Anda di halaman 1dari 16

PENGULANGAN JARIMAH & PENGGABUNGAN HUKUMAN

Mata Kuliah: Fiqh Jinayah

Dosen Pengampu: Ahamad Fauzan, S.H.I.,M.H

Disusun Oleh:

Deti Meria 2121030180

Roy Andre Da Costa Adsa 2121030207

Ibram Maulana 2121030217

Theriko Nalendra Ermanda 2121030230

FAKULTAS SYARIAH
HUKUM EKONOMI SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah kami dapat diselesaikan. Makalah ini kami susun
sebagai tugas dari mata kuliah Fiqh Jinayah dengan judul“Pengulangan Jarimah &
Penggabungan Hukuman “ .

Terima kasih kami sampaikan kepada bapak Ahamad Fauzan, S.H.I.,M.H selaku dosen
pengampu mata kuliah Fiqh Jinayah yang telah membimbing kami demi terselesaikannya tugas
makalah ini.

Demikianlah makalah ini kami susun agar dapat memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Jinayah.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Sehingga kami selaku penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca sekalian. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk
kelompok kami dan khususnya untuk pembaca.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.

Penulis

Bandar Lampung, 30 Oktober 2022


DAFTAR ISI

COVER................................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................1

C. Tujuan Penulisan....................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengulangan Jarimah Dalam Hukum Pidana Islam..............2


B. Penggabungan Hukuman Dalam Hukum Positif...................8
BAB 3 PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................12

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Teori hukuman merupakan salah satu aspek penting ketika membicarakan hukum
pidana. Tema hukuman ditempatkan sejajar dengan tematema mengenai kriteria dan jenis-
jenis tindak pidana. Artinya, membicarakan tindak pidana sudah barang tentu membicarakan
bentuk hukumannya. Hukuman dalam istilah pidana Islam (jināyāt) disebut dengan ‘uqūbah,
yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku jarimah. Dalam makna lain
‘uqūbah atau hukuman adalah balasan yang dijatuhkan pada orang yang melakukan kejahatan
atas dosa yang dia lakukan sebagai sanksi atas dirinya dan pencegahan atau suatu penghalang
untuk orang lain untuk berbuat tindakan kejahatan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Pengulangan Jarimah & Penggabungan Hukuman ?
2. Apa saja macam-macam Jarimah ?
3. Bagaimana Penggabungan Hukuman ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Jarimah & Hukuman.
2. Untuk mengetahui macam-macam Jarimah.
3. Untuk mengetahui Penggabungan Hukuman.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGULANGAN JARIMAH DALAM HUKUM PIDANA ISLAM


1. Pengertian Pengulangan Jarimah
Kata jarimah identik dengan pengertian yang disebut dalam hukumpositif sebagai
"tindak pidana" atau pelanggaran. Dalam hukum positif, kata "tindak pidana" merupakan
terjemahan dari istilah bahasa Belanda "straafbaarfeit", namun pembentuk undang-undang di
Indonesia tidakmenjelaskan secara rinci mengenai "straafbaarfeit". Perkataan “feit” itu sendiri di
dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de
werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harafiah perkataan
“strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat
dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang
dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan
ataupun tindakan.
Seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa pembentuk undang-undang tidak
memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang ia maksud dengan perkataan
“strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa sebenarnya
yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut., misalnya perbuatan pidana, peristiwa pidana,
perbuatan- perbuatan yang dapat dihukum, hal-hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-
perbuatan yang dapat dikenakan hukuman serta tindak pidana.
Dalam hubungan ini, Satochid Kartanegara lebih condong menggunakan istilah
“delict” yang telah lazim dipakai. R. Tresna menggunakan istilah "peristiwa pidana". Sudarto
menggunakan istilah "tindak pidana", demikian pula Wirjono Projodikoro menggunakan istilah
"tindak pidana" yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Akan
tetapi Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana” yaitu perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa melanggar larangan tersebut.
Kata-kata tindak pidana, perbuatan pidana atau delik identik dengan pengertian yang
disebut dalam hukum pidana Islam sebagai jarimah. Yang dimaksud dengan kata-kata jarimah
ialah larangan-larangan syara' yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta'zir.
Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau
meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.
Dengan kata-kata "syara'" pada pengertian tersebut di atas, yang dimaksud ialah
bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh syara'. Berbuat atau tidak
berbuat tidak dianggap sebagai jarimah, kecuali apabila diancamkan hukuman terhadapnya. Di
kalangan fuqaha, hukuman biasa disebut dengan kata-kata ajziyah dan mufradnya, jaza.
Pengertian jarimah tersebut tidak berbeda dengan pengertian tindak-pidana, (peristiwa pidana,
delik) pada hukum-pidana positif.
Adapun pengertian pengulangan dalam istilah hukum positif adalah dikerjakannya
suatu jarimah oleh seseorang, setelah ia melakukan jarimah lain yang telah mendapat keputusan
terakhir. Perkataan pengulangan mengandung arti terjadinya suatu jarimah beberapa kali dari
satu orang yang dalam jarimah sebelumnya telah mendapat keputusan terakhir.
Pengulangan berbeda dengan gabungan jarimah. Dalam gabungan jarimah, pelaku
melakukan suatu jarimah untuk kedua atau ketiga kalinya, namun dalam jarimah yang
sebelumnya (yang pertama) ia belum mendapat keputusan terakhir. Adapun dalam pengulangan,
seperti telah dikemukakan di atas adalah pelaku ketika melakukan jarimah yang kedua atau
ketiga itu sudah mendapat keputusan terakhir dalam jarimah yang sebelumnya (yang pertama).

2. Klasifikasi Jarimah
Jarimah itu sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya, akan tetapi, secara
garis besar dapat dibagi dengan meninjaunya dari beberapa segi. Ditinjau dari segi berat
ringannya hukuman, jarimah dapat dibagi kepada tiga bagian antara lain: jarimah qisâs/diyat,
jarimah hudud, dan jarimah ta'zir.
a. Jarimah Qisas dan Diyat
Jarimah Qisas dan Diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qisâs atau
diyat. Baik qisâs maupun diyat keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara'.
Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat),
sedangkan qisâs dan diyat adalah hak manusia (individu).
Adapun yang dimaksud dengan hak manusia sebagaimana dikemukakan oleh
Mahmud Syaltut adalah yang ada hubungannya dengan kepentingan pribadi seseorang dan
dinamakan begitu karena kepentingannya khusus untuk mereka.
Dalam hubungannya dengan hukuman qisâs dan diyat maka pengertian hak manusia
di sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau
keluarganya. Dengan demikian maka ciri khas dari jarimah qisâs dan diyat itu adalah
1). Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan oleh syara' dan tidak
ada batas minimal atau maksimal;
2). hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti bahwa korban atau
keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku. Jarimah qisâs dan diyat ini
hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas maka ada
lima macam, yaitu
1. Pembunuhan sengaja
2. Pembunuhan menyerupai sengaja
3. Pembunuhan karena kesalahan
4. Penganiayaan sengaja
5. Penganiayaan tidak sengaja
Contoh pembunuhan sengaja, korban yang dibunuh adalah manusia hidup, kematian
adalah hasil dari perbuatan pelaku, pelaku tersebut menghendaki terjadinya kematian. Adapun
contoh pembunuhan menyerupai sengaja, adanya perbuatan dari pelaku yang mengakibatkan
kematian, adanya kesengajaan dalam melakukan perbuatan, kematian adalah akibat perbuatan
pelaku. Sedangkan pembunuhan karena kesalahan, contohnya, adanya perbuatan yang
mengakibatkan matinya korban, perbuatan tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalaian
pelaku, antara perbuatan kekeliruan dan kematian korban terdapat hubungan sebab akibat.
Adapun bentuk hukumannya, bahwa pembunuhan sengaja dalam syariat Islam
diancam dengan beberapa macam hukuman, sebagian merupakan hukuman pokok dan
pengganti, dan sebagian lagi merupakan hukuman tambahan. Hukuman pokok untuk
pembunuhan sengaja adalah qisâs dan kifarat, sedangkan penggantinya adalah diat dan ta'zir.
Adapun hukuman tambahannya adalah penghapusan hak waris dan hak wasiat.
Pembunuhan menyerupai sengaja dalam hukum Islam diancam dengan beberapa
hukuman, sebagian hukuman pokok dan pengganti, dan sebagian lagi hukuman tambahan.
Hukuman pokok untuk tindak pidana pembunuhan menyerupai sengaja ada dua macam, yaitu
diat dan kifarat. Sedangkan hukuman pengganti yaitu ta'zir. Hukuman tambahan yaitu-
pencabutan hak waris dan wasiat.
Pembunuhan karena kesalahan, sebagaimana telah dijelaskan adalah suatu
pembunuhan di mana pelaku sama sekali tidak berniat melakukan pemukulan apalagi
pembunuhan, tetapi pembunuhan tersebut terjadi karena kelalaian atau kurang hati-hatinya
pelaku. Hukuman untuk pembunuhan karena kesalahan ini sama dengan hukuman untuk
pembunuhan menyerupai sengaja, yaitu:
- Hukuman pokok: diat dan kifarat;
- Hukuman tambahan: penghapusan hak waris dan wasiat.
Pada dasarnya, jarimah qisâs termasuk jarimah hudud, sebab baik bentuk maupun
hukumannya telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi ada pula perbedaannya,
yaitu:
1). Pada jarimah qisâs, hakim boleh memutuskan hukuman berdasarkan
pengetahuannya, sedangkan pada jarimah hudud tidak boleh.
2). Pada jarimah qisâs, hak menuntut qishash bisa diwariskan, sedangkan pada
jarimah hudud tidak.
3). Pada jarimah qisâs, korban atau wali korban dapat memaafkan sehingga
hukuman dapat gugur secara mutlak atau berpindah kepada hukum
penggantinya, sedangkan pada jarimah hudud tidak ada pemaafan.
4). Pada jarimah qisâs, tidak ada kadaluarsa dalam kesaksian, sedangkan pada
jarimah hudud ada kadaluarsa dalam kesaksian kecuali pada jarimah qadzaf.
5). Pada jarimah qisâs, pembuktian dengan isyarat dan tulisan dapat diterima,
sedangkan pada jarimah hudud tidak.
6). Pada jarimah qisâs dibolehkan ada pembelaan (al-syafa'at), sedangkan pada
jarimah hudud tidak ada.
7). Pada jarimah qishash, harus ada tuntutan, sedangkan pada jarimah hudud tidak
perlu kecuali pada jarimah qadzaf.

b. Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had, Pengertian
hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara' dan menjadi hak Allah (hak
masyarakat). Dengan demikian ciri khas jarimah hudud itu sebagai berikut.
1). Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah
ditentukan oleh syara' dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
2). Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak
manusia di samping hak Allah maka hak Allah yang lebih menonjol. Pengertian
hak Allah sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut sebagai berikut: hak
Allah adalah sekitar yang bersangkut dengan kepentingan umum dan
kemaslahatan bersama, tidak tertentu mengenai orang seorang. Demikian hak
Allah, sedangkan Allah tidak mengharapkan apa-apa melainkan sematamata
untuk membesar hak itu di mata manusia dan menyatakan kepentingannya
terhadap masyarakat. Dengan kata lain, hak Allah adalah suatu hak yang
manfaatnya kembali kepada masyarakat dan tidak tertentu bagi seseorang.
Dalam hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah di sini adalah
bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban
atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. Jarimah hudud ini ada tujuh
macam antara lain sebagai berikut.
1). Jarimah zina. Bentuk hukuman ada tiga yaitu hukuman cambuk/dera/jilid,
pengasingan dan rajam.
2). Jarimah qazaf (menuduh zina). Bentuk hukuman yaitu dikenakan dua hukuman,
hukuman pokok berupa dera/jilid 80 kali dan hukuman tambahan berupa tidak diterimanya
kesaksian yang bersangkutan selama seumur hidup.
3). Jarimah syurbul khamr (minum-minuman keras). Bentuk hukumannya yaitu di dera
dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh kali.
4). Jarimah pencurian (sariqah). Bentuk hukuman yaitu dipotong kedua tangannya.
5). Jarimah hirabah (perampokan). Bentuk hukuman yaitu ada bentuk hukuman:
hukuman mati dan disalib, hukuman mati, hukuman potong tangan dan kaki bersilang,
hyukuman pengasingan.
6). Jarimah riddah (keluar dari Islam). Bentuk hukumannya adalah hukuman mati.
7). Jarimah Al Bagyu (pemberontakan). Bentuk hukumannnya adalah hukum bunuh.
Dalam jarimah zina, syurbul khamar, hirabah, riddah, dan pemberontakan yang
dilanggar adalah hak Allah semata-mata. Sedangkan dalam jarimah pencurian dan qazaf
(penuduhan zina) yang disinggung di samping hak Allah juga terdapat hak manusia (individu),
akan tetapi hak Allah lebih menonjol.
c. Jarimah Ta'zir
Jarimah ta'zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir. Pengertian ta'zir
menurut bahasa ialah ta'dib atau memberi pelajaran. Ta'zir juga diartikan ar rad wa al man'u,
artinya menolak dan mencegah. Akan tetapi menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan
oleh Imam Al Mawardi

‫والتعزيــر تأديــب علــى ذنــوب لم تشــرع فيهــا الحــدود ويختلــف حكمــه‬


‫بـاختالف حالـه وحـال فاعلـه فيوافـق الحـدود مـن وجـه وهـــو أنـــه تأديـــب استصــالح وزجــر يختلــف‬
‫بحسب اختالف الذنب‬

Artinya: "Ta'zir itu adalah hukuman atas tindakan pelanggaran dan kriminalitas yang tidak diatur
secara pasti dalam hukum had. Hukuman ini berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan kasus dan
pelakunya. Dari satu segi, Ta'zir ini sejalan dengan hukum had; yakni ia adalah tindakan yang
dilakukan untuk memperbaiki perilaku manusia, dan untuk mencegah orang lain agar tidak
melakukan tindakan yang sama seperti itu".
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta'zir itu adalah hukuman yang
belum ditetapkan oleh syara', melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik penentuannya maupun
pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan hukuman
secara global saja. Artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-
masing jarimah ta'zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-
ringannya sampai yang seberat-beratnya.
Dengan demikian ciri khas dari jarimah ta'zir itu adalah sebagai berikut.
1). Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya hukuman tersebut belum ditentukan
oleh syara' dan ada batas minimal dan ada batas maksimal.
2). Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa.

Berbeda dengan jarimah hudud dan qisâs maka jarimah ta'zir tidak ditentukan
banyaknya. Hal ini oleh karena yang termasuk jarimah ta'zir ini adalah setiap perbuatan maksiat
yang tidak dikenakan hukuman had dan qisâs, yang jumlahnya sangat banyak. Tentang jenis-
jenis jarimah ta'zir ini Ibn Taimiyah mengemukakan bahwa perbuatan-perbuatan maksiat yang
tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat, seperti mencium anak-anak (dengan
syahwat), mencium wanita lain yang bukan istri, tidur satu ranjang tanpa persetubuhan, atau
memakan barang yang tidak halal seperti darah dan bangkai maka semuanya itu dikenakan
hukuman ta'zir sebagai pembalasan dan pengajaran, dengan kadar hukuman yang ditetapkan oleh
penguasa.
Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah-jarimah ta'zir dan hukumannya kepada
penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-
kepentingannya, serta bisa menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat
mendadak.
Jarimah ta'zir di samping ada yang diserahkan penentuannya sepenuhnya kepada ulil
amri, juga ada yang memang sudah ditetapkan oleh syara', seperti riba dan suap. Di samping itu
juga termasuk ke dalam kelompok ini jarimah-jarimah yang sebenarnya sudah ditetapkan
hukumannya oleh syara' (hudud) akan tetapi syarat-syarat untuk dilaksanakannya hukuman
tersebut belum terpenuhi. Misalnya, pencurian yang tidak sampai selesai atau barang yang dicuri
kurang dari nishab pencurian, yaitu seperempat dinar.

B. PENGGABUNGAN HUKUMAN DALAM HUKUM POSITIF


1. Pengertian Gabungan Hukuman
Istilah gabungan hukuman tersusun dari dua kata, yaitu kata gabungan dan hukuman.
Istilah gabungan merupakan bentuk derivatif dari kata gabung ikat atau mengikat, berkas. Kata
gabung kemudian membentuk beberapa bentukan istilah lainnya seperti bergabung (menjadi
satu, berkumpul menjadi satu), menggabung (mengikat atau mengumpulkan menjadi satu,
menyatukan diri), menggabungkan (mengikat atau mengumpulkan menjadi satu menyatukan),
tergabung (telah diikat sudah disatukan), penggabungan (proses, cara atau perbuatan
menggabungkan), dan gabungan (ikatan, himpunan, perserikatan terjadi atas beberapa
perkumpulan atau gabungan dua zat atau lebih yang membentuk zat baru).
Kata gabungan sebagaimana tersebut terakhir menunjukkan makna ikatan atau
himpunan, artinya himpunan dari sesuatu, baik dalam bentuk himpunan suatu benda, kejadian
ataupun peristiwa. Dengan begitu, kata gabungan ini memerlukan istilah lain yang mengikutinya,
seperti gabungan hukuman. Oleh sebab itu, yang dimaksud gabungan di sini ialah gabungan
hukuman atau sanksi sebab melakukan beberapa tindak kejahatan.
Istilah kedua adalah hukuman. Kata hukuman ini juga merupakan bentuk derivatif,
yaitu dari kata hukum. Secara bahasa, kata hukum diambil dari bahasa Arab, yaitu dari kata dasar
ha-ka-ma (‫) ََك ح‬, maknanya memimpin atau memerintah, menetapkan, memerintahkan,
memutuskan, mengadili, mencegah atau melarang, putusan atau ketetapan. Dalam bahasa
Indonesia dimaknai sebagai satu peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat
yang berlaku bagi semua orang dalam suatu masyarakat (negara), undang-undang atau peraturan
untuk mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat, patokan, keputusan atau vonis. Hukum juga
diartikan sebagai aturan, ketentuan, norma dan dalil, patokan, pedoman, peraturan perundang-
undangan, atau putusan hakim.
Beberapa ahli menyatakan bahwa hukuman merupakan sanksi atau beban hukum
yang ditimpakan kepada pelaku kejahatan. Menurut Moeljatno, di dalam Ekaputra bahwa
hukuman dalam bahasa Belanda disebut dengan straf merupakan satu istilah yang konvensional
yang identik dengan pidana. Sementara itu menurut Andi Hamzah membedakan antara hukuman
dengan pidana. Hukuman digunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata,
administrasi, disipilin. Sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit hanya berkaitan dengan
hukum pidana. Keterangan ini selaras dengan pendapat Barda, bahwa di dalam konsep yang ada
dalam hukum pidana, sanksi disebut dengan istilah pidana, yang terkait dengan pidana pokok
dan pidana tambahan.
Mencermati uraian pemaknaan kata gabungan dan hukuman di atas, maka istilah
gabungan hukuman secara sederhana dapat dimaknai sebagai ikatan atau himpunan beberapa
sanksi hukum yang dapat dikenakan (dijatuhkan) pada pelaku tindak pidana lantaran beberapa
tindak pidana yang dilakukan pelaku. Gabungan hukuman dalam istilah Belanda disebut
meerdaadsche samenloop yaitu seseorang melakukan beberapa perbuatan kejahatan yang
ancaman hukumannya sejenis di jatuhkan satu perbuatan pidana yang ancaman hukumannya
tertinggi ditambah 1/3 dari ancaman hukuman tertinggi tersebut.

2. Macam-Macam Teori Gabungan Hukuman


a. Teori Saling Melengkapi
Teori saling melengkapi dalam istilah fikih jinayat disebut tadakhhul atau ditulis
dengan ‫ تدخل‬,secara bahasa berarti masuk atau memasuki dan melengkapi. Menurut teori ini,
ketika terjadi gabungan perbuatan, maka hukuman-hukuman perbuatan tersebut saling
melengkapi, sehingga oleh karena itu semua perbuatan tersebut dijatuhi satu hukuman saja.
Menurut Santoso, dikutip oleh Mardani, teori saling melengkapi (tadakhkhul) ini didasari atas
dua pertimbangan:
1) Pada dasarnya sesuatu hukuman dijatuhkan dengan maksud memberikan
pengajaran (ta’dib) dan pencegahan terhadap orang lain (zairu), dan kedua
tujuan ini dapat dicapai dengan satu hukuman selama cukup membawa hasil.
2) Meski perbuatan-perbuatan yang berganda dan berbeda-beda macamnya (seperti
seseorang makan bangkai, daging babi, darah) hukumannya bisa saling
melengkapi dan cukup hanya satu hukuman saja untuk melindungi kepentingan
yang sama, ataupun untuk mewujudkan tujuan yang sama (misalnya, melindungi
kesehatan manusia dan masyarakat).

b. Teori Penyerapan
Teori kedua dari gabungan hukuman ialah teori penyerapan. Penyerapan merupakan
bentuk darivatif dari kata serap, artinya meresap, masuk ke dalam atau memasuki, sementara
penyerapan berarti perihal memasuki atau memasukkan. Dalam konteks ini, teori penyerapan
disebut dengan al-jabb. Dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku yang melakukan tindak
pidana lebih dari dua jenis, maka cukup dihukum dengan satu hukuman saja, sepanjang hukuman
tersebut mampu menyerap jenis hukuman dari tindak pidana lainnya. Jenis hukuman ini tidak
lain adalah hukuman mati, sebab hukuman mati menyerap semua jenis hukuman yang ada.
Contoh kasus seperti bergabungnya tindak pidana mencuri dengan tindak pidana zina
muhsan (zina yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah) yang pelakunya satu orang.
Dalam kasus ini, maka penerapan teori penyerapan adalah dengan merajam pelaku saja sebagai
hukuman zina muhsan, sementara hukuman potong tangan tidak lagi diterapkan sebab hukuman
rajam (mati) sudah menyerap hukuman potong tangan. Demikian pula dalam kasus
bergabungnya tindak pidana ḥudūd yang hukumannya tidak sampai pada hukuman mati dengan
hukuman yang lain seperti murtad dan hukuman pembunuhan. Maka dalam kasus ini, hukuman
ḥudūd tersebut tidak lagi diterapkan karena sudah diserap oleh hukuman mati pada pelaku
murtad atau qiṣāṣ.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Didalam hukum pidana islam, perbuatan jarimah adakalanya dilakukan secara

perorangan dan secara berkelompok. Dalam hukum pidana Islam, tindakan main hakim

termasuk dalam kategori turut serta melakukan jarimah. Turut serta adakalanya dilakukan

secara kebetulan dan terencana. Kerja sama yang dilakukan secara kebetulan disebut

tawafuq, sedangkan kerja sama yang dilakukan secara terencana disebut tamalu.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. Masyrofah, S. Ag., M. Si.

Dr. H. Marsaid, M. A

http://repository.radenfatah.ac.id/4396/3/BAB%20KESIMPULAN%20DAN%20SARAN.pdf

https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/14753/

Anda mungkin juga menyukai