Anda di halaman 1dari 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/326610511

Paradigma Dalam Sosiologi Hukum

Article · July 2018

CITATIONS READS
0 12,438

1 author:

Rusdi Anto
Pusat Studi Perencanaan dan Pembangunan Masyarakat
41 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Rusdi Anto on 26 July 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Paradigma-Paradigma Dalam Sosiologi Hukum
Pendahuluan
Sebagai ilmu monografis maka Sosiologi Hukum berurusan dengan kenyataan hukum
sehari-hari (the full reality of law). Hukum tidak dapat dilihat semata-mata sebagai
sekumpulan materi hukum, seperti perundang-undangan dan putusan pengadilan,
melainkan memiliki sosok atau jati diri.
Apakah yang dinamakan ‟paradigma‟ itu? Paradigma adalah suatu istilah yang kini
amat populer dipakai dalam berbagai wacana di kalangan para akademisi untuk menyebut
adanya “suatu pangkal (an) atau pola berpikir yang akan mensyarati kepahaman interpretatif
seseorang secara individual atau sekelompok orang secara kolektif pada seluruh gugus
pengetahuan berikut teori-teori yang dikuasainya”.
Istilah ini berasal muasal dari bahasa Yunani klasik, paradeigma, dengan awal
pemaknaannya yang filosofik, yang berarti „pola atau model berpikir‟. Dari pangkalan berpikir
yang berbeda inilah, sekalipun melihat objek yang sama, orang tak ayal lagi akan
memandang objek yang sama itu dengan persepsi interpretatif dan akhirnya juga dengan
simpulan dan pandangan yang berbeda. Segelas air, sebagai misal, di satu pihak dapat
dipersepsi sebagai sebuah gelas yang berisi air, tetapi di lain pihak dapat pula.
Hukum mempunyai paradigma, yaitu suatu perspektif dasar. Adanya paradigma
tersebut membawa kita kepada kebutuhan untuk melihat hukum sebagai institusi yang
mengekspresikan paradigm tersebut. Dengan mengetahui paradigma yang ada di belakang
hukum, kita dapat memahami hukum lebih baik daripada jika tidak dapat mengetahuinya.
Istilah paradigma itu tidak hanya untuk mengisyaratkan adanya pola atau pangkal
berpikir yang berbeda, akan tetapi juga adanya potensi dan proses konflik antara berbagai
pola berpikir yang akan melahirkan apa yang disebut paradigm shift. Dijelaskan olehnya
(Thomas S. Kuhn), The Structure of Scientific Revolutions : Chicago University Press, 1962,
bahwa, sepanjang sejarah peradabannya yang panjang, komunitas-komunitas manusia itu
hanya akan dapat mempertahankan eksistensinya atas dasar kemampuannya
mengembangkan pola atau model berpikir yang sama untuk mendefinisikan pengetahuan-
pengetahuannya, dan menstrukturkannya sebagai ilmu pengetahuan yang diterima dan
diyakini bersama sebagai “yang normal dan yang paling benar”, untuk kemudian
didayagunakan sebagai penunjang kehidupan yang dipandangnya “paling normal dan paling
benar” pula.
Tetapi bersikukuh pada satu gugus pengetahuan dengan keyakinan paradigmatik tak
selamanya bertahan dalam jangka panjang. Dari sejarah ilmu pengetahuan diketahui bahwa
selalu terjadi pergeseran atau beringsutnya suatu komunitas dengan segala pengetahuan
dan ilmunya itu dari satu paradigma ke lain paradigma. Inilah yang disebut the paradigm
shift itu.
Demikianlah pola berpikir alias paradigma yang mendefinisikan pengetahuan suatu
komunitas sebagai pengetahuan yang “normal dan normal” ini hanya bisa bertahan
sepanjang kurun waktu tertentu, sampai ….. sampai suatu ketika tatkala datang krisis; ialah
ketika seluruh gugus teori pengetahuan yang “normal” ternyata tak lagi dapat
didayagunakan secara memuaskan untuk menjawabi persoalan hidup yang bermunculan,
demikian rupa sehingga terjadi kegelisahan yang mendorong orang untuk mencari teori-
teori pengetahuan baru untuk menjawabi banyak persoalan yang tak bisa dipecahkan
bersaranakan pengetahun-pengetahuan berparadigma lama, dengan “beringsut untuk
beralih” ke pengetahuan pengetahuan baru
Perbincangan mengenai teori-teori sosial tentang hukum yang dipulangkan balik ke
buah pikiran Marx, Maine, Durkheim, dan Weber sesungguhnya adalah perbincangan tentang
apa yang disebut oleh Luhman (Rechtsoziologie, 1972) sebagai awal perkembangan
Sosiologi Hukum yang klasik. Teori-teori sosial tentang hukum yang dikemukakan oleh para
pakar pada belahan akhir abad 20 ini yaitu seabad atau hampir seabad setelah masa hidup
keempat tokoh perintis tersebut di muka tentu saja sudah kian lanjut lagi, dan tak mudah
untuk masih dibilangkan sebagai awal yang klasik.
Namun begitu, asas-asas teori sosial yang mutakhir tentang hukum ini umumnya
memang bisa pula kita pulangkan balik ke buah pikiran keempat pakar (atau lima kalau saja
Eugen Ehrlich juga ikut dimasukkan ke dalam barisan) yang dibilangkan sebagai perintis-
perintis dengan pemikiran-pemikirannya yang klasik itu.
Maka tak salahlah kiranya kalau untuk mengetahui teori-teori yang telah tumbuh-
kembang hingga stadiumnya yang mutakhir kini orang bersedia menengok dan mengkaji
ulang apa yang pernah dirintiskan oleh para peletak dasar Sosiologi Hukum yang modern itu
(Wignjosoebroto, 2002).
B. Uraian Bahan Pembelajaran
Pendefenisian Paradigma
Tahun 1962 Kuhn telah memperkenalkan tentang The Structure od scientific revolution.
Istilah paradigm kemudian memasuki halaman-halaman ilmu pengetahuan. Paradigm adalah
apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota masyarakat sain. Paradigma secara
etimologis berasal dari bahasa Yunani para (di samping atau berdampingan), dan Deigma
(contoh). Dalam kerangka ilmu paradigm dipandang sebagai kerangka keyakinan (Ordering
belief framework), atau komitmen para intelektual.
Pada dasarnya, paradigma merupakan model yang dipakai ilmuan dalam kegiatan
ilmiahnya, untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dengan metoda apa
dan melalui prosedur bagaimana penggarapan itu harus dilakukan.
Istilah paradigma berasal dari istilah latin paradeigma yang artinya pola. Istilah ini oleh
Kuhn digunakan untuk menunjuk dua pengertian, pertama, totalitas konstelasi pemikiran,
keyakinan, nilai, persepsi, dan teknik yang dianut oleh akademisi, maupun praktisi disiplin
ilmu tertentu, yang memengaruhi cara pandang realitas mereka. Kedua, upaya manusia
untuk memecahkan rahasia ilmu pengetahuan, yang menjungkirbalikan semua asumsi dan
aturan yang ada.
Dalam hal ini paradigm dirumuskan sebagai;
Suatu gambaran fundamental tentang subject matter dalam suatu ilmu. Paradigma
berfungsi untuk merumuskan apa yang harus dikaji, pertanyaan-pertanyaan apa yang
harus ditanyakan dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam mengartikan
jawabab-jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit yang paling luas dari
consensus dalam suatu ilmu dan bermanfaat untuk membedakan antara suatu
komunitas keilmuan atau subkomunitas keilmuan satu denga lainnya. Paradigma
membuat penggolongan, merumuskan dan saling menghubungkan contoh-contoh,
teori-teori dan metode-metode atau alat-alat yang ada di dalamnya (Anwar, 2008).
Dalam kajian filsafat sosial dan ilmu pengetahuan sosial, yang kelak meliput juga kajian
tentang hukum nasional yang modern, ada dua paradigma yang sejak lama berebut dan silih
berganti merebut posisi dominan, baik dalam percaturan akademik maupun dalam
pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. Adapun kedua paradigma itu ialah paradigma
teologik yang etik-normatif dan paradigma saintifik yang logik-empirik. Paradigma tersebut
pertama tampil sebagai mainstream yang dominan sejak dari era falsafati kaum Stoa di masa
sejarah Yunani kuno, sebagaimana yang diwakili antara lain oleh Aristoteles (384-322 s.M.),
sedangkan paradigma yang kedua datang mencabar pada masa yang jauh lebih kemudian,
ialah masa datangnya ajaran tentang kebangkitan rasio manusia yang dikenali sebagai era
renesains, sebagaimana yang diwakili antara lain oleh Galileo dari Galilea (1564 -1642).

Paradigma Aristotelian:
Paradigma Aristotelian berpangkal pada kepahaman bahwa alam semesta ini
berhakikat sebagai suatu keteraturan atau suatu tertib (disebut„order‟ dalam bahasa Inggris)
yang sudah pre-establihed, dalam arti bahwa „sudah tercipta dan menjadi ada sejak awal
mulanya‟. Alam semesta itu sudah ada di idea Tuhan yang normatif sebelum ada dalam
wujudnya yang empirik dalam alam amatan manusia.
Lebih lanjut lagi alam pemikiran Aristoteles, semesta itu tidaklah cuma merupakan
sesuatu “ada sebelum ada” (pre-established), akan tetapi juga disifati oleh hadirnya
keselarasan (harmony) yang final dan sekaligus juga merupakan suatu rancangbangun
tatanan yang terwujud hanya karena adanya suatu penciptaan oleh Yang Maha Sempurna,
yang oleh sebab itu juga mengisyaratkan adanya tujuan subjektif Sang Maha Sempurna yang
final (causa finalis) pula, ialah kesempurnaan yang tak akan dapat
diganggu. Episteme Aristotelian yang memahamkan semesta sebagai suatu tertib tunggal
yang preestablished, finalistik, serba berkelarasan dan teleologik (teleos = tujuan) ini,
menggambarkan semesta ini sebagai suatu tertib kodrati yang telah sempurna, yang tidak
hanya „tak akan dapat diganggu‟ akan tetapi juga „tak boleh diganggu‟. Tak ayal lagi, alam
semesta ini lalu juga dipahamkan sebagai suatu alam yang berkeniscayaan mutlak karena
bersumber dari moral kesempurnaan Tuhan, yang dalam kekuasaannya sebagai Sang Khalik
adalah pencipta kebaikan dan keindahan yang tak terbantah.
Semesta merupakan ekspresi kecerdasan dan kearifan illahi, dan setiap elemen dalam
tatanan moral seperti ini (yang anorganik maupun yang organik, tak kurang-kurangnya juga
manusia) sudah dikodratkan dan karena itu haruslah pula berulahlaku menuruti keniscayaan
yang sudah kodrati itu, deikian rupa agar keteraturan dan keselarasan dalam tertib semesta
ini akan senantiasa terjaga.
Nama Gotfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) barangkali dapatlah disebut sebagai salah
seorang representasi paham Aristotelian dari masa yang boleh dibilang sezaman dengan
maraknya paham Galilean yang dikatakan sebagai perintis peletakan dasar-dasar ontologik
dan epistimologik bagi perkembangan ilmu pengetahuan fisika modern. Sebagai pemikir
dalam garis Aristotelian, alam pemikiran Leibniz tak terlalu berbeda
dengan episteme Aristotelian yang dikuasai oleh pemikiran metafisikal yang meyakini
kebenaran konsep, bahwa kehidupan semesta ini telah dikuasai sejak awal mula oleh suatu
imperativa keselarasan.
Dengan perkataan lain, alam semesta ini pada hakikatnya adalah suatu tertib
berkeselarasan yang telah terwujud secara pasti sejak awal mulanya sebagai
suatupreestablished harmonius order yang tak sekali-kali mengenal adanya pertentangan.
Leibniz menggambarkan hadirnya keselarasan semesta semisal hadirnya keselarasan yang
dimainkan oleh suatu paduan orchestra. Sekian banyak pemusik (ialah satuan-satuan yang
oleh Leibniz disebutmonad yang independen) telah “memainkan” bagian masing-masing
yang sekalipun masing-masing bertindak sendiri-sendiri secara mandiri, namun secara total
terwujudlah suatu berkeselarasan.
Dipahamkan bahwa keselarasan itu terwujud tak lain karena adanya partitur yang telah
ada dan tercipta serta ditetapkan sejak awal mula oleh sang komposer, lama sebelum musik
dimainkan oleh para monad itu dan tersaksikan secara indrawi. Partitur itu telah hadir
sebagai bagian yang inheren di dalam setiap diri satuan (pemain) yang sama-sama hadir di
dalam totalitas sistem (orkestra).
Paradigma Galilean:
Paradigma Galilean, yang mencabar paradigma lama yang Aristotelian, marak pada
suatu zaman tatkala sejumlah manusia pencari kebenaran mencoba memahami keteraturan
alam semesta ini tidak lagi berhakikat sebagai a harmonious pre-established God‟s order.
Paradigma baru ini mengetengahkan pemikiran bahwa seluruh tertib semesta
inisesungguhnya merupakan himpunan fragmen variabel dalam jumlah yang tak terhingga,
yang secara terus-menerus berhubungan secara interaktif dalam suatu proses kausalitas di
ranah indrawi, yang sekalipun tampak seperti suatu kekisruhan (chaos), yang berlangsung
secara= berterusan seolah tanpa mengenal titik henti yang final, namun yang sesungguhnya
di tengah situasi yang secara indrawi tampak kisruh itu sedang berproses secara progresif
dengan keniscayaan yang tinggi, bergerak dari suatu situasi keseimbangan yang semula ke
suatu situasi keseimbangan berikutnya, ad infinitum. Inilah yang kelak, dalam sains fisika,
disebut homeostasis.
Demikianlah akan dikatakan secara paradigmatik dalam pemikiran yang Galilean ini
bahwa semesta itu adalah sesungguhnya suatu jaringan variabel yang interaktif, yang
bergerak secara dinamik dan progresif di tengah alam indrawi yang objektif, tunduk pada
imperativa kausalitas yang berada di luar rencana dan kehendak sesiapapun.
Imperativa kausalitas ini meniscayakan terjadinya keterulangan hubungan interaktif
antar-variabel yang progresif, yang oleh sebab itu akan memungkinkan para pemantau yang
dengan tekun menyimaknya untuk menengarai adanya universalitas dalam hubungan antar-
variabel itu, yang pada gilirannya akan memungkinkan para pemantau ini dapat membuat
prediksi apa yang akan terjadi apabila satu variabel dikontrol dan/atau dihadirkan terhadap
variabel yang lain.
Di sinilah letak keistimewaan paradigma Galilean yang non-teologik melainkan
saintifik, yang memungkinkan terjadinya “transfer” dari episteme (pengetahuan yang murni
dengan idiom-idiomnya yang normatif) ke techne (pengetahuan yang aplikatif dengan
idiomidiomnya yang lugas dan rasional untuk mengatakan apa adanya).
Dari paradigma yang tak hanya mengetengahkan perlunya mengetahui berbagai
peristiwa kausalitas di alamnya yang objektif dan “buta nilai”, melainkan yang juga
menyadari adanya kemungkinan mengontrol sebab untuk memproduksi dan mereproduksi
akibat inilah lahirnya ilmu pengetahuan (science/sains) berikut berbagai metodenya untuk
memanipulasi hubungan-hubungan sebabakibat ke arah ragam-ragamnya yang tak hanya
bernilai ilmiah/saintifik tetapi juga yang teknologik.

Sejarah Perkembangan Paradigma Sosiologi Hukum


Tradisi pengungkapan ilmu ini telah ada sejak adanya manusia, namun secara
sistematis baru dimulai sejak abad ke-17, ketika Descrates dan para pengikutnya
mengembangkan positivisme, yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dewasa ini.
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang berkembang di Eropa Kontinental,
khusunya di Prancis, dengan dua eksponennya yang terkenal, Henry Saint Simon dan Aguste
Comte. Positivisme adalah suatu paham yang menuntut, agar setiap metodologi yang
dipikirkan untuk menentukan kebenaran hendaknya memerlukan realitas sebagai suatu eksis,
sebagai suatu objek yang harus dilepaskan dari sembarang macan prakonsepsi metafisis
yang subjektif sifatnya.
Positivisme dalam ilmu pengetahuan ini dibidani oleh dua pemikir Prancis, Henry Saint
Simon dan muridnya Aguste Comte. Dalam perkembangannya yang banyak
memperkenalkan positivisme ini adalah Aguste Comte dan kemudian menjadi paham filsafat
ilmu pengetahuan sejak awal abad ke-20.
Positivisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut;
1. Bebas nilai (objektif) dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan
subjek peneliti mengambil jarak dengan semesta dengan bersikap imparsial-
netral. Peneliti hanya melalui fakta-fakta yang teramati terukur maka
pengetahuan tersusun dan menjadi cerminan realitas (korespondensi).
2. Fenomenalis, pengetahuan yang abash hanya berfokus pada fenomena semesta.
Metafisika yang hanya mengandaikan sesuatu di belakang fenomena ditolak
mentah-mentah.
3. Nominalisme, positivism berfokus pada yang individual particular Karen itulah
kenyataan satu-satunya. Semua bentuk universalisme adalah semata pemahaman
dan bukan kenyataan itu sendiri.
4. Reduksionisme, alam semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat
dipersepsi.
5. Naturalisme, paham tentang keteraturan dari peristiwa-peristiwa alam, yang
menisbikan penjelasan adikodrati.
6. Mekanisme, paham yang mengatakan bahwa semua gejala alam dapat dijelaskan
secara mekanikal-determinisme seperti layaknya mesin (Anwar, 2008).
Selain Positivisme, ada juga Teori kritis. Aliran pemikiran ini lebih senang menyebut
dirinya sebagai ideologically oriented inquiry, yang merupakan suatu wacana atau cara
pandang terhadap realitas, yang mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu.
Teori kritis lahir dalam ilmu pengetahuan karena realitas cara pandang positivis
terlalu direduksi. Reduksionisme memandang bahwa alam selalu dipandang hanya dengan
menatap dari kursi goyang para ilmuan belaka dan tidak pernah turun ke lapangan secara
langsung
Dari dua perkembangan teori kritis tersebut, Hubert mencatat ada tiga karakteristik
dari teori kritis yang dikembangkan oleh Horkheimer.
Pertama, teori kritis diarahkan oleh suatu kepentingan perubahan fundamental pada
masyarakat. untuk kepentingan ini harus ditumbuhkan sikap kritis dalam
mengintepretasikan realitas yang dinilai terdistorsi.
Kedua, teori kritis dilandaskan pada pendekatan berpikir historis.
Ketiga, teori kritis ada upaya pengembangan berpikir komprehensif.
Konstruktivisme merupakan salah satu paradigm yang berhasil memikat sebagian
para ilmuan modern, konstruktivisme berpendapat bahwa alam semesta secara
epistemologis adalah sebagai hasil konstruksi sosial. Disamping itu, paham ini hampir
merupakan antithesis dari paham yang meletakan pengamatan dan objektivitas dalam
menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan.
Secara sederhana, konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan kita merupakan
konstruksi (bentukn) dari yang mengetahui sesuatu. Filsafat konstruktivisme percaya bahwa
pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahuinya. Pengetetahuan
tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang kepada orang lain. Pengetahuan
bukanlah tertentu dan deterministik tetapi sutau proses menjadi tahu.
Semua pengetahuan yang kita peroleh adalah konstruksi kita sendiri. Proses
konstrutivisme harus mempunyai kemampuan mengingat dan mengungkap kembali
pengalaman, kemampuan membandingkan, kemampuan mengambil keputusan mengenai
persamaan dan perbedaan dan kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu
dari yang lain.
Von Glaserrsfeld membedakan adanya tiga macam tahap konstruktivisme;
1. Konstruktivisme radikal adalah konstruktivisme yang mengesampingkan
hubungan pengetahuan sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi konstruktivisme
radikal, pengetahuan tidak merefleksikan suatu kenyataan ontologis subjektif
tetapi merupakan suatu pengaturan dan organisasi dari suatu dunia yang
dibentuk oleh pengalaman seseorang.
2. Realisme hipotesis, menurut aliran ini, pengetahuan (ilmiah) kita pandang
sebagai suatu hipotetsis dari struktur kenyataan dan berkembang menuju suatu
pengetahuan yang sejati, yang dekat dengan realitas.
3. Konstruktivisme yang biasa adalah filsafat yang menyatakan pengetahuan kita
merupakan suatu gambaran dari realitas itu. Pengetahuan kita dipandang
sebagai suatu gambaran yang dibentuk suatu objek dari dalam dirinya sendiri
(Anwar, 2008).

REFERENSI

Paul Johnson, Doyle, 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Penerbit PT Gramedia, Jakarta
Podgorecki, Adan Dan Christopher J. Whelan. 1987. Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum. Pt Bina
Aksara. Jakarta
Poerwadarminta, 1976,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Prilaku, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
Raharjo, Prof. Dr. Satjipto, Materi Kuliah Pengantar Ilmu Hukum. Match Day 25. Ilmu Hukum Sebagai
Ilmu Kenyataan (Bagian 1)
Umanailo, M Chairul Basrun. Desa_Sebagai_Poros_Pembangunan_Daerah. March 2018.
https://doi.org/10.31219/osf.io/gp97z
Umanailo, M Chairul Basrun. Dominasi_Modal_Ekonomi_Atas_Ranah_Politik. March 2018.
https://doi.org//10.13140/RG.2.2.21873.79207
Umanailo, M Chairul Basrun. Konsumerisme Menuju Konstruksi Masyarakat Modern. April 2018.
https://doi.org/10.17605/OSF.IO/U8SED
Umanailo, M Chairul Basrun. Mengurai_Kemiskinan_Di_Kabupaten_Buru. November 2017.
https://doi.org/10.31219/osf.io/cpgd5
Umanailo, M Chairul Basrun. Naska h_Akademik_Pedoman_Organisasi_Dan_Tata_Kerja_Pemerintah_Desa.
April 2018. https://doi.org/10.31228/osf.io/4g5q7
Umanailo, M Chairul Basrun. Naskah_Akademik_Keuangan_Desa. April 2018.
https://doi.org/10.31228/osf.io/qbzn5
Umanailo, M Chairul Basrun. Naskah_Akademik_Pedoman_Organisasi_Dan_Tata_Kerja_Pemerintah_Desa.
April 2018. https://doi.org/10.31228/osf.io/4g5q7
Umanailo, M Chairul Basrun. Teknik Praktis Grounded Theory Dalam Penelitian Kualitatif. April 2018.
https://doi.org/10.13140/RG.2.2.18448.71689
Umanailo, M Chairul Basrun._Naskah_Akademik_Badan_Permusyawaratan_Desa. April 2018.
https://doi.org/10.31228/osf.io/h5w7k
Umanailo, M Chairul Basrun._Naskah_Akademik_Badan_Usaha_Milik_Desa. April 2018.
https://doi.org/10.31228/osf.io/ua92n
Umanailo, M Chairul Basrun._Naskah_Akademik_Pedoman_Teknis_Peraturan_Desa. April 2018.
https://doi.org/10.31228/osf.io/78p3m
Umanailo, M Chairul Basrun.
Keterbatasan_Penggunaan_Teknologi_Informasi_Pada_Pelayanan_Dan_Pembelajaran_Di_Universitas_Iqra
_Buru. October 2017. https://doi.org/10.31219/osf.io/8u52p
Umanailo, M Chairul Basrun. Agama Dalam Identitas. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.34980.99202
Umanailo, M Chairul Basrun. Eksistensi_Waranggana_Dalam_Ritual_Tayub. October 2017.
https://doi.org/10.31219/osf.io/vkdb5
Umanailo, M Chairul Basrun. https://www.researchgate.net/publication/323941870 AGAMA SEBAGAI KOMODITAS
BERNEGARA, March 2018
Umanailo, M Chairul Basrun. Ilmu_Sosial_Budaya_Dasar. December 2017. https://doi.org/10.31219/osf.io/tha2u
Umanailo, M Chairul Basrun. Kajian_Dan_Analisis_Sosiologi. December 2017. https://doi.org/10.31219/osf.io/jd2qp
Umanailo, M Chairul Basrun. Kalesang_Desa_dalam_Konteks_Membangun_dari_Desa. March 2018.
https://doi.org/10.31219/osf.io/jsx9k
Umanailo, M Chairul Basrun. Konsumerisme. March 2018. https://doi.org//10.13140/RG.2.2.31101.26084
Umanailo, M Chairul Basrun. Masyarakat_Buru_Dalam_Perspektif_Kontemporer. December 2017.
https://doi.org/10.31219/osf.io/6d2g8
Umanailo, M Chairul Basrun. Mengurai Kekerasan Simbolik di Sekolah Sebuah Pemikiran Pierre Bourdiue Tentang
Habitus Dalam Pendidikan. March 2018. https://doi.org//10.13140/RG.2.2.24809.80483
Umanailo, M Chairul Basrun. Mereduksi_Multi_Partai_Untuk_Kestabilan_Pembangunan_Nasional. October 2017.
https://doi.org/10.31219/osf.io/e37fp
Umanailo, M Chairul Basrun. Naskah Akademik Tata Cara Pencalonan Pemilihan Pengangkatan Pelantikan Dan
Pemberhentian Kepala Desa. April 2018. https://doi.org/10.31228/osf.io/t62ps
Umanailo, M Chairul Basrun. Naskah_Akademik_Perlindungan_Lahan_Pertanian_Pangan_Berkelanjutan. April
2018. https://doi.org/10.31228/osf.io/rb63n
Umanailo, M Chairul Basrun. Penciptaan_Sumberdaya_Manusia_Yang_Berkarakter. October 2017.
https://doi.org/10.31219/osf.io/xnc93
Umanailo, M Chairul Basrun. Perubahan Sosial di Indonesia:Tradisi Akomodasi dan Modernisasi. March 2018.
https://doi.org/10.13140/RG.2.2.23761.22887/1
Umanailo, M Chairul Basrun. Postmodernisme_Dalam_Pandangan_Jean_Francois_Lyotard. March 2018.
https://doi.org//10.13140/RG.2.2.20300.92802
Umanailo, M Chairul Basrun. Proses Modernisasi dan Pergeseran Okupasi. March 2018.
https://doi.org/10.13140/RG.2.2.19671.78241
Umanailo, M Chairul Basrun. Ilmu Sosial Budaya Dasar. March 2015. https://doi.org/10.17605/OSF.IO/4HPWC.
Publisher: FAM PUBLISHING. ISBN: 978-602-335-212-8
Umanailo, M Chairul Basrun. publication/326518834 Sosiologi Hukum. March 2013.
https://doi.org/10.17605/OSF.IO/KHFNU. Publisher: FAM PUBLISHING. ISBN: 978-602-335-213-5
Umanailo, M Chairul Basrun. publication/326518949 Marginalisasi Buruh Tani Akibat Alih Fungsi Lahan. March
2016. https://doi.org/10.17605/OSF.IO/9CZK2. Publisher: FAM PUBLISHING. ISBN: 978-602-335-215-9
Umanailo, M Chairul Basrun. Masyarakat Buru Dalam Perspektif Kontemporer Kajian Kritis Perubahan Sosial di
Kabupaten Buru. March 2015. https://doi.org/17605/OSF.IO/KZGX3. Publisher: MEGA UTAMA. ISBN: 978-
602-72430-1-9
Umanailo, M Chairul Basrun. publication/326519121 Kajian Dan Analisis Sosiologi Dalam Bentuk Kumpulan Essay
Makalah Dan Opini. July 2015. https://doi.org/10.17605/OSF.IO/PV24. Publisher: Infinite Publisher. ISBN:
978-602-1087-84-4
Umanailo, M Chairul Basrun. Sosiologi_Hukum. December 2017. https://doi.org/10.31219/osf.io/5ymwh
Umanailo, M Chairul Basrun. Teknik Praktis Riset Fenomenologi. March 2018.
https://doi.org/110.13140/RG.2.2.19320.34563
Umanailo, M Chairul Basrun._Marginalisasi_Buruh_Tani_Akibat_Alih_Fungsi_Lahan. December 2017.
https://doi.org/10.31219/osf.io/xq96n
Waluyo., (dalam A. Santoso), 1991-1992, Menetapkan dan Merumuskan Masalah Dalam Kegiatan
Penelitian (Makalah Latihan Jabatan Metodologi Penelitian Bagi Tenaga Edukatif), UNTAG, Semarang

Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum: Paradigma, Metode Dan Masalah. Lembaga Studi Dan
Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan Untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat Dan Ekologi
(Huma). Jakarta
Zaini, Dr. Zulfi Diane S.H., M.H Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai