Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fatwa Dan Yurisprudensi
Disusun Oleh:
Hasbullah (212102010053)
FAKULTAS SYARIAH
PROGAM STUDI HUKUM KELUARGA
UNIVERSITAS KH.AHMAD SHIDDIQ JEMBER
PERIODE 2023
1
KATA PENGANTAR
Penyusun
i
DAFTAR ISI
COVER. ...................................................................................................... i
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................ 1
A.Kesimpulan ......................................................................................... 12
B.Saran ................................................................................................... 12
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fatwa dan yurisprudensi adalah dua konsep hukum yang memiliki akar sejarah
panjang dalam peradaban hukum, terutama dalam konteks hukum Islam. Fatwa
adalah pendapat hukum yang diberikan oleh seorang ulama atau otoritas agama
Islam mengenai masalah hukum tertentu berdasarkan interpretasi Al-Quran dan
Hadis.1 Sementara itu, yurisprudensi, yang sering disebut sebagai "fiqh," adalah
ilmu hukum Islam yang mengkaji dan mengembangkan pandangan hukum
berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam. Baik fatwa maupun yurisprudensi
memiliki peran penting dalam mengatur kehidupan dan tatanan sosial masyarakat
Muslim.
1
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Peradilan dan Hukum AcaraIslam, h. 86.
1
pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975, yang memiliki
peran penting dalam mengeluarkan fatwa dan memberikan panduan hukum Islam
di Indonesia. MUI telah merilis berbagai fatwa tentang berbagai isu, termasuk
pernikahan, warisan, keuangan syariah, dan banyak lainnya.
Selain MUI, lembaga-lembaga agama lainnya dan para ulama terkemuka juga
berperan dalam mengembangkan yurisprudensi Islam di Indonesia. Mereka
berkontribusi dalam menginterpretasikan prinsip-prinsip hukum Islam dalam
konteks sosial dan budaya Indonesia yang beragam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Asas Monogami Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif?
2. Bagaimana Poligami menurut hukum positif Indonesia?
3. Bagaimana Perceraian dalam perspektif hukum islam dan hukum positif?
C. Tujuan Makalah
1. Mampu Memahami Apa Asas Monogami Pandangan Hukum Islam Dan
Hukum Positif
2. Mampu Mengetahui Poligami menurut hukum positif Indonesia
3. Mampu mendeskripsikan perceraian dalam perspektif hukum islam dan
hukum positif
2
BAB II
PEMBAHASAN
Poligami terdapat dalam kompolasi Hukum Islam yang masih berlaku atau
masih dipakai sebagai pedoman bagi orang Islam yang menjalani suatu proses
3
perkawinan. Poligami, dalam kompilasi hukum Islam, tercantum dalam KHI pasal
55 ayat (1) yang meyatakan bahwa seroagn laki-laki yang boleh beristri lebih dari
satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri, Dalam
surat an-Nisa dimana syarat utama seorang suami harus mampu berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anaknya (KHI pasal 55 ayat 2); apabila syarat utama
tersebut tidak dipenuhi, suami dilarang untuk beristri lebih dari seorang (pasal 55
ayat 3).
Dalam Hukum Islam telah di atur secara lengkap dan rinci mengenai
monogami dan poligami Fazlur Rahman, misalnya, secara tegas mengatakan
bahwa perkawinan yang ideal dan hukum dasar dari perkawinan dalam Islam
adalah monogami. Dengan mengacu kepada al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 2-3
ب ۖ َو ََل ت َأْكُلُ ْٓوا ا َ ْم َوالَ ُه ْم ا ِٰلٓى ا َ ْم َوا ِلكُ ْم ۗ اِنَّهٗ َكانَ ُح ْوبًا
ِ ِطي َّ َو ٰاتُوا ْاليَ ٰتمٰ ٓى ا َ ْم َوالَ ُه ْم َو ََل تَتَبَدَّلُوا ْال َخبِيْثَ ِبال
س ۤاءِ َمثْ ٰنى َوث ُ ٰلثَ َو ُر ٰب َع ۚ فَا ِْن خِ ْفت ُ ْم ا َ ََّل ت َ ْع ِدلُ ْوا
َ ِاب لَكُ ْم مِنَ الن
َ ط َ َكبِي ًْرا ا ِْن خِ ْفت ُ ْم ا َ ََّل ت ُ ْق ِسطُ ْوا فِى ْاليَ ٰتمٰ ى َفا ْن ِك ُح ْوا َما
َت ا َ ْي َمانُكُ ْم ۗ ٰذلِكَ اَدْ ٰنٓى ا َ ََّل تَع ُ ْولُ ْو ۗا
ْ فَ َواحِ دَة ً ا َ ْو َما َملَك
4
bersifat poligami dan perkembangan peradaban dunia menunjukkan akan sifat
alami dimaksud.” ”Poligami sebagai aturan umum lebih baik dari monogami 2
Muhammad Abduh dan Rashid Ridla sejalan dengan pandangan Abul A’la
Maududi dan Khurshid Ahmad. Namun demikian keduanya menambah hal
penting, yakni: ”poligami...dibolehkan dalam kondisi tertentu seperti pada masa
peperangan (alumam al-harbiyyah) seperti dialami Islam pada masa sejarah
awalnya.”44 Karena itu, poligami dibolehkan hanya dalam situasi tertentu, dan
dalam kondisi dimana tidak akan terjadi kekerasan dan ketidak-adilan.
2 Khurshid Ahmad, “Some Reflections on the Marriage Commission Report,” dalam Studies in the Family
Law of Islam, ed. Khurshid Ahmad (Karachi: Chiragh-E-Rah Publications, ), 220.
5
kewenangan absolut Pengadilan Agama sepanjang subjek hukumnya adalah
orang-orang Islam dan perkawinan yang dilakukan menurut syariat Islam. Atas
dasar kewenangan yang diberikan undangundang sebagaimana uraian diatas,
Pengadilan Agama secara absolut berwenang memeriksa dan memutus perkara
permohonan izin poligami yang diajukan kepadanya.
2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3 Kusuma, I. Gede Arya. "Analisis pasal 4 ayat 2 huruf a Undang-Undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan terkait poligami." Acta Comitas 5.1 (2020): 69-78.
4 Ardhian, Reza Fitra, Satrio Anugrah, and Setyawan Bima. "Poligami dalam hukum islam dan
hukum positif indonesia serta urgensi pemberian izin poligam di pengadilan agama." Privat Law 3.2
(2015): 164461.
6
1. Poligami dalam hukum islam
5 Ardhian, Reza Fitra, Satrio Anugrah, and Setyawan Bima. "Poligami dalam hukum islam dan
hukum positif indonesia serta urgensi pemberian izin poligam di pengadilan agama." Privat Law 3.2
(2015): 164461.
7
2. Hukum Poligami Menurut Syaltut Syaltut berbeda pendapat dengan
Abduh dengan tidak meletakkan syarat keterpaksaan dalam masalah
poligami. Dia menyerahkan kepada individu untuk menentukan keadaan
dirinya apakah mampu berlaku adil ataupun tidak, kemudian dia jawab
sendirilah depan Allah. Syaltut melihat hukum asal poligami dibolehkan
adalah untuk memberi jalan keluar kepada pengasuh anak yatim supaya
tidak terjebak dalam kezaliman akibat perbuatannya yang tidak adil
terhadap mereka. Oleh karena itu menurut Syaltut, apa yang penting dalam
poligami adalah keadilan bukan keterpaksaan.
3. Hukum Poligami Menurut Yusuf al-Qaradhawi Yusuf al-Qaradhawi
walau bagaimanapun tidak setuju dengan pendapat yang mengharamkan
poligami. Hukumnya tetap boleh, bukan haram kerana melihat kepada
berbagai kemaslahatan. Orang yang akan melakukan poligami harus
berkeyakinan penuh bahwa dia mampu berlaku adil tanpa khuatir terjatuh
dalam kezaliman seperti keterangan surah An-Nisa‘, ayat 3.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat An- Nisa' ayat 3:
Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS Al- Nisa
(4) : 8.6
Ikatan perkawinan yang abadi merupakan hal yang sangat didambakan bagi
setiap pasangan suami istri, namun beberapa kenyataan berbeda dengan harapan,
akan datang suatu masa bagi sebagian pasangan dimana keharmonisan dalam
rumah tangga, kehangatan, cinta dan kasih sayang berubah menjadi pertikaian,
6 Darmawijaya, Edi. "Poligami Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif (Tinjauan Hukum Keluarga
Turki, Tunisia dan Indonesia)." Gender Equality: International Journal of Child and Gender
Studies 1.1 (2015): 27-38.
8
ketidak selarasan pendapat dan hal-hal yang sebelumnya mendatangkan begitu
banyak maslahat menjadi condong pada kemudaratan hingga gagal mencapai
tujuan mulia untuk melestarikan dan menjaga kesinambungan hidup rumah tangga
yang pada akhirnya berujung pada perceraian.
Perceraian atau talak secara bahasa berasal dari kata itlaq yang berarti
melepaskan atau meninggalkan, yaitu melepaskan ikatan perkawinan. Secara
istilah, talak bermakna melepaskan ikatan perkawinan atau putusnya hubungan
suami istri dengan mengucapkan secara sukarela ucapan “talak” kepada istrinya
dengan kata-kata yang jelas atau sindiran. Menurut Imam Syafi’i talak dapa syara’
ialah melepaskan ikatan pernikahan dengan menggunakan lafadz “talak” dan
seumpamanya.
Perceraian dalam prespektif Islam merupakan hal yang boleh dan halal
dilakukan, meski begitu perceraian tetaplah hal yang dibenci Allah SWT,
sehingga perceraian diperlukan pertimbangan yang mendalam serta perlu
dilakukan sesuai dengan hukum atau syari’at Islam yakni memenuhi syarat dan
rukunnya. Hukum Islam mengatur mengenai cerai atau talak dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Q.S Al-Baqarah ayat 299 diambil sebagai rujukan dasar hukum
perceraian yang artinya: “Talak yang dapat dirujuk dua kali, setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang Ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah.”
9
sungguh yaitu: nikah, talak, dan rujuk.” (HR. Imam empat kecuali An-Nasa’i dan
nilai shahih menurut Hakim). 7 Talak dalam prespektif hukum Islam dapat
dijatuhkan dengan banyak cara yakni dapat berupa talak dengan kata-kata, talak
dengan surat (tertulis), talak dengan utusan atau perantara. Syarat dan rukun
dalam perceraian cukup mudah diebandingkan dengan persoalan fiqh yang lain,
maka dari itu setiap suami dan istri hendaklah memelihara lisan dan tindakannya
dalam hal perceraian, tidak mengucapkannya kecuali dengan pertimbangan yang
matang.
7
Latifah Ratnawati, “Perceraian dibawah Tangan dalam Prespektif Hukum Islam dan Hukum Posiif”, Jurnal
Yustisi, Vol. 4 No. 1, (Maret, 2017): 44.
10
menyebutkan pada pasal 38 bahwa putusnya hubungan perkawinan adalah karena
tiga hal yaitu; kematian salah satu pihak, perceraian, dan atas putusan hakim.
8
Dahwadin, Enceng Iip, Eva Sofiawati, dan Muhamad Dani, “Hakikat Perceraian Berdasarkan Ketentuan
Hukim Islam di Indonesia”, Jurnal Yudisia, Vol. 11 No. 1, (Juni, 2020): 90
11
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Fatwa juga bukanlah hukum negara yang memiliki kedaulatan yang bisa
dipaksakan kepada rakyat,Fatwa juga tidak mempunyai sanksi dan tidak harus
ditaai oleh seluruh warga negara.Sedangkan yurisprudensi merupakan
kebalikanya
B. Saran
Kedepanya agar kita dapat memahami dengan lebih jelas dalam Fatwa dan
Yurisprudensi ini,terkhusus didalam Kedudukan Hukum Fatwa Dan
Yurisprudensi Di Indonesia,karena masih minimnya pemahaman kita terhadap
materi ini
12
DAFTAR PUSAKA
Ardhian, Reza Fitra, Satrio Anugrah, and Setyawan Bima. "Poligami dalam
hukum islam dan hukum positif indonesia serta urgensi pemberian izin poligam di
pengadilan agama." Privat Law 3.2 (2015): 164461.
Dahwadin, Enceng Iip, Eva Sofiawati, dan Muhamad Dani, “Hakikat Perceraian
Berdasarkan Ketentuan Hukim Islam di Indonesia”, Jurnal Yudisia, Vol. 11 No. 1,
(Juni, 2020): 90
13