Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Urgensi Perjanjian Perkawinan Dalam Perkawinan Poligami

Diajukan Sebagai Pemenuhan Tugas Untuk Mata Kuliah Perkembangan Hukum Islam

Disusun

Yuni Zakira

2220112002

Dosen Pengampu : Dr. Devianty Fitri S.H., M.H

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur alhamdulillah saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan nikmat, taufik serta hidayah-Nya yang sangat besar sehingga saya pada akhirnya
bisa menyelesaikan makalah untuk mata kuliah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia

Saya sangat berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan manfaat dan edukasi
mengenai “Urgensi Perjanjian Perkawinan Dalam Perkawinan Poligami“ sehingga bisa
menambah wawasan serta pengetahuan pembaca

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat membawa kemanfaatan
bagi yang membacanya. Serta makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih membutuhkan
kritik serta saran dari pembaca, untuk menjadikan makalah ini lebih baik ke depannya.

Penulis

9 Januari 2024

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul……………………………………………………………….1

Kata Pengantar………………………………………………………………2

Daftar Isi……………………………………………………………………..3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………4


1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………......5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Perjanjian Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif…………6


2.2 Urgensi Perjanjian Perkawinan dalam Perkawinan Poligami……………….12

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan………………………………………………………………….21

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkawinan atau pernikahan adalah salah satu sarana untuk menjauhkan manusia dari
perbuatan dosa. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Dalam perkawinan terhadap asas
yang sangat penting dan menarik untuk dikaji, yakni asas monogami, dimana laki-laki hanya
boleh mempunyai satu istri. Perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita dikenal
sebagai perkawinan monogami, tetapi terdapat pula bentuk perkawinan yang dikenal dengan
perkawinan poligami. Di Indonesia terdapat tiga peraturan yang mengatur mengenai perjanjian
perkawinan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sedangkan sebagai aturan pelengkap yang
akan menjadi pedoman bagi hakim di lembaga peradilan agama adalah Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia yang telah ditetapkan dan disebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI).1

Hal yang berkaitan dengan harta bersama dalam perkawinan Poligami diatur dalam Pasal 35
ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa harta benda yang
diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta benda milik bersama. Keputusan Menteri
Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Intruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991. Dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa sebelum
melakukan perkawinan, kedua belah pihak dapat membuat suatu perjanjian yang bersifat tertulis
yang kemudian disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan selama tidak melanggar batas
hukum dan kesusilaan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam bentuk perjanjian perkawinan ditambahkan dengan


perjanjian taklik talak selama perjanjian yang lain tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Tujuan dibuatnya perjanjian perkawinan setelah perkawinan baik bagi kedua belah pihak suami
istri maupun pihak lain yang terkait dengan harta benda perkawinan dan apa akibat hukum yang

1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 1.

4
ditimbulkan oleh perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung, yaitu
seperti harta perkawinan yang telah tercampur, hutang piutang yang telah ada ketika perkawinan
berlangsung sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan setelah perkawinan tersebut dan hal-hal
lainnya yang menimbulkan akibat hukum yang perlu dikaji dan diteliti lebih lanjut dengan
adanya perjanjian perkawinan ini sebagaimana adanya akibat-akibat hukum dari perkawinan. 2

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya, maka rumusan masalah yang
akan menjadi pembahasan adalah :

1. Apakah yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan menurut hukum islam dan hukum
positif ?
2. Bagaimanakah urgensi perjanjian perkawinan dalam pernikahan poligami ?

2
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju,
Bandung, 2011, hlm. 35.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perjanjian Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif

Perkembangan era milenial sekarang ini, semakin banyak masyarakat Indonesia yang
sadar akan pentingnya hukum bagi perlindungan diri sendiri. Salah satu bentuk perlindungan
diri ialah dengan melindungi hak-haknya dalam suatu hubungan perkawinan. Perlindungan
hak-hak individu dalam hubungan perkawinan menurut hukum positif Indonesia dapat
diberlakukan dengan membuat suatu perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan di
Indonesia mulai diperbolehkan dibuat sejak diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata pada tanggal 1 Mei 1848 (Hanafi Arief, 2017). Perjanjian perkawinan dalam Bahasa
Inggris disebut juga dengan Prenuptial Agreement. Pengertian perjanjian perkawinan sendiri
tidak terdapat penjelasan dalam Undang-Undang Perkawinan, melainkan hanya disebutkan
mengenai istilahnya saja dan diatur mengenai keabsahannya, saat berlakunya, serta dapat
diubahnya perjanjian tersebut. Soetojo Prawirohamidjojo mengemukakan bahwa perjanjian
perkawinan merupakan perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh calon suami isteri,
sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan
terhadap harta kekayaan.3

A. Perjanjian Perkawinan Menurut Hukum Islam

Setiap keluarga menginginkan kebaikan dalam pernikahannya yaitu sehat, sakinah dan
sejahtera, baik mental maupun fisik, kebaikan dunia maupun akhirat. Menurut hukum Islam,
pernikahan sah dan dianggap terjadi apabila ada ijab (penyerahan) dan kabul (penerimaan)
oleh wali calon mempelai wanita kepada calon mempelai pria yang disaksikan oleh dua
orang saksi.4Beberapa calon pasangan yang akan melangsungkan pernikahan dapat
melakukan perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan merupakan kesepakatan yang
dibuat calon mempelai laki-laki dan perempuan sebelum melangsungkan perkawinan dan
disahkan oleh pegawai pencatat nikah. Perjanjian tersebut memiliki syarat yaitu tidak boleh

3
Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya:
Airlangga University Press, 1986, hlm. 57
4
Asep Sapudin Jahar dan Euis Nurlaelawati, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis (Kajian Perundang-undangan
Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional), (Jakarta: Kencana, 2013), h 25

6
bertentangan dengan hukum Islam/hakikat perkawinan. Apabila syarat perjanjian
bertentangan dengan syariat Islam maka perjanjian tersebut tidak sah dan tidak perlu diikuti
akan tetapi akad nikahnya tetap sah. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa “Segala syarat
yang tidak terdapat dalam Kitabullah adalah batal, sekalipun 100 kali syarat.” 5Bentuk
perjanjian perkawinan menurut Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:

1. Taklik talak.

2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan syara.

Menurut Pasal 46 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa:

1. Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam


2. Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak benar-benar terjadi maka talak
tidak jatuh dengan sendirinya. Supaya talak benar-benar jatuh maka istri harus
mengajukan ke Pengadilan Agama.
3. Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib dilakukan pada setiap
perkawinan, akan tetapi apabila taklik talak sudah diperjanjikan maka tidak dapat
dicabut kembali.6

Menurut Pasal 47 Kompilasi hukum Islam, menjelaskan bahwa:

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan calon mempelai dapat


membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai
kedudukan harta dalam perkawinan
2. Perjanjian pada ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan
harta pencaharian sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam

Pasal 48 menyatakan bahwa:

1. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama maka


perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga.

5
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2003), h. 119-120.
6
Tim Penyusun, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2020), h. 25.

7
2. Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat
(1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama dengan kewajiban suami
menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.

Pasal 49 menyatakan bahwa:

1. Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa
masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama
perkawinan
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan
bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa selama perkawinan atau sebaliknya7

Pasal 50 menyatakan bahwa:

1. Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat para pihak dan pihak ketiga
terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan dihadapan Pegawai Pencatat
Nikah
2. Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami
istri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat
perkawinan dilangsungkan
3. Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami istri tetapi
terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu
diumumkan suami istri pada suatu surat kabar setempat
4. Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang
bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat
pihak ketiga
5. Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian
yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.

Pasal 51 menyatakan:

Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta
pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan
Agama

8
Pasal 52 menyatakan:

Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga dan keempat boleh
diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi istri
yang dinikahinya itu7

B. Perjanjian Perkawinan Menurut Hukum Positif di Indonesia

Perjanjian perkawinan menurut asalnya adalah terjemahan dari kata


“huwelijkesevoorwaarden” yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang istilah ini
juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kata “huwlijk” menurut bahasa
berarti perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dan “voorwaard”
mempunyai arti syarat atau persetujuan. Pengertian perjanjian perkawinan yaitu persetujuan
yang dibuat untuk/dalam suatu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan . 8
Secara umum, perjanjian perkawinan berisi tentang pengaturan harta kekayaan calon suami
istri. Tujuan perjanjian perkawinan adalah untuk mengatur akibat-akibat perkawinan yang
menyangkut harta kekayaan.

Berikut ini dijabarkan beberapa manfaat dari dibuatnya perjanjian perkawinan, antara lain
:9

1. Memisahkan harta kekayaan suami dan istri sehingga tidak terjadi percampuran harta
kekayaan, sehingga apabila suatu saat terjadi perceraian diantara keduanya, masing-
masing harta tetap dalam penguasaan masingmasing dan meminimalisir adanya
konflik harta gono-gini;
2. Masalah hutang yang dibuat dalam perkawinan akan menjadi tanggung jawab
masing-masing;
3. Apabila salah satu dari suami atau istri hendak mengalihkan dan/atau menjual harta
kekayaan serta hendak melakukan suatu tindakan hukum tentang harta kekayaannya
tidak diperlukan adanya izin dari pasangan (istri/suami); dan

7
Ibid, hlm. 27
8
Martias Gelar Imam Radjo Mulono, Penjelasan Istilah-Istilah Hukum Belanda Indonesia, Jakarta: Ghalia, 1982,
hlm. 107
9
Soetojo Prawirohamidjoyo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, Surabaya: Airlangga University
Press, 2000, hlm. 79

9
4. Tidak perlu adanya izin terlebih dahulu dari pasangan mengenai fasilitas kredit yang
suami/istri ajukan dalam hal menjaminkan aset yang terdaftar atas namanya.

Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kemudian menentukan bahwa


“Dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak
menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan perundangundangan sekitar
persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau
tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan hukum yang berlaku (R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2008: PS 139).”10

Perjanjian kawin yang berisi penyimpangan terhadap persatuan-persatuan bulat


biasanya dibuat oleh calon suami-istri yang jumlah kekayaannya sangat tidak berimbang,
misal calon suami yang dikategorikan sangat mampu, sedangkan calon istri sangat
kekurangan, atau sebaliknya. Perjanjian perkawinan menurut ketentuan Pasal 147 Kitab
UndangUndang Hukum Perdata harus dibuat sebelum perkawinan berlangsung dan harus
dibuat dalam bentuk akta Notaris. Setelah dibuatkan dan dikonstantir dalam suatu akta
Notaris, perjanjian perkawinan ini dapat mulai berlaku pada saat perkawinan telah
dilaksanakan di depan Pegawai Catatan Sipil dan mulai berlaku terhadap pihak ketiga
sejak dilakukannya pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat, dimana
dilangsungkannya perkawinan dan telah dicatat dalam Akta Perkawinan pada Catatan
Sipil.11

Menurut Pasal 152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, apabila pendaftaran


perjanjian perkawinan belum didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan belum
dicatatkan pada Akta Perkawinan Catatan Sipil, maka pihak ketiga boleh menganggap
perjanjian perkawinan yang dibuat diantara suami-istri tersebut tidak sah dan
menganggap suami-istri tersebut melaksanakan perkawinan dengan persatuan bulat harta
kekayaan perkawinan. Seiring berjalannya waktu dengan bertambahnya peraturan-
peraturan sebagai hukum positif di Indonesia, pada tanggal 1 Oktober 1975 telah berlaku
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur hal-hal

10
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek voor Indonesie],
Jakarta: Pradnya Paramita, 2008, hlm. 139
11
Muhammad Sopiyan, Analisis Perjanjian Perkawinan Dan Akibat Menurut Undang-Undang Perkawinan Di
Indonesia, Jurnal Kajian Islam dan masyarkat, Vol 6, No 2, 2023, hlm. 178

10
mengenai hubungan perkawinan di Indonesia. Perjanjian perkawinan dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Bab V Pasal 29 dan
diatur pula dalam Peraturan Pemerintah Tahun Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pelaksanaan pembuatan
perjanjian perkawinan juga mengalami perubahan setelah dikeluarkannya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

Hukum positif Indonesia yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan diatur


dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan perjanjian perkawinan menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dengan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat
perbedaan dan berdasarkan asas hukum yaitu asas lex specialis derogate legi generalis
yang merupakan asas penafsiran hukum bahwa hukum yang bersifat khusus
mengesampingkan hukum yang bersifat umum, maka ketentuan yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan
pelaksanaannya lebih efektif dilaksanakan dengan tetap mengindahkan ketentuan
perjanjian perkawinan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mulai berlaku pada


tanggal 1 Oktober 1975. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, sehingga di Indonesia telah terjadi unifikasi dalam bidang Hukum
Perkawinan, kecuali sepanjang yang belum atau tidak diatur dalam undang-undang
tersebut, maka peraturan lama dapat dipergunakan.12 Setelah diberlakukannya perundang-
undangan tersebut, peraturan mengenai perkawinan di Indonesia, khususnya dalam
pembahasan ini ialah mengenai perjanjian perkawinan mulai berlaku menggunakan
UndangUndang Perkawinan tersebut. Problematika perkawinan yang semakin kompleks
mengakibatkan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dengan perubahan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.

12
Amiur Nuruddin, Dari Mana Sumber Hartamu: Renungan tentang Bisnis Islami dan Ekonomi Syariah, Jakarta :
Erlangga, 2010, hlm. 53

11
Berdasarkan aturan Pasal 119 sampai dengan Pasal 198 Kitab UndangUndang Hukum
Perdata, dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 (tiga) jenis perkawinan perjanjian, antara lain:

a) Perjanjian perkawinan pisah harta bawaan masing-masing suami atau istri. Pemisahan
harta ini dipisahkan terhadap harta bawaan dari masing-masing suami istri yang
didapatkan sebelum adanya hubungan perkawinan. Maka secara langsung, harta bawaan
seperti hibah, waris, dan lain sebagainya tetap dalam penguasaan masing-masing suami
atau istri. Mengenai harta yang diperoleh setelah adanya hubungan perkawinan tetap
menjadi harta bersama keduanya yang dimiliki bersama;
b) Perjanjian perkawinan pemisahan untung rugi. Pemisahan ini meliputi pemisahan
apabila terdapat keuntungan setelah adanya hubungan perkawinan diantara suami atau
istri, maka keuntungan tersebut akan dibagi sama rata terhadap keduanya. Sedangkan,
apabila terdapat kerugian setelah adanya hubungan perkawinan, maka kerugian tersebut
menjadi tanggung jawab masing-masing antara suami atau istri tersebut;
c) Perjanjian perkawinan pemisahan harta secara bulat atau sepenuhnya. Pemisahan harta
ini artinya seluruh harta dalam perkawinan, baik harta yang sudah ada sebelum adanya
hubungan perkawinan maupun harta yang timbul sepanjang adanya hubungan
perkawinan tersebut menjadi hak dari masing-masing suami dan istri. Dengan dibuatnya
perjanjian perkawinan pemisahan harta secara bulat ini, maka diantara keduanya dapat
melakukan suatu perbuatan hukum sendiri dari hartanya tanpa diperlukan persetujuan
dari suami/istri.

2.2 Urgensi Perjanjian Perkawinan dalam Perkawinan Poligami

Bagi masyarakat pada umumnya perjanjian perkawinan tetap perlu, tetapi bukan
dalam pengertian untuk kepentingan material sebagaimana umumnya terjadi pada artis,
pejabat, atau pengusaha. Perjanjian perkawinan diperlukan untuk mempermudah dalam
memisahkan mana yang merupakan harta bersama dan mana yang bukan agar jika terjadi
perceraian, pembagian harta gono-gininya dapat dengan mudah diselesaikan. Melalui
jalan ini, perselisihan antar mantan pasangan suami-istri yang bercerai tidak perlu

12
berkepanjangan. Apalagi, mereka harus memecahkan persoalan-persoalan lain yang
pemutusan hubungan perkawinan mereka.13

Membahas mengenai poligami dalam suatu perkawinan sangat penting karena


menyangkut hak-hak apa saja yang harus dipenuhi apabila hal tersebut sampai terjadi.
Pihak suami yang ingin melakukan poligami sebaiknya mempertimbangkan terlebih
dahulu apa saja dampak ataupun konsekuensi yang dapat ditimbulkan apabila poligami
ini terjadi khususnya terhadap psikologis rumah tangga yaitu istri, anak dan
keluarganya.14Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan khusus mengenai poligami ini
agar jelas apa saja yang menjadi hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh istri yang
sebelumnya. Dengan adanya salah satu permasalahan seperti ini, sangat diperlukan
adanya perjanjian perkawinan dalam sebuah rumah tangga. Untuk membuat suatu
perjanjian perkawinan, tidak boleh adanya unsur paksaan yang berarti adanya salah satu
pihak yang tidak menghendaki adanya perjanjian tersebut maka pihak yang lainnya tidak
boleh memaksakan kehendaknya untuk tetap mengadakan perjanjian itu. Isi dari
perjanjian perkawinan tersebut seluruhnya diserahkan kepada para pihak yang
bersangkutan dan tetap mengacu pada peraturan yang berlaku yang artinya para pihak
bebas menentukan isi dari perjanjian tersebut tetapi tidak melanggar aturan perundang-
undangan dan tidak menghilangkan hak dan kewajiban dari pasangan suami istri
tersebut.15

Undang-Undang Perkawinan dalam menentukan isi dalam perjanjian perkawinan


tidak menekankan pada harta kekayaan saja, sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) Undang-
Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan
bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Apabila dibandingkan
dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai perjanjian
perkawinan, isi perjanjiannya hanya menekankan pada harta kekayaan suami istri saja.

13
Eman Sulaiman, Urgensi dan Fungsi Perjanjian Perkawinan, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, Volume 7,
Nomor 2, Juli 2021, hlm. 172
14
Ni Luh Putu Mike Wijayanti S, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Istri Dalam Perkawinan Poligami Melalui
Perjanjian, Jurnal ActaComitas, Vol. 03 No. 02 Oktober 2018, hlm. 298
15
A Rokhim, Kedudukan Hukum Perjanjian Perkawinan Sebagai Alasan Perceraian. Masalah-Masalah Hukum,
41(1), 2012, hlm. 59-64

13
Perjanjian perkawinan lazimnya dibuat hanya untuk mengatur harta kekayaan dalam
hubungan perkawinan. Akan tetapi, apabila mengacu pada asas kebebasan berkontrak
sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, maka dapat
disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan dapat ditambahkan klausula-klausula
tambahan mengenai apa yang ingin diatur dalam perjanjian perkawinan tersebut asalkan
tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan, serta ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 140, 141, 142, dan 143 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
melarang untuk mengurangi atau menghilangkan hak-hak masing-masing suami istri.
Beberapa contoh perjanjian perkawinan diluar harta kekayaan yaitu kejahatan rumah
tangga, memperjanjikan salah satu pihak untuk tetap berkarir meski sudah menikah, dan
lain sebagainya (Muchsin, 2008: hal 7).16

Perkawinan poligami sebagai perbuatan hukum akan membawa akibat hukum tertentu
diantaranya adalah mengenai harta kekayaan perkawinan. Apabila dikemudian hari
perkawinan berakhir baik oleh karena perceraian, kematian atau karena putusan
pengadilan. Akibat dari suatu perkawinan memiliki akibat yang luas antara lain adalah
terkait sosial dan hukum. Hukum Islam memberikan kebebasan kepada suami dan isteri
untuk membuat perjanjian perkawinan sesuai dengan keinginan para pihak dan perjanjian
itu mengikat secara hukum. Pembagian harta bersama ini dalam Islam disebut syirkah.17

Dalam hukum Islam maupun hukum positif sama-sama mengenal adanya perkawinan
poligami. Al-Qur’an surah al-Nisa’ (4) ayat 3 memberikan kebebasan kepada laki-laki
(suami) untuk menikah lebih dari seorang apabila telah terpenuhi syarat-syarat keadilan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia
juga mengatur tentang syarat-syarat seseorang diperbolehkan untuk melakukan
perkawinan lebih dari seorang wanita atau biasa disebut poligami sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (2).

Dalam pasal ini disebutkan bahwa apabila seorang suami akan melakukan perkawinan
lebih dari seorang istri maka wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan didaerah

16
Muchsin, Perjanjian Perkawinan dalam Perspektif Hukum Nasional. Jakarta: Varia Peradilan, 2008. Hlm. 7
17
Aldilla Gemiyu Pawitasari, Perjanjian Perkawinan Sebagai Instrumen Perlindungan Hukum Dalam Perkawinan
Poligami Di Indonesia, LEX Renaissance Vol. 4, No. 2 JULI 2019, hlm. 348

14
tempat tinggalnya dengan didasarkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Alasan-alasan tersebut yaitu :18

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;


b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Ketentuan harta bersama dalam juga diatur dalam UU Perkawinan yang menegaskan
bahwa jika seorang suami berpoligami, suami harus memenuhi syarat sebagai berikut :14

a. Suami wajib menmeri jaminan hidup yang sama kepada semua istri dan anaknya;
b. Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang
telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya itu terjadi;
c. Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak
perkawinan masing-masing

Berdasarkan pada Pasal 65 ayat (1) Huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, maka dapat dikatakan bahwa pembagian harta bersama dari akibat
adanya perkawinan poligami menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 adalah
kedudukan isteri kedua, ketiga dan keempat dalam perkawinan poligami tidak memiliki
hak atas harta bersama dari perkawinan suami dan isteri pertama, isteri ketiga dan
keempat tidak mempunyai hak atas harta bersama dari perkawinan suami dengan isteri
pertama dan kedua, sedangkan isteri keempat tidak mempunyai hak atas harta bersama
dari perkawinan suami dengan isteri pertama, kedua dan ketiga. Harta bersama dalam
perkawinan poligami akan menjadi persoalan yang cukup rumit, karena juga akan
menimbulkan kerugian pada istri terdahulu, maka pada zaman sekarang diperlukan
adanya pembukuan yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan sempurna
apabila terjadi sengketa dikemudian hari.

Harta bersama dalam perkawinan poligami telah diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam Pasal 94 ayat (1) dan (2). Dalam Pasal tersebut telah dijelaskan bahwa harta
bersama dalam perkawinan poligami harus terpisah dan berdiri sendiri. Hal ini memiliki
tujuan untuk menghindari terjadinya percampuran harta bersama yang dapat berakibat
18
UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 4 ayat (2)

15
sengketa jika terjadi peristiwa meninggalnya suami atau istri dan/atau perceraian. Pasal
94 ayat (2) Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991
tentang Pelaksanaan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 mengatur mengenai
pembagian harta bersama, Pasal ini menyebutkan: “pemilikan harta bersama dari
perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut
dalam ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga
atau keempat” Pasal 94 ayat (2) Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dapat
dipecah unsurunsurnya sebagai berikut : a. Pemilikan harta bersama; b. Dari perkawinan
seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang (perkawinan poligami); c. Harta
bersama dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau
keempat. Dapat disimpulkan kepemilikan harta bersama dengan istriistrinya dalam
perkawinan poligami akan berakhir semenjak akad perkawinan kedua, ketiga atau
keempat.

Penerapan Harta bersama dalam perkawinan poligami terdapat dalam putusan hakim
yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pada dasarnya pembagian
harta bersama dalam perkawinan poligami dalam hal ini suami yang mengajukan
permohonan ke Pengadilan tidak disinggung secara jelas. Dalam mengajukan
permohonan izin poligami kepada Pengadilan, suami mencantumkan harta apa saja yang
telah diperoleh dengan isteri terdahulu atau istri pertama sebagai dasar bagi hakim untuk
menetapkan harta apa saja yang diperoleh dalam masa perkawinan sebelum terjadinya
poligami.17 Penerapan pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami
sebagaimana tercantum dalam putusan adalah merupakan syarat materiil, artinya
penerapan tersebut dikembalikan kepada para pihak itu sendiri pembagiannya.

Bentuk perjanjian perkawinan telah diatur dalam Pasal 147 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang dengan tegas menentukan bahwa perjanjian perkawinan harus
dibuat dengan akta notaris, dengan ancaman pembatalan. Syarat ini dimaksudkan agar:19

a. Perjanjian perkawinan tersebut dituangkan dalam bentuk akta otentik yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang dalam hal ini adalah Notaris sehingga akta
19
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1993, hlm.153

16
tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Dalam hal ini
pembuktian digunakan apabila terjadi suatu sengketa antara para pihak
dikemudian hari.
b. Memberikan kepastian hukum berkaitan dengan hak dan kewajiban antara suami
dan isteri atas harta benda mereka, mengingat perjanjian perkawinan mempunyai
akibat yang cukup luas. Untuk membuat perjanjian perkawinan dibutuhkan
seseorang yang benar-benar menguasai hukum harta perkawinan dan dapat
merumuskan semua syarat dengan teliti. Hal ini berkaitan dengan ketentuan
bahwa bentuk harta perkawinan harus tetap sepanjang perkawinan tersebut. Suatu
kekeliruan dalam merumuskan syarat dalam perjanjian perkawinan tidak dapat
diperbaiki atau dirubah lagi sepanjang perkawinan.

Dalam hal perjanjian perkawinan, para pihak bebas menentukan bentuk hukum
perjanjian perkawinan yang akan mereka buat. Mereka dapat menentukan bahwa dalam
perkawinan mereka tidak ada persatuan harta atau ada persatuan harta yang terbatas yaitu
persatuan untung rugi (gemeenschap van wins en verlies) Pasal 155 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata dan persatuan hasil dan keuntungan (gemeenschap van vruchten
en incomsten) Pasal 164 KUH Perdata. Perjanjian perkawinan ini tujuannya adalah untuk
melakukan perlindungan hukum terhadap harta suami atau istri. Tujuan lain dari
perlindungan hukum ini adalah dalam perkawinan dengan harta persatuan secara bulat,
tujuannya agar isteri terlindungi dari kemungkinan-kemungkinan tindakan-tindakan
suami yang tidak baik dan dapat merugikan isteri yang telah dinikahi telebih dahulu.

Setelah perjanjian perkawinan dibuat oleh para pihak dihadapan Notaris, maka
selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan pendaftaran kepada pegawai pencatat
nikah. Karena suatu perjanjian perkawinan dapat dikatakan sah apabila dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang dalam hal ini adalah Notaris dan didaftarkan kepada
pegawai pencatat perkawinan. Kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dalam
hal ini adalah Notaris dan disahkan dengan didaftarkan ke Pegawai Pencatat Nikah
sepanjang perjanjian tersebut tidak melanggar hukum, kesusilaan dan ketertiban umum.
Bentuk dari suatu akta perjanjian adalah bebas, artinya dapat dibuat dengan akta otentik

17
maupun dengan perjanjian di bawah tangan. Namun sesuai dengan Pasal 147 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata maka perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta
Notaris.

Untuk itulah, perjanjian perkawinan tetap penting dan bermanfaat bagi siapa saja,
tidak memandang harta, jabatan, atau kekuasaan. berikut ini dikemukakan manfaat
perjanjian perkawinan:

a. Perjanjian perkawinan dibuat untuk melindungi secara hukum harta bawaan masing-
masing pihak (suami/istri). Artinya, perjanjian perkawinan dapat berfungsi sebagai
media hukum untuk menyelesaikan masalah rumah tangga yang terpaksa harus
berakhir, baik karena perceraian maupun kematian. Adanya perjanjian perkawinan,
maka akan jelas perbedaannya mana yang merupakan harta gono-gini (yang perlu
dibagi dua secara merata), dan mana yang merupakan harta pribadi masing-masing
(yang tidak perlu dibagi).
b. Perjanjian perkawinan juga berguna untuk mengamankan aset dan kondisi ekonomi
keluarga. Jika suatu saat terjadi penyitaan terhadap seluruh aset keluarga karena
bisnis bangkrut, dengan adanya perjanjian perkawinan “sekoci” ekonomi keluarga
akan bisa aman. Ketika hendak membuat perjanjian perkawinan, Pasangan calon
pengantin biasanya memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya membentuk
sebuah rumah tangga saja, namun ada sisi lain yang harus dimasukkan dalam poin-
poin perjanjian. Tujuannya, tidak lain agar kepentingan mereka tetap terjaga.
c. Perjanjian perkawinan juga sangat bermanfaat bagi kepentingan kaum perempuan.
Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka hak hak dan keadilan kaum perempuan
(istri) dapat terlindungi. Perjanjian perkawinan dapat dijadikan pegangan agar suami
tidak memonopoli harta gono-gini dan harta kekayaan pribadi istrinya. Disamping itu,
dari sudut pemberdayaan perempuan, perjanjian tersebut bisa menjadi alat
perlindungan perempuan dari segala kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga ( KDRT).

Perkawinan memang tidak diharuskan. Hanya, banyak manfaat yang bisa dirasakan
jika sebuah perkawinan itu tu juga disertai adanya perjanjian perkawinan terlebih dahulu.
Pemikiran tentang perlu atau tidaknya perjanjian perkawinan itu biasanya nya didasarkan

18
atas kesepakatan antara calon suami dan calon istri yang akan berumah tangga. Jika salah
satu dari mereka tidak setuju, hal itu tidak akan bisa dipaksakan. Disebabkan sifatnya
yang tidak wajib, tidak adanya perjanjian perkawinan tidak lantas menggugurkan status
perkawinan mereka. Pembuatan perjanjian perkawinan lebih didorong karena adanya
kemungkinan hak-hak dari pihak yang terganggu jika perkawinan mereka telah
dilangsungkan.

Selanjutnya mengenai manfaat atau fungsi perjanjian perkawinan dinyatakan Mike


Rini (dalam Haedah Faradz) bahwa pentingnya perjanjian perkawinan ternyata cukup
banyak manfaatnya bagi suami dan isteri.20 Tanpa perjanjian perkawinan, maka dalam
proses pembagian harta gono-gini sering terjadi pertikaian. Manfaat dari perjanjian
perkawinan adalah dapat mengatur penyelesaian dari masalah yang kira-kira akan timbul
selama perkawinan, antara lain:

1. Tentang pemisahan harta kekayaan, jika tidak ada harta gono-gini, syaratnya
harus dibuat sebelum pernikahan dan harus dicatatkan di tempat pencatatan
perkawinan
2. Tentang pemisahan hutang, dalam perjanjian perkawinan dapat diatur mengenai
masalah hutang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa
hutang. Hutang yang dimaksud adalah hutang yang terjadi sebelum pernikahan,
selama pernikahan, setelah perceraian bahkan kematian.
3. Tanggung jawab terhadap anak-anak hasil pernikahan tersebut terutama mengenai
masalah biaya hidup anak, dan biaya pendidikanya harus diatur sedemikian rupa
berapa besar kontribusi masingmasing orangtua, dalam hal ini tujuanya agar
kesejahteraan anak-anak tetap terjamin.

20
Haedah Faradz, Tujuan dan Manfaat Perjanjian Perkawinan, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 8 No. 3 September
2008, hlm. 252

19
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Membahas mengenai poligami dalam suatu perkawinan sangat penting karena
menyangkut hak-hak apa saja yang harus dipenuhi apabila hal tersebut sampai terjadi. Pihak
suami yang ingin melakukan poligami sebaiknya mempertimbangkan terlebih dahulu apa
saja dampak ataupun konsekuensi yang dapat ditimbulkan apabila poligami ini terjadi

20
khususnya terhadap psikologis rumah tangga yaitu istri, anak dan keluarganya. Oleh karena
itu, perlu adanya pengaturan khusus mengenai poligami ini agar jelas apa saja yang menjadi
hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh istri yang sebelumnya. Dengan adanya salah satu
permasalahan seperti ini, sangat diperlukan adanya perjanjian perkawinan dalam sebuah
rumah tangga. Untuk membuat suatu perjanjian perkawinan, tidak boleh adanya unsur
paksaan yang berarti adanya salah satu pihak yang tidak menghendaki adanya perjanjian
tersebut maka pihak yang lainnya tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk tetap
mengadakan perjanjian itu.
Setelah menguraikan masalah perjanjian perkawinan secara singkat, maka perlu
disimpulkan mengenai urgensi dan fungsi perjanjian perkawinan itu, sebagai berikut: a.
Melalui atau adanya perjanjian perkawinan, kehidupan rumahtangga pasangan suami-istri
akan aman dan tenteram. Sebab, tidak perlu dikhawatirkan akan terjadinya kecenderunagn
salah satu pihak untuk menopoli atau menguasai harta benda dalam hubungan perkawinan
mereka. Adanya perjanjian perkawinan, mereka juga akan mudah memisahkan mana yang
merupakan harta gono-gini dan mana yang benar-benar menjadi hak milik pribadi masing-
masing pasangan, b. Melalui perjanjian perkawinan, perceraian yang terjadi antara suami-
istri akan cepat teratasi. Mereka tidak perlu lagi berlama-lama meributkan mana yang
menjadi hak masing-masing pasangan Memang keributan biasanya pasti akan terjadi pada
setiap kasus perceraian. Setidaknya, dengan perjanjian perkawinan, mereka mempunyai
pedoman hukum yang dapat dijadikan rujukan penting dalam menentukan hak-hak suami dan
hak-hak istri terhadap harta bendanya., c. Melalui perjanjian perkawinan, perceraian yang
terjadi antara suami-istri akan cepat teratasi. Perjanjian ini juga berfungsi memberikan arahan
kepada pasangan suami-istri agar mengindahkan kesepakatan yang telah mereka buat ketika
akan menikah dulu, seperti kesepakatan untuk tidak berbuat kekerasan dalam rumah tangga,
memberikan keleluasaan kepada istri untuk melanjutkan pendidikannya, atau kesempatan
dalam hal mengurus anak-anak mereka. Sehingga, perjanjian perkawinan itu tidak perlu
dianggap tabu karena memiliki multi fungsi yang akan mengamankan hubungan perkawinan
atau rumah tangga mereka

21
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ghozali, Abdul Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana

Jahar, Asep Sapudin dan Euis Nurlaelawati. 2013. Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis (Kajian

Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional). Jakarta: Kencana

22
Muchsin. 2008. Perjanjian Perkawinan dalam Perspektif Hukum Nasional. Jakarta: Varia

Peradilan.

Mulono, Martias Gelar Imam Radjo. 1982. Penjelasan Istilah-Istilah Hukum Belanda Indonesia.

Jakarta: Ghalia

Nuruddin, Amiur. 2010. Dari Mana Sumber Hartamu: Renungan tentang Bisnis Islami dan

Ekonomi Syariah Jakarta : Erlangga

Prawirohamidjojo, Soetojo. 1986. Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di

Indonesia, Surabaya: Airlangga University Press.

Prawirohamidjoyo, Soetojo dan Marthalena Pohan. 2000. Hukum Orang dan Keluarga.

Surabaya: Airlangga University Press

Satrio, J. 1993. Hukum Harta Perkawinan. Bandung: Citra Aditya Bhakti

Sjaifurrachman dan Habib Adjie. 2011. Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan

Akta. Bandung: Mandar Maju

Subekti, R dan R. Tjitrosudibio. 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk

Wetboek voor Indonesie]. Jakarta: Pradnya Paramita

Syarifuddin, Amir. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana

Tim Penyusun. 2020. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Nuansa Aulia

JURNAL

Faradz, Haedah. 2008. Tujuan dan Manfaat Perjanjian Perkawinan, Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 8 No. 3

Pawitasari, Aldilla Gemiyu. 2019. Perjanjian Perkawinan Sebagai Instrumen Perlindungan


Hukum Dalam Perkawinan Poligami Di Indonesia, LEX Renaissance Vol. 4, No. 2 JULI
2019, hlm. 348

23
Rokhim, A. 2012. Kedudukan Hukum Perjanjian Perkawinan Sebagai Alasan Perceraian.
Masalah-Masalah Hukum, 41(1) hlm. 59-64

Sulaiman, Eman . 2021. Urgensi dan Fungsi Perjanjian Perkawinan, Jurnal Pendidikan dan
Studi Islam, Volume 7, Nomor 2, hlm. 172

Sopiyan, Muhammad. 2023. Analisis Perjanjian Perkawinan Dan Akibat Menurut Undang-
Undang Perkawinan Di Indonesia, Jurnal Kajian Islam dan masyarkat, Vol 6, No 2. hlm.
178

S, Ni Luh Putu Mike Wijayanti. 2018. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Istri Dalam
Perkawinan Poligami Melalui Perjanjian, Jurnal ActaComitas, Vol. 03 No. 02. hlm. 298

24

Anda mungkin juga menyukai