Anda di halaman 1dari 5

MAZHAB HUKUM HISTORIS

5.3.1 Mazhab hukum historis lahir pada awal abad XIX, yakni pada tahun 1814, dengan
diterbitkannya

suatu karangan dari F. von Savigny, yang berjudul: 'Vom Beruf unsere Zeit für Gesetzgebung und
Recht swissenschaft’(tentang seruan zaman kini akan undang-undang dan ilmu hukum). Dalam
karangan ini von Savigny membentangkan program mazhab hukum historis.

F. VON SAVIGNY (1779 - 1861)

5.3.2 Menurut von Savigny hukum merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu
bangsa, seperti bahasa, adat, moral, tatanegara. Oleh karena itu hukum adalah sesuatu yang
bersifat supra-individual, Suatu gejala masyarakat. Tetapi suatu masyarakat lahir dalam sejarah,
berkembangdalam sejarah dan lenyap dalam sejarah. Nyatalah hukum yang termasuk masyarakat
ikut serta dalam perkembangan organis itu. Lepas dari perkembangan masyarakat tidak terdapat
hukum sama sekali.

Pada permulaan, waktu kebudayaan bangsa-bangsa masih bertarar rendah, hukum timbul secara
spontan dengan tidak sadar dalam jiwa warga-warga bangsa. Kemudian. sesudah kebudayaan
berkembang, semua fungsi masyarakat dipercayakan kepada suatu golongan yang tertentu.
Demikianlah pengolahan hukum dipercayakan kepada kaum yuris sebagai ahli- ahli dalam
bidangnya. Berkat kegiatan mereka tatahukum dapat dibangun secara ilmiah, secara teknis,
walupun pembangunan hukum itu tetap terikat akan semangat hukum yang hidup dalam jiwa
bangsa. Keterikatan yang mendalam akan keyakinan-keyakinan bangs aitu dinamakan oleh von
Savigny: unsur politik (das politische element); pengolahan teknis dinamakannya: unsur teknis
(das technische Element).

Dalam tahun yang berikut von Savigny menegaskan bahwa sebenarnya tidak terdapat manusia-
individu. Setiap manusia merupakan bagian dari suatu kesatuan yang lebih tinggi, yakni dari
keluarga, bagsa, negara. Lagipula diuraikannya, bahwa setiap masa terjalin dengan masa
sebelumnya, sehingga kebudayaan dan hukum hanya dapat berasa dari jiwa bangsa, oleh karena
bangsa itu tetap memegang hubungannya dengan masa yang lampau. Di sini kelihatan, bahwa
hukum adalah suatu ciptaan manusia bebas, tetapi manusia bebas itu bukan manusia individual.
Hukum tidak berasal dari individu, yang mungkin bersikap sewenang-wenang saja, melainkan
dari jiva bangsa yang erat terjalin dengan sejarah.

5.3.3 Penulisan karangan-karangan von Savigny tentang arti hukum ada alasannya. Dalam
karangan ini von Savigny mau menjawab atas desas-desus mengenai pembentukan suatu hukum
nasional untuk semua negara Jerman yang terpisah-pisah pada saat itu. Dari sana-sini kedengaran
suara,

Bahwa perlu sekali dibentuk suatu Kodeks hukum Jerman, seperti telah di-bentuk untuk negara-
negara lain. Kodeks Prussia dibentuk pada tahun 1794 (banyak pengaruh dari Wolff), Kodeks
Perancis pada tahun 1804 (pengaruh dari Humanisme dan Rousseau) Kodeks Austria pada tahun
1811 (pengaruh dari Kant). Tetapi belum terdapat kodifikasi hukum untuk semua negara Jerman.

Dalam karangannya yang telah disinggung tadi von Savigny menyatakan keberatannya terhadap
kodifikasi hukum Jerman itu. Menurut von Savigny kodifikasi hukum selalu membawa serta
suatuefek yang negatif, yakni menghambat perkembangan hukum. Sejarah berjalan terus, tetapi
hukum sudah ditetapkan, maka menghentikan sejarah pada suatu saat tertentu.

Lagipula, dan inilah yang terpenting: untuk dapat merumuskan suatu hukum yang sesuai dengan
jiwa bangsa, perlu diselidiki dulu apa sebenarnya semangat jiwa bangsa, manakah keyakinan-
keyakinan bangsa yang dapat menjadi dasar sesuatu tatahukum yang memadai. Kalau hal ini di-
lalaikan, maka timbullah bahaya adanya jurang antara jiwa bangsa dan hukum yang terkandung
dalam tatahukum negara. Oleh karena hukum berkembang dalam sejarah, maka menurut von
Savigny terlebih dahulu perkembangan hukum perlu dipelajari secara ilmiah historis, sebelum

hukum itu dikodifikasikan.

Akibat argumen-argumen ini susunan Kodeks Jerman ditunda, Kodeks itu baru terbit pada tahun
1900.

5.3.4 Von Savigny dan murid-muridnya banyak mempelajari sejarah hukum, tetapi bukan hanya
itu. Di samping itu dipelajari juga dasar-dasar hukum sipil dan istilah-istilah hukum. Dapat
dikatakan bahwa penyelidikan historis membantu penyelidikan sistematis tentang hukum.

Apa yang menjadi pusat perhatian von Savigny sendiri adalah hukum Romawi kuno. Sebabnya
ialah bahwa dalam penyelidikan tentang hukum jerman ia sampai pada kesimpulan, bahwa
hukum Jerman yang berlaku terlalu berbeda-beda untuk menjadi dasar hukum jerman baru.
Menurut pendapatnya dasar semacam itu dapat ditemukan dalam hukum Romawi kuno. Menurut
von Savigny hukum Romawi itu terkandung secara murni dalam codex Justinianus. Maka
dicarinya bentuk yang murni hukum Romawi itu dengan memisahkan daripada hukum Romawi
actual segala tambahan dari abad pertengahan. Dengan demikian hukum romawi disiapkan untuk
menjadi dasar suatu tata hukum jerman baru.

Buku-buku yang ditulis oleh von Savigny tentang hukum Romawi berjudul: Geschichte des
Römischen Rechts im Mittelalter, 7 jilid (sejak 1814); System des heutigen Römischen Rechts. 8
jilid (sejak 1840).

PUCHTA (1798-1846)

5.3.5 Puchta, murid von Savigny berpendapat, bahwa hukum berazazkan pada keyakinan bangsa,
baik menurut isinya maupun menurut ikatan materialnya. Artinya bahwa hukum timbul dan
berlaku oleh karena terikat pada jiwa bangsa. Timbulnya itu terjadi dalam tiga bentuk. Hukun
timbul dari dari jiwa bangsa secara langsung dalam pelaksanaannya (dalam adat istiadat orang-
orang); secara tidak langsung hukum timbul dari jiwa bangsa melalui undang-undang (yang
dibentuk oleh negara) dan melalui ilmu pengetahuan hukum (yang merupakan karya ahli-ahli
hukum).

Di sini Puchta membedakan antara dua arti bangsa., Pertama-tama terdapat bangsa dalam arti
etnologis, yaitu bangsa alam. Bangsa ini ialah suatu masyarakat nasional yang terdiri dari orang
yang bersaudara secara jasmani dan rohani, yaitu karena persamaan darah dan kebudayaan. Di
samping itu terdapat bangsa dalam arti nasional, yakni orang-orang yang merupakan kesatuan
organis karena termasuk satu negara. Di sini bangsa berdasarkan aturan sipil yang menelurkan
warganegara-warganegara di bawah satu aturan hukum.

Nyatalah bangsa dalam arti yang pertama merupakan dasar bagi bang sa dalam arti yang kedua,
sedangkan bangsa dalam arti yang kedua meng andaikan bangsa dalam arti yang pertama.
Nyatalah juga bahwa bangsa dalam arti yang pertama belum dapat bertindak sebagai bangsa,
sebab belum terdapat dasar sipil. Untuk dapat bertindak sebagai bangsa diperlukan organisasi,
yakni kesatuan orang-orang dalam negara.
5.3.6 Dengan jalan pikiran ini Puchta sampai pada kesimpulan, bahwa sebenarnya tidak terdapat
hukum yang sah pada bangsa alam. Bangsa alam memiliki hukum sebagai keyakinan. Keyakinan
hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang
terorganisasi dalam negara. Negara mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang.

Puchta mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa sehingga akhirnya
tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya yakni praktek hukum dalam adat-
istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli hukum. Adat-istiadat bangsa hanya
berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara. Sama halnya dengan pengolahan hukum
oleh kaum yuris; pikiran-pikiran mereka tentang hukum memerlukan pengesahan oleh negara
supaya berlaku sebagai hukum. Di lain fihak yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan
dukungan apa pun. Ia berhak untuk membentuk undang-undang tanpa bantuan kaum yuris, tan-
pa menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang dan dipraktekkandalam adat-istiadat. Namun
tatahukum itu tetap disebut hukum bangsa, sebab dianggap sesuai dengan jiwa bangsa. Hanya
fihak yang berkuasa berhak untuk memastikan dan mengutarakan apa yang hidup dalam jiwa
bangsa. Teori Puchta ini sebenarnya tidak jauh dari teori absolutisme negara dan positivisme
yuridis.

GEORG BESELER (1809-1885)

5.3.7 Melawan von Savigny dan Puchta beberapa tokoh dalam bidang hukum membela
pembentukan hukum nasional Jerman atas dasar hukum Jerman kuno. Mereka kurang setuju
dengan diambilnya hukum Romawi kuno sebagai dasar hukum Jerman. Pada kenyataannya, kata
mereka, hukum Jerman yang berlaku sekarang, tidak berasal dari jiwa bangsa Jerman melainkan
dari pikiran kaum yuris yang mengambil alih hukum Romawi kuno. Tentu saja hukum baru itu
sebagian sesuai dengan adat istiadat Jerman tetapi itu bukan bukti, bahwa hukum itu
mencerminkan jiwa bangsa oleh karena pengaruh dari hukum Romawi atas adat-istiadat sudah
cukup besar. Maka terlebih dahulu hukum Romawi perlu dilepaskan, supaya suatu hukum
Jerman sendiri, sesuai dengan jiwa bangsa, dapat berkembang. Demikianlah a.l. Georg Beseler.

5.3.8 Beseler dkk. berpandangan bahwa inti hukum Jerman kuno terletak dalam hukum serikat
(Genossenschaftsrecht). Itu berarti bahwa dalam hukum Jerman terdapat suatu hukum, yang
tidak menyangkut orang-orang individual dengan relasi-relasinya, melainkan menyangkut
sejumlah orang sebagai suatu kesatuan tersendiri. Kesatuan itu, serikat, adalah sesuatu yang
sungguh-sungguh otonom, yakni mempunyai kepribadian hukum sen diri. Juga pembentukan
hukum dalam serikat melebihi kehendak individual anggota-anggotanya.

OTTO GIERKE (1841-1921)

5.3.9 Otto Gierk, murid Beseler mengolah teori serikat dalam bukunya Das Deutsche
Genossenschaftsrecht' (4 Bde, 1868-1913). Dipelajarinya apa sebenarnya merupakan hukum
khas Jerman, untuk sampai pada keyakinan, bahwa inti kesadaran hukum Jerman adalah 'die
soziale Idee'. Berdasarkan keyakinan ini Gierke mengembangkan suatu hukum Jerman yang
sesuai dengan jiwa bangsa. Untuk itu ia memisahkan dari hukum Jerman yang berlaku semua
unsur hukum Romawi yang nampak tidak cocok dengan jiwa bangsa Jerman, tetapi ia menerima
dalam hukum Jerman baru semua unsur hukum yang termasuk hukum ilmiah pada umumnya.
Harus diakui bahwa perbedaan antara hukum Romawi dan hukum Jerman memang sangat
menyolok dalam uraian Gierke.

Di dalam rangka studinya mengenai hukum Jerman Gierke membeda kan antara macam-macam
serikat, yakni lembaga (Körperschaft, corporatie), persekutuan hukum (Gemeinschaft,
rechtsgemeenschap), Yayasan (Anstalt, stichting). Melalui suatu lembaga diciptakan suatu
kesatuan yang lepas dari anggota-anggotanya; di dalam persekutuan hukum kesatuan semacam
itu tidak tercapai, akan tetapi diciptakan suatu hak bersama; melalui yayasan dibentuk suatu
kesatuan gabungan, yang mendapat hidupnya sendiri dari suatu sumber yang di luar pribadi
anggota-anggotanya. Ketiga type itu tidak dipisahkan secara tajam; setiap type meliputi juga
beraneka ragam bentuk serikat.

Dalam uraiannya mengenai masyarakat sebagai perwujudan Ide Sosial Gierke menekankan,
bahwa masyarakat merupakan suatu organisme social dengan kepribadiannya sendiri, yakni
kepribadian hukum. Pandangan ini mengandung bahaya, bahwa manusia kehilangan
keistimewaannya ter- hadap hidup bersama, dan bahwa masyarakat-masyarakat kecil kehilangan
statusnya terhadap masyarakat besar, negara.

Anda mungkin juga menyukai