Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

JARIMAH TA’ZIR

Disusun untuk memenuhi tugas :

Mata kuliah : Fiqih Jinayah

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan bagi pembaca
dalam membahas permasalahan tentang JARIMAH TA’ZIR dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Bogor, 16 Desember 2021


Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................

DAFTAR ISI....................................................................................................

BAB I : PENDAHULUAN.............................................................................

Latar Belakang......................................................................................
Rumusan Masalah.................................................................................
Tujuan Penulisan..................................................................................

BAB II : PEMBAHASAN

Penegrtian jarimah tazir ……………………………………………….

Macam-macam jarimah tazir…………………………………………….

Hukum jarimah tazir……………………………………………………..

Pengecualian/orang yang tidak dapat di hukum ta’zir…………………..

BAB III : PENUTUP......................................................................................

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
BAB I

A. Pendahuluan

a. Latar belakang

Islam adalah agama yang dasar-dasar hukumnya bersumber dari Al Qur’an,


hadist, dan Ar-ra’yu sehingga dalam pelaksanaan hukumannya. Islam sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Adapun aturan-aturan yang telah di
gariskan, islam sebagai agama Rahmatal’lilalamin, senatiasa berisikan aturan
yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, yang akhir-akhir
ini menjadi dalih semua orang untuk mendapatkan keadilan, bahkan hukuman
yang telah lama ada dan bersumber langsung dari Allah SWT ini, merupakan
hukuman yang seadil-adilnya karena hokum di Islam berlandaskan Qishas,
yaitu hukuman balasan. Contohnya, apabila orang membunuh maka orang
tersebut harus di hokum mati juga. Kemudian, di Islam juga di kenakan
macam-macam hukuman untuk hukuman ta’zir. Semisal hukuman mati,
hukuman jilid, dan lain-lain sesuai tingkat ringan maupun berat atas sesuatu
kesalahan atau kejahatan.

Di makalah ini pemakalah akan membahas jarimah ta’zir atau pengajaran


dari pengertian macam-macam jarimah ta’zir dan hukuman bagi pelaku yang
melanggarnya.
b. Rumusan Masalah

1. Pengertian Jarimah Ta’zir ?

2. Macam-Macam Jarimah Ta’zir ?

3. .Macam-Macam hukuman Ta’zir ?

4. Pengecualian/orang yang tidak dapat di hukum ta’zir ?


BAB II

Pembahasan

A. Pengertian Jarimah Ta’zir

Jarimah Ta’zir secara bahasa adalah memberi pengajaran (al-ta’dib).


Sedangkan jarimah Ta’zir menurut hukum pidana islam adalah tindakan yang
berupa edukatif (pengajaran) terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak ada
sanksi hadd dan kifaratnya. Atau kata lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat
edukatif dan hukumannya di tentukan oleh hakim, atau pelaku tindak pidana
atau pelaku perbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan oleh
syari’at.

Dapat dijelaskan bahwa dijelaskan ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman
atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’,
dikalangan para fuqoha jarimah yang hukumannya belum di tetapkan oleh
syara’ disebut dengan jarimah ta’zir. Dapat dipahami juga bahwa jarimah ta’zir
terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak di kenakan hukuman had
dan tidak pula kifarat. Jadi,hukuman ta’zir tidak mempunyai batas-batas
hukuman tertentu, karena syara’ hanya menyebutkan sekumpulan hukuman,
mulai dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya. Dengan kata
lain, hakim yang berhak menetukan macam tindak pidana beserta hukumannya,
karena hukumannya belum di tentukan oleh syara’

pidana beserta hukumannya, karena hukumannya belum di tentukan oleh


syara’.

Dengan demikian ciri khas dari jarimah ta’zir adalah :

1. Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya hukuman tersebut


belum di tentukan oleh syara’.

2. Penetuan hukuman tersebut adalah oleh hakim.

3. Aturan hukum pidana islam yang paling fleksibel terdapat pada jarimah
ta’zir, Pada kategori jarimah ini, baik kriminalisasi suatu perbuatan maupun
hukumannya diserahkan kepada Hakim. Jadi ta’zir merupakan hukuman bagi
perbuatan pidana (jarimah) yang tidak ada ketetapannya nas tentang hukumnya.

4. Jika dilihat dari eksistensinya jarimah ta’zir sama dengan jarimah hudud,
karena keduanya sama-sama sebagai pengajaran (al-ta’lib) untuk mencapai
kemaslahatan dan sebagai tindakan preventif yang macam hukumnya berbeda-
beda sesuai jenis perbuatan dosaatau tindak pidana yang dilakukan. Jika pada
jarimah hudu sudah ditentukan secara pasti dan jelas hukuman-hukumannya,
dan tidak bisa dirubah atau diganti, sedangkan pada jarimah ta’zir belum
ditentukan hukumannya.

Mengenai macam-macam hukuman yang ada pada jarimah ta’zir adalah


mulai dari memberi nasehat atau peringatan, hukuman cambuk, penjara, dan
lain-lain, bahkan sampai hukuman mati, jika jarimah yang dilakukan benar-
benar sangat membahayakan, baik yang dirasakan oleh dirinya maupun
masyarakat. Oleh karena itu hakim boleh memilih hukuman tersebut tentunya
disesuaikan dengan jenis perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan, baik
mengenai kkriteria pelakunya maupun factor-faktor penyebabnya.
Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa Umar bin khathab ra. Pernah
menjatuhkan hukuman ta’zir dan pembinaan dengan memotong rambut,
mengasingkan, dan cambuk. Sebagaiman dia juga pernah membakar warung
para tukang khamar serta kampong tempat perjualan khamar. Dia juga
membakar istana Sa’ad bin Abi Waqqash di kufah lantaran keberadaan istana
ini membuatnya tertutup dengan rakyat. Dia membuat cambuk untuk memukul
orang yang layak mendapatkan cambukan serta membuat bangunan penjara dan
mencambuk wanita yang meratapi jenazah hingga rambutnya terlihat. Tiga
imam Fiqih mengatakan itu wajib, syafi’I mengatakan tidak wajib.

Pelaksanaan hukuman pada jarimah ta’zir yang sudah diputuskan oleh


hakim, juga menjadi hak penguasa Negara atau petugas yang ditunjuk olehnya.
Hal ini oleh karena hukuman itu disyari’atkan untuk melindungi masyarakat,
dengan demikian hukuman tersebut menjadi haknya dan dilaksanakan oleh
wakil masyarakat, yaitu penguasa Negara seperti presiden atau aparat Negara.
Orang lain, selain penguasa atau orang yang ditunjuk oleh nya tidak boleh
melaksankan hukuman ta’zir, meskipun hukuman tersebut menghilangkan
nyawa. Apabila iamelaksanakan sendiri dan hukumannya berupa hukuman mati
sebagai ta’zir maka ia dianggap sebagai pembunuh, walaupun sebenarnya
hykuman mati tersebut adalah hukuman yang menhilanhkan
nyawamelaksankan hukuman ta’zir, meskipun hukuman tersebut
menghilangkan nyawa. Apabila iamelaksanakan sendiri dan hukumannya
berupa hukuman mati sebagai ta’zir maka ia dianggap sebagai pembunuh,
walaupun sebenarnya hykuman mati tersebut adalah hukuman yang
menhilanhkan nyawa.

Dari uraian tersebut di atas terlihat adanya perbedaan pertanggung jawaban


dari pelaksanaan hukuman yang tidak mempunyai wewenang, dalam
melaksanakan hukuman mati sebagai had dan sebagai ta’zir. Orang yang
melaksanakan sendiri hukuman mati sebagai had, tidak dianggap sebagai
pembunuh, sedangkan yang melaksanaakan sendiri hukuman mati sebagai ta’zir
dianggap sebagai pembunuh. Perbedaan tersebut disebabkan , karena hukuman
had adalah hukuman yang sidah pasti yang tidak bias digugurkan atau
dimaafkan, sedangkan hukuman ta’zir masih bias dimaafkan oleh penguasa
Negara, apabila situasi dan kondisi menghendaki untuk dimaafkan dengan
berbagai pertimbangan.

B. Macam-macam jarimah Ta’zir

Dapat dijelaskan bahwa dari hak yang dilanggar, jarimah ta’zair dapat
dibago kepada dua bagian, yaitu

 Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah;

 Jarimah ta’zir yang menyinggung hak individu.

Dari segi sifatnya, jarimah ta’zir dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu

 Ta’zir karena melakukan perbuatan maksiat;

 Ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan


umum;

 Ta’zir karena melakukan pelanggaran.

Di samping itu, dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat
di bagi menjadi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut.

 Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishas,


tetapi syarat-syaratnya tidak dipenuhi, atau ada syubhat, seperti
pencurian yang tidak mencapai nishab, atau oleh keluaraga sendiri.

 Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkna dalam nas syara’ tetapi


hukumannya belum ditetapkan, sepeti riba, suap,dan mengurangi
takaran dan timbangan.
 Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh
syara’.

Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran
disiplin pegawai pemerintah.

Abdul aziz amir membagi secara rinci kepada beberapa bagian,


yaitu

a) Jarimah ta’zir yang berkaitan denag pembunuhan;

b) Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan perlukaan;

c) Jarimah ta’zir yang berkaitna dengan kejahatan kehormatan dan


kerusakan akhlak;

d) Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta.

e) Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu;

f) Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan umum

C. Macam-macam hukuman jarimah Ta’zir

Hukuman ta’zir adalah jumlahnya sangat banyak, karena mencakup semua


perbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan oleh syara’ dan
diserahkan kepada ulil amri utnuk mengaturnya dari hukuman yang paling
ringan sampai yang paling berat. Dalam penyelesaian perkara yang termasuk
jarimah ta’zir, hakim diberi wewenang untuk memilih diantara kedua hukuman
tersebut,mana yang sesuai dengan jarimah yang dilakukan oleh palaku.

Dalam ta’zir, hukuman itu tidak ditetapkan dengan ketentuan (dari Allah dan
rasulnya), dan Qodhi diperkenankan untuk mempertimbangkan baik bentuk
hukuman yang akan dikenakan kadarnya.
Melukai atau penganiayaan bisa sengaja, semi sengaja, dan kesalahan.
Dalam hal ini para ulama membaginya menjadi lima macam, yaitu:

1. Ibanat al-athraf, yaitu memotong anggota badan, termasuk di dalamnya


pemotongan tangan, kaki, hidung, gigi, dan sebagainya.

2. Idzhab ma’a al-athraf, yaitu menghilangkan fungsi anggota badan (anggota


badan tetap ada tapi tidak bisa berfungsi), misalnya membuat korban tuli, buta,
bisu, dan sebagainya.

3. As-syaj, yaitu pelukaan terhadap kepala dan muka (secara khusus)

4. Al-jarh, yaitu pelukaan terhadap selain wajah dan kepala termasuk di


dalamnya yang tidak masuk ke dalam perut atau rongga dada dan yang masuk
ke dalam perut atau anggota dada.

5. Pelukaan yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari empat jenis pelukaan
di atas.

6 Jenis-jenis hukam ta’zir ini adalah sebagai berikut :

1. Hukumann Ta’zir yang Berkaitan dengan Badan

2. Hukuman mati

3. Dalam makalah-makalh sebelumnya telah dijelaskan bahwa hukuman


mati ditetapkan sebagai hukuman qishash utnuk pembunuhan sengaja
dan sebagai hukuman had untuk jarimah hirabah, zina muhson, riddah,
dan jarimah pemberontakan. Untuk jarimah ta’zir, hukuman mati ini di
terapkan oleh para fuqoha secara beragam. Hanafiyah membolehkan
kepada ulil amri untuk menerapakan hukuman mati sebagai ta’zir dalam
jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati apabila
jarimah tersebut dilakukan berulang-ulang. Contohnya pencurian yang
berulang-ulang dan menghina nabi beberapa kali yang dilakukan oleh
kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia masuk islam.
4. Hukuman jilid (Dera)

5. Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang
pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalau kecil) atau
tongkat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh imam Ibn Taimiyah,
dengan alas an karena sebaik-baiknya perkara adlah pertengahan.

6. Apabila orang yang dihukum ta’zir itu laki-laki maka baju yang
menghalanginya sampainya cambuk ke kulit harus dibuka. Akan tetapi,
apabila orang terhukum itu seorang perempuan maka bajunya tidak
boleh dibuka, karena jika demikian akan ternukalah auratnya.

2. Hukuman yang Berkaitan dengan Kemerdekaan

a) Hukuman penjara

Maksud hukuman penjara disini bukanlah menahan pelaku di tempat yang


sempit, melainkan menahan sseorang yang mencegahnya agar ia tidak
melakukan perbuatan hukum, baik penahanan tersebut di dalam rumah, atau
masjid, maupun ditempat lainnya. Penahan itulah yang dilakukan pada masa
nabi dan Abu bakar. Artinya, pada masa Nabi dan Abu bakar tidak ada tempat
yang khusus disediakan untuk menahan seseorang pelaku.

b) Hukuman pengasingan

Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang diterapkan untuk


pelaku tindak pidana hirabah (perampokan) berdasarkan Qs. Al- Maidah ayat
33 :

. ‫ أو‬F‫ أن يقتلوا أو يصلبوا‬F‫إنما جزاء الذين يحاربون هللا ورسوله ويسعون في األرض فسادا‬
‫تقطع أيديهم‬

. ‫وأرجلهم من خالف أو ينفوا من األرض ذلك لهم خزي في الدنيا ولهم في اآلخرة عذاب‬
‫عظيم‬
Yang artinya :

“sesungguhnya pembalsan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan


Rasulnya dan membuat kerusakan di mka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau di potong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya) (QS. Al-Maidah:33).

3. Hukuman Ta’zir yang Berkaitan dengan Harta

a. Status hukumannya

Para ulama berpendapat tentang dibolehkannya hukuman ta’zir dengan cara


mengambil harta. Pendapat ini di bolehkan apabila dipandang membawa
maslahat. Pengambilan harta ini bukan semata untuk diri hakim atau untuk kas
umum (Negara), melainkan hanya menahannya untuk sementara waktu.
Adapun apabila pelaku tidak bias di harapkan untuk bertobat maka hakim dapat
men-tasarufkan harya tersebut untuk kepentingan yang mengandung maslahat.

Hukuman-Hukuman Ta’zir yang Lain

Selain hukuman-hukuman yang telah di sebutukan di atas, terdapat hukuman


ta’zir yang lain hukuman tersebut adalah sebagai berikut:

 Peringatan keras

 Dihadirkan di hadapan sidang

 Di beri nasehat

 Celaan

 Pengucilan

 Pemecatan

 Pengumuman kesalahan secara terbuka


D. Pengecualian/orang yang tidak dapat di hukum ta’zir

Penecualian dalam tanggung jawab hukuman, Ali bin Abi thalib berkata
kepada Umar bin Khattab : “apakah engkau tahu bahwa tidaklah di catat
perbuatan baik atau buruk, dan tidak pula dituntut tanggung jawab atas apa
yang dilakukan, karena hal berikut:

1. Orang yang gila sampai dia sadar

2. Anak-anak sampai dia mencapai usia dewasa/baligh

3. Orang yang tidur sampai dia bangun”. (Riwayat Imam bukhari.)

Berdasarkan riwayat diatas, kita dapat mengetahui tanggung jawab hukum


atau tidak pidana dalam syariat.Tanggung jawab atau tindak pidana yang
dilakukan dibenarkan kepada pelaku kejahatan itu sendiri. Ayah, Ibu, saudara
atau kerabatnya yang laintak dapat mengambil alih/menjalankan hukuman
karena kejahatan yang dilakukan sebagaimana yang telah terjadi pada masa
jahiliyah, sebelum islam. Al-Qur’anul karim menjelaskan bahwa tak
seorangpun yang akan memikul beban orang lain.

Q.S Al-An’am :124

‫وإذا جاءتهم آية قالوا لن نؤمن حتى نؤتى مثل ما أوتي رسل هللا هللا أعلم حيث‬
‫يجعل رسالته سيصيب الذين أجرموا صغار عند هللا وعذاب شديد بما كانوا‬
‫يمكرون‬

"Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: "Kami tidak
akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang
telah diberikan kepada utusan-utusan Allah." Allah lebih mengetahui di mana
Dia menempatkan tugas kerasulan. Orang-orang yang berdosa, nanti akan
ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu
membuat tipu daya.” (Q.S Al-An’am: 124)

Tanggung jawab bersama itu hanya akan dipikul oleh keluarga tersebut
dalam hal pembayaran hutang darah (Diyat) atau kerusakan karena suatu
kejahatan. Dalam hal ini, si pelaku, demikian pula kerabatnya dari pihak ayah,
secara bersama akan bertanggung jawab untuk membayar “Diyat” (hutang
darah) atau kerusakan fisik yang diakibatkan oleh kejahatannya.

E. Sanksi Ta’zir berupa harta

adalah hukuman yang diberlakukan bagi orang yang melakukan kejahatan


(pelanggaran, tindak pidana) yang belum dapat dikenai hukum had atas perbuatanya
itu, atau hukuman yang di berlakukan bagi orang yang meninggalkan peraturan yang
wajib ditaati, dengan cara mengambil sesuatu dari harta pelaku kejahatan
(pelanggaran, tindak pidana) tersebut sebagai denda dan hukuman atas perbuatanya.
Sebagaimana yang di tuliskan oleh Ahmad Mawardi Muslich dalam bukunya yang
mengutip dari keterangan Abdul Aziz Amir. Bahwa para ulama yang membolehkan
hukuman ta‟zir dengan cara mengambil harta, terutama dari Hanafiyah
mengartikanya dengan redaksi:

Hakim menahan sebagian harta si terhukum selama waktu tertentu, sebagai pelajaran
dan upaya pencegahan atas perbuatan yang dilakukannya, kemudian
mengembalikannya kepada pemiliknya apabila ia telah jelas taubatnya, dari
pengertian ini pula Ahmad Mawardi Muslich memberikan kesimpulan ´...bahwa
hukuman ta‟zir dengan mengambil harta itu bukan berarti mengambil harta pelaku
untuk diri hakim atau untuk kas umum (negara), melainkan hanya menahannya untuk
sementara waktu´. Adapun apabila pelaku tidak bisa di harapkan untuk bertobat
maka hakim dapat mentasaruf-kan harta tersebut untuk kepentingan yang
mengandung maslahat”.

Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili, “yang dimaksud hukuman ta‟zir dengan cara
mengambil harta orang yang dihukum berdasarkan pendapat ulama yang
memperbolehkannya adalah, menyita sementara sesuatu dari harta orang yang
dihukum, supaya ia jera dan tidak mengulangi kembali kesalahannya, untuk kemudian
hakim mengembalikan lagi harta yang disita itu kepadanya, bukan disita lalu
digunakan sendiri oleh hakim atau dimasukkan ke dalam baitul maal”.

Melihat dari kedua pengertian di atas, antara keterangan yang dikemukakan oleh
Ahmad Mawardi Muslich dengan Wahbah Zuhaili terdapat persamaan pendapat,
maka yang dimaksud hukuman tazȋr bil mȃl (t à zȋr dengan cara mengambil harta)
orang yang dihukum adalah, menyita sementara sesuatu dari harta orang yang
dihukum, dengan tujuan supaya ia jera dan tidak mengulangi kembali kesalahannya,
untuk kemudian hakim mengembalikan lagi harta yang disita itu kepadanya, bukan
disita lalu digunakan sendiri oleh hakim atau dimasukkan ke dalam baitul mȃl
sebagaimana yang di persepsikan oleh pihak-pihak yang berlaku zalim. Karena tidak
boleh bagi seorang pun mengambil harta orang lain tanpa berdasarkan sebab yang
legal. Oleh karena itu maksud dan tujuan hukuman (t z̀ ȋr dengan harta) adalah untuk
menghukum pelaku tindak pidana (jarȋmah), supaya ia jera dan tidak mengulangi
kembali kesalahannya.

BENTUK HUKUMAN Ta’zir harta

Macam atau bentuk hukuman tazȋr bil mȃl (t̀zȋr dengan harta) terbagi kedalam
tiga macam:

1. Al-Itlaaf Al-Itlaf adalah sanksi atau ta‟zir bil mal dengan cara merusak
objek-objek kemungkaran berupa benda dan sifat, seperti merusak bahan-bahan
patung dengan cara memecahkannya dan membakarnya, menghancurkan alat-
alat malaahi. memecahkan dan merobek wadah tempat minuman keras,
membakar kedai penjualan minuman keras, dan lain sebagainya. Hal ini
berdasarkan praktik yang pernah dilakukan oleh Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib
r.a yang pernah membakar suatu perkampungan yang menjajakan minuman
keras, karena tempat penjualan minuman keras sama seperti wadahnya. Juga
seperti praktik Khalifah Umar Ibnul Khaththab r.a yang menumpahkan susu
yang dijual yang telah dicampur dengan air.

2. At-Taghyiir At-Taghyiir adalah sanksi atau ta‟zir bil mal dilakukan dengan
cara mengubah barangnya, seperti larangan Rasulullah saw. Memecahkan
logam mata uang yang laku dan beredar diantara kaum muslimin, seperti dinar
dan dirham, kecuali jika pada logam dinar atau dirham itu terdapat suatu
masalah (seperti palsu, tidak murni, campuran), jika pada pada logam mata
uang dinar atau dirham itu terdapat suatu masalah, logam mata uang itu
dipecah.

3. At-Tamliik At-Tamliik adalah sanksi atau ta‟zir bil mal dengan melipat
gandakan denda, Seperti apa yang diriwayatkan oleh abu daud dan para pemilik
kitab hadits as-Sunan lainya dari Rasulullah saw. tentang seseorang yang
mencuri dari buah yang masih tergantung dipohonnya sebelum diletakkan di
dalam keranjang, bahwa ia dihukum cambuk dan didenda dua kali lipatnya.
Juga tentang seseorang yang mencuri binatang ternak sebelum di masukkan ke
dalam kandangnya, bahwa ia di hukum cambuk dan didenda dua kali lipatnya.
Begitu pula, keputusan hukum Umar Ibnul Khaththab r.a terkait masalah
dhaallah (binatang yang hilang lari dari pemiliknya) yang disembunyikan,
bahwa orang yang menyembunyikannya didenda dua kali lipat.

Melihat dari macam atau bentuk sanksi (tazȋr dengan harta) yang di kemukakan
oleh Ibnu Taimiyah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bentuk sanksi
(hukuman) tersebut merupakan sanksi (hukuman) yang berhubungan dengan
penegak kan syari’at, ada pun penghancuran tempat maksiat atau alat malȃhi
tidak di kategorikan sebagai penjarahan atau merugikan salah satu pihak
melainkan menegak kan syari’at pula. Sedangkan menurut ibnul qoyyim ada
dua macam bentuk sanksi denda:

a. Sanksi denda yang madhbuuth (yang sudah pasti kadar ukuraannya), yaitu
Sanksi denda yang sebanding dengan sesuatu yang di rusakkan, adakala nya
menyangkut hak Allah swt, Seperti membinasakan (membunuh) binatang
buruan pada saat sedang dalam status ber ihram. Hal ini sesuai dengan firman
Allah swt dalam Al-Qur‟an yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan,


ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan

sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang


dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di
antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya)
membayar kaffarat dengan memberi Makan orang-orang miskin atau berpuasa
seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya Dia merasakan akibat
buruk dari perbuatannya.

b. Sanksi denda ghairu madhbuuth (yang belum pasti kadar ukurannya),


adalah, sanksi denda yang tidak pasti kadar ukurannya, akan tetapi
penentuannya diserahkan kepada kebijakan dan ijtihad para imam sesuai
dengan kemaslahatan. Oleh karena itu, syari‟at tidak memberikan penjelasan
dan perintah secara umum dan tidak pula menetapkan kadar ukurannya.

Jadi secara garis besar bahwa yang di maksud dengan bentuk hukuman ta„zȋr
bil mȃl (sanksi denda), yaitu hukuman (sanksi) bertujuan untuk menegakkan
syari‟at dengan cara mengambil harta, yang di pandang menurut syari’at harta
tersebut tidak ada nilai nya, atau tidak mutlak merugikan salah satu pihak
berdasarkan cara yang ilegal. Adapun ukuran ketentuan hukuman tersebut
belum ada keterangan yang pasti maka hal itu di serahkan sepenuh nya kepada
kebijakan dan ijtihȃd Hakim (ulil amri). Meskipun demikian Hakim (ulil amri)
pun harus berbuat adil, tidak boleh sewenang-wenang dalam memetuskan
perkara yang di serahkan kepadanya. Hal ini berdasarkan firman Allah yang
artinya:
Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu. (Q.S. Al-Maidah: 48)

HUKUM TA’ZIR BERUPA HARTA DI KALANGAN FUQAHA

Para ulama berbeda pendapat tentang dibolehkan atau tidaknya hukuman ta„zȋr
dengan cara mengambil harta dari pelaku jarȋmah (tindak pidana). Meskipun
demikian berdasarkan pendapat yang rȃjih menurut para imam, tidak boleh
meng hukum tazȋr dalam bentuk pengambilan (penyitaan, perampasan) harta,
karena hal itu, memberikan peluang kepada orang-orang zalim untuk
mengambil dan merampas harta orang-orang lalu menggunakannya untuk
kepentingan dirinya sendiri. Oleh karena itu hukum ta„zȋr dalam bentuk
pengambilan (penyitaan, perampasan) harta ini terbagi menjadi dua pendapat:

1. Berdasarkan pendapat yang dikutip dari Sarhan bin Ghozai Al-„Utaibi yang
mengemukakan; “Bahwa hukum ta„zȋr dalam bentuk pengambilan harta di
bolehkan. Ini berdasarkan pendapat yang di kemukakan oleh Abu Yusuf dari
ulama Hanafiyyah serta dalam madzhab Imam Malik dan salah satu dari dua
qoul (qoulu al-qodȋm( imam Syafi‟i.

Pendapat ini sekata dengan yang di tuliskan oleh Sayyid Sabiq.

Hal ini juga berdasarkan hadist Rasul saw yang Artinya :

Dari Bahz Ibn Hakim dari ayah nya dari kakek nya, telah bersabda Rasulullah
saw. “Pada tiaptiap onta yang cari makan sendiri, yaitu pada empat puluh,
(zakatnya) satu bintun labun. Tidak boleh di pisahkan onta dari perhitungannya.
Barang siapa memberi (zakat) itu mengharap karena ganjaran, maka ia dapat
ganjarannya; dan barang siapa enggan mengeluarkannya maka sesungguhnya
kami akan ambil dia beserta separoh dari hartanya sebagai perintah keras dari
perintah-perintah tuhan kami. Tidak halal bagi keluarga Muhammad
daripadanya walaupun sedikit. )
H.R. Ahmad dan Abu Dawud, dan Nasa‟i, dan dishahihkan oleh Hakim, dan
Syafi‟i menggantungkan fatwa dengannya atas (syarath) shahnya)

Pada dasarnya hadist tersebut di atas adalah salah satu hadist yang dijadikan
sebagai dalil/rujukan para ulama yang memperbolehkan penerapan hukuman
ta„zȋr bil mȃl, yaitu merupakan hadist Rasul yang memberikan maklumat
tentang hukuman ta‟zir terhadap orang yang tidak mau membayar zakat,
dengan cara mengambil sebagian dari harta si pelanggar (pelaku tindak pidana).

Pendapat yang semisal juga dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili.;

“Bahwa Ibnu Taimiyah dan muridnya yaitu Ibnul Qoyyim menetapkan,


hukuman tazȋr dalam bentuk sangsi materil hanya diberlakukan dalam beberapa
kasus tertentu saja dalam madzhab Imam Malik berdasarkan pendapat yang
msyhur darinya, madzhab imam Ahmad dan salah satu dari dua qoul imam
Syafi‟i, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sunnah Rasullah saw. Seperti
perintah beliau untuk melipat gandakan denda atas pencurian buah yang masih
tergantung di pohonnya dan pencurian al-katsar yang tidak sampai diancam
dengan hukuman potong tangan, mengambil separuh harta milik orang yang
tidak mau membayar zakat. Juga, seperti langkah kebijakan Umar ibnul
Khaththab r.a yang membakar tempat yang digunakan untuk menjual minuman
keras, dan masih banyak lagi yang lainnya”.

Abdurrahman Al-Juzairi pun berpendapat;

“Bahwa sebagian dari ulama Hanafiyah membolehkan hukuman ta„zȋr bil mȃl,
dengan ketentuan apabila pelaku jarȋmah (tindak pidana) itu bertaubat, maka
Hakim (ulil amri) harus mengembalikan lagi harta yang di ambilnya itu kepada
pelaku jarȋmah tersebut”.

Pendapat yang kedua ini di kutip dari keterangan Ahmad Mawardi Muslich
dalam bukunya yang menerangkan. “Bahwa menurut Imam Abu Hanifah,
hukum tazȋr dengan cara mengambil harta tidak dibolehkan. Pendapat ini di
ikuti oleh muridnya, yaitu Muhammad Ibn Hasan.

Kemudian menurut jumhȗr ̀ulamȃ dari ashhab empat madzhab, juga sepakat
tidak memperbolehkan secara mutlak hukum tazȋr bil mȃl (hukum tazȋr dengan
cara mengambil harta). Karena tidak boleh bagi seorang mengambil harta orang
lain tanpa berdasarkan sebab yang legal, hal ini merupakan perbuatan zalim
atau bathil. Rasullah saw, juga bersabda dalam hadist-Nya;

Artinya: Dari Abi Bakarat bahwasannya Nabi saw. telah bersabda dalam
khutbahnya di Hari Qurban di Minȃ : “Bahwasanya darah kamu dan harta kamu
harȃm atas kamu sebagaimana harȃmnya hari kamu ini di bulan kamu ini di
negeri kamu ini”. (H.R. Muttafaq „alaih).

Hadist tersebut diatas merupakan keterangan Rasulullah saw yang menyuruh


kita untuk tidak memakan harta di antara sesama dengan jalan yang tidak halal.

Ataupun permasalahan semacam di atas juga dapat dianalogikan dengan hadist


Rasul yang berbunyi;

Artinya: Dari Abi humaid As-Sa‟idi, ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw.:
“tidak halal seorang mengambil tungkat saudaranya dengan tidak ridlȃnya”.
(H.R. Ibnu Hibbȃn dan Hȃkim di-(kitab) shahih keduanya).

Analogi terhadap hadits di atas dimaksudkan bahwa haram bagi seseorang


mengambil sesuatu apapun dari orang lain dengan tidak ada izin pemilik nya
atau ridlȃ dari pemiliknya karena itu merupakan perbuatan yang bathil. Atau hal
yang semacam itu dapat di sebut juga sebagai tindak pidana pencurian. Yaitu
mengambil harta orang lain tanpa haq dan tanpa sepengetahuan atau
persetujuan pemiliknya.

Begitu juga menurut Sayyid Abdurrahman bin Muhammad, “Bahwa tazȋr bil
mȃl atau menghukum dengan cara mengambil harta tidak di perbolehkan,
walaupun demikian bagi penghukum (hakȋm, ulil amri) yang mengambil harta
tersebut tidak dapat dikatakan kafir atas perbuatanya”.

BAB III

Penutup

a. Simpulan

Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir.

Pengertian ta’zir secara bahasa adalah memberi pengajaran.

Sedangkan pengertian jarimah ta’zir adalah tindakan yang berupa edukatif


(pengajaran) terhadap pelaku perbuatan dosa yang tindkannya tidak ada sanksi
had dan kifaratnya. Atau dengan kata lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat
edukatif yang ditentukan oleh hakim, terhadap pelaku tindak pidana atau pelaku
perbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan oleh syari’at.

Mengenai macam-macam hukuman yang ada pada jarimah ta’zir adalah


mulai dari memberi nasehat, peringatan, hukuman cambuk, penjara, dan lain-
lain, bahkan sampai hukuman mati, jika jarimah uang dilakukan benar-benar
sangat membahayakan, baik yang diraskan oleh dirinya maupun masyarakat
oleh karena itu hakim boleh memilih hukuman mulai yang paling ringan smapai
yang paling berat. Pemberian berat hukuman tersebut tentunya disesuaikan
dengan jenis perbuata atau tindak pidana yang dilakukan baik mengenai kriteria
maupun factor-faktor penyebabnya.

Orang yang tidak dapat dikenai hukuman :

1. Orang yang gila sampai dia sadar


2. Anak-anak sampai dia mencapai usia dewasa/baligh

3. Orang yang tidur sampai dia bangun”.

Penutup

Alhamdulillah, Demikian makalah ini yang telah kami buat dan kami
paparkan, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. maka
dari itu kritik dan saran dari teman-teman sangat kami harapakan. Semoga
makalah ini bisa bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi pemakalah
khusunya dan bagi para pembaca pada umumnya. Amiin
Daftar pustaka

Muslich, Ahmad wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika,2005.

Syahrur, Muhammad, Limitasi Hukum Pidana Islam, Semarang: Walisongo


Press. 2008.

Rokhmadi, Reformasi Hukum Pidana Islam, Semarang: Rasail Media Group

Santoso, topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani


Press, 2003.

Rahman, abdur, Tindak Pidana Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Anda mungkin juga menyukai