PENDAHULUAN
1
Asep Saipudin Jahar, dkk, hukum keluarga, pidana, & ekonmi, Jil 1 [Jakarta: Kencana prenada media
group, 2013], hlm.9-10
2
Ibid, hlm. 11
1
I.II Rumusan Masalah
Apa pengertian dari perkawinan, perceraian, maupun hal yang terkait
pada masalah didalamnya ?
Bagaimana penjelasan tentang masalah perjanjian perkawinan ?
Bagaimana penjelasan tentang masalah taklik perceraian ?
Bagaimana penjelasan tentang masalah perkawinan wanita hamil ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
II.I Perkawinan
Perkawinan merupakan suatu peristiwa dalam kehidupan seseorang yang
memengaruhi status hukum orang yang bersangkutan. Menurut R. Subekti
(1987: 23), perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Sedangkan menurut
Scholten (dalam S. Prawirohardjojo, 1986: 13) mendefinisikan perkawinan
adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan dengan seorang
wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara.
Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Taahun 1974 tentang perkawinan
dikeluarkan, perihal perkawinan diatur dalam buku I KUH Perdata. Satu
pasalpun tidak ada yang menjeaskan tentang kata perkawinan tersebut,
kecuali menyebutkan bahwa undang-undang memandang perihal perkawinan
hanya dalam hubungan-hubungan tentang perdata (Pasal 26 KUH Perdata).
itu artinya bahwa, Pasal 26 KUH Perdata mengakui suatu perkawinan yang
sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam
undang-undang.3 Undang-undang perkawinan 1974 mulai berlaku secara
efektif pada tanggal 1 Oktober 1975adalah undang-undang perkawinan
nasional, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umumnya.
Undang-undang perkawinan mengantung isi yang luas. Tidak saja
mengandung tentang “perkawinan” dan “perceraian”, tetapi juga mengandung
mengatur tentang kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan
anak, perwalian pembuktian asal usul anak. Selain itu juga mengatur hal-hal
yang tidak dikenal dalam hukum adat dan hukum islam seperti halnya tentang
“perjanjian perkawinan”. disamping itu tidak hanya mengatur tentang
hubungan dan perbuatan hukum perkawinan (hukum materil), juga memuat
ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan peradilan (hukum formil).4
3
I Ketut Okta Setiawan, Hukum Perorangan dan Kebendaan, Jil. I [Jakarta: Sinar Grafika, 2016], hlm. 42
4
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jil. IV [Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976], hlm. 3-4
3
pasal ini, yaitu mengatur hal-hal sebagai berikut :
1. Dasar Perkawinan (Bab I : pasal 1 s/d pasal 5)
2. Syarat-syarat perkawinan (Bab II : pasal 6 s/d pasal 12)
3. Pencegahan perkawinan (Bab III : pasal 13 s/d pasal 21)
4. Batalnya Perkawinan (Bab IV : pasal 22 s/d pasal 28)
5. Perjanjian Perkawinan (Bab V: pasal 29)
6. Hak Dan Kewajiban Suami Istri (Bab VI : pasal 30 s/d pasal 34)
7. Harta Benda Dalam Perkawinan (Bab VII : pasal 35 s/d pasal 37)
8. Putusnya perkwinan serta Akibatnya (Bab VIII : pasal 38 s/d pasal
41)
9. Kedudukan Anak (Bab IX : pasal 42 s/d pasal 44)
10. Hak Dan Kewajiban Antara Orang Tua Dan Anak (Bab X : pasal 45
s/d pasal49)
11. Perwalian (Bab XI : pasal 50 s/d pasal 54)
12. Pembuktian Asal Usul Anak (Bab XII : bagian pertama pasal 55)
13. Perkawinan Diluar Indonesia (Bab XIII : bagian kedua pasal 56)
14. Perkawinan Campuran (Bab XII :bagian ketiga pasal 57 s/d pasal 62)
15. Pengadilan (Bab XII : bagian keempat pasal 63)
16. Ketentuan Peralihan (Bab XIII : pasal 64 s/d pasal 65)
17. Ketentuan Penutup (Bab XIV : pasal 66 s/d pasal 67)5
4
membahas tentang perjanjian pernikahan dan juga taklik perceraian. Makalah ini
menerangkan bahwa pasal 29 Undang-undang perkawinan mengatur tentang
perjanjian perkawinan. Menurut ketetntuan tersebut, bahwa kedua belah pihak
atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan. Perjajnjian tersebut dapat diadakan pada waktu
atau sebelum dilangsungkan perkawinan, dengan syarat bahwa perjanjian itu tidak
boleh melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
Dalam hal perjanjian dapat disahkan, maka dianggap mulai berlaku sejak
perkawinan dilangsungkan dengan akibat pula, bahwa isi perjanjian tersebut
berlaku juga terhadap pihak ketiga yang bersangkutan. Ditetntukan pula bahwa
perjanjian selama perkawinan berlangsung, hanya dapt diubah dengan suatu
pesetujuan kedua belah pihak dan perubahan tersebut tidak merugikan pihak
ketiga. Tidak ditentukan perjanjian tersebut mengenai apa, umpamanya mengenai
harta benda . karena tidak ada pembatasan tersebut, maka dapat disimbulkan
bahwa perjanjian tersebut sangatlah luas yang dapat mengenai berbagai hal.
Dalam penjelasan pasal 29 tersebut hanya dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan “perjanjian”, itu tidak termasuk “taklik talak”.
Peraturan pelaksanaan tidak mengatur lebih lanjut bagaimana tentang
perjanjian perkawinan yang dimaksud hanya disebutkan bahwa jikalau ada
perjanjian perkawinan haris dimuat di dalam akta perkawinan (pasal 12h).
Karena adanya keharusan tersebut, maka apabila ada sesuatu perjanjian, tetapi
tidak dimuatkan di dalam akta, maka akta tersebut menjadi akta yang tidak
sempurna.7
Menurut KUH Perdatam asal usul adanya perjanjian kawin (huwelijks voor
waden) adalah dari anak kalimat pasal 119 KUH Perdata: “… sekedar mengenai
itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain”. 8 mengingat asal
adanya perjanjian kawin dalam ketetntuan harta kekayaan suami istri, maka dari
itu dapat disimpulkan bahwa isi perjanjian kawin itu hanya mengenai aturan-
aturan harta kekayaan suami istri secara menyimpang dengan ketentuan undang-
undang. Apabila ada perjanjian kawin yang isinya sama dengan harta kekayaan
suami istri menurut undang-undang, perjjanjian kawin yang demikian tanpa
7
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jil. IV [Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976], hlm. 32
8
I Ketut Okta Setiawan, Hukum Perorangan dan Kebendaan, Jil. I [Jakarta: Sinar Grafika, 2016], hlm.53
5
manfaat. Apa yang mereka janjikan itu juga sesungguhnya adalah undang-undang
bagi mereka (Pasal 1338 KUH Perdata)
Perjajnjian kawin dibuat sebelum perkawinan dan berakibat setelah
perkawinan. Perjanjian kawin setelah perkawinan tidak dapat diubah dengan cara
apapun. Anak yang belum dewasa tetapi memenuhi syarat untuk kawin dapat pula
membuat perjanjian kawin jika perkawinan dilakukan dengan izin kawin,
permintaan izin itu haruslah dilengkapi dengan cara perjanjian kawin.9
6
kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan. Perjanjian tersebut tidak dapat
disahkan bila melanggar hukum agama dan kesusilaan. Selama perkawinan,
perjanjian tidak dapat diubah, kecuali kedua pihak setuju untuk mengubahnya dan
perubahan itu tidak boleh merugikan pihak ketiga.11
11
I Ketut Okta Setiawan, Hukum Perorangan dan Kebendaan, Jil. I [Jakarta: Sinar Grafika, 2016], hlm. 54
12
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jil. IV [Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976], hlm. 38
13
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jil. IV [Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976], hlm. 37
7
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan belangsung.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/ istri.
Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.14
14
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jil. IV [Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976], hlm. 37
8
melahirkan). Namun mereka berpendapat mengenai dengan siapa mereka
(wanita hamil tersebut) boleh menikah dalam keadaan hamil.15
Imam Malik dan Hambali berpendapat bahwa wanita hamil hanya boleh
dengan yang menghamilinya. Dengan kata lain, kedua imam ini melarang
pernikahan wanita yang sedang hamil dengan seeorang laki-laki yang bukan
menghamilinya. Sedangkan Imam Syafi’I dan Hanafi memiliki pendapat
bahwa wamita hamil dibolehkan menikah dengan seorang laki-laki yang
menghamilinya dan juga dengan yang bukan menghamilinya. Jika wanita
hamil dinikahi oleh laki-laki yang bukan menghamilnya, maka wanita
tersebut tidak boleh digauli terlebih dahulu, sampai wanita tersebut
melahirkan dan masa iddahnya habis.
Dalam hal ini, kompilasi tampakya mangadopsi dan cenderung merujuk
kepada pendapat Imam Malik dan Hambali. Pasal 53 menyebutkan bahwa
wanita yang hamil diluar nikah dapat menikah dengan laki-laki yang
menghamilinya. Pernikahan yang telah dilangsungkan tidak perlu diulang
kembali ketika wanita tersbut telah melahirkan anaknya. Aturan tentang tidak
perlumya pasangan menikah kembali setelah anak yang dikandung lahir,
dilatar belakangi oleh pandangan masyarakat yang menganggap bahwa
pernikahan yang dilakukan oleh pasangan mempelai wanitanya sedang hamil
harus diulang ketika anak yang dikandung sudah dilahirkan. Mereka
memandang bahwa wanita yang melahirkan harus menalami masa iddah, dan
dan setelah masa iddah sudah habis, mereka boleh dinikahkan.16
BAB III
PENUTUP
15
Asep Saipudin Jahar, dkk, hukum keluarga, pidana, & ekonmi, Jil 1 [Jakarta: Kencana prenada media
group, 2013], hlm. 49-50.
16
Asep Saipudin Jahar, dkk, hukum keluarga, pidana, & ekonmi, Jil 1 [Jakarta: Kencana prenada media
group, 2013], hlm.
9
III.I Kesimpulan
Didalam KHI, KUH Perdata sudah diterangkan bahwa perjnjian
perkawinan, taklik talak, maupun nikah hamil sudah dicantumkan di dalam
kitab tersebut. Intinya pada perjajnjian tersebut diucapkan teruntuk kedua
mempelai yang mana isi perjajian tersebut tidak melenceng dari syri’at islam
dan juga untuk kemaslahatan. Untuk masalah takli talak, sudah diterangkan di
dalam HKI pada bab VII pasal 46.
Untuk masalah nikah hamil ada beberapa pendapat para ulama’. Disatu sisi
ada yang membolehkan menikah dengan seorang laki-laki yang tidak
menghamili perempuan tersebut, di satu sisi juga ada pendapat yang tidak
membolehkan menikahkan perempuan dengan seorang laki-laki yang tidak
menghamilinya. Jadi keputusan tersebut kita ambil tergantung keyakinan
madzhab para ulama’-ulama’ yang kita pedomani.
III.II Saran
Demikian yang dapat kami uraikan dalam makalah ini, semoga kita bisa
memahami dengan baik dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita
semua. Apabila ada tutur kata yang tidak berkenan dihati anda kami minta
maaf yang sebesar-besarnya. Kritik dan saran anda merupakan langkah yang
terbaik menuju lebih baik dalam pembuatan makalah ini sekian dan terima
kasih.
10
DAFTAR PUSTAKA
Jahar, Asep Saepudin. Dkk. 2013. Hukum Keluarga, Pidana & Ekonomi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Santoso Topo. 2014. Nikah Beda Agama. Tangerang: Imprint Penerbit Lentera
Hati
Saleh, K. Wantjik. 1976. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia
Setiawan, I Ketut Oka. 2016. Hukum Perorangan dan Kebendaan. Jakarta: Sinar
Grafika
11