Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PENDAFTARAN ATAS TANAH


Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Tugas
Untuk Memperoleh Nilai Hukum Agraria

FIKRI AULIA AKMAL


NPM. 200300003
FERI GUNAWAN
NPM. 200300042

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM


MUHAMMADIYAH KISARAN ASAHAN
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur kita atas kehadirat Allah Swt, yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Makalah ini merupakan salah satu tugas untuk memperoleh nilai di jurusan ilmu
hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Kisaran, Asahan. Makalah ini berjudul
“Pendaftaran Atas Tanah”.

Penulisan Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu
Hukum Muhammadiyah Kisaran Asahan khususnya bagi penulis dan dapat dipergunakan
seperlunya dalam kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan hukum.

Penulis juga menyadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari
sempurna. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis akan sangat berterima kasih jika
ada kritik dan saran membangun demi kesempurnaan nantinya.

Pada kesempatan ini kami ingin berterimakasih kepada Bapak Sofian S.H., M.H selaku Dosen
Mata Kuliah ini dan kepada rekan yang berkontribusi dalam penyelesaian makalah ini.

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Kisaran, April 2022


Penulis

Kelompok 7 Hukum Agraria


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................

KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................... 1

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................

A. Latar belakang......................................................................................................

B. Perumusan masalah...........................................................................................

C. Tujuan penulisan.................................................................................................

D. Manfaat penulisan...............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................

A. Penyertaan.............................................................................................................

B. Bentuk-Bentuk Penyertaan.............................................................................

C. Pembantuan...........................................................................................................

D. Perbedaan pembantuan dengan penyertaan...........................................

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................

A. Kesimpulan............................................................................................................

B. Saran.........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................

LAMPIRAN..............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, sehingga setiap kegiatan manusia

atau

B.   Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian dalam latar belakang di atas, maka permasalahan yang dapat di

rumuskan dalam makalah ini adalah :

1. Apa yang dimaksud dengan penyertaan?

2. Apa saja bentuk-bentuk penyertaan?

C.  Tujuan Penulisan

                     Berdasarkan uraian dalam latar belakang dan permasalahan yang telah di rumuskan, maka

secara keseluruhan tujuan dari makalah ini adalah :

a. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan penyertaan.

b. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk penyertaan.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan ini diharapkan dapat membeikan kegunaan :

a. Sebagai salah satu pemahaman materi hukum pidana dalam peningkatan dan

pengembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum.

b. Memperkaya wawasan mahasiswa terhadap pembelajaran hukum pidana mengenai

penyertaan dan pembantuan hukum pidana.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyertaan

Subyek hukum yang disebutkan dan dimaksudkan dalam rumusan tindak pidana adalah

hanya satu orang, bukan beberapa orang. Namun sering terjadi subyek suatu tindak pidana

dilakukan lebih dari satu orang. Dalam hal ini dinamakan sebagai suatu penyertaan atau

Deelneming. Penyertaan atau deelneming adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut

serta/terlibatnya orang atau orang- orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan

masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. 1

1 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.73
Judul Buku Kesatu Bab V KUHP berbunyi: Penyertaan dalam Tindak Pidana. 2 Apakah yang

dimaksud dengan istilah penyertaan? Jelas bahwa makna dari istilah ini ialah bahwa ada dua orang

atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan lain perkataan ada dua orang atau lebih

mengambil bahagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana. 3 Yang dimaksud dengan penyertaan

(deelneming) dalam arti sempit dalam tulisan ini ialah semua bentuk-bentuk penyertaan yang

ditentukan dalam pasal 55 KUHP. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan pembantuan (pasal 56)

sebagai salah satu bentuk penyertaan.4

Secara luas dapat disebutkan bahwa seseorang turut serta ambil bagian dalam hubungannya

dengan orang lain, untuk mewujudkan suatu tindak pidana, mungkin jauh sebelum terjadinya

(misalnya: merencanakan), dekat sebelum terjadinya (misalnya: menyuruh atau menggerakkan

untuk melakukan, memberikan keterangan dan sebagainya), pada saat terjadinya (misalnya: turut

serta, bersama-sama melakukan atau seseorang itu dibantu oleh orang lain) atau setelah terjadinya

sesuatu tindak pidana (menyembunyikan pelaku atau hasil tindak pidana pelaku). 5

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “penyertaan” berasal dari kata serta yang

memiliki arti ikut, mengikut, turut, dengan, bersama-sama dengan, beserta, mengiringi, menyertai,

menemani, untuk membantu, iku-ikut, ikut campur, membarengi. 6 Yang kemudian penyertaan

memiliki arti turut sertanya seseorang atau lebih dalam suatu tindak pidana. Penyertaan diatur di

dalam Pasal 55 dan 56 Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 tahun 1976 tentang Peraturan

Hukum Indonesia (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Pasal 55 dan 56 mengatur mengenai

kategori dari perbuatan yang dilakukan termasuk dalam turut serta atau pembantuan apakah

termasuk atau tidak.

Secara umum penyertaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan (tindak pidana) yang

dilakukan lebih dari satu orang. Kata penyertaan (deelneming) berarti turut sertanya seseorang

atau lebih pada waktu seseorang lain melakukan tindak pidana. Menurut VanHamel, memberikan

definisi penyertaan sebagai ajaran pertanggungjawaban atau pembagian pertanggungjawaban

2 Tim Redaksi, KUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata dan KUHP Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Efata Publishing, Yogyakarta, 2014, hal 161
3 E.Y. Kanter, S.H dan S.R. Sianturi S.H, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Storia Grafika,
Jakarta, 2002, hal.336
4 Ibid, hal.338
5 Ibid, hal.336
6 Suharso dan Ana Retnonongsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Lux, Widya Karya, 2014, hal. 484
dalam hal suatu tindak pidana yang menurut pengertian undang-undangan, dapat dilaksanakan

oleh seorang pelaku dengan tindakan sendiri. 7 Pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta

atau terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-

masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana.8

Penyertaan (bahasa Belanda: deelneming) adalah sebuah istilah hukum yang mengacu pada

keikutsertaan (mededaderschap) dan pembantuan (medeplichtigheid) seorang dalam melakukan

suatu tindak pidana.9 Kata deelneming berasal dari kata deelnemen (Belanda) yang diterjemahkan

dengan kata “menyertai” dan deelneming menjadi “penyertaan”.10

Dasar hukum penyertaan telah diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Ketentuan pidana

dalam Pasal 55 KUHP menurut rumusannya berbunyi:

(1) Dihukum sebagai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana, yaitu:

1. Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan atau yang turut melakukan;

2. Mereka yang dengan pemberian-pemberian, janji-janji, dengan menyalahgunakan

kekuasaan atau keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan

kesalahpahaman atau dengan memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-

keterangan, dengan sengaja telah menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak

pidana yang bersangkutan.

(2) Mengenai mereka yang disebutkan terakhir ini, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada

mereka itu hanyalah tindakan-tindakan yang dengan sengaja telah mereka gerakkan untuk

dilakukan oleh orang lain, berikut akibat-akibatnya.

Sedangkan ketentuan pidana dalam Pasal 56 KUHP menurut rumusannya berbunyi:

(1) Mereka yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan

tersebut.

(2) Mereka yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-

keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.

7 AK Moch Anwar, Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Alumni, 2001,
hal.3
8 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal.51
9 Wikipedia, Penyertaan, Https://id.wikipedia.org/wiki/Penyertaan_(hukum_pidana), diakses pada tanggal 3
Desember 2021 pukul 21.06 Wib
10 Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, hal.77
Menurut KUHP yang dimaksud dengan turut serta melakukan adalah setiap orang yang

sengaja berbuat dalam melakukan suatu tindak pidana. Pada mulanya yang disebut dengan turut

berbuat itu ialah bahwa masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang sama-sama

memenuhi semua rumusan tindak pidana yang bersangkutan.

Teori penyertaan tindak pidana (deelneming) terjadi apabila dalam suatu tindak pidana

terlibat lebih dari satu orang. Sehingga harus dicari pertanggung jawaban masing-masing orang

yang tersangkut dalam tindak pidana tersebut.11

B. Bentuk-Bentuk Penyertaan

Bentuk-bentuk penyertan terdapat dan diterangkan dalam Pasal 55 dan 56. Pasal 55

mengenai golongan yang disebut dengan medeader (disebut para peserta, atau para pembuat), dan

Pasal 56 mengenai medeplichtige (pembuat pembantu).12

Pelaku (pleger)

Pelaku adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi perumusan

delik (perbuatan yang dpat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap

undang-undang atau merupakan tindak pidana) dan dipandang paling bertanggung jawab

atas kejahatan.13 Sehingga dapat diartikan sebagai orang yang karena perbuatannya sehingga

melahirkan tindak pidana, tanpa adanya perbuatannya tindak pidana itu tidak akan

terwujud. Secara resmi (formil) pleger adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan

perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana yang bersangkutan. Pada tindak

pidana yang dirumuskan secara material plegen adalah orang yang perbuatannya

menimbulkan akibat yang dilarang oleh Undang-Undang.

Menurut Pasal 55 KUHP, yang melakukan perbuatan disini tidak melakukan

perbuatan secara pribadi atau melakukan tindak pidana secara sendiri, melainkan bersama-

sama dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana itu. Jadi pleger adalah orang yang

11 Ike Indra, Pembantuan dan Penyertaan, Universitas Air Langga, Surabaya, 2018, hal.287
12 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hal. 80
13 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal.20
memenuhi semua unsur delik, termasuk juga bila melalui orang-orang lain atau bawahan

mereka.

1. Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger)

Wujud dari penyertaan (deelneming) yang pertama disebutkan dalam Pasal 55 ialah

menyuruh melakukan perbuatan (doenplegen). Hal ini terjadi apabila seseorang menyuruh

pelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak pidana, tetapi oleh karena

beberapa hal si pelaku tidak dapat dikenai hukuman pidana. Jadi si pelaku itu seolah-olah

menjadi alat belaka yang dikendalikan oleh si penyuruh.

Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantara orang lain,

sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian, ada du pihak, yaitu

pembuat langsung (manus ministra/auctor intellectualis), dan pembuat tidak langsung

(manus domina/actor intellectualis).14

Unsur-unsur pada doenploger adalah :

a) Alat yang dipakai adalah manusia;

b) Alat yang dipakai berbuat;

c) Alat yang dipakai tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Sedangkan hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materil) tidak dapat

dipertanggungjawabkan, adalah:

a) Bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya (pasal 44);

b) Bila ia berbuat karena daya paksa (pasal 48);

c) Bila ia berbuat karena perintah jabatan yang tidak sah (pasal 51 ayat (2));

d) Bila ia sesat (keliru) mengenai salah satu unsur delik:

e) Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang disyaratkan untuk kejahatan yang

bersangkutan.

Jika yang disuruh melakukan seorang anak kecil yang belum cukup umur, maka tetap

mengacu pada pasal 45 dan pasal 47 jo. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak.

2. Orang yang turut serta (medepleger)

14 Ibid, hal.207
Medepleger adalah orang yang melakukan kesepakatan dengan orang lain untuk

melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersama-sama pula ia turut beraksi dalam

pelaksanaan pembuatan pidana sesuai dengan yang telah disepakati.

Di dalam medepleger terdapat tiga ciri penting yang membedakannya dengan bentuk

penyertaan yang lain. Pertama, pelaksanaan perbuatan pidana melibatkan dua orang atau

lebih. Kedua, semua orang yang terlibat benar-benar melakukan kerja sama secara fisik

dalam pelaksanaan perbuatan pidana yang terjadi. Ketiga, terjadinya kerja sama fisik bukan

karena kebetulan, tetapi memang telah kesepakatan yang telah direncanakan sebelumnya.

Ada tiga kemungkinan terhadap kerja sama fisik di antara pihak-pihak yang terlibat

dalam pelaksanaan perbuatan pidana yaitu:

a) Mereka memenuhi semua rumusan delik;

b) Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik.

c) Salah-satu memenuhi semua rumusan delik:

3. Penganjur (uitlokker)

Anda mungkin juga menyukai