan hukum yang telah ada
sebelumnya. Sering terdapat perbedaan, bahkan saat krisis berlangsung
terhadap eksistensi suatu paradigma, paradigma itu justru mendapatkan
penguatan-penguatan baru terhadap keberadaannya.
Dimensi khas dari revolusi sains dalam bidang ilmu ini tampaknya
merupakan salah satu aspek keragaman karakter objek dari suatu bidang
sains, seperti ketika untuk pertama kalinya Kuhn harus tercengang
mendapatkan besarnya perbedaan gagasan tentang epistimologi ilmu-ilmu
sosial dan sejarah. Dalam bidang ilmu hukum, revolusi itu telah lebih
banyak menyentuh bidang ontologi dan epistimologi llmu hukum tanpa
harus mengecilkan arti dimensi aksiologis dari bidang ilmu ini. Sebab
pertentangan besar antara aliran hukum alam dengan aliran hukum positif
adalah persoalan esensi hukum, sumber, bentuk dan cara berfungsinya.3
Tersentuh pula dimensi aksiologinya dengan ditolaknya unsur
pendekatan sejarah terhadap hukum oleh aliran hukum positif. Hal serupa

3
Lubis, R. K. (2014, June). Pancasila: Paradigma Ilmu Hukum Indonesia. In Conference: Kongres
Pancasila VI, Ambon.
juga terulang terhadap paradigma hukum positif ketika aliran hukum
pragmatis mengajukan gagasan-gagasan tentang hukum. Hukum positif
betul betul mengalami guncangan ekssistensial yang hebat kemudian
mengakibatkan melunturnya kepercayaan orang terhadap masalah
kepastian hukum dan keadilan yang selama hampir satu setengah abad
dimitoskan oleh aliran hukum positif.
Sebagai ilmu nomografis maka sosiologi hukum berurusan dengan
kenyataan hukum sehari hari (the full social reality of law). Dalam
kenyataan kita mengamati bahwa hukum juga tampil dalam berbagai
sosok (Gestalt). Hukum tidak dapat dilihat semata mata sebagai kumpulan
materi hukum, seperti perundang-undangan dan putusan pengadilan,
melainkan memiliki sosok atau jati diri. Maka, pemahaman tentang sosok
hukum (Gestalt-like version) itulah yang sekarang dibicarakan.
Hukum mempunyai paradigma, yaitu suatu perspektif dasar. Adanya
paradigma tersebut membawa kita kepada kebutuhan untuk melihat hukum
sebagai institusi yang mengekspresikan paradigm tersebut. Kita tidak
dapat mengabaikan pembicaraan mengenai paradigm tersebut tanpa
mengalami gangguan dalam pemahaman kita mengenai hukum. Dengan
mengetahui paradigm yang ada di belakang hukum, kita dapat memahami
hukum lebih baik daripada jika kita tidak dapat mengetahuinya.4
Istilah paradigma (paradigm) pertama kali diperkenalkan oleh Thomas
Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution (1962).
Tujuan utamanya adalah untuk menantang asumsi yang berlaku umum di
kalangan ilmuwan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan.
Paradigma sebagai suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu
tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang mestinya
dipelajarinya.
Apabila, misalnya, nilai itu suatu paradigma, maka hukum itu juga
akan kita lihat sebagai suatu institusi yang mengekspresikan nilai.

4
Ma'u, D. H., & Nur, M. (2016). Paradigma hukum sosiologis (upaya menemukan makna hukum
dari realitas publik). Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, 7(2).
Paradigma ada bermacam macam dan sebagai akibatnya, maka hukum
juga mengekspresikan bermacam hal sesuai dengan perspektif dasarnya.
Istilah paradigma dikenalkan oleh Thomas Khun, dipahami sebagai suatu
konsep tentang hal-hal yang besar dan mendasar. Pengertian paradigma
dicoba dirumuskan Masterman dan Freiderichs. Mereka berpendapat
bahwa paradigma merupakan pandangan yang mendasar dari ilmuwan
tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang mestinya dipelajari oleh
suatu cabang ilmu pengetahuan (dicipta). Paradigma membantu
merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang mesti
harus dijawab, bagaimana seharusnya menjawab, serta aturan-aturan apa
yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang
dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut.
Menurut Satjipto Rahardjo, sebelum itu Robert Merton (1984) telah
menggunakannya untuk membicarakan temuan-temuan (materials) yang
dikodifikasikan, melalui teknik untuk menggelar the complete of
assumptions, consepts and basic propositions employed in a social logical.
Merton melihat bahwa tujuan penciptaan paradigma adalah untuk
memberikan a provisional guide for eduquate and fruitful functional
analysis.5
Paradigma dipakai sebagai sinonim dari model. Keduanya
berhubungan dengan teknik analisis dan interpretasi data. Berhadapan
dengan sejumlah data, seorang ilmuwan (peneliti) dihadapkan pada
pertanyaan: bagaimana memahaminya. Analisis berarti membuat
kategorisasi, menata, memanipulasi dan mengikhtisarkan. Semua itu
dalam rangka mereduksi data sehingga memperoleh bentuk yang dapat
dipahami (intelligible) dan diinterpretasikan. Paradigma dan model
membantu untuk memahami data. Hal ini dilakukan dengan
mengemukakan asumsi dan postulat yang ada dibedakan, sebagai sarana
untuk melakukan kategorisasi, pengiktisaran, dan sebagainya. Lebih dari

5
Ma'u, D. H., & Nur, M. (2016). Paradigma hukum sosiologis (upaya menemukan makna hukum
dari realitas publik). Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, 7(2).
itu juga dapat dicari implikasi politik dan ideology, sehingga sang
ilmuwan mampu keluar dari implikasi data yang sempit.
Begitu besar gema pemikiran paradigma dari Khun sehingga hampir
seluruh cabang keilmuwan menyampaikan respon melalui berbagai versi
yang dianggap mewakili nuansa pemikiran yang salama ini berkembang
dalam disiplin ilmu masing-masing. Para ilmuwan melihat seberapa jauh
pengaruh, implikasi, dan konsepsi pemikiran Khun dalam bidang sejarah,
ekonomi politik, sosiologi, filsafat, hukum, budaya, dan agama.
Paradigma dalam hukum hukum, menurut Sutjipto Raharjo adalah
konsep spiritual yang ada di dalam hukum yang lebih besar serta
melampaui hukum positif. Konsep spiritual mengikuti pemikiran Paul
Scolten yang memahami dengan unsur moral dalam hukum yang
kehadirannya dirasakan secara langsung begitu saja. Oleh Scolten
dimasukkan ke dalam kategori irrasional yang secara teknis disebut asas
hokum melalui rechts vending. Pendapatnya yang amat terkenal adalah
hukum itu ada dalam perundang-undangan tetapi masih harus ditemukan.
Di situlah Scotlen mengemukakan teorinya tentang penemuan hukum yang
didasari oleh pemahaman mengenai tata hukum sebagai suatu sistem yang
terbuka. Dalam keyakinannya, Scolten mengatakan bahwa pada suatu saat
asass hukum itu sulit untuk ditarik dari perundang-undangan, tetapi tetap
diyakini bahwa asas itu ada yang ruang linkupnya tidak hanya meliputi
suatu bidang hukum tertentu, melainkan seluruh hukum. Teori Scolten
merupakan pemikiran yang menarik untuk dikaitkan dengan masalah
paradigma.6

6
Ma'u, D. H., & Nur, M. (2016). Paradigma hukum sosiologis (upaya menemukan makna hukum
dari realitas publik). Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, 7(2).
1. PARADIGMA HUKUM SEBAGAI SISTEM NILAI
Menurut Satjipto Rahardjo, nilai merupakan salah satu paradigma
hukum, sehingga nilai dapat dilihat sebagai sosok hukum juga. Nilai
sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya
adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung
tinggi oleh masyarakat. Hukum dipandang sebagai suatu sistem nilai
yang secara keseluruhan dipayungi oleh sebuah norma dasar atau basic
norm. Norma dasar inilah yang dipakai sebagai dasar dan sekaligus
penuntun penegakan hukum. Sebagai sistem nilai, norma dasar
tersebut merupakan sumber nilai dan juga pembatas dalam penerapan
hukum.
Salah satu paradigma hukum adalah nilai sehinga hukum dapat
dilihat sebagai sosok nilai pula. Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai
mengandung arti, bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan
memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.
Dengan demikian, hukum tidak merupakan insitusi teknik yang kosong
moral atau steril terhadap moral. Salah satu perbincangan kristis
mengenai hukum adalah tuntutan agar hukum memberikan keadilan,
artinya ke- pada hukum selalu dihadapkan pertanyaan tentang apakah
ia mewujudkan keadilan. Beberapa ribu tahun yang lalu, yaitu di masa
hukum alam, maka wacana mengeni hukum berputar di sekitar
pencarian keadilan yang absolut itu (institusi search for absolute
justice). Eksistensi dan kemampuan hukum lalu diukur seberapa jauh
ia telah mewujudkan keadilan tersebut. Dengan demikian, moral
keadilan telah menjadi dasar bagi mangesahkan kehadiran dan
bekerjanya hukum.7
Pada waktu Fuller mengajukan delapan prinsip hukum yang
terkenal itu, maka pada saat itu muncul dengan jelas moral sebagai
paradigma. Menurut Fuller, hukum tidak dapat diterima sebagai

7
Atmasasmita, R. (2012). Tiga paradigma hukum dalam pembangunan nasional. Jurnal Hukum
Prioris, 3(1), 1-26.
hukum, kecuali apabila bertolak dari moralitas tertentu. Hukum harus
mampu memenuhi ukuran moral tertentu dan ia tidak dapat disebut
hukum apabila memperli- hatkan kegagalan-kegagalan sebagai berikut:
a) Kegagalan untuk mengeluarkan aturan (to achief rules).
Suatu sistem hukum harus mengandung aturan-aturan,
artinya ia tidak boleh memuat putusan-putusan yang
hanya bersifat ad hoc.
b) Kegagalan untuk mengumumkan aturan tersebut kepada
public (to publicize). Aturan yang telah dibuat harus
diumumkan.
c) Kegagalan karena menyalahgunakan perundang-undangan
yang berlaku surut (retroactive legislation). Tidak boleh
aturan yang berlaku surut, oleh karena seperti itu tidak dapat
dipakai sebagai pedoman aturan tingkah laku. Membolehkan
aturan berlaku surut akan merusak integritas aturan yang
ditujukan untuk berlaku pada waktu yang akan datang
kegagalan membuat aturan yang mudah dimengerti
(undersatandable). Aturan harus disusun dalam rumusan
yang dapat dimengerti.8
d) Kegagalan karena membuat aturan-aturan yang saling
bertentangan (contrasdictory rules). Suatu sistem tidak boleh
mengandung aturan yang bertentangan satu sama lain.
e) Kegagalan karena menuntut dilakukannya perilaku di luar
kemampuan orang yang diatur (beyond the powers of the
affected). Aturan-aturan tidak boleh mengandung tuntutan yang
melebihi apa yang dapat dilakukan.
f) Kegagalan karena sering melakukan perubahan. Tidak boleh
ada kebiasaan untuk sering mengubah aturan sehingga
menyebabkan orang kehilangan orientasi.

8
Atmasasmita, R. (2012). Tiga paradigma hukum dalam pembangunan nasional. Jurnal Hukum
Prioris, 3(1), 1-26.
g) Kegagalan untuk menyelesaikan aturan dengan praktik
penerapannya. Harus ada kecocokan antara peraturan yaitu
diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.

Donald Black, salah seorang sosiologi hukum Amerika


terkemuka, sama sekali menolak untuk membicarakan nilai-nilai,
sebab sosiologi hukum seharusnya konsisten sebagai ilmu
menegnai fakta, sehingga segal sesuatunya harus hanya didasarkan
pada apa yang dapat diamati dan dikualifikasikan. Berseberangan
dengan Donald Black, maka Philip Selznick dan kawan-kawannya
dari Berkeley berpendapat bahwa hakikat dari hukum justru
terletak pada karakteristik dari hukum sebagai institusi yang
menunjang dan melindungi nilai-nilai. Sejak hukum menjadi cagar
niali (sanctuary), yaitu tempat nilai dan moral disucikan, maka
bangsa-bangsa pun berbeda dalam praksis hukumnya. Sosiologi
hukum harus mengahadapi kenyataan tersebut apabial ia ingin
menjelaskan perebdaan-perebdaan tesrsebut.9

Bangsa Indonesia juga mengalami konflik nilai-nilai dalam


hukum. Di satu pihak ingin hidup dengan mendasarkan pada
kehidupan berorentiasi kepada niali-nilai komunal, seperti
musyawarah dan kebapakan, tetapi pada waktu yang sama, disadari
atau tidak, digunakan doktrin besar rule of law. Dalam sosiologi
hukum, konflik-konflik seperti itu dijelaskan dari interaksi antara
nilai-nilai tertentu dengan struktur sosial di mana nilai-nilai itu
dijalankan. Struktur sosial ini adalah realitas sosiologis yang
merupakan modal suatu bahasa untuk memahami dan
mempraktikan perlindungan hak asasi manusia.

Kendatipun disini kita membicarakan nilai sebagai


paradigma, namun masih juga terdapat perbedaan pendapat

9
Atmasasmita, R. (2012). Tiga paradigma hukum dalam pembangunan nasional. Jurnal Hukum
Prioris, 3(1), 1-26.
diantara peran sosiologi hukum mengenai apakah nilai-nilai
mempunyai tempat dalam ilmu hukum atau tidak. Donald Black,
ialah seorang sosiolog hukum Amerika terkemuka, sama sekali
menolak untuk membicarakan nilai-nilai, sebab sosiolog hukum
seharusnya konsisten sebagai ilmu fakta, sehingga se gala
sesuatunya harus hanya didasarkan pada apa yang dapat diamati
dan dikualifikasikan. Dalam pengantar salah satu bukunya, Black
mengkritik mereka yang menghubungkan hukum dengan nilai-
nilai.

Berseberangan dengan Donald Black, maka Philip Elznick


dan kawan-kawannya dari Berkeley berpendapat, bahwa hakikat
dari hukum sebagai institutsi yang menunjang dan melindungin
nilai-nilai. Jepang mempunyai konstitusi demokratis dan undang-
undang perlindungan hak-hak warga negara, yang sama baiknya
dengan negara manapun di dunia. Tetapi Jepang bukanlah negara
yang demokratis.Jepang meru- pakan model masyarakat
administrasi, juga biasa disebut “despotisme administratif”, bila
yang dimaksud istilah itu adalah despotime yang halus dan baik
hati dari pemerintah ala guru dan bukanlah tirani kasar
kediktatoran ideologis.

Di Amerika Serikat, moral untuk menjunjung tinggi


kemerdekaan dan kebebasan individu melahirkan peradilan pidana
dengan adversary system dan apa yang disebut “exclusionary
rules”. Demi menjunjung kemerdekaan individu, maka dalam
peradilan pidana fakta dan kebenaran dapat dipinggirkan oleh
pertimbangan melindungi hak-hak tersangka.10

Jepang lebih mendahulukan cara-cara penyelesaian konflik


daripada menggunakan kontrak yang telah dibuat. Bangsa Jepang

10
Ma'u, D. H., & Nur, M. (2016). Paradigma hukum sosiologis (upaya menemukan makna hukum
dari realitas publik). Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, 7(2).
merasa sedih apabila harus berhadapan dengan lawyers, sebab itu
menunjukkan kegagalan cara-cara Jepang. Bangsa Jepang
mempunyai cara yang unik untuk menerima hukum modern dan
sekaligus mempertahankan cagar nilai Jepang asli. Cara itu adalah
dengan menerima hukum modern sebagai formal dipermukaan
sedangkan kehidupan sehari-hari tetap berjalan berdasarkan hati
nurani Jepang. Bangsa Indonesia juga mengalami konflik nilai
nilai dalam hukum. Di satu pihak ingin hidup dengan mendasarkan
pada kehidupan yang berorientasi kepada nilai-nilai komunal,
seperti musyawarah, dan kebapakan, tetapi pada waktu yang sama,
disadari atau tidak, digunakan doktrin besar rule of law.

Dalam sosiologi hukum, maka konflik-konflik seperti itu


dijelaskan dari interaksi antara nilai-nilai tertentu dengan struktur
sosial dimana nilai-nilai itu dijalankan. Struktur sosial ini
merupakan modal yang dimiliki oleh suat bangsa untuk
mengoperasikan berbagai institusi dalam masyarakat. Suatu bangsa
yang tidak akan mungkin mengoperasikan hukum modern tanpa
menggunakan struktur sosial yang dimilikinya. Struktur sosial
memang berubah dari waktu ke waktu sehingga modal yang
dimiliki suatu bangsa untuk mengoperasikan hukumnya juga
berubah. Tetapi ada inti yang tidak sulit berubah, yang diatas oleh
Bellah disebut sebagai akar budaya, dan itulah yang menjadi
parameter antara bangsa satu dengan bangsa lain.11

11
Ma'u, D. H., & Nur, M. (2016). Paradigma hukum sosiologis (upaya menemukan makna hukum
dari realitas publik). Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, 7(2).
2. PARADIGMA HUKUM SEBAGAI IDEOLOGI
Sebuah sistem hukum tanpa basis ideologi adalah tidak
mungkin, sebab hukum tanpa hegemoni hanyalah kekuasaan telanjang
dan itu berarti hukum sama sekali bukanlah hukum. Hukum tidak
hanya ideologi yang disokong oleh kekuasaan sosial yang
terlembaga melainkan juga kekuasaan sosial terlembaga yang
disusun oleh ideologi.12
Sebagai paradigma, ideologi tidak membiarkan hukum sebagai
suatu lembaga yang netral. Ideologi merupakan suatu sistem gagasan
yang menyetujui seperangkat norma. Jika norma menetapkan
bagaimana cara orang berperilaku, maka tugas ideologi adalah untuk
menjelaskan mengapa harus bertindak demikian dan mengapa mereka
seringkali gagal bertindak bagaimana semestinya.
Masalah ideologi negara dalam arti cita negara atau cita-cita yang
menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh
rakyat dan bangsa yang bersangkutan pada hakikatnya merupakan asas
kerokhanian yang antara lain memiliki ciri sebagai berikut:
1) Mempunyai derajat yang tinggi sebagai nilai hidup kebangsaan
kenegaraan.
2) Oleh karena itu mewujudkan suatu asas kerokhanian, pandangan
dunia, pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang
dipelihara, dikembangkan, diamalkan, dilestarikan kepada
generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahanjan dengan
kesediaan berkorban.

Jika hukum bersumber pada aspek ideologi sebagaimana arti


nilai dalam norma dasar, maka nilai dianggap memiliki sifat
normatif, artinya nilai tersebut mengandung harapan, cita-cita, dan
suatu keharusan sehingga nilai nemiliki sifat ideal (das sollen)
ideologi. Nilai diwujudkan dalam bentuk norma sebagai landasan

12
Atmasasmita, R. (2012). Tiga paradigma hukum dalam pembangunan nasional. Jurnal Hukum
Prioris, 3(1), 1-26.
manusia dalam bertindak. Misalnya, nilai keadilan. Semua orang
berharap dan mendapatkan dan berperilaku yang mencerminkan nilai
keadilan. Oleh karena itu ideologi merupakan panduan bagi
penganutnya untuk melakukan tindakan-tindakan secara praktis dan
strategis untuk mewujudkan kehendak dan cita-cita yang terkandung
dalam ideologi tersebut. Sehingga ideologi mempunya beberapa
fungsi sebagai berikut:

1) Fungsi etis, yaitu sebagai panduan dan sikap serta perilaku


kelompok masyarakat dalam kehidupan kenegaraan dan
kebangsaan.
2) Fungsi integrasi, yaitu nilai yang menjadi pengikat suatu
bangsa atau masyarakat.
3) Fungsi kritis, yaitu sebagai ukuran nilai yang digunakan untuk
melakukan kritik terhadap nilai atau keadaan tertentu.
4) Fungsi praxis, yaitu sebagai acuan dalam memecahkan
measalah-masalah kongkrit.
5) Fungsi justifikasi, yaitu ideologi sebagai nilai pembenar atas
suatu tindakan atau kebikajan tertentu yang dikeluarkan oleh suatu
kelompok.
Newman berpendapat bahwa ideologi merupakan seperangkat
gagasanyang menjelaskan atau yang melegalisasikan tatanan sosial,
struktur kekuasaan atau cara hidup dilihat dari segi tujuan, kepentingan
atau kolektifitas di mana ideologi itu muncul.13
Hukum sebagai lembaga normatif adalah merupakan bagian dari
proses sosial yang lebih besar dan dengan demikian merupakan
penekanan dari hubungan-hubungan yang berlangsung dalam
masyarakat. Hukum tidak otonom. Analisis mengenai isi ideology dari
hukum merupakan salah satu topik sentral teori hukum dewasa ini.

13
Lubis, R. K. (2014, June). Pancasila: Paradigma Ilmu Hukum Indonesia. In Conference: Kongres
Pancasila VI, Ambon.
Karl Marx dapat disebut sebagai sosiolog hukum pada saat
mengemukakan pendapatnya mengenai pengadilan terhadap
pengadilan terhadap pencurian kayu di tahun tahunn 1842-1843,
dimana ia mengatakan bahwa hukum adalah tatanan peraturan untuk
kepentingan kelas orang berpunya dalam masyarakat. Melalui
pendapat tersebut maka ideologi sebagai paradigm hukum pertama-
tama dirumuskan.
Menurut Marx, maka hukum merupakan bangunan atas yang
ditopang oleh interaksi antara kekuatan-kekuatan dalam sector
ekonomi. Seperti dalam kasus pencurian kayu tersebut, maka golongan
ekonomi yang kuat muncul sebagai pemenang dan hukum pun
memihak pada kepentingan mereka. Ideologi merupakan suatu
kompleks pendapat atau pernyataan dalam bentuk suatu pemihakan
kepada nilai-nilai tertentu mengenai pernyataan yang dipegang oleh
suatu golongan yang berkuasa. Dalam hubungan dengan analisis maka
menurut marx, hukum mencerminkan ideologi kaum borjuis.
Paradigma ideologi dalam hukum juga dijumpai dalam bidang
kontrak, hukum kontrak sebagaimana lazim dikenal sekarang adalah
produk dari abad ke-19. Pada abad ke-18 kontrak bukan merupakan
hasil dari persetujuan individual, melainkan implementasi praksis
kebiasaan dan kaidah tradisional. Ideologi komunal tersebut tidak
mengenal kontrak sebagai hasil suatu persetujuan. Berbeda dengan hal
tersebut, ideal yanag mendasari konsep kontrak padaa abad ke-19
adalah persaingan bebas, sebagai akibat dari interaksi aantara individu
yanag merdeka dan memiliki kedudukan sama. Ideal yang demikian itu
mengharuskan adanya persetujuan yang dilakukan secara eksplisit bagi
imbulnya (hubungan ) kontrak.14
Namun, menurut Ranner, perkembangan hukum tidak dapat
dibendung oleh innersia dari kaidah hukum dan dina- mika

14
Prasetyo, Y. (2019). Pancasila Sebagai Paradigma Hukum Integral Indonesia. Journal of Civics
and Moral Studies, 4(1), 54-65.
perkembangan tersebut akan mencari jalannya sendiri untuk keluar
dari anomali tersebut. Maka tanpa ada perubahan dalam konsep
pemilikan, perkembangan manusia menjadi “barang” tersebut diatasi
dengan lahirnya hukum perburuhan. Dalam bidang hukum terakhir itu
muncul pengakuan bahwa manusia telah diperlakukan sebagai factor
produksi dan oleh karena itu perlu mendapatkan perlindungan. Dari
situ, Ranner mengajukan postulat, “The development of the law
gradually work out what is sosially reasonable”.

Masa Kenyataan Sosio Ekonomi Pikiran Ideologis


Abad 18 Tatanan sosial diorganisasikan Tatanan sosial diorganisasikan
berdasar status tradisional secara hirarkis, didasarkan
hirarki-hirarki, yang mencip posisi kelas yang”alami” yang
takan dominasi kelas, yang kehadirannya mendahului
terutama ditentukan oleh dis intervensi manusia, sistem hu-
tribusi pemilikan tanah, pe kumnya mengimplementasikan
kerjaan yang tetap, dan posisi kebiasaan moral dan prinsip-
sosial didasarkan warisan. prinsip religious, yang mendu-
kung hirarki alami itu.
Abad 19 Tatanan sosial diorganisa- Tatanan sosial diorganisasi-
sikan melalui persaingan kan melalui pembuatan kon-
bebas, yang dipaksanakan trak sukarela antara sesame
melalui beroperasnya pasar warga negara yang bebas dan
yang tidak teratur, yang sederajat, yang pilihannya
menciptakan hubungan- tidak diganggu oleh Negara,
hubungan yang didasarkan yang menciptakan masya-

pada dominasi kelas yang rakat etiap orang mempun-


terutama ditentukan oleh yai kesempatan sama untuk
pemilikan modal. memperoleh keuntungan
pribadi dan kebahagiaan.
Abad 20 Tatanan sosial diorganisasi- Tatanan sosial yang dior-
kan melalui control yang me- ganisasikan oleh berbagai
nonjol dari monopoli semua kelompok ekonomi (bisnis
aspek produksi, dengan besar, perubahan dll) secara
bantuan perencanaan yang sukarela, yang bekerja sama
diatur oleh negara, yang ingin diatur oleh Negara
menciptakan hubungan- menuju penadminstrasian
hubungan yang didasarkan suatu kehidupan yang adil,
pada dominasi kelas yang dimana perbedaan kelas di-
terutama ditentukan oleh imbangi oleh pengaturan dan
peta pemilikan modal. distribusi.15

15
Atmasasmita, R. (2012). Tiga paradigma hukum dalam pembangunan nasional. Jurnal Hukum
Prioris, 3(1), 1-26.
Berdasarkan tabel diatas, maka kontrak pada abad ke-19
merupakan bagian dari tatanan sosial hirarkis dan mutlak sehingga
kontrak merupakan bagian dari pemilikan. Artinya, kontrak bukan
merupakan pelaksanaan dari persetujuan perorangan, melainkan hanya
merupakan implementasi dari praktik kebiasaan dan kaidah tradisional.
Kontrak merupakan bagian dari hukum tentang pemilikan yang
berhubungan dengan pengalihan pemilikan yang berhubungan dengan
pengalihan pemilikan dari satu orang ke orang lain. Suatu proses
dimana “barang saya” menjadi “barang kamu”.

Legitimasi kontrak pada abad ke-20 adalah ideologi tentang


persaingan bebas sebagai konsekuensi dari interaksi antara individu
secara sukarela yang pada dasarnya bebas dan sederajat satu sama lain.
Ideologi tersebut mengabaikan kenyataan tentang terbatasnya
kebebasan pasar yang muncul dari posisi kelas seseorang dan
pendistribusian kekayaan yang tidak sama. Konsekuensi hukum
daimistifikasi legitimasi tersebut adalah pemisahan hukum kontrak dan
hukum tentang pemilikan dan hukum tentang hubungan yang bersifat
non konseptual. Semua hubungan sosial mengalir dari asosiasi yang
bebas dan sukarela antara individu tanpa pemaksaan oleh negara.

Ideologi sebagai paradigma tidak membiarakan hukum sebagai


suatu lembaga yang netral. Dunia menjadi sangat tersentak, pada waktu
menyaksikan praktik Negara Jerman-Nazi, sebagai Negara hukum.
Ternyata Negara hukum Jerman tidak menghalangi praktik untuk
melakukan genocide terhadap ras yahudi. Kritik juga ditujukan kepada
para praktisi yuris yang telah menjadi budak teknis-yuridis dari
dominasi suatu ideologi yang immoral. 16Mereka menafsirkan kembali
perundang-undangan sebelum tahun 1933 dengan mengesampingkan
interprestasi yang di lakukan selama itu da menggantikannya dengan
penafsiran yang mengacu kepada ideologi nasional-sosialistis. Ideologi
16
Prasetyo, Y. (2019). Pancasila Sebagai Paradigma Hukum Integral Indonesia. Journal of Civics
and Moral Studies, 4(1), 54-65.
yang berhubungan dengan ras di Amerika Serikat, itu ideologi
keunggulan kulit putih telah menimbulkan penyebutan keadilan
berdasar atas kelas (class justice, white justice). Kendatipun hukumnya
menyatakan asas persamaan dihadapan hukum, tetapi Amerika terbeah
dua menjadi Amerika putih dan hitam, dimana penduduk hitam
ditempatkan di bawah penduduk kulit putih.

Peter Gabel dan Jay M. Feinman mengamati perubahan-perubahan


dalam sosial ekonomi yang memunculkan ideologi berbeda dan yang
pada gilirannya membentuk konsep tentang kontrak. Ideologi tersebut
berfungsi untuk melegitimasi praksis kontrak dalam konteks tatanan
sosial ekonomi yang berbeda-beda. Legitimasi kontrak pada abad ke-29
adalah ideologi tentang persaingan bebas sebagai konsekuensi dari
interaksi antara individu secara sukarela, yang pada dasarnya bebas dan
sederajad satu sama lain. Ideologi tersebut mengabaikan kenyataan
tentang terbatasnya kebebasan pasar yang muncul dari posisi kelas
seseorang dan pendistribusian kekayaan yang tidak sama. Konsekuensi
hukum dari mistifikasi legitimasi tersebut adalah pemisahan hukum
kontrak dari hukum tentang pemilikan dan hukum tentang hubungan
yang bersifat non-konsensual.17

Karakteristik esensial kapitalisme abad ke-20 adalah digantikannya


kompetisi tanpa terkendali dari pasar bebas oleh integrasi dan
koordinasi dalam ekonomi. Disini negara secara besar-besaran masuk
untuk mengatur dan menstabilisasi keadaan. Tumbuhnya ekonomi yang
terkoordinasi tersebut menciptakan persoalan besar bagi hukum tentang
bagaimana mentransformasikan ideologi “kemerdekaan dan
persamaan” dan “kemerdekaan berkontrak” kedalam suatu citra baru
yang memodifikasikan ideologi tersebut kedalam suatu masa monopoli
kapitalisme. Caranya adalah dengan mentransformasikan hukum
kontrak kedalam suatu kaidah uniform bagi transaksi bisnis, yang tidak
17
Lubis, R. K. (2014, June). Pancasila: Paradigma Ilmu Hukum Indonesia. In Conference: Kongres
Pancasila VI, Ambon.
didominasi oleh asas individual dari pasar bebas, tetapi oleh asas yang
lebih kolektif dari kompetisi yang diatur oloeh kelaziman
perdagangan.18

3. PARADIGMA HUKUM SEBAGAI REKAYASA SOSIAL

18
Lubis, R. K. (2014, June). Pancasila: Paradigma Ilmu Hukum Indonesia. In Conference: Kongres
Pancasila VI, Ambon.
Hukum sebagai rekayasa sosial atau sarana rekayasa sosial
merupakan fenomena yang menonjol pada abad ke-20 ini. Tidak seperti
halnya dalam suasana tradisional, dimana hukum lebih merupakan
pembadanan dari kaidah- kaidah sosial yang sudah tertanam dalam
masyarakat, hukum sekarang sudah menjadi sarana yang sarat dengan
keputusan politik. Secara pasti penggunaan hukum sebagai sarana
rekayasa sosial dipelopori oleh Roscoe Pound, yang pada tahun 1912
melontarkan suatu paket gagasan yang kemudian dikenal dengan
sebagai program aliran hukum sosiologis. Program tersebut dirumuskan
dalam tulisannya berjudul Scope and Purposive of Sociological
Jurispridence. 19
Program Pound tersebut makna sosiologisnya terlihat
pada sifatnya yang:
a) Lebih diarahkan kepada bekerjanya hukum daripada kepada isinya
yang abstrak.
b) Memandang hukum sebagai lembaga sosial yang dapat
dikembangkan melalui usaha manusia dan menganggap sebagai
kewajiban mereka untuk menemukan cara-cara terbaik dalam
memajukan dan mengarahkan usaha sedemikian itu.
c) Lebih menekankan pada tujuan-tujuan sosial yang dilayani oleh
hukum daripada sanksinya.
d) Menekankan, bahwa aturan-aturan hukum itu harus lebi dipandang
sebagai pedoman untuk mencapai hasil-hasil yang dianggap adil
oleh masyarakat daripada sebagai kerangka yang kaku.

Hal ini menunjukkan bahwa hukum sebagai rekayasa sosial sangat


diperlukan dalam proses perubahan masyarakat yang di manapun
senantiasa terjadi, apalagi dalam kondisi kemajuan yang menuntut
perlunya perubahan- perubahan yang relatif cepat. Fungsi Hukum
sebagai rekayasa sosial ini, juga sering disebut sebagai a tool of
engineering yang pada prinsipnya merupakan fungsi hukum yang

19
Kusumawati, Y. (2017). Representasi Rekayasa Sosial Sebagai Sarana Keadilan Hukum. SANGAJI:
Jurnal Pemikiran Syariah Dan Hukum, 1(2), 129-141.
dapat diarahkan untuk merubah pola-pola tertentu dalam suatu
masyarakat, baik dalam arti mengokohkan suatu kebiasaan menjadi
sesuatu yang lebih diyakini dan lebih ditaati, maupun dalam bentuk
perubahan lainnya.

Penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial tidak dapat


dilepaskan dari anggapan serta faham bahwa hukuman itu merupakan
sarana (instrumen) yang dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan yang
jelas. Penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial membawa kita
kepada penelitian mengenai kaitan antara pembuatan hukum atau cara-
cara yang dilakukan oleh hukum dengan hasil atau akibat yang
kemudian muncul. Adam Podgorecki mengajukan beberapa langkah
yang harus ditempuh, apabila pembuatan hukum ingin memberikan
akibat seperti dikehendaki. Adapun langkah-langkah dalam rekayasa
sosial itu antara lain:

a) Mendeskripsikan situasi yang dihadapi dengan baik.


b) Analisis terhadap penilaian-penilaian mengenai situasi tersebut
menentukan jenjang susunannya.
c) Melakukan verifikasi hipotesa-hipotesa.
d) Pengukuran efek hukum yang dibuat. 20

Sesungghnya proses rekayasa sosial dengan menggunakan hukum


merupakan proses yang tidak berhenti pada pengukuran efektivitasnya,
melainkan bergulir terus. Proses yang bersambungan terus itu
mengandung arti, bahwa temuan- temuan dalam pengukuran akan
menjadi umpan balik untuk semakin mendekatkan hukum kepada
tujuan yang ingin dicapainya.

B. KESIMPULAN

20
Kusumawati, Y. (2017). Representasi Rekayasa Sosial Sebagai Sarana Keadilan Hukum. SANGAJI:
Jurnal Pemikiran Syariah Dan Hukum, 1(2), 129-141.
Hukum mempunyai paradigma, yaitu suatu perspektif dasar. Adanya
paradigma tersebut membawa kita kepada kebutuhan untuk melihat hukum
sebagai institusi yang mengekspresikan paradigm tersebut. Dengan
mengetahui paradigma yang ada di belakang hukum, kita dapat memahami
hukum lebih baik daripada jika tidak dapat mengetahuinya.
Bertolak dari rangkaian pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulah
bahwa, dengan mengetahui paradigma yang ada di belakang hukum, kita
dapat memahami hukum lebih baik daripada jika kita tidak dapat
mengetahunya. Adanya paradigma hukum yang bermacam-macam.
Sebagai akibatnya, maka hukum juga mengekspresikan bermacam-macam
hal sesuai dengan perspektif dasarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ma'u, D. H., & Nur, M. (2016). Paradigma hukum sosiologis (upaya menemukan
makna hukum dari realitas publik). Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, 7(2).

Prasetyo, Y. (2019). Pancasila Sebagai Paradigma Hukum Integral Indonesia.


Journal of Civics and Moral Studies, 4(1), 54-65.

Atmasasmita, R. (2012). Tiga paradigma hukum dalam pembangunan nasional.


Jurnal Hukum Prioris, 3(1), 1-26.

Lubis, R. K. (2014, June). Pancasila: Paradigma Ilmu Hukum Indonesia. In


Conference: Kongres Pancasila VI, Ambon.

Bukhori, K. A. (2018). Pergeseran Paradigma Hukum. Medina-Te: Jurnal Studi


Islam, 14(1), 53-70.

Kusumawati, Y. (2017). Representasi Rekayasa Sosial Sebagai Sarana Keadilan


Hukum. SANGAJI: Jurnal Pemikiran Syariah Dan Hukum, 1(2), 129-141.

Anda mungkin juga menyukai