Oleh :
RANDY FATHURRAHMAN
B2A019022
Oleh :
FERRYAN MUHAMMAD DAFFA
B2A019011
Mazhab Sejarah lahir pada awal abad ke-19, yaitu pada tahun 1814. Lahirnya mazhab ini
ditandai dengan diterbitkannya manuskrip yang ditulis oleh Friedrich Karl von Savigny yang
berjudul “Vom Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenschaft” (tentang seruan
masa kini akan undang-undang dan ilmu hukum) . Friedrich Karl von Savigny dipandang sebagai
Mazhab sejarah ini muncul akibat reaksi terhadap para pemuja hukum alam atau hukum
kodrat yang berpendapat bahwa hukum alam itu bersifat rasionalistis dan berlaku bagi segala
bangsa serta untuk semua tempat dan waktu. Mazhab sejarah ini berpendapat bahwa tiap-tiap
hukum itu ditentukan secara historis, selalu berubah menurut waktu dan tempatnya. Alasan-
peristiwa teori-teori mazhab sejarah hukum masa lampau tentunya dianggap penting dan
bermakna dalam teori hukum kekinian. Hal ini, sebagaimana L.J Van Apeldoorn menyebutkan
sejarah adalah:
“Sesuatu proses, jadi bukan sesuatu yang berhenti, melainkan sesuatu yang bergerak,
bukan mati melainkan hidup. Segala yang hidup selalu berubah. Demikian masyarakat manusia,
dan demikian juga bagian dari masyarakat yang kita sebut hukum. Di tinjau dari sudut ilmu
pengetahuan, hukum adalah gejala sejarah: Ia mempunyai sejarah, hukum sebagai sejarah berarti
tunduk pada pertumbuhan yang terus-menerus.” (L.J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum,
1
Gelar Dwihandaya, “Mazhab Sejarah Hukum”, (https://sites.google.com/a/unida.ac.id/gelardwi/pengantar-ilmu-
hukum/mazhab-sejarah-hu, Diakses pada 13 Desember 2019, 2019)
Argumentasi ini dipertajam lagi oleh Friederich Karl von Savigny yang melahirkan mazhab
“Hukum tidak berlaku universal, setiap bangsa memiliki kesadaran hukum, kebiasaan,
budaya yang berbeda dengan bangsa lain yang dapat ditemukan dalam jiwa bangsa. Hukum
dapat dikenali dalam ciri khas sebuah bangsa, seperti bahasa, tata krama dan konstitusi. Hukum
tumbuh melalui sebuah perkembangan dan menguat dengan kekuatan rakyat dan akhirnya lenyap
sistemik. Artinya, hukum harus dilihat sebagai suatu sistem terdiri atas beragam unsur antara
lain:
1. Substansi, merupakan nilai, norma, ketentuan atau aturan hukum yang dibuat dan
2. Struktur, berupa kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai
3. Kultur, menyangkut nilai-nilai, sikap, pola perilaku para masyarakat dan faktor nonteknis
1. Adanya rasionalisme abad 18, yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan
pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondisi nasional
2
Gelar Dwihandaya, “Mazhab Sejarah Hukum”, (https://sites.google.com/a/unida.ac.id/gelardwi/pengantar-ilmu-
hukum/mazhab-sejarah-hu, Diakses pada 13 Desember 2019, 2019)
2. Semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi
cosmopolitan (kepercayaan kepada rasio dan kekuatan tekad manusia untuk mengatasi
lingkungannya).
3. Adanya pendapat yang melarang hakim menafsirkan hukum karena UU dianggap dapat
4. Kodifikasi hukum di Jerman yang diusulkan Thibaut (guru besar Heidelberg): hukum
Friedman, dapatlah dipahami betapa pentingnya budaya hukum dalam hukum adat dan
pluralisme hukum. Hukum yang ideal harus sesuai dengan budaya hukum di masyarakat (living
law) berupa hukum adat atau hukum kebiasaan dalam pembentukan hukum. 3 Dengan demikian,
bila ada hukum dan ketentuan perundang-undangan yang tidak menyatu atau seirama dengan
budaya hukum masyarakat, maka hukum tersebut sulit ditegakkan. Artinya, hukum adat dan
pluralisme hukum merupakan kesatuan hukum dan fakta yang tidak dapat dipisahkan dan
mengikuti aliran pemikiran teori relisme hukum. Konsekuensinya, hukum memerlukan kesatuan
kehendak (unity of will). Sebab, kesatuan dalam penerapan (unity of enforcement) mensyaratkan
kesatuan kehendak.
Hal ini, tentunya terjadi perbedaan pendapat antara paradigma realisme hukum dengan aliran
legisme hukum. Bagi pengikut aliran kaum legisme, hukum itu eksis karena adanya perintah
penguasa. Karena hukum bersifat imperatif maka pasti akan implementatif, meskipun
masyarakat menolak untuk mematuhi dengan alasan bertentangan dengan budaya hukum.
3
Gelar Dwihandaya, “Mazhab Sejarah Hukum”, (https://sites.google.com/a/unida.ac.id/gelardwi/pengantar-ilmu-
hukum/mazhab-sejarah-hu, Diakses pada 13 Desember 2019, 2019)
Hukum saat ini sebagai akumulasi kebijaksanaan dari pemikir besar masa lampau, tetapi
hukum juga sangat diwarnai disiplin kontemporer. Hukum sebagai sistem norma dan juga
sebagai bentuk kontrol sosial berdasar pada pola tertentu dari perilaku manusia. Hukum
bersumber pada hukum yang lebih tinggi dan diarahkan oleh akal dan tidak dibuat tapi hukum
harus ditemukan, sebab hukum sudah ada hubungan antara hukum dan moral masih sangat
penting. Paradigma semacam ini melahirkan asas hukum lex superior derogate legi inferior,
artinya hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Asas ini didukung
lagi oleh asas lex posterir derogat lex prio dan lex specialis derogat lex generalis. Pada
hakikatnya, penempatan hukum itu ada untuk diberlakukan. Maka bila hukum yang ada tidak
berlaku berarti ketentuan tersebut telah berhenti menjadi hukum. Dengan demikian, hukum
Ada beberapa tokoh mazhab sejarah dalam hal ini, antara lain yaitu:
Mazhab sejarah ini timbul dari tahun 1770-1861. Carl Von Savigny menganalogikan
timbulnya hukum seperti timbulnya bahasa suatu bangsa dengan segala ciri dan
kekhususannya. Oleh karena hukum merupakan salah satu faktor dalam kehidupan
bersama suatu bangsa, seperti bahasa, adat, moral, dan tatanegara. Sehingga hukum
hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tapi karena
perasaan keadilan yang terletak didalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa merupakan sumber
hokum. Hukum tidak dibuat, tapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat, ia
mengingatkan untuk membangun hukum studi terhadap sejarah suatu bangsa mutlak
dilakukan. Hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari
pembentuk undang-undang.4 Oleh karena pada permulaan, waktu kebudayaan bangsa-
bangsa masih bertaraf rendah, hukum timbul secarah spontan dengan tidak sadar dalam
2. Puchta
Mazhab sejarah ini timbul dari tahun 1798-1846. Puchta merupakan murid dari Carl Von
Savigny yang berpendapat bahwa hukum terikat pada Jiwa bangsa yang bersangkutan
dan dapat berbentuk adat istiadat, undang-undang dan karya ilmiah para ahli hukum.
Mazhab sejarah dari Henry Summer Maine ini lahir pada tahun 1822-1888. Sumbangan
Henry Summer Maien bagi studi hukum dalam masyarakat, terutama tampak dalam
penerapan metode empiris, sistematis dan sejarah untuk menarik kesimpulan umum.
Maine mengatakan masyarakat ada yang statis dan ada yang progresip. Masyarakat
undangan.
4
Gelar Dwihandaya, “Mazhab Sejarah Hukum”, (https://sites.google.com/a/unida.ac.id/gelardwi/pengantar-ilmu-
hukum/mazhab-sejarah-hu, Diakses pada 13 Desember 2019, 2019)