Anda di halaman 1dari 20

PEMBERLAKUKAN ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN

PADA PERNIKAHAN DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :

ARIS MUJIONO

DHIMAS SEPTIAN MBUYANTOKO

GERHAN ADI LANTARA

KEVIN ANDREW VALENTINO

MIA SUMIATI AFRIDA

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS PAMULANG

2022
DAFTAR ISI

Daftar Isi..................................................................................................

BAB I Pendahuluan................................................................................

1.1 Latar Belakang..........................................................................

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................

1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................

BAB II Pembahasan................................................................................

2.1 Pengertian dan Perkembangan Asas Personalitas keislaman....

2.2 Perkawinan di Indonesia...........................................................

2.3 Pemberlakuan Asas Personalitas keislaman di Indonesia.........

2.4 Penyelesaian Sengketa Perkawinan di Indonesia......................

BAB III Penutup......................................................................................

3.1 Kesimpulan...............................................................................

3.2 saran..........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peradilan Agama sudah ada di Indonesia sejak jaman kerajaan-kerajaan.
Di beberapa daerah tertentu di Indonesia, agama Islam tidak hanya menjadi agama
resmi atau agama negara bahkan hukum yang diberlakukan di daerah tersebut
adalah hukum Islam, seperti kerajaan Islam Pasai, Pagar Ruyung, Padri, Kerajaan
Islam Mataram di Jawa Tengah, Kerajaan Islam Banjarmasin dan sebagainya.
Pada saat pemerintahan Kolonial Belanda terdapat beberapa lingkungan Peradilan
yang mempunyai susunan, wilayah dan kekuasaan yang berbeda-beda, seperti
Peradilan Pemerintah, Peradilan Swapraja, Peradilan Adat yang berlaku untuk
daerah di luar Jawa dan Madura, Peradilan Agama dan Peradilan Desa.
Masyarakat Indonesia telah mengenal peradilan dalam waktu yang lama. Dalam
suatu masyarakat yang individunya saling berinteraksi satu dengan yang lain
maka akan menimbulkan benturan-benturan kepentingan individu dalam
masyarakat. Adanya masyarakat akan diikuti pula adanya aturan atau hukum yang
akan diterapkan dan berlaku bagi seluruh anggota masyarakat. Hukum atau aturan
ini dibuat agar dapat menciptakan masyarakat yang aman, tenang dan tenteram.
Walaupun sudah dibuat suatu aturan namun tetap saja terjadi pelanggaran-
pelanggaran hukum atau perselisihan-perselisihan pribadi antar warga
masyarakat.1

Berdasarkan dengan ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang


Peradilan Agama, Pengadilan Agama yang merupakan pengadilan tingkat pertama
untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, Hibah, Wakaf,
Zakat, Infaq, Shadaqah dan Ekonomi Syariah. Kurangnya pemahaman akan asas
personalitas keislaman dalam kehidupan bermasyarakat membuat orangorang
yang bersengketa khususnya pada perkara perkawinan baik itu dalam hal
perceraian atau pembatalan mengalami ketidaksesuaian antara teori dan praktek
dilapangan.

1
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 45.
1.2 Rumusan Masalah
a) Apa Pengertian Asas Personalitas keislaman? Bagaimana
Perkembangan Asas Personalitas keislaman ?
b) Bagaimana Perkawinan di Indonesia?
c) Bagaimana Pemberlakuan Asas Personalitas keislaman di
Indonesia ?
d) Bagaimana Penyelesaian Sengketa Perkawinan di Indonesia ?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan Makalah ini ingin memberikan sebuah pengetahuan
atau gambaran terhadap asas personalitas yang digunakan dalam lingkup
perkawinan kepada masyarakat dan khususnya terhadap Mahasiswa/I Fakultas
hukum dalam memahami perkembangan asas personalitas dalam perkawinan di
Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Perkembangan Asas Personalitas keislaman

A. Definisi Asas Personalitas Keislaman


Asas personalitas keislaman adalah salah satu asas umum yang
melekat pada lingkungan Peradilan Agama. Kata kunci dari konsep ini
adalah keislaman. Artinya hanya mereka yang mengaku dirinya pe-meluk
agama Islam adalah yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada
kekuasaan lingkungan Peradilan Agama. Penganut agama lain di luar
Islam atau yang non Islam, tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan
tunduk kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama.2 Maka dapat
ditarik kesimpulan bahawa Asas Personalitas Keislaman adalah asas utama
yang melekat pada Undang-Undang Peradilan Agama yang memberikan
makna bahwa pihak yang tunduk dan dapat ditundukkan kepada kekuasaan
di lingkungan Peradilan Agama adalah hanya mereka yang beragama
Islam. Dapat dikatakan bahwa Keislaman seseoranglah yang menjadi dasar
kewenangan Peradilan Agama dan dengan kata lain, seorang penganut
agama non-Islam tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada
kekuasaan Peradilan Agama. pemberlakuan Asas ini selalu dikaitkan
dengan perkara perdata (bidang tertentu), seperti bidang perkara yang
berkaitan dengan hal Perkawinan, baik dalam hal perceraian, pembatalan
dan sebagainya.

B. Perkembangan Asas Personalitas Keislaman


Secara legalitas formal, asas personalitas keislaman telah diatur
dalam Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989. Yaitu pada
Bab I Ketentuan Umum, Bagian Kedua pasal 2 yang berbunyi: "Peradilan
Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat

2
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
(Undang-Undang No. 7 Tahun 1989), (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), Cit. 3, h. 37-38.
pencarikeadilan yang beragama Islam me-ngenai perkara perdata tertentu
".3 Dalam rumusan ini terlihat bahwa personalitas keislaman dikaitkan
dengan perkara perdata bidang tertentu sepanjang mengenai sengketa
perkara yang menjadi yuridiksi lingkungan peradilan agama. Kalau begitu,
ketundukan personalitas muslim kepada lingkungan Peradilan Agama,
bukanlah ketundukan yang bersifat umum meliputi semua bidang hukum
perdata. Akan tetapi ketundukan personalitas muslim kepadanya bersifat
khusus, sepanjang bidang hukum perdata tertentu. demikian M. Yahya
Harahap.4 Bidang hukum perdata tertentu agaknya meliputi aspek
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, sedakah dan perwakafan. Hal ini
secara eksplisit tercantum dalam Bab III, Kekuasaan Pengadilan, pasal 49
ayat 1 sebagai berikut "Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama untuk antara orangorang yang beragama Islam di bidang:
perkawinan; kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam; wakaf, dan shadaqah”.5

Dari UUPA di atas, dapat ditarik tiga aspek tentang asas personalitas
keislaman, yaitu:

 pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama


Islam.
 perkara perdata yang disengketakan harus mengenal perkara-perkara
dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan
shadaqah.
 hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut
berdasarkan hukum Islam.

3
H. Zainal Abidin Abubakar, (penghimpun), Kumpulan Peraturan
PerundangUndangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 1993),
Cet.
4

5
Selanjutnya mengenai perkembangan asas personalitas keislaman
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terbentuk dengan cara meng-
himpun dan menyeleksi berbagai pendapat fikih mengenai persoalan
perkawinan, kewarisan dan perwakafan dari kitab-kitab yang ber-jumlah
38 kitab. Pelaksanaan seluruh proses pembentukan KHI itu dilakukan oleh
seluruh Tim Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui
yurisprudensi yang seluruhnya

Secara garis besar KHI memuat tiga buku:

 Buku I tentang perkawinan;


 Buku II tentang kewarisan; dan
 Buku III tentang perwakafan.

Dengan demikian, KHI masuk dalam kategori perundang-


undangan di negeri-negeri muslim. Secara substansial diyakini bahwa
materi hukum pada KHI adalah norma-norma dan nilai-nilai hukum Islam,
karena banyaknya pasal-pasal dalam KHI yang sesuai dengan ajaran al-
Quran dan al-Sunnah. Karena itu, Ahmad Azhar Basyir mengatakan
bahwa KHI seluruhnya bersumber kepada hukum Islam tanpa terikat
kepada suatu mazhab tertentu, dengan memperhatikan hukum yang hidup
di kalangan umat Islam Indonesia, dan memelihara ruh syariat. 6 Unsur
pertama dari asas personalitas keislaman ini, di antaranya terdapat dalam
pasal 4 yang berbunyi: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum Islam". Di antara ketentuan hukum Islam adalah larangan
terhadap wanita kawin dengan pria non muslim. Dalam pasal 44,
disebutkan: "Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam". Ketika perkawinan
dilangsungkan, maka kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian
perkawinan. Ada dua bentuk pe-rjanjian perkawinan, yaitu taklik talak dan

6
Ahmad Azhar Basyir, "Pemasyarakatan KHI Melalui Jalur Pendidikan
NonFormal" , dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 5 Tahun III, (Jakarta:
AlHikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1992).
perjanjian lain. Kedua bentuk perjanjian ini tidak boleh bertentangan
dengan hukum Islam (pasal 45 dan 46).

2.2 Perkawinan di Indonesia.

A. pengertian perkawinan

perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi syarat


dan rukun nikah serta tidak ada halangan nikah seperti: disetujui mempelai
pria dan wanita beserta keluarganya, ada saksi, wali, mahar, ijab qobul dan
tidak ada halangan nikah. Adapun bila ditinjau dari segi hukum negara,
perkawinan telah sah jika telah sesuai dengan aturan agama dan telah
dicatat di lembaga pencatat nikah yakni kantor urusan agama atau catat:rn
sipil. Hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia adalah UU No.
1/1974 yang berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia yang mana dalam
Pasal L ayat (1) dinyatakan bahwa: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tuJuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Begitu juga disebutkan dalam
Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan sakinah, mawaddah warahmah.

Dalam rangka mewujudkan UU Perkawinan sebagai alat rekayasa


sosial tadi, tentu tidak semudah yang kita bayangkan. Banyak hal yang
menjadi hambatan terutama dalam masyarakat itu sendiri dan aparatur
penegak hukum. Oleh karenanya ada metode yang digunakan untuk
menjadikan UU Perkawinan sebagai instrumen yang efektif dan efisien
agar tujuan dan kehendak pemerintah dapat terlaksana. Proses inilah yang
kemudian disebut sebagai perubahan (transformasi) yang menekankan
pada aspek struktur dan kultur masyarakat. Ini dilakukan bertahap, wajar,
terarah serta terukur dalam rangka tertib hukum untuk memberikan
perlindungan secara maksimal kepada masyarakat terutama para wanita
dan anak yang sering menjadi korban akibat putusnya hubungan
perkawinan.

Apabila perkawinan tidak dilakukan sesuai dengan Pasal 2 UU


Perkawinan, maka kedudukan perkawinan tersebut di hadapan hukum
dianggap tidak sah. Pasal 2 menunjukkan masih belum ada keseragaman
mengenai hal sahnya perkawinan, aturannya tetap mengikuti aturan agama
dari setiap pasangan. Ini berarti untuk orang Islam, maka yang berlaku
adalah perkawinan Islam. Selain Pasal 2 syarat-syarat perkawinan juga
diatur dalam pasal lainnya di dalam UU Perkawinan, yaitu:

a. Persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6).


b. Harus berusia 16 tahun bagi wanita, dan pria 19 tahun (Pasal 7).
c. Tidak terkait tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal
yang diijinkan (Pasal 9).
d. Bagi yang belum berusia 21 tahun harus mendapat izin kedua
orangtuanya (Pasal 6 ayat(2).
Artinya perkawinan dapat dilangsungkan apabila para pihak telah
memenuhi syarat formil maupun syarat materiil. Pengertian mengenai
syarat materiil dan syarat formil sebagai berikut:

a. syarat materiil adalah syarat mengenai atau berkaitan dengan diri


pribadi seseorang yang harus dipenuhi agar dapat melangsungkan
perkawinan.

b. Adapun syarat formil adalah syarat yang berkaitan dengan tata cara
pelangsungan perkawinan, baik syarat yang mendahului maupun
syarat yang menyertai pelangsungan perkawinan.

Adapun asas-asas perkawinan dalam UU Perkawinan di antaranya:

A. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan


kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan
melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual
dan materiil.
B. Dalam UU ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
C. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama
yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri
lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki pihak-pihak
bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila telah mendapatlan
izin dari pengadilan.
D. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri
harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan, agar bisa mewujudkan tujuan perkawinan secara baik
tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat keturunan yang
baik dan sehat.
E. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia, kekal, dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut
prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian.
F. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami, baik dalam rumah tangga maupun pergaulan
masyarakat, sehingga dengan demikian segala suatu dalam
keluarga dapat dirundingkan dan dipuruskan bersama oleh suami
istri. Pada dasamya manusia diciptakan berpasang-pasangan (pria
wanita) oleh Allah untuk memiliki keturunan. Hal ini sesuai firman
Allah dalam surah adz-Dzariyaat ayat 49:. Dan segala sesuatu kami
jadikan berpasang-pasang supaya kama mengingat kebesaran
Allah. Maksud dari berpasang-pasang adalah melangsungkan
perkawinan yang dalam hukum Islam dikenal dengan istilah nikah.
B. Perkawinan Beda Agama

Perkawinan di Indonesia diatur oleh UU No. 1/7974 yang mana


Perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Oleh karenanya dalam UU
yang sama diatur bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu serta telah dicatat
menurut Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk mengetahui
tentang Perkawinan beda agama yang dilakukan di Indonesia, kita harus
mengkaji ketentuan Pasal 66 UU No.L/7974 yang berbunyi: Untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
berdasarkan atas UU ini, maka dengan berlakunya UU ini ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata (Bugerlijk Wetboek), Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordinantie Christen Indonesia
S.1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de
gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang
mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang
ini, dinyatakan tidak berlaku."

2.3 Pemberlakuan Asas Personalitas keislaman di Indonesia


A. Pengertian Asas Personalitas
Ada empat asas dalam diskursus hukum keperdataan.
Satu di antaranya asas personalitas. Asas ini menegaskan bahwa
pem-berlakuan hukum bergantung atau mengikuti subyek hukum atau
orangnya, yakni warga negara di mana pun keberadaannya.1Menurut
Abdul Gani Abdullah asas ini pada umumnya selalu berkaitan
dengan segi-segi internasional dalam hal keperdataan, seperti
dibicarakan di dalam Hukum Perdata Internasional. Hukum Perdata
Internasional juga dikategorikan sebagai salah satu pokok bahasan dari
Hukum Antar-Tata Hukum (HATAH). Sekalipun demikian, segi-segi
hukum publik di dalam Hukum Perdata Internasional
Masih dijumpai, seperti pembicaraan mengenai wilayah
keberlakuan hukum perkawinan di Indonesia di samping hukum lainnya.
Peraturan antara dua atau lebih stelsel hukum pada suatu peristiwa
hukum yang akan diperbuat apalagi diakibatkan oleh
perbedaan kewarganegaraan. Asas hukum itu akan memberikan
rincian operasional bagai-mana menemukan hukum yang akan
diberlakukan diantara sekian banyak stelsel hukum yang terlihat
mengikat masing-masing pihak. Dengan kata lain gejala semacam itu
menampakkan keberadaan pluralitas hukum pada suatu peristiwa
hukum. Salah satu asas hukum yang dapat memberikan jalan keluar
untuk memilih Secara historis, pada zaman kolonial penerapan hukum
perdata Belanda di Indonesia melalui jalan konkordansi. Solusi
hukum ini bersifat diskriminatif. Sebab telah melahirkan pembedaan
golongan warga negara, seperti Bumiputera, Timur Asing, dan
golongan Eropa. Implikasi dari konkordansi ini adalah stratifikasi
sosial di tengah masyarakat, dan secara tidak langsung melahirkan apa
yang disebut asas personalitas keturunan. Berbeda dengan asas
personalitas keturunan, asas personalitas yang menjadi vokus kajian
makalah ini dicirikan oleh faktor keis-laman sehingga ia disebut dengan
asas personalitas keislaman. B. Pengertian Asas personalitas keislaman
adalah salah satu asas umum yang melekat pada lingkungan
Peradilan Agama. Kata kunci dari konsep ini adalah keislaman.
Artinya hanya mereka yang mengaku dirinya pe-meluk agama Islam
adalah yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan
lingkungan Peradilan Agama. Penganut agama lain di luar Islam atau yang
non Islam, tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada
kekuasaan lingkungan Peradilan Agama.

B. Asas Personalitas Keislaman


Asas Personalitas Keislaman dalam Kompilasi Hukum Islam teknis
yustisial Peradilaan Agama sebagai pedoman bagi para hakim dalam
menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan itu. Secara
garis besar KHI memuat tiga buku: Buku I tentang
perkawinan;Buku II tentang kewarisan; dan Buku III tentang per-
wakafan. Ketentuan-ketentuan hukum dalam KHI, secara rinci
dalam bidang perkawinan dijabarkan dalam 170 pasal; kewarisan 44
pasal; dan perwakafan berjumlah 15 pasal. Praktis jumlah keseluruhan
229 pasal dalam tiga buku hukum. Untuk melihat aspek personalitas
keislaman dalam KHI, ada empat unsur dari asas personalitas
keislaman dapat dijadikan dasar rujukan, yaitu:Pertama,hukum yang
diberlakukan adalah hukum Islam. Dengan merujuk kepada
kategorisasi hukum Islam yang dibuat Atho Mudzhar, maka KHI
merupakan bagian dari hukum Islam. Menurut mantan Rektor IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, bahwa sepanjang perjalanan sejarah
hukum Islam, ada empat macam hukum Islam, yaitu: Kitab-kitab fikih,
fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pe-ngadilan agama, dan
perundang-undangan di negeri-negeri muslim.9 Dengan demikian,
KHI masuk dalam kategori perundang-undangan di negeri-negeri
muslim. Secara substansial diyakini bahwa materi hukum pada KHI
adalah norma-norma dan nilai-nilai hukum Islam, karena banyaknya
pasal-pasal dalam KHI yang sesuai dengan ajaran al-Quran dan al-
Sunnah. Karena itu, Ahmad Azhar Basyir mengatakan bahwa KHI
seluruhnya bersumber kepada hukum Islam tanpa terikat kepada
suatu mazhab tertentu, dengan memperhatikan hukum yang hidup
di kalangan umat Islam Indonesia, dan memelihara ruh syariat.

2.4 Paradigma Penyelesaian Sengketa Hukum Islam Melalui


Pengadilan Agama (Litigasi)
Pengadilan agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan
hukum Islam kepada orang Islam yang mencari keadilan di Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, dalam sistem peradilan nasional di
Indonesia. Selain itu, peradilan umum merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman dalam negara Republik Indonesia. Lembaga
peradilan dimaksud, mempunyai kedudukan yang sama, sederajat dengan
kewenangan yang berbeda. Sebagai lembaga peradilan, peradilan agama
dalam bentuknya yang sederhana berupa tahkim, yaitu lembaga
penyelesaian sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang
dilakukan oleh para ahli agama Islam. Hal ini, ada di zaman penjajahan
Belanda, bahkan sebelum adanya penjajahan di Indonesia.

Kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa


Hukum Islam terlihat dari perubahan-perubahan penting dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, antara lain
tentang tugas pokok Pengadilan Agama sebagaimana muatan Pasal 49
yang secara tegas menentukan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara
tertentu di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, infaq, zakat, sadaqah, dan
ekonomi syariah.

Prosedur penyelesaian sengketa Hukum Islam di Pengadilan


Agama dalam memutuskan perkara, secara umum melalui beberapa
tahapan, yaitu:

a. Tanya jawab, bertujuan agar hakim dapat mengetahui

permasalahan konkret yang menjadi sengketa antara kedua belah pihak.

b. Mengkualifikasi peristiwa konkret dan diterjemahkan dalam bahasa


hukum.

c. Mencari atau menyeleksi (peraturan) hukum dari sumber-sumber


hukum.

d. Menganalisis atau menginterpretasi (peraturan) hukum

tersebut.

e. Menerapkan peraturan hukumnya terhadap peristiwa

hukum dengan menggunakan silogisme.

f. Mengevaluasi dan mempertimbangkan argumentasi yang disampaikan.


Adapun mekanisme pemeriksaan perkara pada Pengadilan Agama
dilakukan di depan sidang Pengadilan secara sistematik harus melalui
beberapa tahapan sebagai berikut :

a. Pertama, upaya perdamaian, pada sidang upaya perdamaian inisiatif


upaya perdamaian dapat timbul dari Majelis Hakim. Hakim harus secara
aktif dan sungguh-sungguh untuk mendamaikan para pihak. Upaya
perdamaian juga ditempuh dengan memberikan kesempatan kepada para
pihak untuk memilih mediator dalam upaya menempuh proses mediasi
sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Apabila proses
mediasi tidak berhasil maka persidangan dilanjutkan dengan tahapan
berikutnya.

b. Kedua, pembacaan Surat Permohonan/Gugatan, pada tahapan ini pihak


Penggugat/Pemohon berhak meneliti kembali apakah seluruh materi
(alasan/dalil-dalil gugatan dan petitum) sudah benar dan lengkap. Hal-hal
yang tercantum dalam gugatan itulah yang menjadi obyek (acuan)
pemeriksaan dan pemeriksaan tidak keluar dari yang termuat dalam surat
gugatan.

c. Ketiga, Jawaban Termohon/Tergugat. Pihak Tergugat/ Termohon diberi


kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya
terhadap Penggugat Pemohon melalui Majelis Hakim dalam persidangan.

d. Keempat, Replik Pemohon/Penggugat. Penggugat/Pemohon dapat


menegaskan kembali gugatannya/permohonannya yang disangkal oleh
Tergugat/Termohon dan juga mempertahankan diri dari sangkalan
Tergugat/Termohon.

e. Kelima, Duplik Termohon/Tergugat. TergugatTermohon menjelaskan


kembali jawaban yang disangkal oleh Penggugat/Pemohon. Replik dan
Duplik dapat diulang-ulang sehingga akhirnya Majelis Hakim memandang
cukup atas replik dan duplik tersebut.

f. Keenam, Pembuktian, Penggugat/Pemohon mengajukan semua alat


bukti untuk mendukung dalil-dalil gugatan. Demikian juga
Tergugat/Termohon mengajukana alat bukti untuk mendukung jawaban
(sanggahan) masing-masing pihak berhak menilai alat bukti pihak lawan.

g. Ketujuh, Kesimpulan, masing-masing pihak baik Penggugat/Pemohon


maupun Tergugat/Termohon mengajukan pendapat akhir tentang hasil
pemeriksaan.
h. Kedelapan, Musyawarah Majelis dan Pembacaan Putusan, hakim
menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara itu dan menyimpulkan
dalam amar putusan, sebagai akhir dari sengketa yang terjadi antara
Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon. Setelah perkara diputus,
pihak yang tidak puas atas putusan tersebut dapat mengajukan upaya
hukum (verzet, banding, dan peninjauan kembali) selambat-lambatnya 14
hari sejak perkara diputus atau diberitahukan. Apabila tidak ada upaya
hukum setelah tenggang waktu tersebut maka putusan mempunyai
kekuatan hukum tetap dan dilakukan eksekusi sesuai putusan Pengadilan
Agama.7

Kewenangan Absolut Pengadilan Agama dalam Menyelesaikan


Perkara Perceraian Pasangan Beda Agama yang Melakukan Dua
Pencatatan Perkawinan

Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas


Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Undang-
undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua Atas Undang-undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada Pasal 49 disebutkan
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf; zakat;
infak; shadaqah; dan ekonomi syariah. Pada pasal tersebut jelas disebutkan
Pengadilan Agama menangani “Perkara antara orang-orang beragama
Islam”, dalam penjelasannya menyatakan yang dimaksud dengan "antara
orang-orang yang beragama Islam" adalah termasuk orang atau badan
hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada
hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan
Agama sesuai dengan ketentuan pasal ini.8

bahwa antara penggugat dan tergugat telah sama-sama beralih dari


agama Islam ke agama Kristen (murtad). Fakta kedua, bahwa telah terjadi
perkawinan sebanyak dua kali, yaitu secara Islam dan secara Kristen
sehingga perkawinannya dicatatkan oleh dua instansi berbeda yakni di
Kantor Urusan Agama dan di Kantor Suku Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil. Hal ini yang menjadi persoalan dalam persidangan
sebagaimana dalam jawaban tertulis Tergugat yang telah dibacakan oleh
Majelis Hakim.

7
Jefry Tarantang, Hukum Islam, Penerbit K-Media Yogyakarta, 2020,hlm.71.
8
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Pada jawaban tergugat Majelis Hakim menilai terdapat eksepsi
absolut, tetapi Majelis Hakim menolak eksepsi tersebut dan menyatakan
bahwa perkara ini termasuk dalam kewenangan absolut Pengadilan Agama
sebab pernikahan antara penggugat dan tergugat dilakukan menurut tata
cara Islam dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama, selama perkawinan itu
belum diputus oleh pengadilan, maka perkawinan tersebut belum putus,
oleh karena itu Majelis Hakim Pengadilan Agama Kudus dalam
memeriksa dan memutus perkara ini berdasarkan asas personalitas
keislaman.62 Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1 huruf b Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa “Pengadilan adalah Pengadilan
Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi
yang lainnya”.63 Serta Pasal 2 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.Serta Mengacu
pada Pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 menyatakan pengadilan agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam, maka jelas
bahwa perkara perceraian pada putusan ini merupakan kewenangan
absolut Peradilan Agama.9

Walaupun telah terjadi dua kali perkawinan, perkawinan yang sah


adalah perkawinan yang pertama karena selama status perkawinan yang
pertama belum diputus lain oleh pengadilan dengan status hukum yang
baru maka status hukum perkawinan yang pertama tetap berlaku sehingga
status hukum perkawinan yang kedua dianggap batal demi hukum. Karena
mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan
berwenang tidaknya Pengadilan Agama adalah hukum yang berlaku pada
waktu pernikahan dilangsungkan. apabila seseorang melangsungkan
perkawinan secara hukum Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan,
perkaranya tetap menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama.10

9
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
10
Zaenal Arifin, Hakim Pengadilan Agama Kudus Kelas 1B, Interview Pribadi, Kudus, 25 Oktober
2017.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Asas Personalitas Keislaman adalah asas utama yang melekat pada
Undang-Undang Peradilan Agama yang memberikan makna bahwa pihak
yang tunduk dan dapat ditundukkan kepada kekuasaan di lingkungan
Peradilan Agama adalah hanya mereka yang beragama Islam. Dapat
dikatakan bahwa Keislaman seseoranglah yang menjadi dasar kewenangan
Peradilan Agama dan dengan kata lain, seorang penganut agama non-Islam
tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan
Peradilan Agama. pemberlakuan Asas ini selalu dikaitkan dengan perkara
perdata (bidang tertentu), seperti bidang perkara yang berkaitan dengan hal
Perkawinan, baik dalam hal perceraian, pembatalan dan sebagainya.
Dalam studi kasus Putusan MA No. 726K/SIP/1976 terdapat suatu
pelanggaran asas personalitas keislaman dalam perkara pembatalan
perkawinan yang mengakibatkan adanya perbedaan sudut pandang antar
dua lembaga peradilan yaitu Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri.
Berdasarkan putusan tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut mengenai
penerapan asas personalitas keislaman di lingkungan Pengadilan Agama
Pontianak  khususnya yang berkaitan dengan perkara perkawinan bagi
pasangan yang beralih agama.  Metode yang digunakan dalam penulisan
ini adalah pendekatan yuridis normatif (Doctrinal Research) dengan
spesifikasi penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Tujuan dari
penulisan ini agar masyarakat dapat mengetahui tentang asas personalitas
keislaman dengan melihat latar belakang asas personalitas keislaman
dalam aspek Hukum Islam dan keberadaan beberapa teori sebelum
pemberlakuan asas personalitas keislaman ini, seperti teori Receptio In
Complexu yang memiliki keterkaitan dan saling berhubungan dengan asas
personalitas Keislaman, sehingga dapat dilihat penerapan asas personalitas
keislaman yang ada di lingkungan Pengadilan Agama Pontianak telah
diterapkan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia atau masih ada pelanggaran yang terjadi pada asas personalitas
keislaman di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
(Undang-Undang No. 7 Tahun 1989), (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997),
Ahmad Azhar Basyir, "Pemasyarakatan KHI Melalui Jalur Pendidikan
NonFormal" , dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 5 Tahun III, (Jakarta:
AlHikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1992).
Jefry Tarantang, Hukum Islam, Penerbit K-Media Yogyakarta, 2020,
Zaenal Arifin, Hakim Pengadilan Agama Kudus Kelas 1B, Interview Pribadi,
Kudus, 25 Oktober 2017.

UU/PP :
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No.


1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Anda mungkin juga menyukai