Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata Kuliah Hukum Pidana
Di Susun Oleh :
Fahrizal 33010230111
FAKULTAS SYARI’AH
2024
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami ucapkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan inayah dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul “ Penyertaan (DEELNEMING)” Tidak lupa sholawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada junjungan kita nabi agung nabi Muhammad SAW yang mana kan
memberikan syafaatnya kepada kita dihari kiamat kelak. Tak lupa saya ucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepadan teman teman yang telah membantu dalam penulisan makalah ini
baik berupa formil maupun non-formil.
Oleh sebab itu, penulis meminta kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
membangun apabila menemukan ketidaksesuaian antara materi ini dengan materi yang
berlakuguna memperbaiki penulisan penulis selanjutnya. Semoga dengan adanya makalah
ini dapat membantu khalayak ramai dalam pembuatan makalah yang baik dan benar. Amiin
ya robbal a’lamin.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 2
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 6
B. Saran .......................................................................................................................... 6
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini, kasus-kasus dengan lebih dari satu pelaku sering terjadi di masyarakat.
Dalam proses peradilan, hakim memberikan hukuman berdasarkan kasus tersebut.
Dalam membuat keputusan, hakim tidak hanya mengacu pada undang-undang tetapi
juga mempertimbangkan tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.
Tindak pidana merupakan suatu aksi yang dilarang oleh hukum, di mana
undang-undang memberikan sanksi bagi siapapun yang melanggar aturan tersebut.
Undang-undang menjadi wadah utama dalam menetapkan tindak pidana, baik yang
terkodifikasi seperti dalam KUHP maupun yang terdapat dalam berbagai peraturan
perundang-undangan lain yang tidak terkodifikasi.
Makalah ini akan menguraikan berbagai topik mengenai definisi dan regulasi
yang terdapat dalam KUHP, serta membahas berbagai bentuk, karakteristik, dan studi
kasus yang relevan dengan kehidupan sosial.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Deelneming Secara Umum ?
2. Apa Landasan Atau Dasar Hukum Dari Delneming ?
3. Apa Saja Bentuk-Bentuk Deelneming ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Deelneming
2. Untuk Mengetahui Dasar Hukum Deelneming
3. Untuk memahami Bentuk-Bentuk Deelneming
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Deelneming Atau Keturutsertaan (Penyertaan)
Penyertaan merupakan tindakan melakukan kejahatan yang dijalankan oleh
beberapa orang yang memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang perbuatan mereka,
meskipun terkadang ada faktor pemaksaan. Dalam KUHP, penyertaan diatur oleh pasal
55 dan pasal 56, yang menyatakan bahwa ketika dua orang atau lebih berkolaborasi
untuk melakukan kejahatan, maka mereka dianggap sebagai partisipan dalam kejahatan
tersebut dalam konteks hukum. 1
1
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama Bandung 2011, hlm 174
2
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah bagian satu, Balai Lektur Mahasiswa , hlm. 497 - 498
2
Sedangkan ketentuan pidana seperti yang telah diatur didalam Pasal 56 KUHP
adalah sebagai berikut:
C. Bentuk-Bentuk Deelneming
Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan yang ada menurut ketentuan-
ketentuan pidana dalam pasal-pasal 55 dan 56 KUHP itu adalah:
1. Pleger atau Orang yang melakukan
Individu yang memenuhi seluruh kriteria tindak pidana yang ditetapkan
oleh undang-undang, termasuk aspek subjektif dan objektif, biasanya dapat
diidentifikasi berdasarkan jenis tindak pidananya, yaitu delik formil dan
delik materil.
2. Doen plegen atau menyuruh melakukan atau yang didalam doktrin juga
sering disebut sebagai middellijk daderschap.
Dalam hukum pidana, individu yang menginstruksikan orang lain untuk
melakukan kejahatan sering kali dikenal sebagai ‘middellijk dader’ atau
‘mettelbare tater’, yang berarti pelaku tidak langsung. Mereka dianggap
sebagai pelaku tidak langsung karena mereka tidak secara pribadi
melakukan kejahatan tersebut, melainkan melalui seseorang sebagai
perantara.
3. Medeplegen atau turut melakukan ataupun yang didalam doktrin juga sering
disebut sebagai mededaderschap
Medeplegen, selain dianggap sebagai bentuk penyertaan, juga dianggap
sebagai bentuk pelaku utama. Ketika seseorang melakukan tindak pidana,
orang tersebut umumnya disebut sebagai pelaku. Namun, jika tindak pidana
dilakukan secara kolektif oleh beberapa orang, maka setiap orang yang
3
Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana Jakarta: Bumi Aksara, 2003, ketentuan pasal 55 dan 56
3
terlibat dianggap sebagai pelaku bersama dengan yang lainnya dalam tindak
pidana tersebut.
4
Drs. P.A.F.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, 1997, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 615-
633
5
E.Y. Kanter, S.H., dan S.R. Sianturi, S.H., Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia
Grafika, Jakarta, 2002. hlm 350-359
4
1. Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau
menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.
2. Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa
diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan
sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja
melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai
tujuan sendiri.
3. pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP),
sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
4. Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang
bersangkutan dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut serta dipidana
sama.
Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan
dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan
dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking).
Perbedaannya pada niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak
jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula atau tidak ditimbulkan
oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan
kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si penganjur.
5
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyertaan (deelneming) berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu
seseorang lain melakukan tindak pidana. Penyertaan dibagi menjadi dua pembagian
besar, yaitu pembuat dan pembantu.Pengertian deelneming dalam konteks hukum
pidana merujuk pada pembantuan dan keikutsertaan seseorang dalam melakukan suatu
kejahatan atau tindak pidana. Ini berarti bahwa ketika terjadi suatu tindak pidana, bisa
jadi ada lebih dari satu orang yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak
langsung12. Deelneming mencakup berbagai bentuk partisipasi, seperti pelaku utama
yang melakukan tindakan pidana, penggerak yang memprovokasi tindakan tersebut,
dan pembantu yang memberikan bantuan atau kesempatan untuk melakukannya.
B. Saran
Penulis Mneyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu
penulis senantiasa dengan lanag dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan
kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.
6
DAFTAR PUSTAKA
Drs. P.A.F.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, 1997, PT.Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 615-633
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama Bandung 2011, hlm 174
E.Y. Kanter, S.H., dan S.R. Sianturi, S.H., Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002. hlm 350-359
Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana Jakarta: Bumi Aksara, 2003,
ketentuan pasal 55 dan 56
iii