Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Masail Fiqhiyah Fi Jinayah

“KLASIFIKASI TAKZIR”

Dosen Pengampu :
Dr. Dahyul Daipon, M.Ag

Di Susun Oleh

1. Muhammad Zikra (1421042)

HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH
UIN SMDD BUKITTINGGI
2023/2024

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan
kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan
dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Masail Fiqhiyah Fi
Jinayah.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendukung dalam penyusunan makalah ini. Penulis sadar makalah ini belum sempurna dan
memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat
dibutuhkan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua
pihak.

Tilkam, 12 Maret 2023

Penulis.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................2

DAFTAR ISI..................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................4

A. Latar Belakang......................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah.................................................................................................................4

C. Tujuan...................................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................6

A. Macam – Macam Hukuman Takzir......................................................................................6

B. Perbuatan yang dihukum dengan hukuman takzir................................................................9

C. Pelaksanaan hukuman takzir...............................................................................................11

D. Sebab – sebab hapusnya hukuman takzir...........................................................................13

BAB III PENUTUP......................................................................................................................16

A. Kesimpulan.........................................................................................................................16

B. Saran...................................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ta’zir adalah bahagian dari ‘uqubat (hukuman) dalam hukum pidana Islam atau
balasan terhadap sesuatu jarimah (kesalahan) berupa maksiat yang telah dilakukan oleh
seseorang. Ada beberapa bentuk ‘uqubat dalam hukum pidana Islam: pertama; jarimah
hudud, kedua; jarimah diyat atau qisas, dan ketiga; jarimah ta’zir. Ta’zir adalah hukuman
yang telah ditentukan untuk jarimah ta’zir. Bentuknya bermacam-macam, tetapi
penentuannya diserahkan kepada pihak pemerintah atau yang berwenang, yaitu lembaga
legislative atau hakim (waliyul amri atau imam). Menurut Al- Mawardi: “ta’zir adalah
hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya
belum ditetapkan oleh syara’.
Ta’zir adalah hukuman yang tidak ada nash yang jelas dalam Al-Qur’an dan Al-
Hadits sehingga harus ditetapkan oleh pemerintah atau waliyul amri dengan cara
berijtihad. Semua ketentuannya dipulangkan kepada mereka untuk memberikan sanksi
atau hukuman kepada pelaku kejahatan yang dikenakan hukuman ta’zir. Penegakan suatu
hukum di sebuah Negara, khususnya Negara Islam, harus sesuai dengan kehendak syari’
sebagai penentu suatu hukum, yaitu Allah (SWT) dan Rasul-Nya Nabi Muhammad
(SAW). Ketika hukuman tersebut tidak disebutkan atau ditentukan oleh syari’, baik itu
dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka waliyul amri atau pemerintah sebagai
perpanjangan tangan atau khalifah Allah (SWT) dan Rasul-Nya, mereka harus
menetapkan hukum tersebut sesuai dengan kehendak syari’. sehingga hukum ini bisa
ditegakkan dengan sebenarnya dan bisa membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi
masyarakat pada umumnya dan bagi penganut agama Islam khususnya. selanjutnya
menjadi sebuah Negara yang berada dibawah naungan Allah dan Rasul-Nya, yaitu
Negara yang diridhai oleh keduanya, karena hukum yang detgakkan tersebut sesuai
dengan kehendaknya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa macam – macam dari hukuman Takzir?

4
2. Bagaimana pelaksanaan hukuman Takzir?
3. Apa saja sebab – sebab dihapusnya hukuman Takzir?

C. Tujuan
1. Menngetahui macam-macam dari hukuman Takzir
2. Memahami pelaksanaan hukuman Takzir
3. Mengetahui sebab-sebab dihapusnya hukuman Takzir

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Macam – Macam Hukuman Takzir


1. Jarimah takzir yang berkaitan dengan pembunuhan
Jarimah (tindak pidana) dalam islam diartikan sebagai suatu larangan syara’ yang
di ancam oleh Allah dengan hokum had (hukuman yang sudah ada nash-nya) atau
hukuman yang tidak ada nashnya.
Jarimah pembunuhan juga dapat diartikan sebagai suatu tindak pidana yang
melanggar syara’ karena pelanggaran hokum had atau takzir baik didahului dengan
unsur – unsur pembunugan sengaja dengan suatu perencanaan ataupun tidak di
dahului suatu perencanaan.1 Selain itu, pengertian jarimah pembunuhan dapat pula
diartikan sebagai tindak pidana pelanggaran terhadap syara’ karena baik pelanggaran
hokum had atau takzir yang diberikan sanksi bagi pembunuhan sengaja yaitu
pelakunya wajib dijatuhi hukuman qisash.2
2. Jarimah takzir yang berkaitan dengan perlukaan
Imam malik berpendapat bahwa takzir dapat dikenakan pada jarimah perlukaan
yang qishashnya dapat dihapuskan atau dilaksanakan karena sebab hukum. Adalah
sangat logis apabila sanksi takzir dapat pula dikenakan pada pelaku jarimah perlukaan
selain qishash itu merupakan sanksi yang diancamkan kepada perbuatan yang
berkaitan dengan hak perorangan maupun masyarakat. Maka kejahatan yang
berkaitan dengan jarimah dijatuhi sanksi takzir. Sudah tentu percobaan perlukaan
merupakan jarimah takzir yang diancam dengan sanksi takzir.
3. Jarimah takzir yang berkaitan dengan kejahatan kehormatan dan kerusakan akhlak
Berkenaan dengan jarimah ini yang terpenting adalah zina, menuduh zina dan
menghina orang. Diantara kasus perzinahan yang diancam dengan dengan hukuman
takzir yaitu perzinahan yang tidak memenuhi syarat untuk dijatuhi hukuman had atau
terdapat syubhat. Para ulama berbeda pendapat tentang menuduh zina dengan

1
Sofyan Maulana, Hukum Pidana Islam dan Pelaksanaan, (Jakarta: Rineka Cipta. 2004), hlm. 83
2
Moh Rodhi, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Umum di Indonesia, (Jakarta:
Bulan Bintang, 2006), hlm. 123.

6
binatang, homoseks dan lesbian. Menurut ulama hanafiyah sanksinya takzir, sedang
ulama yang menggunakan qiyas berpendapat bahwa sanksinya adalah had qodzaf
termasuk dalam hal ini percobaan menuduh zina.
4. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta
Jarimah yang berkaitan dengan harta diancam dengan hukuman had adalah
pencurian dan perampokan. Sebagai mana yang kita ketahui dan dengan perincian
yang jelas pula. Oleh karena itu, jelas bahwa pencurian atau perampokan yang tidak
memenuhi persyaratan untuk dijatuhi had, maka termasuk jarimah takzir, yang
diancam dengan hukuman takzir. Perbuatan maksiat yang termasuk jenis ini antara
lain adalah pencopetan, percobaan pencurian, mengambil harta yang tidak bergerak
(ghabsah), penculikan anak dan perjudian.
Dikalangan ulama ada pula hal-hal yang diperselisihkan. Misalnya pencurian
mayat, pencurian anjing, pencurian alat-alat kesenian, pencurian atas buah - buahan
yang masih ada dipohonnya, pencurian atas harta di bayt-almal,pencurian dalam
keluarga, pemalsuan uang atau surat-surat berharga, penghiatan atas amanat (barang
titipan) dan pencurian yang tidak mencapai nisab.
Dalam kasus-kasus tersebut diatas, tidak selamanya para ulama sepakat
mengkategorikan sebagai jarimah takzir akan tetapi, kecenderunagan jumhur
memasukkannya ke dalam jarimah takzir, selain itu saksi dijatuhkan atas pencurian
yang hilang anggota badannya yang hendak dipotong. Begitu juga pencurian untuk
yang kelima kalinya.
Kasus perampokan dan gangguan keamanan yang tidak memenuhui persyaratan
hirabah juga termasuk jarimah takzir ada pula jarimah takzir yang berupa ganguan
stabilitas ummat, seperti percobaan memecah belah ummat, sebservasi, dan tidak taat
kepada pemerintah.
5. Jarimah takzir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu.
Suap diharamkan di dalam al-Qur‟an dan al-Hadis. Allah berfirman dalam Q.S.
al-Maidah yang artinya : “Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak
memakan (makanan) yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu
(Muhammad untuk meminta putusan), maka berilah putusan di antara mereka atau
berpalinglah dari mereka, dan jika engkau berpaling dari mereka maka mereka tidak

7
akan membahayakanmu sedikit pun. Tetapi jika engkau memutuskan (perkara
mereka), maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang adil”.

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “akkaluna lissuhti”


adalah memakan hasil suap. Nabi SAW bersabda :“Dari Abdullah Ibnu Umar, beliau
berkata bahwa Rasulullah SAW telah melaknat orang yang menyuap dan menerima
suap” (H.R. Abu Dawud).

6. Jarimah takzir yang berkaitan dengan keamanan dan kestabilan pemerintah


Para Ulama memberi contoh seorang hakim yang dholim menjatuhkan hukuman
kepada orang yang tidak terbukti bersalah. Hakim seperti itu menurut mereka dapat
diberhentikan dengan tidak hormat bahkan diberi sanksi takzir. Begitu juga pegawai
yang meninggalkan pekerjaan tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh hukum juga
dapat dikenai sanksi takzir sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Selain itu jarimah takzir yang berkaitan dengan kepentingan umum juga yang
berkenaan langsung dengan masalah ekonomi seperti penimbunan barang untuk
kepentingan pribadi atau mempermainkan harga bahan pokok karena hal itu
bertentangan dengan maqasid al-syari‟ah. Selanjutnya akan dibahas tentang takzir
keamanan dan kesatabilan pemerintah secara spesifik sebagai berikut :
a) Spionase
Al-Quran melarang adanya spionase untuk kepentingan negara musuh.
Allah berfirman: yang artinya : “hai orang – orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan pra – sangka (kecurigaan), karena sebagian dari pra sangka itu
dosa. Dan janganlah mencari – cari keburukan orang dan janganlah mencari –
cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah
seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada
allah. Sesungguhnya allah maha penerima taubat lagi maha penyayang” (Qs
Al – Hujurat : 12)

Jadi, berdasarkan ayat-ayat di atas tindakan intelejen dari Negara musuh


memata-matai negera kita adalah suatu maksiat dan termasuk jarimah takzir.

8
b) Jarimah yang berkaitan dengan percobaan Coup De Ektat, termasuk Subversi
Semuanya adalah jarimah takzir. Sedang pemberontakkan yang memenuhi
syarat-sayarat termasuk jarimah hudud, sebagaimana telah dijelaskan dimuka.
c) Segala Tindakan Kekurangan disiplinan Aparatur Perintah
Para ulama member contoh seorang hakim yang zalim menjatuhkan
hukuman kepada orang tidak terbukti bersalah, hakim seperti ini menurut
mereka dapat diberhentikan dengan tidak hormat, bahkan sanksi takzir.
Contoh lain adalah pegawai yang meninggalkan pekerjaan atau menolak
melakukan tugas tanpa alas an yang dapat dibenarkan secara hukum. Pegawai
yang demikian jauga dapat diikenakan sanksi takzir sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
Untuk masalah ketidakdisiplinan dan penyelewengan aparatur pemerintah
ini zaman daulah Abbasyiah diadili oleh badan yang disebut dengan wilayatul
mazhalim.3Badan ini bertugas mengadili aparatur pemerintah yang
menyeleweng atau berbuat kezaliman terhadap rakyat, bahkan juga mengadili
orang-orang penting, seperti anak-anak raja, para menteri, para gubernur dan
para hakim. Disamping itu para ulama member contoh jarimah takzir yang
berupa penghinaan terhadap aparatur pemerintah dan para pejabat
pemerintah, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.

B. Perbuatan yang dihukum dengan hukuman takzir


Jarimah takzir adalah suatu jarimah yang hukumannya diserahkan kepada hakim
atau penguasa. Hakim dalam hal ini diberi kewenangan untuk menjatuhkan hukuman
secara umum suatu kejahatan yang dapat digolongkan dalam hukuman takzir adalah
segala bentuk perbuatan yang mengandung unsur pelanggaran terhadap jiwa, harta
kehormatan, akal atau agama yang tidak diancam dengan hukuman hadd. Tindakan -
tindakan tersebut mencakup semua kejahatan baik meninggalkan kewajiban keagamaan
maupun keduniawian ataupun melakukan perbuatan yang diharamkan dan dilarang secara
syara’ demi kemaslahatan umum atau khusus.4

3
Salam Madkur, Al-qadla fi al- Islam,….hlm.141.
4
Waahbah Az-Zuhaili, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani, hlm. 290.

9
Kriteria orang yang melakukan kejahatan-kejahatan yang berhak mendapat
hukuman takzir yaitu:
1. Orang yang melakukan kemungkaran (yang tidak diancam dengan hukuman
hadd)
2. Menyakiti atau mengganggu seorang muslim maupun non muslim tanpa alasan
yang dibenarkan baik berupa ucapan, perbuatan maupun menggunakan isyarat
dengan mata maupun tangan.5
Sumber utama rujukan hakim dalam menetapkan suatu kejahatan adalah syari’at
bukan akal dan kecendrungan pribadi. Dalam menetapkan suatu tindakan sebagai
kejahatan, hakim pengadilan harus berpedoman pada perintah-printah syari’at dan
larangan-larangannya yang terdapat dalam Al – qur’an dan As-sunnah, serta
memanfaatkan hasil ijtihad sebagai jalan penunjukknya. Jika tidak terdapat dalam Al –
qur’an dan As-sunnah inilah yang kemuadian diberi kewenangan kepada penguasa untuk
menetapkannya dan hakim harus mengikuti penetapan tersebut.
Hukum syari’at selalu dilandasi prinsip menjaga kemaslahantan umum dan
menolak kemudharatan berskala umum. Jika tidak ada kemudharatan yang berskala
umum harus ditolak maka yang dipertimbangkan adalah kemaslahan individu tanpa
merugikan atau membahayakan orang lain. Abdul Qadir Audah membagi hukuman takzir
kepada tiga bagian yaitu:
1. Hukuman takzir atas perbuatan maksiat.
2. Hukuman takzir dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum.
3. Hukuman takzir atas perbuatan-perbuatan pelanggaran (mukhalafah).
Hukum takzir atas perbuatan maksiat.6 menurut para ulama baru dapat dikenakan
hukuman takzir jika perbuatan maksiatnya tidak dikenakan hukuman hadd dan tidak pula
kifarat, baik perbuatan maksiat itu menyinggung hak Allah (hak masyarakat) atau
menyinggung hak adami (individu). Sifat yang dijadikan alasan (Illat) untuk menetapkan
hukuman takzir adalah adanya unsur merugikan kepentingan atau ketertiban umum. Agar
unsur tersebut terpenuhi, maka ada dua hal yang harus terpenuhi:

5
Ibnu Abidin, Haasyiyah Radd al - Durr al-Mukhtar Juz 3 karya alHashafaki, (Mesir: al Babal-Halabi), hlm, 195-196.
6
Maksiat adalah melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang
diwajibkan.

10
1. Ia telah melakukan perbuatan yang mengganggu kepentingan dalam ketertiban
umum.
2. Ia berada dalam kondisi yang mengganggu kepentingan dan ketertiban umum.
Sesuatu perbuatan dapat dipandang sebagai jarimah jika memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut :
1. Unsur formal
2. Unsur material
3. Unsur moral
Dapat dipandang sebagai jarimah takzir jika merugikan pelakunya atau orang lain.
Mengenai ancaman hukumannya ditentukan dengan besar kecilnya kerugian masyarakat
sebagai akibat dari jarimah yang dilakukan, dan dapat pula ditentukan oleh penguasa.
Macam-macam jarimah takzir (kejahatan yang diancam hukuman takzir) antara lain: riba,
menyuap, berjudi, pelanggaran lalu lintas, menipu takaran/timbangan, pelanggaran
terhadap peraturan bea cukai. Percobaan melakukan jarimah (kejahatan) sudah termasuk
jarimah takzir.7
Dapat juga dikatakan bahwa takzir adalah suatu jarimah yang diancam dengan
hukuman takzir (selain hadd dan qishash), pelaksanaan hukuman takzir, baik yang jenis
larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah
atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa. Hukuman
dalam jarimah takzir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya artinya untuk menemukan
batas tertinggi dan terendah diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan
demikian syari’at mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk – bentuk dan
hukuman kepada pelaku jarimah.

C. Pelaksanaan hukuman takzir


Pelaksanaan hukuman takzir menjadi hak penguasa Negara dan Wakil yang
ditunjuk, atau Hakim, karena pemerintah atau hakim yang mempunyai tugas itu,
mempunyai pengetahuan tentang itu, mempunyai pengalaman melaksanakan itu,
sehingga dikatakan pelaksanaan hukuman takzir di tangan pemerintah atau di tangan
hakim. Itulah sebabnya dikatakan jarimah takzir merupakan kewenangan Hakim. Karena

7
M. Budiarto, K. Wantjik Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, cetakan kedua,
1982), hlm. 25.

11
hakimlah menentukan suatu masalah yang diajukan kepada dan dia yang menetapkan
masalah itu bisa masuk ranah hukum atau tidak. Disamping itu Hukuman takzir juga
disebut hak masyarakat sehingga hukuman ini bisa dilaksanakan oleh wakil rakyat.
Hakim dalam melaksanakan hukuman takzir lebih dominan adalah ijtihad hakim terhadap
pelaksanaan kejahatan yang dilakukan oleh seorang penjahat, maka hakimlah yang
menentukan hukumannya.
bila dalam pelaksanaan itu menghilangkan nyawa seseorang, maka dia dianggap
sebagai pembunuh. Maka, selain penguasa atau wakilnya tidak boleh melaksanakan
hukuman takzir yang menghilangkan nyawanya. Adapun perbedaan antara hukuman
hudud dan hukuman takzir yang menghilangkan nyawa adalah hukuman hudud tidak bisa
gugur, dimaafkan atau ditunda pelaksanaannya. Artinya hukuman hudud adalah hukuman
yang pasti dan jelas dalam Al-Qur’an, sedangkan hukuman takzir tidak pasti dan tidak
ada dalam Al-Qur’an dan al-hadis secara pasti. Dengan demikian hukuman takdir adalah
hak Hakim, atau penguasa, berarti berat ringannya hukuman takzir tergantung dari hakim.
Syarbini Chatib (T.hn) mengemukakan beberapa peristiwa gabungan yang bisa
digolongkan pada jarimah takzir.
1) Merusakan puasa dalam bulan Ramadhan dengan menyetubuhi istri atau
hamba, maka wajib atasnya takzir dan Kaffarah.
2) Orang yang mensihir istrinya, wajib baginya takzir dan Kaffarah.
3) Membunuh oleh asal terhadap cabang, diwajibkan takzir.
4) Sumpah palsu, wajib takzir dan Kaffarah.
5) Tambahan hukuman empat puluh kali sesudah deraan yang keempat puluh
pada pemimun khamar, adalah hukuman takzir.
6) Jika seorang bersetubuh dalam ka’bah dan ia puasa dalam bulan Ramadhan,
dan sedang ber’itikaf, maka ia dikenakan hukuman had karena berzina, dan
dihukum takzir oleh karena memutuskan tali kehormatan, dan oleh karena
merusak kehormatan ka’bah.
7) Jika pencuri dipotong tangannya maka ia juga dikenakan takzir. Dengan
menggantungkan tangannya sudah dipotong pada lehernya.

12
D. Sebab – sebab hapusnya hukuman takzir
Pembatalan hukuman adalah tidak dapat dilakukannya suatu putusan pengadilan
yang telah dijatuhkan berkenaan berbagai sebab, baik sebab itu pada diri terhukum
maupun usaha- usaha terhukum, atau berkaitan dengan masalah waktu hukuman. Dalam
hal ini, terdapat perbedaan antara terhapusnya hukuman dengan pembatalan hukuman.
Pada terhapusnya hukuman, tidak terdapat pertanggung jawaban pidana, karena
perkaranya tidak diproses sehingga tidak ada keputusan hakim. Adapun pada pembatalan
hukuman, pertanggung jawaban pidana itu ada dan telah diproses di pengadilan sehingga
terdapat keputusan hakim. Namun karena sebab- sebab seperti tersebut di atas, keputusan
tersebut tidak dapat dilaksakan kepada terhukum.8
Berikut ini beberapa hal atau perbuatan yang menyebabkan terjadinya gugurnya
hukuman:9
1) Meninggalnya si pembuat jarimah. Hukuman mati yang ditetapkan kepada si
pelaku menjadi batal pelaksanaannya bila si pelakunya meninggal. Namun,
hukuman yang berupa harta seperti denda, diyat dan perampasan harta dapat
terus dilaksanakan.
2) Hilangnya anggota badan yang akan dijatuhi hukuman. Dalam kasus jarimah
qishash, hukuman berpindah kepada hukuman diyat.
3) Bertobat,menurut para ulama tobat ini hanya ada pada jarimah hirabah.Namun
mereka juga memberikan keleluasaan bagi ulil amri untuk memberikan sanksi
takzir demi kemaslahatan umum.
4) Korban (dalam hal masih hidup) dan wali/ahliwaris (dalam halkorban mati),
memaafkannya (dalam qishash-diyat) ataupun ulul amri dalam kasus ta’zir
yang berkaitan dengan hak perseorangan.
5) Adanya upaya damai antara pelaku dengan korban atau wali/ahli warisnya
dalam kasus jarimah qishash/diyat.

Berbeda dengan hapusnya hukuman karena sebab-sebab tersebut maka yang


dimaksud dengan gugurnya hukuman disini adalah tidak dapat dilaksanakannya
hukuman-hukuman yang telah dijatuhkan atau diputuskan oleh hakim. Dalam kaitan

8
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004
9
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah) untuk IAIN,STAIN,PTAIS, Bandung: Pustaka Setia,2000

13
dengan hapusnya hukuman karena keadaan pelaku, hukuman tidak dijatuhkan karena
kondisi psikis dari pelaku sedang terganggu, misalnya karena gila, dipaksa, mabuk, atau
masih dibawah umur.10
Asbab raf’ al uqubah atau sebab hapusnya hukuman, tidak mengakibatkan
perbuatan yang dilakukan itu diperbolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang.
Hanya saja oleh karena keadaan pelaku tidak memungkainkan dilaksanakannya
hukuman, ia dibebaskan dari hukuman. Diantara sebab-sebab hapusnya hukuman ini ada
empat macam yaitu 11:
1) Paksaan (al ikrah)
Paksaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang karena
orang lain, dan oleh karena itu hilanglah kerelaannya atau tidak sempurna
pilihannya. Atau paksaan adalah suatu perbuatan yang timbul dari orang yang
memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang
mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan yang dimintakan kepadanya.
Atau paksaan adalah ancaman oleh seseorang atas orang lain dengan sesuatu
yang tidak disenangi untuk mengerjakan sesuatu sehingga karenanya hilang
kerelaannya
2) Mabuk (al sukru)
Secara umum yang dimaksud dengan mabuk adalah hilangnya akal
sebagai akibat minum minuman keras atau khamar atau yang sejenisnya.
Muhammad ibn Hasan dan Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa orang
mabuk itu adalah orang yang banyak mengigau pada pembicaraannya. Alasan
mereka ini didasarkan pada firman Allah dalam Surah An-Nisa’ ayat 43. “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…”
3) Gila (al jununu)
Secara umum dan luas, gila memiliki pengertian hilangnya akal, rusak
atau lemah. Definisi tersebut merupakan definisi secara umum dan luas,
sehingga mencakup gila (junun), dungu (al-‘ithu), dan semua jenis penyakit
kejiwaan hyang sifatnya menghilangkan idrak (kemampuan berfikir).
10
Satochid Kartanegara, Kumpulan Kuliah Hukum Pidana, Balai Lektur, Jakarta, 1988
11
A.Djajuli, Fiqih Jinayah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996

14
Beberapa jenis penyakit, baik yang menghilangkan seluruh kekuatan berpikir
maupun sebagiannya. Gila dan keadaan-keadaan lain yang sejenis:
a. Gila terus menerus
b. Gila berselang
c. Gila sebagian
d. Dungu (al – ithu)
e. Di bawah umur (shighar assinni)
4) Dibawah umur
Sama seperti orang yang gila anak dibawah umur juga tidak dapat dijatuhi
sanksi pidana dikarenakan tidak terdapat dua perkara kepadanya, yaitu
kemampuan berpikir dan kemampuan memilih (idrak dan ikhtiar). Oleh
karena itu anak yang masih dibawah umur tidak dikenakan pertanggung
jawaban pidana yang semestinya.

Dari uraian diatas dapat kita pahami bahwa seseorang dikenakan pertanggung
jawaban pidana didasarkan pada dua hal yaitu kemampuan berpikir dan kemampuan
memilih. Sedangkan orang yang melakukan tindak pidana dalam keadaan terpaksa tidak
dapat dijatuhi sanksi pidana dikarenakan tidak adanya niat murni dari si pelaku tindak
pidana, sedangkan orang yang melakukan tindak pidana dalam keadaan mabuk tidak
dapat dijatuhi sanksi pidana dikarenakan berkurangnya kemampuan akal untuk mencerna
sesuatu yang ia lakukan dan ia katakan, seseorang yang melakukan tindak pidana dalam
keadaan terganggu kejiwaannya tentu tidak dapat dijatuhi sanksi pidana dikarenakan
tidak terdapat dua perkara kepadanya yaitu kemampuan berpikir dan kemampuan
memilih (idrak dan ikhtiar), sedangkan seorang anak yang masih dibawah umur tidak
dikenakan pertanggung jawaban pidana didasarkan atas tidak terdapat dua perkara
kepadanya yaitu kemampuan berpikir dan kemampuan memilih (idrak dan ikhtiar).

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ta’zir menurut bahasa berasal dari kata: azzara yang mempunyai persamaan kata
dengan mana’a waradda yang artinya mencegah dan menolak addaba yang artinya
mendidik azzama wa waqqara yang artinya mengagunkan dan menghormati dan a’ana
wa qawwa wa nasara yang artinya membantunya, menguatkan dan menolong.
Adapun kemudian mengenai bentuk hukuman-hukuman ta'zir banyak jumlahnya,
yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi
wewenang untuk memilih diantara hukuman hukuman tersebut, yaitu hukuman yang
sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya.
Menurut mazhab Hanafi penerapan sanksi ta zir itu diserahkan kepada Ulul Amri
termasuk batas minimal dan maksimalnya. Dalam hal ini harus tetap dipertimbangkan
variasi hukumannya sesuai dengan perbedaan jarimah dan perbedaan pelakunya.
Perbedaan jarimah dalam kaitannya dengan penerapan sanksi ta'zir artinya bahwa sanksi
itu harus disesuaikan dengan jarimah yang dilakukan terhukum.

B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun masih sangat jauh dari
katasempurna, untuk itu kami mohon pada teman-teman sekalian untuk memberikan
kritik dan saran untuk kami. Setidaknya menjadikan contoh untuk memperbaiki makalah
atau bentuk karya ilmiah lainnya. Sekian dan terima kasih.

16
DAFTAR PUSTAKA
Audah, A. A.-Q. (n.d.). At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamy, Juz 1.

Muslich, D. H. (2005). Hukun Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004)

A.Djajuli, Fiqih Jinayah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996)

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah) untuk IAIN,STAIN,PTAIS, (Bandung:
Pustaka Setia,2000)

Satochid Kartanegara, Kumpulan Kuliah Hukum Pidana, Balai Lektur, Jakarta, 1988

M, Budiarto, dan Wantjik Saleh. K, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, cetakan kedua,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Az-Zuhaili, Waahbah. Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu tentang Sistem Ekonomi Islam, Pasar Keuangan, Hukum Hadd Zina, Qadzf,
Pencurian, Jilid 7, Jakarta: Darul Fikir, 2011

Djazuli, H.A., Fiqh Jinayah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Ahmad Sarwat, Lc.com, Artikel, Perbedan Hukum takzir Dengan Hukum Hudud, 4 Juni 2014,
diakses tgl 10 Februari 2015, Pukul 10.00 wib.

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2003

17

Anda mungkin juga menyukai