Anda di halaman 1dari 16

Nama : Golan. BP.

Hasibuan, SH
NPM : 21.021.121.060. (HUKUM)
Mata Kuliah : Sejarah Hukum
Magister Hukum : Universitas Darma Agung

Soal UAS Sejarah Hukum


1. Jelaskan mengenai sejarah dan sejarah hukum !
2. Sebutkan dan jelaskan mengenai dasar hukum pemberlakuan hukum warisan
Hindia Belanda !
3. Jelaskan mengenai sejarah hukum Indonesia pada masa penjajahan Belanda !
4. Dengan kedatangan orang Belanda di Indonesia, maka terjadi dualisme hukum,
jelaskan. Dan jelaskan juga mengenai hukum yang berlaku untuk wilayah yang
dikuasai oleh VOC !
5. Jelaskan mengenai kodifikasi yang dilakukan pada masa penjajahan Belanda !
6. Ceritakan mengenai sejarah hukum Indonesia pada masa penjajahan Jepang dan
setelah Indonesia merdeka !

Jawaban Soal Uas

1. Sejarah mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya,


sedangkan sejarah hukum merupakan satu aspek tertentu dari hal itu, yakni
hukum. Apa yang berlaku untuk seluruh, betapapun juga berlaku untuk bagian,
serta maksud dan tujuan sejarah hukum mau tidak mau akhirnya adalah
menentukan juga dalil-dalil atau hukum-hukum perkembangan kemasyarakatan.

Sudah barang tentu bahwa sejarawan hukum harus memberikan


sumbangsihnya kepada penulisan sejarah secara terpadu. Bahkan sumbangsih
tersebut teramat penting, mengingat peran besar yang dimainkan oleh hukum di
dalam perkembangan pergaulan hidup manusia. Hal tersebut integral dalam
pengertian bahwa ia tidak dapat diwujudkan dengan memisahkan hukum dari

1
gejala-gejala kemasyakatan lainnya, yang antra hal-hal tersebut dengan hukum
dapat ditelusuri keterkaitannya.

Historitas Hukum

a. Visi Idealitas-Spiritualistis
Hukum itu sebagai suatu perwujudan satu atau lain gagasan absolut, maka apapun
asal atau isi gagasan yang kita kemukakan, bagaimanapun kita akan lebih cendrung
dan bermuara pada suatu pandangan hukum yang lebih statis dari pada yang dinamis.
Memang benar bahwa dalam hipotesis tersebut berbagai bentuk perwujudan hukum
yang muncul secara berturut-turut satu sesudah yang lain sebagai pencerminan
gagasan hukum absolut yang tiak sempurna, dan pada hakikatnya cendrung a-priori
tidak berubah dan karenanya a-historis. Bentuk-bentuk perwujudan yang timbul
secara berturut-turut satu sesudah yang lain dapat diuraikan sesuai dengan tertib urut
kronologis, tetapi keterkaitan yang satu dengan yang lain tidak dilihat dalam
perspektif kronologis linear melainkan dalam perimbangan terhadap gagasan absolut
tersebut. Berdasarkan titik tolak yang demikian, pada hakikatnya hanya sedikit sekali
mengarah seperti yang dimaksudkan dalam sejarah hukum.

b. Visi Matrealistis-Sosialogis

Hukum tidak dianggap sebagai perwujudan ide, seperti keadilan rasio, dan lain-
lain, melankan sebagai produk kenyataan masyarakat atau realitas masyarakat, maka
pandangan hukum statis beralih tempat dan berubah oleh hal yang dinamis, yang pada
hakekatnya lebih rentan terhadap suatu pendekatan histories. Selama hukum itu
dipandang sebagai suatu produk rasio, yang per definisinya dimana-mana dan
senantiasa identik, maka selama itu pula kita tidak dapat menemukan suatu klarifikasi
yang memadai bagi besarnya keanekaragaman norma-norma hukum. Dalam aliran
ini, yang paling banyak sumbangsihnya bagi pembentukan hukum dinamis adalah
mazhab histories dan marxisme.

2
John Gillisen dan Frist Gorlé, bertitik tolak dengan memilih pandangan hukum
sosialogis, artinya suatu yang dalam hukum tidak bertujuan melihat perwujudan
tersebut dari satu atau lain asas tersebut, melainkan menengok suatu produk
kenyataan dalam kemasyarakatan. Dengan cara ini visi-visi matrealistis dan
spiritualistis sepertinya dapat diperdamaikan satu dengan yang lainnya. Didalam
batas-batas yang dimungkinkan oleh situasi kehidupan materiil untuk dapat
melaksanakan (karenanya ada kemandirian relative ini), maka hal tersebut
memainkan suatu peranan spesifik yang perlu kita teliti.

2. Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang didirikan oleh para pedagang


orang Belanda tahun 1602 maksudnya agar tidak terjadi persaingan antara para
pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang pribumi dengan tujuan untuk
mendapat keuntungan yang besar di pasaran Eropa. Sebagai kompeni dagang oleh
pemerintahan Belanda diberikan hak-hak istimewa ( octrooi ) seperi hak monopoli
pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak membangun,
mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dan hak mencetak uang.

Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC di belanda memberikan wewenang


kepada Gebernur Jederal Piere Bith untuk membuat peraturan dalam
menyelesaikan perkara Istimewa yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para
pegawai VOC di daerah-daerah yang dikuasainya, disamping ia dapat memutuskan
perkara perdata dan pidana. Peraturanperaturan tersebut dibuat dan diumumkannya
melalui “plakat”. Pada tahun 1642 plakat-plakat tersebut disusun secara sistematis
dan diumumkan dengan nama “ Statuta van Batavia ” (statuta batavia) dan pada
tahun 1766 susunan dengan nama “ Niewe Bataviase Statuten ” (statuta Batavia
Baru). Peraturan statuta ini berlaku diseluruh daerah-daerah kekuasaan VOC
berdampigan berlakunya dengan aturan-aturan hukum lainnya sebagai satu sistem
hukum sendiri dari orang-orang Pribumi dan Orang-Orang pendatang dari luar.

3
Zaman Penjajahan Pemerintahan Belanda 1800-1942
Sejak berakhirnya kekuasaan VOC pada tanggal 31 Desember 1977 dan
dimulainya Pemerintahan Hindia Belanda pada Tanggal 1 Januari 1800, hingga
masuk pemerintahan jepang, banyak peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Yang menjadi pokok peraturan
pada zaman Hindia belanda adalah:

1. Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB)


Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847 termuat dalam Stb 1847
No. 23. Dalam masa berlakunya AB terdapat beberapa peraturan lain yang juga
diberlakukan antara lain:
A. Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau peraturan organisasi
Pengadilan.
B. Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum
Sipil/Perdata (KUHS/KUHP)
C. Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD)
D. Reglement op de Burgerlijke Rechhtsvordering (RV) atau peraturan
tentang Acara Perdata.
Semua itu diundangkan berlaku di Hindia Belnda sejak tanggal 1 Mei 1845
melalui Stb 1847 No. 23.

2. Regering Reglement (RR), diundangkan pada tanggal 2 September 1854,


yang termuat dalam Stb 1854 No. 2. Dalam masa berlakunya RR selain tetap
berlaku peraturan perundang-undangan yang ada juga diberlakukan Wetboek
van Strafrecht atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

3. Indische Staatsregeling (IS), atau peraturan ketatanegaraan Indonesia yang


merupakan pengganti dari RR Sejak tanggal 23 Juli 1925 RR diubah menjadi

4
IS yang termuat dalam Stb 1925 No. 415, yang mulai berlaku pada tanggal 1
Janiari 1926.

Zaman Penjajahan Tentara Jepang


Peraturan pemerintahan Jepang adalah Undang-Undang No.1 tahun 1942
( Osamu Sirei ) yang menyatakan berlakunya kembali semua peraturan perundang-
undangan Hindia Belanda selama tidak bertentangan dengan kekuasaan Jepang.

Politik Hukum Belanda


Berlakunya hukum dalam suatu negara ditentukan oleh Politik hukum negara
yang bersangkutan, disamping kesadaranan hukum masyarakat di negara
itu. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan politik hukum perlu diketahui
terlebih dahulu arti Politik Hukum. Arti Politik Hukum adalah Suatu jalan
(kemungkinan) untuk memberikan wujud sebenarnya kepada yang dicita-
citakan . Dapat dilihat pula dari pendapat Padmo Wahyono bahwa Politik Hukum
adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk dan isi hukum yang akan
dibentuk.
Oleh KARENA ITU berdasarkan pengertian tersebut, Suatu politik hukum
memiliki tugasnya meneruskan Perkembangan hukum DENGAN berusaha
MEMBUAT Suatu ius constituendum Menjadi ius constitutum ATAU sebagai
penganti ius constitutum Yang Sudah TIDAK Sesuai Lagi DENGAN Kebutuhan
society. Sedangkan politik hukum berbeda artinya dengn ilmu politik, sebab ilmu
politik memiliki pemahaman sampai seberapa jauh batas realisasi yang dapat
melaksanakan cita-cita sosial dan kemungkinan apa yang dapat dipakai untuk
melaksanakan suatu pelaksanaan yang baik dari cita-cita sosial itu.
Politik hukum suatu negara biasanya dicantumkan dalam Undang-Undang
Dasarnya tetapi dapat pula diatur dalam peraturan-peraturan lainnya. Politik
Hukum dilaksanakan melalui dua segi, yaitu dengan bentuk hukum dan corak
hukum tertentu. Bentuk hukum itu dapat:

5
1. Tertulis yaitu aturan-aturan hukum yang ditulis dalam suatu Undang-
Undang dan berlaku sebagai hukum positif. Dalam bentuk tertulis ada dua
macam yaitu:
A. Kodifikasi yang disusunnya ketentuan-ketentuan hukum dalam sebuah
kitab secara sistematis dan teratur.
B. Tidak dikodifikasikan adalah sebagai undang-undang saja.
2. Tidak tertulis yaitu aturan-aturan hukum yang berlaku sebagai hukum yang
semula merupakan kebiasaan-kebiasaan dan hukum kebiasaan. Corak
hukum dapat dicapai dengan:
A. Unifikasi yaitu berlakunya satu sistem hukum bagi setiap orang dalam
kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.
B. Dualistis yaitu berlakunya dua sistem hukum bagi dua kelompok
sosial yang berbeda dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu
negara.
C. Pluralistis yaitu berlakunya bermacam-macam sistem hukum bagi
kelompok-kelompok sosial yang berbeda dalam kesatuan kelompok
sosial atau suatu negara.

Di atas telah dijelaskan arti, bentuk, dan corak politik hukum, berikut ini
dibahas Politik Hukum bangsa Indonesia. keberadaan Hukum di Indonesia
sebagaimana dijelaskan di atas kebebasan dipengaruhi oleh keberadaan sejarah
hukum. Hal ini dapat dilihat masih banyak undang-undang yang dibuat jaman
Hindia Belanda sampai sekarang masih berlaku. Selain itu, masuknya hukum
Islam juga mempengaruhi hukum di Indonesia, sebagian permasalahan-
permasalahan perdata masih menggunakan hukum Islam. Oleh karen itu, perlu
diketahui terlebih dahulu bagaimana politik Hukum Hindia Belanda sehingga
dapat memahami bagaimana Politik Hukum Indonesia. keberadaan politik hukum
Hindia Belanda dapat dilihat berdasarkan berlakunya 3 pokok peraturan Belanda
(sebagaimana dijelaskan diatas) yaitu masa berlakunya AB, RR dan IS.

6
1. Masa Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB)
Pada masa berlakunya AB politik hukum Pemerintahan Hindia belanda dapat
dilihat dalam pembagian golongan dan berlakunya hukum bagi masing-masing
golongan tersebut. Pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Pasal 5 AB
membagi kedalam dua golongan, pasal ini menyatakan bahwa penduduk Hindia
Belanda di bedakan kedalam Golongan Eropa (berserta mereka yang
dipersamakan) dan Golongan Pribumi (berserta mereka yang dipersamakan
dengannya). Sedangkan hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan
tersebut diatur didalam Pasal 9 AB dan Pasal 11 AB. Yang diatur dalam pasal
kedua tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan pasal melainkan kesimpulan
dari bunyi pasal tersebut):

Pasal 9 AB
“Menyatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum perdata dan Kitab Undang-
Undang Hukum dagang (yang berlaku di hindia belanda) hanya akan untuk orang
Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan dengannya”.

Pasal 11 AB
“Menyatakan bahwa untuk golongan penduduk pribumi oleh hakim akan
diterapkan hukum agama, pranata-pranata dan kebiasaan orang-orang pribumi itu
sendiri, sejauh mana hukum, pranata dan kebiasaan itu tidak berlawanan dengan
asas-asas kepantasan dan keadilan yang diakui umum dan pula apabila terhadap
orang -orang pribumi itu sendiri ditetapkan berlakunya hukum eropa atau orang
pribumi yang bersangkutan dengan menundukan diri pada hukum eropa”.

Berdasarkan pasal tersebut, maka pemerintah Pembebasan Belanda


melaksanakan politik hukumnya dengan bentuk hukum tertulis dan tidak
tertulis. Bentuk hukum perdata tertulis ada yang dikodifikasikan dan terdapat di
dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK); yang
tidak dikodifikasikan terdapat di dalam undang-undang dan peraturan lainnya yang
dibuat dengan sengaja untuk itu. Sedangkan yang tidak tertulis, yaitu hukum

7
perdata Adat dan berlaku bagi setiap orang di luar golongan Eropa. Corak
hukumnya berlaku dengan dualistis, yaitu satu sistem hukum perdata yang berlaku
bagi golongan Eropa dan satu sistem hukum perdata lain yang berlaku bagi
golongan Indonesia.

Membedakan jenis untuk memberlakukan hukum perdataberdasarkan sistem


dari masing-masing golongan menurut pasal 11 AB itu sangat sulit dalam
pelaksanaannya. Hal ini disebabkan tidak adanya asas pembedaan yang tegas
walaupun ada ketentuan pembagian golongan berdasarkan pasal 5. Dalam pasal 5
hanya menyatakan orang Eropa, orang Bumiputra, orang yang disamakan dengan
orang Eropa dan orang yang disamakan dengan orang Bumiputra. pembagian
golongan menurut pasal 5 hanya berdasarkan perbedaan agama, yaitu yang
beragama Kristen yang berbeda dengan orang Eropa yang disamakan dengan
orang Eropa dan yang tidak beragama Kristen yang disamakan dengan orang
Indonesia. Karena itu dapat dikatakan bahwa bagi setiap orang yang beragama
Kristen yang bukan orang Eropa kedudukan golongannya sama dengan orang
Eropa, berarti bagi orang Indonesia Kristen termasuk orang yang disamakan
dengan orang Eropa. Hal ini tentunya berlaku juga bagi orang-orang Cina, Arab,
India dan orang-orang lainnya yang beragama Kristen disamakan dengan orang
Eropa. Sedangkan bagi orang-orang yang tidak beragama Kristen selain orang
Indonesia dipersamakan kedudukannya dengan orang bumiputra.

Tetapi karena pasal 10 AB berwenang untuk memberikan penilaian kepada


orang Indonesia Kristen, maka melalui S. 1848: 10, pasal 3 dari Gubernur Jenderal
menetapkan bahwa “orang Indonesia di lapangan hukum sipil dan hukurn”. dan
peradilan pada umumnya tetap dalam kedudukan hukumnya yang lama”. Dengan
demikian berarti bahwa bagi orang Indonesia Kristen tetap termasuk golongan
orang bumiputra dan tidak dipersamakan dengan orang Eropa.

2. Masa Regering Reglement (RR)

8
Politik hukum pemerintah jajahan yang mengatur tentang pelaksanaan tata
hukum pemerintah di Hindia Belanda itu dicantumkan dalam pasal 75 RR yang
pada asasnya seperti tertera dalam pasal 11 AB. Sedangkan pembagiannya tetap
dalam dua golongan, hanya saja tidak berdasarkan perbedaan agama lagi
melainkan atas kedudukan "yang menjajah" dan "yang dijajah" Dan ketentuan
terhadap pembagian golongan ini dicantumkan dalam pasal 109 Regerings
Reglement . Adapun yang diatur dalam pasal kedua tersebut adalah (dibawah ini
bukan merupakan pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):

Pasal 109 RR
“Pada pokoknya sama dengan Pasal 5 AB tetapi orang Pribumi yang beragama
Kristen dianggap orang pribumi dan bagi orang Tionghoa, Arab, serta India
dipersamakan dengan Bumi Putera”.

Pasal 75 RR
“Menyatakan tetap berlaku hukum eropa bagi orang eropa dan hukum adat bagi
golongan lainnya”.

Pada tahun 1920 RR itu mengalami perubahan terhadap beberapa pasal


tertentu dan kemudian setelah dikenal dengar sebutan RR (baru) dan berlaku sejak
tanggal 1 Januari 1920 sampai 1926. Karena itu selama berlakunya dari tahun
1855 sampai 1926 Awal Masa Regerings Reglement. Sedangkan politik hukum
dalam pasal 75 RR (baru) mengalami perubahan seperti terhadap penghuni
menjadi “pendatang” dan “yang didatangi”. Sedangkan penggolongannya menjadi
tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing.

3. Masa Indische Staatsregeling (IS)
Berlakunya IS dengan sendirinya telah menghapusnya RR. Politik Hukum
Pemerintahan hindia belanda pasa saat berlakunya IS dapat dilihat dalam Pasal
163 IS dan 131 IS. pada Pasal 163 IS diatur golongan, yang pada seluruh isinya
dikutip dari Pasal 109 RR (baru). Sedangakan Pasal 131 IS mengatur hukum yang
berlaku bagi masing-masing golongan tersebut. Adapun yang diatur dalam pasal

9
kedua tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan pasal melainkan kesimpulan
dari bunyi pasal tersebut):

Pasal 163 IS
Penduduk Hindia Belanda dibedakan atas tiga golongan, yakni :
1. Golongan Eropa
2. Golongan Bumi Putera
3. Golongan Timur Asing.

Pasal 131 IS meyatakan beberapa hal yakni :


1. Menghendaki agar hukum itu ditulis tetap di dalam ordonansi.
2. Memberlakukan hukum belanda bagi warga negara belanda yang tinggal di
hindia belanda berdasarkan asas konkordansi.
3. Membuka kemungkinan unifikasi hukum yakni menghendaki penundukan bagi
golongan bumiputra dan timur asing untuk tunduk pada hukum Eropa.
4. Memberlakukan dan menghormati hukum adat bagi golongan bumi putera
apabila masyarakat menghendaki demikian.

Pembagian golongan berdasarkan Pasal 163 IS sebenarnya untuk menentukan


sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 131 IS.
3. Pada tahun 1854 di Indonesia yang saat itu dinamakan Hindia-Belanda
memberlakukan Regeringsreglement (yang kemudian dinamakan RR 1854) atau
Peraturan Tata Pemerintahan (di Hindia-Belanda). Peraturan ini memiliki tujuan
untuk melindungi kepentingan usaha-usaha swasta di tanah jajahan dan untuk
pertama kalinya mencantumkan perlindungan hukum untuk rakyat pribumi dari
pemerintahan jajahan yang sewenang-wenang.
4. Hukum adat merupakan suatu bidang kajian yang sangat memukau, yang
membawa peneliti Barat berkenalan dengan susunan hukum dan praktik-praktik
kehidupan yang berkaitan dengannya. Hukum adat membawa kepada pengetahuan

10
dan pengertian yang khas dimiliki rakyat dalam masyarakat-masyarakat, yang
mencoba hidup menurut kaidah-kaidah sendiri tentang perilaku yang baik dan
jujur (sesuai denga kaidah hukum), dan berdasar pada prinsip-prinsip yang timbul
dari sumber-sumber yang lain dari yang ada di lingkungan yang telah
mebesarkannya. Pengertian untuk nilai hukum adat telah tumbuh di kalangan
masyarakat. Secara perlahan dari perbedaan hukum tersebut banyak menimbulkan
formal identity bagi setiap orang asing yang masuk pada lingkungan adat tersebut.
Ketika masa kolonial ha ini mendapat banyak tentang dari kalanganpimpinan
kolonial dan swasta. Secara perlahan-lahan dengan pendiriannya masing-masing
seringkali menimbulkan perpecahan dan konflik sosial yang bersifat vertikal.
Bahkan menjadi lebih keras ketika polemik yang terjadi mengenai hak adat atas
tanah dan keputusan pernyataan kepemilikan yang meliputi semua tanah “bebas”
dan “tidak bebas.” Di dalam penafsiran pemerintah waktu itu tidak tampak hak-
hak penduduk atau rakyat dan tidak menghormatinya sebagai suatu keseluruhan
yang memiliki watak tersendiri dengan hak-hak serta bentuk-bentuk ungkapannya
yang spesifik.
Konflik vertikal yang terjadi akibat pengebirian hukum adat oleh pemerintah
kolonial menyebabkan distribusi hukum adat bagi sebagian masyarakat mulai
tergeser dengan dominasi hukum terpusat yang dianggap tidak mewakili realita
sosial diterapkan oleh belanda. Superioritas penguasa kolonial ketika itu
menjadikannya gelap mata untuk menindas siapa saja yang tidak mengikuti hukum
terpusat. Banyak di kalangan masyarakat yang takut akan ancaan tersebut dan
memilih untuk bergabung dengan hukum kolonial. Di sisi lain pihak yang
memegang teguh hukum adat bersikukuh untuk mempertahankan kearifan lokal
tersebut sebagai suatu huku yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan
kemasyarakatan yang sesuai dengan keadaan dan kenyataan masyarakat yang ada.
Maka terjadilah konflik horizontal antara masyarakat yang pro dan kontra terhadap
hukum terpusat yang diimport dari Eropa tersebut.

11
Dari peta konsep di atas dapat dijelaskan bahwaa Sejarah Hukum Pidana pada
zaman VOC adalah Menurut Uterecth , hukum yang berlaku di daerah yang
dikuasai oleh VOC ialah:

1. Hukum statute yang yang termuat di dalam Statuten van Batavia


2. Hukum belanda kuno
3. Asas- asas hukum romawi

Hubungan hukum belanda yang kuno dengan statute itu ialah sebagai
pelengkap, jika statute tidak dapat menyelesaikan masalah, maka hukum belanda
kuno yang diterapkan, sedangkan hukum romawi berlaku untuk mengatur
kedudukan hukum budak. Akan tetapi itu hanya teori saja , dalam kenyataannya
orang pribumi tetap tunduk kepada hukum adatnya. Di daerah lain tetap berlaku
hukum adat pidana. VOC hanya campur tangan pada persoalan pidana yang
berkaitan dengan perdagangan.

5. Maka Pemerintahan Belanda melaksanakan politik hukumnya dengan bentuk


hukum tertulis dan tidak tertulis. Bentuk hukum perdata tertulis ada yang
dikodifikasikan dan terdapat di dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek
van Koophandel (WvK) yang tidak dikodifikasikan terdapat di dalam undang-
undang dan peraturan lainnya yang dibuat untuk itu. Sedangkan yang tidak
tertulis, yaitu hukum perdata Adat dan berlaku bagi setiap orang di luar golongan
Eropa. Corak hukumnya berlaku dengan dualistis, yaitu satu sistem hukum
perdata yang berlaku bagi golongan Eropa dan satu sistem hukum perdata lain
yang berlaku bagi golongan Indonesia.

Politik Hukum Kolonial Pada tahun 1838 di negeri Belanda dilakukan


kodifikasi terhadap semua aturan peraturan terutama hukum perdata dan hukum
dagang. Dengan adanya kodifikasi hukum, di Belanda timbul juga pemikiran
untuk memberlakukan unifikasi hukum di Hindia Belanda. hal ini sesuai dengan
asas konkordansi. Saat itu di Hindia Belanda berlaku hukum adat bagi golongan

12
bumiputera yang selama ini hukum adat belum pernah mendapat
perhatian. Tugas ini diserahkan kepada Mr. Hageman, tetapi tugas ini gagal,
karena pemerintahan Belanda tidak mengetahui keadaan hukum di Hindia
Belanda. Tugas tersebut diganti oleh scholten, lalu diganti lagi oleh Mr. HL
Wichers. Tugas utamanya adalah mengadakan unifikasi hukum. Unifikasi hukum
ini ditentang oleh Van der Vinne yang mengatakan : Suatu kejadian untuk
diterapkan hukum Belanda di Hindia Belanda yang sebagian besar penduduknya
beragama Islam dan memegang teguh adat istiadat mereka. Pada tahun 1848,
hasil unifikasi dan kodifikasi terhadap hukum perdata dan hukum dagang di
Belanda telah selesai.
1. Dalam bidang hukum tanah, dilakukan unifikasi hukum diantaranya :
Agrarische Wet (stb. 1850-1855). Lahir di atas desakan pengusaha swasta
yang dikenal dengan Cultuur Stelsel.
2. Agrarische Besluit (stb 1870-1877), mengenai Domein Verklarine.
3. Agrarische Zigendum (stb 1872-1877), yang sekarang diubah menjadi hak
milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan.
4. Vervremding Verbrod (stb 1875-1879)
Saat itu yang dikodifikasi hanya hukum perdata berat dan hukum dagang.
Sedangkan untuk hukum adat belum diperhatikan.
Mengenai hukum adat timbul pemikiran untuk melakukan unifikasi sesuai
kepentingan ekonomi dan keamanan dari pemerintah Belanda, tetapi termasuk
kepentingan bangsa Indonesia.
Tahun 1904 pemerintah Belanda mengusulkan suatu rencana Undang-Undang
untuk mengganti hukum adat dengan hukum Eropa dan mengharapkan agar
Bumiputera tunduk pada hukum Eropa, karena hukum adat tidak mungkin
diunifikasi dan dikodifikasi, selama usaha itu gagal. Kegagalan ini
mengakibatkan hukum adat semakin terdesak dan ada pemikiran untuk
menghilangkan hukum adat. Kegagalan untuk mengganti hukum adat dengan
hukum Eropa, karena : Dalam kenyataan tidak mungkin, bangsa Indonesia yang

13
merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia tunduk pada hukum Eropa
yang disesuaikan dengan orang-orang Eropa, sedangkan bangsa Eropa hanya
sebagian kecil saja, tidak mungkin bangsa Indonesia dimasukkan dalam
golongan Eropa di lapangan hukum privat. Tahun 1927 pemerintah Belanda
mulai menolak untuk mengadakan unifikasi hukum adat, mulai melaksanakannya
Van Vollenhoven yang isisnya memberlakukan pencatatan yang sistematis dari
hukum adat yang didahului dengan penelitian. Tujuannya adalah untuk
memajukan hukum dan untuk membantu hakim yang harus mengadili menurut
hukum adat.

Konsepsi van Vollenhoven didukung oleh :


a) Pengalaman yang pahit bertahun-tahun, pengalaman, bahwa tanpa hukum
barat dari atas selalu gagal.
b) Selalu berkembangnya pengertian akan pentingnya hukum adat dalam
lingkungan bangsa Indonesia. Politik hukum semenjak tahun 1927 adalah
konsepsi Van Vollenhoven mengenai hukum adat. Sebelum menggunakan
konsepsi Van Vollenhoven digunakan pasal II AB sebagai dasar hukum yang
berlakunya hukum adat. awalnya hukum adat tidak dikenal, istilah yang
dikenal adalah istilah Undang-Undang Keagamaan, Lembaga Rakyat dan
kebiasaan.
Dasar hukum yang berlaku pada saat itu adalah pasal II AB yang isisnya :
Bagi golongan pribumi, golongan Timur Asing berlaku peraturan-peraturan
hukum yang didasarkan atas agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka.
Kegagalan unifikasi dan kodifikasi terhadap hukum adat, karena
keanekaragaman penduduk Indonesia, sehingga sulit diarahakan pada
keseragaman hukum. Maka tahun 1906 DPR Belanda mempertahankan
hukum adat dengan memberlakukan pasal 131 ayat 2 b IS yang berlaku 1
Januari 1926.

14
6. Periode kolonialisme Jepang
  Pada Maret 1942, Terjadi pada saat Jepang ingin menguasai kekuasaan yang
Belanda miliki pada waktu itu. Jepang mulai meduduki seluruh daerah Hindia
Belanda. Untuk melaksanakan tata pemerintahan di Indonesia, pemerintahan
balatentara Jepang berpedoman kepada undang-undangnya yang disebut
“Gunseirei”. 
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi, seluruh
peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer
Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang
Belanda dan Eropa lainnya.

Fase Kemerdekaan
  Di fase kemerdekaan ini terdapat 3 masa yaitu masa orde lama, masa orde baru
dan masa reformasi.

  Masa Orde Lama


   Tata hukum Indonesia adalah tata hukum yang di tetapkan oleh bangsa
Indonesia sendiri atau Negara Indonesia. Orde Lama dipimpin Presiden Soekarno
dan wakil presiden Moh. Hatta. Sejak 18 Agustus 1945 tata hukum positif di
Indonesia adalah system hukum yang tersusun atas subsistem hukum adat,
subsistem hukum Islam, dan subsistem hukum Barat. Dinamika politik pada masa
ini mengalami pasang surut.

 Masa Orde Baru


  Setelah Kudeta G.30.S/PKI digagalkan, kemudian sejak terbitnya Surat
Perintah 11 Maret 1966 yang sering dikenal sebagai “Supersemar”, maka
dimulailah suatu babak baru dalam perjalanan sejarah kehidupan bangsa
Indonesia, yang kemudian menyebut diri sebagai pemerintahan Orde Baru.

15
Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru
diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan.[25]
Diantaranya UU pokok Agraria, yang bersamaan dengan dibuatnya UU
Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, UU Pertambangan.
Orde Baru juga menundukkan lembaga-lembaga hukum di bawak eksekutif,
pengendalian sistem pendidikan, pemikiran kritis masyarakat dibatasi, hingga tak
ada perkembangan dalam hukum nasional.
Penyelenggaraan pemerintahan Orde Baru menyalahgunakan ketentuan
peraturan perundang-undangan demi suatu kekuasaan. Keterpurukan kondisi
sistem ketatanegaraan yang dibangun pada masa Orde Baru mencapai puncaknya
ketika diiringi dengan munculnya krisis ekonomi yang melanda
duniaperekonomian bangsa Indonesia dan Negara-negara Asia.
 
Masa Reformasi
Wakil Presiden B.J. Habibie menggantikan posisi Presiden Soeharto. Selama
pemerintahannya sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Dengan
demikian, komposisi UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 yang lalu,
maka susunan UUD 1945 memiliki susunan sebagaimana berikut ini: 1). Undang-
Undang Dasar 1945 naskah asli; 2). Perubahan pertama Undang-Undang Dasar
1945; 3). Perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945; 4). Perubahan ketiga
Undang-Undang Dasar 1945; 5). Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar
1945.

16

Anda mungkin juga menyukai