JARIMAH TA’ZIR
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan bagi pembaca
dalam membahas permasalahan tentang JARIMAH TA’ZIR dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN.............................................................................
Latar Belakang......................................................................................
Rumusan Masalah.................................................................................
Tujuan Penulisan..................................................................................
BAB II : PEMBAHASAN
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
BAB I
A. Pendahuluan
a. Latar belakang
Pembahasan
Dapat dijelaskan bahwa dijelaskan ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman
atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’,
dikalangan para fuqoha jarimah yang hukumannya belum di tetapkan oleh
syara’ disebut dengan jarimah ta’zir. Dapat dipahami juga bahwa jarimah ta’zir
terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak di kenakan hukuman had
dan tidak pula kifarat. Jadi,hukuman ta’zir tidak mempunyai batas-batas
hukuman tertentu, karena syara’ hanya menyebutkan sekumpulan hukuman,
mulai dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya. Dengan kata
lain, hakim yang berhak menetukan macam tindak pidana beserta hukumannya,
karena hukumannya belum di tentukan oleh syara’
3. Aturan hukum pidana islam yang paling fleksibel terdapat pada jarimah
ta’zir, Pada kategori jarimah ini, baik kriminalisasi suatu perbuatan maupun
hukumannya diserahkan kepada Hakim. Jadi ta’zir merupakan hukuman bagi
perbuatan pidana (jarimah) yang tidak ada ketetapannya nas tentang hukumnya.
4. Jika dilihat dari eksistensinya jarimah ta’zir sama dengan jarimah hudud,
karena keduanya sama-sama sebagai pengajaran (al-ta’lib) untuk mencapai
kemaslahatan dan sebagai tindakan preventif yang macam hukumnya berbeda-
beda sesuai jenis perbuatan dosaatau tindak pidana yang dilakukan. Jika pada
jarimah hudu sudah ditentukan secara pasti dan jelas hukuman-hukumannya,
dan tidak bisa dirubah atau diganti, sedangkan pada jarimah ta’zir belum
ditentukan hukumannya.
Dapat dijelaskan bahwa dari hak yang dilanggar, jarimah ta’zair dapat
dibago kepada dua bagian, yaitu
Dari segi sifatnya, jarimah ta’zir dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu
Di samping itu, dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat
di bagi menjadi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran
disiplin pegawai pemerintah.
Dalam ta’zir, hukuman itu tidak ditetapkan dengan ketentuan (dari Allah dan
rasulnya), dan Qodhi diperkenankan untuk mempertimbangkan baik bentuk
hukuman yang akan dikenakan kadarnya.
Melukai atau penganiayaan bisa sengaja, semi sengaja, dan kesalahan.
Dalam hal ini para ulama membaginya menjadi lima macam, yaitu:
5. Pelukaan yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari empat jenis pelukaan
di atas.
2. Hukuman mati
5. Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang
pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalau kecil) atau
tongkat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh imam Ibn Taimiyah,
dengan alas an karena sebaik-baiknya perkara adlah pertengahan.
6. Apabila orang yang dihukum ta’zir itu laki-laki maka baju yang
menghalanginya sampainya cambuk ke kulit harus dibuka. Akan tetapi,
apabila orang terhukum itu seorang perempuan maka bajunya tidak
boleh dibuka, karena jika demikian akan ternukalah auratnya.
a) Hukuman penjara
b) Hukuman pengasingan
. أوF أن يقتلوا أو يصلبواFإنما جزاء الذين يحاربون هللا ورسوله ويسعون في األرض فسادا
تقطع أيديهم
. وأرجلهم من خالف أو ينفوا من األرض ذلك لهم خزي في الدنيا ولهم في اآلخرة عذاب
عظيم
Yang artinya :
a. Status hukumannya
Peringatan keras
Di beri nasehat
Celaan
Pengucilan
Pemecatan
Penecualian dalam tanggung jawab hukuman, Ali bin Abi thalib berkata
kepada Umar bin Khattab : “apakah engkau tahu bahwa tidaklah di catat
perbuatan baik atau buruk, dan tidak pula dituntut tanggung jawab atas apa
yang dilakukan, karena hal berikut:
وإذا جاءتهم آية قالوا لن نؤمن حتى نؤتى مثل ما أوتي رسل هللا هللا أعلم حيث
يجعل رسالته سيصيب الذين أجرموا صغار عند هللا وعذاب شديد بما كانوا
يمكرون
"Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: "Kami tidak
akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang
telah diberikan kepada utusan-utusan Allah." Allah lebih mengetahui di mana
Dia menempatkan tugas kerasulan. Orang-orang yang berdosa, nanti akan
ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu
membuat tipu daya.” (Q.S Al-An’am: 124)
Tanggung jawab bersama itu hanya akan dipikul oleh keluarga tersebut
dalam hal pembayaran hutang darah (Diyat) atau kerusakan karena suatu
kejahatan. Dalam hal ini, si pelaku, demikian pula kerabatnya dari pihak ayah,
secara bersama akan bertanggung jawab untuk membayar “Diyat” (hutang
darah) atau kerusakan fisik yang diakibatkan oleh kejahatannya.
Hakim menahan sebagian harta si terhukum selama waktu tertentu, sebagai pelajaran
dan upaya pencegahan atas perbuatan yang dilakukannya, kemudian
mengembalikannya kepada pemiliknya apabila ia telah jelas taubatnya, dari
pengertian ini pula Ahmad Mawardi Muslich memberikan kesimpulan ´...bahwa
hukuman ta‟zir dengan mengambil harta itu bukan berarti mengambil harta pelaku
untuk diri hakim atau untuk kas umum (negara), melainkan hanya menahannya untuk
sementara waktu´. Adapun apabila pelaku tidak bisa di harapkan untuk bertobat
maka hakim dapat mentasaruf-kan harta tersebut untuk kepentingan yang
mengandung maslahat”.
Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili, “yang dimaksud hukuman ta‟zir dengan cara
mengambil harta orang yang dihukum berdasarkan pendapat ulama yang
memperbolehkannya adalah, menyita sementara sesuatu dari harta orang yang
dihukum, supaya ia jera dan tidak mengulangi kembali kesalahannya, untuk kemudian
hakim mengembalikan lagi harta yang disita itu kepadanya, bukan disita lalu
digunakan sendiri oleh hakim atau dimasukkan ke dalam baitul maal”.
Melihat dari kedua pengertian di atas, antara keterangan yang dikemukakan oleh
Ahmad Mawardi Muslich dengan Wahbah Zuhaili terdapat persamaan pendapat,
maka yang dimaksud hukuman tazȋr bil mȃl (t à zȋr dengan cara mengambil harta)
orang yang dihukum adalah, menyita sementara sesuatu dari harta orang yang
dihukum, dengan tujuan supaya ia jera dan tidak mengulangi kembali kesalahannya,
untuk kemudian hakim mengembalikan lagi harta yang disita itu kepadanya, bukan
disita lalu digunakan sendiri oleh hakim atau dimasukkan ke dalam baitul mȃl
sebagaimana yang di persepsikan oleh pihak-pihak yang berlaku zalim. Karena tidak
boleh bagi seorang pun mengambil harta orang lain tanpa berdasarkan sebab yang
legal. Oleh karena itu maksud dan tujuan hukuman (t z̀ ȋr dengan harta) adalah untuk
menghukum pelaku tindak pidana (jarȋmah), supaya ia jera dan tidak mengulangi
kembali kesalahannya.
Macam atau bentuk hukuman tazȋr bil mȃl (t̀zȋr dengan harta) terbagi kedalam
tiga macam:
1. Al-Itlaaf Al-Itlaf adalah sanksi atau ta‟zir bil mal dengan cara merusak
objek-objek kemungkaran berupa benda dan sifat, seperti merusak bahan-bahan
patung dengan cara memecahkannya dan membakarnya, menghancurkan alat-
alat malaahi. memecahkan dan merobek wadah tempat minuman keras,
membakar kedai penjualan minuman keras, dan lain sebagainya. Hal ini
berdasarkan praktik yang pernah dilakukan oleh Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib
r.a yang pernah membakar suatu perkampungan yang menjajakan minuman
keras, karena tempat penjualan minuman keras sama seperti wadahnya. Juga
seperti praktik Khalifah Umar Ibnul Khaththab r.a yang menumpahkan susu
yang dijual yang telah dicampur dengan air.
2. At-Taghyiir At-Taghyiir adalah sanksi atau ta‟zir bil mal dilakukan dengan
cara mengubah barangnya, seperti larangan Rasulullah saw. Memecahkan
logam mata uang yang laku dan beredar diantara kaum muslimin, seperti dinar
dan dirham, kecuali jika pada logam dinar atau dirham itu terdapat suatu
masalah (seperti palsu, tidak murni, campuran), jika pada pada logam mata
uang dinar atau dirham itu terdapat suatu masalah, logam mata uang itu
dipecah.
3. At-Tamliik At-Tamliik adalah sanksi atau ta‟zir bil mal dengan melipat
gandakan denda, Seperti apa yang diriwayatkan oleh abu daud dan para pemilik
kitab hadits as-Sunan lainya dari Rasulullah saw. tentang seseorang yang
mencuri dari buah yang masih tergantung dipohonnya sebelum diletakkan di
dalam keranjang, bahwa ia dihukum cambuk dan didenda dua kali lipatnya.
Juga tentang seseorang yang mencuri binatang ternak sebelum di masukkan ke
dalam kandangnya, bahwa ia di hukum cambuk dan didenda dua kali lipatnya.
Begitu pula, keputusan hukum Umar Ibnul Khaththab r.a terkait masalah
dhaallah (binatang yang hilang lari dari pemiliknya) yang disembunyikan,
bahwa orang yang menyembunyikannya didenda dua kali lipat.
Melihat dari macam atau bentuk sanksi (tazȋr dengan harta) yang di kemukakan
oleh Ibnu Taimiyah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bentuk sanksi
(hukuman) tersebut merupakan sanksi (hukuman) yang berhubungan dengan
penegak kan syari’at, ada pun penghancuran tempat maksiat atau alat malȃhi
tidak di kategorikan sebagai penjarahan atau merugikan salah satu pihak
melainkan menegak kan syari’at pula. Sedangkan menurut ibnul qoyyim ada
dua macam bentuk sanksi denda:
a. Sanksi denda yang madhbuuth (yang sudah pasti kadar ukuraannya), yaitu
Sanksi denda yang sebanding dengan sesuatu yang di rusakkan, adakala nya
menyangkut hak Allah swt, Seperti membinasakan (membunuh) binatang
buruan pada saat sedang dalam status ber ihram. Hal ini sesuai dengan firman
Allah swt dalam Al-Qur‟an yang artinya:
Jadi secara garis besar bahwa yang di maksud dengan bentuk hukuman ta„zȋr
bil mȃl (sanksi denda), yaitu hukuman (sanksi) bertujuan untuk menegakkan
syari‟at dengan cara mengambil harta, yang di pandang menurut syari’at harta
tersebut tidak ada nilai nya, atau tidak mutlak merugikan salah satu pihak
berdasarkan cara yang ilegal. Adapun ukuran ketentuan hukuman tersebut
belum ada keterangan yang pasti maka hal itu di serahkan sepenuh nya kepada
kebijakan dan ijtihȃd Hakim (ulil amri). Meskipun demikian Hakim (ulil amri)
pun harus berbuat adil, tidak boleh sewenang-wenang dalam memetuskan
perkara yang di serahkan kepadanya. Hal ini berdasarkan firman Allah yang
artinya:
Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu. (Q.S. Al-Maidah: 48)
Para ulama berbeda pendapat tentang dibolehkan atau tidaknya hukuman ta„zȋr
dengan cara mengambil harta dari pelaku jarȋmah (tindak pidana). Meskipun
demikian berdasarkan pendapat yang rȃjih menurut para imam, tidak boleh
meng hukum tazȋr dalam bentuk pengambilan (penyitaan, perampasan) harta,
karena hal itu, memberikan peluang kepada orang-orang zalim untuk
mengambil dan merampas harta orang-orang lalu menggunakannya untuk
kepentingan dirinya sendiri. Oleh karena itu hukum ta„zȋr dalam bentuk
pengambilan (penyitaan, perampasan) harta ini terbagi menjadi dua pendapat:
1. Berdasarkan pendapat yang dikutip dari Sarhan bin Ghozai Al-„Utaibi yang
mengemukakan; “Bahwa hukum ta„zȋr dalam bentuk pengambilan harta di
bolehkan. Ini berdasarkan pendapat yang di kemukakan oleh Abu Yusuf dari
ulama Hanafiyyah serta dalam madzhab Imam Malik dan salah satu dari dua
qoul (qoulu al-qodȋm( imam Syafi‟i.
Dari Bahz Ibn Hakim dari ayah nya dari kakek nya, telah bersabda Rasulullah
saw. “Pada tiaptiap onta yang cari makan sendiri, yaitu pada empat puluh,
(zakatnya) satu bintun labun. Tidak boleh di pisahkan onta dari perhitungannya.
Barang siapa memberi (zakat) itu mengharap karena ganjaran, maka ia dapat
ganjarannya; dan barang siapa enggan mengeluarkannya maka sesungguhnya
kami akan ambil dia beserta separoh dari hartanya sebagai perintah keras dari
perintah-perintah tuhan kami. Tidak halal bagi keluarga Muhammad
daripadanya walaupun sedikit. )
H.R. Ahmad dan Abu Dawud, dan Nasa‟i, dan dishahihkan oleh Hakim, dan
Syafi‟i menggantungkan fatwa dengannya atas (syarath) shahnya)
Pada dasarnya hadist tersebut di atas adalah salah satu hadist yang dijadikan
sebagai dalil/rujukan para ulama yang memperbolehkan penerapan hukuman
ta„zȋr bil mȃl, yaitu merupakan hadist Rasul yang memberikan maklumat
tentang hukuman ta‟zir terhadap orang yang tidak mau membayar zakat,
dengan cara mengambil sebagian dari harta si pelanggar (pelaku tindak pidana).
“Bahwa sebagian dari ulama Hanafiyah membolehkan hukuman ta„zȋr bil mȃl,
dengan ketentuan apabila pelaku jarȋmah (tindak pidana) itu bertaubat, maka
Hakim (ulil amri) harus mengembalikan lagi harta yang di ambilnya itu kepada
pelaku jarȋmah tersebut”.
Pendapat yang kedua ini di kutip dari keterangan Ahmad Mawardi Muslich
dalam bukunya yang menerangkan. “Bahwa menurut Imam Abu Hanifah,
hukum tazȋr dengan cara mengambil harta tidak dibolehkan. Pendapat ini di
ikuti oleh muridnya, yaitu Muhammad Ibn Hasan.
Kemudian menurut jumhȗr ̀ulamȃ dari ashhab empat madzhab, juga sepakat
tidak memperbolehkan secara mutlak hukum tazȋr bil mȃl (hukum tazȋr dengan
cara mengambil harta). Karena tidak boleh bagi seorang mengambil harta orang
lain tanpa berdasarkan sebab yang legal, hal ini merupakan perbuatan zalim
atau bathil. Rasullah saw, juga bersabda dalam hadist-Nya;
Artinya: Dari Abi Bakarat bahwasannya Nabi saw. telah bersabda dalam
khutbahnya di Hari Qurban di Minȃ : “Bahwasanya darah kamu dan harta kamu
harȃm atas kamu sebagaimana harȃmnya hari kamu ini di bulan kamu ini di
negeri kamu ini”. (H.R. Muttafaq „alaih).
Artinya: Dari Abi humaid As-Sa‟idi, ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw.:
“tidak halal seorang mengambil tungkat saudaranya dengan tidak ridlȃnya”.
(H.R. Ibnu Hibbȃn dan Hȃkim di-(kitab) shahih keduanya).
Begitu juga menurut Sayyid Abdurrahman bin Muhammad, “Bahwa tazȋr bil
mȃl atau menghukum dengan cara mengambil harta tidak di perbolehkan,
walaupun demikian bagi penghukum (hakȋm, ulil amri) yang mengambil harta
tersebut tidak dapat dikatakan kafir atas perbuatanya”.
BAB III
Penutup
a. Simpulan
Penutup
Alhamdulillah, Demikian makalah ini yang telah kami buat dan kami
paparkan, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. maka
dari itu kritik dan saran dari teman-teman sangat kami harapakan. Semoga
makalah ini bisa bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi pemakalah
khusunya dan bagi para pembaca pada umumnya. Amiin
Daftar pustaka