PARADIGMA HUKUM
A. PARADIGMA HUKUM
Berbicara istilah paradigma yang berasal dari bahasa Latin yaitu
paradeigma yang berarti pola. Konsep paradigma untuk pertama kalinya
diintroduksi kembali oleh Thomas S. Kuhn pada tahun 1940-an dalm
konteks filsafat sains. Oleh Kuhn istilah ini dipergunakan untuk menunjuk
dua pengertian utama, pertama sebagai totalitas konstelasi pemikiran,
keyakinan , nilai, persepsi, dan teknik yang dianut oleh akademisi mapun
praktisi disiplin ilmu tertentu yang mempengaruhi cara pandang realitas
mereka. Kedua sebagai upaya manusia untuk memecahkan rahasia ilmu
pengetahuan yang mampu menjungkirbalikkan semua asumsi maupun
aturan yang ada.1
Gagasan hukum berawal dari hukum alam yang pada masa itu
mendapatkan tantangan dari bagian alirannya yang lebih muda (hukum
alam rasional), ilmu hukum kemudian berkembang dalam suatu bentuk
revolusi sains yang khas.
Bentuk revolusi sains yang khas dalam bidang ilmu ini, yaitu bahwa
kehadiran suatu paradigma baru dihadapkan pada paradigma lama tidak
selalu menjadi sebab bergesernya atau jatuhnya paradigma itu. Sehingga
kehadiran paradigma baru tidak selalu dapat mengubah gagasan hukum
yang telah ada sebelumnya.
Dalam bidang ilmu hukum, revolusi itu telah lebih banyak menyentuh
bidang epistemologi dan ontologi ilmu hukum tanpa harus mengecilkan
arti dimensi aksiologis dari bidang ilmu ini. Disebabkan pertentangan
besar antara aliran hukum positif dengan hukum alam yaitu mengenai
persoalan esensi hukum, sumber, bentuk dan cara berfungsinya.
1
Lubis, R. K. (2014, June). Pancasila: Paradigma Ilmu Hukum Indonesia. In Conference: Kongres
Pancasila VI, Ambon. (Zahira Alya Zahrani, Zekshar Arafka, Ade Oktaviani Lebani, Agung Dwi
Anugrah, Agung Zulfikar, Agus, Dian Permata Putri)
Selain itu, tersentuh pula dimensi aksiologinya dengan ditolaknya
unsur pendekatan sejarah terhadap hukum oleh aliran hukum positif.
Kemudian hal serupa juga terulang terhadap paradigma hukum positif
ketika aliran hukum pragmatis mengajukan gagasan-gagasan tentang
hukum.
Hukum positif betul-betul mengalami guncangan eksistensial yang
hebat, sehingga mengakibatkan lunturnya kepercayaan orang-orang
terhadap masalah kepastian hukum dan keadilan yang selama hampir satu
setengah abad ini dimitoskan oleh aliran hukum positif.
Menurut Robert Friendrichs bahwa, paradigma adalah pandangan
mendasar dari suatu disiplin ilmu tetntang apa yang menjadi pokok
persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajarinya (a fundamental
image a dicipline has of its subject matter).2
Dengan maksud lebih memperjelas lagi, George Ritzer mencoba
mentesiskan pengertian yang dikemukakan oleh Kuhn, Mastermann, dan
Friedrich, dengan mengartikan paradigma sebagai Pandangan yang
mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang
semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan (Lili Rasjidi
dan I.B.Wyasa Putra, 2003 : 105).
Bertolak dari berbagai pengertian yang dikemukakan di atas,
pengertian paradigma oleh mereka tampaknya diberatkan pada beberapa
unsur yaitu, sebagai pandangan mendasar sekelompok ilmuwan, tentang;
objek ilmu pengetahuan yang seharusnya dipelajari oleh suatu disiplin
tentang: metode kerja ilmiah yang digunakan untuk mempelajari objek itu.
Pengembangan ini tampaknya akan membawa persolalan tersendiri bagi
pengertian paradigma. Usaha-usaha pemberian pengertian dengan dasar
kepentingan individual dari masing-masing disiplin dapat mengakibatkan
timbulnya suatu dampak yang bersifat ganda, yaitu pertama menjadi
jelasnya makna paradigma bagi kepentingan masing-masing disiplin yang
2
Lubis, R. K. (2014, June). Pancasila: Paradigma Ilmu Hukum Indonesia. In Conference: Kongres
Pancasila VI, Ambon.
menjelaskannya. Kedua, mengaburnya makna esensial paradigma, dari
hakikat dasar pengertiannya sebagaimana pada mulanya diintroduksi oleh
Kuhn.
Bertolak dari gagasan Kuhn tentang perkembangan sains, maka
sangatkan menarik mengamati pertumbuhan ilmu hukum. Sejumlah
gagasan tentang hukum telah eksis dalam suatu rangkaian pertumbuhan
sains yang menyerupai gagasan Kuhn. Bermula dari gagasan tentang
hukum alam yang mendapatkan tantangan dari bagian alirannya yang lebih
muda (hukum alam rasional), ilmu hukum kemudian telah berkembang
dalam suatu bentuk revolusi sains yang khas. Salah satu bentuk khas dari
revolusi sains dalam bidang ilmu ini adalah bahwa kehadiran suatu
paradigma baru dihadapan paradigma lama tidak selalu menjadi sebab
tergeser atau jatuhnya paradigma itu.
Demikian juga kehadiran paradigma baru didalam masyarakat
ilmuwan tidak selalu mengubah gagasan hukum yang telah ada
sebelumnya. Sering terdapat perbedaan, bahkan saat krisis berlangsung
terhadap eksistensi suatu paradigma, paradigma itu justru mendapatkan
penguatan-penguatan baru terhadap keberadaannya.
Dimensi khas dari revolusi sains dalam bidang ilmu ini tampaknya
merupakan salah satu aspek keragaman karakter objek dari suatu bidang
sains, seperti ketika untuk pertama kalinya Kuhn harus tercengang
mendapatkan besarnya perbedaan gagasan tentang epistimologi ilmu-ilmu
sosial dan sejarah. Dalam bidang ilmu hukum, revolusi itu telah lebih
banyak menyentuh bidang ontologi dan epistimologi llmu hukum tanpa
harus mengecilkan arti dimensi aksiologis dari bidang ilmu ini. Sebab
pertentangan besar antara aliran hukum alam dengan aliran hukum positif
adalah persoalan esensi hukum, sumber, bentuk dan cara berfungsinya.3
Tersentuh pula dimensi aksiologinya dengan ditolaknya unsur
pendekatan sejarah terhadap hukum oleh aliran hukum positif. Hal serupa
3
Lubis, R. K. (2014, June). Pancasila: Paradigma Ilmu Hukum Indonesia. In Conference: Kongres
Pancasila VI, Ambon.
juga terulang terhadap paradigma hukum positif ketika aliran hukum
pragmatis mengajukan gagasan-gagasan tentang hukum. Hukum positif
betul betul mengalami guncangan ekssistensial yang hebat kemudian
mengakibatkan melunturnya kepercayaan orang terhadap masalah
kepastian hukum dan keadilan yang selama hampir satu setengah abad
dimitoskan oleh aliran hukum positif.
Sebagai ilmu nomografis maka sosiologi hukum berurusan dengan
kenyataan hukum sehari hari (the full social reality of law). Dalam
kenyataan kita mengamati bahwa hukum juga tampil dalam berbagai
sosok (Gestalt). Hukum tidak dapat dilihat semata mata sebagai kumpulan
materi hukum, seperti perundang-undangan dan putusan pengadilan,
melainkan memiliki sosok atau jati diri. Maka, pemahaman tentang sosok
hukum (Gestalt-like version) itulah yang sekarang dibicarakan.
Hukum mempunyai paradigma, yaitu suatu perspektif dasar. Adanya
paradigma tersebut membawa kita kepada kebutuhan untuk melihat hukum
sebagai institusi yang mengekspresikan paradigm tersebut. Kita tidak
dapat mengabaikan pembicaraan mengenai paradigm tersebut tanpa
mengalami gangguan dalam pemahaman kita mengenai hukum. Dengan
mengetahui paradigm yang ada di belakang hukum, kita dapat memahami
hukum lebih baik daripada jika kita tidak dapat mengetahuinya.4
Istilah paradigma (paradigm) pertama kali diperkenalkan oleh Thomas
Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution (1962).
Tujuan utamanya adalah untuk menantang asumsi yang berlaku umum di
kalangan ilmuwan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan.
Paradigma sebagai suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu
tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang mestinya
dipelajarinya.
Apabila, misalnya, nilai itu suatu paradigma, maka hukum itu juga
akan kita lihat sebagai suatu institusi yang mengekspresikan nilai.
4
Ma'u, D. H., & Nur, M. (2016). Paradigma hukum sosiologis (upaya menemukan makna hukum
dari realitas publik). Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, 7(2).
Paradigma ada bermacam macam dan sebagai akibatnya, maka hukum
juga mengekspresikan bermacam hal sesuai dengan perspektif dasarnya.
Istilah paradigma dikenalkan oleh Thomas Khun, dipahami sebagai suatu
konsep tentang hal-hal yang besar dan mendasar. Pengertian paradigma
dicoba dirumuskan Masterman dan Freiderichs. Mereka berpendapat
bahwa paradigma merupakan pandangan yang mendasar dari ilmuwan
tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang mestinya dipelajari oleh
suatu cabang ilmu pengetahuan (dicipta). Paradigma membantu
merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang mesti
harus dijawab, bagaimana seharusnya menjawab, serta aturan-aturan apa
yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang
dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut.
Menurut Satjipto Rahardjo, sebelum itu Robert Merton (1984) telah
menggunakannya untuk membicarakan temuan-temuan (materials) yang
dikodifikasikan, melalui teknik untuk menggelar the complete of
assumptions, consepts and basic propositions employed in a social logical.
Merton melihat bahwa tujuan penciptaan paradigma adalah untuk
memberikan a provisional guide for eduquate and fruitful functional
analysis.5
Paradigma dipakai sebagai sinonim dari model. Keduanya
berhubungan dengan teknik analisis dan interpretasi data. Berhadapan
dengan sejumlah data, seorang ilmuwan (peneliti) dihadapkan pada
pertanyaan: bagaimana memahaminya. Analisis berarti membuat
kategorisasi, menata, memanipulasi dan mengikhtisarkan. Semua itu
dalam rangka mereduksi data sehingga memperoleh bentuk yang dapat
dipahami (intelligible) dan diinterpretasikan. Paradigma dan model
membantu untuk memahami data. Hal ini dilakukan dengan
mengemukakan asumsi dan postulat yang ada dibedakan, sebagai sarana
untuk melakukan kategorisasi, pengiktisaran, dan sebagainya. Lebih dari
5
Ma'u, D. H., & Nur, M. (2016). Paradigma hukum sosiologis (upaya menemukan makna hukum
dari realitas publik). Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, 7(2).
itu juga dapat dicari implikasi politik dan ideology, sehingga sang
ilmuwan mampu keluar dari implikasi data yang sempit.
Begitu besar gema pemikiran paradigma dari Khun sehingga hampir
seluruh cabang keilmuwan menyampaikan respon melalui berbagai versi
yang dianggap mewakili nuansa pemikiran yang salama ini berkembang
dalam disiplin ilmu masing-masing. Para ilmuwan melihat seberapa jauh
pengaruh, implikasi, dan konsepsi pemikiran Khun dalam bidang sejarah,
ekonomi politik, sosiologi, filsafat, hukum, budaya, dan agama.
Paradigma dalam hukum hukum, menurut Sutjipto Raharjo adalah
konsep spiritual yang ada di dalam hukum yang lebih besar serta
melampaui hukum positif. Konsep spiritual mengikuti pemikiran Paul
Scolten yang memahami dengan unsur moral dalam hukum yang
kehadirannya dirasakan secara langsung begitu saja. Oleh Scolten
dimasukkan ke dalam kategori irrasional yang secara teknis disebut asas
hokum melalui rechts vending. Pendapatnya yang amat terkenal adalah
hukum itu ada dalam perundang-undangan tetapi masih harus ditemukan.
Di situlah Scotlen mengemukakan teorinya tentang penemuan hukum yang
didasari oleh pemahaman mengenai tata hukum sebagai suatu sistem yang
terbuka. Dalam keyakinannya, Scolten mengatakan bahwa pada suatu saat
asass hukum itu sulit untuk ditarik dari perundang-undangan, tetapi tetap
diyakini bahwa asas itu ada yang ruang linkupnya tidak hanya meliputi
suatu bidang hukum tertentu, melainkan seluruh hukum. Teori Scolten
merupakan pemikiran yang menarik untuk dikaitkan dengan masalah
paradigma.6
6
Ma'u, D. H., & Nur, M. (2016). Paradigma hukum sosiologis (upaya menemukan makna hukum
dari realitas publik). Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, 7(2).
1. PARADIGMA HUKUM SEBAGAI SISTEM NILAI
Menurut Satjipto Rahardjo, nilai merupakan salah satu paradigma
hukum, sehingga nilai dapat dilihat sebagai sosok hukum juga. Nilai
sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya
adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung
tinggi oleh masyarakat. Hukum dipandang sebagai suatu sistem nilai
yang secara keseluruhan dipayungi oleh sebuah norma dasar atau basic
norm. Norma dasar inilah yang dipakai sebagai dasar dan sekaligus
penuntun penegakan hukum. Sebagai sistem nilai, norma dasar
tersebut merupakan sumber nilai dan juga pembatas dalam penerapan
hukum.
Salah satu paradigma hukum adalah nilai sehinga hukum dapat
dilihat sebagai sosok nilai pula. Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai
mengandung arti, bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan
memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.
Dengan demikian, hukum tidak merupakan insitusi teknik yang kosong
moral atau steril terhadap moral. Salah satu perbincangan kristis
mengenai hukum adalah tuntutan agar hukum memberikan keadilan,
artinya ke- pada hukum selalu dihadapkan pertanyaan tentang apakah
ia mewujudkan keadilan. Beberapa ribu tahun yang lalu, yaitu di masa
hukum alam, maka wacana mengeni hukum berputar di sekitar
pencarian keadilan yang absolut itu (institusi search for absolute
justice). Eksistensi dan kemampuan hukum lalu diukur seberapa jauh
ia telah mewujudkan keadilan tersebut. Dengan demikian, moral
keadilan telah menjadi dasar bagi mangesahkan kehadiran dan
bekerjanya hukum.7
Pada waktu Fuller mengajukan delapan prinsip hukum yang
terkenal itu, maka pada saat itu muncul dengan jelas moral sebagai
paradigma. Menurut Fuller, hukum tidak dapat diterima sebagai
7
Atmasasmita, R. (2012). Tiga paradigma hukum dalam pembangunan nasional. Jurnal Hukum
Prioris, 3(1), 1-26.
hukum, kecuali apabila bertolak dari moralitas tertentu. Hukum harus
mampu memenuhi ukuran moral tertentu dan ia tidak dapat disebut
hukum apabila memperli- hatkan kegagalan-kegagalan sebagai berikut:
a) Kegagalan untuk mengeluarkan aturan (to achief rules).
Suatu sistem hukum harus mengandung aturan-aturan,
artinya ia tidak boleh memuat putusan-putusan yang
hanya bersifat ad hoc.
b) Kegagalan untuk mengumumkan aturan tersebut kepada
public (to publicize). Aturan yang telah dibuat harus
diumumkan.
c) Kegagalan karena menyalahgunakan perundang-undangan
yang berlaku surut (retroactive legislation). Tidak boleh
aturan yang berlaku surut, oleh karena seperti itu tidak dapat
dipakai sebagai pedoman aturan tingkah laku. Membolehkan
aturan berlaku surut akan merusak integritas aturan yang
ditujukan untuk berlaku pada waktu yang akan datang
kegagalan membuat aturan yang mudah dimengerti
(undersatandable). Aturan harus disusun dalam rumusan
yang dapat dimengerti.8
d) Kegagalan karena membuat aturan-aturan yang saling
bertentangan (contrasdictory rules). Suatu sistem tidak boleh
mengandung aturan yang bertentangan satu sama lain.
e) Kegagalan karena menuntut dilakukannya perilaku di luar
kemampuan orang yang diatur (beyond the powers of the
affected). Aturan-aturan tidak boleh mengandung tuntutan yang
melebihi apa yang dapat dilakukan.
f) Kegagalan karena sering melakukan perubahan. Tidak boleh
ada kebiasaan untuk sering mengubah aturan sehingga
menyebabkan orang kehilangan orientasi.
8
Atmasasmita, R. (2012). Tiga paradigma hukum dalam pembangunan nasional. Jurnal Hukum
Prioris, 3(1), 1-26.
g) Kegagalan untuk menyelesaikan aturan dengan praktik
penerapannya. Harus ada kecocokan antara peraturan yaitu
diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.
9
Atmasasmita, R. (2012). Tiga paradigma hukum dalam pembangunan nasional. Jurnal Hukum
Prioris, 3(1), 1-26.
diantara peran sosiologi hukum mengenai apakah nilai-nilai
mempunyai tempat dalam ilmu hukum atau tidak. Donald Black,
ialah seorang sosiolog hukum Amerika terkemuka, sama sekali
menolak untuk membicarakan nilai-nilai, sebab sosiolog hukum
seharusnya konsisten sebagai ilmu fakta, sehingga se gala
sesuatunya harus hanya didasarkan pada apa yang dapat diamati
dan dikualifikasikan. Dalam pengantar salah satu bukunya, Black
mengkritik mereka yang menghubungkan hukum dengan nilai-
nilai.
10
Ma'u, D. H., & Nur, M. (2016). Paradigma hukum sosiologis (upaya menemukan makna hukum
dari realitas publik). Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, 7(2).
merasa sedih apabila harus berhadapan dengan lawyers, sebab itu
menunjukkan kegagalan cara-cara Jepang. Bangsa Jepang
mempunyai cara yang unik untuk menerima hukum modern dan
sekaligus mempertahankan cagar nilai Jepang asli. Cara itu adalah
dengan menerima hukum modern sebagai formal dipermukaan
sedangkan kehidupan sehari-hari tetap berjalan berdasarkan hati
nurani Jepang. Bangsa Indonesia juga mengalami konflik nilai
nilai dalam hukum. Di satu pihak ingin hidup dengan mendasarkan
pada kehidupan yang berorientasi kepada nilai-nilai komunal,
seperti musyawarah, dan kebapakan, tetapi pada waktu yang sama,
disadari atau tidak, digunakan doktrin besar rule of law.
11
Ma'u, D. H., & Nur, M. (2016). Paradigma hukum sosiologis (upaya menemukan makna hukum
dari realitas publik). Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, 7(2).
2. PARADIGMA HUKUM SEBAGAI IDEOLOGI
Sebuah sistem hukum tanpa basis ideologi adalah tidak
mungkin, sebab hukum tanpa hegemoni hanyalah kekuasaan telanjang
dan itu berarti hukum sama sekali bukanlah hukum. Hukum tidak
hanya ideologi yang disokong oleh kekuasaan sosial yang
terlembaga melainkan juga kekuasaan sosial terlembaga yang
disusun oleh ideologi.12
Sebagai paradigma, ideologi tidak membiarkan hukum sebagai
suatu lembaga yang netral. Ideologi merupakan suatu sistem gagasan
yang menyetujui seperangkat norma. Jika norma menetapkan
bagaimana cara orang berperilaku, maka tugas ideologi adalah untuk
menjelaskan mengapa harus bertindak demikian dan mengapa mereka
seringkali gagal bertindak bagaimana semestinya.
Masalah ideologi negara dalam arti cita negara atau cita-cita yang
menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh
rakyat dan bangsa yang bersangkutan pada hakikatnya merupakan asas
kerokhanian yang antara lain memiliki ciri sebagai berikut:
1) Mempunyai derajat yang tinggi sebagai nilai hidup kebangsaan
kenegaraan.
2) Oleh karena itu mewujudkan suatu asas kerokhanian, pandangan
dunia, pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang
dipelihara, dikembangkan, diamalkan, dilestarikan kepada
generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahanjan dengan
kesediaan berkorban.
12
Atmasasmita, R. (2012). Tiga paradigma hukum dalam pembangunan nasional. Jurnal Hukum
Prioris, 3(1), 1-26.
manusia dalam bertindak. Misalnya, nilai keadilan. Semua orang
berharap dan mendapatkan dan berperilaku yang mencerminkan nilai
keadilan. Oleh karena itu ideologi merupakan panduan bagi
penganutnya untuk melakukan tindakan-tindakan secara praktis dan
strategis untuk mewujudkan kehendak dan cita-cita yang terkandung
dalam ideologi tersebut. Sehingga ideologi mempunya beberapa
fungsi sebagai berikut:
13
Lubis, R. K. (2014, June). Pancasila: Paradigma Ilmu Hukum Indonesia. In Conference: Kongres
Pancasila VI, Ambon.
Karl Marx dapat disebut sebagai sosiolog hukum pada saat
mengemukakan pendapatnya mengenai pengadilan terhadap
pengadilan terhadap pencurian kayu di tahun tahunn 1842-1843,
dimana ia mengatakan bahwa hukum adalah tatanan peraturan untuk
kepentingan kelas orang berpunya dalam masyarakat. Melalui
pendapat tersebut maka ideologi sebagai paradigm hukum pertama-
tama dirumuskan.
Menurut Marx, maka hukum merupakan bangunan atas yang
ditopang oleh interaksi antara kekuatan-kekuatan dalam sector
ekonomi. Seperti dalam kasus pencurian kayu tersebut, maka golongan
ekonomi yang kuat muncul sebagai pemenang dan hukum pun
memihak pada kepentingan mereka. Ideologi merupakan suatu
kompleks pendapat atau pernyataan dalam bentuk suatu pemihakan
kepada nilai-nilai tertentu mengenai pernyataan yang dipegang oleh
suatu golongan yang berkuasa. Dalam hubungan dengan analisis maka
menurut marx, hukum mencerminkan ideologi kaum borjuis.
Paradigma ideologi dalam hukum juga dijumpai dalam bidang
kontrak, hukum kontrak sebagaimana lazim dikenal sekarang adalah
produk dari abad ke-19. Pada abad ke-18 kontrak bukan merupakan
hasil dari persetujuan individual, melainkan implementasi praksis
kebiasaan dan kaidah tradisional. Ideologi komunal tersebut tidak
mengenal kontrak sebagai hasil suatu persetujuan. Berbeda dengan hal
tersebut, ideal yanag mendasari konsep kontrak padaa abad ke-19
adalah persaingan bebas, sebagai akibat dari interaksi aantara individu
yanag merdeka dan memiliki kedudukan sama. Ideal yang demikian itu
mengharuskan adanya persetujuan yang dilakukan secara eksplisit bagi
imbulnya (hubungan ) kontrak.14
Namun, menurut Ranner, perkembangan hukum tidak dapat
dibendung oleh innersia dari kaidah hukum dan dina- mika
14
Prasetyo, Y. (2019). Pancasila Sebagai Paradigma Hukum Integral Indonesia. Journal of Civics
and Moral Studies, 4(1), 54-65.
perkembangan tersebut akan mencari jalannya sendiri untuk keluar
dari anomali tersebut. Maka tanpa ada perubahan dalam konsep
pemilikan, perkembangan manusia menjadi “barang” tersebut diatasi
dengan lahirnya hukum perburuhan. Dalam bidang hukum terakhir itu
muncul pengakuan bahwa manusia telah diperlakukan sebagai factor
produksi dan oleh karena itu perlu mendapatkan perlindungan. Dari
situ, Ranner mengajukan postulat, “The development of the law
gradually work out what is sosially reasonable”.
15
Atmasasmita, R. (2012). Tiga paradigma hukum dalam pembangunan nasional. Jurnal Hukum
Prioris, 3(1), 1-26.
Berdasarkan tabel diatas, maka kontrak pada abad ke-19
merupakan bagian dari tatanan sosial hirarkis dan mutlak sehingga
kontrak merupakan bagian dari pemilikan. Artinya, kontrak bukan
merupakan pelaksanaan dari persetujuan perorangan, melainkan hanya
merupakan implementasi dari praktik kebiasaan dan kaidah tradisional.
Kontrak merupakan bagian dari hukum tentang pemilikan yang
berhubungan dengan pengalihan pemilikan yang berhubungan dengan
pengalihan pemilikan dari satu orang ke orang lain. Suatu proses
dimana “barang saya” menjadi “barang kamu”.
18
Lubis, R. K. (2014, June). Pancasila: Paradigma Ilmu Hukum Indonesia. In Conference: Kongres
Pancasila VI, Ambon.
Hukum sebagai rekayasa sosial atau sarana rekayasa sosial
merupakan fenomena yang menonjol pada abad ke-20 ini. Tidak seperti
halnya dalam suasana tradisional, dimana hukum lebih merupakan
pembadanan dari kaidah- kaidah sosial yang sudah tertanam dalam
masyarakat, hukum sekarang sudah menjadi sarana yang sarat dengan
keputusan politik. Secara pasti penggunaan hukum sebagai sarana
rekayasa sosial dipelopori oleh Roscoe Pound, yang pada tahun 1912
melontarkan suatu paket gagasan yang kemudian dikenal dengan
sebagai program aliran hukum sosiologis. Program tersebut dirumuskan
dalam tulisannya berjudul Scope and Purposive of Sociological
Jurispridence. 19
Program Pound tersebut makna sosiologisnya terlihat
pada sifatnya yang:
a) Lebih diarahkan kepada bekerjanya hukum daripada kepada isinya
yang abstrak.
b) Memandang hukum sebagai lembaga sosial yang dapat
dikembangkan melalui usaha manusia dan menganggap sebagai
kewajiban mereka untuk menemukan cara-cara terbaik dalam
memajukan dan mengarahkan usaha sedemikian itu.
c) Lebih menekankan pada tujuan-tujuan sosial yang dilayani oleh
hukum daripada sanksinya.
d) Menekankan, bahwa aturan-aturan hukum itu harus lebi dipandang
sebagai pedoman untuk mencapai hasil-hasil yang dianggap adil
oleh masyarakat daripada sebagai kerangka yang kaku.
19
Kusumawati, Y. (2017). Representasi Rekayasa Sosial Sebagai Sarana Keadilan Hukum. SANGAJI:
Jurnal Pemikiran Syariah Dan Hukum, 1(2), 129-141.
dapat diarahkan untuk merubah pola-pola tertentu dalam suatu
masyarakat, baik dalam arti mengokohkan suatu kebiasaan menjadi
sesuatu yang lebih diyakini dan lebih ditaati, maupun dalam bentuk
perubahan lainnya.
B. KESIMPULAN
20
Kusumawati, Y. (2017). Representasi Rekayasa Sosial Sebagai Sarana Keadilan Hukum. SANGAJI:
Jurnal Pemikiran Syariah Dan Hukum, 1(2), 129-141.
Hukum mempunyai paradigma, yaitu suatu perspektif dasar. Adanya
paradigma tersebut membawa kita kepada kebutuhan untuk melihat hukum
sebagai institusi yang mengekspresikan paradigm tersebut. Dengan
mengetahui paradigma yang ada di belakang hukum, kita dapat memahami
hukum lebih baik daripada jika tidak dapat mengetahuinya.
Bertolak dari rangkaian pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulah
bahwa, dengan mengetahui paradigma yang ada di belakang hukum, kita
dapat memahami hukum lebih baik daripada jika kita tidak dapat
mengetahunya. Adanya paradigma hukum yang bermacam-macam.
Sebagai akibatnya, maka hukum juga mengekspresikan bermacam-macam
hal sesuai dengan perspektif dasarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ma'u, D. H., & Nur, M. (2016). Paradigma hukum sosiologis (upaya menemukan
makna hukum dari realitas publik). Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, 7(2).