Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENCATATAN DAN PERJANJIAN PERKAWINAN

Guna Memenuhi Mata Kuliah “Hukum Perdata”

Dosen Pengampu : Rahma Pramudya Nawangsari M.H

OLEH :

Nuril Hidayatullah Kadja (2011211019)

Muhammad Akbar (2011211010)

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKSYIYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUPANG

2021
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Segala puji bagi Allah SWT. Dialah Tuhan yang menurunkan agama melalui wahyu

yang disampaikan kepada Rasul pilihan-Nya, Muhammad SAW. Melalui agama ini

terbentang luas jalan lurus yang dapat mengantarkan manusia kepada kehidupan bahagia dunia

dan akhirat.

            Agama yang disampaikan oleh Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad SAW. itu kini
telah berusia hampir lima belas abad lamanya, dan kian hari terasa semakin dibutuhkan oleh
ummat manusia yang mendambakan kehidupan yang tertib, aman dan damai.
            Namun bersamaan dengan itu pada setiap pundak kaum Muslim terdapat tugas suci
untuk meyampaikan risalah Rasulullah SAW. itu kepada generasi berikunya hingga akhir
zaman. Penyampaian risalah tersebut dapat dilakukan melalui lisan, tulisan, perbuatan, dan
sebagainya.
            Makalah yang kini berada ditangan pembaca yang budiman ini ditulis selain dalam
rangka memenuhi tugas mata kuliah juga sebagai media agar pembaca  dapat memperluas ilmu
tentang hukum adat yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi,
dan referensi. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis
hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain
berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari dosen, teman, juga orang tua, sehingga kendala-
kendala yang penulis hadapi dapat teratasi.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswaUniversitas Muhammadiyah
Kupang Sunan Kalijaga. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya meminta masukannyademi perbaikan
pembuatan makalah penulis di masa yang akan dating dan mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca.
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN………………………………………………………………………i

KATA PENGANTAR………………………………………………………………….....ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...iii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………..1

A. Latar Belakang……………………………………………………………………..1

B. Rumusan Masalah………………………………………………………………….1

C. Tujuan……………………………………………………………………………...1

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………….…….2

1. Pengertian Perjanjian Perkawinan…………………………………………….…...2

2. Kedudukan perjanjian perkawinan……………...…………………………....……4

3. Jenis-jenis Perjanjian perkawinan…………………………………………………9

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………...…10

A. Kesimpulan……………………………………………………………….………11

B. Saran……………………………………………………………………….……..11

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….……..12
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu hal yang di pandang sebagai keharusan dalam kehidupan manusia salah

satunya adalah perkawinan. Dan dari perkawinan itu akan timbul suatu ikatan yang

berisi hak dan kewajiban. Dalam perkawinan juga memuat perihal tentang pencegahan,

pembatalan, perjanjian, dan pemutusan dan perkawinan.

Namun, yang akan di bahas di sini adalah mengenai perjanjian perkawinan.

Perjanjian dalam perkawinan merupakan perjanjian yang mengatur akibat suatu

perkawinan di dalam bidang harta kekayaan. Perjanjian perkawinan umumnya jarang

terjadi di Indonesia asli, mungkin karena masih kuatnya hubungan kekerabatan Antara

calon suami istri, dan juga pengaruh hokum adat yang sangat kuat. Seperti dalam hukum

adat dengan adanya adat kebiasaan bahwa bundle warisan, terutama yang merupakan

milik bersama (harta gono-gni atau harta pencaraian) tetap untuk keperluan kehidupan

sehari-hari dari suami atau istri yang masih hidup pada waktu pihak yang lain meninggal

dunia. Dengan demikian sepanjang mengenai harta, jarang sekali dipersoalkan sebelum

para calon suami istri melangsungkan perkawinan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksudkan dengan pengertian perjanjian perkawinan?

2. Bagaimana kedudukan perjanjian perkawinan ?

3. Apa saja jenis-jenis perjanjian perkawinan ?

C. Tujuan
1. untuk mengetahui pengertian perjanjian perkawinan.

2. Untuk mengetahui syarat-syarat dan jenis-jenis perjanjian perkawinan

BAB I

PEMBAHASAN

A. Perjanjian dalam Perkawinan

1. Pengertian Perjanjian Perkawinan

Perjanjian perkawinan yaitu, persetujuan yang di buat oleh kedua calon

mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing

berjanji akan mentaati apa tersebut dalam persetujuan itu, yang di sahkan oleh

pegawai pencatat nikah.1 Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah

“persetujuan tertulis atau dengan lisan yang di buat oleh dua pihak atau lebih,

masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.:2

Secara teoritis perjanjian perkawinan bisa di buat bermacam-macam mulai dari

aturan yang tercantum dalam BW, maupun Udang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun

1974. Bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui

janji tersebut serta menyatkan pula suatu janji yang berhubungan dengan jani yang

pertama, maka terjadilah perikatan dua buah janji dari dua orang yang mempunyai

hubungan Antara yang satu dengan yang lain. 3 Dengan demikian perjanjian atau

kontrak tersebut adalah sumber hukum formal, selama kontrak perjanjian tersebut

adalah kontrak yang sah atau legal. Maka pengertian perjanjian perkawinan dapat

1
Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munaqahat, (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 119.
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikhasar Indonesi Edisi Ketiga, Jakarta : Balai Pustaka. 2005. hal
458
3
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raji Grafindo Persada, 2007), hlm. 45
diklasifikasikan menurut Undang-Undang perkawinan, Kompolasi Hukum Islam dan

KUH Perdata, yaitu:

a. Pengertian perjanjian perkawinan menurut undang-undang perkawinan No. 1 Tahun

1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

Dalam undang-undang perkawinan No. 1974 pasal 29 menjelaskan bahwa:

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan di langsungnkan, kedua pihak atau persetujuan

bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang di sahkan oleh pegawai pencatat

perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak

ketiga tersangkut.

2. Perjanjian tersebut tidak dapat di sahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,

agama dan kesusilaan.

3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan di langsungkan.

4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila

dari kedua belah oihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak

merugikan pihak ketiga.4

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 47 menyatakan bahwa:

1) Pada waktu atau sebelum perkawinan di langsungkan kedua calon mempelai

dapat membuat perjanjian tertulis yang di sahkan pegawai pencatat nikah

mengenal kedudukan harta dalam perkawinan.

2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta peribadi dan

pemisahan harta pencahariaan masing-masing sepanjang hal itu tidak

bertentangan dengan hukum islam.

4
Departemen agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkup Peradilan Agama, Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, 2001, hlm. 138
3) Di samping dalam ketentuan ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isis perjanjian itu

menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas

harta peribadi dan harta bersama atau harta syarikat.5

a. Pengertian Perjanjian Perkawinan menurut KUH Perdata.

Menurut pasal 1313 KUH Perdata, “suatu persetujuan adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang atau lebih”.6

Pasal 139 KUH Perdata mennyatakan bahwa “dengan mengadakan

perjanjian perkawinan, kedua calon suami istri adalah bentyk menyiapkan

beberapa penyimpangan dari peraturan Undang-Undang sekitar persatuan

harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau

tata tertib umum da nasal di indahkan pula segala ketentuan di bawah ini”. 7

Dalam aturan pasal 147 BW dinyatakan bahwa perjanjian perkawinan harus

di buat sebelum perkawinan di langsungkan dan perjanjian perkawinan harus

di buat di hadapan notaris. Jika perjanjian tidak di buat di hadapan notaris

maka pejanjian itu batal dari hukum.

2. Kedudukan Perjanjian Perkawinan.

a. Kedudukan perjanjian perkawinan menurut KHI dan Undang-Undang perkawinan

tahun 1974.

Dalam pasal 29, 47 (1) KHI disebutkan bahwa, pada waktu atau sebelum

perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak dapat mengadakan perjanjian

5
Departemen agama RI, Himpuanan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkup Peradilan Agama, Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, 2001, hlm. 328
6
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rincka Cipta, 2007), hlm. 368
7
R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undnag Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita. 1978), hlm. 51
tertulis yang di sahkan pegawai pencatat nikah mengenai kedudukan harta dalam

perkawinan.

Perjanjian perkawinan mempunyai syarat sah, yaitu:

1. Tidak menyalahi hukum syari’ah yang di sepakati.

Perjanjian yang dibuat itu tidak bertentangan dengan syari’at islam atau

hakikat perkawinan. Jka syarat perjanjian yang dibuat bertentangan dengan

syari’at islam atau hakikat perkawinan, apapun bentuk perkawinan itu maka

perjanjian itu tidak sah, tidak perlu diikuti, sedangkan akad nikahnya sendiri

sah. Dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk

menempati atau melaksanakan perjanjian tersebut dan dengan sendirinya

batal demi hukum.

2. Harus sama ridha dan ada pilihan.

Masing-masing pihak rela atau rida terhadap isi perjanjian tersebut, dan tidak

ada paksaan pihak manapun.

3. Harus jelas dan Gamblang.

Bahwa dari isi perjanjian tersebut harus jelas apa yang diperjanjikan,

sehingga tidak menimbulkan kesalah pahaman diantara para pihak tentang

apa yang perjanjikan dikemudian hari.

b. Kedudukan Perjanjian Perkawinan Menurut KUH Perdata.

Sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan melalui

perjanjian pihak-pihak dapat membuat segala macam perikatan, sesuai dengan

asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam buku III BW, tetapi seperti

juga telah dikemukakan kebebasan berkontrak tersebut bukan berarti boleh


membuat perjanjian secara bebas, melainkan harus memenuhi syarat-syarat

tertentu untuk sahnya suatu perjanjian.8

Dalam perjanjian yang sah syarat sahnya suatu perjanjian di atur dalam

pasal 1320 KUH Perdata yang menegmukakan empat syarat, yaitu:

 Adanya kesepakatan kedua belah pihak.

 Kecekapan untuk melakukan peraturan hukum.

 Adanya suatu hal tertentu.

 Adanya sebab yang halal.

Kedua syarat yang pertama disebut syarat subjektif karena kedua syarat

tersebut mengenai subjek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir

merupakan syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian.

Ke empat syarat tersebut dapat di kemukakan sebagai berikut:

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.

Syarat pertama dan sahnya suatu perjanjian adalah adanya

kesepakatan para pihak. Kesepakatan adalah bahwa para pihak yang

membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau

saling menyetujui kehendak masing-masing yang di lahirkan oleh

para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan. 9

Persetujuan dapat dinyatakan secara tegas maupun secara diam-

diam.

8
Riduan, Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni,2003), hlm.205
9
Ibid., 205-206
Perjanjian tersebut tidak sah apabila terjadi karena paksaan,

kekhilafan atau penipuan. Sebagai mana dinyatakan dalam pasal

1321 KUH Perdata yang menyatakan jika di dalam perjanjian

terdapat kekhilafaan, paksaan atau penipuan, maka berarti di dalam

perjanjian itu terjadi cacat kehendak dan karena itu perjanjian

tersebut dapat di batalkan. Cacat kehendak artinya “bahwa salah satu

pihak sebenarnya tidak menghendaki isi perjanjian yang demikian.”

Seseorang di katakana telah membuat kontrak secara khilaf

manakala diaketika membuat kontrak tersebut di pengaruhi oleh

pandangan atau kesan yang ternyata tidak benar.10

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.

Menurut 1329 KUH Perdata kedua belah pihak harus cakap

menurut hukum. Kecakapan bertindak adalah kecakapan untuk

melakukan perbuatan hukum. Di mana pebuatan hukum ialah

perbuatan yang menimbulkan akibat hukum.

3. Adanya suatu hal tertentu.

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi

obyek suatu perjanjian.11 Yang di perjanjikan haruslah suatu hal atau

suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Menurut pasal 1332

KUH Perdata, hanya barang-barang yang dapat di perdagangkan saja

yang dapat menjadi pokok-pokok perjanjian. Pasal 133 KUH Perdata

menyatakan bahwa suatu persetujuan itu harus mempunyai pokok

suatu barang yang paling sedikit dapat di tentukan jenisnya. Tidak

10
H.R. Daeng Naja. Op. Cit, hlm. 86
11
Riduan, Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hlm.209
menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu asal barang

kemudian dapat di tentukan atau dihitungkan.

4. Adanya sebab yang halal.

Di dalam undang-undang tidak di sebutkan pengertian mengenai

sebab (orzaak, causa). Yang di maksud dengan sebab bukanlah

sesuatu yang mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian.

Tetapi menurut riwayatnya, yang di maksud adalah tujuan, yaitu apa

yang di kehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian

itu, dengan kata lain causa berarti isi perjanjian itu sendiri.12 Adapun

sebab yang tidak di perbolehkan ialah jika isi perjanjian bertentangan

dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dari

uaraian di atas, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka salah

satu pihak dapat meminta supaya perjanjian itu di batalkan, namun,

apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka perjanjian itu

tetap dianggap sah. Sementara itu, apabila syarat objektif tidak

terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.

Keempat syarat tersebut haruslah di penuhi oleh para pihak dan

apabila syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut telah terpenuhi, maka

menurut pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian tersebut mempunyai

kekuatan hukum sama dengan kekuatan suatu undang-undang.

3. Jenis-jenis Perjanjian Perkawinan.

a. Jenis-jenis Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Tahun

1974 dan KHI.


12
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1983), hlm.137
Bentuk-bentuk perjanjian perkawinan dalam pasal 45 KHI:

1. Ta’lik talak.

2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam.

b. Jenis-jenis Perjanjian Perkawinan Menurut KUH Perdata.

Jenis-jenis perjanjian perkawinan di lihat dari pengaturan dalam KUH Perdata

dapat diuraikan satu persatu, yaitu:

1. Perikatan bersyarat;

2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu;

3. Perikatan yang membolehkan memilih;

4. Perikatan tanggung menanggung;

5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat di bagi;

6. Perikatan dengan penetapan hukuman;13

13
Subekti, Pokok-Pokok hukum perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1983), hlm. 128-131
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perjanjian perkawinan dalam Hukum Islam adalah diperbolehkan selama substansi dari

perjanjian tersebut tidak merugikan salah satu pihak dan sesuai dengan ketentuan syariat

agama ataupun hukum perundang-undangan yang berlaku. Keberadaan perjanjian

perkawinan akan lebih membantu suami dan istri dalam meningkatkan pemahaman dan

kesadaran mereka akan kewajiban dan hak masing-masing pihak yang terlihat. Dengan

adanya perjanjian perkawinan di harapkan sebagai bentuk antisipasi untuk

meminimalisir konflik atau permasalahan yang terjadi kedepannya karena telah jelas

kedudukan hukumnya.

B. Saran

Diharapkan dari pembahasan diatas dapat menambah pengetahuan yang lebih mendalam

untuk pembaca makalah terhadap perjanjian perkawinan.


DAFTAR PUSTAKA

Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munaqahat, (Bogor: Kencana, 2003)

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikhasar Indonesi Edisi Ketiga, Jakarta : Balai

Pustaka. 2005

Departemen agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkup Peradilan

Agama, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, 2001

Departemen agama RI, Himpuanan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkup

Peradilan Agama, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, 2001

Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raji Grafindo Persada, 2007)

R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undnag Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya

Paramita. 1978

Riduan, Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni,2003)

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rincka Cipta, 2007)

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1983)

Anda mungkin juga menyukai