Anda di halaman 1dari 10

PROBLEMATIKA PERJANJIAN PERKAWINAN SETELAH ADANYA

PUTUSAN MK NO. 69/PUU-XIII/2015

A. Pendahuluan
Pada hakikatnya manusia diciptakan secara berpasang-pasangan.
Yang mana apabila telah sampai pada waktunya, manusia pada umumnya
akan memutuskan untuk melakukan perkawinan dengan pasangannya.
Perkawinan menjadi suatu hal yang cukup kompleks untuk dibicarakan.
Sebab dengan dilakukannya suatu perkawinan, maka akan menimbulkan
suatu ikatan yang diikuti beberapa akibat yang lahir atas perkawinan
tersebut. Adapun ikatan yang timbul dari adanya suatu perkawinan bukan
hanya sekedar ikatan yang dapat dilihat oleh kasat mata.
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UU Perkawinan) juga sudah mendefinisikan bahwa:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.1”

Artinya jelaslah bahwa perkawinan juga menyangkut ikatan yang


bersifat batiniah begitu juga dengan akibat yang ditimbulkan dari adanya
suatu perkawinan. Dapat dikatakan bahwa Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan memang memandang perkawinan bukan hanya
sekedar suatu perbuatan perdata saja, melainkan juga merupakan suatu
perbuatan keagamaan.2 Hal ini juga tercermin dari syarat sah perkawinan
yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, dimana suatu
perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya.
Berbeda halnya dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUH Perdata) yang memandang perkawinan hanya dari sudut hubungan
keperdataannya saja.3 Hal ini tercermin dari bunyi Pasal 26 KUH Perdata
yaitu “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam
1
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2
P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta : Pranamedia Group, 2015, hlm. 51
3
R.S. Prawirohamidjojo dan A. Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Bandung : Alumni, 1982,
hlm. 31
hubungan-hubungan perdata.”4 Namun dalam KUH Perdata sendiri, tidak
ada dijumpai definisi tentang perkawinan. Sehingga dalam merumuskan
tentang apa itu perkawinan dari sisi KUH Perdata perlu merujuk kepada
pendapat ahli. Salah satunya adalah pendapat dari Scholten yang
menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara
seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal,
yang diakui oleh negara.5
Lebih lanjut berbicara mengenai perkawinan dalam perspektif
KUH Perdata, perkawinan termasuk ke dalam bagian tentang hukum orang
(personenrecht), dimana di dalamnya memuat tentang hukum perorangan
dan hukum kekeluargaan yang diatur pada Buku I KUH Perdata. Adapun
hukum perorangan (hukum pribadi) adalah keseluruhan ketentuan tentang
subjek hukum atau orang pribadi yang mengatur kepribadian, nama dan
tempat tinggal pribadi (naturlijke persoon). Sedangkan hukum
kekeluargaan mengatur hubungan hukum yang bersumber pada pertalian
kekeluargaan, yaitu perkawinan (Bab IV s.d. XI, Buku I KUH Perdata),
kekuasaan orang tua (Bab XII, Buku I KUH Perdata), perwalian (Bab XV,
Buku I KUH Perdata), dan pengampuan/curatele (Bab XVII, Buku I KUH
Perdata).6 Sehingga apabila berbicara mengenai isu hukum di bidang
hukum orang dan keluarga, maka isu hukum mengenai perkawinan adalah
salah satu topik yang relevan untuk dijabarkan.
Adapun isu hukum tentang perkawinan yang membuat penulis
tertarik untuk menjabarkannya adalah mengenai perjanjian perkawinan.
Dalam UU Perkawinan telah terdapat pengaturan terkait perjanjian
perkawinan yang diatur dalam bab khusus yaitu pada Bab V, Pasal 29 ayat
1-4. Dimana, dapat diartikan secara garis besar bahwa perjanjian
perkawinan adalah perjanjian yang dibuat pada waktu atau sebelum
melangsungkan perkawinan dan disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan.

4
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
5
R.S. Prawirohamidjojo dan A. Safioedin, Op.Cit, hlm. 31
6
C.S.T Kansil dan Christine S.T.K, Modul Hukum Perdata (Termasuk Asas-asas Hukum Perdata),
Jakarta : PT Pradnya Paramita, 2004, hlm. 76-77
Dari segi implementasinya, sebenarnya sebagian besar masyarakat
tidak ada membuat perjanjian perkawinan. Bahkan pejabat Kantor Urusan
Agama (KUA) atau Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil)
kurang memahami akan perjanjian perkawinan ini.7 Padahal UU
Perkawinan sendiri telah memberikan amanat bahwa perjanjian
perkawinan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Meskipun
demikian, keadaan tersebut juga bukan menjadi hal yang mengamini
bahwa perjanjian perkawinan tidak memiliki kedudukan yang krusial
dalam sebuah perkawinan, terutama untuk yang melakukan perkawinan
campuran yaitu antara WNI dengan WNA.
Atas dasar ini jugalah muncul sebuah pembaharuan dan
perkembangan hukum terkait perjanjian perkawinan. Dimana hal ini
ditandai dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-
XIII/2015 (Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015) yang memperluas makna
dari perjanjian perkawinan, dimana sebelumnya dalam UU Perkawinan
diatur bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat pada saat atau
sebelum perkawinan dilangsungkan. Dan setelah adanya Putusan MK
tersebut, terdapat penambahan klausula “atau selama dalam ikatan
perkawinan kedua belah pihak”. Artinya, perjanjian perkawinan tidak lagi
hanya dapat dibuat pada saat sebelum perkawinan dilakukan, melainkan
pada saat perkawinan itu sedang berjalan.
Namun jika berbicara mengenai pembaharuan, perkembangan
ataupun munculnya suatu produk hukum yang baru tidaklah lepas dari
beragam kajian yang membicarakan secara lebih mendalam. Salah satu
bagian dari kajian yang dimaksud dapat berupa permasalahan-
permasalahan atau dampak positif dan negatifnya. Oleh karena itu,
berangkat dari adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 yang
merupakan suatu perkembangan ataupun pembaharuan tentang perjanjian
perkawinan, penulis ingin mengkaji lebih mendalam mengenai
“Problematika Perjanjian Perkawinan Setelah Adanya Putusan MK No.
69/PUU-XIII/2015.”

7
Tan Kamelo dan Syarifah L.A, Hukum Orang & Keluarga, Medan, 2011, hlm. 59
B. Metode Penelitian
Jurnal ini ditulis dan disajikan secara deskriptif, yaitu untuk
menguraikan serta mendeskripsikan fenomena-fenomena atau isu hukum
yang ada. Dalam hal ini isu hukum yang dimaksud adalah isu di bidang
hukum orang keluarga, khususnya hukum perkawinan yang berbicara
tentang perjanjian perkawinan. Pendekatan yang digunakan dalam
penulisan jurnal ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach)
yaitu dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani. Yang dicari
adalah konsistensi dan kesesuaian antara suatu perundang-undangan
dengan undang-undang yang lainnya, hasil telaah tersebut merupakan
suatu argumen untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi. Pemahaman
akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan
sandaran bagi penulis dalam membangun suatu argumentasi hukum.8

C. Hasil dan Pembahasan


Pada dasarnya ketika berbicara mengenai problematika, maka akan
merujuk kepada persoalan, kendala, atapun masalah yang belum
terpecahkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
problematik berarti masih menimbulkan masalah; hal yang masih belum
dapat dipecahkan. 9 Lebih lanjut dapat dikatakan juga bahwa problematika
merupakan kesenjangan antara kenyataan dengan apa yang diharapkan
yang masih belum terpecahkan. Maka apabila dikaitkan dengan perjanjian
perkawinan setelah adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015, dapat
diambil bahwa pembahasan yang akan diuraikan adalah mengenai
masalah-masalah ataupun kesenjangan maupun kejanggalan yang muncul
dari adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 dan masih belum dapat
terpecahkan.
Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 dikeluarkan pada tanggal 27
Oktober 2016. Putusan tentang pengujian pasal yang berkaitan dengan
8
Peter Mahmud M, Penelitian Hukum,Jakarta : Kencana Prenada Media, 2008, 142-143
9
Kamus Besar Bahasa Indonesia
perjanjian perkawinan dalam UU Perkawinan ini memberikan tafsir dan
tambahan frase yang menimbulkan perubahan aturan hukum terkait
perjanjian perkawinan. Terdapat 3 Pasal UU Perkawinan yang diubah
dalam putusan ini yaitu Pasal 29 ayat 1,3, dan 4 UU Perkawinan. Secara
rinci terkait perubahan atau penambahan frase pasal yang dimaksud dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:

PASAL UU PERKAWINAN PUTUSAN MK NO. 69/PUU-


XIII/2015
Pasal 29 ayat 1 Pada waktu atau sebelum Pada waktu, sebelum
perkawinan dilangsungkan, dilangsungkan atau selama
kedua pihak atas dalam ikatan perkawinan
persetujuan bersama dapat kedua belah pihak atas
mengadakan perjanjian persetujuan bersama dapat
tertulis yang disahkan oleh mengajukan perjanjian tertulis
pegawai pencatat yang disahkan oleh pegawai
perkawinan, setelah mana pencatat perkawinan atau
isinya berlaku juga terhadap notaris, setelah mana isinya
pihak ketiga sepanjang berlaku juga terhadap pihak
pihak ketiga tersangkut. ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut
Pasal 29 ayat 3 Perjanjian tersebut mulai Perjanjian tersebut mulai berlaku
berlaku sejak perkawinan sejak perkawinan
dilangsungkan. dilangsungkan, kecuali
ditentukan lain dalam
Perjanjian Perkawinan.
Pasal 29 ayat 4 Selama perkawinan Selama perkawinan berlangsung,
berlangsung, perjanjian perjanjian perkawinan dapat
tersebut tidak dapat diubah, mengenai harta perkawinan
kecuali bila dari kedua belah atau perjanjian lainnya, tidak
pihak ada persetujuan untuk dapat diubah atau dicabut,
mengubah dan perubahan kecuali bila dari kedua belah
tidak merugikan pihak pihak ada persetujuan untuk
ketiga. mengubah atau mencabut, dan
perubahan atau pencabutan itu
tidak merugikan pihak ketiga

Dari adanya perubahan atau penambahan frasa pada pasal-pasal


tersebut, problematika yang paling mendasar menurut penulis adalah
mengapa perubahan atau penambahan frasa pada Pasal 29 ayat 1,3, dan 4
UU Perkawinan itu tidak termasuk ke dalam Pasal yang dirubah dalam UU
Perkawinan yang terbaru yaitu Undang-undang Nomor 16 tahun 2019.
Padahal dampak dari adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 sangat
krusial sebagai dasar hukum pembuatan perjanjian perkawinan. Sama
halnya dengan batas usia minimal wanita untuk melangsungkan
perkawinan yang dirubah di dalam undang-undang tersebut.
Kemudian apabila melihat kepada pertimbangan Putusan MK No.
69/PUU-XIII/2015, yang terdapat hanyalah mengenai penambahan frasa
“selama dalam ikatan perkawinan”. Tidak ada penjelasan mengapa kata
“mengadakan” harus dimaknai menjadi “mengajukan”. Tidak ada pula
uraian yang menjelaskan alasan penambahan frasa “atau notaris”.10
Walaupun sebenarnya secara logika yang mendalam, dapat diambil
sebuah pemahaman bahwa kata “mengajukan” dan frasa “atau notaris”
diperkenalkan untuk mengakomodir perjanjian perkawinan yang dibuat
selama dalam ikatan perkawinan. Bahwa ketika perkawinan telah berjalan,
maka perjanjian perkawinan tak lagi bisa “diadakan” di hadapan pegawai
pencatat perkawinan; sedangkan perjanjian perkawinan tetap bisa
“diajukan” pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Keadaan ini
pula yang memunculkan opsi baru, yaitu notaris. 11 Namun tetap saja hal ini
dapat memicu timbulnya pertanyaan-pertanyaan atau bahkan pemikiran
yang tidak sesuai, sebab tidak adanya dijelaskan pertimbangan langsung
oleh hakim yang mengeluarkan putusan ini.

10
Damian A.Y, Analisis Kritis Terhadap Perjanjian Perkawinan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 4, 2017, hlm. 807
11
Ibid, hlm. 808
Selanjutnya, perjanjian perkawinan setelah adanya Putusan MK
No. 69/PUU-XIII/2015 yang melegitimasi untuk dapat dibuatnya
perjanjian perkawinan selama ikatan perkawinan itu masih berlangsung, di
satu sisi justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, akan
berpotensi menimbulkan suatu kelonggaran bagi pihak yang membuat
perjanjian perkawinan setelah perkawinan, yang mana mereka dapat
membuat perjanjian lalu merubahnya, mencabutnya, dan membuat
perjanjian lagi yang baru dan seterusnya. Maka kepastian hukum yang
telah dijamin dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan UU
Perkawinan menjadi tidak tercapai.12 Dan adanya kebebasan menentukan
masa mulai berlakunya perjanjian perkawinan ini juga tentunya dapat
memunculkan perdebatan baru yaitu apakah perjanjian perkawinan bisa
berlaku surut.13
Tetapi walaupun masih terdapat beberapa problematika yang ada,
tetap saja Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 juga mempunyai dampak
yang positif dalam perkembangan dan pembaharuan di bidang hukum
perkawinan. Dengan adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 akan
memberikan jaminan kepastian hukum dan hak-hak terhadap setiap
pasangan suami istri untuk dapat membuat perjanjian perkawina selama
ikatan perkawinan tersebut masih berlangsung. Terutama untuk WNI yang
melakukan perkawinan campuran dengan WNA. Hal ini juga merupakan
salah satu bentuk implementasi dari asas hukum perjanjian yaitu asas
kebebasan berkontrak seperti halnya yang diatur dalam KUH Perdata.
Dapat dikatakan juga bahwa Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 sebagai
wujud dari keadilan dan kemanfaatan yang bertujuan untuk mendukung
cita-cita dari perkawinan itu sendiri yaitu kekal abadi dalam
keharmonisan.14 Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa persoalan harta benda
dalam suatu perkawinan dapat menimbulkan celah terjadinya perpecahan.
Dan melalui perjanjian perkawinan yang saat ini dapat dibuat selama
12
Oken S.P, Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol. 8, No.2, 2017, hlm. 199
13
Damian A.Y, Loc. CIt
14
Oly V.A, Politik Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015 dalam Menciptakan Keharmonisan Perkawinan, Jurnal RechtsVinding, Vol. 6,
No. 1, 2017, hlm. 66
perkawinan itu berlangsung diharapkan dapat meminimalisir akan hal
tersebut.

D. Simpulan
Dari berbagai uraian yang sudah dituangkan penulis dalam bab-bab
sebelumnya pada jurnal ini, penulis menyimpulkan bahwa masih terdapat
beberapa problematika yang ada terkait perjanjian perkawinan setelah
adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015. Dimana setelah adanya
Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 membuka celah dan memperluas
makna dari perjanjian perkawinan. Yang mana pada intinya perjanjian
perkawinan sebelumnya hanya dapat dibuat pada saat atau sebelum
melangsungkan perkawinan menjadi dapat dibuat selama berlangsungnya
ikatan perkawinan. Dapat disimpulkan pula bahwa perjanjian perkawinan
setelah adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 dinilai membawa
dampak postif dan negatif. Dampak positifnya dengan adanya putusan ini
maka akan menjamin kepastian hukum dan hak-hak suami istri yang
belum membuat perjanjian perkawinan, terutama untuk WNI yang
melakukan perkawinan campuran dengan WNA, sedangkan dampak
negatifnya adalah terdapat celah-celah yang bisa menimbulkan kerugian
maupun perpecahan apabila ada iktikad tidak baik dari salah satu pihak
ketika ingin membuat perjanjian perkawinan setelah diberikan keluwesan
dengan adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 ini.

E. Saran

Adapun saran yang ingin disampaikan penulis dari jurnal ini adalah
sebaiknya dilakukan perubahan atau revisi kembali terhadap Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan memasukkan
keseluruhan perkembangan dari hukum perkawinan yang ada seperti
halnya mengenai perjanjian perkawinan setelah adanya Putusan MK No.
69/PUU-XIII/2015. Kemudian diharapkan juga kedepannya agar
pemerintah khusunya aparat penegak hukum dalam membuat suatu produk
hukum agar lebih rinci dan berhati-hati, agar tidak menimbulkan
perdebatan maupun problematika yang dapat memicu hal-hal yang tidak
diinginkan.

Daftar Pustaka

BIBLIOGRAPHY A.Y, D. (2017). Analisis Kritis Terhadap Perjanjian Perkawinan dalam


Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Jurnal Konstitusi,
14(4), 807.

Marzuki, P. M. (2008). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media.


S.P, O. (2017). Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 69/PUU-XIII/2015. Jurnal Cakrawala Hukum, 8(2), 199.
S.T.K, C. K. (2004). Modul Hukum Perdata (Termasuk Asas-asas Hukum
Perdata). Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Safioedin, R. P. (1982). Hukum Orang dan Keluarga. Bandung : Alumni.
Sembiring, R. (2020). Hukum Keluarga, Harta-harta Benda dalam Perkawinan.
Depok : PT RajaGradfindo Persada.
Simanjuntak, P. (2015). Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Pranadamedia Group.
Subekti. (2003). Pokok-pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-31. Jakarta: Intermasa.
V.A, O. (2017). Politik Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dalam Menciptakan Keharmonisan
Perkawinan. Jurnal RechtVinding, 6(1), 66.

Anda mungkin juga menyukai