Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH JARIMAH ZINA DAN QADZAF ZINA

DISUSUN DALAM MATA KULIAH FIQH JINAYAH


NAMA DOSEN PEMBIMBING H. Suyud Arif, Drs., M.Ag.

Disusun oleh :
Muhammad Kholis Qolbi
Muhammad Fawwazul Arhab

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2023

2
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhirobbil’alamin segala puji senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah


SWT. Yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita, tidak lupa pula
kepada baginda kita yang telah membawa kita dari zaman gelap gulita hingga zaman
terang benderang yakni Nabi Muhammad SAW yang telah memberikankan kita petunjuk
atas izin Allah dan semoga kita senatiasa mendapatkan syafa’atnya. Maka dari itu kami
bisa menyelesaikan tugas makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok untuk mata
kuliah fiqh jinayah yang berjudul jarimah zina dan qadzaf zina.
Tidak lupa penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu yaitu
bapak H. Suyud Arif, Drs., M.Ag. Selaku dosen mata fiqh jinayah yang telah memberi
kami kesempatan dan bimbingan. Sampai pada akhirnya kami dapat menyelesaikan
makalah ini sampai tuntas. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan
sekalian yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Penulis sangat berharap
semoga makalah ini dapat memberikan banyak manfaat, menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karenamasih terbatasnya ilmu dan
penelitian kami. Untuk itu kami , sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bogor, 7 Oktober 2023

i
Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan 4
BAB II PEMBAHASAN 5
A. Jarimah Zina 5
1) Pengertian zina............................................................................................................5
2) Unsur-Unsur Zina........................................................................................................5
3) Sanksi Zina..................................................................................................................8
4) Alat Bukti Zina..........................................................................................................10
5) Pelaksanaan hukuman zina........................................................................................14
6) Halangan-halangan pelaksanaan hukuman zina........................................................16
B. Menuduh Zina (Qadzaf) 16
1) Unsur-unsur jarimah qadzaf......................................................................................17
2) Alat bukti qadzaf.......................................................................................................18
3) Sanksi qadzaf.............................................................................................................19
4) Pelaksanaan sanksi qadzaf.........................................................................................19
5) Hapusnya sanksi qadzaf.............................................................................................19
BAB III PENUTUP 20
DAFTAR PUSTAKA 22

iii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Situasi krisis multidimensi yang berkepanjangan yang menimpa bangsa


Indonesia dewasa ini, dalam pandangan agamawan, boleh jadi merupakan
peringatan Tuhan agar bangsa ini sadar dan mau memperbaiki diri dengan
kembali ke jalan yang benar dan diridhai Tuhan. Peringatan Tuhan semacam ini
dalam sejarah umat manusia telah berulang kali terjadi dan menimpa mereka yang
lupa diri, lupa mensyukuri nikmat serta karunia Ilahi. Mereka mengkufuri nikmat
tersebut, bahkan menggantinya dengan berbagai macam maksiat dan kejahatan
termasuk pelanggaran menyangkut nilai-nilai dan moralitas agama. Ketidakadilan,
ketamakan, penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi, nepotisme, pelanggaran
HAM, pergaulan bebas, perselingkuhan, merupakan deretan panjang bentuk-
bentuk kejahatan dan pelanggaran yang mencerminkan pelecehan terhadap
wibawa hukum dan perundang-undangan, serta pengabaian terhadap moralitas
keagamaan.
Hal ini dimungkinkan antara lain karena lemahnya perangkat hukum yang
mengatur, mengendornya kontrol masyarakat, hilangnya wibawa aparat penegak
hukum dan pemerintahan, dan yang lebih mendasar lagi adalah akibat lemahnya
iman dan ketakwaan yang menjadi dasar bagi kesejahteraan lahir batin seperti
yang dijanjikan Tuhan.
Untuk memperbaiki keadaan seperti ini, agar tidak semakin terperosok ke
dalam kekacauan masyarakat (social disorder), maka agama menawarkan suatu
terapi dan solusi yang tentunya dapat ditempuh bangsa ini yaitu dengan kembali

1
kepada ajaran Ilahi, yaitu kembali kepada ajaran yang menghargai moral dan
martabat kemanusiaan, yang mendambakan kesejahteraan masyarakat secara lahir
maupun batin serta menjunjung tinggi supremasi hukum dan perundang-undangan
yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Dengan kata lain, bangsa ini mestilah
dibawa kepada ajaran yang dapat memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada
Allah Swt.. Apabila ini dapat tercapai, maka sesuai dengan janji-Nya, Allah Swt.
akan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan dengan membuka segala
keberkahan dari langit dan bumi seperti termaktub dalam firman-Nya, dalam surat
al-A’raf:96

Mantapnya keimanan dan ketakwaan, dalam pandangan agama dicerminkan


dalam bentuk tingginya penghargaan dan pemeliharaan terhadap enam pilar
syariat yang menjadi penopang kemaslahatan umat, yaitu pemeliharaan dan
perlindungan terhadap agama, jiwa, harta, akal, nasab, dan kehormatan.
Sebagaimana diketahui, hukum pidana yang ada sekarang ini belumlah
memadai bila dilihat dari perspektif keislaman. Hukum pidana yang menyangkut
delik perzinahan umpamanya, masih menyisakan titik lemah yang harus
diperbaiki. Delik ini hanya menjangkau mereka yang terikat dalam ikatan
perkawinan. Itupun bila ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan. Mereka
yang masih lajang jika melakukan perzinahan secara suka rela, tidaklah terjangkau
oleh hukum pidana ini. Padahal bila dilihat dari pandangan agama, pelanggaran
seksual semacam ini merupakan larangan bagi setiap umat beragama dari agama
apapun yang dipeluknya. Setiap agama, terutama agama samawi, melarang segala
bentuk perzinahan, tidak terkecuali mereka yang berada di luar ikatan perkawinan.
Oleh karena itu kiranya perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk
memberikan masukan kepada para pihak yang terkait, baik instansi pemerintah
maupun lembaga perwakilan rakyat untuk bersama-sama mewujudkan hukum

2
pidana nasional yang sesuai dengan aspirasi dan harapan umat. Disamping itu
perlu pula upaya untuk mengkomunikasikan
hukum pidana Islam kepada masyarakat luas agar mereka tidak memperoleh
gambaran yang keliru tentang hukum pidana Islam tersebut.
Dalam rangka mencari rumusan yang tepat sesuai dengan kepribadian serta
nilai-nilai luhur bangsa ini, maka dirasa penting untuk mengedepankan topik
bahasan seperti yang tercantum sebagai judul makalah ini. Dengan harapan
tentunya, pada saatnya nanti konsepsi ajaran Islam khususnya yang menyangkut
hukum pidana, kiranya dapat dijadikan bahan pertimbangan serta masukan bagi
pembinaan hukum nasional di masa-masa mendatang, dalam rangka ikut
menyambut terwujudnya masyarakat madani yang dicitacitakan, yang menjunjung
tinggi supremasi hukum dan perundang-undangan serta menegakkan moralitas
agama dan keadilan.
Sebagaimana diketahui, dalam syariat Islam ada enam aspek yang menjadi
pilar syariat yang harus dilindungi dan dipelihara sebagai penunjang kemaslahatan
umat. Enam aspek tersebut ada1ah: agama, jiwa, akal, harta, nasab dan
kehormatan.1 Untuk memelihara keenam aspek inilah syariat menetapkan
berbagai sanksi pidana berupa: hudud, qishash dan ta'zir.
Untuk memelihara agama, agar orang tidak mudah keluar dari Islam (murtad)
syariat menetapkan sanksi pidana (had) yang berat baginya. Untuk memelihara
keselamatan jiwa, syariat menetapkan hukuman balas (qishash) bagi mereka yang
membunuh orang lain tanpa hak. Hukuman dera yang diberikan atas orang yang
berzina adalah untuk memelihara nasab (keturunan). Untuk memelihara harta,
syariat Islam menetapkan hukuman potong tangan atas pelaku pencurian. Untuk
memelihara kehormatan ('irdh) seseorang, Islam menetapkan hukuman qadzaf
bagi mereka yang menuduh orang lain melakukan perzinahan. Hukuman dera atas
orang yang mabuk diberikan untuk memelihara akal. Dasar pemikiran (logika)
yang dipergunakan dalam hal ini adalah jika seseorang yang berniat

3
mabukmabukan kemudian ia tahu jika mabuk akan didera, maka ia akan
mengurungkan niatnya. Dengan demikian akan terpeliharalah akal sehatnya.
Demikian pula hukuman balas (qishash) dimaksudkan agar orang yang bermaksud
membunuh orang lain, ketika ia tahu akan dibalas dengan hukuman mati, tentu ia
akan sadar dan mengurungkan niatnya. Dengan begitu terpeliharalah jiwa orang
lain, demikianlah seterusnya logika pemberian hukuman pada tindak pidana
lainnya.
Jarimah hudud adalah tindak kejahatan yang membahayakan keamanan dan
ketertiban masyarakat (hak Allah) yang diancam dengan hukuman had. Hukuman
had adalah hukuman yang kadarnya telah ditetapkan syariat dalam Alquran atau
Sunnah. Oleh karena hak Allah, jarimah had ini tidak bisa gugur walaupun ada
pemberian maaf dari pihak yang dirugikan. Yang termasuk kategori jarimah
hudud adalah: zina, qadzaf, mabuk miras, mencuri, hirabah (penyamunan), riddah
(keluar dari Islam), dan gerakan makar (bughat).
Sedangkan jarimah qishah (balas) adalah tindak kejahatan yang merugikan
perorangan (hak al-adami) yang diancam dengan hukuman balas (qishash). Oleh
karena jarimah ini menyangkut perorangan (hak al-adami),

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak pada uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat
menarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian zina ?
2. Apa saja unsur-unsur zina ?
3. Apa sanksi zina ?
4. Apa saja alat bukti zina ?

4
5. Bagaimana pelaksanaan hukuman zina?
6. Apa halangan-halangan pelaksanaan hukuman zina ?
7. Apa saja unsur-unsur jarimah qadzaf ?
8. Apa saja alat bukti qadzaf ?
9. Bagaimana pelaksanaan sanksi qadzaf ?
10. Bagaimana sanksi qadzaf bisa terhapus ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa pengertian dari zina


2. Untuk mengetahui unsur-unsur zina
3. Untuk mengetahui sanksi zina
4. Untuk mengetahui apa saja alat bukti zina
5. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan hukuman zina
6. Untuk mengetahui halangan-halangan pelaksanaan hukuman zina
7. Untuk mengetahui unsur-unsur jarimah qadzaf
8. Untuk mengetahui alat bukti qadzaf
9. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan sanksi qadzaf
10. Untuk mengetahui bagaimana qadzaf bisa terhapus

5
BAB II PEMBAHASAN

A. Jarimah Zina
1) Pengertian zina
Ulama Malikiyah mendefinisikan zina dengan me-wathi-nya seorang laki-laki
mukallaf terhadap faraj wanita yang bukan miliknya dilakukan dengan sengaja.
Ulama Syafi'iyah mendefinisikan bahwa zina adalah memasukkan zakar ke dalam
faraj yang haram dengan tidak subhat dan secara naluri memuaskan hawa nafsu.
Konsep tentang tindak pidana perzinaan menurut hukum Islam jauh berbeda
dengan sistem hukum Barat, karena dalam hukum Islam, setiap hubungan seksual
yang diharamkan itulah zina, baik yang dilakukan oleh orang yang telah berkeluarga
maupun yang belum berkeluarga asal ia tergolong orang mukallaf, meskipun
dilakukan dengan rela sama rela, jadi tetap merupakan tindak pidana.
Konsep syariat ini adalah untuk mencegah menyebarluasnya kecabulan dan
kerusakan akhlak serta untuk menumbuhkan pandangan bahwa perzinaan itu
tidak hanya mengorbankan kepentingan perorangan tetapi lebih-lebih kepentingan
masyarakat.
Kerusakan moral yang melanda dunia barat menurut para ahli justru karena
diperbolehkannya perzinaan bila dilakukan oleh orang dewasa yang dilakukan dengan
rela sama rela, sehingga banyak laki-laki yang berpaling dari kehidupan rumah tangga
yang bahagia. Hal ini sudah tentu membuatnya menjadi orang yang tidak bertanggung
jawab, sebab kebutuhan seksualnya dapat terpenuhi melalui hubungan seksual dengan
setiap wanita yang bukan istrinya asal rela sama rela.
Dengan demikian, jelaslah bahwa masalah perzinaan itu tidak hanya menyinggung
hak perorangan, melainkan juga menyinggung hak masyarakat.
2) Unsur-Unsur Zina

6
Meskipun para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan zina, tetapi mereka
sepakat terhadap dua unsur zina, yaitu wathi haram dan sengaja atau ada itikad jahat.
Seseorang dianggap memiliki itikad jahat apabila ia melakukan perzinaan dan ia tahu
bahwa perzinaan itu haram.
Yang dimaksud wathi haram adalah wathi pada faraj wanita bukan istrinya atau
hambanya dan masuknya zakar itu seperti masuknya ember ke dalam sumur dan tetap
dianggap zina meskipun ada penghalang antara zakar dengan farajnya selama
penghalang itu tidak menghalangi kenikmatan.

Dasar keharaman zina dalam syariat Islam adalah firman Allah SWT.:
‫} َفَمِن ٱۡب َتَغ ٰى‬٦{ ‫} ِإاَّل َع َلٰٓى َأۡز َٰو ِجِه ۡم َأۡو َم ا َم َلَك ۡت َأۡي َٰم ُنُهۡم َفِإَّنُهۡم َغ ۡي ُر َم ُلوِم يَن‬٥{ ‫َو ٱَّلِذ يَن ُهۡم ِلُفُروِجِه ۡم َٰح ِفُظوَن‬
}٧{ ‫َو َر ٓاَء َٰذ ِلَك َفُأْو َلٰٓـِئَك ُهُم ٱۡل َع اُد وَن‬
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka
atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
tercela, barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas (QS al-Mukminun:5-7).

Bahkan tidak hanya zinanya yang haram, melainkan mendekatinya pun haram,
sebagaimana difirmankan Allah SWT.:
‫َو اَل َتْقَر ُبو۟ا ٱلِّز َنٰٓى ۖ ِإَّن ۥُه َك اَن َٰف ِح َش ًة َو َس ٓاَء َس ِبياًل‬
Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk (QS al-Isra:32).
Disamping itu, Rasulullah SAW., bersabda :
‫ رواه البخاري ومسلم عن ابن عباس‬. ‫َال َيْخ ُلَو َّن َاَح ُد ُك ْم ِباْمَر َأٍة َلْيَس ْت َلُه ُم ْح ِر ٍم َفِإَّن َثَلَثُهَم ا الَّشْيَطاُن‬
"Jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu bersepi. sepi dengan seorang
perempuan (yang bukan mahram). karena yang ketiga adalah setan" (HR Bukhari dan
Muslim dari ibn Abas).

7
Prinsip keharaman ini sesuai dengan suatu kaidah yang berbunyi:
‫َم ا َأَدى ِإلَى اْلَحَر اِم َفُهَو اْلَحَر اُم‬
"Setiap sesuatu yang mendatangkan hal yang haram adalah haram"

Adapun hukum bagi orang yang melakukan homoseks di kalangan ulama terdapat
perbedaan pendapat. Menurut Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad hukuman
bagi orang yang melakukan homoseks itu sama dengan hukuman orang ang zina.
Mereka beralasan bahwa al-Quran menyamakan antara keduanya. Allah berfirman :
‫َو ُلوًطا ِإۡذ َقاَل ِلَقۡو ِمِهٓۦ ِإَّنُك ۡم َلَتۡأ ُتوَن ٱۡل َٰف ِح َشَة َم ا َسَبَقُك م ِبَها ِم ۡن َأَحٖد ِّم َن ٱۡل َٰع َلِم يَن‬
Dan ingatlah ketika Luth berkata kepada kaumnya: "Sesung guhnya kamu benar-
benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum dikerjakan oleh seorang pun
dari umat sebelum kamu" (QS al-Ankabut:28)
‫ِإَّنُك ْم َلَتْأُتوَن ٱلِّر َج اَل َشْهَو ًة ِّم ن ُدوِن ٱلِّنَس ٓاِء ۚ َبْل َأنُتْم َقْو ٌم ُّم ْس ِرُفوَن‬
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu (kepada mereka),
bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melewati batas (QS al-
A'raf:81).
‫َو الَّلَذ اِن َيْأِتَياِنَها ِم ْنُك ْم َفآُذ وُهَم اۖ َفِإْن َتاَبا َو َأْص َلَح ا َفَأْع ِر ُضوا َع ْنُهَم اۗ ِإَّن َهَّللا َك اَن َتَّواًبا َر ِح يًم ا‬
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka
berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertobat dan
memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka.Sesungguhnya Allah Maha Penerima
Tobat lagi Maha Penyayang (QS al-Nisa:16).
Ayat-ayat di atas menyatakan bahwa homoseks adalah fahisyah. Oleh karena
namanya sama maka hukumannya sama. Disamping itu juga berdasarkan hadis
Rasulullah SAW, dari Abu Musa al-Asy'ari:
‫ِإَذ ا َأَتى الَّرُجُل الَّرُج َل َفُهَم ا َزاِنَياِن َو ِاْن َاَتِت اْلَم ْر َاَة َفُهَم ا َزاِنَيَتاِن‬
Apabila seorang laki-laki mendatangi (melampiaskan nafsu seksualnya) kepada
laki-laki, maka keduanya adalah berzina dan bila mendatangi wanita maka keduanya
adalah berzina".

8
Menurut Iman Abu Hanifah homoseks itu bukan zina meskipun perbuatan itu
haram, dengan alasan bahwa:

b. Mencampuri wanita dari qubul disebut zina, Sedangkan mencampurinya ari


dubur disebut liwath. Perbedaan nama itu menunjukkan perbedaan maksud.
c. Disamping itu, zina membawa rusaknya nasab, sedang. kan homoseks tidak
demikian.

Pendapat mazhab Azh-Zhahiri sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah bahwa
liwath itu bukan zina dan hukumannya adalah ta'zir, karena tidak ada nash dan atsar,
karena tidak ada nash dan atsar yang shahih yang menyamakan homoseks dengan
zina.
Perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini dikarenakan perbedaan
mereka dalam beristimbath. Ada yang menggunakan qiyas dan ada yang tidak
menggunakannya. Dalam kasus pemerkosaan disepakati oleh para ulama bahwa
wanita yang diperkosa tidak dikenal sanksi karena ia dipaksa dan yang memperkosa
itulah yang akan dikenai sanksi zina.

Lesbian merupakan suatu perbuatan jarimah, meskipun disepakati oleh para ulama
bahwa hukumannya bukan had melainkan ta'zir. Demikian juga istimna'
(mengeluarkan sperma dengan tangan wanita) (al-Rukn al-Maai).

9
3) Sanksi Zina
Dalam al-Quran sanksi zina itu sifatnya bertahap. Pada permulaan Islam sanksi
zina adalah ditahan di rumah sampa mati dan dicaci maki. Allah berfirman:
‫َو الاَّل ِتي َيْأِتيَن اْلَفاِح َشَة ِم ْن ِنَس اِئُك ْم َفاْسَتْش ِهُدوا َع َلْيِهَّن َأْر َبَع ًة ِم ْنُك ْم ۖ َفِإْن َش ِهُدوا َفَأْمِس ُك وُهَّن ِفي اْلُبُيوِت َح َّتٰى‬
ۗ‫} َو الَّلَذ اِن َيْأِتَياِنَها ِم ْنُك ْم َفآُذ وُهَم اۖ َفِإْن َتاَبا َو َأْص َلَح ا َفَأْع ِر ُضوا َع ْنُهَم ا‬١٥{ ‫َيَتَو َّفاُهَّن اْلَم ْو ُت َأْو َيْج َعَل ُهَّللا َلُهَّن َس ِبياًل‬
}١٦{ ‫ِإَّن َهَّللا َك اَن َتَّواًبا َر ِح يًم ا‬
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada
empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikan). Kemudian apabila mereka
telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain
kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu,
maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian bila keduanya bertobat dan
memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
Tobat lagi Maha Penyayang (QS an-Nisa':15-16).
Kemudian datang sanksi lain yaitu jilid seratus kali. Allah berfirman:
‫ٱلَّز اِنَيُة َو ٱلَّز اِنى َفٱْج ِلُدو۟ا ُك َّل َٰو ِحٍد ِّم ْنُهَم ا ِم ۟ا َئَة َج ْلَدٍةۖ َو اَل َتْأُخ ْذ ُك م ِبِهَم ا َر ْأَفٌة ِفى ِد يِن ٱِهَّلل ِإن ُك نُتْم ُتْؤ ِم ُنوَن ِبٱِهَّلل‬
‫َو ٱْلَيْو ِم ٱْل َء اِخ ِر ۖ َو ْلَيْش َهْد َع َذ اَبُهَم ا َطٓاِئَفٌة ِّم َن ٱْلُم ْؤ ِمِنيَن‬
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari mereka seratus kali derd dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu dari menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan
hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hu kuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan dari orang. orang yang beriman (QS al-Nur:2).
Dan terakhir hadis Nabi SAW:

"Terimalah dariku! Terimalah dariku! Terimalah dariku Allah telah memberi jalan
kepada mereka (wanita-wanit yang berzina itu). Bujangan yang berzina dengan
bujangan dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dar janda (orang yang

10
telah kawin) yang berzina dengan janda dijilid seratus kali dan dirajam dengan batu"
(HR Muslin dari 'Ubadah bin Shamit).

Berdasarkan hadis di atas bila seorang jejaka dan se orang perempuan berzina,
maka sanksinya adalah serratus kali jilid dan dibuang selama satu tahun. Untuk
hukuman jilid para ulama sepakat untuk dilaksanakan, sedangkan untuk hukuman
buang adalah hak Ulul Amri. Adapun hukuman rajam menurut Fathi Bahansi adalah
sanksi bersifat siyasah syah'iyah. Jadi diserahkan kepada kebijaksanaan Ulul Amri
untuk menerapkannya atau tidak melaksanakannya tergantung kepada kemaslahatan.¹
Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad wajib dilaksanakan
keduanya.
Rincian lebih lanjut Imam Malik berpendapat bahwa yang dibuang hanya laki-laki
saja, sedangkan wanitanya tidak boleh dibuang, karena orang wanita tidak boleh pergi
sendiri tanpa adanya mahram. Sedangkan menurut Imam Syafi'i, Imam Ahmad, dan
Imam Azh-Zhahiri hukuman buang setahun itu dikenakan kepada keduanya.
Disamping itu, para ulama berbeda pendapat tentang pengertian at-taghrib.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, taghrib itu maksudnya dipenjarakan,
sedangkan menurut Imam Syafi'i dan Imam Ahmad dibuang ke suatu tempat lain
dengan tetap diawasi
Hukuman bagi tsayyib (orang yang sudah menikah) adalah rajam artinya hukuman
mati dengan dilempari batu, meskipun ada segolongan Azariqah dari Khawarij
berpendapat bahwa hukuman tsayyib adalah seratus kali jilid, karena menurut mereka
hadis ini tidak sampai ke tingkat mutawatir.
Disamping itu, para ulama berbeda pendapat apakah hukuman bagi tsayyib itu
dijilid seratus kali lalu dirajam ataukah hanya dirajam saja. Ada yang
menggabungkan kedua hukuman tersebut dengan alasan bahwa jilid itu adalah
hukuman pokok, sedangkan dibuang setahun bagi bikr dan dirajam bagi tsayyib itu
merupakan hukuman tambahan.
Disamping itu, mereka beralasan bahwa dengan apa yang dilakukan oleh Ali bin
Abu Thalib. Ia menjilid Syurahah pada hari Kamis dan merajamnya pada hari jumat.

11
Adapun alasan para ulama yang menganggap cukup dengan dirajam bagi tsayyib
adalah karena Rasulullah merajam Ma'iz dan Ghamidiyah dan merajam seorang
Yahudi dan tidak ada nash yang menyatakan bahwa beliau menjilid mereka lebih
dulu. Disamping itu berdasarkan prinsip bahwa hukuman yang berat itu menyerap
hukuman yang ringan. Pendapat ini dipegang oleh jumhur.
Adapun hukuman bagi homoseks, lesbian, onani, menggauli binatang, dan
menggauli mayat, para ulama berbeda pendapat sesuai dengan perbedaan mereka
mengenai apakah perbuatan itu zina ataukah bukan.

4) Alat Bukti Zina


Alat bukti zina itu ada empat macam, yaitu saksi, pengakuan, karenah (indikasi-
indikasi tertentu), dan Li'an.
a. Saksi
Disepakati oleh para ulama bahwa zina itu tidak dapat diterapkan kecuali
dengan empat orang saksi, berdasarkan firman Allah SWT :
‫َفاْسَتْش ِهُدوا َع َلْيِهَّن َأْر َبَع ًة ِم ْنُك ْم‬
hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya)
(QS an-Nisa': 15).

ۚ‫َو اَّلِذ يَن َيْر ُم وَن اْلُم ْح َص َناِت ُثَّم َلْم َيْأُتوا ِبَأْر َبَعِة ُش َهَداَء َفاْج ِلُدوُهْم َثَم اِنيَن َج ْلَد ًة َو اَل َتْقَبُلوا َلُهْم َش َهاَد ًة َأَبًدا‬
‫َو ُأوَٰل ِئَك ُهُم اْلَفاِس ُقوَن‬
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya.Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik (QS an-Nur:4).
‫َلْو اَل َج اُء وا َع َلْيِه ِبَأْر َبَعِة ُش َهَداَء ۚ َفِإْذ َلْم َيْأُتوا ِبالُّش َهَداِء َفُأوَٰل ِئَك ِع ْنَد ِهَّللا ُهُم اْلَك اِذ ُبوَن‬
Mengapa mereka tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita
bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
mereka itulah pada sisi Allah adalah orang-orang yang dusta (QS an-Nur: 13).
Disamping itu, banyak sekali hadis yang menguatkan ayat-ayat diatas

12
i. Syarat-syarat saksi
Syarat-syarat umum bagi seorang saksi dalam hal apa saja adalah
1. Baligh
Allah SWT. Berfirman :
‫َو ٱۡس َتۡش ِهُدوْا َش ِهيَد ۡي ِن ِم ن ِّر َج اِلُك ۖۡم‬
Dan persaksikanlah dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antara kamu) (QS al-Baqarah:282).

"Kalam diangkat dari tiga kelompok manusia; dari anak kecil


hingga baligh, dari orang yang tidur hingga terjaga dan dari
orang yang gila hingga sembuh" (HR Ahmad dari 'Aisyah)
Orang yang belum dewasa tidak dapat disebut sebagai rijal,
begitu juga hadis menyebutkan bahwa ia dianggap belum
mukallaf.

Disamping itu,anak kecil tidak dapat dipercaya tentang harta


sendiri, lebih-lebih hak orang lain. Demikian hal nya anak kecil
tidak dapat diterima persaksiannya dalam hal harta, maka lebih-
lebih dalam hal jinayah yang menyebabkan kematian atau
hilangnya anggota badan seseorang.

Oleh karena itu, ada prinsip umum dalam syariah, yakni tidak
dapat diterima persaksian bagi orang yang belum baligh.
Meskipun demikian Imam Malik menerima persaksian anak di
antara mereka dengan syarat telah muwayiz dan bila tidak ada
saksi yang telah dewasa. Jadi kebolehan menurut Imam Malik
ini dalam keadaan darurat.
2. Tidak dapat diterima persaksian orang gila atau orang yang
dungu berdasarkan hadis di atas.
3. Al-Hifzhu

13
Yakni seorang saksi harus mampu mengingat apa yang
disaksikannya dan memahami apa yang terjadi, sehingga dapat
dipercaya perkataannya. Oleh karena itu, orang yang banyak salah
dan banyak lupa tidak dapat diterima persaksiannya. Sebab ia
tidak dapat dipercaya perkataannya.
Walaupun demikian, ada ulama yang membolehkan orang
yang banyak salah dan banyak lupa itu sebagai saksi dalam hal
yang tidak menimbulkan kekaburan, seperti ia berkata "Orang ini
membunuh orang itu".
4. Dapat berbicara
Bila seorang saksi itu bisu, maka terdapat perbedaan pendapat
di kalangan ulama tentang keabsahan persaksiannya.
Dalam mazhab Maliki dapat diterima apabila isyaratnya dapat
dimengerti. Dalam mazhab Hanafi tidak dapat diterima sama
sekali.
5. Bisa melihat
Para ulama juga berbeda pendapat bilamana seorang saksi itu
buta. Mazhab Hanafi tidak menerima persaksian orang buta.
Namun bila persaksiannya itu menyangkut pendengaran bukan
penglihatan, maka persaksiannya itu diterima. Demikian pula
ulama Syafi'iyah membolehkan persaksiannya itu berkaitan
dengan nasab dan kematian, karena hal ini dapat dibuktikan
dengan pendengaran. Akan tetapi, mereka tidak menerima
persaksiannya yang berkaitan dengan perbuatan, seperti
pembunuhan dan perampokan, karena untuk mengetahui peristiwa
itu harus dengan penglihatan.
6. Adil
Tidak ada perbedaan pendapat tentang disyaratkannya
keadilan bagi para saksi. Allah berfirman:
‫َو َأْش ِهُدوا َذ َو ْي َع ْد ٍل ِم ْنُك ْم َو َأِقيُم وا الَّش َهاَد َة ِهَّلِل‬

14
Adapun yang dimaksud dengan adil dalam persaksian ini seperti yang dimaksud
oleh ulama Hanafiyah adalah teguh dalam memegang urusan Islam, dewasa dalam
berpikir dan tidak menuruti hawa nafsunya. Dan batas terendah bagi kriteria adil
adalah kuat memegang agama dan akal sehat daripada keinginan hawa nafsu.
Menurut ulama Malikiyah adil adalah memelihara agama dengan menjauh/tidak
melakukan dosa besar dan memelihara diri dari dosa-dosa kecil, dapat dipercaya dan
baik perilakunya.
Menurut ulama Syafi'iyah adil adalah menjauhi dosa besar dan tidak senantiasa
melakukan dosa kecil. Bila seseorang tidak pernah melakukan dosa besar dan
melakukan dosa kecil tetapi jarang, maka persaksiannya dapat diterima. Akan tetapi,
bila ia biasa melakukan dosa kecil, maka persaksiannya tidak dapat diterima, sebab
dengan melakukan dosa kecil secara sering, maka ia cenderung melakukan saksi
palsu. Maka hukum persaksian itu sangat tergantung kepada kebiasaan perilakunya.

Menurut ulama Hanabilah adil adalah sikap pribadi yang mantap dalam hal
agama, perkataan, dan perbuatannya. Dan indikasinya adalah:
1. Orang itu selalu melaksanakan segala sesuatu yang wajib beserta sunnah-
sunnahnya,
2. Memelihara muru'ah dan kepatutan kemanusiaan.
7. Islam
Diisyaratkan seorang saksi itu harus muslim dan ini dal adalah
prinsip umum yang dipegang oleh para fuqaha. Prinsip ini diambil
dari firman Allah SWT :
‫َو ٱۡس َتۡش ِهُدوْا َش ِهيَد ۡي ِن ِم ن ِّر َج اِلُك ۖۡم‬

Dan persaksikanlah dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di


antara kamu) (QS al-Baqarah:282).
ii. Hal-hal yang menghalangi persaksian
1. Keluarga
2. Permusuhan

15
3. Adanya Hal-hal yang dianggap dapat memperingan atau
memperberat tuntutan terhadap terdakwa
iii. Syarat-syarat khusus bagi persaksian zina
Persaksian zina itu disamping harus memenuhi persyaratan di
atas harus pula memenuhi syarat-syarat khusus sebagai berikut:
1. Laki-laki
2. Menyaksikan secara langsung
3. Tidak kadarluwarsa
4. Persaksian diberikan dalam satu majelis
5. Jumlah saksi empat orang
6. Harus meyakinkan hakim
a. Pengakuan
Jarimah zina dapat ditetapkan dengan pengakuan. Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad mensyaratkan pengakuan ini harus empat
kali, karena diqiyaskan kepada empat orang saksi, juga atas dasar hadis
riwayat Abu Hurairah, bahwa telah datang kepada Rasulullah SAW. di
suatu mesjid seseorang yang mengaku telah melakukan zina, tapi Rasul
berpaling daripadanya. Hal ini berulang-ulang sampai pengakuannya
yang keempat kali. Setelah pengakuannya yang keempat Rasul bertanya:
"Apakah kamu gila?" dan seterusnya.
Adapun menurut Imam Malik dan Imam Syafi'i pengakuan itu cukup
sekali, karena pengakuan itu merupakan suatu berita dan berita itu tidak
memerlukan pengulangan. Juga dalam hadis dinyatakan (kepada Unais):
Bila wanita itu mengaku, maka rajamlah.
Dalam hadis ini, rajam dikaitkan dengan pembuktian menangguhkan
rajam kepada Ma'iz sampai mengaku empat yang semata-mata berupa
pengakuan. Adapun Rasulullah kali tiada lain karena Rasulullah
meragukan kesehatan akal Ma'iz. Bahkan Ma'iz dikembalikan kepada
sukunya untuk ditanyakan apakah akalnya sehat dan
setelah itu baru dirajam.
3) Qarinah/Tanda-tanda

16
Qarinah yang dapat dianggap sebagai barang bukti perzinaan yang
sah adalah jelasnya kehamilan wanita yang tidak bersuami.
Qarinah yang berupa kehamilan ini ditetapkan oleh sahabat Nabi,
seperti Umar berkata: "Bahwa sanksi zina wajib dikenakan atas setiap
pelaku zina bila ada pembuktian atau hamil atau mengaku".
Demikian juga telah diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata:
"Zina itu ada dua macam; zina rahasia dan zina yang jelas. Zina Rahasia
harus disaksikan oleh empat orang saksi. Sedangkan zina yang jelas itu
adalah dengan hamilnya wanita yang tidak bersuami atau pengakuan".
Kehamilan wanita yang tidak bersuami bukanlah suatu qarinah yang
pasti, artinya memberikan kemungkinan-kemungkinan lain bahwa
kehamilan bukan dari hasil zina. Para ulama memberi contoh seperti
hamil karena diperkosa atau kesalahan dalam persetubuhan
(wathi syubhat).

5) Pelaksanaan hukuman zina


Sebagaimana telah diketahui bahwa apabila pezina itu telah terbukti, maka hakim
wajib menjatuhkan hukuman had kepada para pelakunya. Bila seseorang pelaku zina
telah berkali-kali melakukan perzinaan baru tertangkap, maka baginya cukup dijatuhi
hukuman satu kali saja. Inilah yang disebut dengan teori tadakhul, sebagaimana
dijelaskan di muka. Akan tetapi, bila ia melakukan zina dan disamping itu melakukan
pencurian atau tindak pidana yang lain, maka untuk masing-masing kejahatan
dikenakan hukuman, karena aturan yang bersangkutan dengan kedua macam tindak
pidana itu berbeda tujuannya; yang satu memelihara kehormatan sedangkan yang
kedua untuk menjaga harta, misalnya.
Adapun pihak yang melaksanakan sepakat wewenang para ulama adalah
pemerintah atau orang yang diberi pemerintah untuk itu.
Pelaksanaan sanksi ini harus terbuka, yakni yang diketa berdasarkan
firman Allah SWT :
‫َو ْلَيْش َهْد َع َذ اَبُهَم ا َطٓاِئَفٌة ِّم َن ٱْلُم ْؤ ِمِنيَن‬

17
dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari
orang-orang yang beriman (QS an Nur:2).
Meskipun ulama tidak sepakat tentang jumlah orang yang menyaksikannya;
ada yang berpendapat cukup satu orang ada yang berpendapat cukup dua orang, ada
yang mengharuskan empat orang, bahkan ada yang mengharuskan dihadiri sepuluh
orang. Yang jelas umum harus tahu bahwa hukuman telah dilaksanakan, agar
hukuman itu memiliki daya represip. Pelaksanaan hukuman zina pada zaman Nabi
SAW. bila si terhukum itu orang laki-laki adalah sambil berdiri dengan dipegang dan
diikat. Alat yang digunakan untuk menjilid adalah cambuk yang berukuran sedang.
Cambukan itu tidak boleh melukai kulit dan mengeluarkan darah, serta tidak boleh
mencambuk muka, faraj, dada, kepala dan perut. Jadi cambukan itu harus diarahkan
ke punggung. Adapun bila si terhukum itu adalah orang wanita, maka hukuman
dilaksanakan dalam keadaan si terhukum duduk. Dan bila si wanita yang akan dijatuhi
hukuman itu sedang hamil, maka para ulama sepakat bahwa hukumannya harus
ditangguhkan sampai melahirkan. Dan bila anaknya tidak ada yang menyu sui
maka harus ditunggu sampai anaknya itu lepas menyusu.
Hal ini sesungguhnya sesuai dengan prinsip umum dalam fiqh jinayah bahwa
hukuman itu berlaku secara individual, hanya atas orang yang berdosa saja. Allah
berfirman :
‫ة ۡز َر ُأۡخ َر ٰۚى‬ٞ ‫اَل َت ُر ا َر‬
‫َو ِز َو ِز ِو‬
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain ( Qs. Al-
an’am:164)

6) Halangan-halangan pelaksanaan hukuman zina


Hukuman tidak dapat dilaksanakan bila alat buktinya hanya berupa pengakuan
dan yang bersangkutan menarik pengakuannya, atau alat buktinya adalah persaksian
lalu salah seorang saksinya menarik persaksiannya sebelum dilaksanakan hukuman
atau salah seorang yang berzina mendustakan pengakuan patner zinanya atau
mengaku telah ada perzinaan sebelumnya bila alat buktinya berupa pengakuan.

18
Kedua hal terakhir ini adalah menurut pendapat Imam Abu Hanifah. Adapun
menurut ketiga imam lainnya mendustakan pengakuan patner zinanya itu tidak
menghapuskan hukuman dan pengakuan telah adanya pernikahan itu juga demikian,
kecuali bila didukung oleh bukti yang kuat.

B. Menuduh Zina (Qadzaf)


Dalam hukum Islam, menuduh itu ada dua macam, yakni menuduh zina yang
diancam dengan had dan menuduh selain zina yang diancam dengan ta'zir.
Suatu perkataan bisa dianggap sebagai tuduhan bilamana tidak sesuai dengan
kenyataannya. Suatu prinsip dalam fiqh jinayah bahwa barangsiapa menuduh orang
lain dengan sesuatu yang haram, maka wajib atasnya membuktikan tuduhannya itu.
Apabila ia tidak dapat membuktikan tuduhannya itu, maka ia wajib dikenai hukuman.
Adapun kepada orang yang menghina orang lain dan yang bersangkutan tidak
rela, maka ia tidak dituntut untuk membuktikan penghinaannya, sebab sudah jelas
penghinaan itu tidak dapat dibenarkan.
Jadi, prinsip keharaman menuduh atau menghina orang itu kembali kepada
keharaman berdusta. Kata-kata "Hai Pelacur" adalah kata-kata tuduhan yang harus
dibuktikan kebenarannya, sedangkan kata-kata "Hai monyet" adalah kata-kata
penghinaan yang jelas kedustaannya.menis
Dasar hukum keharaman qadzaf adalah firman Allah:
‫َو اَّلِذ يَن َيْر ُم وَن اْلُم ْح َص َناِت ُثَّم َلْم َيْأُتوا ِبَأْر َبَعِة ُش َهَداَء َفاْج ِلُدوُهْم َثَم اِنيَن َج ْلَد ًة َو اَل َتْقَبُلوا َلُهْم َش َهاَد ًة َأَبًداۚ َو ُأوَٰل ِئَك‬
‫ُهُم اْلَفاِس ُقوَن‬
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat se
lama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik (QS an-Nur:4).
‫ِإَّن اَّلِذ يَن َيْر ُم وَن اْلُم ْح َص َناِت اْلَغاِفاَل ِت اْلُم ْؤ ِم َناِت ُلِع ُنوا ِفي الُّد ْنَيا َو اآْل ِخَرِة َو َلُهْم َع َذ اٌب َع ِظ يٌم‬
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wnita yang baik-baik yang
tidak berbuat keji lagi beriman (dengan tuduhan zin mereka kena laknat di dunia di
akhirat dan bagi mereka azab yang besar (QS an-Nur:23).
Dan sabda Rasulullah SAW.:

19
‫ الشرك باهلل و السٰٓـحر وقتل النفس التي حرم هللا اال‬: ‫ قيل يارسول هللا ماهن ؟ قال‬،‫اجتنبوا السبع الموبقات‬
‫ رواه مسٰٓـٰٓـلم عن ابي‬. ‫بالحق واكل مال اليتيم واكل الربا والتول يوم الزحف وقذف المحصنات الغافالت للمؤمنات‬
‫هريرة‬

"Jauhilah tujuh hal yang mencelakakan! Para sahabat bertanya: Apa itu, Ya
Rasulullah? Rasul menjawab: Musyrik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar, memakan harta
anak yatim, memakan riba, berpaling ketika bertemumusuh (dalam perang) dan
menuduh zina terhadap wanitawanita yang baik-baik, yang lalai (dari perbuatan keji)
dan yang beriman" (HR Muslim dari Abu Hurairah).

1) Unsur-unsur jarimah qadzaf


Unsur jarimah qadzaf ada tiga, yaitu :
a) Menuduh zina atau mengingkari nasab.
b) Orang yang dituduh itu muhshan
c) Ada itikad jahat.
Orang yang menuduh zina itu harus membuktikan kebe. naran tuduhannya.
Tuduhan zina itu antara lain dengan ucapan "Hai pezina", "Hai anak zina" dan "Ibumu
adalah pezina",
Menuduh homoseks menurut Imam Malik, Imam Asy. Syafi'i dan Imam Ahmad
sama dengan menuduh zina, sedangkan menurut Imam Abu Hanifah sanksinya adalah
ta'zir. Perbedaan ini kembali kepada perbedaan mereka mengenai apakah homoseks
itu.zina ataukah bukan.
Tampaknya dalam masalah terakhir ini yang terkual adalah pendapat Imam Abu
Hanifah sebab mengqiyaskan homoseks kepada zina itu dapat menimbulkan syubhat
dan had itu tertolak apabila ada syubhat.
Hak untuk menggugat menurut Imam Abu Hanifah adalah hapus dengan
meninggalnya orang yang dituduh, karena hak menggugat qadzaf itu bukan hak yang
diwariskan. Sedangkan menurut ulama lain hak untuk menggugat itu tidak hapus
dengan meninggalnya orang yang dituduh.

20
Disepakati oleh para ulama bahwa tuduhan yang jelas itulah yang mewajibkan
had, sedangkan tuduhan secara kinayah para ulama berbeda pendapat tentang
sanksinya Yang jelas dalam hal tuduhan zina dengan kinayah (sindiran) harus ada
bukti-bukti lain yang menunjukkan maksud qadzaf.
Untuk menuduh zina tidak disyaratkan menggunakan kata-kata tuduhan, tapi
cukup dengan membenarkan tuduhan. Contoh A berkata kepada B: "Ibumu pezina",
kemudian C berkata: "Itu benar". Maka A dan C sama-sama penuduh zina. Namun
demikian, dalam tuduhan disyaratkan sasarannya atau orang yang dituduhnya itu
harus jelas.
Disyaratkan juga orang yang dituduh itu muhshan, baik laki-laki maupun
perempuan. Para fuqaha menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan muhshan dan
ghafilat itu adalah muslim, merdeka, dan terpelihara kehormatannya atau memelihara
kebersihan diri (iffah).
Tidak disyaratkan juga orang yang menuduh itu diucapkan di muka umum, bisa
saja terjadi bukan di depan umum. Prinsip ini berdasarkan kepada perhatian hukum
Islam terhadap kehormatan manusia yang tidak tergantung kepada tempat. Jadi
kehormatan manusia itu harus dipelihara di segala tempat. Keharaman suatu maksiat
itu karena zatnya, bukan karena tempatnya. Disamping itu keharaman qadzaf itu
dimaksudkan untuk memelihara kehormatan manusia.
Disyaratkan dalam qadzaf ini harus ada gugatan dari orang yang dituduh.
Tampaknya hal ini merupakan suatu kekecualian dalam jarimah hudud, karena
meskipun qadzaf itu merupakan suatu jarimah hudud, tetapi sangat menyinggung
kehormatan orang yang dituduh.
Orang yang memiliki hak untuk menggugat adalah orang yang dituduh itu sendiri,
bila ia masih hidup. Sedangkan apabila ia sudah meninggal, maka di kalangan fuqaha
terdapat perbedaan pendapat, sebagaimana dijelaskan di atas, dan perbedaan ini
kembali kepada perbedaan pendapat mereka dalam menentukan siapa yang terkena
kehinaan sehubungan dengan qadzaf itu.

2) Alat bukti qadzaf


a) Persaksian

21
b) Pengakuan
c) Menurut Imam Asy-Syafi’I tuduhan itu dapat dibuktikan dengan sumpah.

3) Sanksi qadzaf
Dalam qadzaf ada hukuman pokok yaitu jilid dan ada hukuman tambahan yaitu
tidak diterimanya persaksian. Hal ini berdasarkan firman Allah:
‫َو اَّلِذ يَن َيْر ُم وَن اْلُم ْح َص َناِت ُثَّم َلْم َيْأُتوا ِبَأْر َبَعِة ُش َهَداَء َفاْج ِلُدوُهْم َثَم اِنيَن َج ْلَد ًة َو اَل َتْقَبُلوا َلُهْم َش َهاَد ًة َأَبًداۚ َو ُأوَٰل ِئَك‬
‫ُهُم اْلَفاِس ُقوَن‬
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat se
lama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik (QS an-Nur:4).
Jumlah jilid adalah delapan puluh kali, tidak dapat dikurangi dan tidak dapat
ditambah. Bila ia bertobat, menurut Imam Abu Hanifah tetap tidak dapat diterima.
Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad dapat diterima
kembali persaksiannya apabila telah tobat.
Perbedaan pendapat ini kembali kepada perbedaan mereka dalam mengartikan
istisna (eksepsi), apakah istisna'nya itu kembali kepada kata yang terdekat ataukah
kembali kepada seluruh kalimat.
Disamping itu, menurut Imam Malik bila seseorang melakukan qadzaf dan minum
khamr, maka sanksinya cukup satu kali, yaitu delapan puluh kali jilid, karena baik
qadzaf maupun minum khamr sama-sama diancam dengan delapan puluh kali jilid,
dan karena saksi kedua tindak pidana ini memiliki tujuan yang sama.
Sedangkan menurut ketiga imam lainnya sanksi qadzaf tidak dapat bergabung
dengan sanksi jarimah lainnya, masing-masing berdiri sendiri.

4) Pelaksanaan sanksi qadzaf


Pelaksanaan sanksi qadzaf yang berupa jilid ini sama dengan pelaksanaan sanksi
zina, hanya jumlahnya yang berbeda.

5) Hapusnya sanksi qadzaf


Sanksi qadzaf dapat hapus karena beberapa hal, di antaranya:

22
a) Para saksi menarik persaksiannya yang semula menyatakan bahwa seseorang
telah menuduh zina.
b) Bila yang dituduh membenarkan tuduhan penuduh.

23
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Dari pembahasan di atas, sebagai
kesimpulan, Ulama Malikiyah mendefinisikan zina dengan me-wathi-nya seorang
laki-laki mukallaf terhadap faraj wanita yang bukan miliknya dilakukan dengan
sengaja. Ulama Syafi'iyah mendefinisikan bahwa zina adalah memasukkan zakar ke
dalam faraj yang haram dengan tidak subhat dan secara naluri memuaskan hawa
nafsu.
Dasar keharaman zina dalam syariat Islam adalah firman Allah SWT.:
‫} َفَمِن ٱۡب َتَغ ٰى‬٦{ ‫} ِإاَّل َع َلٰٓى َأۡز َٰو ِجِه ۡم َأۡو َم ا َم َلَك ۡت َأۡي َٰم ُنُهۡم َفِإَّنُهۡم َغ ۡي ُر َم ُلوِم يَن‬٥{ ‫َو ٱَّلِذ يَن ُهۡم ِلُفُروِجِه ۡم َٰح ِفُظوَن‬
}٧{ ‫َو َر ٓاَء َٰذ ِلَك َفُأْو َلٰٓـِئَك ُهُم ٱۡل َع اُد وَن‬
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka
atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
tercela, barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas (QS al-Mukminun:5-7).

Bahkan tidak hanya zinanya yang haram, melainkan mendekatinya pun haram,
sebagaimana difirmankan Allah SWT.:
‫َو اَل َتْقَر ُبو۟ا ٱلِّز َنٰٓى ۖ ِإَّن ۥُه َك اَن َٰف ِح َش ًة َو َس ٓاَء َس ِبياًل‬
Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk (QS al-Isra:32).
Disamping itu, Rasulullah SAW., bersabda :
‫ رواه البخاري ومسلم عن ابن عباس‬. ‫َال َيْخ ُلَو َّن َاَح ُد ُك ْم ِباْمَر َأٍة َلْيَس ْت َلُه ُم ْح ِر ٍم َفِإَّن َثَلَثُهَم ا الَّشْيَطاُن‬

24
"Jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu bersepi. sepi dengan seorang
perempuan (yang bukan mahram). karena yang ketiga adalah setan" (HR Bukhari dan
Muslim dari ibn Abas).
Dalam al-Quran sanksi zina itu sifatnya bertahap. Pada permulaan Islam sanksi
zina adalah ditahan di rumah sampa mati dan dicaci maki
Alat bukti zina itu ada empat macam, yaitu saksi, pengakuan, karenah (indikasi-
indikasi tertentu), dan Li'an.
Sebagaimana telah diketahui bahwa apabila pezina itu telah terbukti, maka hakim
wajib menjatuhkan hukuman had kepada para pelakunya. Bila seseorang pelaku zina
telah berkali-kali melakukan perzinaan baru tertangkap, maka baginya cukup dijatuhi
hukuman satu kali saja. Inilah yang disebut dengan teori tadakhul, sebagaimana
dijelaskan di muka. Akan tetapi, bila ia melakukan zina dan disamping itu melakukan
pencurian atau tindak pidana yang lain, maka untuk masing-masing kejahatan
dikenakan hukuman,
Dalam hukum Islam, menuduh itu ada dua macam, yakni menuduh zina yang
diancam dengan had dan menuduh selain zina yang diancam dengan ta'zir.
Hukuman tidak dapat dilaksanakan bila alat buktinya hanya berupa pengakuan
dan yang bersangkutan menarik pengakuannya, atau alat buktinya adalah persaksian
lalu salah seorang saksinya menarik persaksiannya sebelum dilaksanakan hukuman
atau salah seorang yang berzina mendustakan pengakuan patner zinanya atau
mengaku telah ada perzinaan sebelumnya bila alat buktinya berupa pengakuan.

B. Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah
di atas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Setelah penulis
mencoba menguraikan penelitian tentang sumber hukum dari pandang islam , kami
berharap apa yang telah kami uraikan ini dapat dipahami oleh para pembaca nantinya.

25
Kami sebagai penulis menyadari jika dalam penulisan makalah ini banyak
sekali memiliki kekurangan yang jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kami
berharap para pembaca bisa memberikan kritik dan saran agar kedepannya kami bisa
menjadikannya lebih baik

26
DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, H. (1996). FIQH JINAYAH ( Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam).


Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

27

Anda mungkin juga menyukai