PENDAHULUAN
1.1
pertama
senada
dengan
apa
yang
3.
sistem hukum. Ilmu ini mengkaji persamaan dan perbedaan berbagai sistem
hukum dari berbagai negara.
4.
Rechtspolitiek (Politik Hukum), obyeknya kebijakan hukum. Menurut
paham Bellefroid politik hukum mengembangkan ius constitutum (hukum yang
berlaku) ke dalam iusconstitendum (hukum yang dicita-citakan).
5.
Algemene Reschtsleer (Ajaran Hukum Umum), obyeknya pengertianpengertian dasar hukum. Fokus kajiannya mengenai subyek hukum, obyek
hukum, hak dan kewajiban hukum, kecakapan bertindak dalam hukum (dewasa
dan di bawah umur) dan asas-asas hukum umum.
Pandangan kedua, ditinjau dari pandangan O. Notohamidjojo. Ia berpendapat
bahwa kesenian hukum mencakup :
1.
Perundang-undangan mengkaji disatu pihak politik perundang-undangan
yakni penentuan tujuan dan isi perundang-undangan. Di lain pihak teknik
perundang-undangan mengkaji cara merumuskan norma, sehingga tujuan dan isi
peraturan perundang-undangan yang dimaksud pembentuk hukum itu dapat
diekspresikan dengan jelas dan tepat serta tidak multi-tafsir.
2.
Peradilan, kesenian hukum yang berkaitan dengan fungsi hakim dalam
menerapkan hukum, menemukan hukum, dan bahkan menciptakan hukum.
Dalam literatur filsafat, termasuk filsafat hukum yang metode penulisannya
lebih didominasi oleh metode sejarah daripada metode tematik. Metode sejarah
membahas secara mendalam dan secara radikal ide-ide tentang hukum dari abad ke
abad yang dikaji dari aliran-aliran filsafat hukum dalam dimensi historiskronologis. Penulis lebih cenderung untuk mengikuti pandangan bahwa filsafat
hukum menempati kedudukan ilmu hukum dalam arti luas, dengan alasan begitu
luasnya cakupan kajian ilmu hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum sebagai
bagian dari filsafat juga dapat dimasukkan ke dalam daftar disiplin ilmu yang
1.2
mempelajari hukum.
Rumusan Masalah
1.3
1.4
b. Manfaat praktis
1. Pemerintah
Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi Pemerintah untuk menjalankan
executif yang baik.
2. Penegak Hukum
Agar dapat memberikan pemikiran alternatif terhadap penegak hukum guna
sebagai bahan informasi penegakan hukum dalam kaitannya dengan akan
berjalan sesuai dengan harapan.
3. Masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Masa Yunani
Seperti secara sepintas telah diuraikan di muka, pada masa ini diperkirakan
belum ada filsafat hukum karena perhatian para filsuf lebih ditujukan kepada alam
semesta, yaitu apa sesungguhnya yang menjadi inti alama semesta itu. Jawaban
terhadapnya berbeda-beda. Filsuf Thales mengatakan air, Anaximandros to apeiron,
yaitu suatu zat yang tak tentu sifat-sifatnya, Anaximenes mengatakan udara,
sedangkan Pitagoras menjawab bilangan. Filsuf lainnya seperti Heraklitos
berpendapat bahwa apilah yang menjadi inti alam semesta. Perihal manusia, tingkah
laku (etika), dan hukum belum memperoleh perhatian. Manusia dianggap oleh mereka
sebagai bagian dari alam semesta. Kalaupun berbicara tentang hukum, maka hukum
yang dimaksud adalah hukum dalam arti keharusa alamiah. Jadi, hukum itu tidak
terbatas pada masyarakat manusia, tetapi meliputi semesta alam (Theo Huijbers,
1982:2). Hukum yang dikenal adalah hukum alam.
Di antara para filsuf alam tersebut di atas, Pitagoraslah yang memulai
menyinggung tentang manusia. Menurut pendapatnya, tiap manusia memiliki jiwa
yang selalu berada dalam proses katarsis, yaitu pembersihan diri. Setiap kali jiwa
memiliki tibuh manusia, manusia harus melakukan pembersihan diri agar jiwa tadi
dapat masuk ke dalam kebahagiaan. Jika dinilai tidak cukup melakukan katarsis, jiwa
tidak akan memasuki lagi tubuh manusia yang lain (Lili Rasjidi, 1985:11).
b. Masa Romawi
Pada masa ini perkembangan filsafat hukum tidak segemilang pada masa
Yunani. Para ahli filsafat Romawi lebih memusatkan perhatiannya pada masalah
bagaimana hendak mempertahankn ketertiban di seluruh kawasan Kekaisaran
Romawi yang sangat luas itu. Mereka dituntut untuk lebih banyak menyumbangkan
konsep-konsep dan teknik-teknik yang berkaitan dengan hukum positif, seperti
bidang-nidang kontrak, kebendaan, dan ajaran-ajaran tentang kesalahan. (Satjipto
Rahardjo 1982:227). Namun, sumbangan pemikiran para filsuf masa ini, seperti
Polybius, Cicero, Seneca, Macus Aurelius, dan lain-lain, masih banyak pengaruhnya
hingga saat ini.
c. Abad Pertengahan
1) Masa Gelap
Masa ini dimulai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi akibat serangan
bangsa lain yang dianggap terbelakang, yang datang dari utara, yaitu yang
disebut suku-suku Germania. Tingkatan peradaban bangsa Romawi yang
hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan moral yang menjadi guideline bagi
hukum itu sendiri. Bahkan disebutkaan bahwa di atas sistem hukum positif negara,
ada sebuah sistem hukum yang lebih tinggi (lex divina), bersifat ketuhanan yang
berdasarkan atas akal budi hukum alam itu sendiri, jadi hukum alam lebih superior
dari hukum negara. Hal ini terjadi karena adanya keabsahan dari norma-norma yang
bukan makna dari tindakan-tindakan kemauan manusia; karena itu nilai-nilai yang
mereka bentuk adalah sama sekali tidak sewenang-wenang (arbitraiy), subjektif atau
relatif. Hukum alam tampil sebagai suatu hukum dari akal budi (reason) manusia dan
menyalurkan hasrat penyelidikan tentang tindakan kemauan dari seseorng yang
menampilkan diri (bertindak) sebagai legislator moral atau hukum.
Kekuatan utama dari paradigma ini tidak hanya bertumpu pada nilai moralitas
semata, namun juga berorientasi pada pencapaaian nilai-nilai keadilan bagi
masyarakat. Para pemikir hukum paradigma hukum alam, berkeyakinan bahwa
keadilan merupakan sebuh esensial (essential value) dari hukum, bahkan sering
diidentikkan sebagai sebuah nilai yang tunggal dan menyatu. Hukum memiliki
banyak tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi sebgai sebuah alat
untuk menegakkan keadilan (as a tool), namun juga berfungsi sebagai cermin rasa
keadilan dan kedaulatan rakyat suatu negara.
Pada abad ke-5 SM masih bersifat primitif, yaitu hukum masih bersifat
primitif, yaitu hukum masih dipandang sebagai suatu keharusan alamiah, baik semesta
alam maupun alamiah. Namun, pada abaad ke-4 SM para filsuf mulai insaf peran
manusia dalam membentuk hukum misalnya Socrates. Socrates menuntut upaya para
penegak hukum mengindahkan keadilan sebagai nilai yang melebihi manusia.
Demikian juga pendapat Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (348-322 SM) yang
mulai mempertimbangkan bahwa manakah aturan yang lebih adil yang harus menjadi
alat untuk mencapai tujuan hukum, walaupun mereka juga tetap mau taat pada
tuntutan-tuntutan alam sehingga zaman ini dikenal dengan zaman atau aliran hukum
alam.
Pada abad ke-8 sebelum Masehi, aliran hukum alam dalam pemikiran di
zaman Romawi dimunculkan oleh pemikir-pemikir yang dipengaruhi oleh pikiranpikiran yang berkembang di Yunani, terutama oleh pikiran Socrates, Plato, dan
Aristoteles. Salah satu tokoh Romawi yang banyak mengemukakan pemikirannya
tentang hukum alam adalah Cicero, seorang yuris dan seorang negarawan. Cicero
mengajarkan konsep tentang a true law (hukum yang benar) yang disesuaikannya
dengan right reason (penalaran yang benar), serta sesuai dengan alam, dan yang
menyebar diantara kemanusiaan dan sifat immutable dan enternal. Hukum apapun
harus bersumber dari true law itu. Pada kesempatan lain Cicero mengatakan bahwa,
kita lahir untuk keadilan. Dan hukum tidaklah didasarkan pada opini, tetapi
pada mans very nature. Selain Cicero sebagai salah seorang tokoh pemikir zaman
Romawi tersebut, maka salah satu pemikir terkenal adalah Gaius. Gaius membedakan
antara ius civile dan ius gentium. Ius Civile adalah hukum yang bersifat khusus pada
suatu negara tertentu, sedangkan ius gentium adalah hukum yang berlaku universal
yang bersumber pada akal pemikiran manusia.
Kedua zaman itu, Yunani dan Romawi mempunyai perbedaan yang konkret
mengenai pandangan terhadap hukum. Menurut pendapat Achmad Ali, pemikiran
Yunani tentang hukum lebih bersifat teoritis dan filosofis, sedangkan pemikiran
Romawi lebih menitikberatkan pada hal-hal yang praktis dan berkaitan dengan hukum
positif.
Perkembangan hukum alam mengalami kemunduran disekitar abad ke-16 dan
muncul kembali pada abad ke-19, oleh seorang bangsa Jerman yang bernama Rudolf
Semua hukum positif merupakan usaha menuju pada hukum yang adil;
b.
Hukum alam berusaha membuat suatu metode rasional yang dapat digunakan
untuk menentukan kebenaran yang relatif dari hukum dalam setiap situasi.
c.
Metode itu diharapkan menjadi pemandu jika hukum itu gagal dalam ujian dan
2.
Dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi
suatu pemisahan secara total antara yang ada sekarang dan yang seharusnya;
3. Metode untuk menemukan hukum yang sempurna;
4. Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat didiskusikan melalui akal;
5. Kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum dalam masyarakat.
Selain Friedmann dan Dias yang merupakan penggagas aliran hukum alam,
juga ada Thomas Aquinas, seorang filsuf yang terkenal melalui bukunya Summa
Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengtaur segala hal dan
bersumber dari segala hukum. Rasio ini yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra
manusia.
2.
Lex Divina, bagian dari Rasio Tuhan yang ditangkap oleh manusia berdasarkan
Lex Naturalis, inilah yang merupakan hukum alam, yaitu penjelmaan dari lex
Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh
manusia berhubungan dengan syarat khusus yang dipengaruhi oleh keadaan dunia.
f.
Zaman Modern
Gerakan kodifikasi pada zaman baru, sebagai akibat tampilnya unsur logika
manusia, ternyata kemudian melahirkan masalah yang berkaitan dengan soal keadilan.
Hal ini disebabkan oleh tertinggalnya kodifikasi itu oleh perkembangan masyarakat.
Kepincangan-kepincangan dalam kodifikasi seringkali tampil disebabkan oleh tidak
sesuainya lagi dengan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Keadaan ini mendorong
untuk mencari keadilan melalui filsafat hukum. Rudolf Stammler sering disebut oleh
para penulis filsafat hukum sebagai pelopoe dari pencarian ini.
Ciri lain dari pemikiran hukum di abad modern ini ialah tumbuhnya
pemikiran-pemikiran hukum yang berasal dari para ahli hukum yang memiliki
reputasi istimewa. Keadaan ini sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya, ketika
filsafat hukum merupakan produk dari para ahli filsafat. Nama-nama seperti Leon
Duguit (Solidarete Social), Ripert (Regle Morale), Kohler (Kulturentwicklung), Hans
Kelsen (Grundnorn), dan Roschoe Pound (Social Engineering), merupakan tokoh
penting pada abad ini.
g. Teori Positivisme
Apabila aliran sebelumnya menganggap penting hubungan antara hukum dan
moral, maka aliran hukum positif justru menganggap bahwa kedua hal tersebut
merupakan dua hal yang harus dipisahkan (Soerjono Soekanto, 1980:37-38). Di dalam
aliran ini dikenal adanya dua subaliran yang terkeal, yaitu:
-
of the Lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu
perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang
kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat
tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral, jadi dari
hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau
penilaian baik-buruk. Selanjutnya John Austin membagi hukum itu atas:
a. Hukum ciptaan Tuhan, dan
b. Hukum yang dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:
- Hukum dalam arti yang sebenarnya, yaitu yang disebut juga sebagai hukum
positif, dirinci:
- Hukum yang dibuat oleh pengusaha, seperti undang-undang, peraturan
-
Contohnya, hak wali trhadap orang yang berada di bawah perwalian, hak
-
Ajarannya tidak berkaitan dengan penelitian baik buruk, sebab penilaian ini
mazhab sejarah
Hakikat hukum semata-mata adalah perintah semua hukum positif merupakan
kennyataan
Ajarau austin dan aliran hukum positif pada umumnya kurang/tidak memberikan
tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat (Lili Rasjidi, 1985:42).
Beberapa penulis hukum menganggap bahwa sesungguhnya bukanlah John
Austin yang harus dijuluki bapak ilmu hukum Inggris, melainkan yang berhak
menyandang gelar tersebut adalah Jeremy Bentham (Satjipto Rahardjo, 1982:239;
Dias. 1976:457), sebabnya:
Bentham adalah pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodidikasikan dan
untuk merombak hukum Inggris yang baginya merupakan sesuatu yang kacau.
Tetapi Bentham lebih sering dimasukkan ke dalam Aliran Utilitarianisme,
bersama-sama dengan John Stuart Mill (1806-1873) dan Rudolf von Jhering
(1818-1889).
Buah pikiran John Austin yang tertuan dalam kedua bukunya yang terkenal,
yaitu The Province of Jurisprudence Determined dan Lectures on Jurispudence,
kemudian pada abad ke-20 ini dikembangkan lebih lanjut oleh seorang tokoh ilmu
hukum terkenal, yakni H.L.A Hart. Dalam uraiannya tentang ciri-ciri positivisme pada
ilmu hukum dewasa ini dia mengatakan:
-
Analisis terhadap konsepsi hukum dinilai penting untuk dilakukan dan haru
dibedakan dari studi yang historis maupun sosiologis, dan harus dibedakan pula
pelru dikemukakan dari Hans Kelsen (The General Theory of Law and State), yaitu
Stufenbau des Recht yang berasal dari muridnya, Adolf Merkl.
Latar belakang ajaran hukum murni ini sesungguhnya merupakan suatu
pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yaitu yang
hanya mengembangkan hukum itu sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara
totoliter (Satjipto Rahardjo, 1982:242; Allen, 1958:48). Dasar-dasar pokok teori
hukum murni Hans Kelsen, menurut Firedmann, adalah sebagai berikut:
1.
Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk
2.
3.
seharusnya ada.
Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.
4.
5.
6.
spesifik.
Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif
tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang
ada. (Satjipto Rahardjo, 1982:243).
Dari dasar-dasar yang terinci tersebut di atas cukup jelas pendirian Hans
Kelsen tentang hukum dan ilmu hukum. Dikatakan murni adalah karena hukum itu
harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, yaitu anasir etis, sosiologis,
politis, dan sejarah. Hukum itu adalah sebagai mana adanya, yaitu terdapat dalam
berbagai peraturan yang ada. Karenanya, yang dipersoalkan bukanlah bagaimana
hukum itu dan seharusnya, melainkan apa hukumnya.
Dari dasar di atas dikatakan pula bahwa ilmu hukum adalah normatif. Ini
berarti bahwa menurut pendapatHans Kelsen, hukum itu berada dalam dunia Sollen,
dan bukan dalam dunia Sein. Sifatnya adalah hipotesis, lahir karena kemauan dan akal
manusia.
Ajaran Stufenbau des Recht berpendapat bahwa sistem hukum itu merupakan
suatu hierarki dari hukum. Pada hierarki itu, suatu ketentuan hukum tertentu
bersumber pada ketentuan yang lebih tinggi. Dan ketentuan yang tertinggi ini ialah
Gundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotesis. Ketentuan yang lebih renah
merupakan kongkretisasi dan ketentuan yang lebih tinggi.
Aliran hukum alam, bisa dibilang sebagai sebuah paradigma yang paling tua
sekaligus serta paling besar pengaruhnya bagi perkembangan ilmu hukum sampai
hari ini. Teori-teori hukum yang dikembangkan setelah periode hukum alam,
sesungguhnya merupakan perkembangan atau penyempurnaan saja dari paradigma
hukum alam. Dalam teori hukum alam, hukum sebagai nilai yang universal dan selalu
hidup di sanubari orang, masyarakat maupun negara. Hal ini disebabkan karena
hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan moral yang menjadi guideline bagi
hukum itu sendiri. Bahkan disebutkaan bahwa di atas sistem hukum positif negara,
ada sebuah sistem hukum yang lebih tinggi (lex divina), bersifat ketuhanan yang
berdasarkan atas akal budi hukum alam itu sendiri, jadi hukum alam lebih superior
dari hukum negara. Hal ini terjadi karena adanya keabsahan dari norma-norma yang
bukan makna dari tindakan-tindakan kemauan manusia; karena itu nilai-nilai yang
mereka bentuk adalah sama sekali tidak sewenang-wenang (arbitraiy), subjektif atau
relatif. Hukum alam tampil sebagai suatu hukum dari akal budi (reason) manusia dan
menyalurkan hasrat penyelidikan tentang tindakan kemauan dari seseorng yang
menampilkan diri (bertindak) sebagai legislator moral atau hukum.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ada beberapa pandangan filosofi tentang keberadaan hukum adalah zaman yunani,
zaman romawi, abad pertengahan, zaman renaissance, zaman perkembangan hukum alam,
zaman modern dan teori positivisme.
Pada zaman Yunani Filsuf Thales mengatakan air, Anaximandros to apeiron, yaitu
suatu zat yang tak tentu sifat-sifatnya, Anaximenes mengatakan udara, sedangkan Pitagoras
menjawab bilangan. Filsuf lainnya seperti Heraklitos berpendapat bahwa apilah yang menjadi
inti alam semesta. Perihal manusia, tingkah laku (etika), dan hukum belum memperoleh
perhatian. Manusia dianggap oleh mereka sebagai bagian dari alam semesta. Kalaupun
berbicara tentang hukum, maka hukum yang dimaksud adalah hukum dalam arti keharusa
alamiah. Jadi, hukum itu tidak terbatas pada masyarakat manusia, tetapi meliputi semesta
alam (Theo Huijbers, 1982:2). Hukum yang dikenal adalah hukum alam.
Pada masa ini perkembangan filsafat hukum tidak segemilang pada masa Yunani. Para
ahli filsafat Romawi lebih memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana hendak
mempertahankn ketertiban di seluruh kawasan Kekaisaran Romawi yang sangat luas itu.
Mereka dituntut untuk lebih banyak menyumbangkan konsep-konsep dan teknik-teknik yang
berkaitan dengan hukum positif, seperti bidang-nidang kontrak, kebendaan, dan ajaran-ajaran
tentang kesalahan. (Satjipto Rahardjo 1982:227). Namun, sumbangan pemikiran para filsuf
masa ini, seperti Polybius, Cicero, Seneca, Macus Aurelius, dan lain-lain, masih banyak
pengaruhnya hingga saat ini.
Dalam dunia pemikiran hukum, zaman ini ditandai dengan adanya pendapat
bahwa akal manusia tidak lagi dapat dilihat sebagsi penjelmaan dari akal Tuhan. Akal
manusia terlepas dari akal ketuhanan. Akal manusia inilah yang merupakan sumber
satu-satunya dari hukum. Pangkal tolak pemikiran ini nampak pada penganut aliran
hukum alam yang rasionalistis (Hugo de Groot atau Grotius) dan para penganut
paham positivisme hukum (John Austin) bahwa logika manusia memegang peranan
penting dalam pembentukan hukum.
Gerakan kodifikasi pada zaman baru, sebagai akibat tampilnya unsur logika
manusia, ternyata kemudian melahirkan masalah yang berkaitan dengan soal keadilan.
Hal ini disebabkan oleh tertinggalnya kodifikasi itu oleh perkembangan masyarakat.
Kepincangan-kepincangan dalam kodifikasi seringkali tampil disebabkan oleh tidak
sesuainya lagi dengan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Keadaan ini mendorong
untuk mencari keadilan melalui filsafat hukum. Rudolf Stammler sering disebut oleh
para penulis filsafat hukum sebagai pelopoe dari pencarian ini.
Apabila aliran sebelumnya menganggap penting hubungan antara hukum dan
moral, maka aliran hukum positif justru menganggap bahwa kedua hal tersebut
merupakan dua hal yang harus dipisahkan (Soerjono Soekanto, 1980:37-38). Di dalam
aliran ini dikenal adanya dua subaliran yang terkeal, yaitu:
3.2
Saran
Sebagai warga negara yang baik sebaiknya kita mengetahui bagaimana
pandangan filosofi tentang keberadaan hukum yang dijalankan di negara kita sendiri
agar pengetahuan kita luas.
Tugas individu
DI SUSUN
O
L
E
H