Anda di halaman 1dari 10

F.

Aliran-Aliran Penemuan Hukum

1. Aliran Legisme

Aliran Legisme disebut juga positivisme hukum yang tumbuh pada abad
ke- 19 yang menekankan bahwa hakikat hukum adalah hukum yang tertulis
yaitu undang-undang. Aliran ini mengagungkan hukum yang tertulis, yang
menganggap tidak ada norma hukum di luar hukum tertulis. Pandangan ini
dianggap berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum yang
tertulis, pandangan ini dianggap oleh sebagian mempunyai kelemahan karena
sifatnya statis dan kaku.

Prof Satjipto Rahardjo dalam bukunya: Membedah Hukum Progresip, hal


162-163, mengatakan:

Mazhab positivisme hukum lahir sebagai respon penolakan terhadap


ajaran hukum alam, penolakan mazhab positivisme terhadap aliran hukum alam
diimplementasikan dengan menonjolkan ratio. Dengan dasar ratio, mazhab
positivisme hukum menilai bahwa ajaran hukum alam terlalu idealis, tidak
memiliki dasar, dan merupakan bentuk dari penalaran yang palsu.

Selanjutnya disebutkan: H.L.A Hart mengemukakan ciri dari mazab


positivisme sebagai berikut:

a. Hukum hanyalah perintah penguasa.

b. Tidak ada hubungan mutlak antara hukum dan moral dan etika.

c. Analisa tentang konsepsi hukum dibedakan dari penyelidikan sejarah dan


sosiologi.

d. Sistem hukum haruslah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup yang
diperoleh atas dasar logika, tanpa mempertimbangkan aspek sosial, politik,
moral, maupun etik.

Positivisme hukum dalam perkembangannya terbagi menjadi 2 aliran,


yaitu: aliran Hukum Positif Analitis (Analitical Jurisprudence) dengan
tokohnya Austin, dan aliran Hukum Murni (Reine Rechts lehre) dari Hans
Kelsen.
2. Mazhab Historis

Di dalam buku Prof. Dr. Abintoro Prakoso, berjudul: Penemuan Hukum


hal 148 – 156 diuraikan sebagai berikut:

Pada permulaan Abad ke- 20 sudah disadari bahwa undang-undang tidak


pernah lengkap, selalu terdapat kekosongan dan ketidak jelasan di dalam
undang-undang tersebut. Perkembangan ini dimulai di Nederland pada akhir
abad 19. Judge made law dan hukum kebiasaan dapat melengkapi undang-
undang, sejak itu pula hukum kebiasaan dan yurisprudensi dianggap sebagai
unsur-unsur dalam sistem hukum.

Mazhab Historis berlawanan dengan Mazhab Legisme, karena Mazhab


Historis yang dipelopori oleh Von Savigny (1779 – 1861) berpandangan bahwa
hukum itu ditentukan secara historis. Hukum tumbuh dari kesadaran hukum
bangsa di suatu tempat dan pada suatu waktu tertentu, kesadaran hukum yang
paling murni terdapat dalam kebiasaan. Peraturan hukum terutama merupakan
pencerminan keyakinan hukum dan praktek-praktek yang terdapat di dalam
kehidupan bersama dan tidak ditetapkan dari atas.

Para yuris harus mengembangkan dan mensistematisasi keyakinan dan


praktek-praktek hukum ini. Von Savigny berpendapat bahwa hukum adalah
hukum kebiasaan yang tidak cocok untuk kehidupan modern. Sebelum
mengkodefikasikan hukum harus mengadakan penelitian yang mendalam
terlebih dahulu. Setelah itu barulah dapat mengkodefikasi, jasa Von Savigny
ialah memberi tempat yang mandiri pada hukum kebiasaan sebagai sumber
hukum.

3. Begriffsjurisprudenz

Ketidakmampuan pembentuk undang-undang meremajakan undang-


undang pada waktu yang tepat merupakan alasan untuk memberikan peran aktif
kepada hakim. Dari hakim diharapkan seberapa mungkin dapat menyesuaikan
undang-undang pada keadaan baru, yurisprudensi mulai memperoleh peranan
sebagai sumber hukum. Demikian pula hukum kebiasaan memperoleh kembali
peranannya sebagai sumber hukum , sebaliknya para yuris mulai bersikap kritis
terhadap undang-undang.

Pelopor dari aliran ini adalah Rudolf von Jhering (1818-1890), kekhasan
bagi aliran begriffsjurisprudenz bahwa hukum dilihat dari satu sistem tertutup
yang mencakup segala-galanya yang mengatur semua perbuatan sosial.
Pendekatan hukum secara ilmiah dengan sarana pengertian yang diperhalus ini
merupakan dorongan timbulnya positivisme hukum, namun juga memberi
argumentasi yang berasal dari ilmu hukum, dengan demikian objektif sebagai
dasar putusan hukum. Pasal-pasal yang tidak sesuai dengan sistem hukum
dikembangkan secara ilmiah dan diterapkan interpretasi restriktif.

Begriffsjurisprudenze lebih memberikan kebebasan hakim daripada


legisme, hakim tidak perlu terikat pada bunyi undang-undang, tetapi dapat
mengambil argumentasinya dari peraturan-peraturan hukum yang tersirat dalam
undang-undang, dengan demikian peradilan lebih bersandar pada ilmu
pengetahuan hukum. Kalau undang-undang ternyata tidak memberikan
jawaban, maka hakim mencari objektivitas yang diisyratkan oleh ilmu hukum.

4. Interessenjurisprudenz (Freirechsschule)

Interessenjurisprudenz lahir di Jerman pada abad ke-19 sebagai reaksi


terhadap Begriffjurisprudenz, aliran ini menitik beratkan pada kepentingan-
kepentingan (interessen) yang difiksikan. Interessjurisprudenz mengalami masa
jayanya sebagai aliran ilmu hukum pada dasawarsa pertama abad 20 di Jerman.
Hukum merupakan resultant pertentangan kepentingan yang berlawanan dan
berbenturan satu sama lain.

Aliran ini berpendapat bahwa peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh
hakim sebagai formal logis belaka, tetapi harus dilihat menurut tujuannya.
Menyadari bahwa sistematisasi hukum tidak boleh dibesar-besarkan, maka
Rudolf von Jhering mengarah kepada tujuan yang terdapat di belakang sistem
dan merealisasikan ide keadilan dan kesusilaan yang tidak mengenal waktu.
Aliran ini berpendapat bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk
melindungi, memuaskan atau memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidup
yang nyata. Dalam putusannya hakim harus bertanya kepentingan manakah
yang diatur atau dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.

Philip Heck, yang termasuk salah seorang penganut aliran ini,


berpendapat bahwa tanpa pengetahuan tentang kepentingan sosial, moral,
ekonomi kultural dan kepentingan lainnya, dalam peristiwa tertentu yang
berhubungan dengan peraturan tertentu, pelaksanaan atau penerapan hukum,
tidak mungkin dapat tepat dan berarti. Pembentuk undang-undang pada waktu
merumuskan peraturan telah mempertimbangkan pelbagai kepentingan dan
akhirnya mengambil pilihan. Dalam ketentuan undang-undang telah ditetapkan
kepentingan-kepentingan mana yang menurut pandangan pembentuk undang –
undang itu mempunyai nilai-nilai yang hidup ditengah-tengah masyarakat.
Apabila kemudian diminta putusan dari hakim dalam konflik kepentingan, maka
hakim harus menyesuaikan dengan ukuran nilai yang dimuat dalam undang-
undang. Hakim tidak boleh atas kemauannya sendiri menilai kepentingan
konkrit pihak-pihak yang bersangkutan, akan tetapi mengeluarkan unsur-unsur
itu yang telah dinilai oleh pembentuk undang-undang dan berkaitan dengan itu
mengambil putusan, karena nilai-nilai yang dimaksud oleh pembentuk undang-
undang adalah faktor penentu utama. Hakim dalam putusannya harus bertanya
kepentingan manakah yang diatur atau dimaksudkan oleh pembentuk undang-
undang.

5. Soziologische Rechtsschule

Aliran ini berpandangan bahwa untuk menemukan hukum, hakim harus


mencarinya pada kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat. Aliran ini dipelopori
oleh Hamaker dan Hymans. Hamaker berpendapat bahwa hakim seyogianya
mendasarkan putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum
yang hidup dalam masyarakat ketika putusan tersebut dijatuhkan. Sedangkan
Hymans mengemukakan bahwa hanya putusan hakim yang dengan kesadaran
hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakat yang merupakan hukum dalam
makna yang sebenarnya.

Pokok pikiran dalam aliran inilah yang terutama hendak menahan dan
menolak kemungkinan kesewenang-wenangan dari hakim, berhubung dengan
adanya freis ermessen menurut aliran Freirechtsschule tadi, mereka pada
dasarnya tidak setuju adanya kebebasan bagi para pemangku hukum untuk
mengenyampingkan undang-undang sesuai dengan perasaannya, undang-
undang tetap harus dihormati. Sebaliknya memang benar hakim mempunyai
kebebasan dalam menyatakan hukum, akan tetapi kebebasan tersebut terbatas
dalam rangka undang-undang.

Menurut mereka hakim hendaknya mendasarkan putusan-putusannya


pada peraturan undang-undang , tetapi tidak kurang pentingnya, putusan-
putusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan terhadap asas-asas keadilan,
kesadaran dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat, hanya
yang demikian itulah dapat disebutkan sebagai hukum yang sebenarnya.

Aliran ini menyerukan supaya pengetahuan kemasyarakatan seperti


ideologi, politik, sosial, ekonomi dan sebagainya, bagi pemangku hukum
diminta agar kebebasan hakim ditetapkan batas-batasnya, misalnya hukuman
maksimal minimal, keadaan belum dewasa, jangka waktu daluarsa dan
sebagainya, (hal ini sudah diatur dalam asas-asas hukum pidana).Pengikut aliran
ini antara lain, A. Auburtin, G. Gurvitch dan J. Valkhof, penganut aliran ini
menekankan agar para hakim memiliki wawasan yang luas, bukan sekedar ilmu
hukum dogmatik, namun juga ilmu hukum lainnya.

6. Freirechtbewegung

Reaksi yang tajam terhadap aliran legisme baru muncul sekitar tahun
1900 di Jerman, reaksi ini dimulai oleh Kantorowicz (1877-1940) dengan nama
samaran Gnaeus Flavius. Aliran baru ini disebut freirechtlich atau bebas, dari
situlah timbul istilah freirechtbewegung, pada saat itu timbul reaksi-reaksi yang
tajam karena pada sekitar tahun 1900 diadakan kodefikasi.

Pengikut aliran ini menentang pendapat bahwa kodefikasi itu lengkap,


karena tidak seluruh hukum terdapat dalam undang-undang. Juga memandang
bahwa hakim itu mempunyai sumbangan kreatif dalam penemuan hukum, sebab
di samping undang-undang masih terdapat sumber-sumber hukum lain yang
dapat digunakan oleh hakim untuk menemukan hukumnya. Mereka
menganggap titik tolak Montesquieu (termasuk Immanuel Kant) bahwa hakim
tidak lebih dari corong undang-undang secara tegas dikatakan merupakan fiksi.
Menurut aliran ini hakim tidak hanya mengabdi pada fungsi kepastian hukum,
tetapi mempunyai tugas sendiri dalam merealisasi keadilan. Pengertian-
pengertian yang umum, luas dan oleh karena itu kabur atau samar-samar seperti
misalnya pengertian “itikad baik”, “ketertiban umum”, “kepentingan umum”,
yang digunakan oleh pembentuk undang-undang, dalam peristiwa konkrit
seringkali masih harus diisi atau dilengkapi.

Putusan hakim tidak selalu dari penjabaran undang-undang, karena setiap


peristiwa itu sifatnya khusus dan tidak benar kalau hakim selalu dapat
menerapkan peraturan undang-undang yang bersifat umum terhadap situasi
konkrit. Hakim dalam putusannya tidak hanya wajib menerapkan atau
melaksanakan undang-undang, namun juga menghubungkan semua sifat-sifat
yang khusus dari permasalahan yang disengketakan yang diajukan kepadanya.

Hendaknya disadari bahwa Freirechtbewegung ini tidak hendak memberi


fungsi yang bersifat menciptakan hukum yang otonom kepada hakim, tetapi
menyadarkan hakim kepada kenyataan bahwa ia dalam aktivitasnya tidak dapat
menghindari dan mengikutsertakan unsur penilaian subjektif. Pendapat subjektif
hakim ini tidaklah se-individualistis seperti digambarkan oleh lawan
Freirechtbewegung, hakim dibesarkan dalam suasana sistem hukum yang
diterapkannya, kecuali itu hakim mengenal peraturan hukumnya. Oleh karena
itu putusan nya sebagaian besar ditetapkan oleh peraturan hukum tertulis yang
berlaku dan asas-asas hukum yang berlaku umum.

Freirechtbewegung berpendapat bahwa hakim terikat pada batas-batas


yang dapat dijabarkan dari sistem, dalam hal ini menuju pada pemecahan
masalah yang mendasarkan pada sistem. Timbul keberatan terhadap penemuan
hukum bebas ini, keberatan yang terpenting ialah tidak adanya pendekatan
metodis, dan kurangnya perhatian pada metode yang harus digunakan dalam
merealisasi pendiriannya.

7. Aliran Hukum Kritis

Sesuai dengan namanya, maka aliran ini mengkritik secara konsepsional


teori hukum tradisional yang berlaku pada waktu ini. Aliran hukum kritis lahir
di Amerika Serikat, yang menjadi objek kritikannya adalah hukum di Amerika
Serikat tersebut sebagai akibat dari perkembangan dan ketidak puasan terhadap
teori dan peraktek hukum dalam bidang-bidang, misalnya :

a. pendidikan hukum

b. pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum

c. kegagalan hukum dalam menjawab permasalahan yang ada

Beberapa karakteristik umum aliran hukum kritis:

a. berkomitmen besar terhadap kebebasan individual dengan batas-batas


tertentu, karakter yang demikiaan ini amat berkaitan dengan emansipasi
kemanusiaan.

b. kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak,


menghendaki yang benar-benar objektif.

c. menolak perbedaan antara teori dan praktek, dan menolak perbedaan


antara fakta dan nilai, yang merupakan paham liberal.

Pada prinsipnya aliran ini menolak anggapan ahli hukum tradisional yang
mengatakan bahwa hukum itu objektif (kenyataan adalah tempat berpijaknya
hukum), hukum itu sudah tertentu, hukum menyediakan jawaban yang pasti dan
dapat dimengerti, hukum itu netral tidak memihak pada pihak tertentu.
Di samping menolak ketiga anggapan tersebut di atas, penganut aliran
hukum kritis ini berpandangan sebagai berikut:

a. Hukum mencari legitimasi yang salah.

Hukum mencari legitimasi dengan jalan mistifikasi, dengan


menggunakan prosedur hukum yang berbelit dan bahasa yang susah
dimengerti, sehingga pihak yang ditekan oleh orang berkuasa menjadi
cepat percaya bahwa hukum itu netral.

b. Tidak ada prinsip-prinsip dasar dalam hukum

Menurut aliran hukum kritis, pemikiran rasional itu merupakan ciptaan


masyarakat juga, yang merupakan pengakuan terhadap kekuasaan.

c. Aliran hukum kritis berpendapat hukum tidak netral dan hakim hanya
berpura-pura atau percaya secara naif bahwa dia mengambil putusan
secara netral dan tidak memihak dengan mendasari putusannya pada
undang-undang, yurisprudensi, atau prinsip keadilan. Padahal mereka
selalu dapat dipengaruhi oleh ideologi yang dianutnya untuk memperkuat
kelas yang dominan.

G. Sumber Penemuan Hukum

Sumber utama dari penemuan hukum adalah peraturan perundang-


undangan yakni hukum yang tertulis, kemudian kebiasaan- kebiasaan yang
hidup dalam masyarakat atau hukum yang tak tertulis, setelah itu adalah
putusan hakim yang terdahulu yang kita sebut yurisprudensi, kemudian
perjanjian-perjanjian internasional atau traktat (treaty), kemudian doktrin atau
ajaran-ajaran hukum yang terkemuka.

Seperti yang dijelaskan oleh Sudikno Mertokusumo dalam buku


Penemuan Hukum pada hal 63-67 sebagai berikut:

Telah dikemukakan bahwa peraturan perundang-undangan itu tidak


lengkap dan tidak jelas, tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap
selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya. Peraturan perundang-undangan
dimaksudkan untuk mengatur kegiatan kehidupan manusia. Kegiatan kehidupan
manusia itu sedemikian luasnya, sehingga tidak terhitung lagi jenis dan
jumlahnya. Dengan demikian tidak mungkin satu peraturan perundang-
undangan mengatur atau mencakup seluruh kegiatan manusia, ada saja yang
tidak tercakup sehingga wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan
yang lengkap selengkap-lengkapnya atau sejelas-jelasnya.

Sumber utama penemuan hukum adalah peraturan perundang-undangan,


kemudian hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional, barulah
doktrin. Jadi terdapat khirarkhi atau kewerdaan dalam sumber hukum, ada
tingkatan-tingkatannya. Oleh karena itu kalau terjadi konflik dua sumber
hukum yang tertinggi akan melumpuhkan atau membatalkan sumber hukum
yang lebih rendah. Di dalam ajaran penemuan hukum undang-undang
diprioritaskan atau didahulukan dari sumber-sumber hukum lainnya, kalau
hendak mencari hukumnya, apa dan bagaimana arti sebuah kata, maka dicarilah
terlebih dahulu dalam undang-undang, karena undang-undang bersifat otentik
dan berbentuk tertulis, yang lebih menjamin kepastian hukum.

Tidak mudah untuk membaca undang-undang, karena tidak hanya


sekadar bunyi kata-kata saja, tetapi harus mencari arti, makna atau tujuannya.
Suatu undang-undang secara keseluruhan bisa mengandung ratusan ribu
kalimat, di mana pikiran yang ada di belakang kalimat itu bertujuan untuk
memenuhi banyak kebutuhan yang justru bisa saling bertentangan . Oleh
karena itu membaca undang-undang tidak cukup membaca pasal-pasalnya saja,
tetapi harus pula dibaca penjelasannya dan konsiderannya. Jika hukum
dikatakan suatu sistem, maka untuk memahami suatu pasal dalam undang-
undang harus dibaca juga pasal-pasal lain dalam suatu peraturan perundang-
undangan. Undang-undang tidak boleh ditapsirkan bertentangan dengan
undang-undang itu sendiri (contra legem) terlebih lagi kalau undang-undang itu
sudah cukup jelas.

Jika ternyata di dalam peraturan perundang-undangan tidak ada ketentuan


atau jawabannya, maka barulah dicari dalam hukum kebiasaan, yang merupakan
hukum tidak tertulis, yang untuk menemukannya harus bertanya kepada warga
atau tokoh masyarakat yang dianggap mengerti. Kebiasaan adalah perilaku yang
berulang yang diterima masyarakat setempat dan kemudian menjadi mengikat.
Dalam hal ini perilaku tersebut harus diulang dalam waktu yang cukup lama,
berulang-ulang dan harus menimbulkan keyakinan umum bahwa perilaku yang
harus diulang itu memang patut secara objektif dilakukan. Hukum kebiasaan
pada umumnya melengkapi undang-undang dan tidak dapat mengesampingkan
undang-undang. Akan tetapi dalam keadaan tertentu hukum kebiasaan
mengalahkan undang-undang yang bersikap pelengkap saja.
Sumber penemuan hukum lain adalah yurisprudensi, menurut Prof.
Subekti Guru Besar Hukum Unpad sbb: yurisprudensi adalah putusan-putusan
hakim atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh
Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung
sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Di lain pihak ada yang mengartikan yurisprudensi sebagai kumpulan putusan


hakim yang disusun secara sistematis dari tingkat peradilan tingkat pertama,
tingkat banding sampai tingkat kasasi, yang pada umumnya diberi anotasi oleh
pakar di bidang peradilan . Ada juga yang mengartikan yurisprudensi sebagai
pandangan atau pendapat para ahli yang dianut oleh hakim dan dituangkan
dalam putusannya. Dalam kaitan dengan masalah yurisprudensi tersebut,
terdapat dua asas yang dikenal dalam peradilan, yaitu asas precedent dan asas
bebas. Di dalam sistem hukum Anglo Saxon asas precedent ini dianut oleh para
hakim dan mereka terikat atau tidak boleh menyimpangi dari putusan-putusan
yang terdahulu dari hakim yang lebih tinggi atau sederajat tingkatannya.

Menurut mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan dalam bukunya


Kekuasaan Kehakiman, halaman 30 mengatakan:

Sistem peradilan Indonesia tidak menganut asas precedent atau ajaran


stare decisis. Dengan demikian hakim di Indonesia bebas mengikuti atau tidak
putusan-putusan hakim terdahulu. Walaupun demikian, dalam praktek banyak
hakim menuruti berbagai yurisprudensi tetap, terutama yurisprudensi
Mahkamah Agung.

Sedangkan P. E. Lotulung Mantan Ketua Muda Tata Usaha Negara


Mahkamah Agung, menyebutkan dalam pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum
Administrasi Negara di Universitas Pakuan Bogor, yang mengatakan beberapa
fungsi yurisprudensi:

1. Menegakkan adanya standar hukum yang sama dalam kasus/perkara yang


sama atau serupa, dimana undang-undang tidak mengatur atau belum
mengaturnya.

2. Menciptakan rasa kepastian hukum di masyarakat dengan adanya standart


hukum yang sama.

3. Menciptakan adanya kesamaan hukum serta sifat dapat diperkirakan


pemecahan hukumnya.
4. Mencegah terjadinya kemungkinan disparitas (perbedaan) dalam
berbagai putusan hakim pada kasus yang sama, maka jangan sampai
menimbulkan disparitas, tetapi hanya bercorak sebagai variable secara kasuistik
(case by case).

Doktrin merupakan sumber penemuan hukum juga, sebagai halnya pada


definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yang pengertian perjanjian
di KUH Perdata tersebut terlalu umum dan tidak jelas walaupun sudah
dijelaskan, sehingga doktrin membantu memberi batasan tentang perjanjian
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai