Anda di halaman 1dari 12

Tugas Kelompok

MAKALAH

HUKUM PERKAWINAN

“ MONOGAMI ”

Oleh:

Anwar H1A121288

Ari Ramadhan H1A121289

Ebis Goyanti H1A121306

Andi Muhammad Galib K. H1A121284

Aksay Ramadhan H1A121275

UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI

FAKULTAS HUKUM

2023
KATA PENGANTAR
Makalah Hukum Perkawinan ini di maksudkan sebagai salah satu
penyelesaian tugas dari mata kuliah Hukum Jaminan yang merupakan mata kuliah
konsentrasi dari mata kuliah hukum perdata yang terdapat di semester 5 (lima).
Isi dari makalah ini merupakan kumpulan bahan-bahan ajar yang berasal
dari intisari beberapa literatur mata kuliah Hukum Perkawinan ataupun salah satu
bagian dari Hukum Perdata dan akan di jadikan sebagai penyelesaian tugas dari
mata kuliah Hukum Perkawinan.
Penyusun sadar bahwa masih banyak kekurangan-kekurangan dan
ketidaksempurnaan yang ada, oleh karena itu kritik dan saran penyusun senantiasa
terima.
Kendari, 1 Desember 2023

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Pengertian Monogami..................................................................................3
B. Dasar Hukum Monogami.............................................................................3
C. Pelaksanaan Dalam Praktik Asas Monogami Menurut UU No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam...........................4

BAB III PENUTUP................................................................................................7


A. Kesimpulan .................................................................................................7
B. Saran.............................................................................................................8

DAFTARPUSTAKA..............................................................................................9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan itu sendiri, menurut Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974, adalah ikatan
antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga bahagia. Dalam agama, UU No. 1 tahun 1974, memegang
peran penting dalam kesahan suatu perkawinan. Bagi seorang Islam, tidak ada
kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agama Islam, begitupun
dengan agama yang lain. Hukum agama yang dimaksud bukan hanya hukum
agama yang terdapat dalam kitab suci saja, tetapi juga ketentuan-ketentuan
perundang-undangan (yang masih berlaku), baik yang telah ada sebelum
berlakunya UU ini maupun yang akan diterapkan kemudian.
Pada umumnya seorang laki-laki maupun seorang perempuan timbul
kebutuhan untuk hidup bersama. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat,
baik terhadap kedua belah pihak maupun keturunannya serta anggota
masyarakat yang lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang
mengatur tentang hidup bersama antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yakni perkawinan.
Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat, kokoh untuk hidup
bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk
membentuk rumah tangga yang kekal, santun menyantuni dan kasih mengasihi.
Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai
dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Apabila dicermati,
pengertian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam memiliki makna yang penting. Suatu
perkawinan tidak hanya suatu hubungan antara manusia dengan manusia, tetapi
juga antara manusia dengan Tuhan.
Hal ini yang membuat perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sakral.
Perkawinan tidak lagi dipandang dari sudut hubungan yang diatur dalam

1
hukum perdata saja (karena diatur dalam suatu perUndang-Undangan Negara),
tetapi juga dari sudut agama. Sehingga sah atau tidaknya perkawinan itu
ditentukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, bagi
Negara Republik Indonesia sebagai tanda sahnya perkawinan itu, maka perlu
dicatat menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan
perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian aspek hukum yang
timbul dari perkawinan. Realisasi dari pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah
yang masing-masing salinannya dimiliki oleh istri dan suami. Dengan
perkawinan itu muncul ikatan yang berisi hak dan kewajiban.
Pemerintah mengatur hukum perkawinan nasional dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 74 tentang perkawinan dengan aturan pelaksanaannya
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, kemudian diubah dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengandung 7 (tujuh) asas atau
kaidah hukum, salah satunya yaitu Asas Monogami.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Monogami ?
2. Apa saja dasar hukum Monogami ?
3. Bagiamana pelaksanaan dalam praktik asas monogami menurut UU No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan dan kompilasi hukum Islam ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Monogami
Monogami adalah asas yang mengatur bahwa dalam suatu perkawinan,
seorang laki-laki hanya boleh memiliki seorang istri dan seorang wanita hanya
boleh memiliki seorang suami.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, monogami adalah sistem yang
hanya memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka
waktu tertentu. Sedangkan munurut Achmad Kuzari, kata monogami dapat
dipasangkan dengan poligami sebagai antonim. Monogami yaitu perkawinan
dengan istri tunggal yang artinya seorang laki-laki menikah dengan seorang
perempuan saja, sedangkan kata poligami yaitu perkawinan dengan dua orang
perempuan atau lebih dalam waktu yang sama.
B. Dasar Hukum Monogami
Dasar hukum monogami adalah dasar hukum yang mengatur bahwa dalam
suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri dan seorang
wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Dasar hukum monogami dapat
ditemukan dalam beberapa sumber hukum, yaitu:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer): Pasal 27 KUHPer
menyatakan bahwa "Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh
terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang
perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja." Asas monogami dalam
KUHPer didasarkan pada pandangan agama Kristen, yang menganggap
perkawinan sebagai sakramen yang tidak dapat diputuskan oleh manusia.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan): Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan menetapkan bahwa "Pada
asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami
(asas monogami). Asas monogami dalam UU Perkawinan didasarkan pada

3
perjuangan wanita Indonesia yang berupaya untuk melindungi kaum mereka
dari praktik poligami.
3. Agama Islam: Meskipun agama Islam membolehkan poligami dengan
syarat-syarat tertentu, namun sebagian ulama dan cendekiawan Islam
berpendapat bahwa monogami adalah sistem perkawinan yang lebih utama,
lazim, dan asal dalam syari'at. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil, antara
lain: ayat Al-Qur'an yang menyebutkan bahwa Allah menciptakan manusia
dari sepasang suami istri (QS. An-Nisa': 1), hadits Nabi yang menyatakan
bahwa perkawinan adalah separuh dari agama (HR. Al-Bukhari), dan
kenyataan bahwa Nabi Muhammad SAW hanya menikah dengan satu istri
(Khadijah) selama 25 tahun sebelum beliau berpoligami karena alasan-
alasan khusus.
C. Pelaksanaan Dalam Praktik Asas Monogami Tidak Mutlak Menurut UU
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam
Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974, tentang perkawinan menyatakan
bahwa pada asasnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang suami. Dengan kata lain, perkawinan menganut asas monogami. Hal
ini tidak berlaku apabila terjadi keadaan seperti dimana salah satu pasangan
meninggal dunia, bahwa pasangan yang ditinggal mati itu bisa menikah lagi.
Terdapat perbedaan antara UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai asas monogami ini.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata asas monogami yang dianut
adalah mutlak, yang dapat dilihat dalam pasal 27 kitab Undangundang Hukum
Perdata yang menyatakan bahwa, dalam waktu yang sama, seorang laki hanya
dipergolehkan mempunyai seorang perempuan sebagai istri, dan perempuan
hany asatu laki-laki sebagai seorang suami.
Poligami diberi tempat dengan terlihatnya beberapa pasal dan ayat yang
mengaturnya. Namun demikian, walaupun poligami tersebut diberi tempat,
akan tetapi itu bukan berarti bahwa poligami dijadikan asas dalam Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal tersebut merupakan
pengecualian saja, yang ditujukan khusus kepada orang yang menurut hukum

4
dan agama atau kepercayaan mengizinkan untuk itu, atau dengan kata lain,
poligami dibolehkan tetapi dengan pembatasan yang cukup berat, yaitu berupa
suatu pemahaman syarat dengan alasan tertentu dan izin pengadilan.
Poligami terdapat dalam kompolasi Hukum Islam yang masih berlaku atau
masih dipakai sebagai pedoman bagi orang Islam yang menjalani suatu proses
perkawinan. Poligami, dalam kompilasi hukum Islam, tercantum dalam pasal
55 ayat (1) yang meyatakan bahwa seroagn laki-laki yang boleh beristri lebih
dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang
istri, Dalam surat an-Nisa dimana syarat utama seorang suami harus mampu
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya (pasal 55 ayat 2); apabila
syarat utama tersebut tidak dipenuhi, suami dilarang untuk beristri lebih dari
seorang (pasal 5 ayat 3). Pengadilan Agama mutlak diperlukan bagi sahnya
seorang suami untuk beristri lebih dari seorang.
Permasalahan yang terjadi apabila sang istri menolak memberikan
persetujuan dan permohonan ijin untuk beristri lebih dari satu, maka menurut
pasal 59. Kompilasi hukum Islam, Pengadilan Agama dapat memberikan izin
setelah mendengar dan memeriksa istri yang bersangkutan di persidangan
pengadilan Agama, dan terhadap ketepatan itu si Istri atau suami dapat
mengajukan banding atau kasasi.
Tetapi pada kenyataannya, para istri merasa malu dan berat hati mengajukan
banding terhadap keputusan pengadilan Agama, yang menyangkut perkara
poligami, dan masyarakat pada umumnya dianggap masih buta hukum dan
belum mengerti akan hak-hak mereka secara hukum.
Bila diartikan secara kumulatif, agaknya sulit didapat wanita yang dengan
sukarela memberikan persetujuan kepada suaminya untuk beristri lebih dari
satu orang. Oleh karena itu suami yang ingin beristri lebih dari seorang harus
memiliki syarat pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, yaitu :
a. Adanya persetujuan dari istri b.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

5
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka
Dalam kasus, alasan-alasan tersebut di atas dipenuhi oleh suami yang
ingin beristri lebih dari satu, terbukti dari bukti-bukti yang ada yaitu :
a. Surat peryataan istri bersedia dimadu (P-3)
b. Surat pernyataan suami berlaku adil (P-4)
c. Surat keterangan kemampuan atau penghasilan suami guna menjamin
keperluan hidup istri dan anak-anak (P-5).
Atas bukti-bukti itulah, maka hakim menganggap cukup alasan untuk
suami beristri lebih dari satu orang. Dan karena itu hakim menetapkan ijin
kepada suami untuk beristri lebih dari satu (poligami)

6
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisa yang diuraikan di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa Perkawinan monogami yang berlaku mutlak bagi
istri, tetapi tidak mutlak bagi suami.
Asas monogami, dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, ternyata terdapat suatu pengecualian, dimana pasal 3 ayat (2)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memberikan
ketentuan, bahwa pengadilan dapat memberi izin pada seorang suami untuk
beristri lebih dari seorang (poligami) apabila dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan dan istri mengizinkan untuk itu.
Mengenai asas monogami secara yuridis, yang termuat dalam pasal-pasal
Undang-Undang tentang Perkawinan, sebenarnya, merupakan produk hukum
dari pemerintah yang harus dijadikan pedoman bagi suatu proses perkawinan
sehingga diharapkan dengan ditaatinya hukum tersebut dapat tercapai tujuan
dari perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan ke-
Tuhanan Yang Maha Esa.
Dengan adanya ijin untuk beristri lebih dari satu (poligami) yang diberikan
oleh Pengadilan Agama, hendaknya segala persyaratan yang ada, yang
dijadikan bukti oleh suami untuk beristri lebih dari satu, dalam Terakreditasi
Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor :
23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004 310 Volume XXIII No. 2 April – Juni
2007 : 300 - 311 persidangan harus dijalankan dengan benar, jangan sampai
pihak suami nantinya mengurangi apa yang jadi kebutuhan istri pertama dan
anakanaknya. Maka suami harus benar-benar melaksanakan perbuatan adil
tersebut dengan sebenar-benarnya dalam kenyataan, karena apabila suami tidak
dapat berlaku adil maka sang istri dapat menuntut pembatalan perkawinan
suami dengan istri keduanya.

7
B. Saran
Dengan memperhatikan dan mengamati beberapa kekurangan dalam
pelaksanaan asas monogami tidak mutlak, yang berkaitan dengan
dibolehkannya suami untuk beristri lebih dari seorang (poligami), kiranya
dapat dikemukakan beberapa saran sebagai Kesadaran hukum dan moral suami
yang ingin beristri lebih dari seorang, sebaiknya ditingkatkan, agar para suami
yang ingin beristri lebih dari seorang, tidak mengambil kesempatan dan tidak
berbuat sewenangwenang terhadap istri dengan adanya hak yang merupakan
keuntungan dari pihak suami, yaitu hak untuk beristri lebih dari satu yang
diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan; kompilasi Hukum
Islam, peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No 1
tahun 1974 tentang perkawinan.

Pemerintah diharapkan lebih melindungi posisi wanita/istri agar


menggunakan hak-hak hukumnya apabila sang istri menolak suaminya untuk
beristri lebih dari satu sehingga tidak terjadi perceraian dalam rumah
tangganya.

8
DAFTAR PUSTAKA
Asmin. 1986. Status Perkawinan antar Agama. Jakarta : Dian Rakyat
Hasan Djuhaedah. 1988 Hukum Keluarga. Bandung : Armico
Ramulyo M. Idris. Tt. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 tahun
1974 dari Segi Hukum Perkawinan islam. Jakarta : IND-HILL-CO
Malik Rusdi. 2001 Peranan Agama dalam Hukum Perkwinan Indonesia. Jakarta :
Universitas Tri Sakti. ----------. 2001.
Undang-Undang Perkawinan Jakarta : Universitas Trisakti.
Sumber lain :
Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Inpres Nomor 1 tahun 1991 atau Kompilasi Hukum Islam
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang
No. 1 Tahun 1974 tentagn Perkawinan

Anda mungkin juga menyukai