Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH HUKUM PIDANA

“DEELNEMING”
Disusun : untuk memenuhi Tugas Perkuliahan
Dosen Pengampu Hukum Pidana : Iffaty Nasyi’ah, MH

Disusun oleh ;

Saiful Anwar : 200203110093


Annasya Putri Jauhari : 200203110099
Maulida Hepi Antasani : 200203110085

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG


FAKULTAS SYARI’AH
HUKUM TATA NEGARA
2022
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji dan syukur ke hadirat Alah Swt yang telah memberikan rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulisan pembuatan makalah Deelneming ini dapat
terselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan
Nabi Muhammad saw. Karena beliaulah yang telah mengenalkan kita bahwa ilmu pengetahuan
sangat menarik untuk dipelajari dan digali lebih dalam demi kemaslahatan bersama.
Pada kesempatan ini, Pertama kami ingin mengucapkan terimakasih kepada Ibu Iffaty
Nasyi’ah, MH selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Pidana jurusan Hukum Tata Negara-
C Uin Maulana Malik Ibrahim Malang, yang telah memberi bimbingan kepada kami dalam
penulisan makalah ini dan tanpa bimbingan beliau kami tidak bisa menyelesaikan penulisan
makalah ini dengan tepat dan benar. Kedua tak lupa juga kami ucapkan terimakasih kepada
anggota kelompok yang ikut serta dalam penugasan penyusunan makalah ini serta teman-teman
seperjuangan yang selalu berjuang dengan kami selama ini.
Dalam penulisan makalah ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan yang mungkin
tidak disadari oleh penulis. Penulisan makalah ini pun masih jauh dari kata sempurna ibarat
bangunan yang kokoh sekalipun pasti ada celah keratakan di dalamnya. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan perbaikan makalah kami
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan membawa pemahaman khususnya
Mahasiswa-mahasiswi Hukum Tata Negara-C ke jenjang yang lebih luas dalam memahami
materi yang akan kita bahas dalam makalah ini.

Malang, 26 Februari 2022

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ..............................................................................................................................................iii
BAB I ......................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ...................................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................................ 1
C. Tujuan............................................................................................................................................ 1
BAB II ........................................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ........................................................................................................................................ 2
A. Deelneming (tindak pidana ikut serta) ........................................................................................ 2
B. Dader (Pertanggung Jawaban Penyertaan Dalam Tindak Pidana) .......................................... 6
C. Penyertaan (deelneming) .............................................................................................................. 7
BAB III PENUTUP ................................................................................................................................... 9
A. Kesimpulan ....................................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................. 10

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada saat ini banyak sekali terdapat kasus dimana pelakunya lebih darisatu orang,
yang terjadi di masyarakat kita. Dalam beracara, hakim menjatuhkan pidana atas suatu
perkara. Hakim mendasarkan putusannya selain pada undang – undang juga
mempertimbangkan tuntutan dari jaksa penuntut umum.

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakandilarang yang


disertai ancaman pada barang-barang siapa yang melanggar larangantersebut,wadah tidak
pidana ialah undang- ar kodefikasi
yang tersear luas dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Penyertaan atau dalam bahasa Belanda Deelneming di dalam hukum Pidana


Deelneming dipermasalahkan karena berdasarkan kenyataan sering suatudelik dilakukan
bersama oeleh beberapa orang,jika hanya satu orang yangmelakukan delik,pelakunya disebut
Alleen dader.

Dalam makalah ini kami menjelaskan beberapa bahasan tentang maksud dari dader dab
deelneming, konsep pelku perbuatan pidana langsung, dan tidak langsung.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan dader dan deelneming?


2. Bagaimana konsep perilaku perbuatan pidana langsung?
3. Bagaimana konsep perilaku perbuatan pidana tidak langsung?

C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui maksud dari dader dan deelneming


2. Untuk Mengetahui konsep perilaku perbuatan pidana langsung
3. Untuk Mengetahui konsep perilaku perbuatan pidana tidak langsung

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Deelneming (tindak pidana ikut serta)


Pengertian deelneming meliputi semua bentuk turut serta /terlibatnya orang atau
orang-orang baik secara psikis maupun fisik yang melakukan masing-masing perbuatan
sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama
yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan dari masing-masing mereka berbeda satu
dengan yang lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap bathin mereka
terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan
yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa
eratnya, dimana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lainnya yang semua
mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana.
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa yang dinamakan
deelneming adalah turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu orang lain melakukan
tindak pidana.1
Hubungan antar peserta dalam menyelesaikan tindak pidana tersebut dapat
bermacam-macam, yaitu :
1. Bersama-sama melakukan kejahatan;
2. Seorang mempunyai kehendak dan menrencanakan sesuatu kejahatan sedangkan ia
mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut;
3. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu
melaksaankan tindak pidana tersebut.

Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya,yaitu :


1. Bentuk penyertaan berdiri sendiri Yang termasuk jenis ini adalah mereka yang
melakukan dan yang turut serta melakukan pidana. pertanggung jawaban masing-
masing peserta dinilai atau dihargai sendiri-sendiri atas segala perbuatan atau
tindakan yang dilakukan.
2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri Yang termasuk dalam jenis ini adalah
pembujuk, pembantu dan yang menyuruh untuk melakukan suatu tindak pidana
1
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana diIndonesia, Bandung : PT Eresco Jakarta,1981, h.108

2
pertanggung jawaban dari peserta yang satu digantungkan pada perbuatan peserta
lain.2
Unsur Penyertaan
Dalam tindak pidana penyertaan ( Deelneming) terdapat unsur objektif dan unsur
subjektif.
1. Unsur Objektif
Menganjurkan orang lain melakukan perbuatan, dengan menggunakan cara :
a. Memberikan sesuatu
b. Menjanjikan sesuatu
c. Menyalahgunakan kekuasaan
d. Menyalahgunakan martabat
e. Dengan kekerasan
f. Dengan ancaman
g. Dengan penyesatan
h. Dengan memberi kesempatan
i. Dengan memberi sarana
j. Dengan memberikan keterangan.

2. Unsur Subjektif : dengan sengaja


 Adanya hubungan bathin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang hendak
diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya
tindak pidana. disini sedikit atau banyak ada kepentingan untuk terwujudnya
tindak pidana;
 Adanya hubungan bathin (kesengajaan, seperti mengetahui) antara dirinya
dengan peserta yang lainnya dan bahkan dengan apa yang diperbuat oleh peserta
lainnya.
Bentuk-bentuk Penyertaan
Penyertaan menurut KUHP diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP. Berdasarkan pasal-
pasal tersebut, penyertaan dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu : Dalam pasal 55
menyebutkan empat golongan yang dapat dipidana atau pembuat ( Dader):

2
Teguh Prasetyo,Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Pers,2014, h.30

3
1. Pelaku atau pleger
2. Menyuruh melakukan atau doenpleger
3. Turut serta atau medepleger
4. Penganjur atau uitlokker.
Dalam pasal 56 KUHP menyebutkan siapa yang dipidana sebagai pembantu suatu
kejahatan (medeplichtiegheid) yaitu ada dua golongan :
a. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
b. Mereka yang memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.
1. Pelaku (Pleger)
Pelaku adalah orang yang melakukan seluruh isi delik. Apabila dua orang
bersama-sama melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, sedangkan pelaku
sendiri-sendiri tidak menghasilkan kejahatan itu dapat terjadi “turut melakukan”.3
Sedangkan menurut MvT, Pompe, Hazewinkle, Suringa, Van Hattum, dan Mulyanto
bahwasanya yang dimaksud dengan pelaku adalah tiap orang yang melakukan/
menimbulkan akibat yang memenuhi rumusan delik. Pelaku (pleger) dikategorikan
sebagai peserta hal ini karena pelaku tersebut dipandang sebagai salah seorang yang
terlibat dalam peristiwa tindak pidana dimana terdapat beberapa orang peserta. 4

2. Orang yang menyuruh melakukan (Doenpleger)

Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang


lain, sedangkan perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian ada dua
pihak, yaitu pembuat langsung (manus manistra/auctor physicus), dan pembuat tidak
langsung (manus domina/auctor intellectualis).

Unsur-unsur pada doenpleger adalah:

a. Alat yang dipakai adalah manusia;


b. Alat yang dipakai berbuat;

3
Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahakamah Agung dan Hoge Raad, Jakarta
:Rajawali Pers, 2009, Ed ke-5,h.52
4
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta:Rajawali Pers,2012, Ed ke-1, h.215.

4
c. Alat yang dipakai tidak dapat dipertanggungjawabkan.
3. Orang yang turut serta (Medepleger)

Medepleger menurut MvT adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau
turut mengerjakan terjadinya sesuatu. Oleh karena itu, kualitas masing-masing peserta
tindak pidana adalah sama. Turut mengerjakan sesuatu yaitu :

a. Mereka memenuhi semua rumusan delik;


b. Salah satu memenuhi rumusan delik;
c. Masing-masing hanya memenuhi sebahagian rumusan delik.

Syarat adanya medepleger, antara lain :

a. Adanya kerja sama secara sadar, kerja sama dilakukan secara sengaja untuk
kerja sama dan ditujukan kepada hal yang dilarang undang- undang;
b. Adanya pelaksanaan bersama secara fisik, yang menimbulkan selesainya delik
yang bersangkutan.

4. Penganjur (Uitlokker)
Penganjur adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu
tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-
undang. Penganjuran (uitloken) mirip dengan menyuruh melakukan (doenplegen),
yaitu melalui perbuatan orang lain sebagai perantara.
5. Pembantuan ( Medeplichtige)
Sebagaimana disebutkan dalam padal 56 KUHP, pembantuan ada dua jenis yaitu :
a. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya
tidak disebutkan dalam KUHP, dan ini mirip dengan turut serta (medeplegen);
b. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan yang dilakukan dengan cara
memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Dan ini mirip dengan
penganjuran (uitlokking).

5
B. Dader (Pertanggung Jawaban Penyertaan Dalam Tindak Pidana)

Menurut sistem KUHP, subjek hukum tindak pidana adalah orang. Rumusan
tindak pidana dimulai dengan barang siapa (hij die) atau diluar KUHP dimulai dengan
“setiap orang“. Barang siapa atau setiap orang adalah orang, dan orang tersebut hanya
satu orang. Satu orang inilah yang disebut dader (pembuat tunggal). Pembuat tunggal
ialah orang yang melakukan tindak pidana secara pribadi. Berbuat sendiri - sendiri tidak
melibatkan seorangpun dalam melakukan tindak pidana. Terwujudnya tindak pidana
tidak menutup kemungkinan ditimbulkan oleh perbuatan beberapa orang.

Contoh, tiga orang (A, B, C) bersepakat membunuh seseorang . Untuk


melaksanakan pembunuhan tersebut suatu malam ketika korban tidur, tiga orang itu
masuk rumah korban dengan memanjat pagar.Satu orang (A) menjaga diluar rumah, satu
orang (B) mencongkel pintu, satu orang lainnya (C) masuk rumah menuju kamar korban,
dan menikamkan pisau ke perut korban berkali kali, menyebabkan korban meninggal
dunia. Dalam pembunuhan ini terlibat 3 orang. Masing - masing melakukan perbuatan
berbeda - beda, namun antara perbuatan yang satu berkaitan dengan perbuatan lainnya
yang mengarah pada suatu tujuan yakni kematian korban. Pembunuhan tersebut
diselesaikan oleh perbuatan - perbuatan masing – masing orang yang wujudnya tidak
sama. Perbuatan orang masing - masing itulah yang menimbulkan tindak pidana
pembunuhan. Tiga orang ini dibebani pertanggung jawaban pidana dan dipidana. Dalam
hal untuk membebani pertanggung jawaban pidana dan menjatuhkan pidana terhadap
mereka Inilah di perlukan ketentuan penyertaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55,
56, 57, 58, 59, dan 60 KUHP. Tidak cukup dengan ketentuan Pasal 338 KUHP saja.
Apabila tidak dibentuk ketentuan penyertaan, maka orang yang dapat dipidana hanyalah
terhadap C saja. Karena perbuatan C saja yang memenuhi semua Unsur Pasal 338. 5

Golongan pelaku tindak pidana dalam penyertaanya dibagi menjadi dua bagian yaitu,

A. Pembuat (dader), yang menurut pasal 55 KUHP adalah:


1. Pelaku (Pleger)
2. Yang menyuruh melakukan (Doenpleger)

5
Adami chazawi,.Pelajaran Hukum Pidana bagian 3, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, h. 69.

6
3. Yang turut serta ( Medepleger)
4. Penganjur (Uitlokker)
B. Pembuat pembantu kejahatan (Medeplichtige), mnurut pasal 56 KUHP, yaitu:
1. Pembantu pada saat dilaksanakannya kejahatan
2. Pembantu sebelum dilaksanakannya kejahatan

C. Penyertaan (deelneming)

Deelneming adalah sebuah istilah hukum dalam Bahasa belanda yang memilki arti pada
keikutsertaan (mededaderschap) dan pembantuan (medeplichtigheid) seseorang dalam
melakukan suatu tindak piidana. Deelneming menurut hukum pidana di Indonesia adalah
tindak pidana yang secara sendiri telah memenuhi segala unsur dalam suatu rumusan tindak
pidana. Orang yang melakukan tersebut disebut (pleger). Ia dihukum karena telah melakukan
tindak pidana. Akan tetapi pelaku ini tidak melakukannya sendiri. Di beberapa kejadian
tindak pidana dilakukan oleh beberapa pelaku.

Jenis-jenis penyertaan (deelneming) :

1. Menyuruh melakukan (Doen plegen)


2. Turut serta melakukan ( Medepplegen)
3. Menganjurkan melakukan (Uitlokking )

Penyertaan (deelneming) peristiwa yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya


orang - orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing - masing perbuatan
sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang – orang yang terlibat dalam kerjasama yang
mewujudkan suatu tindak pidana, perbuatan masing - masing dari mereka berbeda satu
dengan yang lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang yang ada dalam sikap batin
mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain. Namun demikian dengan
perbedaan - perbedaan yang ada pada masing - masing itu terjalin dan suatu hubungan yang
sedemikian rupa eratnya, dimana perbuatan oleh yang satu dengan yang lainnya menunjang
perbuatan oleh yang lainnya yang semuanya mengarah pada terwujudnya suatu tindak

7
pidana.6 Terdapat dua persoalan pokok dalam pertanggung jawaban penyertaan yaitu
persoalan pertama mengenai orangnya, ialah orang yang mewujudkan perbuatan yang
bagaimanakah dan atau yang bersikap batin bagaimana yang dapat dipertimbangkan dan
ditentukan sebagai terlibat atau bersangkut paut dengan tindak tindak pidana yang
diwujudkan oleh kerjasama lebih dari satu orang, sehingga dia patut dibebani pertanggung
jawaban pidana dan dipidana. Persoalan kedua yaitu mengenai pertanggung jawaban pidana
yang dibebannya masing - masing. Apakah para peserta yang terlibat akan dipertanggung
jawabkan yang sama ataukah akan dipertanggung jawabkan secara berbeda. Sesuai dengan
kuat tidaknya kehendak untuk mewujudkan tindak pidana dan keterlibatan atau ikut andil
dari perbuatan yang mereka lakukan terhadap terwujudnya tindak pidana.

Dari dua jawaban permasalahan tersebut diatas, dapat ditentukan siapa - siapa yang
terlibat dan berat ringannya tanggung jawabnya sesuai dengan andil dari apa yang telah
diperbuat untuk terwujudnya tindak pidana. Dua masalah pada penyertaan tersebut diatas
adalah tidak dapat dipisahkan. Jawaban atau pemecahan masalah persoalan pertama akan
mempengaruhi jawaban atau pemecahan dari persoalan yang kedua. Dalam membahas
persoalan pertama, dikenal ada dua ajaran, ialah penyertaan objektif dan penyertaan
subjektif. Pandangan subjektif menitik beratkan pada sikap batin pembuat yang terlibat.
Menurut pandangan subjektif, bahwa orang yang terlibat dalam penyertaan tindak pidana.
Apabila dia berkehendak, mempunyai tujuan dan kepentingan untuk mewujudkan tindak
pidana. Siapa yang berkehendak yang paling kuat dan atau mempunyai kepentingan yang
paling besar terhadap terwujudnya tindak pidana, orang itu yang membebankan tanggung
jawab pidana yang lebih besar. Sebaliknya penyertaan objektif, yang menitik beratkan pada
peran dari wujud perbuatan yang dilakukan terhadap timbulnya tindak pidana. Terlibatnya
seseorang dalam suatu tindak pidana dan sejauh mana berat ringan beban pertangung
jawaban pidananya bergantung pada seberapa besar peran dan pengaruh perbuatan orang
yang terlibat tersebut terhadap timbulnya tindak pidana. Dalam hukum positif (KUHP), tidak
secara jelas menganut persoalan yang mana.Namun demikian, setiap bentuk penyertaan dapat
dipandang dari salah satu sudut, objektif ataukah subjektif. Seperti bentuk pembuat penyuruh
(doenpleger) lebih condong ke objektif.

6
Adami chzawi, Op.Cit, h.71

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyertaaan adalah turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang lain
melakukan tindak pidana, yang dilakukan secara bersama-sama dengan waktu yang
bersamaan dan niat yang sama pula dalam melakukan tindak pidana tersebut. Dasar
hukum dari delik penyertaan terdapat dalam KUHP buku ke-1 bab V Pasal 55 dan pasal
56, sedangkan mengenai sanksi delik penyertaan terdapat dalam pasal 57.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas maka delik penyertaan dapat digolongkan


menjadi (1) Yang Melakukam Perbuatan (Dader, Plegen), (2) Yang Menyuruh
Melakukan (Doenplegen, Medelijke Dader), (3) Yang Turut Serta Melakukan
(Medeplegen, Mede Dader), (4) Yang Membujuk Melakukan Perbuatan (Uitlokker).

Suatu tindak pidana dapat dikenakan sanksi apabila telah memenuhi unsur-unsur
tindak pidana. Pada umumnya syarat-syarat tindak pidana dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu Unsur obyektif dan Unsur subjektif. Selain kedua syarat umum tersebut,
masing-masing peserta mempunyai syarat-syarat sendiri sehingga dapat disebut sebagai
pelaku yang turut melakukan tindak pidana. Masing-masing peserta yang turut serta
melakukan tindak pidana mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1. Mereka yang melakukan perbuatan (Dader, Plegen), ialah secara umum perbuatannya
telah memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana.
2. Mereka yang menyuruh melakukan perbuatan (Doenplegen), yakni orang yang
disuruh itu harus orang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut KUHP.
3. Mereka yang turut serta melakukan perbuatan (Medeplegen), yaitu peserta melakukan
perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang dan melakukan
bersama-sama suatu perbuatan yang dilarang dengan kesadaran bahwa mereka
bekerja sama.

9
DAFTAR PUSTAKA

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana diIndonesia, Bandung : PT Eresco


Jakarta,1981, h.108

Teguh Prasetyo,Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Pers,2014, h.30

Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahakamah


Agung dan Hoge Raad, Jakarta :Rajawali Pers, 2009, Ed ke-5,h.52

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta:Rajawali


Pers,2012, Ed ke-1, h.215

Adami chazawi,.Pelajaran Hukum Pidana bagian 3, PT Raja Grafindo Persada,


Jakarta, 2010, h. 69.

10

Anda mungkin juga menyukai