Makalah ini disajikan untuk memenuhi tugas mata kuliah peradilan Agama di Indonesia
Dosen Pengampu
Dr. H. Mukhsin Aseri, M. Ag, M.H
Oleh:
Kelompok 2
2022/2023
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt yang senantiasa melimpah kan rahmat,
taufik dan hidayah-Nya sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan. Sholawat serta
salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad saw yang membawa kita dari
zaman kegelapan menuju cahaya Islam.
Makalah yang berjudul “Asas dan Sumber Hukum Peradilan Agama” ini disusun dalam
rangka memenuhi tugas mata kuliah Peradilan Agama di Indonesia. Oleh karena itu pada
kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Peradilan Agama
di Indonesia Bapak Muhammad Syauqi, S. H selaku Asisten Dosen.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih belum sempurna dan
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan. Akhirnya, semoga
makalah ini dapat bermanfaat.
Kelompok 2
2
DAFTAR ISI
3
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keberadaan Pengadilan Agama sebagai pengadilan islam limitative
mempengaruhi masyarakat islam untuk mendapatkan keadilan. Dengan demikian,
adanya Undang-Undang 50 Tahun 2009 atas perubahan kedua Undang-Undang No.7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menjadi tongak supremasi hukum peradilan
agama di Indonesia. Sumber hukum pengadilan agama secara garis besar terdiri dari
sumber hukum materil yang bersumber dari hukum islam dan hukum materil yang
terikat dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 atas perubahan kedua Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama dan sumber hukum perundang-
undangan, hukum kebiasaan, hukum yurisprudensi, hukum agama dan hukum adat
yang dinyatakan sebagai hukum positif. Kewenangan relative dan kewewnangan
absolut.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja Asas Hukum Peradilan Agama
2. Apa saja yang menjadi sumber Hukum Peradilan Agama
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui apa saja asas Hukum Peradilan Agama
2. Unutk mengetahui apa saja summber Hukum Peradilan Agama
4
BAB II
PEMBAHASAN
Pada dasarnya setiap badan peradilan mempunyai asas asas yang telah
dirumuskan untuk mengemban tugasnya karena dengan tugas tersebut dapat dikatakan
sebagai sifat dan karakter yang melekat pada keseluruhan rumusan dalam pasal-pasal
dan Undang-Undang. Dengan begitu, setiap pasal dalam undang-undang tidak boleh
bertentangan dengan asas-asas yang menjadi karakternya.1 Dalam Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama terdapat 7 asas sebagai berikut:1
1
Samsul Arifin, Analasis Terhadap Faktor Penghambat Penerapan Asas Sederhana, Cepat dan biaya
ringan dalam proses Peradilan Agama Di Pengadilan Agama kabupaten Kediri Tahun 2012, (Kediri: STAIN), Hal.
12.
5
muslim kepada lingkungan Peradilan Agama, tidak merupakan tundukan yang
bersifat umum, yang meliputi semua bidang perdata.
2. Asas kebebasan
Asas kebebasan merupakan asas yang paling sentral dalam kehidupan
peradilan karena kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan Negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna penegakan hukum. Dalam hal ini
agar hukum dapat ditegakan berdasarkan pancasila, akan tetapi kebebasan
kehakiman bukanlah kebebasan yang membabi buta akan tetapi terbatas dan
relative.diantaranya:
• Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lain
• Bebas dari paksaan
• Kebebasan melaksanakan wewenang judicial (peradilan)
3. Asas wajib mendamaikan
Asas mendamaikan dalam Peradilan Agama sejalan dengan konsep Islam yang
dinamakan Ishlah. Untuk itu layak sekali para hakim Peradilan Agama menyadari
dan mengemban fungsi “mendamaikan” karena bagaimanapun seaduil-adilnya
putusan jauh lebih baik dan lebih adil jika perkara diselesaikan dengan perdamaian,
karena karakter didalam persidangan dalam Peradilan pasti ada menang dan kalah
seadil adilnya putusnya hakim akan di rasa tidak adil oleh pihak yang kalah, dan
sebaliknya seadil adilnya putusan akan dirasa adil oleh yang menang. Untuk itu
hasil dari perdamaian yang dihasilkan dari kesadaran kedua belah pihak mereka
akan sama-sama merasa menang dan merasa kalah. Akan tetapi dalam masalah
perceraian perdamaian wajib bagi hakim dimana yang sifatnya “imperative”.
4. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan
Sebuah Peradilan apalagi Peradilan Agama yang menjadi harapan masyarakat
muslim untuk mencari keadilan, dengan adanya Asas sederhana, cepat dan biaya
ringan akan selalu dikehendaki oleh masyarakat. Penyelesain perkara dalam
peradilan yang cepat, tepat, adil, dan biaya ringan tidak berbelit belit yang
menyebabkan proses sampai bertahun-tahun. Biaya ringan artinya biaya yang
sederhana mungikin sehingga dapat terpikul oleh rakyat.2
5. Asas terbuka untuk umum
2
Ibid h. 14
6
Pelaksanaan sidang terbuka untuk umum berarti setiap pemeriksaan
berlangsung disidang pengadilan, siapa saja yang ingin berkunjung, menghadiri,
menyaksikan, dan mendengarkan jalannya persidangan tidak boleh dihalangi dan
dilarang, maka untuk memenuhi syarat formal atas asas ini, sebelum hakim
melakukan pemeriksaan lebih dahulu menyatakan dan mengumumkan
“persidangan terbuka untuk umum”. Tujuan yang terkandunga dalam asas ini
adalah agar tidak sampai terjadi pemeriksaan gelap/bisik-bisik karena persidangan
tertutup cenderung melakukan pemeriksaan secara sewenang-wenang, selain itu
adanya edukasi yakni dapat menjadi informasi kepada masyarakat agar tidak
terperosok kearah yang tidak tepat. Kecuali dalam masalah Perceraian yang bersifat
tertutup karena pertimbanganya yakni kepentingan kerahasiaan aib rumah tangga
dan pribadi suami istri jauh lebih besar nilai “ekuivalensinya” dibanding terbuka
untuk umum, karena barangkali mereka berpendapat bertentantangan dengan moral
dan kepatutan untuk meyebar luaskan rahasia aib dan kebobrokan suami istri
melalui siding peradilan, satu-satunya cara untuk menutup kebocoran melalui
siding tertutup.
6. Asas legalitas dan persamaan
Pengertian makna legalistis pada prinsipnya sama dengan rule of law yakni
pengdilan mengadili menurut ketentuan-ketentuan hukum karena hakim berfungsi
dan berwenang mengerkan roda jalanya peradilan melalui badan pengadilan, semua
tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan
peradilan, mesti menurut hukum, hakim dilarang menjatuhkan putusan dengan
sesuka atau dengan selera hakim itu sendiri yang bertentangan dengan hukum.
Sedangkan makna Persamaan hak adalah seseorang yang datang yang berhadapan
dalam persidangan sama hak dan kedudukanya tidak memandang jabatan, saudara,
maupun kawan semuanya sama dihadapan pengadilan.
7. Asas aktif memberikan bantuan
Dalam asas ini hakim hendaknya dapat memberi bantuan secara aktif dilihat
dari tujuan dari memberi bantuan diarahkan untuk mewujudkan praktek peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Ada berberapa masalah formal yang
tercakup kedalam objek fingsi memberi bantuan dan nasihat yaitu:
• Membuat gugatan bagi yang buta huruf.
• Memberi pengarahan tata cara izin “prodeo”.
7
• Menyarankan penyempurnaan surat kuasa.
• Penganjurkan perbaikan surat gugatan.
• Memberi penjelasan alat bukti yang sah.
• Memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan jawaban.
• Bantuan memanggil saksi secara resmi.
• Memberi bantuan upaya hukum.
• Memberi penjelasan tata cara verzet dan rekonvensi.
• Mengarahkan dan membantu memformulasi perdamaian.3
3
Ibid h.15
4
Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Kencana), h. 125-129
8
kemudian ditambah dengan studi banding ke negara-negara Islam lainnya, yakni
Maroko, Turki, dan Mesir dan setelah semua data yang terkumpul menjadi naskah
kompilasi diajukan oleh menteri agama kepada presiden pada 14 Maret 1988
dengan Surat No. MA/123/1988 tentang Pembentukan Kompilasi Hukum Islam
guna memperoleh landasan yuridis sebagai pedoman untuk menyelesaikan perkara
di lingkungan peradilan agama.
5
Ibid, h. 130.
9
Reglement Indonesia yang diperbarui RIB yang diberlakukan dengan Stbl. 1848
No. 16 dan Stbl. 1941 No. 44.
c. Rechtsregelement Voor De Buitengewesten (RBg.)
Ketentuan hukum acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumipu- tra
dan Timur Asing yang berada di luar Jawa dan Madura yang beperkara di muka
Landraad.
R.Bg ditetapkan berdasarkan Ordonansi tanggal 11 Mei 1927 dan yang
berlaku berdasarkan Stbl. 1927 tanggal 01 Juli 1927. dikenalkan juga dengan
"Reglement Daerah Seberang".
Bab II R.Bg memuat bagian Hukum Acara Perdata yang terdiri dari 7
(tujuh) titel, yang masih digunakan sebagai Hukum Acara Perdata untuk daerah
seberang adalah titel IV dan V, sedangkan titel I, II, III, VI, dan VII tidak
digunakan lagi seiring dengan dihapuskannya Pengadilan Dis- tricgerecht,
Districtraad, Magistraadgerecht, Residentiegerecht, dan R. van Justitie.
d. Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW)
BW yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-un-
dang Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khu- susnya
buku IV tentang Pembuktian, yang termuat dalam Pasal 1865 s/d 1993.
e. Wetboek van Koophandel (WVK)
WVK yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-un-
dang Hukum Dagang juga terdapat sumber Hukum Acara Perdata, sebagai
sumber penerapan acara dalam praktik peradilan.
WVK diberlakukan dengan Stbl. 1847 No. 23, Khususnya dalam Pasal
7, 8, 9, 22, 23, 225, 258, 272, 273, 274, dan 275. Dalam kaitan dengan Hu- kum
Dagang ini, terdapat juga Hukum Acara Perdata yang diatur dalam
Failissements Verordering (aturan kepailitan) yang diatur dalam Stbl. 1906 No.
348.6
f. Peraturan Perundang-undangan
a) Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal
banding bagi Pengadilan Tinggi di Jawa, Madura sedangkan untuk
daerah luar Jawa, Madura diatur dalam Pasal 199-205 RBg.;
6
Ibid, h. 131.
10
b) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dan diubah menjadi
Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 terakhir keduanya dinyatakan ti-
dak berlaku lagi oleh UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Keha-
kiman. Dalam peraturan perundang-undangan ini memuat beberapa
ketentuan tentang Hukum Acara Perdata dalam Praktik Peradilan di
Indonesia;
c) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI yang
telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung, yang memuat tentang Acara Perdata dan hal-hal
yang berhubungan dengan asasi dalam proses beperkara di Mahka mah
Agung RI:
d) Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam
undang-undang ini diatur tentang Susunan dan Kekuasaan Peradilan di
lingkungan Peradilan Umum serta Prosedur Beracara di lingkungan
Peradilan Umum tersebut;
e) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9
Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Per-
kawinan tersebut;
f) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam
undang-undang ini, khususnya Pasal 54 dikemukakan bahwa hukum
acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama de-
ngan hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum, ke-
cuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang
tersebut;
g) Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi
Hukum Islam yang terdiri 3 buku, yaitu Hukum Perkawinan, Kewaris-
an, dan Wakaf.
g. Yurisprudensi
Dalam kamus Fockema Andrea sebagaimana yang dikutip oleh Li- lik
Mulyadi, S.H. (1998: 14) dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah
11
Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam
memberikan keputusan sosial yang sama.
Hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab
negara Indonesia tidak menganut asas "the binding force of precedent", jadi
bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi dengan memakai dalam
suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya.
Hakim harus berani meninggalkan yurisprudensi kalau sekiranya
yurisprudensi itu telah usang dan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman
dan keadaan masyarakat, tetapi tidak ada salahnya untuk tetap dipakai kalau
yurisprudensi itu masih sesuai dengan keadaan zaman dan sesuai dengan nilai-
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dengan amendemen UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, terakhir dengan UU No. 50 Tahun
2009 tentang Peradilan Agama.
h. Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI tidak mengikat hakim
sebagaimana undang-undang. Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 8) surat
edaran dan instruksi Mahkamah Agung RI itu bukanlah hukum, tetapi
merupakan sumber hukum, bukan dalam arti tempat ditemukan hukum
melainkan tempat hakim dapat mengadili hukum.
Dalam rangka pengawasan dan pembinaan Mahkamah Agung RI
berwenang memberikan petunjuk apabila dianggap perlu agar suatu masalah
hukum tidak menyimpang dari aturan yang telah ditentukan Doktrin atau Ilmu
Pengetahuan
Sebelum berlaku Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, doktrin atau ilmu pengetahuan hukum banyak digunakan oleh hakim
Peradilan Agama dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, terutama ilmu
pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab- kitab fikih. Berdasarkan Surat
Edaran Biri Peradilan Agama Departemen Agama No. B/1/1735 tanggal 18
Februari 1958 sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957
tentang Pembentukan Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura
dikemukakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa
dan memutuskan perkara, maka para hakim Pengadilan Agama dianjurkan agar
12
menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam kitab fikih
sebagai berikut:
a. Al-Bajuri
b. Fatkhul Muin
c. Syarqawi at-Tahrir
d. Qalyubi wa Umairah Al-Mahalli e. Fatkhul Wahhab dan syarahnya
f. Tuhfah
g. Targhib al-Mustaq
h. Qawanin Syari'ah li Sayyid bin Yahya i. Qawanin Syari'ah li Sayyid
Shadaqah
J. Syamsuri li Fara'id
k. Bughyat al-Musytarsyidin 1. Al-Fiqih ala Madzahib al-Arba'ah
m. Mughni al-Muhtaj
Dengan menunjuk kepada 13 buah kitab fikih sebagaimana tersebut di
atas, diharapkan hakim Peradilan Agama dapat mengambil atau
menyeragamkan tata cara beracara dalam Peradilan Islam untuk dijadikan
pedoman dalam mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan ke
padanya di lingkungan Peradilan Agama.7
7
Ibid, h. 132-134
13
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Asas Hukum adalah pokok pikiran yang bersifat umum yang menjadi latar
belakang dari peraturan hukum yang pasti(Hukum Positif). setiap badan peradilan
mempunyai asas asas yang telah dirumuskan untuk mengemban tugasnya karena
dengan tugas tersebut dapat dikatakan sebagai sifat dan karakter yang melekat pada
keseluruhan rumusan dalam pasal-pasal dan Undang-Undang.
Adapun sumber hukum yang di pakai atau dirujuk dalam memeriksa, memutus
dan menyelesaikan perkara secara garis besar terbagi dua, pertama, sumber hukum
materiel; kedua, sumber hukum formil yang sering disebut hukum acara.
B. SARAN
Kami sebagai pembuat makalah menyadari jika makalah ini banyak sekali
kekurangan yang jauh sekali dari kata sempurna. Tentu kami akan terus memperbaiki
makalah dengan mengacu kepada sumber yang bisa dipertanggung jawabkan nantinya.
Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik serta saran mengenai
pembahasan makalah ini.
14
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, S. (2012). Analisis Terhadap Faktor Penghambat Penerapan Asas Sederhana, Cepat dan
Biaya Ringan Dalam Proses Peradilan Agama Di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri
Tahun 2012. STAIN.
15