Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

HUKUM PERKAWINAN DAN WARIS


Tentang

“4. PERJANJIAN PERKAWINAN”

NAMA : ELSI PRATIWI


NPM : 18.089
KELAS : PERDATA A

DOSEN PEMBIMBING
MAHLIL ADRIAMAN, SH.,MH

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SUMATERA BARAT
BUKITTINGGI
2021
Kata Pengantar
Puji dan syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
petunjuknya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Ucapan ribuan terima kasih saya ucapkan kepada dosen mata kuliah : Hukum
Perkawinan dan Waris yang telah memberi bimbingan dan kesempatan kepada
saya selaku penulis makalah ini.

Saya menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kesalahan dan


kekurangan baik dalam hal konsep maupun ketikan sehingga saya sangat
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca
sebagai bahan perbaikan dalam penulisan makalah dimasa mendatang.

Akhirnya, harapan saya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca yang budiman khususnya bagi diri saya selaku penulis, Amin.

Bukittinggi, 11 April 2021

penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………….…….. 1

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….……… 3

A. Latar Belakang ……………………………………………….……… 3

B. Rumusan Masalah …………………………………………….………3

C. Tujuan Masalah………………………………………………….….... 3

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………….………. 4

A. Pengertian Perjanjian Perkawinan……………………………………4


B. Harta Perkawinan ………………………………………..………….. 7
C. Perkawinan Campuran……………………………………….………11

BAB III PENUTUP ……………………………………………………..……. ..18

A. Kesimpulan ………………………………………..…………….….. 18

B. Saran …………………………………………………………………19

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perjanjian saat ini tidak hanya terkait tentang perdagangan, jual beli
ataupun aktivitas bisnis lainnya, tetapi juga dikenal dalam perkawinan.
Perjanjian perkawinan ini sifatnya tidak wajib dan juga tidak dilarang.
Perjanjian perkawinan jarang digunakan di Indonesia karena erat nya
hubungan kekerabatan di Indonesia. Perjanjian perkawinan banyak
digunakan di daerah barat karena calon suami istri yang ingin menghindari
percampuran harta benda secara bulat di dalam perkawinannya.
Pesatnya arus modernisasi menyebabkan perjanjian perkawinan
dianggap oleh generasi muda sebagai hal yang penting sebelum
melaksanakan perkawinan, sebagai bentuk proteksi atau perlindungan
apabila terjadi hal yang tidak diinginkan dalam perkawinan seperti
perceraian, kematian atau salah satu pihak mengalami kepailitan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan?
2. Bagaimana pengelompokan harta perkawinan?
3. Apa yang dimaksud dengan perkawinan campuran?

C. Tujuan Masalah
Selain sebagai bentuk pemenuhan tugas dari dosen dan untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan, harta
perkawinan dan perkawinan campuran.

3
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Perjanjian Perkawinan

Perjanjian perkawinan atau disebut juga perjanjian pranikah atau


dalam Bahasa Inggris Prenuptial Agreement umumnya jarang terjadi di dalam
masyarakat Indonesia asli, karena masih eratnya hubungan kekerabatan dan
adanya rasa saling percaya antara calon suami istri, karena perjanjian
perkawinan masih dianggap tabu yang masih sangat jarang dipraktikan dalam
perkawinan orang Indonesia. Perjanjian perkawinan berasal dari masyarakat
barat yang memiliki sifat individualistik dan kapitalistik, individualistik
karena melalui perjanjian perkawinan mengakui kemandirian dari harta suami
dan harta istri, kapitalistik karena tujuannya untuk melindungi rumah tangga
dari kepailitan dalam dunia usaha, artinya bilamana salah satu pihak diantara
suami istri jatuh pailit maka yang lain masih bisa diselamatkan 1. Akan tetapi
semakin pesatnya arus modernisasi, perjanjian perkawinan dewasa ini banyak
dianggap oleh generasi muda sebagai hal yang patut diperhitungkan sebelum
melaksanakan perkawinan, karena pada dasarnya perjanjian perkawinan
adalah bentuk proteksi atau perlindungan apabila dikemudian hari terjadi hal
yang tidak diinginkan dalam perkawinan seperti perceraian, kematian atau
salah satu pihak mengalami kepailitan.
Pengertian perjanjian perkawinan menurut beberapa ahli hukum :
1. Soetojo Prawirohamidjojo
Perjanjian perkawinan ialah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh
calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk
mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.
Bahwa perjanjian kawin umumnya dibuat:
a. Bilamana terdapat sejumlah kekayaan yang lebih besar pada salah satu
pihak dari pihak lain.
b. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (inbreng) yang
cukup besar.
1
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan Di
Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1988, hlm. 4

4
c. Pihak mempunyai usaha atau bisnis masing-masing, yang apabila
salah satu pihak jatuh pailit atau mengalami kebangkrutan pihak lain
tidak tersangkut.
d. Dan apabila pihak memiliki utang sebelum perkawinan, masing-
masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiri terhadap utang
masing-masing.
2. Menurut H. A. Damanhuri
Perjanjian perkawinan sama dengan perjanjian pada umumnya, yaitu
suatu perjanjian bagi dua orang calon suami istri untuk mengatur harta
kekayaan pribadi masing-masing yang dibuat menjelang perkawinan, serta
disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam arti formal perjanjian
perkawinan adalah setiap perjanjian yang dilangsungkan sesuai ketentuan
undang-undang antara calon suami istri mengenai perkawinan mereka,
tidak dipersoalkan apa isinya.
3. Subekti
Perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda
suami istri selama perkawinan mereka yang menyimpangi dari asas atau
pola yang ditetapkan oleh Undang-Undang2.
4. Menurut Wirjono Prodjodikoro
Perjanjian perkawinan diartikan sebagai suatu perhubungan hukum
mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana suatu pihak
berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedang pihak
lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu.
5. Ko Tjay Sing
Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh bakal suami istri
untuk mengatur akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka.
6. Martiman Prodjohamidjojo
Perjanjian dalam Pasal 29 Undang- Undang Perkawinan masih jauh
lebih sempit oleh karena hanya meliputi “verbintenissen” yang bersumber
pada persetujuan saja (overenkomsten), dan pada perbuatan yang tidak
melawan hukum, jadi meliputi “verbintenissen uit de wet allen” (perikatan

2
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1996, hlm. 9

5
yang bersumber pada undang-undang). Perjanjian perkawinan dalam
undang-undang ini tidak termasuk di dalamnya taklik talak sebagaimana
yang termuat dalam surat nikah.

Walaupun tidak ada definisi yang jelas yang memberikan


pengertian perjanjian perkawinan, namun dapat disimpulkan bahwa
perjanjian perkawinan merupakan suatu hubungan hukum mengenai harta
kekayaan antara kedua belah pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau
dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan di pihak lain
berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut.
Menurut Pasal 139 KUHPerdata, calon suami istri sebelum
melakukan perkawinan dapat membuat perjanjian kawin. Perjanjian
perkawinan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan hanya terdapat 1 (satu) pasal yang membahas mengenai
perjanjian perkawinan yaitu Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan yang
terdiri dari 4 (empat) ayat. Bunyi ketentuan Pasal 29 Undang-Undang
Perkawinan yaitu:
a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga bagi pihak ketiga tersangkut.
b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-
batas hukum, agama, dan kesusilaan.
c. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
d. Selama perkawinan berlangsung perjanjian perkawinan tidak dapat
diubah kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
merubah dan perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.

B. Harta Perkawinan

6
Pasal 139 KUHPerdata dan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan
memiliki perbedaan, penekanan Pasal 139 KUHPerdata lebih kepada
persatuan harta kekayaan, sedangkan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan
lebih terbuka tidak hanya menyangkut perjanjian terhadap harta perkawinan
tetapi juga terhadap hal-hal lain. Perkawinan menimbulkan hak dan
kewajiban pada pasangan suami istri sesuai dengan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa suami dan
istri harus saling mentaati dan menjalankan hak dan kewajiban masing-
masing secara seimbang, akan tetapi perkawinan juga dapat melahirkan
persoalan yang berkaitan dengan harta kekayaan, yaitu harta benda
perkawinan (harta bersama) maupun harta pribadi atau harta bawaan masing-
masing sebelum perkawinan berlangsung. Pengaturan tentang harta
perkawinan tidak dimasukkan dalam ruang lingkup harta kekayaan
disebabkan karena anggapan bahwa perkawinan bukanlah salah satu cara
untuk mendapatkan atau memperoleh harta kekayaan.
Meskipun diakui bahwa perkawinan berakibat kepada kedudukan
seseorang terhadap kekayaan. Kekhawatiran lain adalah jika harta benda
dalam perkawinan dimasukkan dalam lapangan hukum harta kekayaan yang
dianut oleh sistem KUHPerdata, maka makna perkawinan sebagai suatu
ikatan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa akan bergeser menjadi suatu
perikatan yang bertujuan mendapatkan harta kekayaan atau dianggap sebagai
perikatan.
Masalah harta perkawinan merupakan masalah yang sangat besar
pengaruhnya dalam kehidupan suami istri, utamanya apabila mereka bercerai,
dalam Bab VII Pasal 35 UU Perkawinan diatur tentang Harta Benda Dalam
Perkawinan. Ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan terdiri dari dua ayat, yaitu :
Ayat (1) menentukan : “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama”, dan Ayat (2) menentukan : “Harta bawaan dari
masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-

7
masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-
masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.
Tegasnya hak milik pribadi sebagai hak asasi dan hak milik bersama
sebagai hak asasi harus diatur secara tegas tentang luas ruang lingkupnya agar
tidak terjadi kerancuan dan benturan hak milik antara keduanya. Benturan hak
milik pribadi dengan hak milik bersama perkawinan kelihatannya dapat saja
terjadi sejak awal terjadinya perkawinan sampai terjadinya perpecahan
perkawinan baik karena kematian maupun karena perceraian. Jadi konflik
benturan antara hak milik pribadi dan hak milik bersama dalam perkawinan
dapat terjadi setiap saat.
Harta Perkawinan merupakan hal yang penting. Sebagaimana ditulis
oleh Wirjono Prodjodikoro yang dikutip oleh Jafizham, yang mengatakan :
“Justru campuran kekayaan inilah yang sering mengakibatkan kesulitan dan
maka dari itu membutuhkan peraturan khusus untuk mengatasi kesulitan itu.”
Berdasarkan pertimbangan tersebut, pengaturan tentang harta benda dalam
perkawinan diatur di dalam Pasal 35 UU Perkawinan. Dari bunyinya
ketentuan Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan tersebut telah terdapat
ketentuan hukum yang mengatur tentang harta dalam perkawinan.
Istilah harta benda dalam perkawinan yang dipergunakan di dalam UU
Perkawinan mempertegas pemikiran tentang pembedaan hukum benda
dengan hukum orang yang dianut di dalam KUHPerdata. Karena aturan-
aturan hukum tentang benda berkaitan dengan hak kebendaan, sedangkan
perkawinan merupakan hukum pribadi atau hukum orang. Hal ini diperkuat
dengan cara memperoleh hak milik melalui pewarisan dimasukkan dalam
ketentuan hukum benda bukan dalam hukum orang atau hukum keluarga. Jadi
titik tekan pembahasannya adalah benda sebagai objek hukum. Atau dengan
kata lain berkaitan dengan cara memperoleh atau peralihan hak milik atas
benda yang ada dalam perkawinan.
Ilmu hukum perdata mengenal adanya pemilikan atas suatu benda
secara individu atau pribadi dan pemilikan benda secara bersama-sama antar
para individu. Pemilikan benda secara individu/pribadi disebut dengan hak
milik pribadi, sedangkan pemilikan atas suatu benda secara bersama-sama

8
disebut dengan istilah hak milik bersama. Hak milik bersama atas suatu benda
dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu:
a. Hak milik bersama terikat (geboden mede-eigendom)
Di sini tiap-tiap bagian benda diliputi oleh peraturan yang berlaku bagi
seluruh kumpulan benda.
b. Hak milik bersama bebas (vrije mede- eigendom)
Dalam hal ini ikatan hukum hanya terdapat dalam turut serta memiliki.
Di sini masing-masing mempunyai bagian yang tetap dari benda itu
umpamanya ½, 1/3 dan sebagiannya.

Peraturan yang berlaku bagi harta benda bersama selama perkawinan


ditegaskan dalam Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 UU Perkawinan, dan
khusus bagi orang yang beragama Islam ketentuan peraturan yang berlaku
atas harta bersama ditentukan di dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97
Kompilasi Hukum Islam. Demi mempertahankan hak atas harta bersama
apabila perkawinan putus terdapat dua pendapat dalam UU Perkawinan.
Dalam penjelasan Pasal 35 disebutkan apabila perkawinan putus, maka harta
bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Pasal 37 UU
Perkawinan secara eksplisit menyebutkan bahwa “Bila perkawinan putus
karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.”
Pada penjelasan Pasal 37 dijelaskan yang dimaksud dengan hukumnya
masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum
lainnya.
Penjelasan Pasal 35 dengan Pasal 37 UU Perkawinan ini apabila
dipersandingkan satu sama lain membedakan antara putusnya perkawinan
dalam penjelasan Pasal 35 dengan putusnya perkawinan dalam Pasal 37 UU
Perkawinan. Dalam penjelasan Pasal 35 putusnya perkawinan diartikan dalam
arti yang umum, sedangkan putusnya perkawinan dalam Pasal 37 UU
Perkawinan adalah putusnya perkawinan secara khusus yaitu karena
perceraian.
Menurut Abdul Manan, di dalam kitab-kitab fikih tradisional, harta
bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami isteri

9
selama mereka diikat oleh tali perkawinan. Atau dengan kata lain harta
bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami
isteri sehingga terjadi pencampuran harta yang satu dengan yang lain dan
tidak dapat dibeda-bedakan lagi. Dari segi istilah yang dimaksud dengan
syirkah adalah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang
didorong oleh kesadaran untuk meraih keuntungan. Ini sesuai dengan yang
tertera dalam Al-Qur’an surat an-Nisaa’ ayat 32 di mana dikemukakan bahwa
bagi semua laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan semua
wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan pula3.
Terjadi perdebatan diantara para pakar hukum Islam mengenai hal
tersebut. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa agama Islam tidak
mengatur tentang harta bersama dalam Al-Qur’an, oleh karena itu masalah
harta bersama ini sepenuhnya berada di tangan suami isteri untuk
mengaturnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin, Anwar Harjono, dan
Andoerraoef serta diikuti oleh murid-muridnya. Pengaturan harta bersama di
dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut menurut Hazairin tergolong hak
otonomi setiap masyarakat Islam untuk mengaturnya secara syura bainahum.
Pakar hukum memiliki pendapat mereka masing-masing, ada yang
membagi harta perkawinan hanya menjadi dua bagian dan ada yang membagi
menjadi empat bagian. Pakar hukum yang membagi menjadi dua bagian, di
antaranya M. Yahya Harahap, yang mengklasifikasikan harta perkawinan
menjadi:
a) Harta bersama
Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan antara
suami istri.
b) Harta masing-masing suami istri
Harta masing-masing suami istri yang diperoleh sebagai hadiah atau
warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para
pihak tidak menentukan lain. Mengenai harta pribadi ini, suami istri
masing-masing dapat melakukan perbuatan hukum tanpa persetujuan
bersama terlebih dahulu.
3
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta : Kencana Prenada
Media Grup, 2006), hal. 109

10
Abdulkadir Muhammad membagi harta-harta perkawinan menjadi 3
(tiga), yaitu :
1. Harta bersama, yaitu harta benda yang dikuasai bersama oleh suami dan
istri dan diperoleh selama perkawinan. Suami maupun istri dapat
bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak.
Apabila perceraian terjadi, maka harta bersama ini akan dibagi
berdasarkan hukum yang telah berlaku sebelumnya bagi suami istri, yaitu
hukum Agama, hukum Adat, hukum Perdata, dan lain-lain. Ketentuan
semacam ini kemungkinan akan mengaburkan arti dari penguasaan harta
bersama, karena ada kecenderungan pembagiannya tidak sama, yang
akan mengecilkan hak istri atas harta tersebut.
2. Harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami
dan istri ketika terjadi perkawinan. Harta ini dikuasai oleh masing-
masing pemiliknya, yaitu suami atau istri, tidak boleh diganggu gugat
oleh pihak lain kecuali suami dan istri menentukan lain dengan membuat
perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan.
Apabila terjadi perceraian, maka harta ini dikuasai dan dibawa oleh
masing-masing pemiliknya, kecuali ada perjanjian kawin yang
menentukan lain.
3. Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh masing-masing suami
dan istri sebagai hadiah atau warisan. Harta perolehan ini pada dasarnya
sama seperti harta bawaan. Masing-masing suami istri berhak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
perolehannya. Apabila pihak suami dan istri menentukan lain, misalnya
dengan membuat perjanjian kawin, maka penguasaan harta perolehan
dilakukan sesuai dengan isi perjanjian. Demikian pula halnya apabila
terjadi perceraian, harta perolehan dikuasai dan dibawa oleh masing-
masing pihak kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

C. Perkawinan Campuran
Seiring dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan
mobilitas manusia yang meningkat tajam, semakin banyak ditemukan WNI

11
melakukan perkawinan dengan WNA yang biasanya dikenal dengan istilah
perkawinan campuran. Konsep perkawinan campuran menurut Pasal 1 Stb.
Nomor 158 Tahun 1989 mengatur Perkawinan Campuran adalah perkawinan
antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum-hukum yang
berlainan. Hukum-hukum yang berlainan itu terjadi karena perbedaan
kewarganegaraan, tempat, golongan, dan agama. Perkawinan campuran
menurut Undang-Undang Perkawinan hanya menekankan pada perbedaan
kewarganegaraan dan salah satunya harus warga negara Indonesia.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
perkawinan campuran tertuang pada GHR yang menyebutkan jenis
perkawinan campuran yaitu perkawinan yang para pihaknya berbeda
golongan, berbeda kewarganegaraan, berbeda region, berbeda hukum adat
dan berbeda agama. Berdasarkan Pasal 2 jo.6 GHR yang intinya adalah
hukum calon suami. Menurut Reglemen tersebut sebuah perkawinan
campuran sah apabila perkawinan tersebut dilangsungkan menurut hukum
golongan penduduk suami, akan tetapi GHR ini sudah tidak berlaku lagi
semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Undang-undang perkawinan sebagai sebuah bangunan hukum,
merupakan bentuk pernyataan kehendak pembuatnya yang didasari tata pikir
logis yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk berakal.
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang pria dan
seorang wanita, yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia. Perkawinan campuran diatur didalam UU Perkawinan yaitu pada
Pasal 57 sampai dengan Pasal 62. Pengertian perkawinan campuran terdapat
pada Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Berdasarkan pada rumusan pasal tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur
perkawinan campuran sebagai berikut :
1. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita
Unsur ini menjelaskan bahwa perkawinan campuran itu adalah
perkawinan monogami.
2. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan

12
Unsur ini menjelaskan bahwa perbedaan hukum yang berlaku bagi pria
dan bagi wanita yang kawin campuran itu bukan karena perbedaan
agama, suku bangsa, dan golongan di Indonesia, melainkan karena
kewarganegaraan.
3. Perbedaan Kewarganegaraan
Unsur ini menjelaskan bahwa salah satu pihak yang akan melangsungkan
perkawinan campuran itu harus warga negara asing.
4. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia
Unsur ini mempertegaskan bahwa pihak pria atau pihak wanita dalam
perkawinan campuran harus warga negara Indonesia.

Perkawinan Campuran dapat mengakibatkan salah satu pihak baik


suami maupun istri mendapatkan kewarganegaraan dari Negara asal suami
ataupun istri apabila hukum Negara asal suami ataupun istri tersebut
menghendaki demikian. Selain itu, perkawinan campuran juga dapat
mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan suami atau istri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kewarganegaraan
Indonesia.
Hukum nasional di Indonesia yang secara khusus mengatur mengenai
hubungan hukum perdata yang mengandung unsur asing (foreign element)
akibat terkait dengan sistem hukum yang berbeda, yaitu menggunakan
Hukum Perdata Internasional (HPI). Negara Indonesia sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat juga mempunyai sistem HPI sendiri yang mempunyai
ciri-ciri khas4. Hal ini menandakan bahwa HPI bukan bersifat internasional,
tetapi HPI bersifat nasional yang kegunaannya terbatas pada perkara perdata
yang mengandung unsur asing. Sesuai dengan yang telah dijelaskan diatas,
perkawinan campuran yang terdapat yang mana perkawinannya terdapat
unsur asing, maka perkawinan tersebut akan dikuasai oleh HPI yang tidak
serta merta hanya tunduk pada UUP.
Perkawinan yang diselenggarakan di luar Indonesia yang sebagaimana
diatur pada Pasal 56 UUP maka proses dan tata caranya mengikuti cara

4
Sudargo Gautama, 2010, Hukum Antar Tata Hukum, Alumni, Bandung, hal.171

13
negara asing dimana perkawinan tersebut dilangsungkan. Begitu pula dengan
Pasal 57 UUP yang menyangkut para pihaknya yang berbeda
kewarganegaraan yang menandakan ada unsur asing di dalamnya maka
materinya termasuk pada ranah HPI. Berdasarkan Pasal 56 UUP terkait
dengan perkawinan yang diselenggarakan di luar Indonesia yang salah satu
pihaknya adalah orang asing, maka prosesnya wajib mengikuti hukum yang
berlaku di negara yang bersangkutan, dan dinyatakan sah, maka saat
pasangan tersebut kembali berdomisili di Indonesia, maka perkawinan
mereka harus diakui sah. Hal ini didasarkan pada pemikiran, bahwa adanya
unsur asing dari perkawinan tersebut, penentuan keabsahannya harus
dilandaskan pada kaidah HPI Indonesia yang mengenal ketentuan lex loci
celebrationis, bahwa suatu perkawinan keabsahannya ditentukan oleh hukum
dari negara dimana perkawinan itu diselenggarakan.
Pada umumnya di berbagai sistem hukum, berdasarkan asas locus
regit actum, diterima asas bahwa validitas/persayaratan formal suatu
perkawinan ditentukan berdasarkan lex loci celebrationis. Jadi, asas ini
menentukan bahwa keabsahan suatu perkawinan campuran diukur menurut
hukum dari Negara dimana perkawinan tersebut diselenggarakan. Pasal 2
UUP mengatur bahwa sahnya suatu perkawinan apabila dilakukan menurut
agama dan kepercayaan masing-masing, pasal ini hanya dipergunakan oleh
perkawinan sesama WNI tidak tepat apabila dipergunakan dalam perkawinan
campuran. Oleh karena perkawinan yang diselenggarakan diluar negeri tidak
dilangsungkan berdasarkan hukum agama sebagaimana Pasal 2 UUP, negara
akan menerapkan prosedur lex fori negara penyelenggara perkawinan yang
dimaksud.
Negara yang memiliki kedaulatan dan mempunyai sistem hukum yang
berbeda dengan negara lain sebagai hukum nasionalnya, dan bagi hakim
setempat disebut lex fori. Pada sisi lain apabila perkawinan campuran
diselenggarakan di Indonesia tentunya perkawinan tersebut mengikuti tata
cara perkawinan yang ada di Indonesia yang sesuai dengan UUP Menyangkut
prosedur perkawinan, memang harus diikuti baik oleh perkawinan intern
maupun perkawinan campuran agar perkawinan itu sah. Hal ini sejalan

14
dengan kaidah locus regit actum, bahwa bentuk perbuatan hukum itu dikuasai
oleh hukum dari negara dimana perbuatan tersebut dilakukan. Sesuai dengan
Pasal 56 UUP, apabila perkawinan yang diselenggarakan diluar Indonesia
baik salah satu maupun kedua-duanya merupakan warga negara Indonesia,
maka dalam waktu 1 (satu ) tahun setelah mereka kembali ke Indonesia, surat
bukti perkawinan yang di dapat di luar negeri harus didaftarkan di Kantor
Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka. Istilah didaftarkan dalam
Pasal 56 UUP ini fungsinya hanya sebagai pelaporan bukan penentu
keabsahan adanya suatu perkawinan.
Perkawinan Campuran menimbulkan hubungan hukum dan akibat
hukum. Perkawinan campuran selain menimbulkan hubungan hukum antara
suami istri juga menimbulkan akibat hukum termasuk didalamnya mengenai
status kewarganegaraannya dan juga mengenai pembentukan harta benda
sebelum dan sesudah perkawinan campuran dilakukan.
- Akibat Hukum Perkawinan Campuran Terhadap Kewarganegaraan
Warga Negara di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan mengatur kewarganegaraan
adalah “Warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan”. Warga negara Indonesia di dalam UUD 1945
pada Pasal 26 ayat (1) yang kemudian di repetisi di dalam Pasal 2
Undang-Undang Kewarganegaraan mengatur bahwa “Yang menjadi
Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai
warga negara”. Dengan demikian, WNI adalah orang-orang Bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan tata
cara yang diberlakukan undang-undang sebagai WNI. Sehubungan
dengan masalah perkawinan campuran yang melibatkan orang-orang
yang berlainan kewarganegaraan berdasarkan Pasal 58 UUP orang yang
melakukan perkawinan campuran itu dapat memperoleh
kewarganegaraannya dari suami atau istri dan dapat pula kehilangan
kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan

15
Republik Indonesia. Undang-Undang Kewarganegaraan ini menganut
asas persamaan kedudukan bahwa wanita maupun laki-laki dapat
kehilangan kewarganegaraan Indonesianya akibat perkawinan campuran
tersebut.
Pada Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 mengatur :
a) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki
Warga Negara Asing kehilangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia jika menurut hukum Negara asal suaminya,
kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai
akibat perkawinan tersebut.
b) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan
Warga Negara Asing kehilangan kewarganegaraan Republik
Indonesia jika menurut hukum Negara Istrinya, kewarganegaraan
suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan
tersebut.
Undang-Undang Kewarganegaraan memberikan kesempatan kepada
WNI yang melakukan perkawinan campuran untuk memilih
kewarganegaraannya, yang berarti suami dapat memperoleh
kewarganegaraan istri begitu juga sebaliknya istri dapat memperoleh
kewarganegaraan suami jika istri dengan kehendak sendiri menentukan
mengikuti kewarganegaraan suami.
- Akibat Hukum Perkawinan Campuran Terhadap Harta Benda
Akibat hukum terhadap harta benda dalam perkawinan campuran
antara lain kepemilikan atas benda tidak bergerak berupa tanah dan
segala sesuatunya yang melekat pada tanah, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang UUPA. Pada Pasal 21 ayat (3) UUPA menentukan
bahwa Warga Negara Asing tidak diperbolehkan memiliki Hak Milik
Atas Tanah meskipun perolehannya merupakan perolehan dari akibat
adanya harta bersama yaitu percampuran harta dalam perkawinan. Atas
perolehannya tersebut WNA harus melepaskan tanahnya tersebut dalam

16
jangka waktu 1 tahun apabila lewat jangka waktu tersebut makan
tanahnya akan jatuhnya pada Negara.

17
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perjanjian perkawinan merupakan suatu hubungan hukum mengenai
harta kekayaan antara kedua belah pihak (calon suami/istri), dalam mana
satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal,
sedangkan di pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian
tersebut. Perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang
Perkawinan. Perjanjian perkawinan juga bisa sebagai bentuk proteksi
atau perlindungan apabila dikemudian hari terjadi hal yang tidak
diinginkan dalam perkawinan seperti perceraian, kematian atau salah satu
pihak mengalami kepailitan.
2. Harta perkawinan terbagi menjadi :
a. Harta bersama, yaitu harta benda yang dikuasai bersama oleh suami
dan istri dan diperoleh selama perkawinan.
b. Harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing
suami dan istri ketika terjadi perkawinan. Harta ini dikuasai oleh
masing-masing pemiliknya, yaitu suami atau istri, tidak boleh
diganggu gugat oleh pihak lain kecuali suami dan istri menentukan
lain dengan membuat perjanjian kawin yang dibuat sebelum
perkawinan dilangsungkan.
c. Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh masing-masing
suami dan istri sebagai hadiah atau warisan.
3. Perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang pria dan
seorang wanita, yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan
karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia. Perkawinan Campuran dapat
mengakibatkan salah satu pihak baik suami maupun istri mendapatkan
kewarganegaraan dari Negara asal suami ataupun istri juga dapat
mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan suami atau istri sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
kewarganegaraan Indonesia.

18
B. Saran
Menurut saya, perjanjian perkawinan harus lebih diperkenalkan kepada
calon suami atau istri untuk menghindari adanya konflik yang dapat terjadi
dikemudian hari, juga harus memuat tentang msalah pembagian anak juga,
karena pada saat sekarang setiap terjadi perceraian, sering terjadi perebutan
anak.

19
Daftar Pustaka
A. Buku
Hasan, Hasniah.1987. Hukum Warisan Dalam Islam. Surabaya : PT Bina
Ilmu,
B. Jurnal
Sahnya perkawinan menurut UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan
ditinjau dari hukum perjanjian (http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id)
Perjanjian perkawinan sebagau sarana perlindungan hukum bagi para
pihak dalam perkawinan (http://hukumstudentjournal.ub.ac.id)

20
Soal Objektif

1. Istilah perjanjian perkawinan dalam bahasa Inggris yaitu ...


a. Prudential agreement
b. Promedial agreement
c. Prenuptial agreement
d. Pranatinal agreement

Jawaban : C

2. Perjanjian perkawinan lahir dari daerah ...


a. Asia
b. Timur
c. Amerika
d. Barat

Jawaban : D

3. Generasi muda saat ini menggunakan perjanjian perkawinan sebagai ...


a. Proteksi
b. Simpati
c. Unjuk bakat
d. Praktek

Jawaban : A

4. Perjanjian perkawinan menurut Subekti adalah ...


a. Suatu perjanjian bagi dua orang calon suami istri untuk mengatur
harta kekayaan pribadi masing-masing yang dibuat menjelang
perkawinan, serta disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah
b. Suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama
perkawinan mereka yang menyimpangi dari asas atau pola yang
ditetapkan oleh Undang-Undang
c. Perjanjian yang dibuat oleh bakal suami istri untuk mengatur
akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka

21
d. Perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri sebelum
atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-
akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka

Jawaban : B

5. Perjanjian perkawinan diatur dalam pasal ...


a. 39
b. 139
c. 29
d. 129

Jawaban : C

6. Tujuan perjanjian perkawinan adalah ...


a. Perlindungan apabila dikemudian hari terjadi hal yang tidak
diinginkan dalam perkawinan
b. Perlindungan apabila terjadi hal yang tidak diinginkan dalam
sebelum perkawinan
c. Memudahkan menghitung warisan
d. Meminta pembagian harta saat berlangsungnya perkawinan

Jawaban : A

7. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang


membahas mengenai perjanjian perkawinan terdapat dalam ... pasal.
a. 4
b. 3
c. 2
d. 1

Jawaban : D

8. Pasal 35 UU perkawinan membagi harta perkawinan menjadi ...


a. 1
b. 2

22
c. 3
d. 4

Jawaban : B

9. Yang dimaksud sebagai harta bersama adalah ...


a. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri
b. Harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan
c. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan
d. Harta benda yang diperoleh setelah perceraian

Jawaban : C

10. Yang dimaksud sebagai harta bawaan adalah ...


a. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri
b. Harta benda yang diperoleh masing-masing setelah perceraian
c. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan
d. Harta benda yang diperoleh setelah perceraian
Jawaban : A
11. Hadiah yang diperoleh masing-masing saat perkawinan termasuk ke dalam
harta ...
a. Bawaan
b. Bersama
c. Warisan
d. Kejutan

Jawaban : A

12. Isi dari Al-Qur’an surat an-Nissa’ ayat 32 yaitu ...


a. Sesungguhnya harta adalah kepemilikan setiap hamba
b. Bagi semua laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan
dan semua wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan pula

23
c. Bagi semua laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan
dan tidak semua wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan
pula
d. Harta yang ada berada dibawah kepemilikan istri

Jawaban : B

13. Abdulkadir Muhammad mengelompokkan harta perkawinan menjadi ...


bagian.
a. 1
b. 2
c. 3
d. 4

Jawaban : C

14. Perkawinan campuran adalah ...


a. Perkawinan yang dilangsungkan secara bersama-sama oleh banyak
pegantin
b. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita, yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia
c. Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia
d. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita, yang tunduk
pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan
dan kedua pihak tidak berkewarganegaraan Indonesia

Jawaban : B

15. Perkawinan campuran diatur didalam UU Perkawinan yaitu pada ...


a. Pasal 57 sampai dengan Pasal 59
b. Pasal 57 sampai dengan Pasal 60
c. Pasal 57 sampai dengan Pasal 61
d. Pasal 57 sampai dengan Pasal 62

24
Jawaban : D

16. Dampak positif perkawinan Campuran yaitu...


a. Tidak memiliki satupun kewarganegaraan
b. Memiliki 2 kewarganegaraan
c. Kehilangan harta benda
d. Mendapat penghargaan

Jawaban : B

17. Dampak negatif perkawinan Campuran yaitu...


a. Memiliki 2 kewarganegaraan
b. Kehilangan harta benda saat terjadi perceraian
c. Mendapat Harta benda baru
d. Mendapat penghargaan

Jawaban : B

18. Perkawinan yang diselenggarakan di luar Indonesia yang sebagaimana


diatur pada Pasal 56 UUP maka proses dan tata caranya mengikuti cara...
a. Negara Indonesia
b. Negara tetangga
c. Negara asing dimana perkawinan tersebut dilangsungkan
d. Negara yang berkedaulatan

Jawaban : C

19. Lex fori adalah ...


a. Negara yang memiliki kedaulatan dan mempunyai sistem hukum
yang berbeda dengan negara lain sebagai hukum nasionalnya, dan
bagi hakim setempat
b. Negara yang memiliki kedaulatan dan mempunyai sistem hukum
yang sama dengan negara lain sebagai hukum nasionalnya, dan
bagi hakim setempat

25
c. Negara yang tidak memiliki kedaulatan dan mempunyai sistem
hukum yang berbeda dengan negara lain sebagai hukum
nasionalnya, dan bagi hakim setempat
d. Negara yang memiliki kedaulatan dan mempunyai sistem hukum
yang berbeda dengan negara lain sebagai hukum internasionalnya,
dan bagi hakim setempat

Jawaban : A

20. Foreign element adalah ...


a. Bahasa asing
b. Unsur asing
c. Kata asing
d. Makna asing

Jawaban : B

26

Anda mungkin juga menyukai