A. Pendahuluan
Pada hakikatnya manusia diciptakan secara berpasang-pasangan.
Yang mana apabila telah sampai pada waktunya, manusia pada umumnya
akan memutuskan untuk melakukan perkawinan dengan pasangannya.
Perkawinan menjadi suatu hal yang cukup kompleks untuk dibicarakan.
Sebab dengan dilakukannya suatu perkawinan, maka akan menimbulkan
suatu ikatan yang diikuti beberapa akibat yang lahir atas perkawinan
tersebut. Adapun ikatan yang timbul dari adanya suatu perkawinan bukan
hanya sekedar ikatan yang dapat dilihat oleh kasat mata.
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UU Perkawinan) juga sudah mendefinisikan bahwa:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.1”
4
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
5
R.S. Prawirohamidjojo dan A. Safioedin, Op.Cit, hlm. 31
6
C.S.T Kansil dan Christine S.T.K, Modul Hukum Perdata (Termasuk Asas-asas Hukum Perdata),
Jakarta : PT Pradnya Paramita, 2004, hlm. 76-77
Dari segi implementasinya, sebenarnya sebagian besar masyarakat
tidak ada membuat perjanjian perkawinan. Bahkan pejabat Kantor Urusan
Agama (KUA) atau Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil)
kurang memahami akan perjanjian perkawinan ini.7 Padahal UU
Perkawinan sendiri telah memberikan amanat bahwa perjanjian
perkawinan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Meskipun
demikian, keadaan tersebut juga bukan menjadi hal yang mengamini
bahwa perjanjian perkawinan tidak memiliki kedudukan yang krusial
dalam sebuah perkawinan, terutama untuk yang melakukan perkawinan
campuran yaitu antara WNI dengan WNA.
Atas dasar ini jugalah muncul sebuah pembaharuan dan
perkembangan hukum terkait perjanjian perkawinan. Dimana hal ini
ditandai dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-
XIII/2015 (Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015) yang memperluas makna
dari perjanjian perkawinan, dimana sebelumnya dalam UU Perkawinan
diatur bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat pada saat atau
sebelum perkawinan dilangsungkan. Dan setelah adanya Putusan MK
tersebut, terdapat penambahan klausula “atau selama dalam ikatan
perkawinan kedua belah pihak”. Artinya, perjanjian perkawinan tidak lagi
hanya dapat dibuat pada saat sebelum perkawinan dilakukan, melainkan
pada saat perkawinan itu sedang berjalan.
Namun jika berbicara mengenai pembaharuan, perkembangan
ataupun munculnya suatu produk hukum yang baru tidaklah lepas dari
beragam kajian yang membicarakan secara lebih mendalam. Salah satu
bagian dari kajian yang dimaksud dapat berupa permasalahan-
permasalahan atau dampak positif dan negatifnya. Oleh karena itu,
berangkat dari adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 yang
merupakan suatu perkembangan ataupun pembaharuan tentang perjanjian
perkawinan, penulis ingin mengkaji lebih mendalam mengenai
“Problematika Perjanjian Perkawinan Setelah Adanya Putusan MK No.
69/PUU-XIII/2015.”
7
Tan Kamelo dan Syarifah L.A, Hukum Orang & Keluarga, Medan, 2011, hlm. 59
B. Metode Penelitian
Jurnal ini ditulis dan disajikan secara deskriptif, yaitu untuk
menguraikan serta mendeskripsikan fenomena-fenomena atau isu hukum
yang ada. Dalam hal ini isu hukum yang dimaksud adalah isu di bidang
hukum orang keluarga, khususnya hukum perkawinan yang berbicara
tentang perjanjian perkawinan. Pendekatan yang digunakan dalam
penulisan jurnal ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach)
yaitu dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani. Yang dicari
adalah konsistensi dan kesesuaian antara suatu perundang-undangan
dengan undang-undang yang lainnya, hasil telaah tersebut merupakan
suatu argumen untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi. Pemahaman
akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan
sandaran bagi penulis dalam membangun suatu argumentasi hukum.8
10
Damian A.Y, Analisis Kritis Terhadap Perjanjian Perkawinan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 4, 2017, hlm. 807
11
Ibid, hlm. 808
Selanjutnya, perjanjian perkawinan setelah adanya Putusan MK
No. 69/PUU-XIII/2015 yang melegitimasi untuk dapat dibuatnya
perjanjian perkawinan selama ikatan perkawinan itu masih berlangsung, di
satu sisi justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, akan
berpotensi menimbulkan suatu kelonggaran bagi pihak yang membuat
perjanjian perkawinan setelah perkawinan, yang mana mereka dapat
membuat perjanjian lalu merubahnya, mencabutnya, dan membuat
perjanjian lagi yang baru dan seterusnya. Maka kepastian hukum yang
telah dijamin dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan UU
Perkawinan menjadi tidak tercapai.12 Dan adanya kebebasan menentukan
masa mulai berlakunya perjanjian perkawinan ini juga tentunya dapat
memunculkan perdebatan baru yaitu apakah perjanjian perkawinan bisa
berlaku surut.13
Tetapi walaupun masih terdapat beberapa problematika yang ada,
tetap saja Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 juga mempunyai dampak
yang positif dalam perkembangan dan pembaharuan di bidang hukum
perkawinan. Dengan adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 akan
memberikan jaminan kepastian hukum dan hak-hak terhadap setiap
pasangan suami istri untuk dapat membuat perjanjian perkawina selama
ikatan perkawinan tersebut masih berlangsung. Terutama untuk WNI yang
melakukan perkawinan campuran dengan WNA. Hal ini juga merupakan
salah satu bentuk implementasi dari asas hukum perjanjian yaitu asas
kebebasan berkontrak seperti halnya yang diatur dalam KUH Perdata.
Dapat dikatakan juga bahwa Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 sebagai
wujud dari keadilan dan kemanfaatan yang bertujuan untuk mendukung
cita-cita dari perkawinan itu sendiri yaitu kekal abadi dalam
keharmonisan.14 Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa persoalan harta benda
dalam suatu perkawinan dapat menimbulkan celah terjadinya perpecahan.
Dan melalui perjanjian perkawinan yang saat ini dapat dibuat selama
12
Oken S.P, Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol. 8, No.2, 2017, hlm. 199
13
Damian A.Y, Loc. CIt
14
Oly V.A, Politik Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015 dalam Menciptakan Keharmonisan Perkawinan, Jurnal RechtsVinding, Vol. 6,
No. 1, 2017, hlm. 66
perkawinan itu berlangsung diharapkan dapat meminimalisir akan hal
tersebut.
D. Simpulan
Dari berbagai uraian yang sudah dituangkan penulis dalam bab-bab
sebelumnya pada jurnal ini, penulis menyimpulkan bahwa masih terdapat
beberapa problematika yang ada terkait perjanjian perkawinan setelah
adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015. Dimana setelah adanya
Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 membuka celah dan memperluas
makna dari perjanjian perkawinan. Yang mana pada intinya perjanjian
perkawinan sebelumnya hanya dapat dibuat pada saat atau sebelum
melangsungkan perkawinan menjadi dapat dibuat selama berlangsungnya
ikatan perkawinan. Dapat disimpulkan pula bahwa perjanjian perkawinan
setelah adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 dinilai membawa
dampak postif dan negatif. Dampak positifnya dengan adanya putusan ini
maka akan menjamin kepastian hukum dan hak-hak suami istri yang
belum membuat perjanjian perkawinan, terutama untuk WNI yang
melakukan perkawinan campuran dengan WNA, sedangkan dampak
negatifnya adalah terdapat celah-celah yang bisa menimbulkan kerugian
maupun perpecahan apabila ada iktikad tidak baik dari salah satu pihak
ketika ingin membuat perjanjian perkawinan setelah diberikan keluwesan
dengan adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 ini.
E. Saran
Adapun saran yang ingin disampaikan penulis dari jurnal ini adalah
sebaiknya dilakukan perubahan atau revisi kembali terhadap Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan memasukkan
keseluruhan perkembangan dari hukum perkawinan yang ada seperti
halnya mengenai perjanjian perkawinan setelah adanya Putusan MK No.
69/PUU-XIII/2015. Kemudian diharapkan juga kedepannya agar
pemerintah khusunya aparat penegak hukum dalam membuat suatu produk
hukum agar lebih rinci dan berhati-hati, agar tidak menimbulkan
perdebatan maupun problematika yang dapat memicu hal-hal yang tidak
diinginkan.
Daftar Pustaka