Anda di halaman 1dari 75

SUMMARY BUKU

METODE PENELITIAN HUKUM (FILSAFAT, TEORI DAN PRAKTIK)


PROF. DR. SUTEKI, S.H., M.HUM
GALANG TAUFANI, S.H., M.H.
(PT.Raja Grafindo Persada, cetakan ke-2, 2018)

BAB I
PERKEMBANGAN ILMU HUKUM DAN IMPLIKASI
METODOLOGISNYA
Seiring dengan Teori Evolusi makhluk hidup sebagaimana dikemukakan
oleh Darwin, teori evolusi juga diaplikasikan dalam alat pemikiran ilmu-ilmu
sosial. Pengaruh Teori Evolusi Darwin pada pemikiran para teoritisi ilmu
pengetahuan sosial ternyata akhirnya juga berpengaruh kepada para teoritisi ilmu
pengetahuan sosial yang memfokuskan perhatiannya pada perkembangan hukum
sebagai institusi sosial. Manakala pada asasnya Teori Evolusi Darwin itu
mengedepankan tesis bahwa fenomena hayati mengalami perkembangan dari
wujud-wujud organisme yang simpleks ke kompleks, maka perkembangan
masyarakat sebagai supra organisme dengan segenap komponen organiknya
(institusinya, salah satunya adalah hukum), juga mengalami perkembangan seperti
itu. Dari masyarakat simpleks ke masyarakat kompleks. Pranata hukum yang
simpleks untuk menata hubungan-hubungan dalam satuan kerabat yang berskala
terbatas, berdasarkan askripsi-askripsi tradisional, akan berevolusi menuju ke
wujudnya yang lebih kompleks untuk menata hubungan-hubugan dalam skala
nasional yang lebih luas dan yang kini tak dapat dan tidak harus dibangun
berdasarkan kesepakatan-kesepakatan kontraktual yang mesti diupayakan secara
rasional dari interaksi ke interaksi antarindividu. Demikian pula ilmu hukum
dapat disimak perkembangannya, evolusinya dari waktu ke waktu seiring dengan
perkembangan atau evolusi sosialnya yang akan berimplikasi pula dalam
metodologi penalaahannya.
Hukum merupakan sebuah alat ketertiban yang mencerminkan etika dasar
masyarakatnya. Kehidupan politik masyarakat berbasis sistem demokrasi juga
hanya bisa berjalan dengan baik jika memiliki sistem hukum yang kuat dan
efektif. Berbeda dengan Plato yang mengkultuskan kekuasaan tiran, Aristoteles
lebih memilih demokrasi sebagai basis epistimologi ilmu hukumnya. Sementara
metode Aristoteles lebih empiris ketimbang Plato yang normatif-filosofis.
Aristoteles lebih mengutamakan penyelidikan observasi empiris ketimbang dialog
filosofis yang tidak mengindahkan realitas. Sehingga saat hukum itu berasal dari
cermin kehidupan sosial, seorang yuris hendaknya meneliti realitas dan fakta
hukum ketimbang bercengkrama dengan dunia ideanya yang terkesan subjektif
itu. Dalam hal ini pendekatan hukum lebih ditekankan pada pendekatan empiris.

BAB II
LEGAL PLURALISME: SEBUAH PENDEKATAN TERHADAP HUKUM
YANG MULTIFACET
Dominasi hukum pusat dan dimatikannya hukum adat yang telah menjadi
jiwa masyarakat adat, secara teoretik bertentangan dengan konsepsi pluralisme
hukum. Hukum pada dasarnya ialah plural dan tidak bisa disamaratakan di tengan
budaya dan hukum masyarakat yang berbeda-beda. Konsepsi pluralisme hukum
muncul sebagai bantahan sentralisme hukum bahwa hukum negara merupakan
satu-satunya petunjuk dan pedoman tingkah laku. Padahal pada lapangan sosial
yang sama, terdapat lebih dari satu tertib hukum yang berlaku.

Secara substatif pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai


suatu situasi di mana dua atau lebih system hukum bekerja secara berdampingan
dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama, atau untuk menjelaskan
keberadaan dua atau lebih system pengendalian sosial dalam satu bidang
kehidupan sosial.

Pengertian pluralisme hukum terus berubah melalui berbagai perdebatan


ilmiah oleh para ahli dalam ranah hukum dan kemasyarakatan (socio-legal-
studies). Pengertian pluralisme hukum pada masa awal sangat berbeda dengan
masa sekarang. Pada masa awal, pluralisme hukum diartikan sebagai koeksistensi
antara berbagai sistem hukum dalam lapangan sosial tertentu yang dikaji, dan
sangat menonjolkan dikotomi antara di satu sisi hukum negara dan di sisi yang
lain berbagai macam hukum rakyat.

Pendekatan secara legal pluralism terhadap hukum berimplikasi terhadap


teknik-teknik penelitian hukum yang hendak dijalankan. Bicara tentang penelitian
hukum identik dengan karakter sebuah penelitian yang seharusnya berintikan pada
sikap kritis terhadap fenomena maupun noumena hukum. Peneliti huku
seharusnya tidak menjadi tawanan peraturan perundang-undangan yang oleh
pembuatnya dianggap telah final, finite dan kebenarannya tidak perlu diragukan
lagi. Pendekatan legal pluralisme dekat dengan aliran hukum posmodernisme
sehingga teknik-teknik penelitiannya pun harus disesuaikan dengan roh hukum
postmodernism tersebut.

BAB III
RELASI ANTARA TRADISI, PARADIGMA, TEORI, KONSEP DAN
PILIHAN METODE DALAM PROSES PENELITIAN HUKUM
Metodologi penelitian menjelaskan tentang upaya pengembangan ilmu
berdasarkan tradisi-tradisinya. Demikian pula tentang hasil-hasil yang dicapai,
yang disebut pengetahuan atau knowledge, baik yang bersifat deskriptif (kualitatif
dan kuantitatif) maupun yang bersifat hubungan (proporsi tingkat rendah, proporsi
tingkat tinggi, dan hukum-hukum). Beberapa hal pokok dalam metode ilmiah
yang digunakan dalam suatu penelitian perlu diperhatikan dengan mengacu pada
prinsip bahwa penelitian adalah sebuah proses pencarian, sehingga penggunaan
istilah proses penelitian akan lebih tepat dibandingkan dengan metode penelitian.

Berbeda dengan objek penelitian pada ilmu sosial, penelitian dalam ilmu
hukum memiliki objek berupa hukum yang bersifat complex dan complicated.
Hukum sebagai objek penelitian haruslah dipandang sebagai sebuah sistem, yang
menurut Lawrence M. Friedman hukum itu merupakan kesatuan dari tiga
komponen, yakni komponen substansi, komponen struktur dan komponen budaya.
Hukum dapat dikatakan bukan hanya rules, melainkan juga behavior.
Pertanyaannya adalah, mungkinkah objek penelitian yang memiliki karakteristik
complex dan complicated tersebut diteliti dengan menggunakan proses penelitian
yang bersifat parsial, sederhana dan dangkal? Jawabnya tentu “tidak”, meskipun
juga dapat dijawab “mungkin”. Dijawab “tidak”, ini tentu untuk kalangan yang
berikir secara holistic, hendak memotret hukum dari segala penjuru sisinya.
Dijawab “mungkin”, karena memang banyak kalangan yang hendak memotret
hukum hanya dari penjuru sisi tertentu dengan mengabaikan penjuru sisi lainnya.
Di sinilah pentingnya tradisi penelitian. Oleh karena itu, untuk menentukan
konsistensi proses penelitiannya, sebaiknya seorang peneliti harus menjangkarkan
lebih dahulu “Tradisi Penelitian” mana yang hendak dipancangkan.

BAB IV
PARADIGMA DALAM PENELITIAN HUKUM
Ritzer mengintisarikan bahwa paradigm mempunyai tiga kegunaan, yaitu;
(1) sebagai pembeda antarkomunitas ilmiah yang satu dengan lainnya; (2) untuk
membedakan tahap-tahap historis yang berbeda dalam perkembangan suatu ilmu;
(3) sebagai pembeda antar cognitive groupings dalam suatu ilmu yang sama.
Lebih lanjut dikatakan hubungan antara paradigma dengan teori. Teori hanya
merupakan bagian dari paradigma yang lebih besar. Sebuah paradigma dapat
meliputi dua atau lebih teori, eksemplar, metode-metode dan instrumen-instrumen
yang saling terkait.

BAB V
URGENSI TEORI DALAM PENELITIAN HUKUM
Setiap penelitian yang membutuhkan teori yang mendukung atau relevan
dengan topik tulisan yang bersangkutan, serta berkaitan langsung dengan
permasalahan. Dengan demikian, teori bermanfaat untuk mendukung analisis
terhadap penelitian. Teori pun memberikan bekal kepada kita apabila akan
mengemukakan hipotesis. Karena hipotesis dalam penelitian dapat digunakan
sebagai tolak ukur sekaligus tujuan penelitian dalam bentuk pembuktian
dituangkan dalam simpulan.
Penyusunan teori merupaka n tujuan utama dari ilmu karena teori
merupakan alat untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena yang diteliti. Teori
selalu berdasarkan fakta, didukung oleh dalil dan proposisi. Secara definitif, teori
harus berlandaskan fakta empiris dan/atau nonempiris karena tujuan utamanya
adalah menjelaskan dalam penelitian kualitatif dan memprediksi kenyataan atau
realitas dalam penelitian kuantitatif. Suatu penelitian dengan dasar teori yang baik
akan membantu mengarahkan si peneliti dalam upaya menjelaskan fenomena
yang diteliti.

Dalam melakukan suatu penelitian hukum diperlukan penggunaan teori


hukum. Karena setiap penelitian dengan menggunakan teori hukum untuk
menganalisis permasalahan yang diangkat dan membantu dalam menjawab
permasalahan. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu kegiatan
ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu termasuk
penggunaan teori hukum yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa
gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Kecuali itu, maka juga
diadakan pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam gejala
yang bersangkutan.

BAB VI
SISI LAIN TENTANG KONSEP, KARAKTER, FUNGSI DAN TUJUAN
ILMU HUKUM SERTA RAGAM METODOLOGINYA
Objek telaah ilmu hukum adalah tata hukum yang berlaku, yakni sistem
konsetual aturan hukum dan keputusan hukum yang bagian-bagian pentingnya
negara yang di dalamnya ilmu hukum diemban , jadi keseluruhan teks otoritatif
bermuatan aturan-aturan hukum yang terdiri atas produk perundang-undangan,
putusan-putusan hakim, hukum tidak tertulis, dan karya ilmuwan hukum yang
berwibawa dalam bidangnya yang disebut doktrin. Pengembanan ilmu hukum
terarah pada upaya untuk menjawab pertanyaan hukum dalam rangka menemukan
dan menawarkan alternatif penyelesaian yuridis bagi permasalahan
kemasyarakatan tertentu (mikro maupun makro) dengan mengacu dan dalam
kerangka tata hukum postif yang berlaku. Pengembanan ilmu hukum adalah
kegiatan mempersiapkan putusan hukum yang secara rasional dapat
dipertanggungjawabkan, yakni yang dapat ditempatkan dalam kerangka tatanan
hukum yang berlaku sebagai salah satu subsistem dari sistem kemasyarakatan
(societal system) sebagai suatu keseluruhan, untuk itu maka teks otoritatif yang
bermuatan berbagai aturan hukum yang berlaku tersebut harus dihimpun. Ditata,
dipaparkan dan disistematisasi, yang mutlak mensyaratkan interpretasi terhadap
teks otoriatif itu.

Hukum mengemban fungsi ekspresif, yakni mengungkapkan pandangan


hidup, nilai-nilai budaya dan keadilan. Di samping itu, hukum juga mengemban
fungsi instrumental, yakni sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban,
stabilitas dan prediktabilitas, sarana untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan
mewujudkan keadilan, sarana pendidikan dan pengabdian masyarakat, sarana
mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, dan sarana untuk
pembaruan masyrakat. Ilmu hukum yang adekuat sangat dibutuhkan sebagai
sarana intelektual untuk membantu proses pembentukan hukum melalui
perundang-undangan dan yurisprudensi, serta membantu penyelenggaraan hukum,
menjalankan fungsi hukum sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat.

Ilmu hukum dalam pengembanannya harus selalu mengacu nilai, sebab,


hukum yang menjadi objek studi ilmu hukum adalah hasil karya cipta manusia
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada kehidupan yang tertib
berkeadilan. Tiap kaidah hukum positif adalah produk penilaian manusia terhadap
perilaku yang mengacu pada ketertiban berkeadilan tersebut, dank arena itu
berakar pada nilai-nilai. Hukum dan berbagai kaidahnya adalah produk dan bagian
dari kehidupan kejiwaan manusia, kebudayaan sebagai produk proses
membudaya, ini berarti bahwa taat hukum itu bermuatan sistem nilai.

BAB VII
PENELITIAN ILMIAH DALAM PENCARIAN KEBENARAN HUKUM
Pengetahuan diperoleh melalui proses pembelajaran dan karena
pengetahuan yang ada pada manusia diperoleh dari sumber yang berbeda maka
dibutuhkan riset dan penelitian untuk menentukan kebenaran tentang suatu
pengetahuan. Kebenaran dalam riset dan penelitian diperoleh melalui proses
penelaran (akal dan indra) dan tidak melalui proses penalaran (intuisi dan wahyu).
Penelitian mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan
konsisten. Terdapat berbagai macam penelitian yang dapat digunakan, dibedakan
menurut jenisnya, bentuknya, kegunaannya, analisisnya, tujuannya, disiplin ilmu,
dan menurut tempatnya. Suatu penelitian agar dapat diyakini kebenarannya, jenis
metode penelitian yang dipakai harus sesuai karena metode adalah alat untuk
menemukan jawaban dari suatu permasalahan.

BAB VIII
PENTAHAPAN PROSES PENELITIAN
Pertama-tama perlu pengenalan terhadap konsep hukum dan metodologi
hukum apa yang akan digunakan dalam penelitian. Metodologi penelitian
mengikuti konsep hukum yang diterapkan. Metode penelitian ilmu hukum
umumnya adalah penelitian hukum normatif namun dalam perkembangannya,
metode penelitian ilmu hukum mampu mengakomodasi penelitian ilmu sosial
yang bersifat empiris-deskriptif. Menghasilkan perpaduan antara metode
penelitian hukum dogmatik dengan metode penelitian empirik yang disebut
dengan socio-legal research.

Setelah pengenalan terhadap konsep hukum dan metodologi penelitian,


perlu disusun matriks penelitian hukum. Matriks merupakan kerangka yang
menjabarkan mengenai tema penelitian, rumusan masalah penelitian, objek
penelitian, teori yang digunakan untuk membangun kerangka konseptual terhadap
objek penelitian, dan metode penelitian apabila sudah tahu persis apa yang akan
diteliti. Matriks dibuat setelah judul penelitian telah ada dan disetujui. Kemudian
diikuti dengan penyusunan usulan penelitian dan instrumen penelitian.
Penyusunan instrumen penelitian bertujuan untuk memperoleh pengetahuan yang
menyeluruh dan mendalam mengenai variabel yang akan diteliti. Memasuki tahap
pelaksanaan, pengumpulan data adalah proses mengumpulkan data yang dijadikan
dasar dalam menguji hipotesis yang diajukan. Terdapat dua macam data yaitu,
data kualitatif dan kuantitatif, data kualitatif merupakan data berupa informasi
yang berbentuk kalimat verbal sedangkan data kuantitatif adalah informasi yang
berupa simbol angka numerik. Cara memperoleh data juga beragam, begitu pula
dengan sumber data. Setelah data terkumpul, ada proses pengolahan data atau
bahan hukum, bergantung pada jenis data yang ingin diolah. Selanjutnya adalah
tahap pelaporan, yang merupakan tahap akhir dari proses penelitian. Terbagi atas
legal memorandum, studi kasus, skripsi, tesis, disertasi, dan artikel ilmiah.

BAB IX
MENYUSUN PROPOSAL PENELITIAN
Proposal penelitian memegang peranan penting dalam proses penelitian,
dalam proposal penelitian terdapat perencanaan yang matang dan sistematis
tentang apa yang akan diteliti. Melalui proposal penelitian juga dapat dilihat
kemampuan peneliti dalam merencanakan kegiatan penelitian. Proposal penelitian
terdiri atas judul penelitian, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, hipotesis (jika
ada), metode penelitian, daftar pustaka, dan lampiran-lampiran. Untuk bagian
rumusan masalah, sebaiknya dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya, kalimatnya
singkat, padat, dan jelas, serta ada pembatasan masalah hingga apa yang diteliti
menjadi lebih spesifik dan lebih sesuai dengan judul penelitian yang diajukan.

BAB X
DATA PENELITIAN DALAM KARYA ILMIAH
Data dalam penelitian normatif disebut bahan hukum, yang terdiri atas
bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data ada dalam berbagai macam
bentuk, dibagi berdasarkan wujud data, jenis data, sumber data, cara pengumpulan
data, cara pengolahan data, dan kedalaman analisis data. Menurut wujud data
terbagi atas perilaku dan dokumen, biasa digunakan dalam penelitian ilmu sosial.
Menurut jenis data, ada dua macam yatu data kualitatif dan kuantitatif. Data
primer dan sekunder merupakan pembagian data berdasarkan sumber data.

Menurut cara pengumpulannya terbagi atas Studi pustaka, pengumpulan


data yang tidak berhubungan dengan subjek asli penelitian. Studi pustaka adalah
metode pengumpulan data yang menelusuri, memeriksa, dan mengkaji data-data
sekunder seperti dokumen-dokumen dan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya angket atau kuesioner, pada metode ini peneliti memberikan
seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab.
Observasi juga termasuk dalam metode pengumpulan data dimana peneliti
langsung mengamati objek penelitian. Metode yang terakhir adalah wawancara,
yang membedakan wawancara dengan metode kuesioner adalah dalam
wawancara, peneliti memberikan seperangkat pertanyaan secara langsung dan
face to face dengan responden untuk memperoleh data.

Setelah data penelitian terkumpul, data yang ada tidak serta merta
dimasukan ke dalam hasil penelitian. Data perlu diolah dan dianalisis, teknik
pengolahan dan analisis data bergantung pada jenis data. Dalam pengolahan data
dikenal istilah populasi dan sampel. Menurut Sugiyono, Populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas subjek atau objek yang mempunyai kualitas atau
karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya. Sampel adalah bagian dari populasi (sebagian atau wakil
dari populasi yang diteliti). Pengambilan sampel tidak dapat dilakukan secara
sembarangan, ada teknik-teknik pengambilan sampel yang harus digunakan
dengan mempertimbangkan ukuran sampel yang sesuai dengan ukuran populasi
dan dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran data agar data yang
diperoleh adalah hasil yang benar dan mewakili data sebenarnya.

Teknik pengambilan sampel atau teknik sampling terbagi atas dua, yaitu
probability sampling dan non probability sampling. Probability sampling
merupakan teknik sampling yang memberikan kesempatan yang sama bagi
anggota populasi untuk menjadi sampel. Dalam probability sampling terdapat
beberapa metode yaitu simple random sampling, dispropotionate stratified
random sampling, proportionate stratified random sampling, dan area sampling
(cluster sampling). Selanjutnya adalah non probability sampling, berkebalikan
dengan probability sampling, teknik ini tidak memberikan kesempatan yang sama
kepada seluruh anggota populasi untuk menjadi sampel. Dalam teknik ini terdapat
beberapa metode yaitu sampling sistematis, sampling kuota, sampling aksidental,
purposive sampling, sampling jenuh, dan snowball sampling.

Setelah data yang ada sudah diolah, maka data tersebut perlu dianalisis.
Ada dua jenis analisis, yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis
kuantitatif adalah analisis yang menitikberatkan pada data-data numerikal yang
diolah dengan statistika. Selanjutnya adalah analisis kualitatif, analisis ini lebih
menitikberakan pada proses penyimpulan deduktif dan duktif serta pada analisis
terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan
logika ilmiah.
SUMMARY BUKU

“Metode-Metode Penelitian Masyarakat”

Koentjaraningrat

(Gramedia, edisi Ke-3 1993)

BAB III
METODE PENGGUNAAN BAHAN DOKUMEN

1. Pendahuluan

Apabila pada umumnya ilmu-llmu sosial mempelajari manusia secara


langsung dengan observasi, 1lmu sejarah mempelajarinya dengan menggunakan
dokumen. Banyak di antara para ahli antropologi dan sosiologi mengabaikan
bahan sejarah. Mereka tidak mengingat bahwa sebenarnya sejumlah besar fakta
dan data sosial tersimpan dalam tubuh pengetahuan sejarah dan dokumen-
dokumen sebagai bahan utama dari penelitian sejarah. Penggunaan bahan
dokumentasi oleh sementara ahli iimu sosial yang hendak menggam barkan suatu
proses secara diakronis, dipandang dari sudut persoalan dan prosedur berbeda
dengan penggunaan bahan dokumenter oleh para ahli sejarah. Secara metodologis
penggunaan bahan itu tidak ada perbedaan., artinya penggarapan bahan
dokumenter sebagai metode historis yang pokok oleh para ahli ilmu sosial perlu
dijalankan menurut aturan-aturan umum yang telah lama digariskan dalam
metodologi sejarah. Jadi sebelum mengolah fakta dan data sesuai dengan
persoalan masyarakat yang hendak diteliti, dokumen itu perlu dianalisa dulu
secara kritis menurut metodologi sejarah. Sampai dimanakah dokumen itu asli?
Bagaimanakah diidentifikasikan orang yang membuat dokumen itu? Apakah
fakta-fakta yang termuat didalam dokumen itu nyata dan bagaimana menentukan
kenyataannya? Kritik ekstern dan kritik intern dalam heuristik (ilmu pengumpulan
bahan-bahan historis) adalah teknik pengumpulan dan penyelesaian data dengan
observasi yang tidak langsung.
1. Beberapa macambahan dokumen
Pandangan nomotetis melampaui batas realita historis ang kongkret dengan
segalakekayaannya akan fakta bahan yang dokumen mendetil maka dan bersegi
banyak. Untuk studi nomotetis otobiografi di Indonesia dapat dibagi atas beberapa
macam yaitu:
a. Surat kabar;;
b. surat-surat pribadi, buku atau catatan harian, memoar; yang ada .
c. dokumen-dokumen pemerintah;
d. cerita roman dan cerita rakyat.
2. Penilaian bahan dokumenter
Dalam hal pemakaian bahan dokumen dari masa yang agak dekat dengan
zaman sekarang, seperti surat-surat kabar, dokumen pemerintah dan sebagainya,
kritik intern dengan pendekatan filologis pada umumnya tidak perlu dilakukan,
karena bahasanya, lingkungan sosialnya dan kebudayaannya masih banyak mirip
dengan apa yang kita miliki; lagipula hal otentisitas lazimnya tidak perlu
dipersoalkan. Dengan demikian kritisisme historis terhadap bahan dokumenter
yang masih perlu dilakukan oleh para peneliti ilmu-ilmu sosial adalah: (1) analisa
isi dari dokumen serta kritik interpretatif yang positif, guna menetapkan maksud
dari pembuatnya; (2) analisa dari keadaan dan latar belakang tempat dokumen
yang bersangkutan dibuat, serta verifikasi terhadap pernyataan-pernyataan dari
pembuatnya.
3. Guna dari bahan dokumen
Secara singkat dapat dikatakan bahwa bahan dokumen sangat berguna dalam
membantu penelitian ilmiah untuk memperoleh pengetahuan yang dekat dengan
gejala yang dipelajari, dengan memberikan pengertian menyusun persoalan yang
tepat, mempertajam perasaan untuk meneliti, membuat analisa yang lebih subur,
pendeknya membuka kesempatan memperluas pengalaman ilmiah.

BAB IV
BEBERAPA DASAR METODE STATISTIK DAN SAMPLING
DALAM PENELITIAN MASYARAKAT

1. Variabel dan distribusi frekuensi


Kesatuan-kesatuan yang menjadi sasaran dari pengukuran, deskrip- si dan
analisa dari statistik sosial, adalah abstraksi-abstraksi dari kejadian-kejadian
masyarakat. Kejadian-kejadian kongkret dalam masyarakat yang akan kita sebut
kejadian atau event itu, tentu belum dapat digarap secara statistis kalau belum
dinyatakan melalui observasi atau pengamatan oleh seorang peneliti ke dalam
suatu perumusan dalam laporannya. Dalam Bab I di atas (lihat hlm. 9-12) dan
dalam Bab V di bawah (lihat hlm. 112-114) diuraikan bahwa suatu pernyataan
mengenai suatu kejadian disebut fakta atau fact dan bahwa suatu fakta itu tentu
sudah merupakan suatu abstraksi dari suatu kejadian. Dalam statistik, unsur-unsur
dari fakta-fakta khas serupa itulah yang menjadi obyek deskripsi dan analisanya.
1. Nilai tinggi
Dalam deskripsi statistis, "nilai tengah" atau dengan istilah yang populer
"angka rata-rata", amat lazim dipakai. Ada beberapa macam nilai tengah, tetapi di
bawah ini hanya akan diuraikan tiga yang terpenting di antara beberapa macam
angka rata-rata itu, ialah nilai tengah arithmatic, median, dan modus.
2. Nilai nilai dispersi
Dua kelompok data mungkin mempunyai nilai tengah yang sama,tetapi toh
berbeda besar mengenai nilai di antara masing-masing data. Perhatikan misalnya
contoh yang tergambar dalam Tabel lll. DiSitu tampak bahwa kelima rumah
tangga dari kedua RT, yaitu RT 001 dan RT 002 berjumlah rata-rata 5 jiwa.
Namun kalau diperhatikan Jumlah dari masing-masing rumah tangga, maka
tampak bahwa perbedaan jumlah anggota dari masing-masing rumah tangga dari
RT 001 tidak amat besar; sebaliknya di RT 002 keadaan itu amat berbeda.

3. Teori probabilitas
Kita sering melihat anak bermain adu lempar gambar. Anak yang menang
adalah yang gambarnya jatuh gambar, sedangkan anak yang kalah adalah yang
gambarnya jatuh putih. Kemungkinan anak itu bisa kalah atau memang adalah 2.
Para ahli statistik mempunyai metode untuk mengukur "kemungkinan-
kemungkinan" suatu peristiwa seperti melempar gambar tersebut di atas, bisa
menghasilkan suatu peristiwa khas tertentu .
BAB V
PENGAMATAN SEBAGAI SUATU METODE PENILITIAN
1. Pendahuluan
Usaha pengamatan atau observasi yang cermat, dapat dianggap merupakan
salah satu cara penelitian ilmiah yang paling sesuai bagi para ilmuwan dalam
bidang ilmu-ilmu sosial di negara-negara yang belum dapat mengembangkan
prasarana penelitian yang memerlukan biaya amat banyak. Banyak sekali
kenyataan yang dapat dan perlu diteliti, tapi biasanya anggaran dan tenaga ahli
sangat terbatas sehingga haruslah digunakan cara penelitian yang dapat
menghasilkan pengetahuan yang sesuai dengan syarat-syarat penelitian ilmiah,
tanpa memerlukan banyak biaya ataupun tenaga ahli.
1. Daya pengamatan
Daya pengamatan manusia tidak tanpa batasnya. Tidak semua yang ada di
lingkungannya dapat dilihat oleh orang yang bersangkutan, sedangkan ada hal-hal
tertentu yang hanya sebagian saja dapat dilihat, seperti bagian belakang dari apa
yang terlihat bilamana berdiri disuatu tempat. Dengan demikian, pengetahuan
seseorang mengenai lingkungannya, yang didasarkan atas pengamatan sendiri,
tidaklah lengkap. Banyak hal sebenarnya tidak diketahui sungguh-sungguh
berdasarkan pengamatan sendiri, melainkan didasarkan atas pengalaman
pengamatan di masa lampau yang dianggap, tetapi belum tentu sama dengan
kenyataan yang dihadapi sekarang.

2. Sasaran pengamatan
Teori yang digunakan sebagai rangka pemikiran, memberikan batasan pada
apa yang dianggap penting untuk diperhatikan (Parsons,1949). Hanyalah orang
yang justru tak banyak berpengetahuan yang tidak berusaha menggunakan teori
dalam usaha pengamatan, sehingga menentukan saja sendiri di lapangan
penelitian kenyataan mana yang akan dianggap penting untuk diamati dan
kenyataan mana yang bisa diabaikan saja.
3. Fakta dan tafsiran
Gejala atau kenyataan yang terlihat, seperti tani yang sedang membajak di
sawah, sekelompok wanita yang sedang berjalan kepasar, anak-anak yang sedang
bermain di pekarangan sekolah, dan mobil yang sedang berhenti di depan rumah,
ditanggapi dengan membuat pernyataan, rumusan, ataupun istilah yang
menggambarkan gejala atau kenyataan yang bersangkutan. Kata tani atau
pernyataan "tani yang sedang membajak sawah" adalah apa yang dinamakan
fakta, yaitu suatu pernyataan, rumusan, atau istilah dalam rangka pemikiran
tertentu yang dapat dibuktikan ada atau tidak ada dalam kenyataan. Jadi seperti
apa yang juga sudah diterangkan pada halaman 9-10 di atas, suatu fakta bukanlah
kenyataan itu sendiri bukanlah merupakan apa yang terlihat, melainkan
merupakan apa yang dikatakan mengenai apa yang dilihat terwujud. Bilamana
seseorang mengemukakan bahwa ia "memiliki fakta-faktanya" atau hendak
"mengumpulkan fakta" maka bukanlah kenyataan yang bersangkutan yang
dimiliki atau hendak dikumpulkannya, melainkan ia memiliki atau hendak
mengumpulkan pernyataan-pernyataan yang merupakan deskripsi, penggambaran
dari kenyataan yang menjadi perhatiannya.

BAB VI
METODE WAWANCARA

1. Pendahuluan
Metode wawancara atau metode interview, nencakup cara yang dipergunakan
kalau seseorang, untuk tujuan suatu tugas tertentu, mencoba mendapatkan
keterangan atau pendirian secara lísan dari seorang responden, dengan bercakap-
cakap berhadapan muka dengan orang itu. Dalam hal ini, suatu percakapan
meminta keterangan yang tidak untuk tujuan suatu tugas, tetapi yang hanya untuk
tujuan beramah-tamah, untuk tahu saja, atau untuk ngobrol saja, tidak disebut
wawancara. Juga kalau ada seorang anak bertanya-tanya kepada orang tuanya
mengenai aneka warna hal, biasanya juga tidak disebut wawancara.
1. Persiapan wawancara
Saran-saran Mengenai Persiapan Wawancara dan Sikap Dalam Wawancara.
Saran-saran tercantum di bawah ini merupakan saran mengenai sikap umum yang
sebaiknya diperhatikan oleh seorang ahli peneliti dalam persiapan serta dalam
waktu wawancara, dan sekaligus merupakan sebuah ringkasan dari apa yang
terurai di atas dalam seksi 2 ini.
2. Wawancara dengan panel
Wawancara dengan panel, atau dengan mengumpulkan sejumlah yang telah
diseleksi, adalah berguna untuk penelitian tambahan yang bermaksud
mengumpulkan"pendapat umum" hengenai suatu masalah atau peristiwa. Kalau
diwawancaraa sendiri-sendiri, orang sering mempunyai kecondongan untuk
membesar-besarkan keadaan dan mendapat kesempatan untuk memberiketerangan
yang kurang benar. Sebaliknya, kalau diwawancara bersama orang lain dalam
kelompok, kehadiran orang lain akan menahannya dan membatasinya.
Suatu kelompok dari responden yang diwawancara mengenai pendapat
mereka tentang suatu peristiwa, biasanya terdiri dari individu-individu yang
mewakili berbagai golongan dan lapisan masyarakat yang ada. Dalam wawancara,
para anggota panel dapat saling batas-membatasi, maupun saling isi-mengisi
(Lazarsfield,Fiske, 1938; hlm. 596-612).

3. Masalah Pencatatan Data Wawancara


Masalah pencatatan data wawancara merupakan juga suatu aspek utama yang
amat penting dalam wawancara, karena kalau pencatatan itu tidak dilakukan
dengan semestinya, maka sebagian dari data akan hilang, dan banyak usaha
wawancara akan sia-sia belaka. Adapun pencatatan dari data wawancara dapat
dilakukan dengan lima cara, ialah: (1) pencatatan langsung; (2) pencatatan dari
ingatan; (3) pencatatan dengan alat recording; (4) pencatatan dengan
fieldrating;dan (5) pencatatan dengan fieldcoding.

BAB VII
METODE PENGGUNAAN DATA PENGALAMAN INDIVIDU

1. Pendahuluan
Dengan data pengalaman individu" di sini dimaksud bahan Lerangan
mengenai apa yang dialami oleh individu-individų tertentu sebagai warga dari
suatu masyarakat yang sedang menjadi obyek penelitian. Di dalam ilmu psikologi
sering dipakai istilah personal document, dalam ilmu sejarah dan ilmu sosiologi
dipakai istilah human document, sedangkan dalam ilmu antropologi budaya lebih
sering terkenal dengan istilah individual'slifehistory untuk data tersebut
1. Perkembangan metode penggunaan data pengalaman individu dalam ilmu
antropologi budaya dan sosiologi
a. Data pengalaman individu penting bagi si peneliti, untuk
memperoleh pandangan dari dalam mengenai gejala-gejala sosial
dalam suatu masyarakat, melalui pandangan dari para warga
sebagai partisipan dari masyarakat yang bersangkutan.
b. Data pengalaman individu penting bagi si peneliti untuk mencapai
pengertian mengenai masalah individu warga masyarakat yang
suka berkelakuan lain dari yang biasa, dan mengenai masalah
peranan deviant individual seperti itu sebagai pendorong gagasan
baru dan perubahan dalam masyarakat dan kebudayaan
c. Data pengalaman individu penting bagi si peneliti untuk
memperoleh pengertian mendalam tentang hal-hal psikologis yang
tak mudah dapat diobservasi dari luar, atau dengan metode interviu
berdasarkan pertanyaan langsung. Hal itu biasanya sudah mengenai
pengaruh lingkungan kebudayaan terhadap jiwa si individu dan
data serupa itu secara praktis penting dalam penelitian psikiatri dan
mental healthresearch.
d. Data pengalaman individu penting bagi si peneliti untuk mendapat
gambaran yang lebih mendalam mengenai detil dari hal yang tidak
mudah akan diceritakan orang dengan metode interviu berdasarkan
pertanyaan langsung. Hal itu biasanya mengenai cara hidup orang
gelandangan, anak nakal, wanita tunasusila, penjahat dan
sebagainya, yang secara praktis penting dalam ilmu kriminologi
2. Metode pengumpulan data pengalaman individu
Pengumpulan bahan pengalaman individu harus terutama dilakukan dengan
metode wawancara, dan dengan mengurnpulkan data dalam dokumen pribadi
seperti otobiografi, surat príbadi, catatan dan buku harian serta memoirs.

BAB VIII
PENYUSUNAN DAN PENGGUNAAN KUISIONER
1. Pendahuluan

Kecuali dengan wawancara, ialah cara untuk mengumpulkan data dalam


penelitian masyarakat, dengan langsung menyampaikan pertanyaan itu secara
lisan kepada para warga masyarakat yang diteliti,maka ada pula cara untuk
menyampaikan pertanyaan itu secara tertulis. Pertanyaan-pertanyaan yang disusun
secara tertulis biasanya merupakan suatu daftar pertanyaan yang disebut kuesioner
atau questionnaire (dari kata question = pertanyaan).

1. Kuesioner
Seperti diterangkan di atas maka kuesioner merupakan suatu daftar yang
berisikan suatu rangkaian pertanyaan mengenai sesuatu hal atau dalam sesuatu
bidang. Dengan demikian maka kuesioner dimaksud kan sebagai suatuu daftar
pertanyaan untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban dari para responden
(orang-orang yang menjawab). Suatu sifat yang baik dari kuesioner adalah
kuesioner dapat disusun dengan teliti dan tenang dalam kamar kerja si peneliti
sehingga penyusunan serta perumusan pertanyaannya dapat mengikuti suatu
sistematik yang sesuai dengan masalah yang diteliti serta cabang ilmu sosial yang
digunakan. Dengan menggunakan kuesioner, maka sistematik yang meliputi isi
dan tata urut pertanyaan ditentukan oleh si peneliti sendiri setelah dipikirkan
masak-masak.
2. Penyusunan kuisiuner dan sifat-sifat pertanyaan
Hipotesa sebagai Pangkal Pertanyaan dalam Kuesioner. Suatu penelitian yang
mempergunakan metode kuesioner biasanya ber pangkal kepada satu atau
beberapa masalah yang telah dirumuskan sebelumnya dalam bentuk satu atau
beberapa hipotesa. Hipotesa itu harus diperinci ke dalam bagian-bagiannya,
berupa konsep-konsep yang lebih khusus.
3. Bentuk dan susunan pertanyaan
Pertanyaan-pertanyaan yang digunakan dalam suatu kuesioner dapat
mempunyai bentuk dan susunan yang berbeda-beda, tergantung dari sifat dan
maksud penelitian itu. Adapun bentuk yang lazim dipakai adalah: (i) pertanyaan
terbuka, dan (id pertanyaan tertutup Istilah Inggris dalam textbook adalah open
questions dan closed questions (Bandingkan dengan apa yang diuraikan pada hlm.
140 diatas),
4. Penggunaan kuesioner
Sesudah suatu kuesioner disusun lengkap, maka mulailah tahap penggunaan
dari kuesioner untuk mendapat keterangan dari warga masyarakat yang menjadi
obyek penelitian. Namun betapa cermat dan teliti pun penyusunan pertanyaan-
pertanyaan agar bisa memancing jawaban-jawaban tepat yang dikehendaki, toh
senantiasa ada risiko bahwa kuesioner itu mengandung kelemahan atau kesalahan
yang kemudian akan mengurangi nilai ilmiah dari seluruh proyek penelitian
BAB IX
METODE PENGGUNAAN “PROJECTIVETEST"

1.Konsep Proyeksi
Van Lennep telah menyusun suatu penggolongan ke dalam lima arti dari
istilah proyeksi, yang dianggap pandangan-pandangan psikoanalitis. Keiima arti
itu adalah
1. Proyeksi sebagai pengamatan normal, mengenai gejala, dimana karena
suatu sebab maka hal-hal tertentu dipindahkan dari dunia dalam kedunia
luar
2. Proyeksi sebagai halusinasi (waham) atau gejala-gejala lain yang
mendekati ini. Di sini suatu ide (pikiran) dijadikan sesuatu dalam persepsi,
yakni tanpa ada suatu rangsang dari luar; dan hanya karena suatu ide kita
melihat sesuatu di dunia luar
3. Proyeksi sebagai transferensi. Dalam hal ini, jika kita mempunyai suatu
perasaan terhadap seseorang (biasanya seorang yang dicintai), maka
perasaan itu dipindahkan kepada orang lain (umpamanya bila terjadi di
dalam psikoterapi di mana perasaan yang tadinya dirasakan terhadap orang
lain dipindahkan kepsikoterapeut).
4. Proyeksi mengenai hal mencari atau mengkreasi korelat untuk efek-
efeknya di dalam dunia luar (dimana efek di sini digunakan dalam arti
yang sangat umum, ialah meliputi kehidupan seorang pada umumnya).
5. Prosyeksi mengenai hal mencari analogon (diri) dalam dunia luar. Disini
dapat dikatakan kita mengulangi diri sendiri dalam dunia luar. Afek-afek
diri-sendiri dilemparkan (gantungkan) pada orang lain (secara tidak sadar).

2. Teknik teknikproyektif
Dasar dari teknik-teknik proyektif ialah bahwa seorang individu dihadapkan
dengan berbagai stimuli yang ambiguous (tidak berstrukturjelas) dan kemudian
diajak untuk memberikan reaksi atau mengadakan respon terhadap stimuli
tersebut. Dengan cara demikian dianggap bahwa di antara reaksi-reaksi orang
tersebut, dapat memproyeksikan berbagai isi kebutuhannya (atau aspek-aspek
kehidupan dalamnya), dan bahwa proyeksi-proyeksi ini akan dinyatakan sebagai
jawaban-jawaban (respons) atau cerita terhadap stimuli yang ambiguous tersebut.
3. Thematicapperceptiontest (tat)
Di antara teknik-teknik proyektif, ThematicApperceptionTest yang selanjutnya
akan disebut sebagai TAT, merupakan tes yang nendekati popularitas dari tes
Rorschach. Kedua teknik tersebut mempunyai fungsi komplementer dalam
pemeriksaan psikologis Bila tes Rorschach merupakan suatu metode untuk
mengenal struktur kepribadian seorang, maka TAT dapat dianggap bisa mengis
struktur tersebut dengan apa yang dialami subyek, antara lain data-data kongkret
mengenai hubungan interpersonalnya dan lain-lain situasi yang penting dan yang
mungkin menyebabkan tekanan-tekanan bagi subyek.
4. Potensi teknik proyeksi dalam penelitian
Penggunaan teknik-teknik proyektif dapat dikatakan terutama dijumpai dalam
bidang klinis. Hal ini antara lain disebabkan karena teknik administrasi dan
interpretasi tes membutuhkan latihan yang intensif, adanya lebih banyak
penekanan pada karakteristik individual daripada karakteristik kelompok; dan
adanya kesukaran dan ketidakpastian mengenai kebenaran dan validitas dari
prosedur tersebut.
BAB X
PENGGUNAAN DATA KUANTITATIF
1. Pendahuluan
Bab ini terutama dimaksudkan untuk memberi penjelasan mengenai
pengertian dan penggunaan data kuantitatif dalam penelitian masyarakat dan
bukan untuk memberi teknik formula-formula dan rumusan-rumusan berdasarkan
statistik atau matematik. Pada hakekatnya, penggunaan data kuantitatif berkisar
kepada masalah pengukuran. Tujuan terakhir dari ilmu pengetahuan, termasuk
ilmu-ilmu sosial, adalah untuk memperoleh metode dan alat-alat pengukuran yang
setepat-tepatnya, agar dapat tercapai pengetahuan yang memungkinkan dibuat
rumusan berupa kemungkinan-kemungkinan ataupun "ramalan-ramalan" tentang
apa yang dapat terjadi dalam keadaan tertentu.
2. Variabel kuantitatif dan kualitatif

Ada anggapan yang lazim, bahwa seakan-akan kedua macam data ini saling
bertentangan, ataupun bahwa data kuantitatif adalah lebih "baik" dari data
kualitatif, sedangkan sebenarnya mereka saling mengisi. Dalam tiap usaha ilmiah,
obyek yang dijadikan bahan penelitian tidak dapat dipelajari dalam
keseluruhannya. Harus diadakan pilihan mengenai ciri-ciri atau aspek-aspek mana
yang ingin diteliti sesuai dengan tujuan penelitian. Berlainan dengan dalam ilmu
eksak, dalam ilmu-ilmu sosial pemilihan ciri-ciri atau aspek-aspek dari fakta
sosial itu pun sudah merupakan suatu masalah. Ciri atau aspek dari fakta sosial
yang mempunyai lebih dari satu nilai dinamakan "variabel', maka dapat dibedakan
antara variabel kuantitatif dan variabel kualitatif.

3. Pengertian dan penggunaan persentase


Fungsi dari Angka-angka Persentase. Cara penggunaan cata antitatif yang
paling sederhana adalah dalam bentuk persentase dalam ilmu-ilmu sosial,
penggunaan persentase ini sudan amat lumrah. Namun sering kali masih terlihat
penggunaan yang tidak yang memperlihatkan keragu-raguan mengenai soal
bilamanakah lebih baik digunakan angka absolut, dan bilamanakah digunakan
angka persentase atau kedua-duanya.
4. Persoalan pengukuran
Seperti dikemukakan dalam bagian pertama dari bab ini, data yang digunakan
dalam ilmu-ilmu sosial kebanyakan adalah data kualitatif, artinya data yang tidak
langsung terwujud dalam bentuk angka, tapi dalam bentuk konsep atau pengertian
abstrak. Demikian masalah dalam ilmu-ilmu sosial adalah pembentukan cara-cara
untuk pengumpulan data yang dapat diukur. Cara yang paling tepat dan yang
paling sederhana digunakan adalah indeks dan skala.

BAB XI
PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA
1. Pendahuluan

Tahap analisa data adalah tahap yang sangat penting ,pada tahap ini data di
kerjakan dan di manfaatkan sedemikian rupa,sampai berhasil menyimpulkan
kebenaran kebenran yang dapat di pakai untuk menjawab persoalaan –persoalan
yang di ajuhkan dalam penelitian. Analisa kualitatif itu di sebut juga analisa
statis .proses dapat di bagi menjadi tiga tahap,yang satu sama lain berkaitan
erat.tahap pertama adalah tahap pendahuluan yang di sebut tahap pengelolaan
data. Adapun tahap terahir adalah tahap penemuan hasil kususnya pada tahapa
kedua dan ketiga pengetahuan dan pengkuran yang cermat menurut ilmu statistik
sangatlah di perlukan.kenyataan ini yang menyebabkan analisa kuantitif di sebut
juga analisa statis di bandingkan dengan analisa kualitatif ,analisa kuantitafif
memang lebih mampu meperlihatkan hasil yan cermat. Perihal perhitungan
analisa matematis bagaimanapun juga adalah aktofitas yang di tunjukan secara
sadar oleh disiplin kecermatan dan ketelitian.
2 Editing

Kewajiban pengelolaan data yang pertama tama adalah peneliti kembali


mencatatkan ,para pencari data. Untuk mengettui apakah cacatan tersebut cukup
baik dan dapat segara di siapkan untuk keperluan proses berikutnya. Lazimnya
editing itu dilakukan terhadap koesioner keosioner yang di susun secara
berstruktur dan oleh karna itu di isi dengan lewat wawacaa formal. Sebelum data
yang terkandung di dalam koisoiner itu di olah dalam suatu proses yang di sebut
kodim, koesioner itu sendiri harus di edit terlebih dahlulu oleh beberapa
editor.lewat cara editing begi ini, orang berharap akan berharap akan
menigkatakan kebaikkan (reabilitas ) data yang hendak di oleh dan di analisasa.

3. konding

Adapun yang di maksud dengan konding disini ialah usaha menklarifikasi


jawaban-jawaban para responden. Menurut macamnya klasifikasi itu dilakukan
dengan jalan menandai masing-masing jawaban dengan kode tertentu lazimnya
berbentuk angka

4. prakonding

Menurut cara ini setiap pernyataan dalam kuosioner selalu di ikuti oleh
serangkaian alternative jawaban yang pada hakikatnya merupakan kategori yang
telah diberi kode sebelumnya

5. membuat kategori untuk klarifikasi jawaban

Sejumblah kategori di siapkan untuk keperluan koding dengn keharusan


memperhatikan bentuk berikut ini yang pertama bahwa setiap perangkat kategori
itu hrus di buat dengan mendasarkan diri kepada satu asas kurikulum yang
tmnggal, kedua, bahwa setiap kategori itu harus di buat lengkap sehigga tidak ada
satupun jawban responden yang tidak mendapatkan tempat, yang keempat dalm
kategori yang di sediakan.
BAB XII
BEBERAPA TES STATISTIK
Pola antar fariabel didalam menganalis data mempunyai bebrapa fariasi
dari segi arah hubungan dapt di bedakan antara hubungan positif dengan
hubungan negative . dari segi bentuknya hubungan dapat di bedkan antara
hubungan lurus dan hubungan tidak lurus dan antara hubungan satu arah dan
hubungan dua arah, Ketentuan–ketentuan awal yang perlu di perhatikan
dalampelaksaantes statistik utuk analisa berfariatif terdapat tiga hal yang dapat di
ungkapkan yaitu ada tidaknya hbungan antara fariabel 2 apakah hubungan
tersebut berbeda secara berarti (sinifikan ) dari keadan tampa hubungan dan 3
beberap besar ketentuan yang ada. Dalam analisa mengenai hubungan perlu
diperhatikan pula status fariabel yang di gunakan (fariabel bebas tau feriabel
terikat) serta jumblah fariabel bebas yang termasuk kedalam model (satu
fariabel,dua fariabel atau lebih)

Tes statistic data kualitaif,

a. Lambda adalah suatu nukuran gabungan antara dua variable kualitaif (atau
variable atau variable yang berskal nominal.) lomdba tetap di pakai untuk
untuk data yang tidak berurutan kategorinya. Dengan kata lian , kalaupun
uruutan katerogri variable di ubah ,maka hal itu tidak mempengarhi
lambda.hubungan yang mempuyai arah dapat berdea dalam besaran
lambda ,atas dasar variable mana yang di perlukan seagai variable bebebas
dan mana yang di perlukana sebagai variable tergantung.
b. Tau goodman dan rustal
Sama seperti lambda , tau sesuai untuk mengukur hubungannya ,hubungan
antar variable kualitatif ,dan kedua macam tau pun mempuyai arah dan
ukuran yang sesuai denan sifat pokok dari masalah yang di teliti.besaran
Tau menyebabr dari dari 0 sampai dengan 1,0.nilai 0 menujuhan tidak
adanya pengurangan dalam kesalahan, sedang nilai 1 menujuhkan bahwa
pengetahuan mengenai variable bebas memungkinkan predisi mengenai
variable tergantung tampa kesalahan sama sekali.
BAB XIII
PENULISAN LAPORAN PENELITIAN
Data itu dalam kenyataan berwujud dari cacatan dari fakta yang di dapatkan dari
wawancara,atau pengamatan , cacatan mengenai perhitungan peritungan jumlah
dan refksi frekuensi kegiatan social, cacatan pengukuran pengukuran
bidang,volume dan itensi benda dan akktifitas kebudayaan , cacatan cacatan
kutipan dari bahan dokumen,surat kabar serta lain.

Dengan demikian, sejak ia sudah beradadi lapngan , sebaiknya berusaha untuk


menggolongkan, menyusun,dan menyimpang cacatan cacatan dari fakta yang di
kumpulkannya ,menurut suatu tatacara yang ketat.

Langka langka penulisan laporan ,yang pertama adalah ,pencarian kerangka


laporan ke dalam pokok khusus.,cara kerangkalaporan tersebut harus di perinci
lagi kedalam bagian bagian yang lebih khusus dan terutama cara bahan dari
kerangka yang di bagi bagi,menurut bagian khusus ,sukar di jelaskan dalam
bentuk pedoman yang sikat dan umum.

Kalimat efektif dan alinea yang berkesatuan pikiran , kalimat efektif adalah
suatu kalimat yang efektif dalam suatu keterangan harus mengandung
kemampuan untuk meningbulkan dalam alam banyangan pembaca, suatu
pengertian yang sama atau sekurangan kuranganya yang mengdekati pengertian
yang di uraikan oleh si pengaran. Sedang dari segi bentuk , suatu kailiat yang
efektif harus mengandung hanya satu pola, harus di singkat mungkin,jernih,
namun jelas.

Unsur unsur naska karangan, suatu bagian besar dari prakata,biasanya di


gunakan untuk ucapan terima kasih,atas bantuan yang di terima oleh peneliti dari
orang orang yang memberi bantuan kepadanya.
BAB XIV
METODE PENELITIAN GRAFIS
Dalam bab ini di kemukakan tiga bentuk gologan visual yang langsung di
gunakan dalam laporan laoporan ilmia, ia lah /; table,grafik,dan bagan, Table,
merupakan salah satu alat pembantu untuk merangkum gagasan gagasan tertentu
da sekailgus di jadikan alat komunikasi anatara peneliti dan pembacanya.namun
terutama dalam seorang penelitii,table merupakan suatu alat penting yang banyak
di gunakan untuk menyusun data. Grafik, dalam laporan ini merupakan bentuk
penyajiaan visual yang di sebut grafis secara khusus ,grafis garis. Bagan,
merupakan masih ada bentuk lain, tetapi bagan bagan tersebut adalah yang paling
lazim laopran penelitian social.pada permulaan penyususn bagan harus
memperhatikn bahwa messge atau berita yang di sampiakan memalui bagan itu
untuk memalui tujuan utama. Secara umumdapat di katakana bahwa untuk
memulai rencana tersebut , peneliti harus menetapkan apakah pokok berita yang
di tetakkan dalam bagan itu. Hal yang paling peting di perhatikan agar sebuah
bagan tidak terlalu penuh muatannya : artiya,tidak memuat banyak berita
sekaligus.
BAB XV
PENELITIAN ILMU SOSIAL DAN PENERAPANNYA
Tak beda syarat dari syarat ilmu pengetahuan yang lain, ilmu social social
sebagai cabang ilmu yang termudah, telah di minta membutikkan taraf
perkembangan ituyang di tandai oleh dua hal sebelum memperoleh pengakuan
umum. Perkembagan itu mewuudkan sejumlah pusat ilmu, baik dalam arti pusat
akedmis maupun pusat aplikasi yang terkumpul yaitu universitas luar negeri,
berikut pusat pengadaan bidang kejuaraan dengan seluruh majalah majalah, arsip
di pusat pusat perkonomian.

Contoh aplikasi aplikasi dari bidang penyuluhan pertaniaan, istilah


pemecahan masalah di sini sengaja di hindari ,karna umum berlaku bahwa
masalah yang di pecahkan akan menambpilkan masalah maslah yang lain yang
baru, yang sebelumnyata kentara, mungkin hanya karna belum terkena sorotan
pertama.

Orientasi kebijakan yang di ikuti oleh ahli pertaniaan yang menggamabrkan


hubungan hubungan yang berkaitan antara bidang bidan spesialis ang beragam.

Proses penelitian servie .mengenai jangka waktu survey di selesaikan oleh


tim,kesan umum adalah bahwa fase pertama (perumusan rencana survey ) dan
fase pengelolaan data dan laporan merupakan fase fase yang makan waktu lebih
lama daripada di duga .mula mula di harapkan jangka waktu selama dua tri wulan
adalah cukup. Triwulan untuk dua bulan persiapan rencana satu bulan tugas
lapangan mengumpulkan data. Kemudian triwulan kedua adalah bulan untuk
mengelolah data dan satu bulan penulisan naska pertama .hanya satu dari ke 14
tim , yang terbukti sanggup mengikuti jangka waktu seketat itu, lain umum
sampai 9 bulan ,setahun atau bahkan lebih.
SUMMARY BUKU
“METODE PENELITIAN HUKUM”
KONSTALASI DAN REFLEKSI

Sulitsyowati Irianto Dan Shidarta


Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Jakarta, 2013

Bagian I
Akar Filosofis dan Duduk Permasalahan

1
Mengkritisi Positivisme Hukum:
Langkah Awal Memasuki Diskursus
Metodologi dalam Penelitian Hukum

Dalam bab ini merupakan katup pembuka wacana berupa pembahasan


tentang latar belakang filosofis yang mendorong munculnya pertikaian
metodelogis dalam penelitian hukum, yang lazim dikenal dengan kubu penelitian
hukum empiris versus normatif. Sebutan empiris dan normatif merupakan istilah
yang cukup luas di gunakan, kendati terminology tersebut sebenarnya dapat di
perdebatkan ketepatan penggunaanya. Salah satu biang keladi terjadinya
perdebatan adalah positivism, suatu aliran yang lahir dan dimatangkan oleh
perubahan besar yang terjadi di dalam masyarakat eropa, terutama ketika
meletusnya revolusi industry di Inggris dan revolusi borjuis di Perancis pada
pertengahan abad-18.

Munculnya tata prooduksi baru yang di dasari dengan prinsip akumulasi


modal berhasil menggerser mode of production (Feodalisme
) yang menyebabkan kelas menengah baru kaum borjuis beranio terbuka
menentang kekuasaan feodal. Seiring dengan perubahan feudal penemuan-
penemuan teknologi baru berumunculan bersamaan dengan kesadaran hakikat
manusia dan alam.

Dominasi kekuasan gereja dan feodal yang tak terbendung menjadikan


rezim pengetahuan mulai ramai di perbincangkan dan dipersoalkan. Dimana-mana
tampil gugatan tentang kebohongan biarawan dan raja. Banyak martir yang harus
membayar harga kebebasan ilmiah dengan nyawa atau kemerdekaanya. Giodano
Bruno di bakar hidup-hidup. Galileo dua kali diadili oleh pengadilab dan dipaksa
dengan siksaan untuk menyangkal pandanganya.

Tatkalah kajian-kajian metafisis yang dominan sepanjang abad


pertengahan di tinggalkan di pandang sebagai biang keladi ketinggalan perdaban
manusia, muncullah ilmu-ilmu alam yang lebih dapat memebrikan jaminan
kepastian dan dapat di prediksikan. Melalui empirisme dan rasionalisme ilmu-
ilmu alam berusaha mengembangkan konsep teori murni.

1. Positivisme

Postitivisme yang dirintis oleh Auguste Comte (1798-1857) adalah puncak


pemebersihan penegtahuan dari kepentingan subjektif. Dalam pencarianya
terhadap hukum perkembangan masyarakat, Comte membaginya ke dalam tiga
fase yakini, teologi, metafisik, dan positif. Positivism menggap pengetahuan
mengenai fakta objektif sebagai pengetahuan ilmia. Dengan menyingkirkan
pengetahuan yang melampaui fakta, positifisme mengakhiri riwayat metafisika
sekaligus sekaligus mengistrahatkan filsafat dari kerja sepukalsinya.

2. Positivisme hukum

Secara epistemic-falsafati, positifisme hukum lahir sebagai kritik terhadap


aliran hukum kodrat. Dengan senjata rasio, positivism hukum menolak aliran-
aliran hukum kodrat yang terlampau idelistik. Aliran hukum kodrat dengan segala
variantya yang menempatkan ontology hukum pada tataran yang sangat abstrak.
Kritik positivism hukum terhadap aliran hukum kodrat adalah paham hukum
kodrat bersifat ambigu dan gagal memberikan kepastian hukum yang objektif.
Sehingga positivime hukum dalam memberikan jaminan kepastian hukum
mengistrahatkan filsafat dari kerja spekulasinyadan mengidentifikasi hukum
dengan peraturan perundang-undangan.

Kaum positivism hukum benar-benat menggap kebenaran ilmu dan praktik


hukum telah final pada titik garis positivism hukum, sehinggar tidak akan ada
perkembangan baru di waktu mendatang.

Jika cara berfikir positivisme klasik dan positivisme logis diperbadingakan


dengan positivisme hukum , maka akan terlihat bahwa dalam beberapa aspek
kedua aliran tersebut saling berititik tolak. Positivisme klasik dan positivisme
logis bekerja dengan menerapkan logika induktif, sementara positivisme hukum
secara ketat menggunakan logika deduktif, namun dianatara keduanya terdapat
hubungan historis.

Dalam peta filsafat hukum modern, doktrin positivisme hukum


memperoleh akar akademis modern pada pemikiran Jhon Austin, Hans Kalsen, H.
L. A. Hart. Ketiga nama terseut akan di jelaskan dibawah ini:
1. Jhon Austin
Pembentuk hukum adalah penguasa yang berdaulat yang
bentuknya diidentikkan dengan undang-undang serta dikenakan
terhadap pihak yang kuasai adalah ajaran pemikir Jhon Austin.
Kepastian hukum adalah tujuan paling akhir dari positivisme hukum
menurut Jhon Austin, untuk mencapainya hukum harus dipisahkan dari
moral.
2. Hans Kalsen
Pandangan Hans Kalsen yang hendak memurnikan hukum dari
anasir non hukum tidak lahir dari ruang kosong, melainkan
dipengaruhi perkembangan filsafat ilmu pengetahuan. Teori hukum
murni lahir dari dasar filosofis yang kuat dan bukan hanya gagasan
sesaat yang merespon kondisi atau isu terteentu.
Pemurnian ilmu pengetahuan dari kepentingan, dalam sejarah
filsafat, berlangsung dua jalur. Jalur pertama di rintis oleh Plato yang
menekankan peranan intuisi. Pada jalur yang bersbrangan atau jalur
kedua lebih menekankan pengalaman dan pengamatan empiris
terhadap objek pengetahuan karenanya bersifat aposteriori.
Pemikiran Kalsen yang normatif murni banyak memikat perhatian
para ahli hukum karena hadir pada saat filsafat hukum masih
mendominasi aliran hukum kodrat. Pembersihan dan pemurinia hukum
Hans Kalsen dari anasir nonhukum merupakan dasar hukum mutlak
bagi Kalsen. Banyak kalangan menyebut kalsen sebagai peletak dasar
teori ilmu hukum menjadi suatu disiplin ilmu yang mandiri.
Hans Kalsen relatif berhasil menjelaskan adanya sistem hierarkis
dari norma-norma positif. Dikursu tentang norma dasar dan norma
fundamental sungguh telah menjebak kalsen pada ajaran hukum kodrat
tetaplah konspe groundnorm yang di kemukakanya sedikit membuka
celah dari kekukuhan argumentasi dan kertututpan logikanya, nahwa
norma positif itu mempunya fungsi yang sifatnya regulatif dan
konstitutif.
3. H.L.A Hart
Memberi makna tegas apa yang di maksud dengan positivisme,
dengan pendapat bahwa undang-undang merupakan perintah manusia
yang memiliki kuasa, karena itu wajib di turuti. Hart membagi aturan
menjadi dua macam yakni primer dan sekunder. Peraturan primer
berisi hak dan kewajiban.
Dari berbagai pandangan pemikir positivisme tersebut setidaknya
ada tiga esensi yang mengandung postulat-postulat yang saling
berkaitan yakni:
a. Ilmu hukum harus bebas dan objektif.
b. Ilmu hukum adalah pemahaman normologis tentang hukum
positif
c. Secara aksiologi, kepastian hukum adalah tujuan paling akhir
dari hukum.
3. Krititk terhadap positivime hukum

Ada dua aspek kritik yang telah diajukan banyak pihak terhadap
positivisme hukum :

1. Kritik Teoritis
Yang pertama kali melakukan kritik terhadap positivisme hukum
adalah mzhab sejarah hukum yang di rintis oleh Friedrich Carl Von
Savigny, ahli hukum berkebangsaan jerman yang mengemukakakan bahwa
hukum bukan hanya yang dikeluarkan oleh penguasa dalam bentuk
undang-undang namun hukum adalah jiwa bangsa dan substansinya adalah
aturan hidup kebiasaan masyarakat.

2. Kritik Praktis
Dalam paradigma positivisme hukum undang-undang akan di pikirkan
sebagai hukum yang komplit, sehingga tugas hakim tinggal menerapkan
undang-undang secara mekanis dan linear untuk menyelesaikan
permasalahan masyarakat, sesuai bunyi undang-undang.

4. Catatan Penutup

Paradigma hukum di indonesia Dalam sekian dekade, nyaris tidak ada


perdebatan teoritis diantara pengembang hukum, apalagi munculnya aliran
pemikiran baru. Kondisi ini tentu berpengaruh pula pada sepinya perdebatan
metodelogis penelitian-penelitian hukum tersebut. Ada beberapa catatan yang
dapat diberikan yang terkait dengan persoalan diatas, paradigma hukum
mengalami stagnasi dimana positivisme hukum sebagai paradigma tidak pernah
mengalami apa yang disebut Khun sebagai anomali. Artinya paradigma posivisme
terus bertahan dalam kemapaman dari generasi ke genari seterusnya.
Dengan demikian, sudah selayaknya pengembang hukum teoritis maupun
prakits dapat membuka diri untuk mendalami berbagai pendekatan dalam
penelitian hukum . keluasan cara pandang akan mendorong pertumbuhan disiplin
ilmu hukum, termasuk dogmatik hukum, kerah tampilan wajah hukum yang lebih
akomodatif terhadap perubahan yang terus terjadi.

2
Misnomer Dalam Nomenklatur dan Penalaran
Positivisme Hukum
Kata misinomer adalah sebuah nomina serapan dari Bahasa Inggris yang
berarti kata atau istilah yang tidak cocok penempatannya. Sementara nomenklatur
berarti tata nama atau peristilahan. Jadi, judul di atas mensyaratkan adanya
pemberian istilah yang salah terhadap terminology positivism hukum.

Sebagian besar pensturdi hukum tentu tidak asing dengan kata “positif”
sebagai suatu isitilah yang kerap disandingkan dengan “hukum”. Dari kedua kata
itu lahirlah bentuk kata majemuk “hukum positif” dan “positivisme hukum”
berlaku di suatu tempat tertentu. Istilah berikutnya merupakan nama sebuah aliran
filsafat hukum, yang pada Abad ke-19 dan 20 barisannya telah diperkuat antara
lain oleh John Austin (Inggris) dan Hans Kelsen (Austria).

Suatu problematika yang barangkali tidak disadari, atau bahkan sengaja


tidak dipersoalkan oleh para penstudi hukum kebanyakan. Padahal dengan
menyingkap inkonsisitensi persistilahan ini, makin dapat dipahami tentang duduk
persoalan, sekaligus tentang apa dan bagaimana cara bernalar positivisme hukum
itu. Duduk persoalan ini penting diberikan perhatian, mengingat positifisme
hukum telah tampil sebagai pengawal setia ilmu hukum dogmatis dengan berbagai
konsekuensi.

1. Wacana Modernitas

“Positifisme adalah jiwa moralitas. Karena itu, kritik atas modernitas


harus dimulaidari kritik asas positifisme dengan upaya-upaya untuk menemukan
kekhasan metodologi ilmu-ilmu sosial kemanusiaan” demikian tulis F. Budi
Hardiman. Bagi mereka yang memahami benar kuatnya pengaruh cara berpikir
yang diasup oleh pengemuka modernitas tentu dengan sendirinya dapat
membayangkan betapa kuat berakarnya positivisme ini sebagai suatu aliran
berpikir yang menguasai zaman modern.

Zaman modern sungguh-sungguh memberi persemaian yang kondusif bagi


corak berpikir positifisme . konteks politik ketika itu juga tepat seiring dengan
paham secular yag menjauhkan gereja dari kancah politik praktis serta konteks
ekonomi memberi energy besar pula pada positifisme dengan kemuculan paham
kapitalisme. Penemuan berbagai teknologi baru menambah kepercayaan diri
manusia modern yang akhirnya mendorong terjadinya penjelajahan samudra dan
kolonialisasi terhadap bangsa-bangsa non-Eropa yang dianggap mereka berderajat
lebih rendah, apa yang diserukan tokoh empirisme Inggris Francis Bacon,
“Konoeledge is power”, benar-benar menjadi kenyataan.

2. Dari Positivisme Logis ke Empirisme Logis

Di atas telah disinggung bahwa asumsi-asumsi yang diletakakkan oleh


positivism benar-benar telah mereduksi wacana epistimologi jaman modern hanya
pada sebatas urusan metode. Semua ilmu dinilai kelayakannya dari sudut
metodologi. Dan, semua itu dibaca melalui satu kaca mata, yakni optic ilmu-ilmu
alam.

Ini berarti hanya metode ilmu-ilmu alam saja yang dapat menjustifikasi
keilmiahan ilmu-ilmu, termasuk ilmu-imu social. Norma-norma metodologis yang
dibangu di atas landasan berpikir ala Comte.

Dalam melakukan penalaran, seorang ilmuwan dari empirimse logis


pertama-tama akan melihat kepentingan dirinya. Dalam konteks ini,
pendekatannya adalah teleologis etis yang mengarah pada egoism. Hanya saja,
pada taraf tertentu , ada norma-norma social yang harus diperhatikan, yang oleh
Schlik disebut sebagai konsekuensi akibat evolusi dan seleksi alam. Pada titik ini
berarti ego tersebut harus berkompromi dengan nilai-nilai yang dibangun melalui
deontologis-etis.

3. Reaksi terhadap Positivisme dan Empirisme Logis

Ada banyak reaksi terhadap positivisme logis dan empirisme logis ini.
Namun, reaksi yang keras terhadap positivisme logis dan empirisme logis datang
dari aliran rasionalisme kritis. Oleh sebab itu, pandangan rasionalisme kritis akan
dijadikan titik sorotan dari uraian berikut.

Tokoh besar di balik kelahiran rasionalisme kritis adalah, R. Popper (1902-


1994). Nama Popper lazimnya dikaitkan dengan asas-asas pokok teorinya tentang
pertumbuhan ilmu, berbeda dengan positivisme dan empirisme logis yang lebih
menyoroti struktur ilmu.

Teori adalah ciptaan manusia, deikan menurut Popper. Teori hanyalah


pendugaan dan pengiraan, yang berarti teori tidak pernah benar mutlak. Ilmu baru
dapat berkembang jika tiap-tiap teori secara terus menerusdiuji kebenarannya.
Cara pengujiannya adalah dengan menunjukan kesalahan (anomali) dari teori itu,
bukan sebaliknya. Di sini Popper memperkenalkan istilah “falsifikasi” sebagai
lawan dari “verifikasi”. Demikian penting falsifikasi ini, sehingga kriterium ini
dijadikan Popper sebagai pronsip demarkasi untuk membedakan antara ilmu dan
non-ilmu.

Tahap-tahap pengembangan ilmu menurut Karl Popper ditunjukan sebagai


berikut:

Tahap I: Perumusan masalah. Ilmu mulai dari suatu masalah (problem)


Masalah itu timbul kalau terjadi sesuatu yang menyimpang dari apa
yangdiharapkan oleh seseorang (individu) berdasarkan perkiraan yang sudah
dimiliki olehnya. Penyimpangan ini mengakibatkan bahwa orang itu terpaksa
mempertanyakan keabsahan perkiraan itu dan pada dasarnya merupakan “masalah
pengetahuan”.
Tahap II: pembuatan teori, berhadapan dengan masalah itu manusia
kemudian merumuskan suatu teori sebagai jawabannya. Teori itu adalah hasil
daya cipta pikirannya dan bersifat percobaan (trial) atau terkaan. Teori itu selalu
lebih abstrak daripada masalah.

Tahap III: Perumusan ramalan atau hipotesis. Teori itu selanjutnya,


digunakan untuk menurunkan ramalan-ramalan spesifik secara deduktif. Ramalan
itu adalah hipotesis dan menunjuk pada keadaan kenyataan empiris tertentu.

Tahap IV: Pengujian ramalan dan hipotesis. Ramalan dan hipotesis


berikutnya diuji melalui pengamatan dan eksperimen. Tujuan pengamatan dan
eksperimen adalah mengumpulkan “keterangan empiris” (data) yang dikucilkan
teori dan menunjukan ketidakbenarannya.

Tahap V: Penilaian hasil pengujian. Dasar yang dapat dipakai untuk


tujuan menilai benar tidaknya satu teori oleh Popper dinamakan “Pernyataan
Dasar”. Pernyatann seperti ini menggambarkan hasi pengujian. Di anatara semua
pernyataan dasar ini terdapat satu himpunan bagian yang memainkan peran
khusus, yaitu pernyataan yang bertentangan dengan teori. Pernyataan semcam ini
adalah “penunjuk ketidakbenaran potensial dari teori. Suatu teori sudah terbuka
untuk difalsifikasikan kalau berdasarkan hasil pengujian (tes, eksperien) dapat
dirumuskan satu pernyataan yang bertentangan dengannya.

Tahap VI: Pembuatan teori baru. Degna ditolaknya teori pertama itu
manusia mengalami maslah baru dan membutuhkan teori baru pula untuk
mengatasinya. Teori baru ini, sama dengan teori pertama, bersifat abstrak dan
pada dasarnya tidak lain hanya perkiraan atau dugaan sehingga tidak memberi
kepastian apa-apa. Jawaban yang diberikan adalah satu percobaan (trial) baru
yang perlu diuji melalui pengujian berikutnya.

Dalam aspek epistimologisnya, rasionalisme kritis selalu mengunkan pola


penalaran deeduktif, konsisten dengan predikat “rasionalisme” yang
disandangnya. Prosedur kerja deduktif, konsisten dengan predikat “rasionalisme”
yang disandangnya.
Dalam benak kaum rasionalisme kritis, tidak ada permasalahan yag timbul
dari sesuatu yang murni karena pengalaman (empiris). Masalsah baru timbul
karena teori yang mendahuluinya, ditolak melalui proses pungujian.

Penjelasan popper bahwa teori adalah bawaan manusia menunjukan aspek


ontologis yang dualitis dalam rasionalisme kritis. Sekalipun begitu, titik berangkat
penalaran rasionalisme kritis tetap harus berangkat dari sumbu z, bukan sumbu y.
alasannya sederhana, yakni karena rasionalisme kritis tetap harus berangkat tidak
pernah menyetujui penggunaan intuisi sebagai pengembangan ilmu, sesuatu yang
sangat melekat kuat pada aspek ontologis idealism yang absolut.

Tujuan penelitian ilmiah dengan demikian sungguh-sungguh berangkat


dari kebutuhuan untuk pengembangan teori. Dibandingkan dengan
posotivisme/empirisme logis, aspek aksiologis dan rasionalisme kritis lebih
eksplisit terbaca. Rasionalisme kritis tidak berbicara tentang nilai-nilai pragmatis
dalam pengembangan ilmu. Sebab ilmu adalah untuk ilmu.

Rasionalisme kritis sendiri mengandung beberapa celah yang menjadi


lading kritik pengkaji epistimologi. Dua nama yang banyak mewacanakan. Popper
(dan rasionalisme kritisnya) adalah Thomas S Kuhn (1922-1974).

4. Positivisme Hukum

Seiring dengan pengaruh positivism yang merambah dunia sains pada


umunya, maka tidak terkecuali disiplin hukumpun menghadapi badai serupa.
Pengaruh ini pada gilirannya memberi bentuk pada berbagai keluarga system
hukum .

Positivism hukum, dalam definisnya yang paling tradisional tentang


hakikat hukum, memaknai sebagai norma-norma positif dalam system perundang-
undagan. Dari segi ontologinya, pemaknaan demikian mencerminkan
penggabungan antara idealism dan materialisme. Penjelasan mengenai hal ini
dapat mengacu pada Teori Hukum Kehendak (The Will Theory of Law) dari John
Austin dan Teori Hukum Murni (The Pure Norm Theory of Law) dari Hans
Kelsen.
Berbeda dengan aliran hukum kodrat yang sibuk dengan permasalahan
validasi hukum buatan manusia, maka pada positivism hukum, aktivitasnya justru
diturunkan kepada permaslahan konkret. Masalah validitas (legitimasi) aturan
tetap diberi perhatian, tetapi standar regulasi yang dijadikan acuan adalah juga
norma-norma hukum. Logikanya, norma-norma hukum hanya mungkin diuji
dengan norma hukum pula, bukan dengan non-norma huku. Norma positi akan
diterima sebagai doktrin yang aksiomatis.sepanjang ia mengikuti “the rule
systematizing logic of legal science” yang memuat asas eksklusi,
subsumsi,derogasi, dan nonkontradiksi.

Logika empirisme berangkat dari pemikiran bahwa kebenaran hanya


mungkin diverivikasi melalui pembuktian empiris. Pengetahuan yang tidak bias
dibuktikan dengan eksperimen (pembuktian pengalaman) adalah pengetahuan
non-ilmiah (not make sense). Dengan asumsi ini, berarti setiap pengethauan
diperoleh secara aposteriori, bukan apriori. Karena menggunkan prinsip logika-
empirisme ini, maka positivism logis akhirnya berkembang menjadi empirisme
logis. Model penalaran positivism hukum, jika diamati dengan seksama, ternyata
justru menghindari asas logika-empirisme ini.

Di antara tiga cabang disiplin hukum, cabang ilmu hukum (dogmatis)


adalah yang paling kuat dipengaruhi oleh positivisme hukum. Dalam
kenyataannya ilmu hukum dogmtis justru menghindari kebenaran-kebenaran yang
secara empiris dapat dibuktikan “ketidakbenarannya”. Apa yang disebut dengan
fiksi hukum adalah salah satu bukti ketidakbenaran tersebut. Fiksi hukum yang
paling terkenal adalah “semua orang dianggap tahu hukum” (setelah suatu
peraturan perundang-undangan dipublikasikan secara formal dalam lembaran
negara/lembaran daerah). Fiksi ini memang dibuat bukan tanpa tujuan. Ilmu
hukum dogmatis yang berpegang teguh pada system hukum postif memerlukan
kepastian agar suatu aturan dapat ditegakkan segera setekah norma hukum
tersebut dinyatakan berlaku. Dengan demikian alasan “ketidaktahuaan” tidak
mungkin digunakan karena hanya menggerogoti tujuan kepastian hukum tersebut.
Tentu saja kedekatan model penalaran rasionalisme kritis dengan
positivism hukum sebagaiamana dipraktikan oleh ilmu hukum dogmatis ini perlu
diberi catatan. Seperti telah dikritik oleh Anthony O. Hear bahwa diabaikannya
pola penalaran induktif oleh rasionalisme kritis, memang merupakan sesuatu yang
mustahil. Positivism hukumpun sebenarnya perlu dikritik untuk alasan yang sama.

5. Catatan Penutup

Misinoner dalam nomenklatur positivisme hukum hanya mungkin dapat


dipahami apabila struktur dan posisi ilmu hukum (dogmatis) sebagai ilmu praktis
normologis otoritatif juga benar-benar telah dimengerti. Ilmu praktis mengemban
tugas untuk menyelesaikan problematika konkret yang dihadapi masyarakat. Ilmu
hukum adalah ilmu yang menjawab langsung masalah-masalah rill seperti itu.
Oleh karena itu, kenyataan-kenyataan social pula yang menjadi evaluator terhadap
kinerja ilmu hukum itu. Sifat yang normologis menunjukan bahwa ilmu hukum
tidak sepenuhnya tunduk pada hukum kausalitas sebagaimana diasumsikan
berlaku bagi ilmu-ilmu alam. Ketidakberlakuan itu karena ilmu hukum sendiri
bersifat otoritatif, yakni memerlukan energi kekuasaan, khususnya kekuasaan
politis agar putusan hukum itu memiliki kekuatan mengikat.

Metode penalaran bersinggungan langsung dengan metode penelitian.


Sebagaimana ditunjukkan dalamuraian di atas, positivisme hukum adalah aliran
pemikiran yang menggunakan metode penelitian tertentu dan model penalaran
tertentu , yang paling representative untuk menunjukkkan kekhasan karakteristik
ilmu hukum dogmatis. Sekalipun demikian, seperti dibentangkan dalam uraian di
atas, ada banyak ketidaksesuaiaan antara karakteristik positivisme hukum itu
dengan aliran berpikir positivisme yang selama ini terlanjur “dipandang” sebagai
akar filosofis dari positivisme hukum tersebut. Suatu misnomer dalam nomeklatur
positivisme hukum.

Bagian II
Konstalasi Pemikiran dan Konsekuensi Metodologinya
2
Penelitian Hukum Dan
Hakikatnya Sebagai Penelitian Ilmiah

Akhir-akhir ini muncul kembali ke perbincangan untuk mempertanyakan


apakah yang di sebut penelitian hukum itu sebenar-benarnya suatu penelitian
ilmiah atau bukan. Di pertanyakan, apakah penelitian hukum itu harus
digolongkan sebagai suatu penelitian hukum itu harus golongkan sebagai suatu
penelitian yang tak berbeda dengan apa yang di kerjakan diberbagai cabang ilmu
pengetahuan yang lain juga juga mendasarkan diri pada metodelogi penilitian
yang dilazimkan di dunia sains ataukah tidak. Perbincangan, yang bahkan
cenderung mengarah kesuatu perdebatan ini , tidak hanya dilakukan oleh mereka
yang berada di luar bidang ilmu hukum, akan tetapi (bahkan) juga dipertikaian di
kalangan para sarjana yang tengah berkhidmat dalam kajian-kajian hukum itu
sendiri.

Tulisan berikut ini akan memaparkan beberapa penjelasan di sekitar dua


ilmu utama. Yang pertama ialah soal apakah yang harus di pahami Bersama
sebagai hukum dalam kedudukannya sebagai objek penelitian itu; dan yang kedua
ialah soal apakah sesungguhnya sebagai objek penelitian. Berikut metode-
metodenya yang lazim digunakan dalam tradisi kerja para ilmuwan itu? Besar
harapan bahwa kejelasan tentang kedua ihwal itu akan meredakan pertikaian
pendapat tentang kadar karakter scientific yag ada dalam kerja-kerja penelitian
hukum (yang selama ini dipertanyakan).

1. Hukum Sebagai objek Penelitian

“Hukum yang ditaruh sebagai objek penelitian ini adalah sesungguhnya suatu
realitas yang multi-interpreatif . yang oleh sebab itu juga akan menghasilkan
keragaman konseptual. Pada dasarnya, hukum bisa di lihat dari dua sisi dengan
menghasilkan dua pengertian yang dikaji dari perspektif epistomologi jelas-jelas
bersifat dualistis (kalaupun tidak selalu dikotomis).
Disatu pihak, “ Hukum” dalam arti dan eksistensinya sebagai norma dan hukum
dalam arti dan eksistensinya sebagai fakta sebagai fakta itu sebagai suatu dualitas.
Dan bukan dikontomi, yang semula berkarakter normative itu akan
bertransformasi dan manifes dalam wujud pola perilaku yang selalu tersimak
berulah secara ajeg.

Sesungguhnya kategori konsep kedalam suatu dualisasi sebagaimana di


paparkan di muka ini tidak berhenti di situ. Komplikasi masih terlanjut. Iyalah
manakah yang di sebut norma dan nomos itu. Secara konseptual masing-masing
masih akan di bedakan lagi kedalam dua subkategori. Hukum dalam kategori
besarnya sebagai norma hukum yang metayuridis ( seperti misalnya keadilan,
kepatutan, atau asas moral bangsa ).

Sementara itu, hukum dalam manisfestasinya yang rill sebagai nomos itu
pun secara konseptual dapat pula dibedakan lagi kedalam dua subkategori. Yang
pertama ialah nomos dalam wujudnya sebagai keteraturan berperilaku lahirlah
yang relavan denga ihwal kehidupan hukum. Baik mematuhi prosedur formal
yuridis maupun yang bersifat ekstrayuridis berlegitimasi sosiokultural.

Walhasil, sepanjang sejarah perkembangannya, hingga saat ini para teoritis


hukum telah mencatat sekurang-kurangnya empat konsep yang mesti di
perhatikan oleh setiap pengkaji dan penelitian hukum sebelum mereka ini
mengkomunikasikan usulan dan hasil kerjanya.

Di ketahui bahwa dalam kepustakaan hukum. Dan juga dalam praktiknya


penelitian hukum. Apa yang disebut “hukum” itu tidaklah berkonsep tanggal.
Melainkan taelah dikonsepkan kedalam beberapa ragam pengertian yang
definitive.bagaikan gajah yang sekalipun mewujud di dalam suatu realitas tetapi
telah beresepsi secara berbeda-beda oleh sekian banyak orang buta.

Keragaman dalam konseptualisasi hukum, sebagaimana yang akan di


paparkan berturut-turut berikut ini. Tidaklah hendak bermaksud lain kecuali hanya
hendak mendeskripsikan saja apa sesungguhnya telah dan tengah terjadi dalam
kegiatan orang mewacanakan hukum dan mencari jawaban yang dalam kehidupan
hukum. Tak dapat dipreskripsikan disini.

Ahli hukum profesional yang berkhidmat dalam kegiatan adjudikatif lewat


proses-proses yudisial tentulah tak akan dapat mengelakkan diri dari konsep
hukum sebagai norma-norma yang telah mengalami formalisasi atau positivisasi.

Sementara itu, mereka yang filosof atau moralis, yang hendak berseluk-
beluk dengan persoalan keadilan sebagai subtansi hukum ang terlanjur berkarakter
lugas sebagai akibat proses positivisasi dan formalisasi yang dialaminya itu,
tentulah akan berkehendak untuk mengembalikan definisi hukum pada hakikat
konseptualnya yang semula ialaha keadilan. Bagi para ilmuwan sosial, yang lebih
berkenan untuk mewacamakam setiap hukum perundang-undangan dalam ihwal
keefktifannya yang rill dalam kehidupan yang nyata dan aktual ini.

1.1 Hukum yang Dikonsepkan sebagai Asas Keadilan dalam sistem Moral
ang Illahi, dan/atau yang Secara Kodratis Berlaku Universal

Pertama-tama, dalam konsepna yang klasik, ‘hukum’ yang di dalam bahasa


Latin diistilahi,’ius’ diartikann secara umum dan implisit sebagai asas moralitas
atau asas keadilan yang diklaim bernilai universal. Aliran hukum modern yang
dikenali sebagai ajaran hukum alam, the natural jurisprudence, berparadigma
bahwa hukum yang berfungsi sebagai determinan tertib sosial itu sebenar-
benarnya.

Konsep hukum tersebut pertama sebagaimana tersebut berulang di muka


adalah konsep yang amat berwarna moral dan filosofi, atau jarang pula dalam
kehidupan masyarakat-masyarakat pada abad-abad pra modern berwarna religius.

Pada perkembangannya yang lebih kemudian ialah tatkala negeri-negeri di


Eropa Barat mulai mengalami transformasi yang menjurus ke terjadinya
kelahiran-kelahiran negara-negara bangsa apa yang disebut ‘hukum alam’ atau
‘hukum kodrat’.
Konsep ius constituteundum ini marak kembali tatkala kepenguasaan negara-
negara nasional Eropa menjumpai kehidupan masarakat-masyrakata lokal di
daerah- daerah jajahannya yang tak berhukum tulis yang bisa disepadankan
dengan hukum undang-undang sebagaimana yang telah dikenal di Barat.

Asas- asas moral ang mencerminkan kearifan moyang masyarakat setempat


yang berada pada ranah moral ini umumnya terumus amat umum, dan karena
tidak tertulis lalu bersifat implisit terbuka untuk sembarang tafsir oleh siapapun
ketika akan diperlukan untuk menghukumi sesuatu perkara yng konkret.

Di tangan para elit pemuka masarakat yang tampil sebagai eksponen-eksponen


penegakan moral sosial entah ang tertua adat entah ang ulama atau ang dikenal
sebagai kaum brahman di India, entah yang filosof asas- asas itu semua mulai
dicoba dihimpun (kalaupun tak dikitabkan tentulah direkam dalam ingatan).

1.2 Hukum Modern yang dikonsepkan sebagai Hukum Nasional yang


Positif : Hukum Undnag-undnagn yang hadir in Abstracto, dan Amar-
amar Putusan Hakim ang Hadir in Concreto

Kalaupun ‘hukum’ itu sebagai istilah generik setiap kali dipakai oleh kalangan
awam dengan menyamakan artinya begtu saja dengan moral keadilan dikalangan
para ahli hukum yang menggolongkan diri ke bilangan kaum legis. Kaum legis
(lege=undang-undang) yang juga disebut kaum positivis atau formil ini
mengartikan ‘hukum’ dalam artinya ang khusus ialah sebagai undang-undang
yang menrupakan produk badan legislatif.

Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan negara-negara bangsa ang


terpisahkan dari kekuasaan Gereja di negeri-negeri Eropa Barat ang dengan
demikian telah menebabkan terjadinya proses sekularisasi kekuasaan negara di
negeri-negeri itu, terjadilah pula sekularasi hukum-hukumnya. Hukum negara
yang disebut juga kebenaran moral guna menjamin legitimasinya.

Maka kini hukum bukan lagi asas-asas abstrak ang tak dapat ditujukan
dimana dan bagaimana rumusannya yang jelas dan tegas dan bagaimana pula ciri-
cirinya yang menerangi bahwa ‘hukum’ itu memegang benar-benar hukum. Dalam
konsep hukum positivis yang juga legis ini, hukum di alam indrawi sekalipun ‘
hanya’ dalam wujud huruf-huruf (namun ang akan sudah akan bisa terbaca sama
oleh siapapun). Inilah hukum ang telah benar-benar harus ‘diiyakan’ sebagai
hukum nasional.

Berkenyataan seperti itu, maka hukum menurut konsepnya ang positivis-


legistis ini adalah norma-norma dalam bentuknya yang tertulis berlaku umum (in
abstracto) pada suatu waktu tertentu dan di suatu wilayah tertentu dan
dimaklumatikan sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasaan politik.
Multiplikasi hukum positif (yang terumus in abstracto sebagai produk legislatif
maupun yang terlafalkan in concret). Disinilah bermulanya kerja-kerja
inventarisasi dan seluruh ius constitutum berdasarkan doktrin-doktrin tertentu
yang dikembangakn oleh para ahli.

Seluruh kerja inventrasi itu tentu saja meliputi pula usah-usaha untuk
mengorganisasi bahan-bahan hukum yang telah dipositifkan itu kedalam suatu
sistem informasu yang komprehensif, yang terkembang demikian rupa sehingga
memudahkan penelurusnya kembali secara efisien. Kecuali bahan-bahan hukum
yang premier.

Dalam kehidupan bernegara bangsa dengan hukum nasionalnya yang positif


ini bahan-bahan sekunder ini juga berperan tak kalah pentingnya apabila
dibandungkan dengan peran bahan-bahan hukum yang primer.

Kebutuhan profesional untuk mengelola hukum positif sebagai hukum


nasional memang memerlukan koleksi ang tertata tertib dan selalu dimutakhirkan
kecuali bahan-bahan hukum yang primer yang berupa hukum perundang-
undangan.

Dalam tradisi common law system, hukum in concreto ini apabila dupandang
sahih dan lebih-lebih lagi apabila merupakan putusan hakim pada tingkat yang
tinggi juga akan dpat berlaku sebagai preseden bagi upaya menyelesaikan
perkara-perkara.
1.3 Hukum dalam manifestasinya sebagai pola perilaku yang teramati dalam
kehidupan bermasyarakat

Hukum dalam konsepnya sebagai asas-asas keadilan (yang secara kodratif


bermukim dalam relung-relung kesadaran), dan pula di konsepkan sebagai aturan-
aturan yang bersifat positif-yuridis berikut kongkretisasnya dalam bentuk amar-
amar putusan hakim ( sebagaimana yg telah dipaparkan berturut2 dimuka) adalah
yang hadir dalam kehidupan norma-norma yang berfungsi mengharuskan dan
mengontrol.

Dalam perkembangan kajian tentag hukum, hukum sebagai objek kajian


ternyata tidak cuman dikonsepkan dari dua persepktif yang normative tersebut
diatas itu. Sudah pada pertengahan abad ke-19 terbit berbagai risala yg ditulis oleh
permehati permasalahan hukum yang mengulas objeknya dari perspektif lain.

Kajian tentang institusi soail , juga tentang institusi social khusus yang disebut
“institusi hukum” sesungguhnya merupakan kajian tentang norma juga. Namun
demiian, dari persepktif sosiologis akan mengkaji norma, (juga norma hukum) itu
dalam wujudnya sebagai factor social. Sebagai factor social, norma (juga norma
hukum) itu akan tersimak sebagai keteraturan perilaku orang dalam suatu
masyarakat (nomos,pattern of behafiour ) , dan tidak pertama-tama sebagai aturan
yang harus dipatuhi tatkala harus berperilaku (norma , pattern of behavior) .

Dalam kondisi seperti itu tatkala apa yang harus dinormakan menjadi tak
banyak beda dengan apa yang terwujudkan sebagai nomos. Dalam kehiudapan
sehari hari warga masyarakat lalu tak akan banyak lagi yang membedakan antara
apa yang berupa perilaku berulag dalam wujudnya yang terpola dalam kenyataan
dan apa yang berupa ketentuan ketentuan yang mengharuskan perbuatan secara
teratur dilakukan dan menjadi terpola sebagai adat kebiasaan akan dirasakan dan
diterima dalam konsepnya sebagai suatu yang normative jugalah adanya.

Oleh para sosiolog dan antropolog, yang juga berparadikma positivisme


seperti halnya lah para yuridis dimasa itu, fenomen yang positivise itu tidak
berhenti pada wujudnya yang berupa relitas norma.
1.4 Hukum sebagaimana dimaknakan oleh para subjek pemakainnya dalam
proses (Inter-) Aksi (antar-) Mereka

Akhir-akhir ini, berseiring dengan perkembangan teori-teori social yang


lebih menekankan arti-pentingnya kepemahaman para subjek pengguna hukum
tentang hukum khususnya tatkala para subjek ini secara individualnya
menggunakannya dalam suatu proses aksi interaksi guna memajukan
kepentingan hukum mereka lahirlah konsep baru tentang apa yang harus
didefinisikan sebagai hukum.

Maka hukum dalam konsep seperti itu bukanlah norma positif yang formal
(as it is written in the book) sebagaimana didefinisikan para yuris : atau bukan
pula yang factual empiris (as it is observed as patterened legal behavior in
society) sebagaimana didefinisikan oleh para sosiolog.

Berikut ini dapatlah disajikan ilustrasinya yang menjelaskan. Lampu lalu


lintas yang terpasang diperempatan jalan,adalah representasi pasal-pasal formal
hukum perundang-undangan yang hendak difungsikan.

Hukum dalam manifestasinya yang faktual akan tersimak sebagai suatu


pola perilaku berlalu-lintas yang berbeda dari normanya yang forml dan positif.
Dalam kejadian beralihnya warna lampu dari hijau ke kuning. Pola perilaku yang
menggambarkan keteraturan tersendiri yang otonom yang apabila diwawas dari
penganut aliran paham positivisme dalam ilmu hukum.

2. Penelitin dan Metode Penelitian

Ada tiga pengertian yang harus dicermati dan dipahami terlebih dahulu
apabila orang hendak mempelajari secara tuntas apa yang disebut ‘Metode
Penelitian Hukum’ itu. Pertama-tama orang harus paham terlebih dahulu
mengenai apa yang harus diketahui dan dipahami olehnya sebagai,
‘penelitian’,dan kemudian apa yang harus diketahui dan dipahami sebagai ‘
metode’ dan setelah itu juga apa yang harus diketahui dan dipahami sebagai
‘hukum’ Baru setelah itu boleh diharapkan akan dapat diperolehnya pehaman
yang lebih tuntas.
2.1 Penelitian : Sutau Usaha Pencarian Jawaban yang Benar

Penelitian adalah sebuah kata istilah dalam bahasa Indonesia yang dipakai
sebagai kata terjemahan apa yang di dalam bahasa inggris disebut research.
Penerjemahan ini sebenarnya kurang tepat.

Bermakna sebagai pencarian, ‘penelitian’ adalah suatu kegiatan bersengaja


dan bertujuan serta pula berprosedur alias bermetode. Pencarian ini bisa
berlangsung secara spekulatif untuk memperoleh simpulan-simpulan spekulatif.

Prosedur-prosedur pencarian inilah yang di dalam peristilahan ilmu


pengetahuan disebut ‘metode’, berikut kiat-kiat penggunaanya disebut
‘metodologi’. Sekalipun dalam kenyataan sehari-hari orang bisa saja menemukan
pengetahuan.

2.2 Metode : Prosedur Terkontrol untuk Menemukan Pengetahuan

‘Metode’ itu dalam arti harafiahnya berarti ‘cara’. Dengan demikian apa
yang disebut ‘metode penelitian’ ini tak lain dari pada, ‘cara mencari (dan
menemukan pengetahuan yang benar yang dapat dipakai untuk menjawab suatu
masalah).

Dalam dunia sains, metode ini ada dua jenis, yang sekalipun bisa
dibedakan namun dalam penggunaannya nanti akan bersifat saling melengkapi.
Metode jenis pertama adalah metode yang mendisiplin cara penalaran melalui
prosedur-prosedur tertentu.

Dalam perbincangan sehari-hari, demikian juga apa yang terjadi di dunia


kesarjanaan, orang pada umumnya mengsosialisasikan pengertian ‘metode
penelitian’ denga metode sains jenis kedua tersebut di muka.

Namun demikian, pentingnya jenis metode jenis yang kedua itu tak pula
dapat diabaikan. Pentingnya jenis kedua metode ini bersamaan waktu dengan
terjadinya perkembangan dalam kehidupan intelektualisme.
Ulasan lebih lanjut tentang kedua jenis metode tersebut akan dibahas
dalam subbab berikut. Jenis metode pertama biasa disebut saja metode penalaran
atau logika, sedangkan kedia lazim disebut metode penelitian.

3.Logika : Metode-Metode Penalaran untuk menemukan kebenaran

Dalam logika dikenal adanya dua model proses bernalar yang menjanjikan
tertemukannya simpulan yang akan dapat dinyatakan ‘benar’. Yang pertama
adalah proses bernalar yang bermula dari statemen umum untuk tiba pada suatu
simpulan yang khusus tentang suatu hal tertentu.

3.1 Dedukasi

Uraian mengenai prosedur dedukasi berikut ii akan berkenaan dengan


pokok-pokok penting yang secara mendalam atau tidak mestilah diketahui oleh
mereka yang ingin memiliki kemampuan yang mendamai untuk bernalar secara
dedukatif.

Silogisma Dedukasi dan Komponen Materialnya yang Disebut ‘Proposisi’

Telah dikemukakan bahwa penalaran dedukatif adalah suatu proses


penalaran yang berangkat dari suatu kalimat pernyataan umum untuk tiba pada
suatu simpulan yang akan dapat menjawab suatu pernyataan. Silogisma juga
sekaligus berfungsi sebagai proses pembuktian benar-salahnya suatu pendapat-
tesis ataupun hiptosesis-mengenai masalah tertentu. Dua Contoh silogism
dedukasi dapatlah diberikan berikut ini. Yang pertama berkenaan dengan jalannya
penalaran logika sehari-hari orang awam, sedangkan yang kedua lebih berkenaan
dengan hukum.

1. Silogisma yang pertama berbuyi sebagai berikut :


a. Semua manusia hidup pada saatnya nanti akan mati;
b. Saya adalah manusia hidup ;
c. Maka saya ini pada saatnya nanti akan mati.
2. Silogisma yang kedua berbunyi sebagai berikut:
a. Barang siapa mengambil barang milik orang lain secara
melawan hak akan dipidana penjara karena pencurian setinggi-
tingginya 5 tahun;
b. Si Maling mengambil barang milik orang lain secara melawan
hak, Maka, si maling akan dipidana penjara karena pencurian
setinggi-tingginya 5 tahun.
Dari kedua contoh tersebut di atas ini dapatlah dilihat dengan mudah
struktur sebuah silogisma dedukasi. Pertama-tama dapat dilihat bahwa setiap
silogisma itu terdiri dari tiga kalimat pertanyaan yang masing-masing disebut
‘proposisi’ itu.
Silogisma itu dapat dideteksi dari struktur dan fungsinya sebagaimana
terpapar di kedua contoh di muka adalah sesungguhnya bukan Cuma merupkan
suatu proses penalaran melaikan juga sebenar-benarnya.

SUMMARY BUKU
“ PENELITIAN HUKUM”
Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, SH., MS., LL. M
( Kencana Prenada Media Group, 2008)
BAB I
( metode penelitian dan karakteristik ilmu hukum)
Ketika itu Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki mengunjungi seorang kolega
yang sedang menempuh pendidikan Doktor dalam Ilmu hukum di New South
Wales University di Sydney, Australia pada bulan Juni 2004, Ia menanyakan
metode apakah yang ia gunakan dalam penelitiannya. Ia yang Sarjana Hukum
lulusan Universitas Airlangga dan Master of Laws nya di Australia menjawab
bahwa ia bingung dengan pertanyaan Prof. Dr. Peter Mahmud. Selanjutnya ia
mengatakan bahwa tidak seperti pada waktu S-1 dahulu yang dalam penulisan
skripsi metode penelitian begitu ditekankan, selama belajar di Australia yang
penting ia menulis dan tulisan itu mengandung alur pikiran yang logis atau
menurut istilah Prof. Dr. Peter Mahmud yaitu adanya inner logical sequemce.

Suatu persoalan pokok yang sering menjadi sorotan para pengajar di


fakultas-fakultas hukum yang terkena virus Sosiologi hukum saat itu adalah
adakah eksistensi Ilmu Hukum. Untuk menjawa hal tersebut mereka mencari
pengertian tentang ilmu. Disamping itu diajukan klasifikasi Ilmu yang
dikemukakan oleh UNESCO yang berbeda dengan yang telah dikemukakan.
Menurut lembaga PBB itu, ilmu dibagi menjadi Ilmu Eksakta Alam, Ilmu Sosial,
dan Humaniora. Berdasarkan klasifikasi tersebut, lalu dibuatlah Pohon
Pengetahuan

BAB II
( KARAKTER PENELITIAN HUKUM)
Menurut Morria L. Cohen, Legal Research is the process of finding the
law that governs activities in human society. Selanjutnya Cohen menyatakan
bahwa “It involves locating both the rules which are enforced by the state and
commentaries which explain or analyze these rules”. Prosedur demikian, masih
menurut Cohen diperlukan di dalam praktik hukum untuk menentukan baik
dampak peristiwa masa lalu maupun implikasinya pada masa yang akan datang.
Melalui penelitian, lawyers menemukan sumber-sumber yang diperlukan untuk
memprediksi apa yang akan dilakukan oleh pengadilan dan dengan demikian
mereka dapat mengambil tindakan-tindakan tertentu.

BAB III
( ISU HUKUM)
Isu hukum mempunyai posisi yang sentral di dalam penelitian hukum
sebagaimana kedudukan masalah di dalam penelitian lainnya karena isu hukum
itulah yang harus dipecahkan di dalam penelitian hukum sebagaimana
permasalahan yang harus dijawab di dalam penelitian bukan hukum. Masalah
timbul karena adanya dua proposisi yang mempunyai hubungan, baik yang
bersifat fungsional, kausalitas maupun yang satu menegaskan yang lain. Isu
hukum juga timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan
satu terhadap lainnya. Di dalam praktik hukum, kegagalan para pihak dalam
membangun argumentasi untuk memecahkan isu hukum yang menjadi objek
perkara mempunyai implikasi ditolaknya gugatan atau dakwaan tidak terbukti
oleh hakim atau bahkan sebaliknya, yang mestinya gugatan harus ditolak malah
dikabulkan atau dakwaan yang harusnya dapat ditangkis dan tidak terbukti
malahan terbukti secara sah dan meyakinkan sehingga terdakwa harus dihukum.

Di dalam ilmu hukum disebutkan bahwa tujuan hukum adalah untuk


menciptakan ketertiban dan keadilan. Dalam membahas masalah tujuan hukum,
banyak pendapat dikemukakan oleh para sarjana. Namun demikian secara umum
dapat dikemukakan bahwa tujuan hukum adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh
hukum. Menurut L.J Van Apeldoorn, tujuan hukum adalah untuk mempertahankan
ketertiban masyarakat dalam mempertahankan ketertiban tersebut hukum harus
secara seimbang melindungi kepentingan-kepentingan yang ada dalam
masyarakat.

BAB IV
( PENDEKATAN DALAM PENELITIAN HUKUM)
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan-
pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan
undang-undang, pendekatan kasus, pendekatan kasus, pendekatan historis,
pendekatan komparatif, dan pendekatan konseptual. Pendekatan undang-undang
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut
paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan kasus dilakukan
dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu
yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan yang tetap. Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar
belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang
dihadapi. Pendekatan komparatif dilakukan dengan membandingkan undang-
undang suatu negara dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lain
mengenai hal yang sama. Pendekatan koseptual beranjak dari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

BAB V
( SUMBER-SUMBER PENELITIAN HUKUM)
Sebagaimana dikemukakan pada Bab II bahwa penelitian hukum tidak

mengenal adanya data. Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan

preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian.

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber

penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum

sekunder. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-

catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-


putusan hakim. Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi

tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal

hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.

BAB VI
( langkah-langkah penelitian hukum)
Di dalam melakukan penelitian hukum, dilakukan langkah-langkah: (1)
mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk
menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan, (2) pengumpulan bahan-bahan
hukum dan sekiranya dipandang mempunyai relevansi juga bahan-bahan non
hukum, (3) melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-
bahan yang telah dikumpulkan, (4) menarik kesimpulan dalam bentuk
argumentasi yang menjawab isu hukum, (5) memberikan preskripsi berdasarkan
argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan.

SUMMAY BUKU
“METODE PENELITIAN SURVAI
MASRI SINGARIMBUN DAN SOFIAN EFFENDI”

(LP3ES Indonesia, Anggota IKAPI, JAKARTA 1989)

Buku ini dapat dijadikan sebuah pedoman untuk merencanakan dan merancang
penelitian secara baik dan benar. Terdiri dari lima bagian yang membahas tahap-
tahap dalam proses penelitian yang dimulai dari pengenalan terhadap tipe dan
metode hingga laporan penelitian. Di dalam buku ini pun membahas tentang cara-
cara dalam mengukur dan menyusun skala, mengumpulkan dan menganalisa data,
masing-masing di bahas oleh dua pengarang yaitu Masri Singarimbun dan Sofian
Effendi. Kedua pengarang ini pernah menjabat sebagai Dosen dan Kepala Pusat
Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta.
Mereka pun aktif mengikuti berbagai kegiatan ilmiah di dalam dan luar negeri
serta melakukan penelitian-penelitian bahkan salah satu diantara mereka telah
berhasil menciptakan berbagai hasil karya tulis/buku yang telah dikenal di
kalangan masyarakat luas. Di bawah ini adalah gambaran buku pada bab 1 bagian
1 yang berkaitan dengan metode dan proses penelitian :

BAB I
METODE DAN PROSES PENELITIAN
Buku ini membahas penelitian survai, yang titik beratnya diletakkan pada
penelitan relasional; yakni mempelajari hubungan variabel – variabel, sehingga
secara langsung atau tidak langsung – hipotesa penelitian senantiasa
dipertanyakan. Di dalam bab ini dibicarakan beberapa jenis penelitian dan proses
penelitian. Beberapa jenis penelitian yang dibicarakan yaitu penelitian survai,
eksperimen, grounded research, kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif,
dan analisa data sekunder.

PENELITIAN SURVAI

Dalam survai, informasi dikumpulkan dari responden dengan


menggunakan kuesioner. Umumnya, pengertian survai dibatasi pada penelitian
yang datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh
populasi untuk mewakili seluruh populasi. Ini berbeda dengan sensus yang
informasinya dikumpulkan dari seluruh populasi. Dengan demikian penelitian
survai adalah “penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan
menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok”.

Pada umumnya yang merupakan unit analisa dalam penelitian survai


adalah individu. Penelitian survai dapat digunakan untuk maksud (1) penjagaan
(eksploratif), (2) deskriptif, (3) penjelasan (explanatory atau confirmatory), yakni
untuk menjelaskan hubungan kausal dan pengujian hipotesa; (4) evaluasi, (5)
prediksi atau meramalkan kejadian tertentu di masa yang akan datang, (6)
penelitian operasional, dan (7) pengembangan indikator- indikator sosial.

Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap


fenomena sosial tertentu, misalnya perceraiaan, pengangguran, keadaan
gizi, preferensi terhadap politik tertentu dan lain-lain. Apabila untuk data yang
sama peneliti menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui
pengujian hipotesa atau penelitian tersebut tidak lagi dinamakan penelitian
deskriptif melainkan penelitian pengujian hipotesa atau penelitian penjelasan
(explanatory research). Kegunaan lain dari penelitian survai adalah untuk
mengadakan evaluasi.
Secara umum terdapat dua jenis penelitian evaluasi, yakni evaluasi
formatif dan evaluasin summatif. Evaluasi formatif biasannya melihat dan
meneliti pelaksanaan suatu program, mencari umpan balik untuk memperbaiki
pelaksanaan program tersebut. Evaluasi summatif biasannya dilaksanakan pada
akhir program untuk mengukur apakah tujuan program tersebut tercapai.

PENELITIAN EKSPERIMEN

Dimaksudkan untuk mengetahui hubungan sebab akibat variabel


penelitian, pengujian hipotesa tertentu. Pelaksanaannya memerlukan konsep dan
variabel yang jelas sekali dan pengukuran yang sangat cermat. Biasanya
dilaakukan di laboraturium, kelas atau lapangan. Eksperimen dapat dilakukan
tanpa atau dengan kelompok pembanding ( control group ).

GROUNDED RESEARCH

Survai adalah pendekatan kuantitatif, sedangkan grounded research adalah


pendekatan kualitatif, data didapatkan melalui wawancara bebas. Menurut Glaser
dan Strauss (1967), grounded research merupakan reaksi tajam dan sekaligus
menyajikan jalan keluar dari “stagnasi teori” dalam ilmu-ilmu sosial dan
penitikberatan pada sosiologi. Hasil akhir dari penelitian merupakan verifikasi
dari teori atau hipotesa untuk diterima atau ditolak. Penelitian ini bertitik tolak
pada konsep, hipotesa, dan teori yang mapan untuk situasi sosial yang khas dari
masyarakat yang diteliti. Grounded research menyajikan suatu pendekatan yang
baru.

KOMBINASI PENDEKATAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF


Untuk memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang
diteliti ditambahkan informasi kuantitatif dan kualitatif. Data kualitatif
dikumpulkan menggunakan sepotong kertas yang khusus disedikan di samping
penggunaan kuisoner. Untuk data kuantitatif semua objek yang akan diteliti
dijadikan responden. Jadi penelitian tersebut merupakan sebuah Community study.
Dengan data kualitatif ini, maka gambaran tentang fenomena sosial akan semakin
jelas, semakin hidup dan semakin dapat ditampilkan.
ANALISA DATA SEKUNDER

Keuntungan dari pemanfaatan data yang tersedia adalah peneliti tidak


telibat lagi dalam mengusahakan dana untuk penelitian lapangan, merekrut dan
melatih pewancara, menentukan sampel dan mengumpulkan data di lapangan
yang memakan banyak energi dan waktu.

PROSES PENELITIAN

Merupakan proses yang panjang berawal pada minat untuk mengetahui


fenomena tertentu berkembang menjadi gagasan, teori, konseptualisasi, pemilihan
metode penelitian yang sesuai, dan seterusnya. Hal penting bagi peneliti adalah
adanya minat untuk mengetahui masalah sosial atau fenomena sosial tertentu.
Minat tersebut adapat timbul dan berkembang karena rangasangan, bacaaan,
diskusi, seminar, pengamatan, atau campuran semuanya itu.Kesimpulan dari
keterangan keterangan yang didapat tadi didapat Langkah langkah lazim yang
ditempuh dalam pelaksanaan survai adalah sebagai berikut :

1. Merumuskan masalah penelitian dan menentukan tujuan survai.

2. Menentukan konsep dan hipotesa serta menggali kepustakaan. Adakalanya


hipotesa tidak diperlukan, misalnya pada penelitian operasional.

3. Pengambilan sampel.

4. Pembuatan kuesioner.

5. Pekerjaan lapangan termasuk memilih dan melatih pewancara.


6. Pengolahan data.

7. Analisa dan pelaporan.

Dalam buku ini semua langkah penelitian survai akan dibahas. Tiap tahap dari
buku ini merupakan satu mata rantai. Topik apapun yang dipilih dalam penelitian
sosial, peneliti tidak beranjak dari nol. Karena itu peneliti dan teori yang ada perlu
sekali dipelajari sebagai tempat berpijak untuk melangkah lebih jauh.

Buku yang diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1989, yang dikarang
oleh Masri Singarimbun dan Sofian Effendi mengenai Metode Penelitian Survai
menurut saya sangatlah bagus untuk dijadikan sumber dan bahan bacaan untuk
memahami Materi Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial.

Kelebihan-kelebihan yang ada di dalam buku ini, materi-materinya sangatlah


berguna dan mudah dipahami dikarenakan banyaknya sumber yang diambil untuk
mengisi materi-materi dalam buku ini. Selain itu buku ini juga membicarakan
penelitian survai yang titik beratnya diletakkan pada penelitian relasional. Supaya
pembaca mendapat gambaran yang lebih luas tentang penelitian sosial. Buku ini
juga sangat memperhatikan pembahasan tentang variabel. Dalam bab 1 di setiap
materi juga disertakan contoh-contoh yang dapat mendukung materi tersebut

Sedangkan kekurangan dalam buku ini adalah kurang rapi dalam penyusunan
materinya, contohnya terdapat pada keterangan Skema/Grafik yang sedikit rancu.
Selain itu, bahasa yang dipergunakan di dalam buku ini sedikit tidak
menggunakan bahasa baku sehingga dapat menghambat proses pemahaman
materi yang disajikan dan saya sendiri pun kurang mengerti dengan penggunaan
bahasa yang ada di dalam buku ini. Selain itu juga analisa statistik tidak dibahas
secara mendalam. Pembahasan statistik yang mendalam sudah mendapat tempat
yang sangat penting dalam pembicaraan metodologi di Indonesia.

BAB 2
PROSES PENELITIAN SURVAI
Pada Bab 1 telah disinggung bahwa tujuan penelitian sosial adalah
menerangkan suatu fenomena sosial atau suatu peristiwa (event) sosial. Untuk
menerangkan menerangkan fenomena atau peristiw atersebut, peneliti
memerlukan dua instrumen ilmu pengetahuan 1. Logika atau rasionalitas; 2.
Observasi atas fakta-fakta emperis.

Proses penelitian survai tidak terlalu berbeda dengan penelitian ilmiyah


lainnya dan merupakan yang sistematis untuk mengungkapkan suatu fenomena
sosial yang menrik perhatian peneliti. Proses penelitian survai sebagai suatu
proses untuk mentransformasikan lima komponen informasi ilmiyah dengan
menggabungkan 6 kontrol metodologis adapun proses penelitian survai yaitu :

1. Teori

2. Hipotesa

3. Obervasi

4. Generalisasi emperis

5. Penerimaan dan penolakan hipotesa

Sementara itu kontrol metodologis sebagai berikut :


1. Deduksi logika

2. Interpretasi, penyusunan instrumen, penyusunan skala dan penetuan


sampel

3. Pengukuran penyederhanaan data dan perkiraan parameter

4. Pengujian hipotesa infrensi logika

5. Formulasi konsep dasn proposisi

6. Penataan proposisi

BAB 3
UNSUR-UNSUR PENELITIAN SURVAI
Penelitian sosial pada dasarnya adalah suatu upaya yang sistematis untuk
menerangkan fenomena sosial dengan cara memandang fenomena tersebut
sebagai hubungan antara variabel. Adapun unsur-unsur dari penelitian survai
sebagai berikut:

1. Konsep

2. Proposisi

3. Teori

4. Variabel

5. Hipotesa

6. Definisi oprasional

BAB 4
PENENTUAN VARIABEL PENELITIAN DAN HUBUNGAN ANTAR
VARIABEL
Pengertian variabel dapat dijelaskan dengan contoh berikut. Misalnya kita
menampilkan dua tokoh dan memperhatikan ciri-ciri mereka. Satu di antaranya
buruh laki-laki yang sudah tua, bertubuh pendek dan mempunyai penghasilan
rendah. Tokoh yang lainnya seorang wanita muda, ia seorang majikan,
berpenghasilan tinggi dan bertubuh janggung. Semua yang menandai kedua tokoh
ini (laki-laki, wanita, buruh, majikan, tua, muda, penghasilan rendah dan
penghasilan tinggi) kita sebut “atribut”. Variabel tiada lain dari pengelompokan
yang logis dari dua atau lebih atribut. Atribut laki-laki dan wanita dikelompokkan
menjadi variabel seks, atribut tua dan muda dikelompokkan menjadi variabel usia.

Inti penelitian ilmiah adalah mencari hubungan antara variabel. Hubungan


yang paling dasar adalah hubungan antara dua variabel: variabel pengaruh
(independent variable) dengan variabel terpengaruh (dependent variable). Dalam
buku-buku teks metodologi yang lainnya dipakai istilah variabel bebas dan
variabel terikat atau tergantung.

BAB 5
PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN
Salah satu hal yang perlu dilakukan dalam persiapan penelitian ialah
mendayagunakan sumber informasi yang terdapat di perpustakaan dan jasa
informasi yang tersedia. Pemanfaatan perpustakaan ini diperlukan, baik untuk
penelitian lapangan maupun penelitian bahan dokumentasi (data sekunder). Nyata
sekali bahwa, tidak mungkin suatu penelitian dapat dilakukan dengan baik tanpa
orientasi pendahuluan di perpustakaan.

Memanfaatkan perpustakaan berarti melakukan penelusuran kepustakaan


dan menelaahnya. Manfaat yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan ialah: 1.
Menggali teori-teori dasar dan konsep yang telah diketemukan oleh para ahli
terdahulu; 2. Mengikuti perkembangan penelitian dalam bidang yang akan diteliti;
3. Memperoleh orientasi yang lebih luas mengenai topik yang dipilih; 4.
Memanfaatkan data sekunder; dan 5. Menghindarkan duplikasi penelitian.
Manfaat lain yang sering dilupakan ialah bahwa melalui penelusuran dan
penelaahan kepustakaan, dapat dipelajari bagaimana cara mengungkapkan buah
pikiran secara sistematis, kritis dan ekonomis.

BAB 6
PRINSIP-PRINSIP PENGUKURAN DAN PENYUSUNAN SKALA
Konsep dan teori adalah abstraksi tetang obyek dan kerja dian(event) yang
digunakan oleh peneliti untuk menggambarkan fenomena sosial yang menarik
perhatian. Fungsi konsep adalah alat untuk mengidentifikasi fenomena yang
diobservasinya, sedangkan teori adalah jalur logika atau penalaran yang
digunakan oleh peneliti untuk menerangkan hubungan pengaruh antarafenomena
yang dikajinya. Dalam penelitian, konsep ini harus dihubungkan dengan realita
dan untuk itu penelitian harus melakukan pengukuran dengan cara memberikan
angka pada obyek atau kejadian yang sedangdiamati menurut aturan tertentu.

Dalam penelitian sosial, proses pengukuran adalah rangkaian dari empat


aktivitas, yaitu:

1. Menentukan dimensi konsep penelitian. Konsep dan variabel


penelitian sosial seringkali memiliki lebih dari suatu dimensi.
Semakin legkap dimensi suatu variabel yang dapat diukur, semakin
baik ukuran yang dihasilkan.

2. Rumusan ukuran untuk masing-masing dimensi. Ukuran ini biasanya


berbentuk pernyataan-pernyataan yang relavan dengan dimensi.

3. Tentukan tingkat ukuran yang akan digunakan. Dalam penelitian


sosial dikenal empat tingkat ukuran, yaitu: nominal, ordinal, interval
atau rasio.

4. Tentukan tingkat validitas (validity) dan reliabilitas (reliability) dari


alat pengukur. Pengujian ini perlu dilakukan bila yang dipakai adalah
instrumen penelitian baru.

MENGHUBUNGKAN KONSEP DENGAN REALITAS


Proses ini bisa agak muda bila yang hendak diukur dalam penelitian
adalah obyek yang kongkrit atau yang tertangkap oleh pancaindera manusia, tetapi
menjadi lebih sulit bila yang diukur adalah objek atau kejadian yang abstrak.kalau
yang diteliti adalah objek atau kejadian yang kongkrit, korespondensi anatara
konsep konsep dan realitas agak lebih jelas, karena itu proses pengukuran sedikit
lebih mudah. Dalam penelitian sosial, proses pengukuran tidak semudah seperti
yang diuraikan diatas. Konsep yang ditelaah dalam penelitian sosial ini ialah
mengenai berbagai fenomena sosial yang abstrak, ada kemungkinan yang besar
sekali bahwa instrumen pengukur yang berkaitan dengan fenomena soial yang
diacu oleh konsep. Dengan kata lain, dalam penelitian sosial amat besar
kemungkinanuntuk melakukan salah ukuran. Dalam pengukuran, yang hendak
diterapkan adalah prinsip isomorfisme (isomorphism) atau persamaan bentuk.
Artinya, terdapat kesamaan yang dekat antara realitas sosial yang diteliti dengan
“nilai” yang diperoleh dari pengukuran. Karena itu, suatu instrumen pengukur
dipandang baik apabila hasilnya dapat merefleksikan secara tepat realitas dari
fenomena yang hendak diukur.

Tingkat Pengukuran

A. Ukuran nominal

Ukuran nominal adalah tingkat pengukuran yang paling sederhana. Pada


ukuran ini tidak ada asumsi tentang jarak maupun urutan antara kategori-
kategori dalam ukuran itu.

B. Ukuran Ordinal

Tingkat ukuran yang kedua adalah yang memungkinkan peneliti untuk


mengurutkan respondennya dari tingkatan “paling rendah” ke timgkatan
“paling tinggi” menurut suatu atribut tertentu.

C. Ukuran Interval

Seperti halnya ukuran ordinal, ukuran interval adalah mengurutkan orang


atau obyek berdasarkan suatu atribut. Selain itu, ia juga memberikan
informasi tentang interval antara satu orang atau obyek dengan orang atau
obyek lainnya.

D. Ukuran Rasio
Ukuran rasio diperoleh apabila selain informasi tentang urutan dan interval
antar responden, kita mempunyai informasi tambahan tentang jumlah
absolut atribut yang dimiliki oleh salah satu dari responden tadi.

Indeks dan Skala

Indeks dan skala adalah ukuran gabungan buat suatu variabel. Agar
diperoleh ukuran yang lebih lengkap dan tepat, maka ukuran suatu variabel
tidaklah semata-mata didasarkan pada suatu pertanyaan, melainkan pada beberapa
pertanyaan. Misalnya, untuk mengukur nilai ekonomi anak, digunakan indeks
nilai ekonomi anak yang terdiri dari beberapa pertanyaan; dan skor responden
adalah jumlah dari skor pertanyaan tadi.

Penyusunan Indeks

1. Menyeleksi pertanyaan

2. Hubungan antara pertanyaan (Item)

3. Menentukan skor.

Penyusunan Skala

1. Metode Bogardus

2. Metode Thurstone

3. Metode Guttman atau Metode Skalogram

4. Metode Perbedaan Semantik (Semantic Differentials).

BAB 7
VALIDITAS DAN REALIBILITAS INSTRUMEN PENELITIAN

1. Jenis Validitas

a. Validitas konstruk

b. Validitas isi

c. Validitas eksternal

d. Validitas prediktif

e. Validitas budaya

f. Validitas rupa.

Realibilitas

Realibilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur
dapat dipercaya atau dapat diandalkan.

1. Teknik Perhitungan Reliabilitas

2. Teknik belah dua

3. Teknik Bentuk Paralel.

BAB 8
PENENTUAN SAMPEL
Konsep, Definisi dan Satuan-satuan Sampling

A. Populasi atau Universe

B. Unsur Sampling

C. Kerangka Sampling

D. Unit Penelitian (Unit Analisa atau Unit Elementer).

Beberapa Metode Pengambilan Sampel

A. Pengambilan Sampel Acak Sederhana ( Simple Random Sampling)

B. Pengambilan Sampel Sistematis (Systematic Sampling)

C. Pengambilan Sampel Acak Distratifikasi (Stratified Random Sampling)

D. Pengambilan Sampel Gugus Sederhana (Simple Cluster Sampling)

E. Pengambilan Sampel Gugus Bertahap (Dua atau Lebih)

F. Pengamblan Sampel Wilayah (Area Sampling).

Perkiraan Jumlah Sampel

Jumlah sampel yang dibutuhkan dalam suatu penelitian tergantung pada teknis
analisa yang akan digunakan.

Macam Penyimpangan dan Sebabnya

A. Penyimpangan karena Pemakaian sampel (Sampling Error)

B. Penyimpangan Bukan oleh Pemakaian Sampel (Non Sampling Error).


BAB 9
PEMBUATAN KUESIONER
Isi Pertanyaan

1. Pertanyaan tentang fakta

2. Pertanyaan tentang pendapat dan sikap

3. Pertanyaan tentang informasi

4. Pertanyaan tentang persepsi-diri.

Beberapa Cara Pemakaian Kuesioner

1. Kuesioner digunakan dalam wawancara tatap muka dengan responden

2. Kuesioner diisi sendiri oleh kelompok

3. Wawancara melalui telepon

4. Kuesioner diposkan.

Jenis pertanyaan

1. Pertanyaan tertutup

2. Pertanyaan terbuka

3. Kombinasi tertutup dan terbuka

4. Pertanyaan semi terbuka.


Petunjuk membuat pertanyaan

1. Gunakan kata-kata yang sederhana dan dimengerti oleh semua responden

2. Usahakan supaya pertanyaan jelas dan khusus

3. Hindarkan pertanyaan yang mempunyai lebih dari satu pengertian

4. Hindarkan pertanyaan yang mengandung sugesti

5. Pertanyaan harus berlaku bagi semua responden.

Susunan Pertanyaan

Pertanyaan dikelompokkan sesuai dengan tujuan penelitian, dimulai dengan


identitas yang berisi : 1. Nama responden, 2. Tempat tinggal, 3. Nama
pewawancara, 4. Tanggal wawancara.

Bentuk Fisik Kuesioner

1. Ukuran kertas dan jenis kertas (biasanya dipakai kertas duplikat folio)

2. Diisi bolak-balik atau tidak

3. Pembagian ruangan tidak bersempit-sempit

4. Nomor urut pertanyaan

5. Penggunaan huruf besar, huruf kecil dan huruf miring (kalau ada)

6. Tanda panah dan kotak pertanyaan

7. Kotak kolom

8. Untuk menghindarkan salah ambil, kuesioner dibuat berlainan warna


untuk responden pria dan wanita.
BAB 10
TEKNIK WAWANCARA
Salah satu metode pengumpulan data ialah dengan jalan wawancara yaitu
mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada responden. Cara
inilah yang banyak dilakukan di Indonesia dewasa ini.

Wawancara adalah salah satu bagian yang terpenting dari setiap survai. Tanpa
wawancara, peneliti akan kehilangan informasi yang hanya dapat diperoleh
dengan jalan bertanya langsung kepada responden. Data semacam itu merupakan
tulang punggung suatu penelitian survai.

Wawancara dan mewawancarai


Alat-alat yang perlu dibawa:
1. Buku catatan saku (bagi pewawancara pria)

2. Buku catatan ukuran sedang

3. Pensil lebih dari satu

4. Karet penghapus

5. Pengasah pensil

6. Kuesioner ekstra, sebagai cadangaan kalau rusak

7. Stofmap plastik

8. Hardboard untuk menulis, kalau dirasa perlu

9. Surat pengantar atau surat keterangan diri

10. Surat izin survai

11. Daftar responden

12. Peta
BAB 11
MENGKODE DATA
Cara mengkode

A. Pertanyaan tertutup

B. Pertanyaan terbuka

Buku Kode

A. Isi buku kode

B. Saran

Mengkode Data

A. Tempat kode

1. Menjadi satu dengan kuesioner

2. Tempat kode terpisah dari kuesioner.

a) Kartu tabulasi

b) Lembaran kode

1. Mulai baris kedua dan selanjutnya pada lembaran yang sama

2. Mulai baris yang sama pada lembaran kode yang kedua dan seterusnya .
B. Cara memberi kode
1. Bacalah pertanyaan dalam kuesioner mulai dari awal
2. Perhatikan jawaban yang diberikan oleh responden
3. Lihat pedoman buku kode mengenai kode jawaban yang telah ditentukan
4. Untuk pertanyaan terbuka, pengkode harus menafsirkan jawaban
responden untuk memilih kode yang tepat
5. Bila kode untuk jawaban tertentu sudah jelas, kode tersebut ditulis pada
kolom (kotak) tertentu pada lembaran kode atau kartu tabulasi
6. Apabila ada kesulitan dalam menentukan kode jawaban yang tepat,
jawaban tersebut perlu ditulis pada lembaran khusus “jawaban belum
dapat dikode” dan kemudian ditanyakan kepada pengawas.
BAB 12
PENGOLAHAN DATA
Setelah penyusunan buku kode dan mengkode data, peneliti siap mengolah
data. Ada beberapa langkah yang perlu dikerjakan dalam pengolahan data.
Pertama, memasukkan data ke dalam kartu atau berkas (file) data. Kedua,
membuat tabel frekuensi atau tabel silang (silang dua atau tiga variabel). Ketiga,
mengedit yaitu mengkoreksi kesalahan-kesalahan yang ditemui setelah membaca
tabel frekuensi atau tabel silang. Mengedit sangat penting untuk menghilangkan
kesalahan-kesalahan yang muncul dalam proses pengumpulan atau memasukkan
data. Tidak sedikit peneliti di Indonesia cenderung mengabaikan proses ini.
Akibatnya dapat menimbulkan kesalahan dalam analisa dan penulisan laporan.
Data yang telah dikode perlu dipindahkan ke dalam kartu atau berkas data. Cara
merekam data dapat dilakukan dengan menggunakan:

1. Kartu Tabulasi

2. Komputer
Setelah membaca hasil tabel frekuensi dan tabel silang, kadang-kadang
ditemui frekuensi data yang tidak konsisten antara satu tabel dengan tabel lainnya.
Kesalahan itu dapat terjadi pada waktu (1) mengisi kuisioner, (2) mengkode, (3)
memindahkan data dari lembaran kode ke komputer (bila data diolah dengan
komputer). Untuk menghilangkan kesalahan itu, data perlu diedit. Mengedit data
dapat dilakukan secara manual dan komputer.

BAB 13
PRINSIP-PRINSIP ANALISIS DATA
Penelitian diadakan dengan satu tujuan pokok, yakni menjawab
pertanyaan pertanyaan penelitian untuk mengungkap fenomena sosial atau alami
tertentu. Umtuk mencapai tujuan pokok ini peneliti peneliti merumuskan hipotesa,
mengumpulkan data, memproses data membuat analisa dan interpretasi.

Analisa data adalah proses menyederhanakan data ke dalam bentuk yang


lebih mudah dibaca dan di interpretasikan. Dalam proses ini seringkali digunakan
statistik. Proses analisa tidak berhenti sampai disini, sampai pada tahap ini
,pertanyaan-pertanyaan penelitian belum sepenuhnya terjawab. Stelah data
dianalisa dan informasi yang lebih sederhana diperoleh, hasil-hasinya harus
diinterpretassi untuk mencari makna dan implikasi yang lebih luas dari hasil-hasil
penelitian

Proses analisa ini kemudian dilanjutkan lebih jauh. Hasil analisa yakni
koefisiensi korelasi harus di interpretasi lebih lanjut, dalam proses interpretasi ini
ada serangkaian pertanyaan yang harus dujawab oleh peneliti. Untuk data yang
bersambungan biasanya dipakai bermacam-macam teknik statistik.

Analisis satu variabel: tabel frekuensi

Langkah pertama dalam analisis data adalah menyusun tabel


frekuensi.tabel frekuensi disusun untuk semua variabel penelitian secara tersebdiri

Tabel-tabel frekuensi mempunyai berbagai fungsi, antara lain untuk


1. Mencek apakah apakah jawaban responden atas suatu pertanyaan adalah
konsisten atas pertanyaan lainya (terutama pada pertanyaan-pertanyaan
untuk menyaring responden)

2. Mendapatkan deskripsi ciri atau karasteristik responden atas dasar analisa


satu variabel tertentu

3. Mempelajari distribusi variabel-variabel penelitian

4. Menetukan klasivikasi yang paling baik untuk tabulas silang

Bentuk Tabel Frekuensi

Tabel-tabel frekuensi biasanya memuat dua kolom, yaitu jumlah frekuensi


dan presentase untuk setiapa kategori. Jika ada keteranga yang tidak berlaku untuk
beberapa responden, dapat disusun suatu kolom presentase lagi.

Alisis tiga variabel. Tabel silang dan tabel variabel kontrol

Untuk melihat pengaruh variabel kontrol terhadap hubungan antara


variabel pengaruh dan variabel terpengaruh perlu diadakan analisa elaborasi. Pada
nalisa tabulasi silang, dilakukan dengan memasukkan variabel kontrol tersebut
kedalam tabel.

Interpretasi tabel

Setelah selesai menyusun tabel , peneliti perlu memberikan interpretasi


agar kesimpulan-kesimpulan penting dapat mudah ditangkap oleh pembaca

Beberapa prinsip perlu diingat agar isu suatu tabel dapat di uraikan dengan baik

1. Pertama, amatidata yang tecantum dalam kolom total.

2. Hubungan pokok yang ingin diuji dengan tabel tersebut diuraikan secara
singkat
3. Penulis perlu mencari angka-angka yang menyimpang dari pola umum
atau dari hipotesa semula dan berusaha menerangkan mengapa hal itu
terjaadi

4. Penjelasan menegenai hasil tabel baru merupakan langkah pertama dalam


analisis tabel

Grafik dan diagram

grafik atau diagram biasanya digambarkan berdasarkan tabel yang telah


disusun penulis terlebih dahulu

kai kuadtarat dan kontingensi

untuk memperkuat kesimpulan dari suatu variabel atau lebih,seorang


peneliti dapat mengunakan berbagai tes statistik

BEBERAPA PETUNJUK PRAKTIS PENYUSUNAN TABEL

Tabel yang disusun untuk suatu laporan dapat dibagi kedalm dua
kelompok; tabel teks dan tabel referense, tabel teks adalah hasil dari analisa dan
disusun untuk menceritakan sesuatu dalam laporan. Tabel referens mengandung
keterangan tambahan atau data dasar yang dilampirkan agar dapat menambah
pengetahuan pembaca

BAB 14
METODE ANALISIS STANDARISASI
metode standarisasi secara sepintas berbeda dengan metode stadarisasi
yang lazim digunakan dalam studi demografi. Perbedaannya hanya terletak pada
penerapannya.

Penerapan metode standarisasi

Metode standarisasi berwal dari penemuan variabel pengaruh, dan fariabel


kontrol. Variabel variaebl yang akan diteliti hubungannya hanyalah yang menurut
logika memiliki hubungan

Standarisasi menurut metode pullum


Untuk menjelaskan penggunaan metode standarisasi, disajikan sebuah
contoh bagaimana menganalisa hubungan variabel pengaruh dengan variabel
terpengaruh.

BAB 15
PENULISNA HASIL PENELITIAN
Tahap terakhir yang merupakan ialah hasil penelitian dalam bentuk karya
tulis
Bahasa dan ramuan lain

Penggunaan bahasa dan istilah yang rumit membuat komunikasi terhalang


karna itu memperbaiki gaya bahasa sangat ditekankan

Penulisan laporan

Laporan penelitian yang yang lengkap tidak hanya menyajikan hasil


penelitian, tetapi juga proses penelitian itu sebagai keseluruhan

Rangka karangan

Sebagai rangka karangan langkah pertama dalam menulis sebuah


karangan, buatlah rangka karangan

Anda mungkin juga menyukai