Hukum Agraria Seleeeee
Hukum Agraria Seleeeee
Alhamdulillah segala puji dan syukur kita atas kehadirat Allah Swt, yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Makalah ini merupakan salah satu tugas untuk memperoleh nilai di jurusan ilmu
hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Kisaran, Asahan. Makalah ini berjudul
“Pendaftaran Atas Tanah”.
Penulisan Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu
Hukum Muhammadiyah Kisaran Asahan khususnya bagi penulis dan dapat dipergunakan
seperlunya dalam kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan hukum.
Penulis juga menyadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari
sempurna. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis akan sangat berterima kasih jika
ada kritik dan saran membangun demi kesempurnaan nantinya.
Pada kesempatan ini kami ingin berterimakasih kepada Bapak Sofian S.H., M.H selaku Dosen
Mata Kuliah ini dan kepada rekan yang berkontribusi dalam penyelesaian makalah ini.
Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.
HALAMAN JUDUL.................................................................................................
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
A. Latar belakang......................................................................................................
B. Perumusan masalah...........................................................................................
C. Tujuan penulisan.................................................................................................
D. Manfaat penulisan...............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................
A. Penyertaan.............................................................................................................
B. Bentuk-Bentuk Penyertaan.............................................................................
C. Pembantuan...........................................................................................................
A. Kesimpulan............................................................................................................
B. Saran.........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
LAMPIRAN..............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, sehingga setiap kegiatan manusia
atau
Berdasarkan uraian-uraian dalam latar belakang di atas, maka permasalahan yang dapat di
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian dalam latar belakang dan permasalahan yang telah di rumuskan, maka
a. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan penyertaan.
D. Manfaat Penulisan
a. Sebagai salah satu pemahaman materi hukum pidana dalam peningkatan dan
Subyek hukum yang disebutkan dan dimaksudkan dalam rumusan tindak pidana adalah
hanya satu orang, bukan beberapa orang. Namun sering terjadi subyek suatu tindak pidana
dilakukan lebih dari satu orang. Dalam hal ini dinamakan sebagai suatu penyertaan atau
Deelneming. Penyertaan atau deelneming adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut
serta/terlibatnya orang atau orang- orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan
1 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.73
Judul Buku Kesatu Bab V KUHP berbunyi: Penyertaan dalam Tindak Pidana. 2 Apakah yang
dimaksud dengan istilah penyertaan? Jelas bahwa makna dari istilah ini ialah bahwa ada dua orang
atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan lain perkataan ada dua orang atau lebih
mengambil bahagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana. 3 Yang dimaksud dengan penyertaan
(deelneming) dalam arti sempit dalam tulisan ini ialah semua bentuk-bentuk penyertaan yang
ditentukan dalam pasal 55 KUHP. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan pembantuan (pasal 56)
Secara luas dapat disebutkan bahwa seseorang turut serta ambil bagian dalam hubungannya
dengan orang lain, untuk mewujudkan suatu tindak pidana, mungkin jauh sebelum terjadinya
untuk melakukan, memberikan keterangan dan sebagainya), pada saat terjadinya (misalnya: turut
serta, bersama-sama melakukan atau seseorang itu dibantu oleh orang lain) atau setelah terjadinya
sesuatu tindak pidana (menyembunyikan pelaku atau hasil tindak pidana pelaku). 5
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “penyertaan” berasal dari kata serta yang
memiliki arti ikut, mengikut, turut, dengan, bersama-sama dengan, beserta, mengiringi, menyertai,
menemani, untuk membantu, iku-ikut, ikut campur, membarengi. 6 Yang kemudian penyertaan
memiliki arti turut sertanya seseorang atau lebih dalam suatu tindak pidana. Penyertaan diatur di
dalam Pasal 55 dan 56 Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 tahun 1976 tentang Peraturan
Hukum Indonesia (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Pasal 55 dan 56 mengatur mengenai
kategori dari perbuatan yang dilakukan termasuk dalam turut serta atau pembantuan apakah
Secara umum penyertaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan (tindak pidana) yang
dilakukan lebih dari satu orang. Kata penyertaan (deelneming) berarti turut sertanya seseorang
atau lebih pada waktu seseorang lain melakukan tindak pidana. Menurut VanHamel, memberikan
2 Tim Redaksi, KUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata dan KUHP Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Efata Publishing, Yogyakarta, 2014, hal 161
3 E.Y. Kanter, S.H dan S.R. Sianturi S.H, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Storia Grafika,
Jakarta, 2002, hal.336
4 Ibid, hal.338
5 Ibid, hal.336
6 Suharso dan Ana Retnonongsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Lux, Widya Karya, 2014, hal. 484
dalam hal suatu tindak pidana yang menurut pengertian undang-undangan, dapat dilaksanakan
oleh seorang pelaku dengan tindakan sendiri. 7 Pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta
atau terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-
Penyertaan (bahasa Belanda: deelneming) adalah sebuah istilah hukum yang mengacu pada
suatu tindak pidana.9 Kata deelneming berasal dari kata deelnemen (Belanda) yang diterjemahkan
Dasar hukum penyertaan telah diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Ketentuan pidana
keterangan, dengan sengaja telah menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak
(2) Mengenai mereka yang disebutkan terakhir ini, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada
mereka itu hanyalah tindakan-tindakan yang dengan sengaja telah mereka gerakkan untuk
(1) Mereka yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan
tersebut.
(2) Mereka yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-
7 AK Moch Anwar, Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Alumni, 2001,
hal.3
8 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal.51
9 Wikipedia, Penyertaan, Https://id.wikipedia.org/wiki/Penyertaan_(hukum_pidana), diakses pada tanggal 3
Desember 2021 pukul 21.06 Wib
10 Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, hal.77
Menurut KUHP yang dimaksud dengan turut serta melakukan adalah setiap orang yang
sengaja berbuat dalam melakukan suatu tindak pidana. Pada mulanya yang disebut dengan turut
berbuat itu ialah bahwa masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang sama-sama
Teori penyertaan tindak pidana (deelneming) terjadi apabila dalam suatu tindak pidana
terlibat lebih dari satu orang. Sehingga harus dicari pertanggung jawaban masing-masing orang
B. Bentuk-Bentuk Penyertaan
Bentuk-bentuk penyertan terdapat dan diterangkan dalam Pasal 55 dan 56. Pasal 55
mengenai golongan yang disebut dengan medeader (disebut para peserta, atau para pembuat), dan
Pelaku (pleger)
Pelaku adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi perumusan
delik (perbuatan yang dpat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap
undang-undang atau merupakan tindak pidana) dan dipandang paling bertanggung jawab
atas kejahatan.13 Sehingga dapat diartikan sebagai orang yang karena perbuatannya sehingga
melahirkan tindak pidana, tanpa adanya perbuatannya tindak pidana itu tidak akan
terwujud. Secara resmi (formil) pleger adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan
perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana yang bersangkutan. Pada tindak
pidana yang dirumuskan secara material plegen adalah orang yang perbuatannya
perbuatan secara pribadi atau melakukan tindak pidana secara sendiri, melainkan bersama-
sama dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana itu. Jadi pleger adalah orang yang
11 Ike Indra, Pembantuan dan Penyertaan, Universitas Air Langga, Surabaya, 2018, hal.287
12 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hal. 80
13 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal.20
memenuhi semua unsur delik, termasuk juga bila melalui orang-orang lain atau bawahan
mereka.
Wujud dari penyertaan (deelneming) yang pertama disebutkan dalam Pasal 55 ialah
menyuruh melakukan perbuatan (doenplegen). Hal ini terjadi apabila seseorang menyuruh
pelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak pidana, tetapi oleh karena
beberapa hal si pelaku tidak dapat dikenai hukuman pidana. Jadi si pelaku itu seolah-olah
Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantara orang lain,
sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian, ada du pihak, yaitu
dipertanggungjawabkan, adalah:
c) Bila ia berbuat karena perintah jabatan yang tidak sah (pasal 51 ayat (2));
e) Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang disyaratkan untuk kejahatan yang
bersangkutan.
Jika yang disuruh melakukan seorang anak kecil yang belum cukup umur, maka tetap
mengacu pada pasal 45 dan pasal 47 jo. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak.
14 Ibid, hal.207
Medepleger adalah orang yang melakukan kesepakatan dengan orang lain untuk
melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersama-sama pula ia turut beraksi dalam
Di dalam medepleger terdapat tiga ciri penting yang membedakannya dengan bentuk
penyertaan yang lain. Pertama, pelaksanaan perbuatan pidana melibatkan dua orang atau
lebih. Kedua, semua orang yang terlibat benar-benar melakukan kerja sama secara fisik
dalam pelaksanaan perbuatan pidana yang terjadi. Ketiga, terjadinya kerja sama fisik bukan
karena kebetulan, tetapi memang telah kesepakatan yang telah direncanakan sebelumnya.
Ada tiga kemungkinan terhadap kerja sama fisik di antara pihak-pihak yang terlibat
3. Penganjur (uitlokker)