Anda di halaman 1dari 14

SEJARAH HUKUM AGRARIA INDONESIA

Oleh : Feri Gunawan

NPM : 200300042

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah Kajian terhadap Hukum Agraria sudah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan,
baik dalam bentuk buku-buku referensi, jurnal ilmiah dan di dalam seminar-seminar serta
simposium yang bertajuk Agraria. Tetapi kajian-kajian tersebut tidak begitu fokus mengkaji
tentang sejarah hukum agraria, bagaimana lahirnya hukum agraria di Indonesia sampai
terbentuknya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok
Agraria atau lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Bahkan wacana untuk
mengamandemen Undang-undang Pokok Agraria, yang selanjutnya dalam makalah ini disebut
UUPA, terus dilakukan guna menyesuaikan peraturanperaturan di bidang ke-agraria-an yang
sudah dianggap tidak mengakomodir perkembangan masyarakat. Ini membuktikan bahwa
hukum – khususnya hukum agararia – terus berkembang seiring dengan perkembangan dan
kebutuhan masayarakat, untuk itu diperlukan suatu kajian ilmiah tentang bagaimana rangkaian
sejarah hukum agraria Indonesia guna mengetahui setiap perkembangan yang terjadi di bidang
agraria. Dengan demikian setidaknya dari kajian itu dapat diperoleh bahan untuk dijadikan
pegangan dalam melakukan pembaharuan (hukum) terhadap hukum agraria. Substansi yang
akan dibahas di dalam makalah singkat ini terfokus kepada sejarah hukum agraria sebagai salah
satu bagian yang integral dari sistem hukum Indonesia yang memiliki peranan penting dalam
upaya pembangunan masyarakat guna mewujudkan cita-cita dan tujuan negara. Dalam kajian
terhadap hukum agraria ini, penulis melakukan kajian dengan pendekatan sejarah. Hal ini
penulis anggap penting karena perkembangan hukum agraria kedepan tidak akan terlepas dari
proses dan pergelutan yang melatarbelakangi lahirnya hukum agraria ini.
1. Lebih lanjut kenapa pendekatan sejarah hukum ini diperlukan, disebabkan beberapa
alasan sebagai berikut :
1. Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga dalam lintasan kala dan
waktu. Hal ini berlaku bagi sumber-sumber hukum formil, yakni bentuk-bentuk penampakan diri
norma-norma hukum, maupun isi norma-norma hukum itu sendiri (sumber-sumber hukum
materil).
2. Norma-norma hukum dewasa ini seringkali hanya dapat dimengerti melalui sejarah hukum.
Henri De Page penulis sebuah karya penting perihal Traite Elementaire de Droit Civil yang
diterbitkan pada tahun-tahun 1930-1950, mengemukakan bahwa semakin ia memperdalam
studi hukum perdata, semakin ia berkeyakinan bahwa sejarah hukum, lebih dahulu daripada
logika dan ajaran hukum sendiri mampu menjelaskan mengapa dan bagaimana lembaga-
lembaga hukum kita mucul ke permukaan seperti keberadaannya sekarang ini.
3. Sedikit banyak mempunyai pengertian mengenai sejarah hukum, pada hakikatnya merupakan
suatu pegangan penting bagi para yuris pemula untuk mengenal budaya dan pranata umum.
4. Hal ikhwal yang teramat penting di sini adalah perlindungan hak asasi manusia terhadap
perbuatan semena-mena, bahwa hukum diletakkan dalam perkembangan sejarahnya serta
diakui sepenuhnya sebagai suatu gejala historis. Dari berbagai alasan kenapa pentingnya suatu
kajian sejarah hukum, maka penulis menganggap perlu untuk melakukan kajian terhadap
sejarah hukum agraria Indonesia. Dengan demikian setidaknya dapat dilihat gambaran tentang
hukum agrraria Indonesia sebagai suatu gejala yang tidak terlepas dari proses masa lalu. Dari
uraian di atas, panulis menuangkan kajian tentang sejarah hukum ini dalam makalah sederhana
dengan judul “Hukum Agraria Indonesia : Sejarah dan Perkembangannya” 1 John Gilissen , Frits
Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2005

B. Identifikasi Masalah Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dikaji dalam
makalah ini adalah :

1. Bagaimana proses sejarah hukum agararia Indonesia sampai dengan terbentuknya UUPA
1960 ?

2. Bagaimana perkembangan hukum agararia Indonesia dalam konteks kekinian ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan
untuk :

a. Mengetahui proses sejarah dalam lintasan waktu dan kala dalam bidang sejarah hukum
Indonesia, khususnya hukum agraria samapi terbentuknnya UUPA.

b. Mengetahui dan memahami perkembangan yang dialami hukum agraria Indonesia sampai
dengan saat sekarang ini.

2. Kegunaan Penelitian.

a. Secara Teoritis; makalah ini diaharapkan berguna untuk memperkaya litertur kasanah
kajian hukum agraria Indonesia guna kemajuan ilmu pengetahuan hukum khususnya di
bidang hukum agararia Indonesia;

b. Secara Praktis; makalah ini dapat berguna sebagai sumber kajian berikutnya dalam bidang
hukum ke-agraria-an Indonesia.

D. Kerangka Teoritis

Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Ubi cocietas, ibi ius. Di manapun di dunia ini
selama di situ ada masyarakat, maka di situ ada aturan hukum. Sejalan dengan hal itu, hukum itu
tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya. Hukum itu tumbuh dan berkembang dari refleksi
kebutuhankebutuhan yang terungkap dalam jalinan-jalinan hidup masyarakat di mana hukum itu
hidup. Apapun corak hukum itu dipengaruhi oleh jalinan kebutuhan-kebutuhan masyarakat itu yang
merupakan kebudayaan dari masyarakat bersangkutan.

3. Friedrich Karl von Savigny2 mengatakan bahwa masyarakat manusia di dunia ini terbagi ke
dalam banyak masyarakat bangsa. Tiap masyarakat bangsa itu mempunyai Volksgeist (jiwa bangsa)-
nya sendiri yang berbeda menurut tempat dan zaman. Volksgeist itu dinyatakan dalam bahasa, adat
istiadat, dan organisasi sosial rakyat yang tentunya berbeda-beda menurut tempat dan zaman pula.
Yang dimaksudkan dengan Volksgeist adalah filasafat hidup suatu bangsa atau pola kebudayaan atau
kepribadian yang tumbuh akibat pengalaman dan tradisi di masa lampau. Selanjutnya Savigny
melihat hukum itu sebagai hasil perkembangan historis masyarakat tempat hukum itu berlaku. Isi
hukum ditentukan oleh perkembangan adat istiadat rakyat di sepanjang sejarah; isi hukum
ditentukan oleh sejarah masyarakat manusia tempat hukum itu berlaku.

W. Friedman menyimpulkan esensi dari teori Savigny sebagai berikut :

“Pada permulaan sejarah, hukum sudah mempunyai ciri yang tetap, khas untuk rakyat
seperti bahasanya, adat istiadatnya, dan konstitusinya. Gejala ini tidak berdiri sendiri, tetapi
merupakan kemampuan-kemampuan dan kecenderungankecenderungan dari masyarakat tertentu,
disatukan secara tak terpisah dalam tabiat dan menurut pandangan kita mempunyai atribut-atribut
yang jelas. Yang mengikat semua itu dalam suatu keseluruhan adalah kesamaan pendirian dari
rakyat. Kesadaran batiniah yang sama perlu untuk membuang semua pikiran tentang asal mula yang
kebetulan dan tidak pasti hukum berkembang dengan berkembangnya rakyat dan menjadi kuat
dengan kuatnya rakyat dan akhirnya lenyap kalau rakyat kehilangan kebangsaannnya maka inti teori
ini adalah bahwa semua hukum pada mulanya dibentuk dengan cara, seperti yang dikatakan orang,
hukum adat, dengan bahasa yang biasa, tetapi tidak terlalu tepat, dibentuk, yakni bahwa hukum itu
mula-mula dikembangkan oleh adat kebiasaan dan kepercayaan yang umum, kemudian oleh
yurisprudensi, jadi di mana-mana oleh kekuatan dalam yang bekerja diam-diam, tidak oleh kehendak
sewenang- wenang dari pembuat undang-undang”.

3. Dengan demikian, bahwa suatu tatanan hukum yang hidup dan ditaati keberadaannya di
masyarakat merupakan hasil dari ekstraksi adat sitiadat, cita, rasa, karsa masyarakat yang
dikristalkan dalam bentuk seperangkat aturan yang memiliki wibawa sehingga hal itu diikuti dalam
rangka mencapai tujuan hidup bermasyarakat yang tertib, teratur, dan adil. Faham tersebut di atas
dikenal dalam ranah imu pengetahuan hukum dengan faham/mazhab sejarah (historis). Faham inilah
yang melandasi pijakan 2 Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filasafat Hukum : Mazhab dan Refleksinya,
Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm. 30. 3 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme
Filosofis dan & Problema Keadilan (susunan II), Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 60. 4 berfikir
dalam makalah ini, di mana bahwa hukum agraria yang berlaku dalam sistem hukum nasional adalah
merupakan hasil dari ekstraksi volkgeist bangsa Indonesia. Hal mana ditegaskan dalam UUPA itu
sendiri, bahwa UUPA tersebut berdasarkan hukum adat. Seperti yang disebutkan oleh Pasal 5 UUPA,
bahwa : Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturanperaturan yang tercantum dalam
Undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam perundangan lainya,
segala sesuatu dengan mengindahkan unsurunsur yang bersandar pada hukum agama.

BAB II PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM AGRARIA

A. Pengertian Agraria Boedi Harsono membedakan pengertian agraria dalam tiga perspektif, yakni
arti agraria dalam arti umum, Administrasi Pemerintahan dan pengertian agraria berdasarkan
Undang-undang Pokok Agraria.4 Pertama dalam perspektif umum, agraria berasal dari bahasa Latin
ager yang berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah. Maka sebutan
agraria atau dalam bahasa Inggris agrarian selalu dairtikan dengan tanah dan dihubungakan dengan
usaha pertanian. Sebutan agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada
perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang
luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya. Di Indonesia sebutan agraria di
lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non
pertanian. Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum Agraria di lingkungan administrasi pemerintahan
dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi
penguasa dalam melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan. Maka perangkat hukum tersebut
merupakan bagian dari hukum administrasi negara. Sebutan agrarische wet, agrarische besluit,
agrarische inspectie pada departemen Van Binnenlandsche Bestuur, agrarische regelingan dalam
himpunan Engelbrecht, bagian agraria pada kementerian dalam negeri, menteri agraria,
kementerian agraria, departemen agraria, menteri pertanian dan agraria, departemen pertanian dan
agraria, direktur jenderal agraria, direktorat jenderal agraria pada departemen dalam negeri,
semuanya menunjukan pengertian demikian.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi
dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, Edisi
Ketiga, 2005,

Dalam tahun 1988 Badan Pertanahan Nasional dengan Keputusan Presiden Nomor : 26 Tahun 1988,
yang sebagai Lembaga Pemerintahan Non Departemen bertugas membantu Presiden dalam
mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan. Pemakaian sebutan pertanahan sebagai
nama badan tersebut tidak mengubah ataupun mengurangi lingkup tugas dan kewenangan yang
sebelumnya ada pada departemen dan direktorat jenderal agraria. Sebaliknya justru memberikan
kejelasan dan penegasan mengenai lingkup pengertian agraria yang dipakai di lingkungan
administrasi pemerintahan. Adapun administrasi pertanahan meliputi baik tanah-tanah di daratan
maupun yang berada di bawah air, baik air daratan maupun air laut. Adanya jabatan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam Kabinet Pembagnuan VI, juga tidak mengubah
lingkup pengertian agraria. Sebutan jabatan tersebut tampaknya untuk menunjukkan, bahwa tugas
kewenangan Menteri Negara Agraria adalah lebih luas dari dan tidak terbatas pada lingkup tugasnya
sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang disebut dalam KEPRES Nomor : 26 Tahun 1988.
Dalam Kepres Nomor : 44 Tahun 1993 ditentukan, bahwa Menteri Negara Agraria bertugas pokok
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan keagrariaan dan menyelenggarakan antar lain fungsi :
mengkoordinasi kegiatan seluruh Instansi Pemerintah yang berhubungan dengan keagrariaan dalam
rangka pelaksanaan program pemerintah secara menyeluruh. Dengan adanya fungsi koordinasi
Menteri Agraria dulu yang memimpin Departemen Agraria, yang dalam tata susunan Kabinet
Pembanguan VI ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Walaupun tidak dinyatakan dengan
tegas, tetapi dari apa yang tercantum dalam Konsiderans, pasal-pasal dan penjelasannya, dapatlah
disimpulkan, bahwa pengertian agraria dan hukum agraria dalam UUPA dipakai dalam arti yang
sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam Pasal 48, bahkan meliputi juga ruang angkasa.
Yaitu ruang di atas bumi dan air yang mengandung : tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan
untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.

Pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta
yang berada di bawah air (Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 4 ayat(1)). Dengan demikian pengertian tanah
meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air,
termasuk air laut. Sehubungan dengan itu bumi meliputi juga apa yang dikenal dengan sebutan
Landas Kontinen Indonesia (LKI). LKI ini merupakan dasar laut dan tubuh bumi di bawahnya di luar
perairan wilayah Republik Indonesia yang ditetapkan dengan Undang-undang Nomor : 4 Prp. Tahun
1960, sampai kedalaman 200 meter atau lebih, di mana masih meungkin diselenggarakan eksplorasi
dan eksploitasi kekayaan alam. Penguasaan penuh dan hak ekslusif atas kekayaan alam di LKI
tersebut serta pemilikannya ada pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (Undang-undang
Nomor :1 Tahun 1973, LN. 1973-1, TLN 2994). Pengertian air meliputi, baik perairan pedalaman
maupun laut wilayah Indonesia (Pasal 1 ayat (5)). Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974
tentang : Pengairan (LN 1974-65) pengertian air tidak dipakai dalam arti yang seluas itu.
pengertiannya meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik
yang meliputi air yang terdapat di laut (Pasal 1 angka 3). Kekayaan alam yang terkandung di dalam
bumi sidebut bahan-bahan galian, yaitu unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala
macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam. Undang-
undang Nomor :11 Tahun 1967 tentang : Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (LN 1967-227,
TLN 2831). Kekayaan alam yang terkandung di dalam air adalah ikan dan lain-lain kekayaan alam
yang berada di dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia. (Undang-undang Nomor : 9
Tahun 1985 tentang : Perikanan, LN. 1985-46). Dalam hubungan dengan kekayaan alam di dalam
tubuh bumi dan air tersebut perlu dimaklumi adanya pengertian dan lembaga Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE), yaitu meliputi jalur perairan dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis
pangkal laut wilayah Indonesia. Dalam ZEE ini hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi
dan lain-lainnya atas segala sumber daya alam hayati dan non hayati yang terdapat di dasar laut
serta tubuh bumi di 8 bawahnya dan air di atasnya, ada pada Negara Republik Indonesia.
(Undangundang Nomor : 5 Tahun 1983 tentang : Zone Ekonomi Eksklusif LN. 1983-44). Sementara,
A. P. Parlindungan menyatakan bahwa pengertian agraria mempunyai ruang lingkup, yaitu dalam arti
sempit, bisa terwujud hak-hak atas tanah, atupun pertanian saja, sedangkan Pasal 1 dan Pasal 2
UUPA telah mengambil sikap dalam pengertian yang meluas, yakni bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dari batasan agraria yang diberikan UUPA dalam
ruang lingkupnya di atas mirip dengan pengertian ruang dalam Undang-undang Nomor : 24 Tahun
1992 tentang : Penataan Ruang. Menurut Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa ruang adalah wadah
yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan
hidupnya. Dari uraian pengertian agraria di atas, maka dapat disimpulkan pengertian agraria dengan
membedakan pengertian agraria dalam arti luas dan pengertian agraria dalam arti sempit. Dalam arti
sempit, agraria hanyalah meliputi bumi yang disebut tanah, sedangkan pengertian agraria dalam arti
luas adalah meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Pengertian tanah yang dimaksudkan di sini adalah bukan dalam arti fisik, melainkan tanah dalam
pengertian yuridis, yaitu hak. Pengertian agraria yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian agraria
dalam arti luas.

B. Pengertian Hukum Agraria


Beberapa pakar hukum memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan hukum
agraria, antara lain beberapa disebutkan di bawah ini. Subekti dan Tjitro Subono, hukum agraria
adalah keseluruhan ketentuan yang hukum perdata, tata negara, tata usaha negara, yang
mengatur hubungan antara orang dan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah
negara, dan mengatur pula wewenang yang bersumber pada hubungan tersebut. Suardi,
Hukum Agraria, B.P. Iblam, Jakarta, 2005, Prof. E. Utrecht, S.H. menyatakan bahwa hukum
agraria adalah menjadi bagian dari hukum tata usaha negara karena mengkaji hubungan-
hubungan hukum antara orang, bumi, air dan ruang angkasa yang melibatkan pejabat yang
bertugas mengurus masalah agraria.

Daripada itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUPA, sasaran Hukum Agraria meliputi : bumi,
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana
lazimnya disebut sumber daya alam (SDA). Oleh karenanya pengertian hukum agraria menurut
UUPA memiliki pengertian hukum agraria dalam arti luas, yang merupakan suatu kelompok berbagai
hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam yang meliputi :

1. Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi;

2. Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;

3. Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang
dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan;

4. Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di
dalam air;

5. Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas hutan dan hasil hutan;

6. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan space law),
mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan
oleh Pasal 48 UUPA. Sedangkan pengertian hukum agraria dalam arti sempit, hanya mencakup
Hukum Pertanahan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah. Yang
dimaksud tanah di sini adalah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUPA, adalah permukaan tanah, yang
dalam penggunaannya menurut Pasal 4 ayat (2), meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa, yang
ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunan 7 Ibid. Tanah itu dalam batas menurut UUPA, dan peraturan-perturan hukum lain yang
lebih tinggi.

C. Hukum Tanah Dalam pengertian konteks agraria, tanah berarti permukaan bumi paling luar
berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah di sini bukan mengatur tanah dalam
segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya saja yaitu aspek yuridisnya yang
disebut dengan hak-hak penguasaan atas tanah. Dalam hukum, tanah merupakan sesuatu yang
nyata yaitu berupa permukaan fisik bumi serta apa yang ada di atasnya buatan manusia yang disebut
fixtures. Walaupun demikian perhatian utamanya adalah bukan tanahnya itu, melainkan kepada
aspek kepemilikan dan penguasaan tanah serta perkembangannya. Objek perhatiannya adalah hak-
hak dan kewajiban-kewajiban berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam berbagai
bentuk hak penguasaan atas tanah. Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam arti yuridis adalah
permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah hak atas sebagiaan tertentu permukaan bumi, yang
berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Yang dimaksud dengan hak atas tanah
adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk mempergunakan dan/atau
mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Atas ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepada
pemegang hak atas tanah diberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan,
demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan
langsung yang berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Hirarki hak-hak atas penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional adalah :

1. Hak bangsa Indonesia atas tanah;

2. Hak menguasai negara atas tanah;

3. Hak ulayat masyarakat hukum adat;

4. Hak-hak perseorangan, meliputi :

a. Hak-hak atas tanah, meliputi :


1). Hak milik atas;

2). Hak guna usaha;

3). Hak guna bangunan;

4). Hak pakai;

5). Hak sewa;

6). Hak membuka tanah;

7). Hak memungut hasil hutan;

8). Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan
undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53
(UUPA).

b. Wakaf tanah hak milik;

c. Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan);

d. Hak milik atas satuan rumah susun. Hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan
hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama
yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan
hukum konkrit, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis,
hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan suatu sistem.

Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah yang dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :

1. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum; Hak penguasaan atas tanah ini belum
dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang
hak.

2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkrit; Hak penguasaan atas tanah ini
sudah dihubungkan dengan hak tertentu sebagai obyeknya dan atau orang atau badan hukum
tertentu sebagai subjek pemegang haknya. Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah,
Prenada Media, Jakarta, Edisi Pertama Cet. Ke-2 2005. Dalam kaitannya dengan hubungan hukum
antara pemegang hak dengan hak atas tanahnya, ada 2 (dua) macam asas dalam dalam hukum
tanah, yaitu :

asas pemisahan horisontal dan asas pelekatan vertikal.

Asas pemisahan horisontal yaitu suatu asas yang mendasarkan pemilikan tanah dengan
memisahakan tanah dari segala benda yang melekat pada tanah tersebut.

Sedangkan asas pelekatan vertikal yaitu asas yang mendasarkan pemilikan tanah dan segala benda
yang melekat padanya sebagai suatu kesatuan yang tertancap menjadi satu.

Asas pemisahan horisontal merupakan alas atau dasar yang merupakan latar belakang peraturan
yang konkrit yang berlaku dalam bidang hukum pertanahan dalam pengaturan hukum adat dan asas
ini juga dianut oleh UUPA.

Sedangkan asas pelekatan vertikal merupakan alas atau dasar pemikiran yang melandasi hukum
pertanahan dalam pengaturan KUHPerdata. Dalam bukunya, Djuhaendah Hasan mengemukakan
bahwa sejak berlakunya KUHPerdata kedua asas ini diterapkan secara berdampingan sesuai dengan
tata hukum yang berlaku dewasa itu (masih dualistis) pada masa sebelum adanya kesatuan hukum
dalam hukum pertanahan yaitu sebelum UUPA. Sejak berlakunya UUPA, maka ketentuan Buku II
KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan di dalamnya telah dicabut, kecuali
tentang hipotik. Dengan demikian, pengaturan tentang hukum tanah dewasa ini telah merupakan
satu kesatuan hukum (unifikasi hukum) yaitu hanya ada satu hukum tanah saja yang berlaku yaitu
yang diatur dalam UUPA dan berasaskan hukum adat (lihat Pasal 5 UUPA).

D. Sumber Hukum Agraria

1. Sumber Hukum Tertulis

a. Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dalam Pasal 33 ayat (3). Dalam Pasal 33 ayat (3)
ditentukan : Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda
Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra
Aditya, Bandung, 1996, hlm. 67. 13 “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
b. Undang-undang Pokok Agraria. Undang-undangg ini dimuat dalam Undang-undang
Nomor : 5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, tertanggal 24
September 1960 diundangkan dan dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1960-140, dan
penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara nomor 2043.
c. Peraturan perundang-undangan di bidang agraria :
1). Peraturan pelaksanaan UUPA
2). Pertauran yang mengatur soal-soal yang tidak diwajibkan tetapi diperlukan dalam praktik.
d. Peraturan lama, tetapi dengan syarat tertentu berdasarkan peraturan/Pasal Peralihan,
masih berlaku.
c. Sumber Hukum Tidak Tertulis
a. Kebiasaan baru yang timbul sesudah berlakunya UUPA, misalnya : 1). Yurisprudensi; 2).
Praktik agraria.
b. Hukum adat yang lama, dengan syarat-syarat tertentu, yaitu cacat-cacatnya telah
dibersihkan.

BAB IV UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA (UUPA) SEBAGAI HUKUM AGRARIA NASIONAL

A. Upaya Penyusunan Hukum Agraria Nasional Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang
dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia
merupakan suatu tonggak sejarah sebagai simbol terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang merdeka dan berdaulat. Secara yuridis, proklamasi tersebut memiliki makna terputusnya atau
tidak berlakunya hukum kolonial dan saat mulai berlakunya hukum nasional, sedangkan secara
politis, proklamasi kemerdekaan mengandung arti bahwa bangsa Indonesia terlepas dari penjajahan
menjadi bangsa yang merdeka. Proklamasi kemerdekaan tersebut memberi arti penting terhadap
upaya penyusunan hukum agraria nasional. Pertama dengan proklamasi kemerdekaan bangsa
Indonesia memutuskan hubungan dengan hukum agraria kolonial sekaligus, yang kedua, bangsa
Indonesia berupaya membentuk hukum agraria nasional. Meskipun demikian, dengan
diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia ternyata tidak serta merta pemerintah dapat dengan
mudah membentuk hukum agraria nasional, hal itu membutuhkan waktu yang cukup lama sampai
terbentuknya hukum agraria yang bersifat nasional. Dengan demikian, guna mencegah adanya
kekosongan hukum (reccht vacuum), maka sambil menunggu terbentuknya hukum agraria nasional
diberlakukanlah Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu : “Segala badan negara
dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru berdasarkan
Undang-Undang Dasar ini”. Dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut, maka segala badan
maupun peraturan yang ditetapkan dan merupakan produk kolonial dinyatakan masih tetap berlaku
selama hal tersebut belum dicabut, belum diubah atau belum diganti dengan hukum yang baru. 22
Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan sebagai Hukum Dasar (Konstitusi) Negara Republik Indonesia
adalah pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
yang dipimpin oleh Soekarno. 37 Dasar politik hukum agraria nasional dinyatakan dalam Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan : “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ketentuan
tersebut bersifat imperatif, artinya berbentuk perintah kepada negara agar bumi, air dan kekayaan
alamyang terkandung di dalamnya nyang diletakkan di bawah penguasaan negara harus
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan Hukum Agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan
setelah Indonesia merdeka, yaitu :

1. Menggunakan kebijaksanaan dan penafsiran baru. Dala pelaksanaan hukum agraria didasarkan
atas kebijaksanaan baru dengan memakai tafsir yang baru pula yang sesuai dengan jiwa Pancasila
dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. tafsir baru di sini, conthnya adalah menegenai hubungan domein
verklaring, yaitu negara tidak lagi sebagai pemilik tanaah, melainkan negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat Indonesia hanya menguasai tanah.

2. Penghapusan hak-hak konversi. Salah satu warisan feodal yang sangat merugikan rakyat adalah
lembaga konversi yang berlaku di karasidenan Surakarta dan Yogyakarta. Di daeran ini semua tanah
dianggap milik raja. Rakyat hany sekedar memakainya, yang diwaibkan menyerahkan sebagian dari
hasil tanah itu kepada raja, jika tanah itu tanah pertanian atau melakukan kerja paksa, jika tanahnya
tanah perkarangan. Kepada anggota keluarganya atau hamba-hambanya yang berjasa atau seti
kepada raja diberikan tanah sebagai nafkah, dan pemberian tanah ini disertai pula pelimpahan hak
raja atau sebagian hasil tanha tersebut di atas. Mereka pun berhak menuntut kerja paksa. Stelsel ini
dinamakan setelsel apanage. Tanah-tanah tersebut oleh raja atau penegang apanage disewakan
kepada pengusaha-pengusaha asing unutk usaha pertanian, berikut hak untuk Urip Santoso, Hukum
Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cet. Ke-2, 2005, memungut sebgian
dari hasil tanama rakyat yang mengusahakan tanah itu. berdasarkan S.1918-20, para pengusaha
asing tersebut kemudian mendapatkan hak atas tanah oleh raja yang disebut hal konversi
(beschikking konversi). Keputusan raja, pada hakikatnya merupakan suatu keputusan penguasa
untuk memakai dan mengusahakan tanah tertentu. Berdasrkan Undang-undang Nomor 13 Tahun
1948 yang mencabut Stb.1918- 20. dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950,
yang secara tegas dinyatakan bahwa lembaga konversi, begitu juga hak-hak konversi serta
hypotheek yangmembebaninya menjadi hapus.

3. Pengahapusan tanah pertikelir. Pada masa penjajahan dikeluarkan kebijaksanaan di bidan


pertanahan oleh Pemerintah Hindia Belanda berpa tanah partikelir yang di dalamnya terdapat hak
peruanan. Dengan adanya hak pertuanan ini, seakan-akan tanah-tanah partikelir tersebut
merupakan negara dalam negara. Tuan-tuan tanah yang mempunyai hak kekuasaan yang demikian
besar banyak yang menyalahgunakan haknya, sehingga banyak menimbulkan penderitaan dan
kesengsaraan rakyat yang ada atau berdiam di wilayahnya. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah
Indonesia melakukan pembelian tanah-tanah partikelir, namun hasilnya tidak memuaskan
dikarenakan tidak tersedianya dan yang cukup juga karena tuan-tuan tanah yang bersangkutan
menuntut harga yang tinggi. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang
Penghapusan Tanah-tanah Partikelir, 24 Januari 1958, hak-hak milik partikelir atas tanahnya dan
hak-hak pertuanannya hapus, dan tanah bekas apartikelir itu karen hukum seluruhnya serentak
menjadai tanah negara. Undang-unang Nomor 1 Tahun 1958 pada hakikatnya merupajan
pencabutan hak, dan kepada pemilik tanah partikelir diberikan ganti kerugian. Tanah partikelir
dinyatakan hapus jika pembayaran ganti kerugian telah sesuai.

4. Perubahan peraturan persewaan tanah rakyat. Praturan tentang persewaan tanah rakyat kepada
perusahaan perkebunan bedar khususnya dan orang-orang bukan Indonesia asli pada umumnya
sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (8) I.S. untuk Jawa dan Madura diatur dalam dua
peraturan, yaitu Grondhuur Ordonantie S.1918-88 untuk daerahpemerintahan langsung dan
Voerstenlands Grondhuureglement S.1918- 39 20 untuk Surakarta dan Yogyakarta (daerah-daerah
swapraja). Menurut ketentuan ini persewaan tanah dimungkinkan berjangka waktu palig lama 21,5
tahun. Setelah Indonesia merdeka, kedua peraturan tersebut diubah dengan ditambahkan Pasal 8a
dan 8b serta Pasal 15a dan 15b oleh Undang-undang Darurat Nomor 6 Tahun 1951. undang-undang
Darurat ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 1952. Dengan
penambahan pasal-pasal tersebut, maka persewaan tanah rakyat untuk tanama tebu dan lain-
lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian hanya diperbolehkan paling lama 1 tahun atau 1 tahun
tanaman. Adapun besar sewanya ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri, kemudian oleh Menteri
Agraria. Dengan demikian, rakyat tidak lagi dirugikan karena besar dan jumlah sewanya disesuaikan
dengan tingkat perkembangan harga pada saat itu dan waktunya hanya untuk 1 tahun tanaman.

5. Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah. Dalam Pasal 1 Undang-
undang Nomor 24 Tahun 1954 yang menetapkan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1952
tentang Pemindahan Tanahtanah dan Barang-barang Tetap Lainnya yang Tunduk Pada Hukum
Eropa, dinyatakan bahwa sambil menunggu pengaturan lebih lanjut unutk sementara untuk setiap
serah pakai lebih dari 1 tahun dan perbuata-perbuatan yang berwujud pemindahan hak mengenai
hak tanah-tanah dan barang-barang tetap lainnya yang tunduk pada hukum Eropa hanya dapat
dilakukan setelah mendapat ijin dari Menteri Kehakiman (dengan Undang-undang Nomor 76 Tahun
1957 izinnya dari Menteri Agraria). Semua perbuatan yang dilakukan di luar izin menteri tersebut
dengan semdirinya batal menurut hukum, artinya tanah/rumahnya kembali pada penjual, uangnya
kembali kepada pembeli jika perbuatan berbentuk jual beli. Peraturan mengenai perizinan ini
dimaksudkan untk mencegah atau paling tidak mengurangi kemungkinan jatuhnya tanah-tanah
Eropa, termasuk rumah atau bangunan yang ada di atasnya ke tangan orang-orang dan badan-badan
hukum asing. Ketentuan di atas dilengkapi dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956 tentang
Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak-hak Atas Tanah Perkebunan 40 Erfacht, Eigendom, dan lain-
lain Hak Kebendaan. Dikeluarkan juga peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1956 tentang
Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-tanh Perkebunan Konsesi, yang kemudian
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1959. Menurut ketentuan di atas, setiap
perbuatan yang berwujud pemindahan hak dan setiap serah pakai untuk lebih dari satru tahun
mengenai tanah erfacht, eigendom, dan hak-hak kebendaan lainnya atas tanah perkebunan,
demikian tanah-tanah konsesi untuk perkebunan dari bangsa Belanda dan bangsa-bangsa asinglein
serta badan-badan hukum hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri Kehakiman (dengan Undang-
undang Nomor 76 Tahun 1957 izinnya dari Menteri Agraria dengan persetujuan Menteri Pertanian).
Maksud praturan tersebut di atas adalah untuk mengadakan pengawasan serta jaminan bahwa
penerima haknya mampu mengusahakan perusahaan perkebunan yang bersangkutan dengan baik
dan bahwa kebun itu tidak akan dijadikan objek spekulasi belaka.

6. Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan. Atas dasar Undang-undang Nomor 29
Tahun 1956, Menteri Agraria dan Pertanian berwenanga melakukan tidakan-tindakan agar tanah-
tanah perkebunan yang mempunyai sifat sangat penting dalam perekonomian negara diusahakan
dengan baik. Dalam undang-undan gini juga ditetapkan bahwa pemegang erfacht, eigendom dan hak
kebendaan lainnya yang sudah mengusahakan kembali perusahaan-perusahaan, wajib melakukan
segala sesuatu yang perlu untuk memulai atau meneruskan usahanya secaa layak menurut
ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Jika pemegan hak tersebut belum memenuhi
kewajibannya, maka atas pertimbangan Menteri Pertanian, hak erfacht yang bersanglkutan dapat
dibatalkan oleh Menteri Agraria. Hak erfacht juga dapat dibatalkan, jika menurut pertimbagnan
Menteri Agraria dan Menteri Pertanian sikap pemegang hak selama waktu yang ditentukan tidak
berniat mengusahakan perusahaan perkebunannya sebagaimana mestinya. Tanaman dan bangunan
di atas tanah tersebut yang menurut keputusan Menteri Pertanian diperlukan untuk kelangsungan
atau memulihkan pengusahaan yang layak dikuasai oleh negara dengan pemberian ganti kerugian.

7. Kenaikan Canon dan Cijn. Canon adalah uang yang wajib dibayar oleh pemgang hak erfacht setiap
tahunnya kepada negara, sedangkan cijn adalah uang yang wajib dibayar oleh pemegang konsesi
perusahaan perkebunan besar. Pada umumnya, ccnon dan cijn dulu tidak besar jumlahnya, karena
terutama dianggap sebagai tanfa pengakuan hak pemilik tanah yang dikuasainya dengan hak erfacht
atau konsesi. Setelah Indonesia merdeka, sebgaian besar tanah-tanah perkebunan sudah dibuka dan
diusahakan, sehingga uang wajib yang harus dibayar setiap tahunnya itu fungsi atau sifatnya lain,
yaitu sebagai sewa pemakaian tanah. Dalam Undang-undang Nomor 78 Tahun 1957 tentang
Perubahan Canon dan Cijn Atas Hak-hak Erfacht dan Konsesi guna perkebunan besar ditetpkan
bahwa selambat-lambatnya 5 tahun sekali uang wajib tahunan ini harus ditinjau kembali.

8. Larangan dan penyelesaian soal pemakaiantanah tanpa izin. Untuk mencegah meluasnya
pemakaian tanah-tanah perkebunan oleh rakyat tanpa izin pengusahanya dan untuk menyelesaikan
soal pemakaian tanah yang sudah ada, maka dikeluarkanlah Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun
1954 tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat. Undang-undang darurat
ini diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961. Ketentuan mengenai
larangan pemakaian tanah ranpa izin yangberhak atau kuasanya diatur oleh Undang-undang Nomor
51 Prp Tahun 1960. undangundang ini kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1961. Dalam Pasal 2 jo. Pasal 6 Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 dinyatakan bahwa
pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang saha adalah perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan hukuman pidana, tetapi tidak selalu penunutan pidana. Menurut Psal 3 jo.
Pasal 5, dapat dilakukan penyelesaian melalui cara dengan mengingat kepentingan pihakpihak yang
bersangkutan dan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang dipai itu.

9. Peraturan perjanjian bagi hasil. Perjanjian bagi hasi adalah salah satu bentuk perjanjian antara
pemili tanah dengan pihak lain sebagai penggarap, di mana penggarap diperkenankan untuk 42
mengusahakan tanah itu dengan pembagaian hasilnya menurut imbagan yang telah disetujui oleh
kedua belah pihak. Perjanjian bagai hasil semula diatur menurut hukum adat setempat. Imbangan
pembagian hasilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak. Pada umumnya, pembagian
hasil tersebut tidak menguntungka pihak penggarap, karena tanah yang tersedia untuk
dibagihasilkan tidak seimbang dengan jumlah petani yang memerlukan tanah garapan. Mengingat
bahwa golongan penggarap bagi hasil itu biasanya golongan ekonomi lemah dan selalu dirugikan,
maka dalam rangka melindungi mereka, dikeluarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang
Perjanjian Bagi Hasil. Undang-undanga ini mengharuskan agar pihak-pihak yang membuat perjanjian
bagi hasil dibuat secara tertulis, dengan maksud agar mudah mengawasi dan mengadakan tindakan-
tindakan terhadap mperjanjian bagi hasil yang merugikan penggarapnya.

10. Peralihan tugas dan wewenang agraria. Setelah Indonesia merdeka sampai dengan 1955 urusan
agraria berada dalam lingkungan Kementrian Dalam Negeri. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
55 Tahun 1955 dibentuk Kementerian Agraria yang berdiri sendiri yang terpisah dari Kementerian
Dalam Negeri. Dalam Keputusna Presiden Nomor 190 Tahun 1957 ditetapkan bahwa Jawatan
Pendafataran Kehakiman semula masuk dalam lingkungan Kementerian Kehakiman dialihkan dalam
lingkungan Kementrian Agraria. Berdasarka Undang-undang Nomor 7 Tahun 1958 ditetapkan
pengalihan tugas dan wewenang agraria dari Menteri Dalam Negeri kepada Menteri Agraria, serta
pejabat-pejabat di daerah. Dengan keluarnya undang-undang tersebut, maka lambat laun
terbentuklah aparat agraria di tingkat provinsi, karasidenan, dan kabupaten/kotamadya. B. Sejarah
Penyusunan UUPA. Perjalaanan panjang dalam uapaya perancangan UUPA dilakukakan oleh Lima
Panitia rancangan, yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta, Panitia Rancangan
Soewahjo, Panitia Rancangan Soenarjo, dan Rancangan Sadjarwo.

1. Panitia Rancangan Yogyakarta.

a. Dasar Hukum. Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden Nomor : 16 Tahun 1948 tanggal 21
Mei 1948, berkedudukan di Yogyakarta diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo, Kepala Bagian Agraria
Kementerian Agraria. Panitia ini bertugas anatara lain : 1) Memberikan pertimbangan kepada
pemerintah tentang soal-soal mengenai hukum tanah pada umumnya; 2) Merencanakan dasar-dasar
hukum tanah yang memuat politik agararia Republik Indonesia; 3) Merencanakan peralihan,
penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama tentang tanah yang tidak sesuai lagi dengan
kedudukan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka; 4) Menyelidiki soal-soal lain yang
berkenaan dengan hukum tanah.

b. Asas-asas yang Menjadi Dasar Hukum Agraria Indonesia. Panitia ini mengusulkan tentang asas-
asas yang akan merupakan dasar-dasar Hukum Agraria yang baru, yaitu : 1) Meniadakan asas
domein dan pengakuan adanya hak ulayat; 2) Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya
hak perseorangan yang dapat dibebani hak tanggungan; 3) Mengadakan penyelidikan terutama di
negara tetangga tentang kemungkinan pemberian hak milik atas tanah kepaa orang asing; 4) Perlu
diadakan penetapan luas minimum pemilikan tanah bagi apra petani kecil untuk dapat hidup layak
untuk Jawa 2 hektar; 5) Perlu adanya penetapan luas maksimum pemilikan tanah yang siusulkan
untuk pulau Jawa 10 hektar, tanpa memandang macamnya tanah, sedang di luar Jawa masih
diperlukan penelitian lebih lanjut; 6) Perlu diadkan regidsrasi tanah milik dan hak-hak lainnya.

c. Keanggotaan Panitia. Panitia Yogyakarta beranggotakan sebagai berikut :

1) Para pejabat dari berbagai kementrian dan jawatan;

2) Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Pusat;

3) Para ahli hukum, wakil-wakil daerah dan ahli adat;

4) Wakil dari dari sarikat buruh perkebunan;

2. Panitia Jakarta.

a. Dasar Hukum. Panitia Yogyakarta dibubarkan dengan Keputusan Presiden Nomor : 3 6 Tahun
1951 tanggal 19 Maret 1951, sekaligus dubentuk Panitia Agraria Jakarta yang berkedudukan di
Jakarta.

b. Keanggotaan. Panitia Jakarta beranggotakan :

1) Ketua : Sarimin Reksodihardjo, kemudian pada tahun 1953 diganti oleh Singgih Praptodihardjo
(Wakil Kepala Bagian Agraria Kementrian Agararia);

2) Pejabat-pejabat kementrian;

3) Pejabat-pejabt jawatan; dan


4) Wakil-wakil organisasi tani.

c. Usulan kepada pemerintah. Dalam laporannya panitia ini mengusulkan beberapa hal dalam hal
tanah pertanian, sebagai berikut :

1) Mengadakan batas minimum pemilikan tanah, yaitu 2 hektar dengna mengadakan peninjauan
lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya hukum adat dan hukum waris;

2) Mengadakan ketentuan batas maksimum pemilikan tanah, hak usaha, hak sewa, dan hak pakai;

3) Pertanian rakyat hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan tidak dibedakan antara warga
negara asli dan bukan asli. Badan hukum tidak dapat mengerjakan tanah rakyat;

4) Bagunan hukum untuk pertanian rakyat ialah hakl milik, hak usaha, hak sewa, dan hak pakai;

5) Pengeturan hak ulayat sesuai dengan pokok-pokok dasar negara dengan suatu undang-undang.

C. UUPA Sebagai Hukum Agraria Nasional.


1. Sifat Nasional UUPA. UUPA mempunyai du substansi dari segi berlakunya, yaitu pertama,
tidak memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria kolonial, dan kedua, membangun
hukum agraria nasional. Menurut Boedi Harsono, dengan berlakunya UUP, maka terjadilah
perubahan yang fundamental pada hukum agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang
pertanhan. Perubahan yang fundamental ini mengenai struktur perangkat hukum, konsepsi
yang mendasari maupun isinya. UUPA juga merupakan undang-undang yang melakukan
pembaruan agraria karena di dalamnya memuata program yang dikenal dengan Panca Program
Agraria Reform Indonesia, yang meliputi :
1) Pembaharuan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasioanl dan
pemberian jaminan kepastian hukum;
2) Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
3) Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
4) Perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubunganhubungan hukum
yangberhubungan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan
keadilan, yang kemudian dikenal dengan program landreform;
5) Perncanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya serta penggunaan secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.
Sebagai undang-undang nasional, UUPA memiliki sifat nasional material dan formal. Sifat
nasional material berkenaan dengan substansi UUPA. Sedangkan nasional formal berkenaan
dengan pembentukan UUPA.
a. Sifat Nasional Material UUPA Sifat nasional materian UUPA menunjuk kepada substansi UUPA
yang harus mengandung asas-asas berikut :
2) Berdasarkan hukum tanah adat;
3) Sederhana;
4) Menjamin kepastian hukum;
5) Tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar kepada hukum agama;
6) Memberi kemungkinan suapya bumi, air dan ruang angkasa dapat mencapai fungsinya dalam
membangun masyarakat yang adil dan makmur;
7) Sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia;
8) Memnuhi keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria;
9) Mewujudkan penjelmaan dari Pancasila sebagai asas kerohanian negara dan cita-cita bangsa
seperti yang tercantum dalam undangundang;
10) Merupakan pelaksanaan GBHN (dulu Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Manifesto Politik;
11) Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
b. Sifat Nasional Formal UUPA Sifat nasional formal UUPA menunjuk kepada pembentukan
UUPA yang memenuhi sifat sebagai berikut :
1) Dibuat oleh pembentuk undang-undang naisonal Indonesia, yaitu DPRGR;
2) Disusun dalam bahasa nasional Indonesia;
3) Dibentuk di Indonesia;
4) Bersumber pada UUD 1945;
5) Berlaku dalam wilayah negara Republik Indonesia.
2. Peraturan Lama Dicabut oleh UUPA Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor : 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960,
dengan demikian Indonesia memiliki hukum agraria baru yang bersifat nasional yan tentunya
lepas dari sifat-sifat kolonial dan disesuaikan dengan pribadi dan jiwa bangsa Indonesia sebagai
negara merdeka dan berdaulat.

DAFTAR PUSTAKA Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-
undang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999. Djuhaendah
Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda Lain yang Melekat Pada
Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya, Bandung, 1996.
Imam Sotiknjo, Pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria dalam Rangka Menyukseskan Pelita
V, Makalah Ceramah Sehari, Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya, 1989. John Gilissen† , Frits
Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2005.
Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filasafat Hukum : Mazhab dan Refleksinya, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1994. Mahfud MD. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta ,
LP3ES, 2006. Suardi, Hukum Agraria, B.P. Iblam, Jakarta, 2005. Urip Santoso, Hukum Agraria &
Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Edisi Pertama Cet. Ke-2 2005. W. Friedmann, Teori
dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan & Problema Keadilan (susunan II), Raja Grafindo
Persada, Jakarta. Undang-undang
5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Anda mungkin juga menyukai