Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PERKAWINAN MONOGAMI, POLIGAMI, DAN PERCERAIAN


PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fatwa Dan Yurisprudensi

Dosen Pengampu Dr. H. Abdul Syafa’at, M.A

Disusun Oleh:

Hasbullah (212102010053)

Ahsin Maulana (212102010055)

Sofia Irhami Basri (212102010037)

Nazla Qori Nabila (212102010046)

FAKULTAS SYARIAH
PROGAM STUDI HUKUM KELUARGA
UNIVERSITAS KH.AHMAD SHIDDIQ JEMBER
PERIODE 2023

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang senantiasa melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya, dan tidak lupa sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada
Baginda Nabi Muhammad SAW, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah ini yang berjudul “Kedudukan Hukum Fatwa Dan Yurisprudensi Di
Indonesia”
Kami juga berterimakasih kepada semua pihak yang telah ikut
berpartisipasi dalam menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini sehingga dapat
diselesaikan dengan tepat waktu.
Kami berharap semoga makalah ini bisa memberikan manfaat kepada
teman-teman sekalian. kami juga menyadari banyak kekurangan dalam makalah
ini, oleh karna itu dengan segala kerendahan hati untuk memberikan kritik dan
sarannya.

Jember, 16 September 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

COVER. ...................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................ 1

A.Latar belakang ..................................................................................... 1


B.Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C.Tujuan Makalah ................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 3

A. Asas Monogami Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif ...........4


B. Poligami menurut hukum positif Indonesia............................................7
C. Perceraian dalam perspektif hukum islam dan hukum positif .............. 9

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 12

A.Kesimpulan ......................................................................................... 12
B.Saran ................................................................................................... 12

BAB IV DAFTAR PUSAKA ...................................................................... 13

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fatwa dan yurisprudensi adalah dua konsep hukum yang memiliki akar sejarah
panjang dalam peradaban hukum, terutama dalam konteks hukum Islam. Fatwa
adalah pendapat hukum yang diberikan oleh seorang ulama atau otoritas agama
Islam mengenai masalah hukum tertentu berdasarkan interpretasi Al-Quran dan
Hadis.1 Sementara itu, yurisprudensi, yang sering disebut sebagai "fiqh," adalah
ilmu hukum Islam yang mengkaji dan mengembangkan pandangan hukum
berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam. Baik fatwa maupun yurisprudensi
memiliki peran penting dalam mengatur kehidupan dan tatanan sosial masyarakat
Muslim.

Di Indonesia, sebuah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, fatwa


dan yurisprudensi memiliki peran yang signifikan dalam memengaruhi hukum
dan norma sosial. Meskipun Indonesia adalah negara dengan sistem hukum yang
lebih sekuler, fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Ulama atau otoritas agama
Islam memiliki pengaruh kuat terhadap pandangan dan tindakan masyarakat
Muslim. Fatwa sering dianggap sebagai panduan moral dan etika dalam
kehidupan sehari-hari, terutama dalam hal pernikahan, warisan, dan ritual
agama.Sementara itu, yurisprudensi Islam juga memiliki tempat yang penting
dalam perkembangan sistem hukum di Indonesia. Selain menjadi sumber inspirasi
bagi beberapa undang-undang yang terkait dengan masalah perkawinan dan
warisan, prinsip-prinsip yurisprudensi Islam sering digunakan dalam proses
pengadilan dalam kasus-kasus yang melibatkan hukum Islam.

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam penggunaan fatwa dan yurisprudensi


dalam hukum Islam. Salah satu titik penting dalam sejarah ini adalah

1
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Peradilan dan Hukum AcaraIslam, h. 86.

1
pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975, yang memiliki
peran penting dalam mengeluarkan fatwa dan memberikan panduan hukum Islam
di Indonesia. MUI telah merilis berbagai fatwa tentang berbagai isu, termasuk
pernikahan, warisan, keuangan syariah, dan banyak lainnya.

Selain MUI, lembaga-lembaga agama lainnya dan para ulama terkemuka juga
berperan dalam mengembangkan yurisprudensi Islam di Indonesia. Mereka
berkontribusi dalam menginterpretasikan prinsip-prinsip hukum Islam dalam
konteks sosial dan budaya Indonesia yang beragam.

Dengan demikian, fatwa dan yurisprudensi memiliki kedudukan yang penting


dalam tatanan hukum dan sosial Indonesia, terutama bagi masyarakat Muslim.
Meskipun bukan bagian resmi dari sistem hukum nasional, pandangan dan
panduan yang diberikan oleh fatwa dan yurisprudensi tetap memiliki dampak
yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari dan proses pengadilan di negara ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Asas Monogami Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif?
2. Bagaimana Poligami menurut hukum positif Indonesia?
3. Bagaimana Perceraian dalam perspektif hukum islam dan hukum positif?

C. Tujuan Makalah
1. Mampu Memahami Apa Asas Monogami Pandangan Hukum Islam Dan
Hukum Positif
2. Mampu Mengetahui Poligami menurut hukum positif Indonesia
3. Mampu mendeskripsikan perceraian dalam perspektif hukum islam dan
hukum positif

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asas Monogami Menurut Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif

1.Prespektif Hukum Positif

Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974, tentang perkawinan menyatakan


bahwa pada asasnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang suami. Dengan kata lain, perkawinan menganut asas monogami. Hal ini
tidak berlaku apabila terjadi keadaan seperti dimana salah satu pasangan
meninggal dunia, bahwa pasangan yang ditinggal mati itu bisa menikah lagi.
Terdapat perbedaan antara UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai asas monogami ini.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata asas monogami yang


dianut adalah mutlak, yang dapat dilihat dalam pasal 27 kitab Undang-undang
Hukum Perdata yang menyatakan bahwa, dalam waktu yang sama, seorang laki
hanya dipergolehkan mempunyai seorang perempuan sebagai istri, dan
perempuan hany asatu laki-laki sebagai seorang suami. Poligami diberi tempat
dengan terlihatnya beberapa pasal dan ayat yang mengaturnya. Namun demikian,
walaupun poligami tersebut diberi tempat, akan tetapi itu bukan berarti bahwa
poligami dijadikan asas dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Hal tersebut merupakan pengecualian saja, yang ditujukan khusus
kepada orang yang menurut hukum dan agama atau kepercayaan mengizinkan
untuk itu, atau dengan kata lain, poligami dibolehkan tetapi dengan pembatasan
yang cukup berat, yaitu berupa suatu pemahaman syarat dengan alasan tertentu
dan izin pengadilan.

Poligami terdapat dalam kompolasi Hukum Islam yang masih berlaku atau
masih dipakai sebagai pedoman bagi orang Islam yang menjalani suatu proses

3
perkawinan. Poligami, dalam kompilasi hukum Islam, tercantum dalam KHI pasal
55 ayat (1) yang meyatakan bahwa seroagn laki-laki yang boleh beristri lebih dari
satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri, Dalam
surat an-Nisa dimana syarat utama seorang suami harus mampu berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anaknya (KHI pasal 55 ayat 2); apabila syarat utama
tersebut tidak dipenuhi, suami dilarang untuk beristri lebih dari seorang (pasal 55
ayat 3).

2.Prespektif Hukum Islam

Dalam Hukum Islam telah di atur secara lengkap dan rinci mengenai
monogami dan poligami Fazlur Rahman, misalnya, secara tegas mengatakan
bahwa perkawinan yang ideal dan hukum dasar dari perkawinan dalam Islam
adalah monogami. Dengan mengacu kepada al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 2-3

‫ب ۖ َو ََل ت َأْكُلُ ْٓوا ا َ ْم َوالَ ُه ْم ا ِٰلٓى ا َ ْم َوا ِلكُ ْم ۗ اِنَّهٗ َكانَ ُح ْوبًا‬
ِ ِ‫طي‬ َّ ‫َو ٰاتُوا ْاليَ ٰتمٰ ٓى ا َ ْم َوالَ ُه ْم َو ََل تَتَبَدَّلُوا ْال َخبِيْثَ ِبال‬
‫س ۤاءِ َمثْ ٰنى َوث ُ ٰلثَ َو ُر ٰب َع ۚ فَا ِْن خِ ْفت ُ ْم ا َ ََّل ت َ ْع ِدلُ ْوا‬
َ ِ‫اب لَكُ ْم مِنَ الن‬
َ ‫ط‬ َ ‫َكبِي ًْرا ا ِْن خِ ْفت ُ ْم ا َ ََّل ت ُ ْق ِسطُ ْوا فِى ْاليَ ٰتمٰ ى َفا ْن ِك ُح ْوا َما‬
‫َت ا َ ْي َمانُكُ ْم ۗ ٰذلِكَ اَدْ ٰنٓى ا َ ََّل تَع ُ ْولُ ْو ۗا‬
ْ ‫فَ َواحِ دَة ً ا َ ْو َما َملَك‬

Berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka.


Janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan janganlah kamu
makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya (tindakan menukar dan
memakan) itu adalah dosa yang besar. Jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya),
nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi,
jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau
hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk
tidak berbuat zalim.

Khurshid Ahmad sepakat dengan pandangan Maududi. Setelah


menyatakan bahwa monogami dan poligami sama-sama dibolehkan dalam Islam,
ia mengutip pernyataan-pernyataan Rom Landau, George Lailigh Scott, dan C.
Von Ehrentels: ”semua fakta baik dalam sejarah maupun ilmu pengetahuan amat
jelas bahwa poligami harus dihormati.” Demikian pula, ”laki-laki pada dasarnya

4
bersifat poligami dan perkembangan peradaban dunia menunjukkan akan sifat
alami dimaksud.” ”Poligami sebagai aturan umum lebih baik dari monogami 2

Muhammad Abduh dan Rashid Ridla sejalan dengan pandangan Abul A’la
Maududi dan Khurshid Ahmad. Namun demikian keduanya menambah hal
penting, yakni: ”poligami...dibolehkan dalam kondisi tertentu seperti pada masa
peperangan (alumam al-harbiyyah) seperti dialami Islam pada masa sejarah
awalnya.”44 Karena itu, poligami dibolehkan hanya dalam situasi tertentu, dan
dalam kondisi dimana tidak akan terjadi kekerasan dan ketidak-adilan.

B. Poligami menurut hukum positif indonesia

Didalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah


dengan Undangundang No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-
undang Nomor 50 tahun 2009 menyatakan bahwa “Pengadilan Agama bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Pada
penjelasan Pasal 49 alinea kedua dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan
"antara orang-orang yang beragama Islam" adalah “termasuk orang atau badan
hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada
hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama
sesuai dengan ketentuan pasal ini”. Kemudian pada penjelasan huruf a pasal ini
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah “hal-hal yang
diatur dalam atau berdasarkan undangundang mengenai perkawinan yang berlaku
yang dilakukan menurut syari'ah”, yang antara lain adalah “izin beristeri lebih dari
seorang”. Izin beristeri lebih dari seorang (istilah yang umum digunakan adalah
izin poligami), dalam penjelasan pasal 49 alinea kedua sebagaimana di atas
dinyatakan termasuk dalam lingkup pengertian perkawinan, dan tentunya menjadi

2 Khurshid Ahmad, “Some Reflections on the Marriage Commission Report,” dalam Studies in the Family
Law of Islam, ed. Khurshid Ahmad (Karachi: Chiragh-E-Rah Publications, ), 220.

5
kewenangan absolut Pengadilan Agama sepanjang subjek hukumnya adalah
orang-orang Islam dan perkawinan yang dilakukan menurut syariat Islam. Atas
dasar kewenangan yang diberikan undangundang sebagaimana uraian diatas,
Pengadilan Agama secara absolut berwenang memeriksa dan memutus perkara
permohonan izin poligami yang diajukan kepadanya.

Adapun yang menjadi alasan-alasan dan syarat-syarat berpoligami yang


ditentukan oleh undang-undang dapat ditemukan dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal
5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu : Pasal 4 ayat (2) –
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri

2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. 3

Pasal 5 ayat (1) – Untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut

1) Adanya persetujuan dari isteri / isteri-isteri


2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
isteriisteri dan anak-anak mereka
3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-
anak mereka.4

3 Kusuma, I. Gede Arya. "Analisis pasal 4 ayat 2 huruf a Undang-Undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan terkait poligami." Acta Comitas 5.1 (2020): 69-78.

4 Ardhian, Reza Fitra, Satrio Anugrah, and Setyawan Bima. "Poligami dalam hukum islam dan
hukum positif indonesia serta urgensi pemberian izin poligam di pengadilan agama." Privat Law 3.2
(2015): 164461.

6
1. Poligami dalam hukum islam

Secara implisit Al Qur’an membolehkan poligami, namun tidak


menentukan persyaratan apapun secara tegas, kecuali hanya memberikan warning
“apakah kamu yakin apabila berpoligami nantinya akan mampu berlaku adil,
karena adil itu sangat berat, Allah sebagai pencipta manusia maha mengetahui
bahwa kamu tidak akan mampu berlaku adil secara hakiki, namun berhati-hatilah
jangan sampai kamu secara bersahaja lebih mencintai sebagian isterimu dan
mengabaikan yang lain”.. Dengan demikian adil yang dinyatakan dalam al-Qur’an
surat an-Nisa’ ayat 3 dan ayat 129 bukan merupakan syarat kebolehan
berpoligami, melainkan kewajiban suami ketika mereka berpoligami. Hal ini
senada dengan apa yang diungkapkan oleh Prof. KH. Ibrahim Hosen bahwa adil
yang dimaksud oleh al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 3 dan ayat 129 adalah adil
sebagai syarat agama bukan syarat hukum kebolehan berpoligami.Oleh karena itu
pada dasarnya kebolehan berpoligami itu adalah mutlak dan adil itu merupakan
kewajiban bagi suami terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka karena tuntutan
agama. Dalam hal adil ini, apakah terhadap isteri tunggal dalam perkawinan
monogami tidak dituntut berlaku adil, hanya saja kapasitas adil dalam perkawinan
poligami lebih berat, karena itulah Allah SWT memberikan warning agar berhati-
hati dan tidak secara sengaja lebih senang atau cenderung bersikap lebih
mencintai sebagian isteri dengan mengabaikan yang lain 5

2. Pandangan ulama tentang poligami

1.Poligami Menurut Zamakhsyari Zamahsyari dalam kitabnya tafsir Al


Kasy-syaaf mengatakan, bahwa poligami menurut syari‘at Islam adalah
suatu rukhshah (kelonggaran) ketika darurat. Sama halnya dengan
rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa
Ramadhan ketika dalam perjalanan.

5 Ardhian, Reza Fitra, Satrio Anugrah, and Setyawan Bima. "Poligami dalam hukum islam dan
hukum positif indonesia serta urgensi pemberian izin poligam di pengadilan agama." Privat Law 3.2
(2015): 164461.

7
2. Hukum Poligami Menurut Syaltut Syaltut berbeda pendapat dengan
Abduh dengan tidak meletakkan syarat keterpaksaan dalam masalah
poligami. Dia menyerahkan kepada individu untuk menentukan keadaan
dirinya apakah mampu berlaku adil ataupun tidak, kemudian dia jawab
sendirilah depan Allah. Syaltut melihat hukum asal poligami dibolehkan
adalah untuk memberi jalan keluar kepada pengasuh anak yatim supaya
tidak terjebak dalam kezaliman akibat perbuatannya yang tidak adil
terhadap mereka. Oleh karena itu menurut Syaltut, apa yang penting dalam
poligami adalah keadilan bukan keterpaksaan.
3. Hukum Poligami Menurut Yusuf al-Qaradhawi Yusuf al-Qaradhawi
walau bagaimanapun tidak setuju dengan pendapat yang mengharamkan
poligami. Hukumnya tetap boleh, bukan haram kerana melihat kepada
berbagai kemaslahatan. Orang yang akan melakukan poligami harus
berkeyakinan penuh bahwa dia mampu berlaku adil tanpa khuatir terjatuh
dalam kezaliman seperti keterangan surah An-Nisa‘, ayat 3.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat An- Nisa' ayat 3:
Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS Al- Nisa
(4) : 8.6

C. Perceraian dalam Prespektif Hukum Islam dan Hukum Positif

Ikatan perkawinan yang abadi merupakan hal yang sangat didambakan bagi
setiap pasangan suami istri, namun beberapa kenyataan berbeda dengan harapan,
akan datang suatu masa bagi sebagian pasangan dimana keharmonisan dalam
rumah tangga, kehangatan, cinta dan kasih sayang berubah menjadi pertikaian,

6 Darmawijaya, Edi. "Poligami Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif (Tinjauan Hukum Keluarga
Turki, Tunisia dan Indonesia)." Gender Equality: International Journal of Child and Gender
Studies 1.1 (2015): 27-38.

8
ketidak selarasan pendapat dan hal-hal yang sebelumnya mendatangkan begitu
banyak maslahat menjadi condong pada kemudaratan hingga gagal mencapai
tujuan mulia untuk melestarikan dan menjaga kesinambungan hidup rumah tangga
yang pada akhirnya berujung pada perceraian.

Perceraian atau talak secara bahasa berasal dari kata itlaq yang berarti
melepaskan atau meninggalkan, yaitu melepaskan ikatan perkawinan. Secara
istilah, talak bermakna melepaskan ikatan perkawinan atau putusnya hubungan
suami istri dengan mengucapkan secara sukarela ucapan “talak” kepada istrinya
dengan kata-kata yang jelas atau sindiran. Menurut Imam Syafi’i talak dapa syara’
ialah melepaskan ikatan pernikahan dengan menggunakan lafadz “talak” dan
seumpamanya.

Perceraian dalam prespektif Islam merupakan hal yang boleh dan halal
dilakukan, meski begitu perceraian tetaplah hal yang dibenci Allah SWT,
sehingga perceraian diperlukan pertimbangan yang mendalam serta perlu
dilakukan sesuai dengan hukum atau syari’at Islam yakni memenuhi syarat dan
rukunnya. Hukum Islam mengatur mengenai cerai atau talak dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Q.S Al-Baqarah ayat 299 diambil sebagai rujukan dasar hukum
perceraian yang artinya: “Talak yang dapat dirujuk dua kali, setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang Ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah.”

Menurut ketentuan hukum Islam, seorang suami tidak boleh main-main


dalam berkata-kata mengenai “talak” atau semacamnya yang merujuk pada
perceraian, karena itu akan menimbulkan akibat hukum, yang artinya dinilai sah
dalam Islam meski kata-kata yang diucapkan hanya bermain-main, sebagaimana
hadits Nabi SAW yang artinya: “ Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah
saw bersabda: “tiga perkara yang bila dikatakan dengan sungguh-sungguh akan
menjadi sungguh-sungguh dan apabila dikatakan main-main akan jadi sungguh-

9
sungguh yaitu: nikah, talak, dan rujuk.” (HR. Imam empat kecuali An-Nasa’i dan
nilai shahih menurut Hakim). 7 Talak dalam prespektif hukum Islam dapat
dijatuhkan dengan banyak cara yakni dapat berupa talak dengan kata-kata, talak
dengan surat (tertulis), talak dengan utusan atau perantara. Syarat dan rukun
dalam perceraian cukup mudah diebandingkan dengan persoalan fiqh yang lain,
maka dari itu setiap suami dan istri hendaklah memelihara lisan dan tindakannya
dalam hal perceraian, tidak mengucapkannya kecuali dengan pertimbangan yang
matang.

Berdasarkan penjelasan mengenai dasar hukum perceraian dalam hukum


Islam diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perceraian sesungguhnya
dapat dinyatakan sah menurut prespektif islam sedemikian rupa selama syarat dan
rukun talak terpenuhi. Hakikatnya Islam menginginkan kemaslahatan bagi umat
dengan adanya aturan hukum, hukum Islam memiliki keterbatasan bila
dibandingkan dengan banyak permasalahan yang timbul saat ini sehingga akan
selalu berkembang mengikuti arah zaman dari masa kemasa, serta melahirkan
hukum baru sebagai bentuk ijtihad, tanpa mengurangi sedikitpun nilai-nilai
syari’at demi kemaslahatan umat masa kini dan seterusnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, hukum positif di Indonesia memberikan


pengertian secara tegas tentang ketentuan hukum perceraian yang berlaku di
Indonesia dalam Kompilasi Hukum Islam Inpres No. 1 tahun 1991 menyebutkan
dalam Pasal 115 bahwa “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhenti
mendamaikan kedua belah pihak.” Dengan ini, maka hukum positif di Indonesia
mewajibkan perceraian dengan keterlibatan Pengadilan dalam penyelesaiannya.
Putusnya hubungan perkawinan karena perceraian disebabkan oleh dijatuhkannya
talak oleh suami terhadap istrinya atau disebut juga dengan cerai talak dalam
hukum islam. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

7
Latifah Ratnawati, “Perceraian dibawah Tangan dalam Prespektif Hukum Islam dan Hukum Posiif”, Jurnal
Yustisi, Vol. 4 No. 1, (Maret, 2017): 44.

10
menyebutkan pada pasal 38 bahwa putusnya hubungan perkawinan adalah karena
tiga hal yaitu; kematian salah satu pihak, perceraian, dan atas putusan hakim.

Perceraian dalam kenyataannya di masyarakat seringkali dianggap suatu


perkara yang mudah, melihat banyaknya perkawinan yang berakhir dengan
perceraian. Tidak jarang dijumpai perceraian terjadi karena perbuatan sewenang-
wenang pihak suami. Hal seperti perceraian di luar Pengadilan atau cerai dibawah
tangan sudah biasa terjadi dikalangan masyarakat, dampak dari perceraian yang
demikian sebetulnya akan mendatangkan lebih banyak mudharat daripada
maslahat yang akan berimbas pada keluarga itu sendiri. Putusnya hubungan
perkawinan akan menimbulkan akibat hukum yang harus ditanggung, diantaranya
ialah status dari kedua belah pihak dimata hukum, masalah tentang harta yang
dimiliki hingga hal yang paling penting yakni hak-hak seorang anak akibat
perceraian tersebut.

Oleh karenanya pemerintah mengatur perceraian dalam Pasal 115 KHI


yakni menjadi suatu keharusan dan kewajiban bagi suatu keluarga atau pasangan
beragama islam yang memiliki masalah keharmonisan rumah tangganya untuk
diselesaikan di Pengadilan Agama. Keharusan perceraian dihadapkan Pengadilan
ini semata-mata untuk mewujudkan kehidupan suasana damai, akan, dan tertib.
Sehingga hakim pengadilan agama dalam memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkaranya dapat mewujudkan kembali pasangan sakinah,
mawaddah, dan rahmah.8

8
Dahwadin, Enceng Iip, Eva Sofiawati, dan Muhamad Dani, “Hakikat Perceraian Berdasarkan Ketentuan
Hukim Islam di Indonesia”, Jurnal Yudisia, Vol. 11 No. 1, (Juni, 2020): 90

11
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa fatwa dan yurisprudensi merupakan 2 unsur yang


penting bagi negara,bahwa fatwa merupakan hasil ijtihad para ulama,sedangkan
yurisprudensi merupakan hasil dari putusan putusan hakim di masa lampau dan
ditetapkan di pengadilan.

Fatwa juga bukanlah hukum negara yang memiliki kedaulatan yang bisa
dipaksakan kepada rakyat,Fatwa juga tidak mempunyai sanksi dan tidak harus
ditaai oleh seluruh warga negara.Sedangkan yurisprudensi merupakan
kebalikanya

B. Saran

Kedepanya agar kita dapat memahami dengan lebih jelas dalam Fatwa dan
Yurisprudensi ini,terkhusus didalam Kedudukan Hukum Fatwa Dan
Yurisprudensi Di Indonesia,karena masih minimnya pemahaman kita terhadap
materi ini

12
DAFTAR PUSAKA

Khurshid Ahmad, “Some Reflections on the Marriage Commission Report,”


dalam Studies in the Family Law of Islam, ed. Khurshid Ahmad (Karachi:
Chiragh-E-Rah Publications, ), 220.

Kusuma, I. Gede Arya. "Analisis pasal 4 ayat 2 huruf a Undang-Undang nomor 1


tahun 1974 tentang perkawinan terkait poligami." Acta Comitas 5.1 (2020): 69-78.

Ardhian, Reza Fitra, Satrio Anugrah, and Setyawan Bima. "Poligami dalam
hukum islam dan hukum positif indonesia serta urgensi pemberian izin poligam di
pengadilan agama." Privat Law 3.2 (2015): 164461.

Latifah Ratnawati, “Perceraian dibawah Tangan dalam Prespektif Hukum Islam


dan Hukum Posiif”, Jurnal Yustisi, Vol. 4 No. 1, (Maret, 2017): 44.

Dahwadin, Enceng Iip, Eva Sofiawati, dan Muhamad Dani, “Hakikat Perceraian
Berdasarkan Ketentuan Hukim Islam di Indonesia”, Jurnal Yudisia, Vol. 11 No. 1,
(Juni, 2020): 90

13

Anda mungkin juga menyukai