1. Aliran Legisme
Aliran Legisme disebut juga positivisme hukum yang tumbuh pada abad
ke- 19 yang menekankan bahwa hakikat hukum adalah hukum yang tertulis
yaitu undang-undang. Aliran ini mengagungkan hukum yang tertulis, yang
menganggap tidak ada norma hukum di luar hukum tertulis. Pandangan ini
dianggap berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum yang
tertulis, pandangan ini dianggap oleh sebagian mempunyai kelemahan karena
sifatnya statis dan kaku.
b. Tidak ada hubungan mutlak antara hukum dan moral dan etika.
d. Sistem hukum haruslah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup yang
diperoleh atas dasar logika, tanpa mempertimbangkan aspek sosial, politik,
moral, maupun etik.
3. Begriffsjurisprudenz
Pelopor dari aliran ini adalah Rudolf von Jhering (1818-1890), kekhasan
bagi aliran begriffsjurisprudenz bahwa hukum dilihat dari satu sistem tertutup
yang mencakup segala-galanya yang mengatur semua perbuatan sosial.
Pendekatan hukum secara ilmiah dengan sarana pengertian yang diperhalus ini
merupakan dorongan timbulnya positivisme hukum, namun juga memberi
argumentasi yang berasal dari ilmu hukum, dengan demikian objektif sebagai
dasar putusan hukum. Pasal-pasal yang tidak sesuai dengan sistem hukum
dikembangkan secara ilmiah dan diterapkan interpretasi restriktif.
4. Interessenjurisprudenz (Freirechsschule)
Aliran ini berpendapat bahwa peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh
hakim sebagai formal logis belaka, tetapi harus dilihat menurut tujuannya.
Menyadari bahwa sistematisasi hukum tidak boleh dibesar-besarkan, maka
Rudolf von Jhering mengarah kepada tujuan yang terdapat di belakang sistem
dan merealisasikan ide keadilan dan kesusilaan yang tidak mengenal waktu.
Aliran ini berpendapat bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk
melindungi, memuaskan atau memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidup
yang nyata. Dalam putusannya hakim harus bertanya kepentingan manakah
yang diatur atau dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.
5. Soziologische Rechtsschule
Pokok pikiran dalam aliran inilah yang terutama hendak menahan dan
menolak kemungkinan kesewenang-wenangan dari hakim, berhubung dengan
adanya freis ermessen menurut aliran Freirechtsschule tadi, mereka pada
dasarnya tidak setuju adanya kebebasan bagi para pemangku hukum untuk
mengenyampingkan undang-undang sesuai dengan perasaannya, undang-
undang tetap harus dihormati. Sebaliknya memang benar hakim mempunyai
kebebasan dalam menyatakan hukum, akan tetapi kebebasan tersebut terbatas
dalam rangka undang-undang.
6. Freirechtbewegung
Reaksi yang tajam terhadap aliran legisme baru muncul sekitar tahun
1900 di Jerman, reaksi ini dimulai oleh Kantorowicz (1877-1940) dengan nama
samaran Gnaeus Flavius. Aliran baru ini disebut freirechtlich atau bebas, dari
situlah timbul istilah freirechtbewegung, pada saat itu timbul reaksi-reaksi yang
tajam karena pada sekitar tahun 1900 diadakan kodefikasi.
a. pendidikan hukum
Pada prinsipnya aliran ini menolak anggapan ahli hukum tradisional yang
mengatakan bahwa hukum itu objektif (kenyataan adalah tempat berpijaknya
hukum), hukum itu sudah tertentu, hukum menyediakan jawaban yang pasti dan
dapat dimengerti, hukum itu netral tidak memihak pada pihak tertentu.
Di samping menolak ketiga anggapan tersebut di atas, penganut aliran
hukum kritis ini berpandangan sebagai berikut:
c. Aliran hukum kritis berpendapat hukum tidak netral dan hakim hanya
berpura-pura atau percaya secara naif bahwa dia mengambil putusan
secara netral dan tidak memihak dengan mendasari putusannya pada
undang-undang, yurisprudensi, atau prinsip keadilan. Padahal mereka
selalu dapat dipengaruhi oleh ideologi yang dianutnya untuk memperkuat
kelas yang dominan.