Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang Masalah


Filsafat Hukum adalah filsafat yang merenungkan aspek filosofis dari
eksistensi hukum dan praktik hukum. Hal ini relevan dengan dalil pertama dari
lima dalil filsafat hukum yang dikemukakan oleh Meuwissen bahwa Filsafat
Hukum adalah filsafat, karena itu ia merenungkan semua masalah fundamental dan
marginal berkaitan dengan gejala hukum.
Tema utama kajian filsafat hukum meliputi tiga pilar yakni ontologi,
aksiologi dan epistemologi hukum ditambah moralitas hukum.
Ada dua pendapat mengenai penempatan filsafat hukum, yakni pendapat
bahwa filsafat hukum berdiri sendiri dan tidak dapat diklasifikasi ke dalam ilmu
hukum. Pendapat lain menyatakan bahwa filsafat hukum merupakan bagian dari
ilmu hukum.
Pendapat

pertama

senada

dengan

apa

yang

dikemukakan Bellefroid dalam Inleiding tot de Rechtsweettenschap in Nederland,


yaitu : Filsafat Hukum dan Sosiologi Hukum tidak dapat diperhitungkan sebagai
ilmu-ilmu hukum melainkan ilmu-ilmu pembantu bagi ilmu hukum. (O.
Notohamidjojo, 1994:41). Masih menurut Bellefroid, ada lima bidang hukum yang
mencakup :
1.
Rechtsdogmatiek (Ilmu Hukum Dogmatik), obyeknya hukum positif,
hukum yang ditetapkan oleh otoritas negara.
2.
Rechtsgeschiedemos (Sejarah Hukum), obyeknya sistem hukum masa
lampau. Sejarah hukum sangat penting karena menganalisis perkembangan
lembaga- lembaga hukum, figur hukum masa lampau yang mempengaruhi sistem
hukum masa kini.

3.

Rechtsvergelijking (Ilmu Hukum Perbandingan), obyeknya dua atau lebih

sistem hukum. Ilmu ini mengkaji persamaan dan perbedaan berbagai sistem
hukum dari berbagai negara.
4.
Rechtspolitiek (Politik Hukum), obyeknya kebijakan hukum. Menurut
paham Bellefroid politik hukum mengembangkan ius constitutum (hukum yang
berlaku) ke dalam iusconstitendum (hukum yang dicita-citakan).
5.
Algemene Reschtsleer (Ajaran Hukum Umum), obyeknya pengertianpengertian dasar hukum. Fokus kajiannya mengenai subyek hukum, obyek
hukum, hak dan kewajiban hukum, kecakapan bertindak dalam hukum (dewasa
dan di bawah umur) dan asas-asas hukum umum.
Pandangan kedua, ditinjau dari pandangan O. Notohamidjojo. Ia berpendapat
bahwa kesenian hukum mencakup :
1.
Perundang-undangan mengkaji disatu pihak politik perundang-undangan
yakni penentuan tujuan dan isi perundang-undangan. Di lain pihak teknik
perundang-undangan mengkaji cara merumuskan norma, sehingga tujuan dan isi
peraturan perundang-undangan yang dimaksud pembentuk hukum itu dapat
diekspresikan dengan jelas dan tepat serta tidak multi-tafsir.
2.
Peradilan, kesenian hukum yang berkaitan dengan fungsi hakim dalam
menerapkan hukum, menemukan hukum, dan bahkan menciptakan hukum.
Dalam literatur filsafat, termasuk filsafat hukum yang metode penulisannya
lebih didominasi oleh metode sejarah daripada metode tematik. Metode sejarah
membahas secara mendalam dan secara radikal ide-ide tentang hukum dari abad ke
abad yang dikaji dari aliran-aliran filsafat hukum dalam dimensi historiskronologis. Penulis lebih cenderung untuk mengikuti pandangan bahwa filsafat
hukum menempati kedudukan ilmu hukum dalam arti luas, dengan alasan begitu
luasnya cakupan kajian ilmu hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum sebagai
bagian dari filsafat juga dapat dimasukkan ke dalam daftar disiplin ilmu yang
1.2

mempelajari hukum.
Rumusan Masalah

1.3

1.4

1) Bagaimana pandangan filosofi tentang keberadaan hukum pada:


a) Zaman yunani kuno
b) Zaman romawi kuno
c) Abad pertengahan
d) Zaman renaissens
e) Zaman perkembangan hukum alam
f) Zaman modern
g) Teori positifisme
Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui dan menganalisis pandangan filosofi tentang keberadaan
hukum.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan untuk:
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat Memberikan Sumbangsih Pemikiran dalam proses
pembelajaran bagi mahasiswa.

b. Manfaat praktis
1. Pemerintah
Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi Pemerintah untuk menjalankan
executif yang baik.
2. Penegak Hukum
Agar dapat memberikan pemikiran alternatif terhadap penegak hukum guna
sebagai bahan informasi penegakan hukum dalam kaitannya dengan akan
berjalan sesuai dengan harapan.
3. Masyarakat

Penelitian ini dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat tentang


perkembangan sejarah hukum pada masa pemerintahan pada masa orde baru.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1

Pandangan Filosofi tentang Keberadaan Hukum


a.

Masa Yunani
Seperti secara sepintas telah diuraikan di muka, pada masa ini diperkirakan

belum ada filsafat hukum karena perhatian para filsuf lebih ditujukan kepada alam
semesta, yaitu apa sesungguhnya yang menjadi inti alama semesta itu. Jawaban
terhadapnya berbeda-beda. Filsuf Thales mengatakan air, Anaximandros to apeiron,
yaitu suatu zat yang tak tentu sifat-sifatnya, Anaximenes mengatakan udara,
sedangkan Pitagoras menjawab bilangan. Filsuf lainnya seperti Heraklitos
berpendapat bahwa apilah yang menjadi inti alam semesta. Perihal manusia, tingkah
laku (etika), dan hukum belum memperoleh perhatian. Manusia dianggap oleh mereka
sebagai bagian dari alam semesta. Kalaupun berbicara tentang hukum, maka hukum
yang dimaksud adalah hukum dalam arti keharusa alamiah. Jadi, hukum itu tidak

terbatas pada masyarakat manusia, tetapi meliputi semesta alam (Theo Huijbers,
1982:2). Hukum yang dikenal adalah hukum alam.
Di antara para filsuf alam tersebut di atas, Pitagoraslah yang memulai
menyinggung tentang manusia. Menurut pendapatnya, tiap manusia memiliki jiwa
yang selalu berada dalam proses katarsis, yaitu pembersihan diri. Setiap kali jiwa
memiliki tibuh manusia, manusia harus melakukan pembersihan diri agar jiwa tadi
dapat masuk ke dalam kebahagiaan. Jika dinilai tidak cukup melakukan katarsis, jiwa
tidak akan memasuki lagi tubuh manusia yang lain (Lili Rasjidi, 1985:11).

b. Masa Romawi
Pada masa ini perkembangan filsafat hukum tidak segemilang pada masa
Yunani. Para ahli filsafat Romawi lebih memusatkan perhatiannya pada masalah
bagaimana hendak mempertahankn ketertiban di seluruh kawasan Kekaisaran
Romawi yang sangat luas itu. Mereka dituntut untuk lebih banyak menyumbangkan
konsep-konsep dan teknik-teknik yang berkaitan dengan hukum positif, seperti
bidang-nidang kontrak, kebendaan, dan ajaran-ajaran tentang kesalahan. (Satjipto
Rahardjo 1982:227). Namun, sumbangan pemikiran para filsuf masa ini, seperti
Polybius, Cicero, Seneca, Macus Aurelius, dan lain-lain, masih banyak pengaruhnya
hingga saat ini.
c. Abad Pertengahan
1) Masa Gelap
Masa ini dimulai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi akibat serangan
bangsa lain yang dianggap terbelakang, yang datang dari utara, yaitu yang
disebut suku-suku Germania. Tingkatan peradaban bangsa Romawi yang

tinggi hanyalah tinggi puing-puing semata. Karena tiadanya peninggalan


apapun dari suku bangsa yang berkuasa, para ahli masa kini sukar untuk
secara pasti menentukan apa yang terjadi di masa gelap ini. Yang pasti dapat
diketahui ialah bahwa pengaruh agama kristen mulai berkembang pesat
disebabkan oleh suasana kehidupan suku-suku waktu itu yang selalu tidak
tentram akibat peperangan yang terus-menerus terjadi di kalangan mereka
sendiri atau di antara suku-suku. Manusia dalam keadaan serupa itu
memerlukan adanya ketentraman dan kedamaian, memerlukan adanya suatu
pegangan hidup yang akan mengakhiri ketidaktentraman. Agama kristen
memenuhi tuntutan tersebut. (Lili Rasjidi, 1985:13).
2) Masa Skolastik
Corak pemikiran hukum pada masa skolastik didasari oleh ajaran Kristen.
Ajaran ini dimulai setelah lahirnya mashab baru yang disebut Neo-Platonisme,
dengan Platinus sebagai tokohnya yang utama. Platinus inilah yang mulai
membangun suatu tata filsafat yang bersifat ketuhanan. Menurut pendapatnya,
Tuhan itu merupakan hakikat satu-satunya yang paling utama dan paling luhur,
yang merupakan sumbr dari segala-galanya. Bertolak dari pendapat Plato
bahwa orang harus berusaha mencapai pengetahuan yang sejati, Platinus
mengemukakan bahwa kita harus berusaha melihat Tuhan. Caranya, selain
berpikir, juga harus beribadah. Pangkal tolak pemikiran ini membuka jalan
bagi pengembangan agama kristen dalam dunia fislsafat. Neo-Platonisme lahir
di Alexandria sebagai tempat pertemuan antara filsafat menganggap St.
Augustinus yang menjembatani filsafat yunani dan alam pikiran Kristen (Lili
Rasjidi, 1985:14).
Tokoh lainnya yang amat terkenal di masa ini antara lain ialah Thomas
Aquino, Marsilius Padua, William Occam.
d. Zaman Renaissance

Ciri utama zaman ini ialah manusia menemukan kembali kepribadiannya


(renaissance berasal dari kata re, kembali, dan nasci, lahir-lahir kembali). Artinya,
alam pikirna manusia tidak terikat lagi oleh ikatan-ikatan keagamaan. Ikatan-ikatan
ini demikian kuatnya mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia pada abad
sebelumnya, yaitu abad pertengahan bagian kedua (masa skolastik). Demikian
besarnya kekuasaan gereja sehingga manusia merasa dirinya tidak berarti tanpa tuhan.
Lahirnya renaissance mengakibatkan perubahan yang tajam dalam berbagai
segi kehidupan manusia. Teknologi berkembang denga pesat, benua-benua baru
ditemukan, negara-negarabaru didirikan, tumbuh berbagai disiplin ilmu baru, dan
lain-lain.
Dalam dunia pemikiran hukum, zaman ini ditandai dengan adanya pendapat
bahwa akal manusia tidak lagi dapat dilihat sebagsi penjelmaan dari akal Tuhan. Akal
manusia terlepas dari akal ketuhanan. Akal manusia inilah yang merupakan sumber
satu-satunya dari hukum. Pangkal tolak pemikiran ini nampak pada penganut aliran
hukum alam yang rasionalistis (Hugo de Groot atau Grotius) dan para penganut
paham positivisme hukum (John Austin) bahwa logika manusia memegang peranan
penting dalam pembentukan hukum.
e. Zaman Perkembangan Hukum Alam
Aliran hukum alam, bisa dibilang sebagai sebuah paradigma yang paling tua
sekaligus serta paling besar pengaruhnya bagi perkembangan ilmu hukum sampai
hari ini. Teori-teori hukum yang dikembangkan setelah periode hukum alam,
sesungguhnya merupakan perkembangan atau penyempurnaan saja dari paradigma
hukum alam. Dalam teori hukum alam, hukum sebagai nilai yang universal dan selalu
hidup di sanubari orang, masyarakat maupun negara. Hal ini disebabkan karena

hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan moral yang menjadi guideline bagi
hukum itu sendiri. Bahkan disebutkaan bahwa di atas sistem hukum positif negara,
ada sebuah sistem hukum yang lebih tinggi (lex divina), bersifat ketuhanan yang
berdasarkan atas akal budi hukum alam itu sendiri, jadi hukum alam lebih superior
dari hukum negara. Hal ini terjadi karena adanya keabsahan dari norma-norma yang
bukan makna dari tindakan-tindakan kemauan manusia; karena itu nilai-nilai yang
mereka bentuk adalah sama sekali tidak sewenang-wenang (arbitraiy), subjektif atau
relatif. Hukum alam tampil sebagai suatu hukum dari akal budi (reason) manusia dan
menyalurkan hasrat penyelidikan tentang tindakan kemauan dari seseorng yang
menampilkan diri (bertindak) sebagai legislator moral atau hukum.
Kekuatan utama dari paradigma ini tidak hanya bertumpu pada nilai moralitas
semata, namun juga berorientasi pada pencapaaian nilai-nilai keadilan bagi
masyarakat. Para pemikir hukum paradigma hukum alam, berkeyakinan bahwa
keadilan merupakan sebuh esensial (essential value) dari hukum, bahkan sering
diidentikkan sebagai sebuah nilai yang tunggal dan menyatu. Hukum memiliki
banyak tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi sebgai sebuah alat
untuk menegakkan keadilan (as a tool), namun juga berfungsi sebagai cermin rasa
keadilan dan kedaulatan rakyat suatu negara.
Pada abad ke-5 SM masih bersifat primitif, yaitu hukum masih bersifat
primitif, yaitu hukum masih dipandang sebagai suatu keharusan alamiah, baik semesta
alam maupun alamiah. Namun, pada abaad ke-4 SM para filsuf mulai insaf peran
manusia dalam membentuk hukum misalnya Socrates. Socrates menuntut upaya para
penegak hukum mengindahkan keadilan sebagai nilai yang melebihi manusia.
Demikian juga pendapat Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (348-322 SM) yang
mulai mempertimbangkan bahwa manakah aturan yang lebih adil yang harus menjadi

alat untuk mencapai tujuan hukum, walaupun mereka juga tetap mau taat pada
tuntutan-tuntutan alam sehingga zaman ini dikenal dengan zaman atau aliran hukum
alam.
Pada abad ke-8 sebelum Masehi, aliran hukum alam dalam pemikiran di
zaman Romawi dimunculkan oleh pemikir-pemikir yang dipengaruhi oleh pikiranpikiran yang berkembang di Yunani, terutama oleh pikiran Socrates, Plato, dan
Aristoteles. Salah satu tokoh Romawi yang banyak mengemukakan pemikirannya
tentang hukum alam adalah Cicero, seorang yuris dan seorang negarawan. Cicero
mengajarkan konsep tentang a true law (hukum yang benar) yang disesuaikannya
dengan right reason (penalaran yang benar), serta sesuai dengan alam, dan yang
menyebar diantara kemanusiaan dan sifat immutable dan enternal. Hukum apapun
harus bersumber dari true law itu. Pada kesempatan lain Cicero mengatakan bahwa,
kita lahir untuk keadilan. Dan hukum tidaklah didasarkan pada opini, tetapi
pada mans very nature. Selain Cicero sebagai salah seorang tokoh pemikir zaman
Romawi tersebut, maka salah satu pemikir terkenal adalah Gaius. Gaius membedakan
antara ius civile dan ius gentium. Ius Civile adalah hukum yang bersifat khusus pada
suatu negara tertentu, sedangkan ius gentium adalah hukum yang berlaku universal
yang bersumber pada akal pemikiran manusia.
Kedua zaman itu, Yunani dan Romawi mempunyai perbedaan yang konkret
mengenai pandangan terhadap hukum. Menurut pendapat Achmad Ali, pemikiran
Yunani tentang hukum lebih bersifat teoritis dan filosofis, sedangkan pemikiran
Romawi lebih menitikberatkan pada hal-hal yang praktis dan berkaitan dengan hukum
positif.
Perkembangan hukum alam mengalami kemunduran disekitar abad ke-16 dan
muncul kembali pada abad ke-19, oleh seorang bangsa Jerman yang bernama Rudolf

Stammler. Stammler memberikan pokok-pokok pikirannya mengenai hukum alam


sebagai berikut:
a.

Semua hukum positif merupakan usaha menuju pada hukum yang adil;

b.

Hukum alam berusaha membuat suatu metode rasional yang dapat digunakan

untuk menentukan kebenaran yang relatif dari hukum dalam setiap situasi.
c.

Metode itu diharapkan menjadi pemandu jika hukum itu gagal dalam ujian dan

membawanya lebih dekat pada tujuannya.


Pada prinsipnya hukum alam bukanlah sesuatu aturan jenis hukum, melainkan
merupakan kumpulan ide atau gagasan yang keluar dari pendapat para ahli hukum,
kemudian diberikan sebuah lebel yang bernama hukum alam. Hal ini sejalan dengan
pandangan Satjipto Rahardjo yang mengatakan bahwa istilah hukum alam ini
didatangkan dalam berbagai artinya oleh berbagai kalangan dan pada masa yang
berbeda-beda pula. Dengan demikian, hakikat hukum alam merupakan hukum yaang
berlaku universal dan abadi. Sebab menurut Friedman, sejarah hukum alam
adalah absolute justice (keadilan yang mutlak) di samping kegagalan manusia dalam
mencari keadilan. Pengertian hukum alam berubah-ubah sesuai dengan perubahan
pola pikir masyarakat dan keadan politik di zaman itu.
Pendapat Friedmann di atas, sejalan dengan pendapat Dias yang mengatakan
bahwa, hukum alam itu adalah :
1.

Ideal-ideal yang menurut perkembangan hukum dan pelaksanaannya;

2.

Dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi

suatu pemisahan secara total antara yang ada sekarang dan yang seharusnya;
3. Metode untuk menemukan hukum yang sempurna;
4. Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat didiskusikan melalui akal;
5. Kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum dalam masyarakat.
Selain Friedmann dan Dias yang merupakan penggagas aliran hukum alam,
juga ada Thomas Aquinas, seorang filsuf yang terkenal melalui bukunya Summa

Theologica dan De Regimen Principum. Pemikiran yang dikemukakan oleh Thomas


Aquinas mengenai hukum alam banyak mempengaruhi gereja bahkan menjadi dasar
pemikiran gereja hingga saat ini. Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam empat
golongan, yaitu :
1.

Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengtaur segala hal dan

bersumber dari segala hukum. Rasio ini yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra
manusia.
2.

Lex Divina, bagian dari Rasio Tuhan yang ditangkap oleh manusia berdasarkan

waktu yang diterimanya.


3.

Lex Naturalis, inilah yang merupakan hukum alam, yaitu penjelmaan dari lex

aeterna di dalam rasio manusia.


4.

Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh

manusia berhubungan dengan syarat khusus yang dipengaruhi oleh keadaan dunia.
f.

Zaman Modern
Gerakan kodifikasi pada zaman baru, sebagai akibat tampilnya unsur logika

manusia, ternyata kemudian melahirkan masalah yang berkaitan dengan soal keadilan.
Hal ini disebabkan oleh tertinggalnya kodifikasi itu oleh perkembangan masyarakat.
Kepincangan-kepincangan dalam kodifikasi seringkali tampil disebabkan oleh tidak
sesuainya lagi dengan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Keadaan ini mendorong
untuk mencari keadilan melalui filsafat hukum. Rudolf Stammler sering disebut oleh
para penulis filsafat hukum sebagai pelopoe dari pencarian ini.
Ciri lain dari pemikiran hukum di abad modern ini ialah tumbuhnya
pemikiran-pemikiran hukum yang berasal dari para ahli hukum yang memiliki
reputasi istimewa. Keadaan ini sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya, ketika

filsafat hukum merupakan produk dari para ahli filsafat. Nama-nama seperti Leon
Duguit (Solidarete Social), Ripert (Regle Morale), Kohler (Kulturentwicklung), Hans
Kelsen (Grundnorn), dan Roschoe Pound (Social Engineering), merupakan tokoh
penting pada abad ini.
g. Teori Positivisme
Apabila aliran sebelumnya menganggap penting hubungan antara hukum dan
moral, maka aliran hukum positif justru menganggap bahwa kedua hal tersebut
merupakan dua hal yang harus dipisahkan (Soerjono Soekanto, 1980:37-38). Di dalam
aliran ini dikenal adanya dua subaliran yang terkeal, yaitu:
-

Aliran hukum positif yang analitis, pendasarnya adalah John Austin.


Aliran hukum positif yang murni, dipelopori oleh Hans Kelsen.
Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai a command

of the Lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu
perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang
kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat
tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral, jadi dari
hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau
penilaian baik-buruk. Selanjutnya John Austin membagi hukum itu atas:
a. Hukum ciptaan Tuhan, dan
b. Hukum yang dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:
- Hukum dalam arti yang sebenarnya, yaitu yang disebut juga sebagai hukum
positif, dirinci:
- Hukum yang dibuat oleh pengusaha, seperti undang-undang, peraturan
-

pemerintah, dan lain-lain


Hukum yang disusun atau dibuat oleh rakyat secara individual, yang
dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya.

Contohnya, hak wali trhadap orang yang berada di bawah perwalian, hak
-

kurator terhadap badan/orang dalam curatele.


Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yaitu hukum yang tidak memenuhi
persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak dibuat atau ditetapkan oleh
penguasa/badan berdaulat yang berwenang. Contohnya, ketentuan-ketentuan
yang dibuat oleh perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu dalam
bidang keolahragaan, mahasiswa, dan sebagainya. (Lili Rasjidi, 1985:41 ;
Soerjono Soekanto, 1980:38-39).
Terdapat empat unsur penting menurut Austin untuk dinamakan sebagai

hukum, yaitu: perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang


tidak mengandung keempat unsur tersebut bukanlah merupakan hukum positif,
melainkan hanyalah sebagai moral positif. Keempat unsur itu kaitannya satu dengan
yang lain dapat dijelaskan sebagai berikut: unsur perintah ini berarti bahwa satu pihak
menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, pihak yang diperintah akan
mengalami penedritaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati. Perintah itu
merupakan pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, dan yang terakhir ini
hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat. Dan
yang memiliki kedaulatan itu dapat berupa seseorang atau sekelompok orang (a
souvereign person, or a souvereign body of persons).
Dalam kaitan ajaran analitis ini, beberapa hal hendaknya menjadi perhatian,
yaitu:
-

Ajarannya tidak berkaitan dengan penelitian baik buruk, sebab penilaian ini

berada di luar bidang hukum


Apa yang dimaksud dengan kaidah moral, secara yuridis tidak penting bagi
hukum walau diakui ada pengaruhnya terhadap masyarakat

Pandangannya bertentangan, bak dengan ajaran hukum alam maupun dengan

mazhab sejarah
Hakikat hukum semata-mata adalah perintah semua hukum positif merupakan

perintah dari penguasa/ yang berdaulat


Masalah kedaulatan tak prlu dipersoalnkan, sebab berada dalam ruang lingkup
dunia politik/ sosiologi hendaknya dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam

kennyataan
Ajarau austin dan aliran hukum positif pada umumnya kurang/tidak memberikan
tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat (Lili Rasjidi, 1985:42).
Beberapa penulis hukum menganggap bahwa sesungguhnya bukanlah John

Austin yang harus dijuluki bapak ilmu hukum Inggris, melainkan yang berhak
menyandang gelar tersebut adalah Jeremy Bentham (Satjipto Rahardjo, 1982:239;
Dias. 1976:457), sebabnya:
Bentham adalah pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodidikasikan dan
untuk merombak hukum Inggris yang baginya merupakan sesuatu yang kacau.
Tetapi Bentham lebih sering dimasukkan ke dalam Aliran Utilitarianisme,
bersama-sama dengan John Stuart Mill (1806-1873) dan Rudolf von Jhering
(1818-1889).
Buah pikiran John Austin yang tertuan dalam kedua bukunya yang terkenal,
yaitu The Province of Jurisprudence Determined dan Lectures on Jurispudence,
kemudian pada abad ke-20 ini dikembangkan lebih lanjut oleh seorang tokoh ilmu
hukum terkenal, yakni H.L.A Hart. Dalam uraiannya tentang ciri-ciri positivisme pada
ilmu hukum dewasa ini dia mengatakan:
-

Hukum merupakan perintah dari manusia (command of human being).


Tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum di satu pihak dengan moral di
lain pihak, atau antara hukum yang berlaku dengan hukum yang seharusnya.

Analisis terhadap konsepsi hukum dinilai penting untuk dilakukan dan haru
dibedakan dari studi yang historis maupun sosiologis, dan harus dibedakan pula

dari penilaian yang bersifat kritis.


Pengertian bahwa sistem hukum merupakan sistem yang logis, tetap, dan bersifat
tertutup, dan di dalamnya keputusan-keputusan hukum yang tepat//benar biasanya
dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan.-peraturan hukum yang
telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik,

dan ukuran-ukuran moral.


Bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan
sebagai pernyataan kenyataan yag harus dibuktikan dengan argumentasi rasional,
pembuktian, atau percobaan (pengujian). (Lili Rasjidi, 1985:39-40; Friedmann,
1970:287; Satjipto Rahardjo. 1982:237-238; Dias, 1976:451).
Selain ajaran hukum murninya, sesungguhnya terdapat satu lagi teori yang

pelru dikemukakan dari Hans Kelsen (The General Theory of Law and State), yaitu
Stufenbau des Recht yang berasal dari muridnya, Adolf Merkl.
Latar belakang ajaran hukum murni ini sesungguhnya merupakan suatu
pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yaitu yang
hanya mengembangkan hukum itu sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara
totoliter (Satjipto Rahardjo, 1982:242; Allen, 1958:48). Dasar-dasar pokok teori
hukum murni Hans Kelsen, menurut Firedmann, adalah sebagai berikut:
1.

Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk

2.

mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity).


Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah
pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang

3.

seharusnya ada.
Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.

4.

Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan

5.

dengn persoalan efektivitas norma-norma hukum.


Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara
pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang

6.

spesifik.
Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif
tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang
ada. (Satjipto Rahardjo, 1982:243).

Dari dasar-dasar yang terinci tersebut di atas cukup jelas pendirian Hans
Kelsen tentang hukum dan ilmu hukum. Dikatakan murni adalah karena hukum itu
harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, yaitu anasir etis, sosiologis,
politis, dan sejarah. Hukum itu adalah sebagai mana adanya, yaitu terdapat dalam
berbagai peraturan yang ada. Karenanya, yang dipersoalkan bukanlah bagaimana
hukum itu dan seharusnya, melainkan apa hukumnya.
Dari dasar di atas dikatakan pula bahwa ilmu hukum adalah normatif. Ini
berarti bahwa menurut pendapatHans Kelsen, hukum itu berada dalam dunia Sollen,
dan bukan dalam dunia Sein. Sifatnya adalah hipotesis, lahir karena kemauan dan akal
manusia.
Ajaran Stufenbau des Recht berpendapat bahwa sistem hukum itu merupakan
suatu hierarki dari hukum. Pada hierarki itu, suatu ketentuan hukum tertentu
bersumber pada ketentuan yang lebih tinggi. Dan ketentuan yang tertinggi ini ialah
Gundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotesis. Ketentuan yang lebih renah
merupakan kongkretisasi dan ketentuan yang lebih tinggi.
Aliran hukum alam, bisa dibilang sebagai sebuah paradigma yang paling tua
sekaligus serta paling besar pengaruhnya bagi perkembangan ilmu hukum sampai

hari ini. Teori-teori hukum yang dikembangkan setelah periode hukum alam,
sesungguhnya merupakan perkembangan atau penyempurnaan saja dari paradigma
hukum alam. Dalam teori hukum alam, hukum sebagai nilai yang universal dan selalu
hidup di sanubari orang, masyarakat maupun negara. Hal ini disebabkan karena
hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan moral yang menjadi guideline bagi
hukum itu sendiri. Bahkan disebutkaan bahwa di atas sistem hukum positif negara,
ada sebuah sistem hukum yang lebih tinggi (lex divina), bersifat ketuhanan yang
berdasarkan atas akal budi hukum alam itu sendiri, jadi hukum alam lebih superior
dari hukum negara. Hal ini terjadi karena adanya keabsahan dari norma-norma yang
bukan makna dari tindakan-tindakan kemauan manusia; karena itu nilai-nilai yang
mereka bentuk adalah sama sekali tidak sewenang-wenang (arbitraiy), subjektif atau
relatif. Hukum alam tampil sebagai suatu hukum dari akal budi (reason) manusia dan
menyalurkan hasrat penyelidikan tentang tindakan kemauan dari seseorng yang
menampilkan diri (bertindak) sebagai legislator moral atau hukum.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Ada beberapa pandangan filosofi tentang keberadaan hukum adalah zaman yunani,
zaman romawi, abad pertengahan, zaman renaissance, zaman perkembangan hukum alam,
zaman modern dan teori positivisme.
Pada zaman Yunani Filsuf Thales mengatakan air, Anaximandros to apeiron, yaitu
suatu zat yang tak tentu sifat-sifatnya, Anaximenes mengatakan udara, sedangkan Pitagoras
menjawab bilangan. Filsuf lainnya seperti Heraklitos berpendapat bahwa apilah yang menjadi
inti alam semesta. Perihal manusia, tingkah laku (etika), dan hukum belum memperoleh
perhatian. Manusia dianggap oleh mereka sebagai bagian dari alam semesta. Kalaupun
berbicara tentang hukum, maka hukum yang dimaksud adalah hukum dalam arti keharusa
alamiah. Jadi, hukum itu tidak terbatas pada masyarakat manusia, tetapi meliputi semesta
alam (Theo Huijbers, 1982:2). Hukum yang dikenal adalah hukum alam.
Pada masa ini perkembangan filsafat hukum tidak segemilang pada masa Yunani. Para
ahli filsafat Romawi lebih memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana hendak
mempertahankn ketertiban di seluruh kawasan Kekaisaran Romawi yang sangat luas itu.
Mereka dituntut untuk lebih banyak menyumbangkan konsep-konsep dan teknik-teknik yang
berkaitan dengan hukum positif, seperti bidang-nidang kontrak, kebendaan, dan ajaran-ajaran
tentang kesalahan. (Satjipto Rahardjo 1982:227). Namun, sumbangan pemikiran para filsuf
masa ini, seperti Polybius, Cicero, Seneca, Macus Aurelius, dan lain-lain, masih banyak
pengaruhnya hingga saat ini.

Pada abad pertengahan terbagi dua masa yaitu:


1) Masa Gelap
Masa ini dimulai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi akibat serangan
bangsa lain yang dianggap terbelakang, yang datang dari utara, yaitu yang

disebut suku-suku Germania. Tingkatan peradaban bangsa Romawi yang


tinggi hanyalah tinggi puing-puing semata. Karena tiadanya peninggalan
apapun dari suku bangsa yang berkuasa, para ahli masa kini sukar untuk
secara pasti menentukan apa yang terjadi di masa gelap ini. Yang pasti dapat
diketahui ialah bahwa pengaruh agama kristen mulai berkembang pesat
disebabkan oleh suasana kehidupan suku-suku waktu itu yang selalu tidak
tentram akibat peperangan yang terus-menerus terjadi di kalangan mereka
sendiri atau di antara suku-suku. Manusia dalam keadaan serupa itu
memerlukan adanya ketentraman dan kedamaian, memerlukan adanya suatu
pegangan hidup yang akan mengakhiri ketidaktentraman. Agama kristen
memenuhi tuntutan tersebut. (Lili Rasjidi, 1985:13).
2) Masa Skolastik
Corak pemikiran hukum pada masa skolastik didasari oleh ajaran Kristen.
Ajaran ini dimulai setelah lahirnya mashab baru yang disebut Neo-Platonisme,
dengan Platinus sebagai tokohnya yang utama. Platinus inilah yang mulai
membangun suatu tata filsafat yang bersifat ketuhanan. Menurut pendapatnya,
Tuhan itu merupakan hakikat satu-satunya yang paling utama dan paling luhur,
yang merupakan sumbr dari segala-galanya. Bertolak dari pendapat Plato
bahwa orang harus berusaha mencapai pengetahuan yang sejati, Platinus
mengemukakan bahwa kita harus berusaha melihat Tuhan. Caranya, selain
berpikir, juga harus beribadah. Pangkal tolak pemikiran ini membuka jalan
bagi pengembangan agama kristen dalam dunia fislsafat. Neo-Platonisme lahir
di Alexandria sebagai tempat pertemuan antara filsafat menganggap St.
Augustinus yang menjembatani filsafat yunani dan alam pikiran Kristen (Lili
Rasjidi, 1985:14).
Tokoh lainnya yang amat terkenal di masa ini antara lain ialah Thomas
Aquino, Marsilius Padua, William Occam.

Dalam dunia pemikiran hukum, zaman ini ditandai dengan adanya pendapat
bahwa akal manusia tidak lagi dapat dilihat sebagsi penjelmaan dari akal Tuhan. Akal
manusia terlepas dari akal ketuhanan. Akal manusia inilah yang merupakan sumber
satu-satunya dari hukum. Pangkal tolak pemikiran ini nampak pada penganut aliran
hukum alam yang rasionalistis (Hugo de Groot atau Grotius) dan para penganut
paham positivisme hukum (John Austin) bahwa logika manusia memegang peranan
penting dalam pembentukan hukum.
Gerakan kodifikasi pada zaman baru, sebagai akibat tampilnya unsur logika
manusia, ternyata kemudian melahirkan masalah yang berkaitan dengan soal keadilan.
Hal ini disebabkan oleh tertinggalnya kodifikasi itu oleh perkembangan masyarakat.
Kepincangan-kepincangan dalam kodifikasi seringkali tampil disebabkan oleh tidak
sesuainya lagi dengan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Keadaan ini mendorong
untuk mencari keadilan melalui filsafat hukum. Rudolf Stammler sering disebut oleh
para penulis filsafat hukum sebagai pelopoe dari pencarian ini.
Apabila aliran sebelumnya menganggap penting hubungan antara hukum dan
moral, maka aliran hukum positif justru menganggap bahwa kedua hal tersebut
merupakan dua hal yang harus dipisahkan (Soerjono Soekanto, 1980:37-38). Di dalam
aliran ini dikenal adanya dua subaliran yang terkeal, yaitu:
3.2

Aliran hukum positif yang analitis, pendasarnya adalah John Austin.


Aliran hukum positif yang murni, dipelopori oleh Hans Kelsen.

Saran
Sebagai warga negara yang baik sebaiknya kita mengetahui bagaimana
pandangan filosofi tentang keberadaan hukum yang dijalankan di negara kita sendiri
agar pengetahuan kita luas.

Tugas individu

DI SUSUN
O
L
E
H

DEWI ANDANI ARSYAD

Program Pascasarjana (S2)


Program Studi Jurusan Ilmu Hukum
Universitas Negeri Gorontalo
2015

Anda mungkin juga menyukai