DISIPLIN HUKUM:
tentang hubungan antara Ilmu Hukum,
Teori Hukum dan Filsafat Hukum
(state of the arts)
Oleh: B. Arief Sidharta
2. Sebagai gejala sosial, hukum menyandang berbagai aspek, faset, ciri, dimensi waktu
dan ruang, serta tataran abstraksi, yang majemuk. Karena itu, hukum dapat dipelajari atau
ditelaah secara rasional-sistematikal-metodikal dari berbagai sudut pandang dan
pendekatan, artinya dari berbagai sudut pertanyaan-inti. Jika telaah rasional dari suatu
sudut pandang dan pendekatan tertentu terhadap hukum itu dikembangkan menjadi suatu
disiplin ilmiah mandiri dengan mengembangkan metode khas sendiri yang dilaksanakan
secara ketat disertai dengan pembentukan berbagai perangkat pengertian-pengertian
khusus yang dengan sengaja secara khusus diciptakan untuk mengolah obyek telaahnya
(hukum), maka terbentuklah sebuah disiplin ilmiah yang obyeknya atau pokok telaahnya
hukum. Yang dimaksud dengan disiplin ilmiah di sini adalah kegiatan intelektual yang
dipelajari untuk memperoleh pengetahuan tentang suatu bidang tertentu dari realitas atau
pemahaman mendasar tentang realitas secara rasional-sistematikal-metodikal dan terus
menerus disertai dengan pembentukan metode dan perangkat pengertian-pengertian
sebagai sarana intelektual untuk mengkompilasi, mengolah dan menata bahan-bahan
terberi dari obyek telaahnya, dan akhirnya meletakkan semua produk kegiatan intelektual
tersebut ke dalam suatu sistem. Jadi, istilah disiplin ilmiah itu menunjuk pada suatu ilmu
atau cabang ilmu yang mandiri yang didefinisikan berdasarkan masalah-pokok atau
pertanyaan-inti yang dipersoalkan di dalamnya dan metodologi terkait yang digunakan
dan dikembangkan dalam pengembanannya (cf Van den Bergh, 1974:17). Dengan kata
lain, yang membedakan ilmu yang satu dari ilmu yang lainnya bukanlah obyeknya,
melainkan masalah-pokoknya dan metodologinya, artinya: bukan obyek materiilnya
melainkan obyek formalnya. Demikianlah, dewasa ini telah muncul berbagai disiplin
ilmiah yang obyek atau pokok-telaahnya adalah hukum. Keseluruhan disiplin ilmiah
tersebut dapat disebut dengan satu istilah cakupan, yakni Disiplin Ilmiah Tentang Hukum
(sciences concerned with law, Radbruch) atau Ilmu-ilmu Hukum (Mochter
Kusumaatmadja) atau, untuk menggunakan istilah dari Meuwissen, dapat juga disebut
Pengembanan Hukum Teoritikal1 (theoretische rechtsbeoefening); istilah-istilah tersebut
1
Yang dimaksud dengan pengembanan hukum adalah kegiatan manusia berkenaan dengan dengan adanya
dan berlakunya hukum di dalam masyarakat, yang meliputi kegiatan membentuk, melaksanakan,
menerapkan, menemukan, menafsirkan, meneliti, dan secara sistematikal mempelajari dan mengajarkan
hukum. Perkataan “mengemban” artinya: memikul atau menyandang tugas dan kewajiban untuk
2
tadi semuanya menunjuk pada kegiatan akal-budi untuk secara ilmiah (rasional-
sistematikal-metodikal, terargumentasi dan terus menerus) berupaya memperoleh
pengetahuan tentang hukum dan penguasaan intelektual atas hukum.
3. Berbagai disiplin ilmiah yang mempelajari hukum sebagai obyeknya itu, dapat kita
kelompokkan dengan mengacu patokan tertentu. Jika kita berpatokan pada titik-berdiri
(standpoint) penstudinya, maka dapat kita bedakan ke dalam dua kelompok, yakni gugus
Disiplin Hukum dan gugus Disiplin Non-hukum atau Disiplin Ilmu-ilmu Lain yang
obyek telaahnya hukum. Disiplin Hukum mempelajari obyeknya, yakni hukum, dari
sudut pendekatan internal, yakni dari dalam hukum itu sendiri dan dengan demikian
bertolak dari titik-berdiri partisipan (medespeler). Berdasarkan tataran abstraksinya,
Disiplin Hukum dapat dibedakan ke dalam Ilmu Hukum, yang di Barat biasa disebut
Dogmatika Hukum atau Rechtsdogmatiek, yang tingkat abstraksinya paling kurang
(dengan pendekatan normatif-evaluatif praktikal), Filsafat Hukum (dengan pendekatan
spekulatif-evaluatif) yang tingkat abstraksinya paling tinggi, dan Teori Hukum (dengan
pendekatan ilmiah-positif teoretikal) yang tingkat abstraksinya berada di antara Ilmu
Hukum dan Filsafat Hukum. Jan Gijssels dan Van Hoecke dalam buku “Wat is
Rechtsteorie?” menggunakan istilah Rechtswetenschap (Ilmu Hukum) untuk menunjuk
pada apa yang dalam tulisan ini disebut Disiplin Hukum. Dalam arti yang luas ini,
pengertian Ilmu Hukum itu mencakup Dogmatika Hukum, Teori Hukum dan Filsafat
Hukum. Untuk pengertian yang luas itu, Meuwissen menggunakan istilah Pengembanan
Hukum Teoritikal (theoretische rechtsbeoefening), yang dalam pandangannya mencakup
juga Sejarah Hukum, Perbandingan Hukum, Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, dan
Psikologi Hukum. Disiplin Non-hukum yang obyek-telaahnya hukum mempelajari
obyeknya dari sudut pendekatan eksternal, yakni dari luar hukum itu sendiri dan dengan
demikian bertolak dari titik-berdiri pengamat (observer, toeschouwer). Disiplin-disiplin
ilmiah ini secara empirik-positif mempelajari hukum sebagaimana ia terwujud dalam
sikap dan perilaku para warga dan pejabat masyarakat yang dapat diamati dengan
pancaindera, sehingga secara empirikal dapat diteliti dan dipelajari dengan menggunakan
metode-metode Ilmu-ilmu Sosial; ilmu-ilmu ini berupaya memaparkan keadaan
sebagaimana adanya. Hingga tahap perkembangan sekarang, disiplin-disiplin ilmiah ini
mencakup Sejarah Hukum, Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, dan Psikologi
Hukum. Tiap disiplin ilmiah ini, dalam menjalankan kegiatan penelitian dan pengkajian
terhadap obyek-telaahnya, menggunakan dan mengembangkan metode-metode yang
lazim digunakan dan dikembangkan dalam disiplin induk masing-masing (Sejarah,
Sosiologi, Antropologi, Psikologi). Di samping disiplin-disiplin empirik-positif ini,
Perbandingan Hukum dan Logika Hukum juga kini sudah berkembang sebagai disiplin
ilmiah mandiri yang obyeknya hukum.
4. Timbulnya tiap disiplin ilmiah tentang hukum itu tidak terjadi begitu saja, hanya
sekedar untuk memenuhi kuriositas para penstudinya, melainkan muncul dalam kegiatan
intelektual manusia sebagai reaksi atau tanggapan terhadap permasalahan riil yang
dihadapkan kepada masyarakat manusia pada kurun waktu yang menyebabkan disiplin
ilmiah yang bersangkutan timbul. Yang pertama-tama muncul adalah disiplin ilmiah
Filsafat Hukum dalam kultur Yunani Kuno pada sekitar abad 5 sM. Pada waktu itu terjadi
perubahan fundamental dalam kultur Yunani dari kultur yang mengacu kriteria
akseptabilitas eksternal, yakni dari luar akal-budi manusia, yaitu dari dunia supranatural
yang diungkapkan dalam bentuk mitos-mitos atau Mitologi Yunani, menjadi kultur yang
lebih mengacu kriteria akseptabilitas internal dalam akal-budi manusia sendiri, yakni
kriteria rasionalitas, yang oleh Don Martindale disebut the rational proof sebagai
criterion of acceptability, yang memunculkan refleksi kefilsafatan tentang keberadaan
manusia dan realitas dunia. Perubahan cara berpikir atau cara mempersepsi dan
memahami realitas ini (Jan Romein) menumbuhkan pertama-tama kemampuan
mengabstraksi, yakni kemampuan memahami sesuatu dengan meringkaskannya ke dalam
kesatuan pengertian (konsep). Kedua, kemampuan mengamati sesuatu dengan sikap
bebas, yakni tidak terikat oleh pikiran dan paham yang sudah ada sebelumnya, jadi tidak
begitu saja terikat pada tradisi. Ketiga, berdasarkan dua kemampuan tersebut tadi tumbuh
kemampuan untuk mengambil sikap obyektif terhadap alam sebagai obyek untuk
ditelaah, dipahami, dikuasai dan dikendalikan untuk dapat dimanfaatkan oleh manusia.
Dengan tiga kemampuan tersebut, perhatian terutama terpusat pada masalah-malasah
fundamental berkenaan dengan keberadaan (eksistensi) manusia di dunia, termasuk
kenyataan adanya ketertiban dalam masyarakat yang terkait pada adanya perangkat
kaidah perilaku, yang kepatuhan terhadapnya tidak sepenuhnya tergantung pada kemauan
bebas masing-masing warga masyarakat, yang disebut hukum. Dalam refleksi
kefilsafatan tentang hukum, pada waktu itu yang menjadi masalah pokok adalah
persoalan tentang apa hakikat hukum itu, hubungan hukum dan kekuasaan, hubungan
hukum dan moral, keadilan, kelayakan (equity), serta pengertian-pengertian kaidah
hukum, asas hukum, hak, kewajiban, kepatuhan, pertanggung-jawaban yuridik, hak milik,
perikatan, dsb. Refleksi kefilsafatan tentang hukum ini tidak atau belum sampai
diterjemahkan ke dalam pengolahan secara teknikal menjadi Ilmu Hukum. Kebutuhan
untuk itu belum ada atau belum mendesak.
5. Landasan rasional dari kultur Yunani tersebut oleh bangsa Romawi, dengan kulturnya
yang berjiwa praktikal, diolah dan dikembangkan secara pragmatikal menjadi
kemampuan dan kemahiran mengorganisasi (kemampuan berorganisasi) dalam
penyelenggaraan kehidupan sehari-hari, dalam mewujudkan dan mencapai berbagai
tujuan, khususnya urusan-urusan yang berkaitan dengan kenegaraan, kemasyarakatan dan
hukum. Prestasi gemilang di bidang ketatanegaraan, kemiliteran, hukum, penataan kota
dsb., sangat jelas mencerminkan kemampuan dan kemahiran mengorganisasi tersebut
yang telah memungkinkan Imperium Romawi untuk suatu jangka waktu yang lama
(berabad-abad) menguasai wilayah yang sangat luas yang meliputi hampir seluruh Eropa,
Asia Depan dan Afrika Utara. Wilayah yang demikian luas dengan penghuninya yang
bermacam ragam suku bangsa itu diperintah, diatur dan dikendalikan dari satu pusat
kekuasaan pemerintahan, yang berkedudukan di Roma sebagai ibukotanya, dengan
bersaranakan hukum. Dalam pandangan bangsa Romawi, hukum itu tidak berasal dari
“atas” (dunia supranatural, dewa-dewa), melainkan produk karya cipta manusia. Namun,
meskipun demikian, mereka menempatkan hukum di atas manusia dalam arti dipandang
memiliki atau diberi kekuatan obyektif, dan dengan itu berlaku secara umum sehingga
harus dihormati dan dipatuhi oleh semua orang termasuk orang-orang yang
membentuknya dan yang mengemban kekuasaan pemerintahan pada umumnya. Untuk
dapat menguasai, menata, menciptakan dan memelihara ketertiban berketenteraman
dalam masyarakat yang memungkinkan tiap orang dapat menjalani kehidupan masing-
4
6. Sesudah runtuhnya Imperium Romawi Barat sekitar 472 (Romawi Timur sekitar
1453), hampir di seluruh Eropa Barat terjadi kekacau-balauan dan perpindahan bangsa-
bangsa, yang oleh para pakar Ilmu Sejarah disebut Zaman Gelap (The Dark Ages). Situasi
itu kemudian memunculkan orang-orang kuat yang mampu membangun pusat-pusat
kekuasaan politik yang kokoh di wilayahnya masing-masing, yang menciptakan atau
memulihkan dan mempertahankan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat, dan
menumbuhkan tatanan kemasyarakatan feodalistik. Pengaturan dan penataan masyarakat
yang kemudian terorganisasi secara politikal ini selanjutnya secara yuridikal memperoleh
bentuk badan hukum publik yang sekarang dinamakan negara-bangsa (nation-state).
Pulihnya dan dapat dipertahankannya ketertiban dan keamanan itu dengan sendirinya
menyebabkan aktivitas perdagangan berkembang pesat. Perkembangan ini memunculkan
kota-kota yang masing-masing dikelilingi benteng pengamanan (fortified cities), dan
kemudian memperoleh otonomi dari penguasa politik setempat (raja, bangsawan) yang
memunculkan lembaga walikota dengan dewan kotanya (benih civil society?). Pada
waktu yang bersamaan terjadi separasi antara otoritas eklesia (kekuasaan surgawi, gereja)
dan otoritas sekular (kekuasaan duniawi), yang tidak jarang disertai konflik bersenjata.
Perkembangan kehidupan politik, sosial dan ekonomi pada waktu itu memerlukan
pengaturan dan penataan secara yuridikal yang telah memunculkan dan menghidupkan
berbagai sistem hukum pada waktu yang bersamaan, yakni Sistem Hukum Kanonik,
Sistem Hukum Sekular (Sistem Hukum Kerajaan dan Sistem Hukum Kota), Sistem
Hukum Feodal dan Manorial, serta Sistem Hukum Dagang. H.J. Berman dalam bukunya
“Law and Revolutions” menyebut abad 11 dan 12 sebagai “The Legal Century”, yakni
suatu masa yang di dalamnya terjadi “the forming of the western legal traditions”. Situasi
ini menimbulkan kebutuhan pada implimentasi dan penegakan pengaturan dan penataan
hukum yang dilakukan oleh otoritas yang berwenang untuk itu (negara, pemerintah) yang
untuk penyelenggaraannya membutuhkan jabatan-jabatan untuk melaksanakannya yang
memerlukan keahlian untuk itu, yakni pengetahuan dan kemahiran hukum yang
berintikan kemampuan berpikir yuridik. Kebutuhan ini memunculkan guru-guru, yakni
orang-orang yang mampu dan dengan bayaran mau mengajarkan pengetahuan hukum,
5
kemahiran hukum dan kemampuan berpikir yuridik. Kemudian ketika pengajaran hukum
di kota-kota berbenteng ini mulai diorganisasi, lahirlah apa yang sekarang dinamakan
universitas (semula disebut studium generale). Universitas Bologna di Italia sangat
menonjol di bidang pengajaran hukum karena kepiawaian Irnerius, seorang magister
arterium dalam mengajarkan hukum dan kemampuan berpikir yuridik dengan
bersaranakan metode skolastik, dan dipandang sebagai “the founder of law study” (F.
Wieacker). Cara pengajaran hukum bersaranakan metode skolastik yang dikembangkan
di Universitas Bologna itu kemudian menjadi model pengajaran hukum pada semua
universitas di Eropa. Bahan hukum (legal materials) yang diajarkan di universitas itu
adalah Hukum Romawi yang terkompilasi pada tahun 534, yakni Corpus Iuris Civilis
yang sesungguhnya pada abad 11 dan 12 itu sudah tidak berlaku sebagai hukum positif
lagi. Namun karena para lulusannya memiliki kemampuan berpikir yuridik yang
ditumbuhkan lewat pengajaran legal materials tersebut, maka mereka memiliki
kemampuan untuk mengemban jabatan-jabatan yang memerlukan kemampuan intelektual
tersebut yang dibutuhkan masyarakat (hakim, penasihat, sekretaris, dsb.). Dengan
kemampuan berpikir yuridik tersebut, maka para lulusan itu dalam waktu singkat dapat
memahami dan menguasai hukum positif yang berlaku di tempat ia menjalani kehidupan
dan berkarya. Kemampuan intelektual tersebut juga ternyata sangat bermanfaat untuk
digunakan dalam pembentukan kaidah hukum dan pembangunan suatu tatanan hukum
yang dibutuhkan masyarakat. Demikianlah, dalam waktu singkat, pengajaran hukum di
berbagai universitas itu telah melahirkan kelompok atau kelas ahli hukum terdidik
(juristenstand). Jadi, bersamaan dengan hadirnya universitas di Eropa lahirlah Ilmu
Hukum, yang pada waktu itu disebut studium civile (the scientific study of law), sebagai
ilmu modern pertama (H.J. Berman dalam LAW AND REVOLUTION mengatakan: “…
the legal science of the twelfth-century jurists of western Europe was a progenitor of the
modern Western sciences.”, 1983: 151) yang memiliki karakter universal yang tidak
terikat pada satu sistem hukum positif tertentu.
7. Keberadaan Ilmu Hukum sebagai ilmu yang bersifat universal atau internasional itu
berlangsung sampai Revolusi Perancis. Kemudian, setelah terbentuknya kodifikasi
napoleonik di Perancis (yang draft-nya dibuat oleh sebuah panitia yang terdiri atas a.l.
Portalis, Tronchet, Bigot de Preameneu, Malville) pada tahun 1804-1810, studi secara
ilmiah dan pengajaran hukum di universitas hanya dipusatkan pada sistem hukum yang
berlaku dari negara yang di dalamnya universitas dan kegiatan ilmiah yang obyeknya
hukum itu berkiprah (Helmut Coing). Jadi, di bawah pengaruh gerakan kodifikasi hukum
serta filsafat Rasionalisme dan Transendental Kritisisme Kant, Ilmu Hukum kehilangan
karakter internasionalnya dan memperoleh karakter nasional. Karena hanya terarah pada
upaya meneliti dan mempelajari hukum positif yang berlaku yang ditetapkan, diakui dan
ditegakkan oleh otoritas publik yang berwenang untuk itu (pemerintah), maka kegiatan
ilmiah ini memperoleh karakter dogmatikal, dan dengan itu di Eropa memperoleh nama
Dogmatika Hukum (Rechtsdogmatiek, Legal Dogmatics), yang ranah berkiprahnya
terbatas hanya pada suatu sistem hukum nasional yang berlaku di suatu wilayah negara
nasional tertentu. Pada dasarnya kegiatan pengembanan Dogmatika Hukum itu berintikan
kegiatan mengkompilasi dan menginterpretasi aturan-aturan hukum positif serta
mensistematisasi keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang berlaku, yakni produk
interpretasi tersebut tadi, ke dalam atau menjadi suatu tata-hukum nasional yang relatif
koheren (bersistem). Kegiatan menginterpretasi dan mensistematisasi aturan-aturan
hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu pada suatu waktu tertentu
dari sudut pandangan normatif itu, terarah untuk mempersiapkan pengambilan putusan
hukum konkret, atau untuk menawarkan alternatif penyelesaian atas suatu masalah
6
hukum konkret (sengketa). Walaupun jelas Dogmatika Hukum itu menyandang karakter
dan tujuan praktikal, namun, karena derajat kualitas kerasionalan cara-kerja dan metode
yang digunakan serta konsistensi pengembanannya, maka karakter keilmuannya dengan
itu tidak dengan sendirinya hilang.
ilmiah mandiri dipicu oleh kepentingan praktikal, yakni kebutuhan pada pengetahuan
hukum, termasuk tentang hukum asing, untuk tujuan pembentukan undang-undang,
unifikasi hukum pada tataran internasional, dan praktek hukum berkenaan dengan
transaksi dan perdagangan lintas batas negara. Hukum terbentuk dalam sejarah sebagai
produk dari bekerjanya berbagai faktor sosial yang meliputi faktor-faktor politik,
ekonomi, keagamaan, ideologikal, dan kultural yang berinteraksi satu dengan yang
lainnya. Jadi, hukum itu adalah produk sejarah (historisch bepaald), namun sebaliknya
segera setelah terbentuk dan efektif, hukum itu mempengaruhi berbagai faktor sosial
tersebut; dengan kata lain, hukum itu memang produk sejarah yang menjalani proses
menyejarah dan dengan itu mempengaruhi atau ikut membentuk sejarah. Pemahaman
atas hukum positif (dengan segala kemungkinan dampak dan perkembangannya di
kemudian hari), juga untuk kepentingan praktek hukum, memerlukan pemahaman atas
latar belakang sejarahnya. Karena itu Sejarah Hukum sebagai disiplin ilmiah mandiri
sudah lama menjadi perhatian baik pakar Ilmu Sejarah maupun pakar Ilmu Hukum.
Karena itu pula Van den Bergh mengatakan bahwa Ilmu Hukum tanpa Sejarah Hukum
adalah suatu contradictio in terminis, dan sejalan dengan itu, pendidikan tinggi hukum
tanpa Sejarah Hukum adalah sebuah absurditas! (1974:21) Mengingat fungsi dan tujuan
hukum dalam masyarakat, maka diktum Van den Bergh tersebut dapat dan perlu
dilengkapi dengan pernyataan bahwa kurikulum pendidikan tinggi hukum yang tidak
bermuatan Sosiologi dan Ekonomi adalah juga sebuah absurditas!
11. Pada akhir abad 19, refleksi kefilsafatan yang abstrak spekulatif dan tidak pernah
mencapai penyelesaian masalah-masalahnya secara definitif, secara umum mengalami
kemerosotan. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan ilmu-ilmu positif, terutama
Fisika, dengan metode-metodenya dan aplikasinya (teknologi dan industrialisasi)
mengalami kemajuan yang pesat dengan hasil-hasilnya yang gemilang. Sedangkan dalam
Filsafat Hukum, kepercayaan pada suatu hukum kodrat metafisikal hilang. Dogmatika
Hukum yang sangat didominasi aliran positivisme hukum yang sempit (legisme),
dirasakan normatif, terlalu teknikal, sangat praktikal dan terikat pada tempat dan waktu.
Jadi, pengembanan hukum teoretikal pada waktu itu tidak membantu para praktisi hukum
dalam menemukan penyelesaian-penyelesaian terhadap masalah-masalah hukum yang
ditimbulkan oleh perkembangan ekonomi, teknologi dan industrialisasi serta perubahan
sosial yang menyertainya. Dalam bidang hukum, perkembangan Fisika yang gemilang itu
menginspirasi dan memunculkan kebutuhan pada suatu disiplin hukum ilmiah-positif-
empirik, bebas-nilai dan tidak normatif. Kebutuhan ini memunculkan Ajaran Hukum
Umum (Allgemeine Rechtslehre), yang secara empirikal dengan metode perbandingan
berusaha menemukan hakikat hukum, dan bersifat bebas-nilai serta tidak normatif.
Keberadaan Ajaran Hukum Umum, yang dipelopori oleh John Austin, Adolf Merkel,
Felix Somlo dll, tidak mampu bertahan lama karena berupaya untuk menjadi ontologi
hukum, yakni berupaya menemukan hakikat hukum secara empirikal. Sebagai
penggantinya, Hans Kelsen memelopori lahirnya Teori Hukum sebagai teori tentang
hukum positif yang bebas-nilai dan tidak normatif, yang membatasi diri hanya pada
analisis ilmiah-positif terhadap gejala hukum positif. Namun sejak tahun 1933, Teori
Hukum mengalami kemunduran, sehubungan dengan sifat bebas-nilai dan a-normatifnya,
karena diasosiasikan dengan positivisme hukum yang mengabaikan isi kaidah dan nilai
yang dipandang telah menyustifikasi instrumentalisasi hukum untuk mencapai tujuan-
tujuan politik ideologi nasional-sosialisme Jerman (Nazi). Statusnya sebagai disiplin
ilmiah mandiri “diturunkan” menjadi sinonim dari Filsafat Hukum namun dalam posisi
sebagai “filsafat hukum kelas dua”, dan selanjutnya difungsikan sebagai matakuliah
pengantar untuk mempelajari hukum di fakultas-fakultas hukum dengan nama
8
12. Sebagai disiplin hukum mandiri, Teori Hukum (yang di Barat disebut Rechtstheorie
atau Jurisprudence yang bersinonim dengan istilah Legal Theory) bangkit kembali sejak
tahun 1970-an. Bangkitnya kembali Teori Hukum sebagai Disiplin Hukum mandiri, yang
berdasarkan tingkat keabstrakannya terletak di antara Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum
itu, diinspirasi dan dipengaruhi oleh timbulnya ilmu-ilmu baru atau cabang-cabang baru
dari ilmu-ilmu yang sudah ada, khususnya dalam lingkungan Ilmu-ilmu Manusia, seperti:
Informatika, Logika Deontik, Kibernika, Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum,
Psikologi Hukum (Gijssels-Hoecke). Disiplin-disiplin ilmiah tentang hukum itu
menghasilkan gambaran tentang hukum yang berbeda-beda, artinya disiplin ilmiah yang
satu menghasilkan gambaran tentang hukum yang berbeda dengan gambaran yang
dihasilkan oleh disiplin ilmiah yang lainnya. Gambaran yang bermacam ragam tentang
hukum itu “membingungkan” para praktisi hukum. Ilmu Hukum tidak dalam posisi untuk
mengakomodasi (menampung dan mengolah) produk berbagai disiplin ilmiah tentang
hukum, yang sesungguhnya sangat penting itu, untuk dapat dimanfaatkan dalam praktek
hukum, sedangkan Filsafat Hukum terlalu abstrak-spekulatif untuk itu. Dengan kata lain,
keberadaan berbagai disiplin ilmiah tentang hukum itu memunculkan “the challenge of
synthesis” (Selznick-Nonet). Upaya untuk menjawab tantangan ini secara sistematikal-
metodikal-rasional kemudian memunculkan atau membangkitkan kembali Teori Hukum
sebagai disiplin hukum mandiri yang secara hakiki bersifat interdisipliner. Teori Hukum
berupaya untuk mengolah semua hasil penelitian berbagai disiplin ilmiah, terutama
disiplin-disiplin ilmiah yang obyeknya hukum, menjadi suatu keseluruhan yang koheren
agar dapat, di satu pihak menarik kesimpulan-kesimpulan yang cocok untuk
pembentukan teknik-teknik hukum dan pembentukan konsep-konsep yuridik (yang baru)
sehingga dapat digunakan dalam pengembanan Ilmu Hukum pada waktu menanggulangi
masalah-masalah hukum baru atau memberikan penyelesaian yang lebih baik terhadap
masalah-masalah hukum lama; dan, di lain pihak untuk merumuskan dan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang tepat bagi Filsafat Hukum. Sebagai disiplin ilmiah mandiri,
Teori Hukum itu adalah disiplin hukum yang secara kritikal dalam perspektif
interdisipliner menganalisis berbagai aspek dari gejala hukum secara tersendiri dan dalam
kaitan dengan keseluruhannya, baik dalam konsepsi teoretikalnya maupun dalam
pengolahan praktikalnya, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan
penjelasan yang lebih jernih atas bahan-bahan yuridikal terberi. Pokok-telaah Teori
Hukum itu mencakup: 1) Analisis Hukum yang menganalisis pengertian hukum,
pengertian dan struktur sistem hukum, sifat dan struktur kaidah hukum, pengertian dan
9
fungsi asas hukum, dan pengertian serta interrelasi konsep-konsep yuridik (misalnya,
subyek hukum, hak, kewajiban, hubungan hukum, peristiwa hukum, perikatan, tanggung-
gugat, dsb.); 2) Ajaran Metode dari hukum yang mencakup Teori Argumentasi Yuridik,
metode dari Ilmu Hukum dan metode penerapan hukum (metode pembentukan dan
penemuan hukum); 3) Ajaran Ilmu (epistemologi) dari hukum yang mempersoalkan
keilmiahan dari Ilmu Hukum; 4) Kritik Ideologi yang mencakup kritik terhadap kaidah
hukum positif dan menganalisis kaidah hukum untuk mengungkapkan kepentingan dan
ideologi yang melatar-belakanginya.
13. Dengan hadirnya Teori Hukum sebagai disiplin ilmiah yang mandiri, maka dewasa
ini sejak tahun 1970 itu terdapat tiga Disiplin Hukum mandiri yang saling berkaitan,
yakni Filsafat Hukum, Teori Hukum dan Ilmu Hukum. Dapat dikatakan bahwa
pengembanan Filsafat Hukum dan Teori Hukum pada tataran praktikal berkonvergensi ke
dalam pengembanan Ilmu Hukum.
14. Pada analisis terakhir, dewasa ini Filsafat Hukum memusatkan perhatiannya
terutama pada pengkajian dwi-tunggal pertanyaan-inti, yakni, pertama: apa landasan
mengikat dari hukum, dan kedua: apa kriteria keadilan dari kaidah hukum positif serta
sistem hukum sebagai keseluruhan. Dalam kegiatan merefleksi dwi-tunggal pertanyaan-
inti tersebut, ranah-telaah pengembanan Filsafat Hukum mencakup: 1) Ontologi Hukum
yang merefleksi hakikat hukum dan konsep-konsep fundamental terkait seperti
demokrasi, hubungan hukum dan kekuasaan, hubungan hukum dan moral; 2) Aksiologi
Hukum yang merefleksi isi dan nilai-nilai yang termuat dalam hukum seperti kelayakan,
persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran; 3) Ideologi Hukum yang merefleksi
wawasan manusia dan masyarakat yang melandasi dan melegitimasi kaidah-kaidah
hukum, pranata-pranata hukum, sistem hukum, dan bagian-bagian dari sistem hukum; 4)
Teleologi Hukum yang merefleksi makna dan tujuan hukum; 5) Epistemologi Hukum
yang merefleksi pertanyaan tentang sejauh mana pengetahuan tentang hakikat hukum dan
masalah-masalah fundamental dari Filsafat Hukum adalah sesuatu yang mungkin
dijalankan; 6) Ajaran Ilmu yang merefleksi kriteria keilmiahan dari Teori Hukum dan
metodologi dari Filsafat Hukum itu sendiri; 7) Logika Hukum yang merefleksi aturan-
aturan berpikir yuridik dan argumentasi yuridik, bangunan logikal serta struktur
arsitektural sistem hukum.
15. Yang dimaksud dengan Ilmu Hukum di sini adalah apa yang di Barat disebut
Dogmatika Hukum (di atas sudah dikemukakan bahwa istilah tersebut mulai digunakan
sejak kodifikasi napoleonik) untuk menunjuk pada kegiatan ilmiah yang melakukan
inventarisasi, interpretasi, sistematisasi dan evaluasi terhadap teks otoritatif yang
bermuatan aturan-aturan hukum yang terdiri atas produk perundang-undangan, putusan-
putusan hakim (yurisprudensi), hukum tidak tertulis dan doktrin ilmuwan hukum yang
berwibawa. Kegiatan ilmiah ini terarah untuk menjawab pertanyaan hukum dalam rangka
menemukan dan menawarkan alternatif penyelesaian yuridikal bagi masalah
kemasyarakatan konkret tertentu (baik masalah umum maupun sengketa individual)
dengan mengacu dan dalam kerangka tata-hukum yang berlaku. Jadi, pada analisis
terakhir, Ilmu Hukum itu menyandang tujuan praktikal untuk membantu para pengambil
putusan hukum dalam menetapkan apa hukumnya bagi situasi konkret tertentu, artinya
dalam menetapkan siapa berhak (berkewajiban) atas apa terhadap siapa berkenaan
dengan apa dalam situasi apa. Jadi, Ilmu Hukum adalah ilmu praktikal yang ke dalam
pengembanannya berkonvergensi semua produk ilmu-ilmu lain (khususnya Sosiologi
Hukum, Sejarah Hukum dan Filsafat Hukum) yang relevan untuk menetapkan proposisi
10
hukum yang akan ditawarkan untuk dijadikan isi putusan hukum sebagai penyelesaian
masalah hukum konkret yang dihadapi. Penetapan proposisi hukum tersebut dilakukan
berdasarkan aturan hukum positif yang dipahami (diinterpretasi) dalam konteks
keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang tertata dalam suatu sistem (sistematikal) dan latar
belakang sejarah (historikal) dalam kaitan dengan tujuan pembentukannya dan tujuan
hukum pada umumnya (teleologikal) yang menentukan isi aturan hukum positif tersebut,
dan secara kontekstual merujuk pada faktor-faktor sosiologikal dengan mengacu nilai-
nilai kultural dan kemanusiaan yang fundamental dalam proyeksi ke masa depan. Upaya
menginterpretasi aturan hukum positif itu dilakukan secara hermeneutikal dari titik
berdiri penstudi. Ilmu Praktikal adalah ilmu yang pengembanannya secara langsung
dimaksudkan untuk mempelajari cara menemukan dan menawarkan alternatif
penyelesaian terhadap masalah konkret yang secara rasional akseptabel. Sehubungan
dengan tujuan akhirnya itu, maka Ilmu Praktikal menjadi medan berkonvergensinya
berbagai produk ilmu yang relevan bagi penyelesaian masalah konkret terkait.
16. Filsafat Hukum berfungsi sebagai meta-disiplin terhadap Teori Hukum (dan juga
terhadap Ilmu Hukum), yakni memberikan landasan kefilsafatan bagi keberadaan Teori
Hukum dan Ilmu Hukum sebagai disiplin ilmiah yang mandiri. Sebagai landasan
kefilsafatan, Filsafat Hukum menjadi rujukan Ajaran Nilai (Ontologi Hukum, Aksiologi
Hukum, Ideologi Hukum dan Teleologi Hukum) dan Ajaran Ilmu (Ajaran Pengetahuan
dan Ajaran Ilmu sesungguhnya) bagi Teori Hukum. Sebaliknya, Teori Hukum
merumuskan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan fundamental berkenaan dengan
hukum kepada Filsafat Hukum untuk memperoleh pengolahan kefilsafatan. Sedangkan
Teori Hukum berfungsi sebagai meta-teori terhadap Ilmu Hukum, yakni mengolah dan
mengembangkan sarana teoretikal yang diperlukan dalam pengembanan Ilmu Hukum,
seperti Teori Argumentasi Yuridik, Teori Penemuan Hukum (metode interpretasi dan
konstruksi hukum). Sebaliknya, Ilmu Hukum menyediakan bahan-bahan empirikal untuk
diolah lebih jauh oleh Teori Hukum dan Filsafat Hukum. Tiga disiplin hukum tersebut
berfungsi sebagai sarana intelektual untuk mempedomani dalam pelaksanaan
Pengembanan Hukum Praktikal (practische rechtsbeoefening) yang mencakup kegiatan
pembentukan hukum, penerapan hukum, penegakan hukum, penemuan hukum dan
interpretasi hukum, serta bantuan hukum. Sebaliknya, Pengembanan Hukum Praktikal
menyediakan bahan-bahan empirikal untuk ditelaah dan diolah dalam Pengembanan
Hukum Teoretikal, yakni dalam kegiatan pengembanan tiga disiplin hukum tersebut tadi
dan oleh disiplin-disiplin ilmiah lainnya yang obyek-telaahnya hukum.
Apa yang diuraikan di atas tadi dapat dipaparlan dalam skema berikut ini:
11
FILSAFAT HUKUM
* Apakah hukum itu? Quid ius? * 2 masalah fundamental dalam hukum:
* hubungan hukum, moral, kekuasaan, 1. apa landasan mengikat dari hukum
keadilan, hukum kodrat, kepastian 2. apa kriteria keadilan dari hukum
META-DISIPLIN * konsep fundamental dalam hukum
Kepustakaan:
1. G.C.J.J. van den Bergh, RECHTSGESCHIEDENIS, dalam R & R, no. 1/2 , 1974.
2. H.J. Berman, LAW AND REVOLUTION. The Formation of the Western Legal
Tradition, Harvard University Press, Cambridge-Massachusett-London,
England, 1983.
3. J.J.H. Bruggink, REFLEKSI TENTANG HUKUM, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1999.
4. Helmut Coing, THE ORIGINAL UNITY OF EUROPEAN LEGAL SCIENCE, Law
and State, Vol. 11, 1977.
5. B. ter Haar Bzn, HET ADATPRIVAATRECHT VAN NEDERLANDSCH-INDIE IN
WETENSCHAP, PRAKTIJK EN ONDERWIJS, dalam VERZAMELDE GE-
SCHRIFTEN, Deel II, Noordhoff Kolff, Djakarta.
6. Gijssels-Hoecke, WAT IS RECHTSTEORIE, oleh Jan Gijssels dan Mark van
Hoecke, Kluwer Rechtswetenschappen, Antwerpen, 1982.
7. Mark van Hoecke, AARD EN METHODE VAN DE RECHTSDOGMATIEK, R & R
no.3, 1984.
8. J.M.M. Maeijer (ed.), RECHTSSOCIOLOGIE EN JURIMETRIE, Kluwer, Deventer,
1970.
9. D.H.M. Meuwissen, PENGEMBANAN HUKUM, ILMU HUKUM, TEORI HUKUM
DAN FILASAFAT HUKUM, Refika Aditama, Bandung, 2007.
10. Johnny Ibrahim, TEORI & METODOLOGI PENELITIAN HUKUM NORMATIF,
Bayumedia Publishing, Malang, 2005.
11. Don Martindale, THE NATURE AND TYPES OF SOCIOLOGICAL THEORIES,
Houghton Mifflin, 1960.
12. Nonet-Selznick, LAW AND SOCIETY IN TRANSITION. Toward a responsive law,
oleh Phillippe Nonet dan Philip Selznick, Harper & Row, New York, 1978.
13. C.A. van Peursen, STRATEGI KEBUDAYAAN, Kanisius, Yogyakarta, 1976.
14. Jan Romein, AERA EROPA. Peradaban Eropa sebagai penjimpangan dari pola
umum, Ganaco N.V., Bandung-Djakarta-Amsterdam, 1956.
15. Satjipto Rahardjo, HUKUM DALAM JAGAT KETERTIBAN, UKI Press, Jakarta,
2006.
16. Paul Scholten, STRUKTUR ILMU HUKUM (De structuur der rechtswetenschap,
1945.), Penerbit Alumni, Bandung, 2003.
17. C.J.M. Schuit, RECHTSSOCIOLOGIE: een terreinverkenning, Universiteit Pers
Rotterdam, 1971.
18. H.Ph. Visser ‘t Hooft, FILOSOFIE VAN DE RECHTSWETENSCHAP, Tjeenk
Willink, Leiden, 1988.
19. Franz Wieacker, A HISTORY OF PRIVATE LAW IN EUROPE, Clarendon Press,
Oxford, 1995.
13
SUBYEK HUKUM
PENSTUDI
sebagai
medespeler/partisipan
memunculkan
the rational proof sebagai criterion of acceptability
memunculkan
refleksi kefilsafatan tentang keberadaan manusia
dan realitas dunia
menumbuhkan
dikembangkan secara
pragmatikal menjadi
dalam
menampilkan
prestasi gemilang di bidang ketatanegaraan, kemiliter-
an, hukum, penataan kota
Imperium Romawi berhasil menguasai hampir seluruh
Eropa selama berabad-abad dikuasai dengan bersara-
nakan hukum
Sejak abad 11, hukum yang berlaku itu mulai menjadi hukum
yang dipelajari (geleerd recht): hukum dibentuk secara sadar
20
TEORI HUKUM :
* MENSINTESISKAN PRODUK ILMU-ILMU (MANUSIA)
LAIN YANG OBYEK TELAAHNYA HUKUM
* mengolah produk ilmu-ilmu lain yang obyek-nya hukum
menjadi teknik hukum sebagai masukan untuk Ilmu Hukum,
dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan fundamental untuk
diolah lebih jauh dalam Filsafat Hukum
* PEMBENTUKAN, PENGOLAHAN, PENGEMBANGAN dan
PEMANTAPAN (PEMBAKUAN) KONSEP YURIDIK
* positif-teoretikal dan tidak normatif
* TEORI HUKUM: disiplin hukum yang secara kritikal dalam
perspektif interdisipliner menganalisis berbagai aspek gejala
hukum secara tersendiri dan dalam keseluruhannya, baik dalam
konsepsi teoretikalnya maupun dalam pengolahan praktikalnya,
dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan
penjelasan yang lebih jernih atas bahan-bahan hukum tersaji
* Pokok-telaah TEORI HUKUM:
1. ANALISIS HUKUM (asas hukum, kaidah hukum, sistem
hukum, konsep-konsep yuridik)
2. METODOLOGI HUKUM
@ EPISTEMOLOGI: - Epistemologi hukum
- Filsafat Ilmu Hukum
@ METODOLOGI
- metode penelitian dalam Ilmu Hukum dan Teori Hukum
- metode pembentukan hukum
- metode penerapan hukum
- metode penemuan hukum: - metode interpretasi
- metode konstruksi
- Teori Argumentasi Yuridik (Penalaran Hukum)
- Ilmu (Teori dan Teknik) Perundang-undangan
3. KRITIK IDEOLOGI: - kritik terhadap hukum positif
- menganalisis kaidah hukum untuk
mengungkapkan kepentingan dan
ideologi yang melatar-belakanginya
22
FILSAFAT HUKUM :
* LANDASAN MENGIKAT DAN KRITERIA KEADILAN
DARI HUKUM
* ANALISIS KONSEP-KONSEP FUNDAMENTAL DALAM
HUKUM: KEADILAN, EKUITAS, KEKUASAAN, KEPAS-
TIAN HUKUM, TUJUAN HUKUM, DSB.
* Pokok-telaah FILSAFAT HUKUM :
1. ONTOLOGI HUKUM: merefleksi hakikat hukum dan
konsep-konsep fundamental dalam hukum seperti konsep
demokrasi, hubungan hukum dan kekuasaan, hubungan
hukum dan moral, dsb.
2. AKSIOLOGI HUKUM: merefleksi isi dan nilai-nilai yang
termuat dalam hukum seperti kelayakan, persamaan,
keadilan, kebebasan, kebenaran, dsb.
3. IDEOLOGI HUKUM: merefleksi wawasan manusia dan
masyarakat yang melandasi dan melegitimasi kaidah hukum,
pranata hukum, sistem hukum, bagian-bagian dari sistem
hukum
4. TELEOLOGI HUKUM: merefleksi makna dan tujuan hukum
5. EPISTEMOLOGI HUKUM: merefleksi pertanyaan tentang
sejauh mana pengetahuan tentang hakikat hukum dan
masalah-masalah fundamental dalam filsafat hukum mungkin
dijalankan akal budi manusia
6. FILSAFAT ILMU HUKUM: merefleksi landasan kefilsafat-
an dan sifat keilmuan dari Ilmu Hukum
7. LOGIKA HUKUM: merefleksi aturan-aturan berpikir yuridik
dan argumentasi yuridik, bangunan logikal serta struktur
sistem hukum.
23
DEWASA INI:
TEORI HUKUM: DISIPLIN HUKUM YANG SECARA KRITIKAL
DALAM PERSPEKTIF INTERDISIPLINER MENG-
ANALISIS BERBAGAI ASPEK DARI HUKUM
SECARA TERSENDIRI DAN DALAM KESELU-
RUHANNYA, BAIK DALAM KONSEPSI TEORE-
TIKALNYA MAUPUN DALAM PENGOLAHAN
PRAKTIKALNYA, DENGAN TUJUAN UNTUK
MEMPEROLEH PEMAHAMAN YANG LEBIH
BAIK DAN PENJELASAN YANG LEBIH JERNIH
TENTANG BAHAN-BAHAN HUKUM TERBERI
* ILMU YANG MEMBERIKAN PENJELASAN TENTANG HUKUM
* ILMU MANDIRI yang berdasarkan tingkat keabstraksiannya TERLETAK
DI ANTARA DOGMATIKA HUKUM DAN FILSAFAT HUKUM
Teori Hukum:
* mempelajari hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat
* objeknya tata hukum yang konkret menurut waktu dan tempat