Anda di halaman 1dari 27

PENGERTIAN, DASAR HUKUM, ASAS HUKUM KEWARISAN (IJBARI,

BILATERAL, INDIVIDUAL, KEADILAN DAN KEMATIAN), SEBAB


DAN PENGHALANG MENDAPAT WARISAN

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Islam

Dosen Pengampu:

Dr. H. Aziz Sholeh, M. Ag.

Oleh:

Hervina Eka Angelina 1203050061


Matahari Ginay Arsy Adila Delima Puspitahati Yonagie 1203050082
Moammar Pargola Ritonga 1203050083

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan karunia-Nya,
baik kesehatan maupun kesempatan, kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah
Hukum Perdata Islam ini tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah yang berjudul “Pengertian, dasar hukum, dan asas hukum
kewarisan (ijbari, bilateral, individual, keadilan dan kematian), sebab dan penghalang
mendapat warisan” ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum
Perdata Islam. Selain itu, penyusunan makalah ini ditujukan untuk menambah wawasan bagi
pembaca mengenai pengetahuan hukum kewarisan islam secara luas.

Ucapan terimakasih yang mendalam kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu selama proses penyusunan makalah ini. Terutama kepada Bapak Dr. H. Aziz
Sholeh, M. Ag., selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Perdata Islam yang telah
membimbing kami hingga terwujudnya makalah ini.

Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, kami menyadari bahwa terdapat
ketidaksempurnaan di dalam makalah ini, baik dari segi penulisan, maupun teknik penyajian.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami menerima kritik dan saran yang
membangun terhadap makalah ini agar penyusunan selanjutnya menjadi lebih baik.

Akhir kata, tiadalah lain harapan kami, semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat
serta bisa memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam khazanah keilmuan, khususnya di
bidang mata kuliah Hukum Perdata Islam.

Bandung, April 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
A. Latar belakang.........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan Makalah.....................................................................................................2
D. Manfaat Penulisan Makalah...................................................................................................2
E. Metodologi Penulisan..............................................................................................................2
BAB II..................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN...................................................................................................................................3
1. Hukum Waris Islam menurut Syari’ah Islam.......................................................................3
A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam.................................................................................3
B. Dasar Hukum Waris Islam.................................................................................................4
C. Asas-asas dalam Hukum Waris Islam menurut Syari’ah.................................................6
D. Sebab Mewaris dan halangan mewaris menurut Syari’ah.............................................10
2. Hukum Waris Islam menurut Kompilasi Hukum Islam....................................................13
A. Pengertian..........................................................................................................................13
B. Dasar Hukum.....................................................................................................................13
C. Unsur-unsur Kewarisan berdasarkan KHI.....................................................................14
D. Asas-asas Hukum Waris Islam berdasarkan KHI..........................................................14
E. Sebab dan halangan mewaris............................................................................................20
BAB III...............................................................................................................................................22
PENUTUP..........................................................................................................................................22
A. Kesimpulan............................................................................................................................22
B. Saran.......................................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................23

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hukum kewarisan Islam merupakan satu dari sekian banyak hukum Islam
yang terpenting. Hukum warisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa saja orang
yang bisa mewarisi dan tidak bisa mewarisi dan tidak bisa mewarisi bagian-bagian
yang diterima setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya.
Mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, maka Hukum Waris Islam
merupakan hukum yang sering digunakan dalam menyelesaikan masalah waris di
Indonesia, terlebih setelah dikeluarkannya dan berlakunya UU No. 50 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama yang dalam Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 dalam Penjelasannya
menyebutkan bahwa “warga negara muslim di Indonesia sudah tidak mempunyai hak
pilih hukum dalam melaksanakan pengurusan kewarisannya hanya dapat diajukan ke
Pengadilan Agama yang artinya Penyelesaiannya berdasarkan Hukum Islam”. Yang
artinya kompetensi mengadili masalah waris orang Islam harus dilakukan di
Pengadilan Agama.
Oleh karenanya memahami proses mewaris secara Islam adalah suatu
keniscayaan bagi sarjana hukum di Indonesia, karena mayoritas penduduk bangsa
Indonesia beragama Islam. Pengertian Hukum Waris Menurut Islam adalah suatu
disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses
pemindahan, siapa saja yang berhak menerima bagian harta warisan/peninggalan itu
serta berapa masing-masing bagian harta waris menurut hukum waris Islam.
Sumber utama dalam hukum Waris Islam adalah Al-Qur’an Surat An-Nisa'
ayat 7, 9, 11, 12, 13, 14, 22, 23, 24 a,b dan 176. Syariat Islam menetapkan aturan
waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak
kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara
yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang
sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya,
tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil. Selain dalam Al-
qur‟an, sumber pengaturan mengenai hukum waris Islam khususnya di Indonesia
bersumber pula pada Hadist dan Kompilasi Hukum Islam/KHI (Instruktur Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991).

1
2

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan?
2. Apa yang menjadi dasar hukum dari Hukum Kewarisan?
3. Sebutkan dan jelaskan apa saja yang termasuk asas Hukum Kewarisan?
4. Apa saja hal penyebab dan penghalang mendapat warisan?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan;
2. Untuk mengetahui dasar hukum dari Hukum Kewarisan;
3. Untuk mengetahui yang termasuk ke dalam asas Hukum Kewarisan;
4. Untuk mengetahui penyebab dan penghalang mendapat warisan.

D. Manfaat Penulisan Makalah


1. Makalah ini memiliki manfaat bagi penyusun makalah untuk melatih kemampuan
menulis sebagai alat ukur pemahaman penyusun terhadap Hukum Kewarisan
Islam, sekaligus untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Perdata
Islam.
2. Makalah ini memiliki manfaat bagi pembaca untuk memberikan pemahaman
tentang Hukum Kewarisan Islam beserta dasar hukum, asas, penyebab dan
penghalang mendapatkan warisan serta memberikan gambaran betapa pentingnya
materi ini untuk kita sebagai manusia saat ini dan seterusnya terutama dalam
bidang hukum.

E. Metodologi Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah deskriptif,
yaitu dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta dari beberapa sumber.
Metode ini tidak hanya menguraikan, tetapi juga memberikan pemahaman dan
penjelasan secukupnya. Fakta-fakta yang dideskripsikan diperoleh dengan
menggunakan teknik studi pustaka. Studi pustaka merupakan metode pengumpulan
data yang diarahkan kepada pencari data dan informasi melalui berbagai sumber
seperti buku, jurnal dalam artikel, artikel, dan sumber lain yang mendukung dalam
proses penulisan.
3
BAB II

PEMBAHASAN

1. Hukum Waris Islam menurut Syari’ah Islam


A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam
Hukum waris Islam bagi seorang muslim mempunyai kedudukan yang utama
dibandingkan dengan hukum waris lainnya, sebab sudah jelas hukum waris isla,
tersebut telah disyari’atkan dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. (bahkan merupakan hal
yang wajib dilaksanakan).1
Syariat Islam menetapkan ketentuan tentang waris dengan sangat sistematis, dan
penuh dengan nilai-nilai keadilan. Didalamnya ditetapkan hak-hak kepemilikan bagi
setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang dibenarkan oleh
hukum syariat Islam juga menetapkan hak-hak kepemilikan seseorang sesudah ia
meninggal dunia yang harus diterima oleh seluruh kerabat dan nasabnya. Al-Mirats
dalam bahasa arab adalah bentuk mashadar (infinitif) dari kata warista-yatitsu-irtsan-
miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seorang kepada
orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Dalam Al-Quran surat Al-
Naml ayat 16 “wawarisa sulaiman Dauda” (dan sulaiman telah mewarisi Daud) dan
hadist ‘al-Ulama Warasatul Anbiya i’ (Ulama adalah ahli waris para nabi). Sedangkan
makna al- mirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang ditinggal itu berupa harta, uang, tanah atau apa saja yang
berupa hak milik legal secara syar’i.2
Berikut beberapa pengertian Hukum Waris menurut pendapat para ahli:
1) Menurut Soepomo
Hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang
yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia
(generatie) kepada turunannya.
2) Menurut R. Santoso Pudjosubroto

1
Suhardi K.Lubis & Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap & Praktis), (Jakarta: Sinar Grafika Mei
2004), h. 14.
2
H.Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), h. 205
5

Yang dimaksud dengan hukum warisan adalah hukum yang mengatur


apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta
benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralig kepada orang yang
masih hidup
3) Wirjono Prodjodikoro
Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah pembagian hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal
dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup

B. Dasar Hukum Waris Islam


Sumber-sumber hukum ilmu faraidh (Waris) adalah Al-Qur’an, As-Sunnah
Nabi SAW, dan ijma para ulama. Ijtihad atau qiyas di dalam ilmu faraidh tidak
mempunyai ruang gerak, kecuali jika ia sudah menjadi ijma para ulama.3 Berikut uraian
mengenai sumber-sumber Hukum Waris Islam :
1) Al-Qur’an
Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah kewarisan terdapat
dalam Surat dan Ayat sebagai berikut :
a. Menyangkut tentang tanggung jawab orang tua dan anak ditemui dalam
surat 2 ayat 233 (Qur’an Surat Al-Baqarah ayat (233)
b. Menyangkut harta pusaka dan pewarisannya ditemui dalam surat 4 ayat
33, surat 8 ayat 75, surat 33 ayat 6. Qs. An-Nisa (4) ayat : 33
c. Menyangkut aturan pembagian harta warisan, ditemui dalam surat 4 ayat
7,8,9,11,12,13,14, dan ayat 176 Qs. An-Nisa’ (4) ayat : 7
d. Ayat-ayat yang memberikan penjelasan tambahan mengenai kewarisan
(berisi pengertian pembantu). 26 Seperti pada Qs. 4 ayat 22, 23, dan 24
sebagai berikut : Qs. An-Nisa’ (4) ayat : 22
2) Hadits/Sunnah Rasul
Berikut ini merupakan beberapa hadis yang dapat penulis kemukakan
yang berkaitan dengan masalah kewarisan yang dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Tentang Cara Untuk Mengadakan Pembagian Warisan.
Berdasarkan hadis yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim dalam sebuah hadis dari Ibnu Abbas ra, ia berkata “Bersabda

3
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar (Mesir), Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing,
2004)., h.14
6

Rassulullah SAW, serahkanlah pembagian warisan itu kepada ahlinya,


bila ada yang tersiksa, maka berikanlah kepada keluarga laki-laki
terdekat”.4
b. Mengenai Orang Yang Berbeda Agama Tidak Saling Waris-Mewarisi
Dalam hukum Waris Islam secara tegas diatur dan ditetapkan
bahwa bagi orang yang berbeda agama tidalkah dapat saling waris-
mewarisi sebagaimana juga berdasarkan hadis dari Usman Putra Zaid ia
berkata , bahwasannya Rasulullah SAW bersabda “orang Islam tidak
punya hak waris atas orang kafir, dan orang kafir tidak punya hak waris
atas orang Islam”(hadis ini disepakati Imam Bukhari dan Imam Muslim)
c. Bayi sama haknya dengan orang dewasa
Dalam hukum waris Islam tidak membedakan pembagian
warisan antara seseorang yang belum dewasa dengan seseorang yang
telah dewasa, ketentuan ini dikemukakan dari hadis Jabir ra , ia berkata
“bayi yang sudah dapat menangis itu pun termasuk ahli waris” (hadis
diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud)
d. Pembunuh pewaris tidak menjadi ahli waris
Seperti telah penulis kemukakan juga diatas bahwa salah satu
penghalang atau larangan mendapatkan warisan adalah pembunuhan hal
ini juga diperkuat dalam hadis dari Amr Putra Syu’aib , dari ayahnya,
dari kakeknya ra. Ia berkata “sabda Rasulullah SAW bagi pembunuh
tidak punya hak warisan sedikit pun “ (hadis diriwayatkan oleh Imam
Nasa’i dan Imam Darul Quthny).
e. Hadis Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil
Hadis Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil yang diriwayatkan
oleh Bukhari Abu Dawud, At-Tirmizi, dan Ibn Majah. Abu Musa
ditanya tentang pembagian harta warisan seorang anak perempuan, cucu
perempuan, dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Abu Musa
berkata “untuk Anak perempuan seperdua dan untuk sudara perempuan
seperdua,. Datanglah kepada Ibnu Mas’ud, tentu dia akan mengatakan
seperti itu pula”. Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan ia
menjawab “saya menetapkan atas dasar apa yang telah ditetapkan oleh
Rasulullah, yaitu untuk anak perempuan seperdua, untuk melengkapi
4
Ibid., hlm. 31
7

dua pertiga cucu seperenam, dan selebihnya adalah untuk saudara


perempuan ”
f. Hadis Rasulullah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim.
Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah bersabda “ Aku
lebih dekat kepada orang-orang mukmin dari mereka itu sendiri antara
sesamanya . oleh karena itu, bila ada orang yang meninggal dan
meninggalkan hutang yang tidak dapat dibayarnya (tidak dapat dilunasi
dari harta peninggalannya) maka kewajibankulah untuk membayarnya,
dan jika dia meninggalkan harta (saldo yang aktif) maka harta itu untuk
ahli waris-ahli warisnya.
g. Hadis Rasulullah dari Wasilah bin Al-Aska yang diriwayatkan oleh at-
Tirmizi, abu Dawud dan Ibnu Majah. Wasilah bin Al-Asqa menceritakan
bahwa Rasulullah bersabda “ perempuan menghimpun tiga macam hak
mewaris, yaitu : Mewaris budak lepasannya, Anak zinanya, Mewarisi
anak li’annya.
3) Ijtihad
Meskipun Al-Qur-an dan Hadist Rasul telah memberikan ketentuan
terperinci mengenai pembagian warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan
adanya ijtihad terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam Al-Qur’an atau
Hadist Rasul.5 Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan bentuk dari Ijtihad
bagi ketentuan dan peraturan mengenai kewarisan Islam di Indonesia.
4) Ijma
Ijma adalah kesepakatan para sahabat atau ulama setelah wafatnya
Rasulullah saw. Tentang aturan kewarisan yang terdapat dalam ketentuan Al-
Quran dan Hadist. Dan tidak ada seorang pun yang dapat menyalahi Ijma
tersebut.

C. Asas-asas dalam Hukum Waris Islam menurut Syari’ah


Perkataan asas berasal dari bahasa Arab, asasun, artinya: dasar, basis, pondasi
Kalau dihubungkan dengan sistem berpikir, yang dimaksud dengan asas adalah
landasan berpikir yang sangat mendasar Oleh karena itu, di dalam bahasa Indonesia,
asas mempunyai arti (I) dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau

5
Neng Djubaedah & Yati Soelistijono, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Depok: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2008), hlm.12
8

berpendapat) (2) dasar cita-cita (perkumpulan atau organisasi) (3) hukum dasar. 6
Sedangkan asas menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia mempunyai beberapa arti,
diantaranya adalah kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.7
Dalam Syari’ah Islam mengenai hukum Waris juga menganut beberapa asas
yang berhubungan dengan kewarisan, yang bersumber pada Al-Qur’an dan para ulama
juga menyetujui asas-asas ini karena sesuai dengan Syari’ah Islam. Berikut asas-asas
yang dianut adalah:
1) Asas Ijbari : Keharusan, Kewajiban
Yang dimaksud Ijbari adalah bahwa dalam hukum kewarisan Islam
secara otomatis. Artinya, secara hukum langsung berlaku dan tidak memerlukan
tindakan hukum baru setelah matinya pewaris atau peralihan harta dari
seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya sesuai
dengan ketetapan Allah swt, tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang
baik pewaris maupun ahli waris. Unsur keharusannya (ijbari/compulsory)
terutama terlihat dari segi di mana ahli waris (tidak boleh tidak) menerima
berpindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah
ditentukan oleh Allah.
Oleh karena itu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika,
tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia
kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih
kepada ahli warisnya dengan bagian yang sudah dipastikan Azas Ijbari ini dapat
juga dilihat dari segi yang lain yaitu :
a. Peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia
b. Jumlah harta sudah ditentukan besar kecilnya untuk masing-masing
ahli waris Sebagaimana telah ditentukan pada Q.S An-Nisa'/4: 11, 12
dan 176
c. Orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan
dengan pasti yakni mereka yang mempunyai hubungan nasab (darah)
dan perkawinan, apakah perkawinan utuh atau perkawinan yang
dianggap utuh. Sebagaimana ditentukan pada Q S. An-Nisa'/4: 11,12
dan 176

6
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Cel. Ill; Jakarta: Balai
Pustaka.2005). hlm. 70
7
Mariam Darus Badrulzaman. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional (Bandung: Alumni. 1983). hlm. 15
9

2) Asas Bilateral
Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam
adalah bahwa seseorang menerima hak warisan dari kedua belah pihak garis
kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki.
Asas bilateral ini secara tegas dapat ditemui dalam ketentuan Al-Qur’an
surat An-Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176 antara lain dalam ayat 7 dikemukakan
bahwa seorang laki- laki berhak memperoleh warisan dari pihak ayahnya dan
demikian juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang perempuan mendapat
warisan dari kedua belah pihak orang tuanya.8
3) Asas Individual : Perorangan
Pengertian dari asas inidvidual ini adalah : setiap ahli waris (secara
individu) berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris
lainnya (sebagaimana halnya dengan pewarisan kolektif yang dijumpai di dalam
ketentuan hukum adat). Ketentuan asas Individual ini dapat dijumpai dalam
ketentuan Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 7 yang mengemukakan tentang bagian-
bagian para Ahli Waris.9
Dengan demikian bahwa setiap para ahli waris mewarisi harta secara
perorangan, karena ketentuan pembagiannya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an
secara masing-masing, dan tidak ada hubungannya dengan bagian ahli waris
yang lainnya, dan ahli waris tersebut berhak sepenuhnya atas harta yang
diperolehnya tersebut.
4) Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara hak
yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya
kehidupan yang harus ditunaikannya, dan keseimbangan antara yang diperoleh
dengan keperluan dan kegunaan. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat
bagian yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing
(kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat Seorang laki-laki menjadi
penanggung jawab dalam kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak
dan isterinya sesuai dengan kemampuannya, seperti dijelaskan pada QS.AI-
Baqarah/2: 233:

8
Ibid., hlm.37
9
Ibid
10

‫ضا َعةَ ‌ ؕ َو َعلَى‬ َ ‫ن لِ َم ۡن اَ َرا َد اَ ۡن يُّتِ َّم ال َّر‬‌ِ ‫ض ۡعنَ اَ ۡواَل َدهُ َّن َح ۡولَ ۡي ِن َكا ِملَ ۡي‬ِ ‫ت ي ُۡر‬ ُ ‫َو ۡال َوالِ ٰد‬
َ ُ‫ف ن َۡفسٌ اِاَّل ُو ۡس َعهَا ۚ اَل ت‬
‫ضٓا َّر‬ ُ َّ‫ف‌ؕ اَل تُ َكل‬ ِ ‫ۡال َم ۡولُ ۡو ِد لَهٗ ِر ۡزقُه َُّن َو ِك ۡس َوتُه َُّن بِ ۡال َم ۡعر ُۡو‬
‫صااًل ع َۡن‬ َ ِ‫ث ِم ۡث ُل ٰذ ل‬
َ ِ‫ك ۚ فَا ِ ۡن اَ َرادَا ف‬ ِ ‫ار‬ ۡ
ِ ‫َوالِ َدةٌ ۢ بِ َولَ ِدهَا َواَل َم ۡولُ ۡو ٌد لَّهٗ بِ َولَ ِد ٖه َو َعلَى ال َو‬
ِ ‫اض ِّم ۡنهُ َما َوتَ َشا ُو ٍر فَاَل ُجنَا َح َعلَ ۡي ِه َما ‌ؕ َواِ ۡن اَ َر ْدتُّمۡ اَ ۡن ت َۡست َۡر‬
‫ضع ۡ ُٓوا اَ ۡواَل َد ُكمۡ فَاَل‬ ٍ ‫ت ََر‬
َ‫اعلَ ُم ۡ ٓوا• اَ َّن هّٰللا َ بِ َما ت َۡع َملُ ۡون‬
ۡ ‫ف‌ؕ َواتَّقُوا هّٰللا َ َو‬
ِ ‫ُجنَا َح َعلَ ۡي ُكمۡ اِ َذا َسلَّمۡ تُمۡ َّمٓا ٰات َۡيتُمۡ بِ ۡال َم ۡعر ُۡو‬
‫ص ۡي‬
ِ َ‫ب‬
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh. Yaitu bagi yjang ingin menyempurnakan penyusuan dan
kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara
ma'ruf, seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian apabila keduanya
ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan. Maka tidak ada dosa atas keduanya dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut, bertakwalah kamu kepada Allah
dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Maksud dari asas ini adalah ahli waris dalam menerima warisan jenis
kelamin tidaklah menentukan dalam hal mewaris, baik laki-laki maupun
perempuan sama-sama mempunyai hak mewaris yang sama.
5) Asas Kewarisan semata akibat Kematian
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta
hanya semata-mata disebabkan adanya kematian. Dengan kata lain harta
seseorang tidak dapat beralih (dengan pewarisan) seandainya ia masih hidup.
Walaupun ia berhak untuk mengatur hartanya, hak tersebut semata-mata hanya
sebatas keperluannya semasa ia masih hidup, dan bukan untuk penggunaan
harta tersebut sesudah ia meninggal dunia.10
Dengan demikian jika adanya peralihan harta pewaris yang masih
hidup bukanlah merupakan kewarisan melainkan disebut dengan hibah, karena
hukum kewarisan dalam Islam baru terjadi jika adanya kematian.
10
Ibid., hlm.38
11

D. Sebab Mewaris dan halangan mewaris menurut Syari’ah


1) Sebab-sebab mewaris
Menurut ketentuan hukum waris Islam, yang menjadi sebab seseorang
itu mendapatkan warisan dari ahli waris (si mayit) dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Karena hubungan perkawinan
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli
waris) disebabkan adanya hubungan perkawinan antara si mayit dengan
seseorang tersebut, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah suami
atau istri dari si mayit.
2. Karena adanya hubungan darah
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli
waris) disebabkan adanya hubungan nasab atau hubungan
darah/kekeluargaan dengan si mayit, yang termasuk dalam klasifikasi ini
seperti ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak
saudara, dan lain-lain.
3. Karena memerdekakan si mayit
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli
waris) dan si mayit disebabkan seseorang itu memerdekakan si mayit
dari perbudakan, dalam hal ini dapat saja seorang laki-laki atau seorang
perempuan.
4. Karena sesama Islam
Seseorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak
meninggalkan ahli waris sama sekali (punah), maka harta warisannya
diserahkan kepada Baitul Mal, dan lebih lanjut akan dipergunakan untuk
kepentingan kaum muslimin.
2) Penghalang mewaris (mawani’ al-irst)
Pada dasarnya mereka yang termasuk terlarang untuk menerima
warisan walaupun mereka merupakan golongan dari ahli waris itu baik karena
tindakan sesuatu ataupun karena keberadaannya dalam posisi tertentu sehingga
berakibat jatuhnya hak mereka untuk mewarisi, para ulama telah bersepakat
bahwa status seseorang terlarang/ terhalang mewaris karena : Halangan
kewarisan, Perbedaan atau berlainan agama, perbudakan.11
11
Ibid
12

a. Karena Halangan kewarisan


Dalam hal hukum kewarisan Islam, yang menjadi penghalang
bagi seseorang ahli waris untuk mendapatkan warisan disebabkan karena
hal-hal berikut :
a) Pembunuhan
Perbuatan pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang ahli
waris terhadap si pewaris menjadi penghalang baginya ahli
waris untuk mendapatkan warisan dari si pewaris. Ketentuan ini
didasarkan kepada hadis Nabi Muhammad saw, dari Abu
Hurairah menurut riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah yang
mengatakan bahwa seseorang yang membunuh tidak berhak
menerima warisan dari orang yang dibunuhnya. Hadis ini
diterima oleh segenap pihak serta dipandang cukup kuat sebagai
ketentuan khusus yang membatasi berlakunya ketentuan umum,
yaitu ketentuan Alquran yang menentukan hak kewarisan. Pada
dasarnya pembunuhan itu adalah merupakan tindak pidana
kejahatan, namun dalam beberapa hal tertentu pembunuhan
tersebut tidak dipandang sebagai tindak pidana dan oleh karena
itu tidak dipandang sebagai dosa.12
Untuk lebih mendalami pengertiannya ada baiknya
dikategorikan sebagai berikut :
i. Pembunuhan secara hak dan tidak melawan hukum
seperti:
 Pembunuhan di medan perang;
 Melaksanakan hukuman mati;
 Membela jiwa, harta, dan kehormatan.
ii. Pembunuhan secara tidak hak dan melawan hukum
(tindak pidana kejahatan), seperti :
 Pembunuhan dengan sengaja, dan
 Pembunuhan yang tidak disengaja.

Terhalangnya si pembunuh untuk mendapatkan hak kewarisan


dari yang dibunuhnya, disebabkan alasan-alasan berikut:
12
Ibid, , hal 57
13

 Pembunuhan itu memutus hubungan silaturrahmi yang


menjadi sebab adanya kewarisan, dengan terputusnya
sebab tersebut maka terputus pula musababnya.
 Untuk mencegah seseorang mempercepat terjadinya
proses pewarisan.
 Pembunuhan adalah suatu tindak pidana kejahatan yang
di dalam istilah agama disebut dengan perbuatan
maksiat, sedangkan hak kewarisan merupakan nikmat,
maka dengan sendirinya maksiat tidak boleh
dipergunakan sebagai suatu jalan untuk mendapatkan
nikmat.
b. Karena perbedaan atau berlainan agama
Adapun yang dimaksud dengan berlainan agama adalah
berbedanya agama yang dianut antara pewaris dengan ahli waris, artinya
seseorang muslim tidaklah mewaris dari yang bukan muslim, begitu pula
sebaliknya seseorang yang bukan muslim tidaklah mewaris dari
seseorang muslim.. Ketentuan ini didasarkan kepada bunyi sebuah hadis
dari Usamah ibn Zaid menurut riwayat Al-Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah yang artinya sebagai berikut:
“Seseorang muslim tidak menerima warisan dari yang bukan muslim dan
yang bukan muslim tidak menerima warisan dari seorang muslim.”
Apabila pembunuhan dapat memutuskan hubungan
kekerabatan hingga mencabut hak kewarisan, maka demikian juga
halnya dengan perbedaan agama. sebab wilayah hukum Islam
(khususnya hukum waris) tidak mempunyai daya berlaku bagi orang-
orang nonmuslim.
c. Karena perbudakan
Para ulama sepakat tidak berlakunya waris-mewarisi kepada
ahli warisnya, Allah telah membuat perumpamaan tentang seorang
budak yang tidak dapat bertindak (hukum) terhadap sesuatu pun (QS.
(16) Al-Nahl:75) dengan demikian, seorang budak adalah dalam status
milik tuannya sehingga ia tidak dapat mewarisi dan diwarisi oleh para
ahli warisnya karena ia tidak mempunyai harta dan hak harta atas orang
lain.
14

2. Hukum Waris Islam menurut Kompilasi Hukum Islam


A. Pengertian
Hukum waris Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu
Berdasarkan Pasal 171 huruf a hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siap-
siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Dari pengertiannya dapat disimpulkan bahwa berdasarkan KHI hukum
kewarisan merupakan pemindahan harta peninggalan yang meninggal dunia kepada
yang masih hidup, yang merupakan keturunan dari orang yang meninggal tersebut,
hukum kewarisan juga harus memiliki ketiga unsur yaitu pewaris,ahli waris dan harta
peninggalan pewaris baru dapat dikatakan ada terjadinya kewarisan.

B. Dasar Hukum
Kompilasi Hukum Islam ini merupakan produk Peraturan Perundang-
Undangan dari bahan-bahan menyangkut Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan yang
bersumber pada Al-Qur’an dan beberapa ijtihad dari para Ulama secara Syari’ah Islam.
Yang khususnya untuk dipergunakan oleh Pengadilan Agama sebagai sumber dalam
melaksanakan Tugasnya dalam menangani masalah Keluarga yang diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam ini dan berlaku bagi umat muslim di Indonesia.
Kompilasi Hukum Islam ini berisikan tiga buku, dan masing-masing buku
dibagi ke dalam beberapa bab dan Pasal, khusus bidang kewarisan Diletakan dalam
Buku II dengan judul “Hukum Kewarisan”, buku ini terdiri dari 6 bab dengan 44
Pasal.13 Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:
Bab I : Ketentuan Umum, dalam buku II (Pasal 171)
Bab II : Ahli Waris (Pasal 172 sampai Pasal 175)
Bab III : Besarnya Bagian (Pasal 176 sampai Pasal 191)
Bab IV : Aul dan Rad (Pasal 192 sampai Pasal 193)
Bab V : Wasiat (Pasal 194 sampai Pasal 209)
Bab VI : Hibah (Pasal 210 sampai dengan Pasal 214)

C. Unsur-unsur Kewarisan berdasarkan KHI


1) Pewaris (pasal 1 huruf b)
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang
dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
13
Suhardi K.Lubis & Komis Simanjuntak,Op.Cit, hlm. 19.
15

2) Ahli waris (pasal 1 huruf c)


Ahli Waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam
dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
3) Harta Peninggalan (pasal 1 huruf d)
Adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta
benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
Dari ketiga unsur ini dapat disimpulkan bahwa kewarisan baru dapat
dikatakan dapat saling mewarisi dan terjadinya pewarisan bila adanya ketiga
unsur diatas tersebut. Mengenai pewaris, ia harus sudah meninggal dan diakui
secara hukum baru dia bisa dapat dikatakan sebagai pewaris dan dapat
memberikan harta peninggalan yang dimilikinya kepada Ahli waris yang
dengan kategori memiliki Hubungan darah, nasab, dan hubungan Agama
dengan Pewaris, yang terpenting Ahli waris harus ada dan hidup ketika Pewaris
meninggal dunia dan bertanggung jawab atas hutang pewaris, mengenai harta
peninggalan seseorang dapat saling waris-mewarisi jika ada harta yang
ditinggalkan oleh pewaris untuk Ahli warisnya, harta tersebut dapat berupa
harta benda berwujud maupun hak-hak pewaris yang berupa benda tidak
berwujud.harta peninggalan tersebut dapat berupa : harta bawaan, harta
campuran selama perkawinan berlangsung, dan harta yang dimiliki oleh
Pewaris.

D. Asas-asas Hukum Waris Islam berdasarkan KHI


1) Asas Ijbari
a. Perpindahan hak atas harta waris dari pewaris kepada ahli waris secara
yuridis bersifat otomatis. Otomatis artinya, secara hukum langsung berlaku
dan tidak memerlukan tindakan hukum baru setelah matinya pewaris.
b. Calon penerima warisan (ahli waris) telah ditetapkan menurut hukum dan
tidak diperlukan adanya permintaan untuk menjadi ahli waris dan tidak ada
pengunduran diri sebagai ahli waris.
c. Bagian masing-masing ahli waris telah ditetapkan menurut hukum secara
adil dan berimbang dengan kewajiban-kewajiban dalam keluarga.
d. Pemakaian hukum waris Islam sebagai simbol ketaatan bersifat imperatif /
memaksa sehingga tidak ada pilihan bagi orang Islam untuk memilih
16

hukum waris lain. Memakai hukum waris lain hukumnya haram (dosa) dan
memakai hukum waris Islam itulah yang diridhai Allah SWT (Surat An-
Nisa ayat 13 dan 14)
e. Harta peninggalan orang Islam harus dibagi waris secara hukum Islam dan
jika terjadi sengketa diselesaikan memalui pengadilan Agama Islam
berdasarkan Hukum Islam (Surat An-Nisa ayat 65)
2) Asas ‘ubudiyah (ta’abbudi)
Artinya, bahwa menaati hukum waris Islam sebagai bagian dari hukum
Islam secara keseluruhan merupakan ibadah. Allah SWT telah menegaskan hal
ini dalam Surat An-Nisa ayat 13 dan 14 dengan menyatakan bahwa hukum
kewarisan ini merupakan ketentuan-ketentuan dari Allah SWT.
3) Asas akibat kematian
Artinya kewarisan itu baru timbul setelah matinya pewaris sehingga
“tidak ada kewarisan tanpa kematian” atau “ tidak ada kematian tidak ada
kewarisan” dan “ setiap kematian dapat menimbulkan kewarisan.” Asas ini
bersumber pada dari ayat 176 Surat An-Nisa yang mengatakan : “ apabila ada
seseorang meninggal dunia” jadi kalau tidak ada kematian tidak ada kewarisan.
Serta dalil-dalil yang lain (Pasal 171 huruf b KHI)
4) Asas keislaman
Artinya, baik pewaris maupun ahli waris harus orang yang beragama
Islam, harta waris dibagi menurut hukum Islam, dan jika terjadi sengketa
diselesaikan lewat hakim peradilan Islam berdasarkan hukum Islam. Perbedaan
agama antara pewaris dan ahli waris menghalangi pewarisan. Hal ini dinyatakan
dalam Pasal 171 huruf b dan c KHI sebagai penegasan asas keIslaman. Bagian
ahli waris yang terhalang (karena mahjub atau mamnu’) diberikan bagian
berdasarkan asas memelihara kekerabatan dan pelangsungan tanggung jawab.
5) Asas hubungan kekerabatan (nasab)
Hubungan kekerabatan (nasab) merupakan penyebab utama adanya
hubungan kewarisan. Hubungan kekerabatan (nasab) ini sifatnya berjenjang dan
dapat digantikan oleh jenjang berikutnya. Berjenjang artinya, kerabat yang lebih
dekat akan menutup kerabat yang lebih jauh. Dapat digantikan artinya kerabat
yang jauh dapat ditarik menjadi ahli waris yang berhak menerima warisan atau
menjadi ahli waris pengganti karena ada atau telah meninggal dunia lebih dulu
dari pewaris. Hal ini diatur dalam Pasal 174 dan 185 KHI.
17

6) Asas adanya hubungan hukum (perkawinan)


Hubungan kewarisan dapat pula terjadi karena adanya ikatan hukum
yang berupa katan perkawinan (Pasal 171 huruf c KHI) selain itu ada pula
ikatan hukum yang berupa pengangkatan anak. Pengangkatan anak merupakan
tindakan hukum yang menimbulkan akibat hukum tetapi tidak menimbulkan
hubungan saling mewaris (Pasal 171 huruf h). Pengangkatan anak menimbulkan
hubungan hukum berupa wasiat wajibah (Pasal 209 KHI).
7) Asas Bilateral
Al-Qur’an dan As-Sunnah mengisyaratkan pembentukan keluarga yang
bersifat bilateral, yaitu suatu prinsip keturunan yang memperhitungkan
hubungan kekerabatan baik melalui garis laki-laki maupun perempuan secara
serentak. Demikian pula dalam hukum kewarisan. Oleh sebab itu, hukum
kewarisan Islam juga memperhitungkan hubungan kewarisan baik dari garis
laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 174 KHI dan
Asas ini bersumber dari ketentuan dalam Surat An-Nisa ayat 7
8) Asas ahli waris individual
Maksudnya ialah bahwa :
a. Setiap individu (orang perorangan) ahli waris berhak mendapat warisan
secara individual (perorangan). Termasuk di sini wanita, anak-anak, dan
bahkan bayi yang masih dalam kandungan pun berhak atas harta warisan
secara perorangan.
b. Penerima warisan bukan bersifat kolektif atau kelompok bersifat
perorangan.
c. Setiap ahli waris harus memenuhi syarat sebagai ahli waris yang dapat
mewarisi.
d. Tiap-tiap ahli waris berhak memiliki dan menguasai secara perorangan atas
harta warisan yang ia terima. Oleh karena itu, ia dapat (bebas) untuk
melakukan perbuatan hukum atas harta warisan yang dimilikinya. Hanya
saja, untuk anak-anak harus diurus oleh orang tua/walinya. Sedang orang
yang di bawah pengampuan diurus oleh wali pengampuannya. Dan bagi
wanita maka ia bebas untuk melakukan perbuatan hukum atas tanggung
jawabnya sendiri.
9) Asas pembagian secara adil dan berimbang
18

Dalam pembagian warisan selalu dipertimbangkan dua hal yang menjadi


prinsip pewarisan, yaitu :
a. Prinsip pelanjutan tanggung jawab pewarisan kepada ahli waris dengan
skala prioritas berdasarkan urutan kekerabatan dari yang lebih dekat kepada
yang lebih jauh.
b. Prinsip pembagian berdasarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban
seseorang dalam struktur keluarga

Perbedaan bagian warisan yang diterima oleh masing-masing ahli waris


selalu berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap
keluarganya. Karena seseorang laki-laki menjadi tanggung jawab kehidupan
keluarganya.

10) Asas pembinaan generasi


Artinya, dalam pembagian warisan selalu mengutamakan keturunan
sebagai generasi penerus. Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 9 mengisyaratkan
bahwa janganlah seseorang itu meninggalkan di belakang mereka anak-anak
yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Nabi
Muhammad SAW mengatakan bahwa anda meninggalkan ahli waris anda
dalam keadaan kaya adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam
keadaan miskin dan minta-minta.
11) Asas penyebab kematian kehilangan hak mewarisi
Hal ini sebagai akibat dari dosa atau kesalahan yang ia perbuat. Islam
mengajarkan agar sesama muslim saling menjaga keselamatan dan
kesejahteraannya. Agar jangan sampai ada orang yang membuat aniaya
terhadap orang lain karena ingin mendapat warisannya maka orang yang
menyebabkan kematian pewaris tidak berhak menerima warisan. Bahkan orang
yang dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5
tahun penjara atau hukuman yang lebih berat juga tidak berhak menerima
warisan. (Pasal 173 KHI)
12) Asas memelihara hubungan keluarga/kerabat
Islam sebagai agama samawi sangat menganjurkan kerukunan dan
keutuhan antara anggota keluarga. Perbedaan yang ada di antara mereka tidak
boleh membuat kerukunan mereka menjadi pecah. Demikian pula dalam
19

pembagian warisan harus diupayakan tetap menjaga kerukunan dan keutuhan


keluarga, bahkan warisan dapat merupakan sarana memperkokoh keturunan dan
keutuhan keluarga. Pasal 183 KHI.
13) Asas sosial dan kemanusiaan
Asas sosial dan kemanusiaan adalah apabila sedang membagi harta
warisan, jangan melupakan kerabat, anak-anak yatim dan fakir miskin yang ada
disekeliling. Asas ini juga bersumber dari QS: An-Nisa ayat 8 seperti tersebut
diatas, agar dalam membagi warisan tidak melupakan anak-anak yatim dan fakir
miskin di sekitarnya. Berikanlah kepada mereka bagian shadaqah dari harta
peninggalan secara pantas.
Al Qur’an surah An-Nisa' ayat 8 tersebut mengingatkan para ahli warisi
bahwa apabila pada waktu pembagian harta warisan hadir beberapa orang
kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, niflka berikanlah kepada
kerabat, anak-anak yatim dan fakir miskin tersebut bagian shadaqah dari harta
peninggalan (warisan) yang akan dibagi secara wacar (sekedarnya) berdasarkan
ketulusan hati dan ucapkanlah perkataan atau perlakuan yang baik.
Pada surah An-Nisa ayat 11 dan 12 dijelaskan, bahwa sebelum
melaksanakan pembagian harta warisan, diperintahkan untuk memenuhi wasiat
dan membayar hutang-hutang orang yang meninggal dunia (pewaris) Wasiat
diperuntukkan kepada kerabat yang seharusnya mendapat harta warisan, karena
sesuatu sebab sehingga tidak mendapatkan harta warisan atau terhalang
menerima harta warisan, maka melalui lembaga wasiat pewaris sebelum
meninggal dunia berwasiat untuk diberikan kepada kerabat-kerabat tersebut,
termasuk bisa berwasiat untuk diberikan kepada anak- anak yatim dan fakir
miskin. Tiga ayat dari surah An-Nisa tersebut, menunjukkan bahwa hukum
kewarisan Islam memiliki asas sosial dan kemanusiaan seperti diuraikan di atas.

14) Asas perdamaian diutamakan


Sejalan dengan asas individual, yakni bahwa setiap ahli waris secara
perorangan berhak penuh atas harta warisan yang menjadi bagiannya maka ia
juga berhak penuh untuk melakukan sesuatu atas harta warisan menurut
kehendaknya. Oleh sebab itu, Pasal 183 KHI menyatakan bahwa para ahli waris
dapat bersepakat untuk melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan,
20

setelah masing-masing menyadari bagiannya. Disini nampaklah keluasan dan


keluwesan hukum Islam yang sangat menghargai perdamaian.
15) Asas pewaris tidak boleh merugikan ahli waris.
Untuk itu, hukum kewarisan memberikan ketentuan-ketentuan bahwa:
a. Wasiat yang dibuat oleh pewaris tidak boleh melebihi sepertiga harta
peninggalan Pasal 195 KHI)
b. Demikian pula hibah tidak boleh melebihi sepertiga (Pasal 210 KHI)
c. Wasiat kepada ahliwaris yang berhak menerima warisan harus mendapat
persetujuan ahli waris lainnya (Pasal 195 ayat (3) KHI).
d. Hibah kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan (Pasal 211
KHI).
e. Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban-kewajiban
pewaris hanya sebatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya
(Pasal 175 ayat (2) KHI)
16) Asas warisan dibagi habis dan merata
Artinya, harta warisan harus dibagi habis dan merata di antara ahli
waris yang berhak sehingga tidak tersisa. Dari menghitung dan menyelesaikan
pembagian dengan cara menentukan siapa yang menjadi ahli waris dengan
bagiannya masing-masing, mengeluarkan hak-hak pewaris seperti
mengeluarkan biaya tajhiz, membayarkan hutang dan wasiatnya dan
melaksanakan pembagian hingga tuntas.
Untuk itu apabila terjadi suatu keadaan dimana jumlah bagian dari
semua ahli waris lebih besar dari masalah yang ditetapkan (aul) dan sebaliknya
jika terjadi suatu keadaan dimana jumlah bagian dari semua ahli waris yang ada
lebih kecil dari asai masalah yang ditetapkan (radd) dalam perhitungan
pembagian warisan (Pasal 192 dan 193 KHI), kecuali jika pewaris tidak
meninggalkan ahli waris sama sekali (pewaris kalalah)maka berdasarkan
putusan Pengadilan Agama diserahkan kepada Baitul Mal untuk kepentingan
agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasa 191 KHI)
17) Asas ikhtiyari dalam ijbari (fakultatif dalam imperatif)
Asas ikhtiyari (fakultatif) artinya, para ahli waris boleh melaksanakan
pembagian secara suka rela di bawah tangan dengan tetap memperhatikan asas
ijbari dan asas perdamaian tanpa harus dengan campur tangan penguasa. Hal ini
berbeda dengan pelaksanaan hukum perkawinan (mengenai nikah, cerai/talak,
21

dan rujuk serta kelahiran) dan perwakafan yang mengharuskan adanya campur
tangan penguasa dan tidak boleh ada paham privat affair karena berkaitan
dengan keterbitan dan kepastian hukum. Pada prinsipnya, mereka tidak boleh
menyimpang dari ketentuan hukum waris Islam atau memakai hukum waris
lain. Namun demikian, dalam pembagian faraid (porsi), mereka diberi
kebebasan untuk memusyawarahkan mengenai besarnya bagian masing-masing
dan cara pembagian terbaik bagi mereka.
18) Asas hubungan timbal balik antara pewaris dan ahli waris
Apabila ahli waris mempunyai hak atas harta warisan pewaris maka
ahli waris juga mempunyai kewajiban terhadap pewaris yang berupa:
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah pewaris
selesai;
b. Menyelesaikan baik hutang-hutang yang berupa niaya pengobatan,
perawatan, dan semua kewajiban pewaris;
c. Menyelesaikan wasiat pewaris d) Membagi harta warisan di antara ahli
waris yang berhak.

Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris


hanya sebatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya (Pasal 175 KHI).

E. Sebab dan halangan mewaris


1) Sebab-sebab mewaris
Berdasarkan KHI seseorang dikatakan dapat mewaris apabila ia
merupakan Ahli waris seperti yang dikatakan menurut Pasal 1 Huruf c, dan tidak
termasuk kedalam golongan yang tidak dapat mewaris berdasarkan Undang-
undang. Para Ahli waris yang berhak mewaris berdasarkan berdasarkan KHI dalam
Pasal 174 ayat (1) adalah :
a. Menurut hubungan darah :
a) Golongan laki-laki terdiri dari : ayah,anak laki-laki, saudara laki-
laki, paman dan kakek
b) Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda
2) Penghalang Mewaris
22

Selain Ahli waris yang berhak atas harta peninggalan Pewaris atau
berhak mewaris, ahli waris dapat juga tidak dapat mewarisi harta peninggalan
pewaris atau tidak dapat menjadi Ahli waris karena Terhalang oleh suatu hal berikut
merupakan Terhalangnya menjadi ahli waris berdasarkan KHI yaitu: Berdasarkan
Pasal 173 KHI seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan
Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat pada pewaris
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5
tahun penjara atau hukuman yang lebih berat
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kajian atas Hukum Kewarisan dalam Islam dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Sumber Hukum Islam yaitu Al-Qur’an, Hadits, Ijma, dan Ijtihad adalah sumber
perumusan Islam telah meletakkan Hukum Kewarisan Islam menjadi acuan yang
urgen dalam menetapkan pembagian waris dalam Islma. Disamping itu, kewarisan
Islam merupakan pijakan bagi umat Islam dalam menyelesaikan persoalan kewarisan
karena landasannya berasal dari sumber hukum Islam pertama dan kedua yang masuk
kategori sumber hukum Islam yang telah disepakati oleh fuqaha'.
2. Dalam sistem Hukum kewarisan Islam, asas adalah sesuatu yang menjadi dasar,
prinsip, patokan, acuan atau tumpuan umum untuk berpikir atau berpendapat dan lahir
dari dasar-dasar filosofi tertentu.

B. Saran
1. Sistem kewarisan Islam terdapat aturan seseorang yang mendapat dan tidak mendapat
warisan yang perlu dipahami seluruh pihak terutama bagi ahli waris untuk
menghindari kesalahpahaman di kemudian hari bila terjadi pembagian warisan.
2. Hak mewaris adalah hak seseorang untuk mendapatkan harta warisan dari si pewaris
untuk menghindari perselisihan dalam hal pemindahan harta warisan perlu diadakan
pengaturan soal pemindahan harta peninggalan dan yang memberikan jaminan dapat
berjalan secara aman, tertib dan lancar. Aman berarti secara pasti di kemudian hari
tidak ada gangguan berupa gugatan atau sengketa, baik oleh ahli waris maupun pihak
ketiga.
24

DAFTAR PUSTAKA

(Mesir), K. F.-A. (2004). Hukum Waris. Jakarta: Senayan Abadi.

Badrulzaman, M. D. (1983). Mencari Sistem Hukum Benda Nasional . Bandung:


Alumni.
Djubaedah, N. (2008). Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. Depok: Badan Penerbit
Fakultas Hukum UI.
Lubis, S. K. (2004). Hukum Waris Islam (Lengkap & Praktis). Jakarta: Sinar Grafika.
Manan, A. (2006). Aneka Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada.

Anda mungkin juga menyukai