Anda di halaman 1dari 179

HUKUM TATA NEGARA

RESUME HUKUM TATA NEGARA

DOSEN PENGAMPU :

MUHAMMAD ABUDAN, S.H., M.H.

NAMA :

SITI AMALLYA (20180401033)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ESA UNGGUL JAKARTA

2019
Resume Mata Kuliah Hukum Tata Negara Pertemuan ke 1

(Rabu, 6 Maret 2019)

“Alasan Penggunaan Nama Hukum Tata Negara, Ruang Lingkup dan Cara
Pendekatan”

1. Alasan Penggunaan Nama Hukum Tata Negara


Hukum Tata Negara Indonesia (Hukum Tata Negara Positif) langsung
membicarakan masalah-masalah Hukum Tata Negara yang berlaku pada saat
sekarang di Indonesia. Ini berarti bahwa peraturan Hukum Tata Negara yang
pernah berlaku pada masa yang lampau, bukan merupakan hukum positif, jika
peraturan itu pada masa sekarang ini sudah tidak berlaku lagi. Namun demikian
peraturan-peraturan itu masih diperlukan sebagai bahan yang penting dalam
rangka mempelajari sejarah ketatanegaraan Indonesia. Begitu pula sebaliknya
dengan apa yang sekarang disebut sebagai Hukum Tata Negara Positif.
Kemungkinan terjadi bahwa pada suatu saat peraturan hukum itu menjadi
using, karena sudah tidak berlaku, sehingga dengan sendirinya ia bukan
merupakan hukum positif lagi.setiap peraturan hukum yang berlaku pada
hakekatnya mengandung asas-asas tertentu. Asas-asas itu berakar di dalam
masyarakat dan selama masyarakat masih menerimanya, maka peraturan
hukum itu tetap dipertahankan. Demikian pula halnya dengan Hukum Tata
Negara Positif, ia berlaku karena ia mencerminkan asas-asas tertentu yang
hidup di dalam masyarakat. Jika Ilmu Negara menyelidiki pengertian-
pengertian dan asas-asas negara dalam arti umum yang berlaku bagi setiap
negara, maka Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia juga menyelidiki asas-
asas dan pengertian-pengertian tersebut, akan tetapi terbatas pada Hukum Tata
Negara Indonesia. Seperti halnya dengan Ilmu Negara yang merupakan ilmu
pengetahuan yang tidak mempunyai nilai praktis, maka juga, Pengantar Hukum
Tata Negara Indonesia merupakan ilmu pengetahuan yang mempunyai nilai
teoritis.

2
Karena Hukum Tata Negara merupakan bidang ilmu hukum yang
mencakup, asas-asas dan pengertian-pengertian dalam ketatanegaraan dan
aturan-aturan dasar mengenai :
1) Struktur organisasi dan praktik ketatanegaraan
2) Hak dan kewajiban warga negara
3) Hubungan antara negara dengan warga negaranya
Dalam Bahasa Inggris Constitutional Law karena hal-hal tersebut diatur
dalam Konstitusi (tidak selalu harus terkodifikasi, seperti di Inggris).
2. Ruang Lingkup
Antara asas dan pengertian-pengertian terdapat perbedaan dan hal ini dapat
dibuktikan pada beberapa karangan ilmiah yang membicarakan masalah
tersebut. Di antaranya adalah salah satu karangan dari Van Vollenhoven
mengenai “Vorm en Inhoud van het International Recht”, yang membedakan
vorm sebagai bentuk atau pengertian dari Hukum Internasional dan inhoud
sebagai isi atau pengertian dari hukum internasional. Selain Van Vollenhoven,
Ter Haar dalam bukunya yang berjudul “Beginselen en Stelsel van het
Adatrecht” juga hendak menunjukkan perbedaan seperti tersebut di atas.
Beginselen ven het adatrecht diartikan sebagai asas-asas dari hukum adat,
sedangkan stelsel van het adatrecht itu diartikan sebagai pengertian dari hukum
adat. Juga dalam karangan penulis lain seperti Logemann dalam Hukum Tata
Negara telah membedakan kedua pengertian tersebut di atas. Ia menyebut
“Formeele stelselmatigheid” sebagai pengertian dari Hukum Tata Negara,
sedangkan “Materieele stelselmatigheid” itu sebagai asas-asas dari pada
Hukum Tata Negara.
Dengan menunjuk kepada beberapa buah karangan tersebut di atas, orang
mendapat gambaran bahwa antara asas dan pengertian terapat perbedaan dan
perbedaan ini akan diuraikan lebih lanjut.
Hasil penyelidikan yang dilakukan terhadap suatu peraturan hukum yang
berlaku di dalam masyarakat, akan memperlihatkan bahwa suatu perturan
hukum itu membawakan dua segi kehidupan manusia. Segi pertama berasal
dari kehidupan kerohanian manusia, sedangkan segi lainnya berasal dari

3
lingkungan di mana manusia itu hidup (masyarakat). Masing-masing itu tidak
berdiri senidri, bahkan saling memengaruhi dan jalin menjalin menjadi satu
dalam suatu peraturan hukum. Jika kedua hal itu hendak dibedakan, maka
perbedaan ini terletak pada sumbernya. Segi kerohaniaannya bersumber pada
diri manusia sendiri yang berpikiran dan perasaannya, sedangkan segi lainnya
terletak di luar manusia. Demikianlah kedua segi itu merupakan bahan yang
sangat penting bagi pembentuk Undang-Undang dalam menyusun suatu
peraturan hukum. Segi yang pertama merupakan unsur idiil, karena sifatnya
yang tidak nyata (abstrak), dan yang kedua di sebut unsur rll, karena sifatnya
yang tidak nyata (concret), seperti tradisi atau sifat-sifat yang dibawa oleh
manusia sejak laki-laki dan jenis perempuan. Keadaan alam yang hidup di
sekitar manusia tidak senantiasa sama. Adakalnya di suatu tempat terdapat
bermacam-macam musim di sepanjang tahun seperti yang terjadi di benuna
Eropa dan yang tidak terdapat di Indonesia. Karena perbedaan musim itu maka
kita akan melihat adanya perbedaan-perbedaan dalam peraturan hukumnya
yang mengatur masyarakat yang bersangkutan, sehingga suatu peraturan
hukum yan berlaku bagi daerah-daerah yang bermusim salju, tidak berlaku
bagi suatu daerah yang hanya terdirib atas gurun pasir yang di sepanjang tahun
hanya mengenal musim panas saja. Demikian pula halnya dnegan kebiasaan-
kebiasaan yang berbeda menurut waktu dan tempat serta keadaan masyarakat
yang berlainan akan membawa pengaruh terhadap peraturan hukum yang
dibuatnya.
Unsur idiil itu bersumber pada akal pikiran dan atau perasaan manusia dan
sutau bangunan hukum yang bersumber pada akal pikiran manusia, disebut
sebagai pengertian-pengertian hukum, sedangkan suatu bangunan hukum yang
bersumber pada perasaan manusia disebut sebagai asas-asas hukum. Demikian
pula dalam Hukum Tata Negara dikenal orang pengertian-pengertian dan asas-
asas mengenai Hukum Tata Negara itu. Pengertian-pengertian yang terdapat
dalam Hukum Tata Negara pada umumnya bersifat tetap, sedangkan asas-
asasnya sering kali berubah-ubah. Perubahan pada asas-asas itu disebabkan
karena pandangan hidup masyarakatnya yang berbeda-beda. Sebagai contoh

4
dapat dikemukakan di sini, bahwa suatu bangunan demokrasi dalam Hukum
Tata Negara dapat dilihat dari segi pengertiannya maupun dari segi asasnya.
Pengertian demokrasi adalah suatu pemerintahan di mana rakyat ikut serta
memerintah (menderegen), baik secara langsung yang terdapat pada
masyarakat-masyarakat yang masih sederhana (demokrasi langsung), maupun
secara tidak langsung karena rakyat diakilkan (demokrasi tidak langsung) yang
terdapat dalam negara-negara modern.
Apakah yang dimaksud dengan asas demokrasi? Telah di tunjukkan di atas
bahwa asas itu berbeda-beda, tergantung kepada pandangan hidup
masyarakatnya. Asas demokrasi yang hidup di Indonesia ialah kekeluargaan
(hidup bebrayan) untuk mengabdi kepentingan bersama dalam mencapai tujuan
yang sama. Bagi masyarakat Barat asas demokrasi yang berlaku tentu berbea
lagi karena sifat masyarakatnya yang induvidualistis. Dalam demokrasi
semacam itu kepentingan perseorangan akan lebih diutamakan, bahkan lebih
menonjol dari pada kepentingan bersama. Karena itu pula keputusan yang
diambil dalam demokrasi Barat didasarkan atas perhitungan jumlah suara yang
terbanyak. Bagaimanapun juga keputusan yang diambilmua itu merupakan
suatu pencerminan dari masyarakatnya yang individualistis. Berbeda dengan
hal tersebut di atas, maka untuk mencapai keputusan dalam demokrasi yang
berlaku di Indonesia, lazim dilakukan suatu musyawarah untuk mencari kata
sepakat atau mufakat.
3. Cara Pendekatan
Sudah semestinya bahwa cara pendekatan yang dilakukan dalam ilmu
pengetahuan hukum mempergunakan metode yuridis formil. Disamping cara
pendekatan yagn lazim dipakai dalam ilmu pengetahuan hukum disebut yuridis
formil, perlulah kiranya dibantu dengan cara pendekatan yang lainnya untuk
mengetahui apakah latar belakang sebenarnya yang terdapat dalam tiap-tiap
hukum itu dengan mempergunakan metode filsafah (filosofis), metode
kemasyarakatan (sosiologis) dan metode sejarah (historis). Sebagai contoh
dapatlah dikemukan disini hubungan yang terdapat antara Pancasila, azas
kekeluargaan, musyawarah dan ketetapan MPRS/MPR. Ketetapan Majelis

5
Permusyawaratan Rakyat Sementara no. XXXVII/MPRS/1968 yang mengatur
tentang musyawarah untuk mufakat, pernah menjadi suatu hukum positif, yang
kemudian diatur lebih lanjut oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
no. I/MPR/1973 tentang Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ketetapan ini merupakan suatu bangunan hukum, namun demikian untuk
mengetahui latar belakang Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu
tidak cukup kiranya jika masalah itu hanya dipelajari dari segi yuridis
formilnya saja.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut menghendaki agar
setiap masalah diselesaikan dengan musyawarah, karena musyawarah
merupakan perwujudan dari pandangan hidup bangsa Indonesia. Pandangan
hidup ini antara lain adalah hidup kekeluargaan dan azas musyawarah itu
mempunyai hubungan langsung dengannya, sedangkan azas kekeluargaan itu
merupakan salah satu azas yang dapat ditarik dari falsafah Pancasila.
Demikianlah untuk mempelajari hubungan itu hanya bisa dimengerti jika
dipergunakan cara pendekatan dengan metode falsafah (filosofis).
Dari sudut lain dapat pula hubungan itu ditunjukkan, misalnya dari sudut
kemasyarakatan (sosiologis) khususnya politis, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat pada hakekatnya adalah suatu keputusan politik.
Untuk mengetahui latar belakangnya perlu dipelajari hubungan kepentingan
politik yang tersirat di dalamnya serta perimbangan kekuatan yang nyata yang
terdapat dalam lembaga tersebut. Untuk mengetahui cara pendekatan dengan
metode kemasyarakatan (sosiologis), khususnya politis.
Demikian pula halnya jika orang ingin mengetahui sejarah Undang-Undang
Dasar yang pernah dan yang sekarang masih berlaku di Indonesia, serta
prinsip-prinsip apakah yang dianut oleh Undang-Undang Dasar masing-masing
itu. Pendekatan dari sudut sejarah (historis) dapat pula dipergunakan untuk
mempelajari perbedaan prinsip yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1949
dan Undang-Undang Dasar 1950 di satu pihak, serta Undang-Undang Dasar
1945 di lain pihak. Kedua Undang-Undang Dasar yang disebut terdahulu
berazaskan liberal, sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 tidak.

6
Cara pendekatan yang lain daripada yuridis formil dapat dipergunakan
sebagai alat pembantu untuk mengetahui lebih jelas latar belakang dan azas-
azas atau pengertian-pengertian yang terdapat dalam Hukum Tata Negara,
dengan ketentuan jangan sampainpenulisan itu terlibat dalam suatu metode
syncretismus.

7
Resume Mata Kuliah Hukum Tata Negara Pertemuan ke 2

(Rabu, 13 Maret 2019)

“Istilah yang berkaitan dengan HTN, Kedudukan HTN dalam Skema


(Bagan) Ilmu Hukum, Definisi HTN, dan Hubungan HTN dengan Ilmu
Negara, dengan Ilmu Politik, dan dengan HAN”

Setelah Dekrit Presiden 5 juni 1959 berubah lagi balik lagi ke Undang-Undang
Dasar 1945. Dari tahun 1959 itu terus bergulir sampai tahun 1999 terjadi
amandemen pertama Undang-Undang Dasar 1945, tahun 2000 amandemen kedua
Undang-Undang Dasar 1945, tahun 2001 amandemen ketiga Undang-Undang
Dasar 1945, tahun 2002 amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945.
Amandemen itu adalah perubahan.

 Sistem Hukum
1. Eropa Kontinental (Sistem Hukum Eropa Kontinental) - Civil Law –
Tertulis
Eropa Kontinental itu adalah Eropa daratan, Romawi Itali berkembang ke
Jerman ke Perancis ke Belanda dibawa ke Indonesia. Sistem hukumnya
dibawa oleh Belanda ke Indonesia.
2. Anglo Saxon (Sistem Hukum Anglo Saxon) - Common Law - Tidak
tertulis
Kalo Anglo Saxon itu pelopornya adalah Inggris. Jadi dia Eropa kepulauan,
beda dengan Eropa kontinental. suka bertolak belakang, suka saling
mendukung. ini yang dibilang sistem hukum terbesar di versi modern.
3. Sistem hukum islam
Sistem hukum Anglo Amerika, sistem hukum Anglo Saxon berkembang ke
Amerika berubah menjadi Anglo Amerika.
4. Sistem hukum adat
5. Sistem hukum komunis
6. Sistem hukum kanonik

8
Kanonik itu sistem hukum yang dibuat oleh pemuka-pemuka agama kristen
katolik.
Jadi kalo dengan sistem hukum adat jadi 7 tapi ada buku yg nulis 6 bahkan
ada buku yang nulis 5 sistem hukum kanonik tidak ditulis. Bervariasi
tergantung popularitas sistem hukum itu sama sejauh mana sebanyak apa orang
atau negara yang memakai sistem itu.
 Bentuk Hukum
1. Tertulis
2. Tidak tertulis
3. Tercatat, hasil sidang, putusan sidang itu tercatat. putusan hakim
dipengadilan itu tertulis tapi dia tertulisnya karena tercatat, karena ada kasus
dia tercatat, kalo ga ada kasus dia ga bergerak hukum itu. Tercatat itu
berkaitan dengan putusan-putusan pengadilan.
 Kerajaan itu monarki. Kerajaan sejenis dengan kesultanan dan kekaisaran.
Kalo kerajaan dipimpin oleh Raja, kalo kesultanan dipimpin oleh Sultan dan
kekaisaran dipimpin oleh Kaisar contohnya kekaisaran Jepang yang dipimpin
oleh Kaisar Hirohito dan seterusnya.
 Bentuk negara ada 2 yaitu kerajaan dan republik. Bentuk negara tuh gampang
sebenernya kalo ga kerajaan ya republik kalo ga republik ya kerajaan balik-
balik disitu aja. Tapi variasinya yang berbeda kerajaan apa bedanya dengan
inperium. Republik apa bedanya dengan republik yang lebih besar. Jadi dia
republik tapi besar dia, kaya Uni Soviet dulu waktu dia masih jadi 1 negara. Itu
dia negara terluas di dunia tapi negara bagiannya cuman 15. Tapi Amerika
yang nomor 4 terluas di dunia itu negara bagiannya 50. Sebetulnya dulu
kerajaan-kerajaan aja, kalo ga monar ya monarki. Monar rajanya monarki itu
sistem kerajaan. Ada Niccolo Machiavelli, dia mempopulerkan Lo Stato.
Sebelum Niccolo Machiavelli ada yang sudah menyebut-nyebut negara, bukan
kerajaan lagi tapi negara. Tapi yang paling populer adalah Niccolo
Machiavelli. Apa bedanya kerajaan dengan negara? Artinya negara disini
adalah republik atau negara secara umumnya kalo kerajaan itu yang paling
penting ada pemimpin yaitu raja terus ada rakyat itu paling utama terus

9
teritorialnya bisa absolut bisa relatif, teritorial dari kerajaan itu bisa mutlak bisa
relatif. Kenapa? Karena kebiasaan dari kerajaan kalo dia sudah kuat dia boleh
menyerahkan kerajaan lain. Jadi pada jaman dulu begitu, masih berlaku hukum
rimba siapa yang kuat dia yang menang. Jadi kerajaan tuh semakin besar tidak
mungkin tetap di daerah dia karena nanti kalo sudah besar sudah kuat jangan-
jangan kekuatannya itu akan makan ke dalam, ke wilayah kerajaan itu, maka
dia keluar (ekspansi). Kaya misalnya kerajaan majapahit daerah yang pernah
dikuasainya dari daerah majapahit di jawa timur terus ke jawa tengah terus
sebagian wilayah jawa barat terusss ke atas ke kalimantan terus ke atas lagi
sampai sulawesi kena sebagian terus ke atas lagi pilih B daerah jajahan dia
misalnya begitu. Sriwijaya palembang udah sangat kuat terus menjelajah ke
utara sumatera, jambi, bengkulu, riau itu abis sama dia, terus sumatera barat
terus ga bisa masuk ke utara dan seterusnya di tendang oleh Aceh dia mulai ke
pinggir tuh ke laut mulailah daerah-daerah situ dijajah oleh sriwijaya. Dan
pasukannya kalo datang ke suatu tempat itu udah kaya tentara yang memang
siap mati dan menjajah satu tempat. Dia pernah masuk ke daerah-daerah Asia
Tenggara yang lain, seperti Thailand, sriwijaya pernah masuk, pernah dikuasai
oleh sriwijaya, thailand itu pernah dijajah oleh Sriwijaya. Walaupun dalam
catatan sejarah Thailand, thailand itu adalah negara yang tidak pernah di jajah,
tetapi kalo cerita dulunya thailand itu daerah yang dikuasai oleh sriwijaya
walaupun ga semua terus dia ke atas bahkan ke daerah India sriwijaya juga
masuk. Jadi kalo geser lagi tuh dari peta India kena. Begitulah kerajaan. Jadi
kerajaan batas wilayahnya kalo dia kuat batas wilayahnya relatif, kalo kerajaan
itu lemah batas wilayahnya absolut "ini daerah kami loh, kami berkuasa daerah
sini" tapi datang kerajaan yang lebih besar "anda mau tunduk sama kami? Atau
mau kami takhlukan?" Dilihat "waduh kalo tunduk gimana?" "Anda harus
membayar upeti per3 bulan sekian per6 bulan sekian" "yaudah bayar upeti,
daripada perang ngeliat kekuatan kalah ga berimbang" nah maka takhluklah
kerajaan-kerajaan kecil di pulau jawa, misalnya dulu tunduk pada Padjajaran,
tunduk pada Majapahit. Sriwijaya dulu ada kerajaan-kerajaan kecil tuh
kerajaan di Kampar, kampar tuh 1 nama daerah di Riau itu ada kerajaan

10
dikuasai oleh Sriwijaya. Jadi daripada dia bertempur mati terus tidak dapat apa-
apa orang lain bilang daripada tumpah lebih baik miring, kalo tumpah airnya
tuh abis kalo miring yang keluar airnya kira-kira cuma setengah, jadi supaya
ini airnya ga tumpah habis lebih baik miring. Nah begitu juga kerajaan-
kerajaan kecil begitu datang kerajaan-kerajaan besar. Dulu di Bali ada
kerajaan, kerajaan Udayana itu wilayahnya kalo dia mau ke barat ada
Majapahit, dia ketimur NTB dikuasai pulau lombok itu dikuasai tapi setelah dia
kuasai rupanya ada perlawanan dari orang-orang lombok itu, dilawan dia
mundur sebagian mundur balik ke baris sebagian tinggal di sisi barat paling
barat dari pulau lombok. Sebelah pinggiran pulau lombok itu masih orang bali
keturunan bali, agamanya mayoritas hindu, tapi kalo ketengah ke timur utara
mayoritasnya muslim, dan bahasanya juga ada pengaruh dari bahasa bali.
Kecenderungannya melakukan ekspansi. Ada dulu kerajaan romawi dan
yunani, terus yunani kalah dari romawi, lawannya romawi berikutnya adalah
Persia. Ketika perkembangan itu sudah mulai ada penyebutan selain monarki
disebutlah state oleh Niccolo Machiavelli dipopulerkan istilah Lo Stato atau
State.
 Dalam bahasa Belanda staat dalam bahasa inggris itu state. Nah hukum dalam
bahasa Belanda itu recht, staat recht. Staat itu artinya negara, recht itu artinya
hukum. Kalo pakai bahasa Indonesia itu negara hukum, tapi kalau Bahasa
Inggris Bahasa Belanda itu dibalik jadi hukum negara ini sama dengan hukum
negara. Kalau hukum negara berarti nanti ada hukum daerah, hukumnya diliat
dari tingkatannya, tingkatan negara tingkatan daerah, bukan. Tapi hukum yang
bicara tentang negara. Pertamanya disebut hukum tentang negara, akhirnya
berubah ini memjadi hukum tata negara. Dari dulu sampe sekarang ini relatif
tetap. Hukum Tata Negara (HTN) jadi kalo state recht negara hukum dia
berubah menjadi hukum negara
1. Staat Recht : Hukum Tata Negara
2. Rechtstaat (Belanda)
3. Recht Staat (Jerman)

11
 Friedrich Julius Stahl adalah seorang pengacara konstitusional Jerman, filsuf
dan politisi politik.
 Ada seorang pemikir bangsa Yunani Kuno, namanya Ulpianus atau nama
panjangnya adalah Gnaeus Dominitius Annius Ulpiaus (sekitaran tahun 170-
223). Ulpianus mengatakan “ilmu hukum itu satu kesatuan dan dibagi dua,
hukum publik dan hukum Privat”
1. Hukum Publik, berkaitan dengan banyak orang, masyarakat, bangsa. Maka
ciri-ciri dari hukum publik itu gampangnya, kalau hukum itu dibelakangnya
ada kata negara. Pasti itu hukum publik. Contoh Hukum Administrasi
Negara, Hukum Tata Negara, Hukum Keuangan Negara, Hukum
Kepegawaian Negara, Hukum Pidana dan Hukum Pajak (karena berkaitan
dengan pemasukan uang ke kas negara).
2. Hukum Privat, hukum yang berkaitan dengan perorangan, individu atau
warga dengan masyarakat. Contoh Hukum Perjanjian, Hukum Perdagangan,
Hukum Perkawinan, Hukum Waris dan hukum-hukum yang berkaitan
dengan urusan orang perorangan atau individu.
Dulu Hak Cipta adalah Hukum Privat, Hak Merk Dagang, Hak Paten.
Karena hukum privat. “Apabila anda merugikan saya, anda ganti rugi”
(bahasanya ganti rugi), “Apabila anda merugikan saya, saya tuntut anda, saya
gugat ke pengadilan” Karena ganti rugi, dia yang mengharapkan maka
pengadilan bilang “mana buktinya bahwa dia sudah merugikan anda?”, dia
menjawab “ini merk dagang saya dipalsukan”, “mana buktinya?”, “ini ohiya
betul”, dan darimana dia nih si penggugat dapat data itu dia cari buktinya
setengah mati nyarinya. Dia bukan hanya menggugat dia mencari bukti tentang
kejahatan orang itu.
Jadi disatu sisi dia sebagai pihak yang dirugikan menggugat disisi lain dia
seolah-olah sebagai penyelidik dan penyidik mencari bukti bahwa dia sudah di
rugikan. Buktinya yang jelas, karena ada barang-barang dari luar barang-
barang Amerika, barang-barang Eropa disini dipalsukan terus dijual
perusahaan Amerika dan perusahaan Eropa ini rugi. Terus kata pengadilan sini
“ok anda rugi kita terima gugaannya. Tapi buktinya anda dirugikan mana?”,

12
“loh itu urusan polisi saya cuma ngasih tau ini, anda cari orangnya anda cari
lagi buktinya dong”, “tidak bisa di Indonesia ini masih Hukum Privat”, “tidak
bisa dimana-mana itu merugikan, saya nih urusannya urusan ekonomi ngurus
banyak orang bayar pajak untuk negara, orang bekerja sama saya”. Kalo gitu
atas dasar tuntutan dari berbagai pihak, terutama dari perusahaan-perusahaan
Eropa dan Amerika, Indonesia merubahmdari Hukum Privat menjadi Hukum
Publik. Jadi, barang siapa yang memasulkan barang merk orang lain, diancam
dengan hukuman pidana sekian”. Jadi basicnya hak cipta, basicnya merk,
basicnya paten atau dikenal dengan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual)
terus berubah lagi jadi HKI (Hak Kekayaan Intelektual) Intellectual Property
Rights. Tadinya Hukum Privat ditambah dengan diancam dengan hukuman
pidana sekian-sekian, berubah dia. Orang Amerika dan Eropa bilang Indonesia
bagus karena sudah pindah, karena seusai dengan masyarakat internasional
yang merhargai hak atas kekayaan intelektual itu. Sebetulnya urusannya urusan
privat atau perorangan tapi karena dia merasa dirugikan dan hak kekayaan
itelektualnya itu sudah di sejajarkan dengan benda maka kalau ada yang
memalsukam itu sama dengan mencuri barang milik orang lain. Karena
mencuri basicnya, dia mencuri maka urusannya hukum pidana. Walaupun
begitu di telusuri itu persamaannya dengan mencuri itu dimana barangnya tidak
hilang tapi merknya itu yang hilang, merknya itu yang dirugikan, dia tidak
mencuri tapi dia disamakan dengan pemalsuan mencontoh tapi tidak yang
sebenarnya, masuknya hukum pidana. Kalau hukum perjanjian adalah hukum
privat. Kalau membuat perjanjian dengan orang sewa menyewa rumah itu
hukum privat. Terus jual beli rumah atau kendaraan hukum privat hal-hal yang
berkaitan dengan itu hukum privat. Hukum privat ini juga bisa jadi berat gitu,
masalahnya tapi tetep hukum privat, karena hukum privat itu tidak ditangani
oleh polisi. Kalau orang nyewa rumah kita 3 tahun setahunnya 20juta dia
nyewa 3 tahun jadi 60juta misalnya hukum privat bikin perjanjian sewa
menyewa kontrak rumah ada saksi 2 orang lalu tanda tangan bawa ke notaris
(boleh iya boleh tidak dibawa ke notaris) atau notaris cuma distempel aja tanda
mengetahui supaya murah tapi tetep tercatat di notaris. Perjanjian itu interaksi

13
antar warga hukum privat. Hukum privatnya perdata, khususnya pada hukum
perjanjian lebih khususnya lagi perjanjian sewa menyewa sebuah rumah. Ada
ketentuannya di hukum perdata, perjanjian harus memenuhi syarat, nah itu
hukum privat. Kalau sudah bikin perjanjian kalian kerja di sebuah perusahaan
swasta itu disebut hukum privat, kalau kerja di pemerintah itu publik, kenapa?
Karena kalau kerja dipemerintah sebagai pegawai negeri itu masuknya wilayah
hukum kepegawaian negara. Tapi kalau anda kerja di perusahaan swasta
karena perjanjiannya antara anda dengan bos perusahaan itu. Bos perusahaan
itu biasanya kasih wewenang delegasi wewenang kepada SDM, penyaringan,
rekrutmen, tes dan sebagainya urusan dia sampai tanda tangan kontrak. Tanda
tangan kontrak atas nama perusahaan ini diatas matrai. Perjanjian privat itu
hubungannya dengan dulu namanya hukum perburuan, walaupun dia karyawan
namanya tetap buruh, sekarang beranggapan buruh tuh kelas menengah
kebawah padahal tidak, karyawan tetap buruh. Tapi akhirnya mulai diubah
karena buruh itu, identik dengan komunis jadi mulai diganti ke tenagakerja
jadi sekarang sudah tidak ada lagi kementerian perburuan tapi adanya
kementerian tenaga kerja untuk menghindari konotasi kalau buruh itu identik
dengan komunis. Kalau komunis itu identiknya dengan buruh. Jadi kalau
dinegara komunis itu ada kekuatan yang besar yang dia adalah pemilik negara,
itu paham komunis. Ada kekuatan besar, kekuatan besar itu adalah pemilik
negara dan dia adalah penggerak roda perekonomian negara, dia adalah buruh
atau kaum pekerja. Mereka yang besar mereka yang menggerakkan negara
mereka yang paling dominan di suatu negara dia yang menggerakkan roda
perekonomian dia pekerja dia buruh disebutnya kaum proletar. Jadi tugas partai
konunis memajukan negara dan mensejahterakan kaum proletar sebagai
pemilik negara dan seterusnya. Jadi buruh itu kaitannya proletar, proletar itu
kaitannya dengan komunis. Kalau diberbagai negara di dunia, tapi khusus
untuk RRC (Republik Rakyat Cinta) kaum proletarnya itu bukan buruh tapi
petani. Penggerak roda perekonomian negara itu bukan buruh tapi petani.
Penduduk Rakyat Cina 1,6 miliar orang, India itu 1,3 miliar orang, Amerika itu
300 juta orang, Indonesia 260 juta orang. Indonesia negara ke 4 yang terbanyak

14
penduduknya. Kalau di negara-negara lain dulu di Uni Soviet, Uni Soviet itu
komunis dia kaum buruhnya adalah kaum proletar. Kaum proletarnya adalah
buruh. Jadi yang memiliki negara itu adalah buruh di Uni Soviet (dulu) tapi
kalau di Cina pemilik negara kaum proletar adalah petani. Ini harusnya di
Indonesia, kalau buruh atau tenaga kerja sekarang namanya hubungan
industrial pancasila, ini buruh dia berhubungan dengan bosnya. Dia
berhubungan namanya bikin perjanjian kerja, kalau perusahaan ini sehat,
perusahaan ini harus punya asosiasi atau organisasi pengusaha. Organisasi
pengusaha melindungi si pengusaha perorangan, yang perorangan ini merasa
terlindungi maka ia bayar 1 kompensasi tertentu. Tripartit adalah 3 pihak.
Hukum Internasional adalah antar bangsa.
1. Istilah yang berkaitan dengan Hukum Tata Negara
Istilah lain yang dipakai untuk Hukum Tata Negara dalam kepustakaan
Indonesia adalah Hukum Negara. Kedua-duanya adalah terjemahan dari istilah
bahasa Belanda istilah staatsrecht mempunyai dua arti yaitu staatscht in
ruimere zin (dalam arti luas) dan staatsrecht in engere zin (dalam arti sempit).
Sedangkan bagi pihak lain yang lebih senang mempergunakan istilah Hukum
Tata Negara sebagai terjemahan dari staatsrecht, senantiasa menambahkannya
dengan istilah dalam arti luas, yang sama artinya dengan pengertian Hukum
Negara seperti tersebut di atas, yang sama artinya dengan pengertian Hukum
Negara seperti tersebut di atas, dan dalam arti sempit itu membedakan Hukum
Tata Negara dari Hukum Administrasi Negara atau Hukum Tata Negara atau
Hukum Tata Pemerintahan (Administratief Recht). Perbedaan prinsipiil dalam
penggunaan kedua istilah tersebut di atas pada hakekatnya tidak ada, karena
baik Hukum Negara maupun Hukum Tata Negara dalam arti luas mengandung
arti yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya, karena alasan-alasan praktis
serta mengingat kegiatan-kegiatan yang sangat kompleks yang dilakukan oleh
Pemerintah, maka dapat dipastikan bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara di kemudian hari akan terpisah menjadi dua ilmu
pengetahuan yang masing-masing berdiri sendiri. Hal ini dikuatkan oleh
kenyataan yang ada bahwa di beberapa perguruan tinggi kedua ilmu

15
pengetahuan tersebut diasuh dan diberikan sebagai dua mata pelajaran yang
masing-masing terpisah satu sama lain oleh dua pengajar yang berlainan.
Di Inggris pada umumnya dipakai istilah (Constitusional Law) untuk
menunjukkan arti yang sama dengan Hukum Tata Negara. Penggunaan istilah
Constitutional Laws didasarkan atas alasan bahwa dalam Hukum Tata Negara
unsur konstitusi lebih menonjol. Sebagai variasi dari istilah Constitutional Law
tersebut, dijumpai ”State Law” yang didasarkan atas pertimbangan bahwa
Hukum Negaranya lebih penting. Di perancis orang mempergunakan istilah
”Droit Constitutional” yang dilawankan dengan ”Droit Administrative”,
sedangkan di Jerman untuk istilah Hukum Tata Negara disebut
”Verfassungsrecht” dan ”Verwaltungsrecht” untuk istilah Hukum Administasi
Negara.
2. Definisi Hukum Tata Negara
1) Van Vollenhoven
Hukum Tata Negara mengatur semua masyarakat hukum atasan dan
masyarakat hukum bawahan menurut tingkatannya dan dari masing-masing
itu menentukan wilayah lingkungan rakyatnya dan akhirnya menentukan
badan-badan dan fungsinya masing-masing yang berkuasa dalam
lingkungan masyarakat hukum situ, serta menentukan susunan dan
wewenangnya dari badan-badan tersebut.
Sebagai murid dari Oppenheim yang terkenal dengan ajaran negara
dalam keadaan tidak bergerak untuk menunjukkan kepada Hukum Tata
Negara dan negara dalam keadaan bergerak untuk Hukum Administrasi
Negara, van Vollenhoven mengikuti jejaknya.
Tata negara membicarakan masyarakat hukum atasan dan bawahan dan
hubungannya menurut hierarchie serta hak dna kewajibannya masing-
masing. Kesemuanya ini menunjukkan negara dalam keadaan statis.
2) Scholten
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi dari pada
negara. Dengan rumusan seperti itu, Scholten ingin dapat disimpulkan,
bahwa dalam organisasi negara itu telah dicakupbagaimana kedudukan

16
organ-organ negara itu, hubungan, hak dan kewajiban, serta tugasnya
masing-masing, akan tetapi tidak dibicarakan lebih lanjut bagaimanakah
nasib hak asasi manusia serta kewarganegaraannya yang snagat penting itu.
3) Van der Pot
Hukum Tata Negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan badan-
badan yang diperlukan serta wewenangnya masing-masing, hubungannya
satu dengan yang lainnya dan hubugannya dengan individu-individu (dalam
kegiatannya).
Di samping membicarakan pokok-pokok yang terdapat dalam Hukum
Tata Negara, definisi ini menyinggung tentang hubungan dengan warga
negara bahkan dalam definisi ini telah itunjuk adanya kegiatan-kegiatan dari
negara dalam arti dinamis, yang menurut pendapat terdahulu sebenarnya
sudah tidak termasuk dalam Hukum Tata Negara lagi, melainkan sudah
menginjak lapangan Hukum Administrasi Negara.
4) Logemann
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi negara.
Menurut Logemann jabatan merupakan pengertian yuridis dari fungsi
sedangkan fungsi addalah pengertian bersifat sosiologis. Karena Negara
merupakan organisasi yang terdiri atas fungsi-fungsi dalam hubungannya
satu dengan yang lainnya serta keseluruhannya, maka dalam arti juridis,
Negara merupakan organisasi dari jabatan-jabatan.
Definisi dari Logemann ini sebenarnya melanjutkan pendapat dari van
Vollenhoven dengan pengertian, bahwa Hukum Tata Negara itu meliputi
persoonsleer dan gebiedsleer.
5) Apeldoorn
Hukum negara dalam arti sempit menunjukkan orang-orang yang
memegang kekuasaan pemerintahan dan batas-batas kekuasaannya.
Apeldoorn memakai istilah Hukum Negara dalam arti sempit yang sama
artinya dengan istilah Hukum Tata Negara dalam arti sempit, adalah untuk
membedakannya dengan Hukum Negara dalam arti luas yang meliputi
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara itu sendiri.

17
Apeldoom tidak banyak membicarakan tentang Hukum Tata Negara
kecuali hanya mengenai tugas, hak dan kewajiban alat-alat perlengkapan
negara dan tidak menyinggung tentang kewarganegaraan maupun hak asasi
manusia.
6) Wade and Phillips
Dalam bukunya Constitutional Law terbitan tahun 1936 ia merumuskan :
”Constitutional law is then that body of rules which prescribes (a) the
structure (b) the functions of organs of central and local government,” yang
kemudian dalam terbitan tahun 1960 dia mengemukakan, ”In the generally
acceptedof the term it means the rules which regulated the structure of the
principal organs of goverment and their relationship to each other, and
determine their principal functions.”
Walaupun kedua definisi di atas tidak menunjukkan perbedaan yang
prinsipiil, namun dapat ditarik kesimpulan bahwa karena waktu orang dapat
berubah pendapat.
Wade and Phillips dua sarjana Inggris yang bukunya merupakan text
book, menyatakan bahwa Hukum Tata Negara mengatur alat-alat
perlengkapan negara, tugasnya dan hubungan antar alat perlengkapan
negara itu.
7) Paton
Paton dalam bukunya ”Textbook of Jurisprudence” merumuskan bahwa
”Constitutional Law deals with the ultimate questions of distribution of
legal power an dthe functions of the organs of the state. In a wide sense, it
includes administrative law, but it is convinient to consider as a unit for
many purpose the rules which determine the organization, power, and duties
of administrative authorities.”
Hampir sama dengan definisi di atas Hukum Tata Negara hanya dilihat
dari alat perlengkapan negara, tugas dan wewenangnya.
8) A. V. Dicey
Constitutional Law dirumuskan oleh Dicey dalam bukunya ”An
introduction to the study of law of the constitution”. Sebagai berikut : ”as

18
term is used in England, appears to include all rules which directly affect the
distribution or exercise of the souvereign power in the state”.
Titik berat dari definisi ini terletak pada pembagian kekuasaan dalam
negara dan pelaksanaan yang tertinggi dalam suatu negara.
”All rules” dalam definisi di atas dimaksudkan sebagai semua ketentuan
yang mengatur hubungan antara anggota yang memegang kekuasaan yang
tertinggi itu satu dengan lainnya. Menentukan kekuasaan yang tertinggi itu
dan cara melakukan kekuasaannya.
9) Maurice Duverger
Hukum Konstitusi adalah salah satu cabang dari hukum publik yang
mengatur organisasi dan fungsi-fungsi politik suatu lembaga negara.
Seperti di atas telah dijelaskan, Perancis memakai istilah droit
constitutionnel untuk Hukum Tata Negara. Dari ilmu pengetahuan hukum
sudah diketahui bahwa Hukum Tata Negara adalah bagian dari hukum
publik, dan definisi ini hanya menitik beratkan kepada organisasi dan fungsi
dari alat perlengkapan negara (lembaga negara).
10) Kusumadi Pudjosewojo
Dalam bukunya ”Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia” disebutkan
bahwa Hukum Tata Negara adalah ”hukum yang mengatur bentuk negara
(kesatuan atau federal), dan bentuk pemerintahan (kerajaan atau republik),
dan bentuk pemerintahan (kerajaan atau republik), yang menunjukkan
masyarakat hukum yang atasan maupun yang bawahan, beserta tingkatan-
tingkatannya (hierarchie), yang selanjutnya menegaskan wilayah dan
lingkungan rakyat dari masyarakat-masyarakat hukum itu dan akhirnya
menunjukkan alat-alat perlengkapan (yang memegang kekuasaan penguasa)
dari masyarakat hukum itu, beserta susunan (terdiri dari seorang atau
sejumlah orang), wewenang, tingkatan imbangan dari dan antara alat
perlengkapan itu.”
Definisi yang panjang ini sesungguhnya banyak persamaannya dengan
definisi van Vollenhoven seperti telah dibicarakan di atas. Walaupun ada
penambahan mengenai bentuk negara dan bentuk pemerintahan, namun

19
sebagaimana definisi van Vollenhoven, definisi ini juga hanya
membicarakan tentang masyarakat hukum, alat perlengkapan negara,
wewenangnya, susunan dan hubungan serta tingkatan imbangannya.
Dari definisi-definisi itu semuanya dapatlah diketahui bahwa perbedaan
pada titik berat yang diletakkan dalam merumuskan Hukum Tata Negara
atau perbedaan lingkungan dan mungkin juga pandangan hidup dari para
ahli Hukum Tata Negara menyebabkan definisi-definisi tersebut tidak sama,
namun demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa hampir semua definisi
membicarakan tentang organisasi negara dan alat-alat perlengkapan negara,
susunan, wewenang dan hubungannya satu dengan yang lainnya.
Tidak mustahil jika setiap definisi mempunyai kekurangan karena terlalu
luasnya ruang lingkup Hukum Tata Negara, sehingga ada sarjana yang
merasa tidak perlu memberikan definisi, karena ia yakiln bahwa dengan
rumusan kata-kata yang singkat sukar diperoleh pengertian yang jelas
tentang apa yang dimaksud dengan Hukum Tata Negara.
Bagaimanapun juga suatu definisi perlu dirumuskan sebagai pedoman
supaya uraian selanjutnya tidak melebihi dan tidak kurang dari apa yang
telah dirumuskan itu.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, maka Hukum Tata Negara
dapat dirumuskan sebagai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur
organisasi dari pada negara, hubungan antar alat perlengkapan negara dalam
garis vertical dan horizontal, serta kedudukan warga negara dan hak-hal
asasinya.
Organisasi merupakan bentuk kerja sama untuk mencapai suatu tujuan.
Dalam organisasi terdapat pembagian kerja, dan bagian-bagiannya itu
mempunyai ikatan dengan keseluruhannya. Yang dimaksud dengan bagian-
bagian adalah alat-alat perlengkapan negara dengan wewenang dan
kewajibannya masing-masing yang dalam melakukan kegiatannya
menimbulkan hubungan antara alat-alat perlengkapan negara satu dengan
yang lainnya. Hubungan ini bisa bersifat horizontal dan vertikal. Dalam
organisasi itu ditentukan bagaimana bentuk negara dan bentuk

20
pemerintahannya yang diinginkan serta pembagian wilayah negara menurut
tingkatnya.
Yang dimaksudkan dengan hubungan yang bersifat horizontal, ialah
hubungan antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Khusus
tentang hubungan eksekutif dan legislatif, dapat melahirkan berbagai sistem
pemrintahanan. Sistem pemerintahan itu adalah parlementer, presidensil,
campuran antara kedua sistem itu (quasi) dan referendum. Jadi dapat
dikatakan, bahwa hubungan yang bersifat horizontal tersebut pada dasarnya
adalah sistem pemerintahan ditingkat pusat.
Dilihat dari sudut luas wilayah suatu negara, dan jumlah penduduknya
yang relati banyak, maka tidaklah mungkin lagi semua urusan pemerintahan
dilaksanakan oleh pemerintahan pusat. Karena itu dalam praktek ada
semacam pembagian kerja antara pusat dan daerah. Bagaimana bentuk
pembagian kerja tersebut tergantung dari susunan negara yang diterapkan.
Susunan negara serikat, sudah barang tentu akan berbeda sifat hubungan
antara pusat dengan negara bagian dibandingkan dengan susunan negara
kesatuan yang bersifat sentralisasi atau desentralisasi. Dengan demikian
dapat diambil kesimpulan, bahwa hubungan yang bersifat vertikal tersebut
berarti Hukum Tata Negara juga berbicara tentang sistem pemerintahan
daerah khususnya untuk Indonesia.
Warga negara merupakan salah satu unsur yang penting bagi berdirinya
suatu negara. Karena itu dalam Hukum Tata Negara pelru dibahas tentang
asas-asas dan syarat-syarat kewarganegaraan serta perlindungan terhadap
hak-hak asasi. Dengan demikian Hukum Tata Negara tidak hanya mengatur
wewenang dan kewajiban alat-alat negaranya saja. Menurut Hukum Tata
Negara seorang warga negara pun mempunyai wewenang dan kewajiban
serta perlindungan terhadap hak asasinya.
3. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Negara, dengan Ilmu Politik, dan
dengan Hukum Administrasi Negara
Yang dimaksud dengan cabang ilmu pengetahuan lainnya dalam
hubungannya dengan Hukum Tata Negara adalah terutama Hukum

21
Administrasi Negara, Ilmu Negara dan Ilmu Politik. Ketiga ilmu pengetahuan
ini diibaratkan sebagai tetangga terdekat dari Hukum Tata Negara, walaupun
hal ini tidak berarti menutup kemungkinan hubungan Hukum Tata Negara
dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya, seperti Hukum Internasional
Publik, Hukum Pidana dan sebagainya.
a. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Negara
Ilmu Negara dalam kedudukannya sebagai Ilmu pengetahuan pengantar
bagi Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara tidak
mempunyai nilai yang praktis seperti halnya dengan Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara sendiri. Jika orang mempelajari Ilmu
Negara, ia tidak memperoleh hasilnya untuk dipergunakan secara langsung
di dalam praktek. Berbeda halnya dengan mempelajari Hukum Tata Negara
dari hasil pelajaran yang diperolehnya orang dapat langsung
mempergunakannya, karena sifatnya yang praktis. Perbedaan ini dapat
dilihat dari penggunaan istilah ilmu yang dikaitkan pada Ilmu Negara,
sedangkan pada Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara tidak
lazim orang menambahkannya dengan istilah tersebut menjadi Ilmu Hukum
Tata Negara atau Ilmu Hukum Administrasi Negara.
Hubungan antara Ilmu Negara dan Hukum Tata Negara dari segi
manfaatnya yang diperoleh jika orang mempelajarinya masing-masing
sebagai mata pelajaran seperti yang tersebut di atas, dapat disamakan
dengan pendapat Rengers Hora Siccama dalam karangannya yang berjudul
”Natuurlijke waarheid en historische bepaaldheid”. Dalam karangannya itu
ia membedakan kebenaran hakekat dan kenyataan sejarah dengan
menggolongkan tugas ahli hukum di satu pihak sebagai penyidik yang
hendak mendapatkan kebenaran-kebenaran secara obyektif, dan untuk itu ia
tidak melaksanakan hukum itu sendiri, sedangkan di lin pihak ia
menggolongkan tugas ahli hukum sebagai pelaksana yang akan
mempergunakan hukum itu dalam keputusan-keputusannya. Dalam
golongan pertama oleh Rengers Hora Siccama, seorang ahli hukum
dinamakan sebagai penonton (de jurist als toeschouwer). Sebagai penonton

22
ia lebih mengetahui kekurangan-kekurangan atau kesalahan-kesalahan yang
dilakukan oleh para pemain dan mencoba mencari sebab musababnya
dengan mengadakan analisa-analisa tentang peristiwa itu untuk menentukan
caranya yang lebih baik dan sempurna, bagaimana melaksanakan hukum itu.
Dalam golongan kedua, seorang ahli hukum dimisalkan sebagai seorang
pemain (de jurist als medespeler) yang harus memutuskan. Keputusannya
bisa berbentuk :
1) Undang-Undang (legislatif)
2) Vonnis (judikatif)
3) Beschikking (eksekutif)
Oleh karena keputusan-keputusan itu tergantung kepada pelaksanaannya,
maka tidak jarang terjadi bahwa suatu keputusan. Dianggapnya baik oleh si
pelaksana, akan tetapi sebaliknya kurang memuaskan bagi yang menerima
keputusan itu, karena sifat subyektifisme dari keputusan itu sangat
menonjol.
Berhubung dengan pendapat Rengers Hora Siccama, maka dapatlah
disamakan perumpamaan yang pertama itu dengan tugas Ilmu Negara yang
tidak mementingkan bagaimana caranya hukum itu seharusnya dijalankan,
karena Ilmu Negara mementingkan nilai teoritisnya, sedangkan sebaliknya
bagi Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang lebih
dipentingkan adalah nilai-nilai praktisnya oleh karena hasil penyelidikannya
itu langsung dapat dipergunakan dalam praktek oleh para ahli hukum yang
duduk sebagai pejabat-pejabat pemerintah menurut tugasnya masing-
masing.
Perbedaan Ilmu Negara dengan Hukum Tata Negara juga dapat dilihat
dari obyek yang diselidikinya. Jika obyek penyelidikan Ilmu Negara adalah
asas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok tentang Negara dan
Hukum Tata Negara adalah hukum positif yang berlaku pada suatu waktu di
suatu tempat. Karena itu lazim disebut Hukum Tata Negara positif sebagai
Hukum Tata Negara Indonesia atau Hukum Tata Negara Inggris, Amerika,
Jepang, Belanda dan sebagainya.

23
Oleh karena bagi Ilmu Negara yang penting adalah nilai teoritisnya,
maka ilmu pengetahuan ini merupakan suatu ”Seinsweissenshaft”,
sedangkan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
merupakan suatu ”Normativen Wissenschaft:. Bagi mereka yang
mempelajari Hukum Tata Negara atau Hukum Administrasi Negara sudah
tidak perlu diterangkan lagi secara mendapat akan arti dan asas dari negara,
karena pengertian-pengertian itu sudah dianggap telah diketahui waktu
mempelajari Ilmu Negara. Karena itu Ilmu Negara merupakan ilmu
pengetahuan pengantar bagi mereka yang hendak mempelajari Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara.
b. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Politik
Hubungan Ilmu Politik dan Hukum Tata Negara pertama-tama
ditunjukkan oeh Barents dengan perumpamaan Hukum Tata Negara sebagai
kerangka manusia, sedangkan Ilmu Politik merupakan daging yang ada di
sekitarnya.
Dalam beberapa hal untuk mengetahui latar belakang dari suatu
peraturaan undang-undang sebaiknya perlu dibantu dengan mempelajari
Ilmu Politik, karena kadang-kadang sukar diketahui apa maksud serta
bagaimana terbentuknya suatu peraturan-peraturan undang-undang itu.
Keputusan-keputusan politik merupakan peristiwa-peristiwa yang banyak
pengaruhnya terhadap Hukum Tata Negara. Sebagai contoh dapat
digambarkan di sini, timbulnya stelsel parlementer yang pernah terjadi
dahulu dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden no. X, 16 Oktober
1945 yang diikuti oleh Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945.
Keputusan politik sebagai usaha Sutan Sjahrir untuk mengadakan
pendemokrasian dengan jalan pertama Badan Pekerja Komite Indonesia
Pusat ikut menentukan Haluan Negara dan kedua Menteri-menteri tidak
bertanggung jawab kepada Presiden, tetapi kepada Komite Nasional
Indonesia Pusat adalah tidak konstitusionil. Karena keputusan politik ini
kemudian diterima oleh rakyat, maka walaupun menurut Undang-Undang
Dasar 1945 ia bertentangan, ia menjadi kebiasaan yang berangsur-angsur

24
berlaku sebagai bagian dari Hukum Tata Negara Indonesia yang hidup pada
waktu itu.
Lahirnya suatu Undang-Undang, jika diselidiki dari proses
pembuatannya, akan menunjukkan betapa gigihnya perjuangan yang
dilakukan oleh beberapa golongan agar supaya kepentigan-kepentingannya
itu tetap terjamin oleh Undang-Undang itu. Biasanya golongan-golongan
yang kuat kedudukannya di dalam masyarakat, banyak menentukan akan
terbentuknya sutau undang-undang.
c. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara
Seperti apa yang diuraikan di atas, bahwa Hukum Administrasi Negara
merupakan bagian dari Hukum Tata Negara dalam arti luas, maka di antara
para ahli hukum masih terdapat perselisihan pendapat tentang hubungan
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.
Pada garis besarnya pendapat-pendapat para ahli hukum itu dapat dibagi
dalam dua golongan yaitu yang membedakan Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara secara psinsipiil, karena kedua ilmu
pengetahuan itu menurut mereka dapat dibagi secara tajam baik mengenai
sistimatik maupun mengenai isinya, sedangkan di lain pihak para ahli
hukum beranggapan bahwa antara Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara tidak terdapat perbedaan yang bersifat asasi, melainkan
hanya karena pertimbangan manfaat saja. Hukum Administrasi Negara itu
merupakan Hukum Tata Negara dalam arti luasdikurangi dengan Hukum
Tata Negara dalam arti sempit. Ini yang disebut teori ”residu”.
Siapah yang termasuk dalam golongan yang pertama, yang membedakan
kedua cabang ilmu pengetahuan itu secara prinsipiil? Pertama adalah van
Vollenhoven yang telah membuat karangan yang bersangkutan dengan
Hukum Administrasi Negara. Karangannya yang pertama berjudul
”Thorbecke en het administratiefrecht. Dalam karangannya itu ia
mengartikan Hukum Tata Negara sebagai sekumpulan peraturan-peraturan
hukum yang menentukan badan-badan kenegaraan serta memberi
wewenang kepadanya, dan bahwa kegiatan suatu pemerintahan modern

25
adalah membagi-bagikan wewenang itu kepada badan-badan tersebut dari
yang tertinggi sampai yang terendah kedudukannya.
Sesuai dengan paham Oppenheim, rumusan Hukum Tata Negara itu
sama denngan Negara dalam keadaan tidak bergerak. Sedangkan untuk
Hukum Administrasi Negara adalah sekumpulan peraturan hukum yang
mengikat badan-badan negara baik yang tinggi maupun yang rendah jika
badan-badan itu mulai menggunakan wewenangnya yang ditentukan dalam
Hukum Tata Negara. Menurut Oppenheim perumusanan ini dimisalkan
seperti Negara di dalam keadaan bergerak.
Dalam karangannya yang lain, van Vollenhoven membagi Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara agak berlainan dari karangannya
yang semula. Ia berpendapat bahwa semua peraturan hukum yang sejak
berabad-abad lamanya itu tidak termasuk dalam Hukum Tata Negara
Materiil, hukum perdata materiil dan hukum pidana materiil, dimasukkan
dalam Hukum Administrasi Negara. Dengan demikian van Vollenhoven
mengartikan Hukum Administrasi Negara akan meliputi seluruh kegiatan
negara dalam arti luas, jadi tidak hanya terbatas pada tugas pemerintahan
dalam arti sempit saja, tetapi juga meliputi tugas peradilan, polisi dan tugas
membuat peraturan. Menurut van Vollenhoven Hukum Administrasi Negara
dibagi dalam :
1) Bestuursrecht (hukum pemerintahan)
2) Justitierecht (hukum peradilan)
3) Politierecht (hukum kepolisian)
4) Regelaarsrecht (hukum perundang-undangan)
Sebenarnya pendapat dari van Vollenhoven mengenai Hukum
Administrasi Negara dapat dibagi dalam dua pengertian yaitu :
1) Hukum Administrasi Negara dalam arti klasik
2) Hukum Administrasi Negara dalam arti modern
Apakah sebabnya maka van Vollenhoven agak berbeda pendapat dalam
dua buah karangannya tersebut diatas? Pada perumusan Hukum
Administrasi Negara dalam arti yang pertama, van Vollenhoven masih

26
diliputi oleh suasana hidup negara yang menganut paham liberal (liberale
rechtstaatsgedachte) yang dipengaruhi oleh paham Kant di mana negara
tidak boleh mencampuri kepentingan-kepentingan individu, melainkan
tugas negara hanyalah sebagai penjaga malam (Nachtwarchter-staat) atau
(L’etat Gendarm), sedangkan ketika van Vollenhoven merubah
perumusan itu dalam arti serta menyelenggarakan kepentingan rakyat
(welvaartstaat-gedachte). Dalam bukunya kedua ia mengatakan sebagai
berikut, ”badan-badan negara tanpa Hukum Tata Negara itu lumpuh
bagaikan tanpa sayap, karena badan-badan itu tidak mempunyai
wewenang sehingga keadaannya tidak menentu. Sebaliknya badan-badan
negara tanpa adanya Hukum Administrasi Negara menjadi bebas tanpa
batas, karena mereka dapat berbuat menurut apa yang mereka inginkan.
Disini dapat diketahui maksud van Vollenhoven pada karangannya
yang pertama itu, badan Hukum Administrasi Negara itu diadakan untuk
mengekang pemerintah sesuai dengan prinsip liberal yang hidup pada
waktu itu, sedangkan pada bukunya yang kedua Hukum Administrasi
Negara ia tidak bermaksud hanya mengekang pemerintah agar jangan
bertindak sewenang-wenang dengan kekuasaannya, melainkan memberi
keleluaasaan kepada pemerintah untk menyelenggarakan kepentingan
rakyat, bahkan juga menentukan kewajiban-kewajiban kepada rakyat
sesuai dengan paham kesejahteraan yang dianut oleh negara
(welvaartstaats-gedachte). Dalam menyelenggarakan kepentingan umum,
ada kalanya Negara harus melanggar hak rakyat, misalnya mensita untuk
kepentingan umum (onteigening ten algemene nutte).
Karena Negara memerlukan pembuatan jalan agar hubungan antara
dua tempat itu lebih lancar, maka Negara terpaksa mengambil sebagian
tanah rakyat untuk kepentingan tersebut. Lazimnya pensitaan ini
dilakukan dnegan ganti rugi kepada rakyat yang bersangkutan. Dapat
juga misalnya Pemerintah memberi konsesi atas nama perusahaan-
perusahaan (nutsbedrijven) untuk kepentingan umum.

27
Yang kedua adalah Logemann yang dalam bukunya ”Over de theorie
van een stellig staatsrecht” mengadakan perbedaan secara tajam antara
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Untuk
membedakannya ia bertitik tolak pada sistimatik hukum pada umumnya
yang meliputi tiga hal, yaitu :
1) Ajaran tentang status (persoonsleer)
2) Ajaran tentag lingkugan (gebiedsleer)
3) Ajaran tentang hubungan hukum (leer de rechtsbetrekking)
Berhubungan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
itu merupakan suatu macam hukum khusus (als byzonder soort van rceht)
yang mempunyai obyek penyelidikan hukum, maka sistematik hukum
pada umumnya itu dapat diterapkan pula terhadap Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara. Sistimatik dalam bukunya tersebut di
atas dibagi dalam arti sempit meliputi :
1) Hukum Tata Negara dalam arti sempit meliputi :
a. Persoonsleer yaitu yang mengenai persoon dalam arti hukum yang
meliputi hak dan kewajiban manusia, personifikasi, pertanggungan
jawab, lahir dan hilangnya hak dan kewajiban tersebut, hak
organisasi, batasan-batasan dan wewenang.
b. Gebiedsleer, yang menyangkut wilayah atau lingkungan di mana
hukum itu berlaku dan yang termasuk dalam lingkungan itu adalah
waktu, tempat dan manusia atau kelompok dan benda.
2) Hukum Administrasi Negara meliputi ajaran mengenai hubungan
hukum (leer der rechtsbetrekkingen).
Jadi menurut Logemann, Hukum Tata Negara itu mempelajari :
a. Susunan dari jabatan-jabatan
b. Penunjukan mengani pejabat-pejabat
c. Tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatan itu
d. Kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan
e. Batas wewenang dan tugas dari jabatan terhadap daerah dan orang-
orang yang dikuasainya

28
f. Hubungan antara jabatan
g. Penggantian jabatan
h. Hubungan antara jabatan dan penjabat.
Hukum Administrasi Negara mempelajari jenisnya, bentuk serta
akibat hukum yang dilakukan oleh para penjabat dalam melkaukan
tugasnya.
Selanjutnya yang ketiga adalah Stellinga yang membedakan Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara secara tegas.
Dalam suatu pidato penyambutan yang berjudul ”Systematische
Staatsrechtstudie”, dikemukakan bahwa tidak hanya di dalam Hukum
Tata Negara saja diadakan sistimatik, tapi juga demikian halnya dalam
Hukum Administrasi Negara.
Dalam bukunya yang berjudul ”Grondtrekken van het Nederlandsch
Administratiefrecht” ia ingin menunjukkan, bahwa ia sesungguhnya
mencari perbedaan prinsipiil antara Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara, seperti halnnya yang sudah dilakukan oleh gurunya
yaitu van Vollenhoven. Stellinga kemudian mengemukakan, bahwa
kebnayakan penyelidikan tentang Hukum Administrasi Negara tidak
meliputi keseluruhannya, melainkan hanya membicarakan beberapa
bagian tertentu saja. Bagian-bagian itu dibicarakan secara terpisah yang
hanya bersifat sebagai monographi. Ia baru menjadi suatu sistematik, jika
sistematik itu bagian-bagian tadi diletakkan pada tepatnya yang tepat.
Jadi hukum Administrasi Negara itu tidak lagi merupakan suatu
kumpulan dari monographi-monographi, melainkan ia merupakan
sisitimatik yang menghubungkan bagian satu dengan bagian yang
lainnya, yang masing-masing bagian itu diletakkan dalam tempatnya
yang tepat. Arti sistimatik di sini adalah ”waar de delen zijn juiste plaats
vindt”. Juga Logemann berpendirian sama dengan Stellinga.
Di samping itu juga terdapat Hukum Administrasi Negara yang
berlaku bagi para individu dalam masyarakat yang diperintah oleh
Negara. Ia mengemukakan sebagai berikut, ”orang harus bertitik tolak

29
bahwa masih banyak hal lagi yang diatur oleh Hukum Tata Negara selain
hanya ewenang dan kewajiban alat-alat negara. Menurut Hukum Tata
Negara seorang warga negarapun mempunyai wewenang dan kewajiban
dan peraturan hukum ynag mengatur caranya menjalankan wewenang
dan kewajiban itu termasuk dalam Hukum Administrasi Negara.
Dari pihak lain yang membedakan Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara tidak secara tajam di antaranya adalah Kranenburg,
van der Pot dan Vegting.
Kranenburg berpendapat bahwa membedakan kedua cabang ilmu
pengetahuan, itu secara tajam karena isinya maupun wataknya berlainan
adalah tidak riil. Perbedaan itu disebabkan karena pengaruh dari ajaran
organis mengenai negara (organische staatstheorie) yang timbul karena
pembagian dalam ilmu pengetahuan medis yang disebut anatomie dan
physologie. Sistematik yang diambil dengan analogi kedua ilmu
pengetahuan medis itu tidak tepat, karena obyek yang diselidikinya itu
memang tidak sama. Perbedaan antara Hukum Tata Negara dan Hukum
Adminitrasi Negara itu tidak bersifat asasi dan hubungan antara kedua
ilmu pengetahuan iu dapat disamakan dengan hubungan antara Hukum
Perdata dan Hukum Dagang. Jika terjajdi pemisahan antara kedua hal itu
hanya dari cepatnya pertumbuhan hukum koorporatif dari masyarakat
hukum teritorial dan juga disebabkan karena perlu dibaginya materi yang
diajarkan, sehingga bagian lain yang lebih terperici itu dimasukkan
dalam Hukum Administrasi Negara. Jadi perbedaan antara Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara itu bukan karena alasan yang
prinsipiil, akan tetapi sekedar untuknkepentingan pembagian kerja.
Van der Pot juga tidak membedakan secara tajam antara Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara dnegan alasan, bahwa
perbedaan secara prinsipiil itu tidak menimbulkan suatu akibat hukum.
Dan kalau juga diadakan suatu perbedaan, itu hanya penting bagi ilmu
pengetahuan hukum, sehingga para ahli hukum mendapatkan suatu
gambaran tentang sistem yang bermanfaat.

30
Begitu pula Vegting pada waktu mengucapkan pidato jabatannya
dengan judul ”Plaats en aard van het Administratiefrecht”, seperti halnya
dengan Kranenburg dalam ”Het algemene Nederlandsch
Administratiefrecht” menjelaskan bahwa Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara mempunyai lapangan penyelidikan yang
sama, hanya perbedaannya itu terletak pada cara pendekatan yang
dipergunakan oleh masing-masing ilmu pengetahuan itu. Cara
pendekatan yang dilakukan oleh Hukum Tata Negara ialah untuk
mengetahui organisasi dari pada negara, serta badan-bdan lainnya,
sedangkan Hukum Administrasi Negara menghendaki bagaimana
caranya negara serta organ-organnya memperlakukan tugasnya. Ia tidak
membedakan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
karena pembatasan wewenang (competentie afbakening) melainkan
karena cara bertindaknya Negara itu sudah merupakan pembatasan
wewenang juga.
Jadi Vegting berpendapat, bahwa Hukum Tata Negara mempunyai
obyek penyelidikan hal-hal yang pokok mengenai organisasi dari pada
Negara, sedangkan bagi Hukum Administrasi Negara obyek
penyelidikannya adalah mengenai peraturan-peraturan yang bersifat
teknis.

31
Resume Mata Kuliah Hukum Tata Negara Pertemuan ke 3

(Rabu, 20 Maret 2019)

“Menguraikan Istilah Sumber Hukum, Sumber Hukum Tata Negara yang


Formil dan Materiil, yaitu Tap. MPRS/MPR, UU/Perpu, Peraturan
Pemerintah, Perpres, dan/atau Peraturan Pelaksana lainnya.”

Staats Recht

Staats en Administratief Recht

Staats Recht Administratief Recht


(Hukum Tata Negara) (Hukum Administrasi Negara)

1. Istilah Sumber Hukum


Dalam bahasa Inggris, sumber hukum itu disebut source of law. Perkataan
“sumber hukum” itu sebenarnya berbeda dari perkataan “dasar hukum”,
“landasan hukum”, ataupun “payung hukum”. Dasar hukum ataupun landasan
hukum adalah legal basic legal ground, yaitu norma hukum yang mendasar
suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu sehingga dapat dianggap sah atau
dapat dibenarkan secara hukum. Semntara itu perkataan “sumber hukum” lebih
menunjuk kepada pengertian tempat dari mana asal-muasal suatu nilai atau
norma tertentu berasal.
Dalam Pasal 1 ketetapan MPR No. III/MPR/2000 ditentukan bahwa :
1) Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan
peraturaan perundang-undangan
2) Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak
tertulis
3) Sumber hukum dasar nasional adalah :
a. Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu
Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,

32
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
b. Batang tubuh Undang-undang Dasar 1945

Akan tetapi, dalam pandangan Hans Kelsen dalam bukunya General Theory
of Law and State, istilah sumber hukum itu (sources of law) dapat mengandung
banyak pengertian karena sifatnya yang figurative and highly ambiguous.

Pertama, yang lazimnya dipahami sebagai sources of law ada dua macam,
yaitu custom dan statue. Oleh karena itu, sources of law biasa dipahami sebagai
a method of creating law, custom and legislation, yaitu customary and statutory
creation of law.

Kedua, sources of law juga dapat dikaitkan dengan cara untuk menilai
alasan atau the reason for the validity of law. Semua norma yang lebih tinggi
merupakan sumber hukum bagi norma hukum yang lebih rendah. Oleh karena
itu, pengertian sumber hukum (sources of law) itu identik dengan hukum itu
sendiri (the sources of law is always itself law).

Ketiga, sources of law juga dipakai untuk hal-hal yang bersifat non-yuridis,
seperti norma moral, etika, prinsip-prinsip politik, ataupun pendapat para ahli,
dan sebagainya yang dapat memengaruhi pembentukan suatu norma hkum
sehingga dapat pula disebut sebagai sumber hkum atau the sources of the law.

Nilai dan norma agama dapat pula dikatakan menjadi sumber yang penting
bagi terbentuknya nilai dan norma etika dalam kehidupan bermasyarakat,
sementara nilai-nilai dan norma etika itu menjadi sumber bagi proses
terbentuknya norma hukum yang dikukuhkan atau dipositifkan oleh kekuasaan
negara. Dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, ketiga jenis nilai dan
norma itu pada pokoknya sama-sama berfungsi sebagai sarana pengendalian,
sekaligus sistem referensi mengenai perilaku ideal dalam setiap tatanan sosial
(social order) sebab jika ketiga jenis norma tersebut saling menunjang, ketiga

33
sistem referensi perilaku itu dapat bekerja secara simultan dan saling
mendukung.

Akan tetapi, jika ketiganya saling bersitegang atau saling bersaing satu sama
lain, niscaya akan timbul konflik antarnorma yang justru tidak sehat bagi ketiga
sistem norma itu sendiri. Jika demikian, pada gilirannya fungsi ketiga jenis
norma itu dalam menuntun manusia ke arah perilaku ideal tidak akan bekerja
dengan efektif. Oleh karena itu, ketiganya harus dapat saling mengisi satu sama
lain secara sinergis. Norma etika dapat menjadi sumber bagi norma etika.
Dalam konteks ini, pengertian sumber dapat dikatakan sebagai tempat dari
mana sesuatu nilai atau norma berasal.

2. Sumber Hukum Tata Negara

Sumber Hukum Tata Negara

Sumber Hukum Materil, Sumber Hukum Formil,


sumber hukum yang sumber hukum yang
berbicara mengenai isi jelas bentuknya.
peraturan sendiri yang UU No. 12 tahun 2011
terkadang tidak jelas
bentuknya.
1. TAP MPRS/MPR
2. Undang-Undang (UU) atau Perpu
1. Pancasila 3. Peraturan Pemerintah (PP)
2. UUD 1945 4. Peraturan Presiden
3. Hukum Adat 5. Peraturan Pelaksanaan Lainnya
4. Hukum Agama 6. Convention (kebiasaan
ketatanegaraan)
7. Traktat (perjanjian)
Pandangan seorang ahli hukum mengenai sumber hukum dapat dibagi
dalam arti formil dan materiil.
Sumber hukum dalam arti formil adalah sumber hukum yang dikenal dari
bentuknya. Karena bentuknya itu menyebabkan hukum berlaku umum,
diketahui dan ditaati. Disinilah suatu kaidah memperoleh kualifikasi sebagai

34
kaidah hukum dan oleh yang berwenang ia merupakan petunjuk hidup yang
harus diberi perlindungan.
Selanjutnya untuk menetapkan suatu kaidah hukum itu, di perlukan suatu
badan yang berwewenang. Kewenangan dari badan tersebut diperolehnya dari
kewenangan badan yang lebih tinggi, sehingga mengenal sumber hukum dalam
arti formil itu sebenarnya merupakan suatu penyelidikan yang berthap pada
tingkatan badan mana suatu kaidah hukum itu dibuat.
Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang menentukan
isi hukum.
Bagi seorang sarjana hukum yang penting adalah sumber hukum dalam arti
formil. Baru kemudian jika ia menganggap perlu akal asal usul hukum itu, ia
akan memerhatikan sumber hukum dan arti materiil.

35
Resume Mata Kuliah Hukum Tata Negara Pertemuan ke 4

(Rabu, 27 Maret 2019)

”Menguraikan tentang istilah dan beberapa pengertian Konstitusi, Nilai dan


Sifat Konstitusi, Perubahan Konstitusi, serta Sejarah Undang-undang Dasar
Indonesia.”

1. 3 metode :
a. Metode Historis Sistematis, bicara masalah HTN bagaimana sejarahnya
secara sistematis. Bicara historis secara umum.
b. Metode Yuridis Historis, undang-undangnya, peraturan-peraturannya
secara sistematis secara sejarah. Bicara undang-undangnya secara
sejarah.
c. Metode Yuridis Dagmatis, hukum yang dagma, yang bersifat dagma ini
konstitusi. Bicara undang-undangnya, bagaimana dia mendagma. Misal
dagma yang belakangan ini populer yaitu dagma norma, dagma
konstitusi “NKRI Harga Mati”. Negara kesatuan adalah Unitary.
Republik adalah bentuk susunan pemerintahan.
Di Indonesia ada 4 daerah istimewa, 3 daerah istimewa dan 1 daerah
khusus dan itu tidak menunjukkan kesatuan itu campur. Padahal negara
kesatuan itu harus sama semua. Di Aceh boleh memberlakukan hukum
syariah Islam. Di Papua punya otonomi khusus, ia punya MPR sendiri
namanya MPRP (Majelis Permusyawaratan Rakyat Papua). Di Yogyakarta
ada seorang raja padahal seharusnya di negara republik tidak boleh ada raja.
Di Jakarta dibagi 6, 5 kota dan 1 kabupaten, tapi semuanya kota di Jakarta
pakai abis nama kota digunakan Administrasi, contoh Kota Administrasi
Jakarta Barat dan kabupaten namanya Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu. Semuaya di Jakarta pakai Administasi artinya dia tidak punya
DPRD, baik walikota maupun bupatinya itu bukan dipilih oleh rakyat, tapi
ditunjuk oleh gubernur. Kalau di Jakarta yang dipilih hanya gubernur saja,
yang dipilih anggota DPRD Provinsi saja. Kota dibawah Jakarta tidak ada

36
yang dipilih anggota DPRDnya tidak ada karena memang tidak ada
DPRDnya. Walikotanya, Walikota Administrasi bukan walikota penuh,
ditunjuk, ditentukan, dilantik oleh gubernur itulah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta dan cuma Jakarta yang punya. Pada tahun 1999 2 pulau di Indonesia
hilang.
Umum, dasar negara hubungannya erat dengan konstitusi, konstitusi
menjabarkan dasar-dasar negara, baik pada pokoknyaatau uraian pada pasal-
pasal. Khusus, UUD1945 alinea 4 yang berbunyi “Kemudian daripada itu
untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Konstitusi itu sifatnya stagnan, lebih banyak tetap diam kalau kaitannya
hanya dengan mengandalkan konstitusi maka HTNnya tidak bergerak, tapi
jika HTN berdasarkan sumber salah satunya konvensi ketatanegaraan itu
dinamis jadi kalau berdasarkan konstitusinya statis berdasarkan kebiasaan,
berdasarkan undang-undang itu dinamis, itu bisa dikaji sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Jadi kalau bicara metode pada dasarnya ini.
2. Dalam ilmu politik diajarkan tentang dasarnya “kudeta”. Yang dalam
Bahasa Perancis “coup d’etat” artinya bagaimana mengkup suatu negara. Itu
tidak dipelajari di HTN kalau dalam HTN bicara masalah hal-hal yang
sesuai dengan peraturan. Kudeta itu inkonstitusional atau makar. Makar itu
penjatuhan pemerintahan.

37
3. Didunia ini rata-rata atau kebanyakan negara memakai konstitusi tertulis,
kecuali Inggris dan grupnya, negara-negara jajahan Inggris konstitusinya
tidak tertulis. Unwritten Law adalah hukum yang tidak tertulis sampai
konstitusinya tetapi negara-negara jajahan Inggris satu persatu sudah
berubah menjadi negara dengan Written Law atau hukum tertulis termasuk
konstitusinya. Tinggal Inggris di unia satu-satunya negara yang
konstitusinya tidak tertulis berdasarkan kebiasaan atau keputusan
parlementer tertingginya. Dari mana tahunya? Mudah menyesuaikan diri
dengan perkembangan zaman dan internasional. Maka di inggris ada
pemerintahnya bikin perjanjian bilateral dengan negara lain atau ikut forum
internasional lalu tanda tangan maka perjanjian internasional itu menjadi
salah satu bagian dari konstitusi Inggris, langsung berlaku bagi warga
negaranya. Kalau di Indonesia harus dimajukan dulu ke DPR, lalu DPR
meratifikasinya atau menandatanganinya, baru jadi Unang-Undang, setelah
menjadi Undang-Undang Indonesia baru berlaku bagi warga negara
Indonesia.
4. Istilah Konstitusi
Sejak zaman Yunani Purba istilah konstitusi telah dikenal, hanya
konstitusi itu masih diartikan materiil karena konstitusi itu belum diletakkan
dalam suatu naskah yang tertulis. Ini dapat dibuktikan pada paham
Aristoteles yang membedakan istilah politea dan nomoi adalah Undang-
Undang biasa. Di antara kedua istilah tersebut terdapat perbedaan yaitu
bahwa politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi,
karena politea mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi
kekuasaan itu tidak ada, karena ia hanya merupakan materi yang harus
dibentuk agar supaya tidak bercerai-berai.
Dalam kebudayaan Yunani istilah konstitusi itu berhubungan erat dengan
ucapan Resblica constituere. Dari sebutan ini lahirlah semboyan yang
berbunyi ”Prinsep Legibus Solutus est, Salus Publica Suprema Lex”, yang
artinya Rajalah yang berhak menentukan organisasi/struktur dari pada
negara, oleh karena ia adalah satu-satunya pembuat Undang-Undang.

38
Menurut sejarah Yunani Kuno, negara Yunani pernah menjadi jajahan
Romawi. Akibat dari penjajahan itu banyak dari kebudayaan Yunani ditiru
oleh Bangsa Romawi, seperti ajaran tentang Polis dan ajaran Kedaulatan
Rakyat (Ecclesia) yang dipraktekkan di negerinya sendiri. Penetrapan
ternyata tidak sama dengan ajaran yang dibawa dari Yunani, karena sifat,
keadaan serta pembawaan bangsa Romawi yang lain. Melalui ajaran
kedaulatan rakyat yang ditirukannya dari bangsa Yunani, orang Romawi
mencoba menyusun suatu pemerintahan dengan seorang Raja yang berkuasa
mutlak. Menurut orang Romawi pada suatu ketika rakyat mengadakan
perjanjian dengan Caesar. Dalam perjanjian itu terjadi perpindahan
kekuasaan dari tangan rakyat kepada Caesar secara mutlak (translatio
empirii) yang kemudian diletakkan dalam Lex Regia. Karena translatio
empirii itu rakyat sudah tidak dapat meminta pertanggungan jawab Caesar
lagi, dan lahirlah paham Caesarismus (perwakilan mutlak berada di tangan
Caesar). Dari perjanjian ini timbul semboyan ”Princep Legibus Solutus est,
Salus Publica Suprema Lex” seperti tersebut di atas.
Juga dalam abad pertengahan sudah dikenal orang tentang konstitusi,
tetapi dengan sebutan lain. Dalam abad menengah timbul suatu aliran yang
disebut monarchomachen yaitu suatu aliran yang membenci kekuasaan raja
yang mutlak. Untuk mencegah agar raja tidak berbuat seenang-wenang
maka golongan ini menghendaki suatu perjanjian dengan raja. Aliran ini
terutama terdiri dari golongan Calvinis yang menuntut pertanggung jawaban
raja dan jika perlu raja bisa dipecat dan dibunuh.
Perjanjian antara rakyat dan raja dalam kedudukan masing-masing yang
sama tinggi dan sama rendah menghasilkan suatu naskah yang disebut
“Leges Fundamentalis”. Dalam Leges Fundamentalis ini ditetapkan hak dan
kewajiban masing-masing pihak (Rex sama dengan hak rakyat dan Regnum
sama dengan hak raja untuk memerintah). Dari sini nampak lambat laun
dalam perkembangan sejarah, bahwa perjanjian-perjanjian antara rakyat dan
pihak yang memerintah mulai dinaskahkan. Adapun tujuan-tujuannya untuk
memudahkan para pihak dalam menuntut haknya masing-masing, serta

39
mengingatkan mereka kepada kewajiban yang harus dilakukan dan yang
paling penting ialah bahwa orang tidak melupakannya, karena perjanjian itu
ditulis. Sebagai contoh adalah perjanjian yang dilakukan antara raja dengan
para bangsawan. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa raja dapat minta
bantuan para bangsawan jika terjadi perang., dan sebaliknya para
bangsawan berhak mendapat perlindungan serta tanah dari raja jika perang
dimenangkan oleh raja. Juka dalam hal lain raja dapat mengadakan
perjanjian dengan rakyat (dalam hal ini golongan ketiga) karena raja
memerlukan uang (bede) dan sebagai balas jasanya maka rakyat
memperoleh hak kenegaraan sebagai suatu wewenang untuk dapat
menyelenggarakan kepentingannya sendiri. Perjanjian-perjanjian itu
semuanya diletakkan dalam suatu naskah yang ditulis.
Demikian pula halnya dengan kaum kolonis yang berasal dari Inggris,
yang karena perselisihan agama, mereka mengungsi ke benua Amerika.
Sebagian besar dari kaum kolonis itu adalah golongan Calvinis yang
menurut ajaran mereka bahwa masyarakat Kristen itu dibentuk berdasarkan
perjanjian. Atas dasar itu mereka mendirikan negara dan demikianlah ketika
mereka masih berada dalam kapal “Mayflower” sebelum mendarat di benua
Amerika, mereka mengadakan perjanjian masyarakat untuk mendirikan
negara. Perjanjian tersebut masih harus disahkan oleh Pemerintah Inggris,
dan setelah perjanjian itu disahkan maka kini kedudukan perjanjian itu lebih
tinggi dari pada Undang-Undang biasa.
5. Pengertian Konstitusi
Konstitusi dengan istilah lain Constitution atau Verfassung dibedakan
dari Undang-Undang Dasar atau Grundgesetz. Karena suatu kekhilafan
dalam pandangan orang mengenai konstitusi pada negara-negara modern,
maka pengertian konstitusi itu kemudian disamakan dengan Undang-
Undang Dasar. Kekhilafan ini disebabkan oleh pengaruh paham kodifikasi
yang menghendaki agar semua peraturan hukum ditulis, demi mencapai
kesatuan hukum, kesederhanaan hukum dan kepastian hukum. Begitu besar
pengaruh paham kodifikasi, sehingga setiap peraturan hukum karena

40
pentingnya itu harus ditulis, dan konstitusi yang ditulis itu adalah Undang-
Undang Dasar.
Jika paham Hermann Heller dipakai sebagai ukuran untuk mengetahui
arti konstitusi, maka akan terlihatlah bahwa benar-benar konstitusi itu
mempunyai arti yang lebih luas daripada Undang-Undang Dasar. Hermann
Heller membagi konstitusi itu dalam 3 pengertian sebagai berikut :
1) Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai
suatu kenyataan (Die politische Verfassung als gesellschaftiche
Wirklichkeit) dan ia belum merupakan konstitusi dalam arti hukum (ein
Rechtsvefassung) atau dengan perkataan lain konstitusi itu masih
merupakan pengertian sosiologis atau politis dan belum merupakan
pengertian hukum.
2) Baru setelah orang mencari unsur-unsur hukumnya dari konstitusi yang
hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan sebagai suatu kesatuan
kaidah hukum, maka konstitusi itu disebut Rechtverfassung (Die
verselbstandigte Rechtverfassung). Tugas mencari unsur-unsur hukum
dalam ilmu pengetahuan hukum disebut “abstraksi”.
3) Kemudian orang mulai menulisnya dalam suatu naskah sebagai undang-
undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.
Jadi jika pengertian Undang-Undang Dasar itu harus dihubungan dengan
pengertian konstitusi, maka arti Undang-Undang Dasar itu baru merupakan
sebagian dari pengertian konstitusi yang ditulis (Die geschrieben
Verfassung). Kesalahan dari paham modern terletak pada penyamaan arti
dari konstitusi dengan Undang-Undang Dasar, sedangkan konstitusi itu
sebenarnya tidak hanya bersifat yuridis semata-mata tapi juga sosiologis dan
politis.
Suatu Rechtverfassung memerlukan dua syarat yang harus dipenuhi,
yaitu syarat mengenai bentuknya dan syarat mengenai isinya. Bentuknya
sebagai tertulis yang merupakan undang-undang yang tertinggi yang berlaku
dalam suatu negara. Isinya merupakan peraturan yang bersifat fundamental
artinya, bahwa tidak semua masalah yang penting harus dimuat dalam

41
konstitusi, melainkan hal-hal yang bersifat pokok, dasar atau asas-asas saja.
Menurut paham kodifikasi semua masalah yang penting harus dimuat dalam
Undang-Undang Dasar. Akan tetapi kemudian terasa, bahwa tidak semua
hal yang penting itu tidak selalu sama dengan yang pokok (fundamental),
juga pembawaan hukum itu sendiri berubah-ubah sesuai dengan
perkembangan zaman, sehingga isi dari Undang-Undang Dasar itu hanya
meliputi hal-hal yang bersifat mendasar saja.
Pengkhususan atau pelaksaannya dapat diatur dalam peraturan-peraturan
yang lebih rendah, yang lebih mudah diubah sesuai dengan kebutuhan
zaman. Alasan keberatan untuk memuat seluruh masalah yang penting
dalam Undang-Undang Dasar dan membawa kewibawaannya merosot dan
justru untuk mencegah hal tersebut maka Undang-Undang Dasar hanya akan
membuat hal-hal yang bersifat dasar saja.
Penyamaan pengertian konstitusi dan Undang-Undang Dasar telah
dimulai sejak Oliver Cromwell (Lord Protector Republik Inggris 1649-
1660) yang menamakan Undang-Undang Dasar itu sebagai “instrument of
Government”, yaitu bahwa Undang-Undang Dasar dibuat sebagai pegangan
untuk memerintah dan disinilah timbul identifikasi dari pengertian
Konstitusi dan Undang-Undang Dasar. Dalam tahun 1787 pengertian
Konstitusi Cromwell itu kemudian dioper oleh Amerika Serikat yang
selanjutnya oleh Lafayette dimasukkan ke Prancis pada tahun 1789.
Penganut paham yang menyamakan Konstitusi dengan Undang-Undang
Dasar adalah Lasalle. Dalam karangannya “Uber Verfassungswesen”, ia
mengemukakan bahwa Konstitusi yang sesungguhnya menggambarkan
hubungan antara kekuasaan yang terdapat di dalam masyarakat seperti
golongan yang mempunyai kedudukan nyata di dalam masyarakat (rieele
machtsfactoren) misalnya Kepala Negara, Angkatan Perang, Partai-partai
Politik, pressure group, buruh, tani, pegawai, dan sebagainya. Dari
pendapatnya itu kemudian Lasalle menghendaki agar sleuruhnya yang
penting itu ditulis dalam Konstitusi (in either Urkunde auf Blatt papier alle
Institutionen und Regierings prinzipien des londes).

42
Demikian pula haknya dengan Struycken yang menganut paham modern
karena menurut pendapatnya Konstitusi adalah Undang-Undang Dasar,
hanya berbeda dengan yang lainnya Struycken berpendapat, bahwa
Konstitusi memuat garis-garis besar dan asas tentang organisasi dari negara.
Dengan demikian Konstitusi tidak usah mencerminkan seluruh masalah
mengalami kesulitan dalam mengikuti perkembangan masyaraka. Karena itu
adalah tugas pembuat undang-undang untuk mengkhususkan Konstitusi
sesuai dengan perkembangan masyarakat, sedangkan konstitusi itu tetap
tidak berubah.
6. Nilai dan Sifat Konstitusi
Dalam praktik ketatanegaraan sering pula terjadi, bahwa suatu Konstitusi
yang tertulis tidak berlaku secara sempurna, karena salah satu atau beberapa
pasal di dalamnya ternyata tidak dijalankan lagi, atau oleh karena suatu
Konstitusi yang berlaku tidak lebih hanya untuk kepentingan suatu golongan
atau pribadi dari penguasa saja, tapi sudah barang tentu banyak pula
Konstitusi yang berlaku tidak lebih hanya untuk kepentingan suatu golongan
atau pribadi dari penguasa saja, tapi sudah barang tentu banyak pula
Konstitusi yang dijalankan sesuai dengan pasal-pasal yang ditentukannya.
Sehubungan dengan masalah tersebut di atas Karl Loewnstein
mengadakan penyelidikan mengenai apakah arti sebenarnya dari suatu
Konstitusi tertulis dalam suatu lingkungan nasional yang spesifik, terutama
kenyataannya bagi rakyat biasa, sehingga membawa Karl Loewenstein
kepada tiga jenis penilaian terhadap Konstitusi, seperti berikut :
1) Nilai Normatif
Apabila suatu Konstitusi telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan
bagi mereka Konstitusi itu bukan saja berlaku dalam arti hukum (legal),
tetapi juga, merupakan suatu kenyataan (reality) dalam arti sepenuhnya
diperlukan dan efektif. Dengan perkataan lain Konstitusi itu dilaksanakan
secara murni dan konsekuen.

43
Sebagai contoh dapat diberikan Konstitusi Amerika Serikat di mana
ketiga kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif menjalankan
fungsinya masing-masing secara terpisah.
Ini berarti bahwa eksekutif tidak boleh melaksanakan kekuasaan
membuat undnag-undang, apabila tidak ada suatu delegasi perundang-
undangan yang sah, sebab kekuasaan untuk membuat undang-undang
adalah suatu tugas yang semata-mata diletakkan di tangan badan pembuat
undang-undang (Congress). Pada waktu pemerintahan Presiden Truman,
Presiden hendak menyita pabrik baja untuk mencegah pemogokan,
karena persediaan baja sangat dibutuhkan untuk pertahanan nasional.
Mahkamah Agung menolak hak prerogatif Presiden untuk menyita
pabrik baja tersebut, dengan alasan bahwa kekuasaan itu tidak termasuk
kekuasaan konstitusional Presiden. Hal ini terkenal dalam perkara
Youngstown Sheet & Tuber Co. V Sawyer. Jadi di Amerika Serikat
kekuasaan yang dinyatakan dengan tegas baik oleh Konstitusinya atau
oleh undang-undang. Dalam hal tersebut di atas maka Konstitusi itu
bernilai normatif.
2) Nilai Nominal
Dalam hal ini Konstitusi itu menurut hukum memang berlaku, tetapi
kenyataannya tidak sempurna. Ketidaksempurnaan berlakunya suatu
Konstitusi ini jangan dikacaukan bahwa sering kali suatu konstitusi yang
tertulis berbeda dari Konstitusi itu dapat berubah-ubah, baik karena
perubahan formal seperti yang dicantumkan dalam Konstitusi itu sendiri,
maupun karena kebiasaan ketatanegaraan umpamanya. Yang dimaksud
disini bahwa suatu Konstitusi itu secara hukum berlaku, namun
berlakunya itu tidak sempurna, karena ada pasal-pasal tertentu yang
dalam kenyataan tidak berlaku. Sebagai contoh Kostitusi Amerika
Serikat dalam Amandemen XIV tentang kewarganegaraan dan
perwakilan, tidak berlaku secara sempurna untuk seluruh Amerika
Serikat, karena di negara bagian Misissipi dan Alabama hal tersebut tidak
berlaku. Begitu pula halnya dengan Konstitusi Uni Soviet dalam Pasal

44
125 dijamin adanya kemerdekaan berbicara, pers, tetapi dalam praktik
pelaksanaan pasal tersebut banyak tergantung kepada kemauan penguasa.
Kontitusi yang demikian bernilai nominal.
3) Nilai Semantik
Konstitusi itu secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya
hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan
untuk melaksanakan kekuasaan politik. Mobilitas kekuasaan yang
dinamis untuk mengatur, yang menjadi maksud yang esensial dari suatu
Konstitusi diberikan demi kepentingan pemegang kekuasaan yang
sebenarnya. Jadi dalam hal ini Konstitusi hanya sekedar istilah saja,
sedangkan pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan kepentingan pihak
berkuasa. Konstitusi yang demikian nilainya hanya semantik saja.
Contohnya Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku pada masa Orde
Lama. Undang-Undang Dasar 1945 pada waktu itu berlaku secara
hukum, tetapi dalam praktik berlakunya itu hanya untuk kepentingan
penguasa saja, dnegan dalih untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar
1945, sedangkan yang dilakukan hanya untuk kepentingan penguasa.
Umpamanya dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, agar penguasa
dapat ikut campur tangan dalam bidang peradilan yang sebenarnya harus
bebas dan tidak memihak sesuai dengan Pasal 24 dan 25 Undang-Undang
Dasar 1945 maka dibentuklah Undang-Undang No. 19 Tahun 1965.
7. Perubahan Konstitusi
Lazimnya, yang menyusun konstitusi adalah konstituante. Konstituante
ini adalah suatu badan yang dibentuk berdasarkan pilihan rakyat, seperti
Konstituante hasil pemilihan umum 1955 yang bertugas menyusun UUD
pegangganti UUDS 1950. Tapi mungkin pula konstitusi disusun oleh badan
yang sejenis dengan konstituante, walaupun mungkin bukan hasil pemilihan
umum, umpamanya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang
menyusun UUD 1945.
Karena konstituante atau badan yang sejenis dengan itu terdiri dari
kelompok manusia, maka konstitusi itu adalah hasil karya sekompok

45
manusia. Sebagaimana layaknya setiap hasil karya manusia, walaupun yang
membuatnya tergolong ahli seperti konstitusi, ia tidak mungkin sempurna,
dan tidak pula akan pernah berlaku seterusnya tanpa perubahan. Disinilah
perbedaannya dengan kitab suci, yang dalam agama Islam yaitu Al Qur’an.
Al Qur’an ini tidak hanya ia paling sempurna, tapi juga dijamin berlaku
abadi tanpa menalami perubahan, karena Al Qur’an itu adalah Wahyu Illahi.
Ketidak sempurnaan suatu konstitusi, mungkin disebabkan oleh dua hal,
pertama konstitusi itu adalah hasil karya yang berisfat kompromi dan kedua
kemampuan para penyusunnya itu sendiri sangat terbatas. Karena
konstituante itu terdiri dari sekelompok manusia yang tidak mungkin
mempunyai pandangan politik yang sama, dan sering pula kepentingannya
berbeda-beda, maka hasil karya mereka pun yaitu konstitusi merupakan
kompromi dari berbagai alisan dan kepentingan. Ambillah contohnya pasal-
pasal tentang hak asasi dalam UUD 1945. Pencantuman pasal-pasal tersebut
tidak lebih karena ada dua pendapat yang berbeda. Pendapat yang pertama
diwakili oleh Ir. Soekarno dan Prof. Dr. Mr. Soepomo yang tidak
menghendaki dicantukannya hak-hak asasi dalam UUD yang sedang mereka
susun. Sebaliknya Sukiman dan Moh, Yamin menghendaki agar pasal-pasal
tentang hak-hak asasi perlu dicantumkan. Adalah pendapat Mohammad
Hatta yang menyebabkan terdapatnya pasal-pasal tentang hak-hak asasi
dalam UUD 1945 sekarang. Contoh lain adalah rumusan pasal 28 UUD
1945. Orang mengakui bahwa hak yang diatur di dalam pasal adalah
beberapa hak yang sangat penting dalam bidang politik. Tanpa jaminan
adanya hak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, maka tidak
ada artinya lagi dmeokrasi. Tetapi dalam praktek orang pun merasakan
masih kurang sempurna rumusan pasal 28 tersebut, karena tidak terperinci
bagaimana corak, cara perlindungannya.
8. Sejarah Undang-Undang Dasar Indonesia
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI
yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945 merupakan badan yang
merancang konstitusi 1945. Selama sesi pertama yang berlangsung dari 28

46
Mei – 1 Juni 1945, Ir. Sukarno menyampaikan gagasan “Dasar Negara”,
bernama Pancasila.
Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota Sembilan BPUPKI membentuk
sebuah komite yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta,
yang akan menjadi teks pembukaan UUD 1945 Setelah penghapusan frasa
“kewajiban untuk melaksanakan Syariah Islam bagi penganutnya “Piagam
Jakarta naskah ke naskah pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada
tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
PPKI.
Pengesahan UUD 1945 telah dikonfirmasi oleh Komite Nasional
Indonesia Pusat “KNIP” yang diselenggarakan pada tanggal 29 Agustus
1945. The 1945 rancangan naskah Indonesia yang disusun selama Sesi
Kedua Badan Investigasi Persiapan Kemerdekaan “BPUPKI”. Nama
lembaga tanpa kata “Indonesia” karena tanah tersebut disediakan untuk
Jawa. Di Sumatera ada BPUPKI untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua
tanggal 10-17 Juli 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan
UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Periode untuk 1945 “18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949”
Pada periode 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya
karena Indonesia sedang sibuk memperjuangan kemerdekaan. Titah No. X
Wakil Presiden pada 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa kekuasaan
legislatif diserahkan kepada KNIP, karena Majelis dan Parlemen belum
terbentuk. 14 November 1945 Semi-Presiden Kabinet dibentk(“Semi-
Parlementer”) yang pertama, sehingga acara ini mengalami perubahan
pertama sistem pemerintahan Indonesia untuk 1945.
Periode Diberlakukanya Konstitusi RIS 1949 “27 Desember 1949 – 17
Agustus 1950”
Pada saat ini pemerintah Indonesia adalah sistem parlementer. Bentuk
pemerintahan dan bentuk negara yaitu federasi negara yang terdiri dari
negara-negara yang masing-masing negara memiliki kedaulatan sendiri

47
untuk mengurus urusan internal. Ini adalah perubahan dari tahun 1945 yang
mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan.
Periode 1950 “17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959”
Sistem dalam periode 1950 diberlakukan demokrasi parlementer sering
disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini juga kabinet selalu berganti-
ganti, sebagai akibat dari pembangunan tidak berjalan lancar, masing-
masing pihak lebih memperhatikan kepentingan partai atau kelompok.
Setelah negara RI pada tahun 1950 dan sistem Demokrasi liberal yang
dialami oleh masyarakat Indonesia selama hampir 9 tahun, rakyat Indonesia
sadar bahwa UUD 1950 dengan sistem Demokrat Liberal tidak cocok,
karena tidak sesuai dengan semangat Pancasila dan UUD 1945.
Periode kembalinya ke 1945 “5 Juli 1959 – 1966”
Karena situasi politik di Majelis Konstituante pada tahun 1959 di mana
banyak kepentingan partai saling tarik ulur politik sehingga gagal
menghasilkan sebuah konstitusi baru, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden
Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden yang satu itu memberlakukan
kembali UUD 1945 sebagai konstitusi, menggantikan Sementara Konstitusi
1950 yang berlaku pada waktu itu.
Pada saat ini, ada berbagai penyimpangan 1945, termasuk :
Presiden menunjuk Ketua dan Wakil Ketua MPR / DPR dan Mahkamah
Agung serta Wakil Ketua DPA sebagai Menteri Negara MPRS menetapkan
Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Periode 1945 orde baru “11 Maret 1966 – 21 Mei 1998”
Selama Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan
UUD 1945 dan Pancasila murni dan akibatnya. Selama Orde Baru, UUD
1945 juga menjadi sangat “sakral”, di antara melalui sejumlah aturan :
1. Keputusan No. I / MPR / 1983 yang menyatakan bahwa Majelis bertekad
untuk mempertahankan UUD 1945, tidak wasiat akan membuat beberapa
perubahan

48
2. Keputusan No. IV / MPR / 1983 referendum yang antara lain,
menyatakan bahwa jika keinginan Majelis mengubah UUD 1945, terlebih
dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang referendum, yang
merupakan implementasi dari Keputusan No. IV / MPR / 1983.
Masa “21 Mei 1998 – 19 Oktober 1999”.
Pada saat ini transisi diketahui. Waktu itu sejak Presiden Soeharto
digantikan oleh BJ Habibie dengan hilangnya Timor Timur dari NKRI.
Periode Perubahan “Tahun 1945”.
Salah satunya adalah tuntutan Reformasi 1998 untuk perubahan amandemen
UUD 1945 Latar Belakang tuntutan perubahan UUD 1945, antara lain,
seperti di masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan Majelis dan di
sebenarnya bukan di tangan rakyat, kekuasaan yang sangat besar kepada
Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” yang dapat menyebabkan
multitafsir, serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat pejabat
negara yang belum cukup didukung oleh ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan 1945 ketika itu meningkatkan aturan dasar seperti tatanan
negara, kedaulatan, hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, eksistensi
demokrasi dan supremasi hukum, serta hal-hal lain sesuai dengan aspirasi
dan kebutuhan pembangunan bangsa. 1945 perubahan perjanjian yang tidak
mengubah UUD 1945, tetap mempertahankan struktur negara staat structuur
kesatuan atau selanjutnya dikenal sebagai Negara Negara Kesatuan
Republik Indonesia NKRI, serta mempertegas sistem pemerintahan
presidensial.
Pada periode 1999-2002, 1945 mengalami 4 kali perubahan amandemen
yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan :
1. Sidang Umum 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 1945 Amandemen
Pertama.
2. Sidang Tahunan 2000, diadakan pada tanggal 7-18 Agustus 2000 1945
Perubahan Kedua.

49
3. Sidang Tahunan 2001, tanggal 1-9 November 2001 1945 Perubahan
Ketiga.
4. Sidang Tahunan 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 1945 Perubahan
Keempat.

50
Resume Mata Kuliah Hukum Tata Negara Pertemuan ke 5

(Rabu, 10 April 2019)

”Asas yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945”

1. Dewan konstituante dibentuk atas dasar para pendiri bangsa ini sadar undang-
undang dasar 1945 itu sifatnya sementara, blitz/kilat. Jadi harus ada nihb yang
permanen yang tetap yang definitif tidak sementara lagi nah itu adalah tugas
konstitusi, maka dibentuklah dewan konstituante hasil dari pemilihan umum
pada pemilu pertama di Indonesia tahun 1955 yang keluar sebagai partai
dengan perolehan suara terbanyak PNI (Partai Nasionalis Indonesia) dipimpin
oleh Ir. Soekarno, yang kedua ada MASYUMI (MAjelis SYUro Muslimin
Indonesia, nomor 3 dan ini ada 2 versi buku yang mengatakan berbeda yang
satu menyebutkan PKI (Partai Komunis Indonesia) buku yang kedua NU
(Naadatul Ulama) baru yang keempatnya PKI. Tahun 1955 ada 2 pemillu,
pertama pada september yang kedua pada desember untuk membentuk 2
lembaga.
2. Thailand negara yang sudah terbiasa dengan kudeta. Mesir juga negara yang
sudah 2 kali kudeta.
3. Jumlah Anggota MPR
2 1384
x 692 = = 461,3 = 461 orang (ini yang harus hadir dalam sidang MPR
3 3

kalau mau ada perubahan). 461 itu adalah Quorum. Syarat untuk perubahan
adalah quorum.
Kalau 461 ini gahadir, bagaimana cara jalan keluarnya? Ditunda
2
Kalau mau mengubah 3 dari 461 harus setuju dengan perubahan itu.
2 922
x 461 orang = = 307 orang harus setuju
3 3

4. Asas Pancasila
Setiap negara didirakan atas dasar falsafah tertentu. Falsafah itu adalah
merupakan perwujudan dari keinginan rakyatnya. Karena itu setiap negara
mempunyai falsafah negara yang tercantum dalam Declaration of

51
independence yang berbeda dengan Republik Indonesia yang mempunyai
falsafah Pancasila dan begitu pula dengan negara lainnya.
Karena suatu falsafah itu identik dengan keinginan dan watak rakyat dan
bangsanya, maka adalah tidak mungkin untuk mengambil oper begitu saja
falsafah negara lain untuk dijadikan falsafah bangsanya. Karena falsafah itu
merupakan perwujudan dari watak dan keinginan dari suatu bangsa, maka
sgala aspek kehidupan bangsa tersebut harus sesuai dengan falsafahna.
Misalnya hidup kekeluargaan yang terdapat di tengah-tengah kehidupan bangsa
Indonesia, belum tentu terdapat dalam kehidupan bangsa lain. Begitu pula asas
liberalisme yang terdapat di negara-negara Barat, tidak tepat untuk
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.
Pada waktu Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia dalam rapat-rapatnya mencari philosofische grondslag untuk
Indonesia yang akan merdeka, maka diputuskan Pancasila sebagai dasar
negara. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan rakyat dan negara Indonesia harus
sesuai dengan Pancasila yang sudah ditetapkan sebagai dasar negara itu.
Dalam bidang hukum, Pancasila merupakan sumber hukum materiil. Karena
setiap isi peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengannya
dan jika hal itu terjadi, maka peraturan itu harus segera dicabut. Pancasila
sebagai asas bagi Hukum Tata Negara Indonesia dapat dilihat sebagai berikut :
a. Asas Ketuhanan yang Maha Esa
b. Asas Prikemanusiaan
c. Asas Kebangsaan
d. Asas Kedaulatan Rakyat
e. Asas Keadilan Sosial
5. Asas Kekeluargaan
Asas kekeluargaan tidak dijumpai di dalam Pembukaan, melainkan terdapat
di Batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dan di dalam Penjelasannya.
Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 secara tegas mengamanatkan agar “Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Karena
perekonomian secara keseluruhan diamanatkan untuk disusun berdasarkan asas

52
kekeluargaan, maka seluruh lini dan bagian dalam perekonomian Indonesia
seharusnya juga disusun dengan asas tersebut. Artinya, pada tingkat dunia
usaha, asas kekeluargaan seharusnya diamalkan pula oleh seluruh pelaku usaha
di Indonesia.
Menurut Bung Hatta, “Asas kekeluargaan itu ialah koperasi. Asas
kekeluargaan itu adalah istilah dari Taman Siswa untuk menunjukkan
bagaimana guru dan murid-murid yang tinggal padanya hidup sebagai suatu
keluarga. Itu pulalah hendaknya corak koperasi Indonesia”.
Berdasarkan penjelasan Bung Hatta tersebut dapat diketahui bahwa secara
langsung asas kekeluargaan memang identik dengan koperasi. Namun
demikian, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, karena Pasal 33 UUD
1945 telah mengangkat jati diri koperasi itu sebagai asas perekonomian
nasional, maka badan usaha milik negara (BUMN) dan perusahaan swasta pun
sesungguhnya memiliki kewajiban untuk mengamalkan asas tersebut.
Pengamalan asas kekeluargaan oleh koperasi dapat ditelusuri antara lain
dengan menyimak dua Prinsip Koperasi berikut. Pada koperasi berlaku prinsip
keanggotaan yang bersifat sukarela dan terbuka. Artinya, setiap orang yang
memiliki kepentingan dalam lapangan usaha koperasi dapat menjadi anggota
koperasi itu. Selanjutnya, pada koperasi juga berlaku prinsip pengendalian oleh
anggota secara demokratis. Artinya, setiap anggota koperasi memiliki hak
suara yang sama, satu orang satu suara.
Dengan mengamalkan kedua prinsip tersebut, maka koperasi tidak hanya
membebaskan diri dari jebakan individualisme. Bersamaan dengan itu koperasi
juga berusaha membebaskan diri dari jebakan hubungan buruh majikan
sebagaimana terdapat pada perseroan. Terlepas dari kedudukan dan jabatannya,
setiap orang yang turut berperan memajukan koperasi pada dasarnya memiliki
kedudukan yang sama, yaitu sebagai anggota koperasi.
Tindakan apakah yang dapat dilakukan agar asas kekeluargaan dapat
diamalkan pula oleh perseroan? Pertanyaan ini terutama sangat relevan
diajukan kepada BUMN. Secara substansial, BUMN adalah perusahaan milik

53
rakyat. Namun dalam kenyataannya, saat ini hampir seluruh BUMN
diselenggarakan dengan badan hukum berbentuk perseroan terbatas (PT).
Secara teoritik terdapat empat tindakan yang dapat dilakukan untuk
mengamalkan asas kekeluargaan yang merupakan jati diri koperasi itu dalam
lingkungan perseroan. Pertama, inisiatif pekerja, yaitu dengan meningkatkan
partisipasi pekerja dalam pengambilan keputusan. Kedua, inisiatif Serikat
Pekerja, yaitu melalui penyusunan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) yang
demokratis. Ketiga, inisiatif manajerial, yaitu melalui pelaksanaan program
kepemilikan saham oleh pekerja. Keempat, inisiatif pemerintah, yaitu melalui
penerbitan UU.
Karena merupakan amanat UUD, maka bagi pemerintah Indonesia
sesungguhnya tidak ada pilihan lain kecuali memenuhi amanat tersebut melalui
penerbitan UU. Tetapi disinilah pokok masalahnya. Penyusunan UU BUMN
dan UU PT selama ini, sebagaimana halnya UU Koperasi, cenderung dilakukan
dengan mengabaikan amanat UUD. Hal itu tampak secara mencolok pada
pembatalan UU Koperasi No. 17/2012 oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
beberapa waktu yang lalu.
Untuk memastikan agar asas kekeluargaan diamalkan pula oleh BUMN dan
perusahaan swasta, maka ada baiknya bila segera dilakukan amandemen
terhadap UU BUMN dan UU PT. Dengan tersusunnya UU BUMN dan UU PT
yang sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945, mudah-mudahan masyarakat
adil makmur sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dapat segera
diwujudkan pula.
6. Asas Kedaulatan Rakyat
Dalam Hukum Tata Negara pengertian kedaulatan bisa relatif, maksudnya
bahwa kedaulatan itu tidak hanya dikenal pada negara-negara yang memiliki
kekuasaan penuh keluar dan kedalam tapi juga dapat dikenakan kepada negara-
negara yang berhubungan pada sebuah perjanjian yang berbentuk traktat atau
dalam bentuk konfederasi atau federasi.kedaulatan tersebut tidak terpecah-
pecah karena dalam suatu negara hanya ada satu kekuassan yang teringgi.
Kedaulatan rakyat adalah bahwa rakyatlah yang memiliki wewenang yang

54
tertinggi yang menentukan segala wewenang dalam negara kedaulatan rakyat
diwakilkan pada MPR, kekuasaan majelis itu nyata dan ditentukan oleh UUD
tapi oleh karena majelis merupakan sebuah badan yang besar dan lamban
sifatnya maka ia menyerahkan lagi kepada badan-badan yang ada dibawahnya.
7. Asas Pembagian Kekuasaan
Pengertian pembagian kekuasaan beda dari pengertian pemisahan kekuasaan.
Pemisahan kekuasaan artinya bahwa kekuasaan Negara itu terpisah-pisah
dalam beberapa bagian, baik mengenai orangnya ataupun fungsinya.
Kenyataan menunujukan bahwa sebuah pemisahan kekuasaan murni tidak bisa
dilaksanakan. Karena itu pilihan jatuh kepada istilah pembagian kekuasaan
yang artinya bahwa kekuasaan itu dibagi-bagi dalam beberapa bagian, namun
tidak dipisahkan. Hal membawa konsekuensi bahwa di antara bagian-bagian
tersebut dimungkinkan adanya kerjasama.
8. Asas Negara Hukum
Yang dimaksud dengan Negara Hukum adalah Negara yang berdiri di atas
hukum yang menjamin keadilan pada warga Negaranya. Keadilan adalah syarat
bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar
dari pada keadilan perlu di ajarkan rasa susila pada setiap manusia supaya dia
menjadi warga Negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang
sebenarnya hanya ada bila peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi
pergaulan hidup antar warga negaranya.
9. Pada zaman Soeharto voting itu haram. Bapak Demokrasi : JJ Rousseau.
Dasarnya demokrasi adalah voting, kalau mayoritas ingin menguasai minoritas
namanya adalah diktator mayoritas. Tapi kalau yang minoritas eksklusif atau
tertutup, dikit-dikit “kamis kan minoritas” agar mendapatkan hak istimewa
namanya tirani minoritas.
10. Pakar-pakar HTN berbeda pendapat dengan apa yang disebut kekuasaan atau
apa yang disebut pemisahan kekuasaan. Kalau pemisahan kekuasaan itu
dipraktekkan oleh Amerika disebut Separation of Power dimana Legislatif,
Eksekutif dan Yudikatif itu berbeda satu dengan yang lain, tugas, fungsi,
wewenang dan tanggung jawabnya. Dan mereka ini saling mengkontrol

55
sehingga dikenal dengan Check and Balances System. Kalau pembagian
kekuasaan disebutnya Distribution of Power L, E & Y pembagiannya jelas,
walaupun jelas tapi masih ada bercampurnya, satu dengan yang lain, sangat
sukar mempraktekkan teori trias politica ini secara murni susah. Kalau di
Indonesia ini Distribution of Power diartikannya pembagian kekuasaan
dimana L, E dan Y itu terpisah tetapi masih berhubungan satu dengan yang
lain. Misalnya dalam hal membuat Undang-undang ini harus ada kerja sama
antara L (DPR) dan E (Presiden) pembahasannya persetejuannya.

56
Resume Mata Kuliah Hukum Tata Negara Pertemuan ke 6

(Selasa, 16 April 2019)

”Menguraikan tentang Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan menurut


Sifatnya, dan menurut Pembagian Kekuasaan”
1. Kingdom beda dengan emperium lebih luas dari kerajaan

Bentuk negara Rajanya bersifat Apa yang diucapkan raja


paling awal absolut sebagai aturan

Raja : monar (monarki), Saat ini sudah tidak


digerakkan oleh badan usaha ada emperium

2. Sistem pemerintahan parlementer


a. Kepala Negara : Raja, Ratu Kaisar Dan Presiden
b. Kepala Pemerintahan : Perdana Menteri (PM). Di Jerman dan Austria biasa
disebut (Konselir (Consuleer))
3. Sistem Pemerintahan Presidensial
a. Kepaka Negara
Presiden
b. Kepala Pemerintahan
4. Hak Prerogatif adalah hak yang bersifat kehormatan
5. Diskresi adalah kebijakan, diskresi yang umum presiden bisa membuat perpu
sejajar dengan undang-undang. Karena ada kegentingan yang memaksa.
6. Bentuk Negara
Untuk mencegah terjadinya salah pengertian, maka perlu dibedakan secara
tegas penggunaan istilah mengenai “bentuk”, yang ditujukan kepada pengertian
republik, sedangkan istilah “susunan” ditujukan kepada pengertian kesatuan
atau federasi. Dengan demikian kita akan memperoleh pengertian mengenai
bentuk negaranya sebagai republik dan susunan negaranya sebagai negara
kesatuan atau federasi.
Dalam Ilmu Negara pengertian tentang bentuk negara sejak dahulu kala
dibagi menjadi dua yaitu : monarchie dan republic. Untuk mennetukan suatu

57
negara itu berbentuk monarchie atau republik, dalam Ilmu Negara banyak
macam ukuran yang dipakai. Antara lain Jellinek memakai sebagai kriteria
bagaimana caranya kehendak negara itu dinyatakan. Jika kehendak negara itu
ditentukan oleh satu orang saja, maka bentuk negara itu monarchie dan jika
kehendak negara itu ditentukan oleh banyak orang yang merupakan suatu
majelis, maka bentuk negaranya adalah republik. Pendapat Jellinek ini tidak
banyak penganutnya karena bnayak mengandung kelemahan. Paham Duguit
lebih lazim dipakai, yang menggunakan sebagai kriteria bagaimana caranya
kepada negara itu diangkat. Jika seorang Kepala Negara diangkat berdasarkan
hak waris atau keturunan, maka bentuk negaranya disebut monarki dan Kepala
Negaranya disebut Raja atau Ratu. Jika seorang Kepala Negara dipilih melalui
suatu pemilihan umum untuk masa jabatan yang ditentukan, maka bentuk
negaranya disebut republik dan Kepala Negaranya adalah seorang Presiden.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 6 ayat (2) Presiden dan Wakil
Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara
terbanyak, sedangkan di dalam Undang-Undang Dasar Sementara pasal 45 ayat
(3), Kepala Negara yaitu Presiden dipilih mneurut aturan yang ditetapkan
dengan Undang-Undang. Begitu juga halnya dengan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Serikat pasal 69 ayat (2), Kepala Negara yaitu Presiden
dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah
bagian yang tersangkut dalam pasal.
Jadi menurut ketentuan di dalam tida Undang-Undang Dasar tersebut negara
Indonesia mempunyai bentuk negara sebagai republic. Bagaimanakah halnya
dengan susunan negara? Istilah susunan ditujukan untuk menentukan apakah
negara itu merupakan negara Kesatuan atau Federal atau Konfederal. Dalam
Ilmu Negara, susunan negara oleh Jellinek disebut sebagai
“staatenverbindungen”. Pertama-tama ia membedakan negara Federal dan
negara Konfederal pada letak kedaulatannya. Pada negara Konfederal,
kedaulatan terletak pada negara-negara bagiannya, sedangkan pada negara
Federal, kedaulatan ada pada keseluruhannya, yaitu pada negara Federal
sendiri.

58
Antara negara Federal dan negara Kesatuan dapat ditunjukkan perbedaannya
sebagai berikut :
1) Pada negara Federal negara-negara bagian mempunyai wewenang untuk
membuat Undang-Undang Dasarnya sendiri (pouvoir constituant) dan dapat
menentukan bentuk organisasinya masing-masing dalam batas-batas yang
tidak bertentangan dengan Konstitusi dari negara Federal seluruhnya. Dalam
hal ini organisasi dari bagian-bagian pada negara Kesatuan pada garis
besarnya telah ditentukan oleh pembuat Undang-Undang di pusat.
Organisasi itu merupakan pelaksanaan dari sistem desentralisasi dalam
negara kesatuan. Bagian-bagian dalam negara Kesatuan yang lazimnya
disebut sebagai provinsi tidak mempunyai wewenang untuk membuat
Undang-undang Dasar sendiri.
2) Dalam negara Federal wewenang pembuat Undang-Undang pemerintah
pusat Federal ditentukan secara terperinci, sedangkan wewenang lainnya
ada pada negara-negara bagiannya, (residu-power atau reserved power).
Sebaliknya dalam negara Kesatuan, wewenang secara terperinci terdapat
pada provinsi-provinsi, dan residu powernya ada pada pemerintah pusat negara
kesatuan.
Pada umumnya kriteria seperti tersebut di atas yang dipakai untuk
membedakan negara Federal dari negara Kesatuan dapat diterima, akan tetapi
dalam praktek tidak seluruhnya kriteria itu dapat dibenarkan. Strong
menunjukkan contoh Kanada sebagai negara Federal yang ternyata pembagian
wewenangnya antara pemerintah pusat dan negara-negara bagiannya ditempuh
dengan cara yang justru sebaliknya dari pada yang lazim dilakukan dalam
negara-negara Federal. Hal-hal yang menjadi wewenang dari pemerintah pusat
negara Federal adalah urusan-urusan yang jika dilakukan oleh pemerintah
pusat itu akan lebih bermanfaat dari pada jika urusan-urusan itu diserahkan
kepada negara-negara bagiannya, misalnya mengenai Angkatan Perang,
Kewarganegaraan, Keuangan dan sebagainya.
7. Sistem Pemerintahan Menurut Sifatnya

59
Sistem pemerintahan merupakan gabungan dari dua istilah “sistem” dan
“pemerintahan”. Sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian
yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun
hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu
menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika
salah satu bagian tidak bekerja denngan baik akan memengaruhi
keseluruhannya itu. Pemerintahan dalam arti luas adalah segala urusan yang di
lakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan
kepentingan negara sendiri, jadi tidak diartikan sebagai pemerintah yang hanya
menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya
termasuk legislatif dan yudikatif. Karena itu membicarakan sistem
pemerintahan adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta
hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan-
kekuasaan negara itu, dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.
Ditinjau dari segi pembagian kekuasaannya, organisasi Pemerintah itu
dibagi menurut garis horizontal dan vertikal. Pembagian kekuasaan secara
horizontal didasarkan atas sifat tugas yang berbeda-beda jenisnya yang
menimbulkan berbagai macam lembaga di dalam suatu negara, sedangkan
pembagian kekuasaan secara vertikal melahirkan dua garis hubungan antara
Pusat dan Daerah dalam sistem desentralisasi dan dekonsentrasi.
Jadi, Sistem Pemerintahan adalah sistem yang terdiri dari berbagai macam
komponen di mana tiap-tiap komponen menjadi satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan, menjadi satu tatanan yang utuh. Masing-masing komponen
menjalin kerja sama yang kuat, memiliki keterikatan satu sama lain yang pada
pokoknya mempunyai satu tujuan dan satu fungsi dari pemerintahan. Sistem
pemerintahan suatu negara pada umumnya akan memiliki satu sistem dan
tujuan pokok yang sudah pasti, yaitu menjaga kestabilan negara yang
bersangkutan. Sistem pemerintahan ini harus mempunyai suatu landasan yang
kokoh, tidak bisa digoyahkan oleh suatu apapun. Sistem pemerintahan dari
suatu negara harus dijauhkan dari sifat statis. Karena nantinya sistem
pemerintahan yang statis ini akan mengakibatkan kerugian tersendiri bagi

60
pemerintahan tersebut, terlebih lagi jika tidak hanya statis melainkan juga
absolut. Nantinya akan ada protes dari masyarakat karena pemerintahannya
akan dianggap memberatkan kaum minoritas alias rakyat kecil.
Pada garis besarnya sistem pemerintahan yang dilakukan pada negara-
negara demokrasi menganut sistem parlementer atau sistem presidensial. Tentu
saja di antara kedua sistem ini masih terdapat beberapa bentuk lainnya sebagai
variasi, disebabkan siatuasi dan kondisi yang berbeda yang melahirkan bentuk-
bentuk semua (quasi), karena jika dilihat dari salah satu sistem di atas, dia
bukan merupakan bentuk yang sebenarnya, misalnya quasi parlementer atau
quasi presidensial.
Bentuk negara adalah peninjauan secara sosiologis, sedangkan secara yuridis
disebut bentuk pemerintahan, yaitu sistem yang berlaku yang menentukan
bagaimana hubungan antara alat perlengkapan negara diatur oleh
Konstitusinya. Karena itu bentuk pemerintahan sering lebih populer disebut
sebagai Sistim Pemerintahan. Sistim itu sendiri diartikan sebagai suatu susunan
atau tatanan berupa suatu struktur yang terdiri dari bagian-bagian atau
komponen-komponen yang berkaitan satu sama lain secara teratur dan
terencana untuk mencapai tujuan. Apabila salah satu bagian tersebut berfungsi
melebihi wewenangnya atau kurang berfungsi, maka akan memengaruhi
komponen yang lainnya. Oleh kerena, sistem pemerintahan itu dapat disebut
sebagai keseluruhan dari susunan atau tatanan yang teratur dari lembaga-
lembaga negara yang berkaitan satu dengan yang lainnya baik langsung
ataupun tidak langsung menurut suatu rencana atau pola untuk mencapai tujuan
negara tersebut.
Di dunia ini terdapat sistem pemerintahan di mana ada hubungan yang erat
antara kekuasaan eksekutif dengan Parlemen. Kedua lembaga ini saling
tergantung satu dengan yang lainnya. Eksekutif yang dipimpin oleh seorang
Perdana Menteri dibentuk oleh Parlemen dari Partai/Organisasi yang mayoritas
di Parlemen. Dalam hal ini rakyat tidak langsung memilih Perdana Menteri dan
Kabinetnya, tetapi hanya memiliki anggota Parlemen. Dengan terpilihnya
Parlemen, maka akan terbentuk Eksekutif (kabinet). Karena itu pula Kabinet

61
bertanggung-jawab dan tunduk pada Parlemen dan Kabinet akan jatuh apabila
dukungan tidak mencapai mayoritas di Parlemen. Sebaiknya kepala Negara
dapat membubarkan Parlemen atas permintaan Perdana Menteri yang disusul
dengan penyelenggaraan pemilihan umum. Bentuk pemerintahan seperti ini
disebut Sistem Pemerintahan Perlemen. Dalam sistem pemerintahan
Kekuasaan eksekutif diberikan kepada kabinet atau dewan menteri, selanjutnya
kabinet ini mempertanggungjawabkan kebijaksanaan dalam lapangan
pemerintahan kepada badan perwakilan rakyat atau Perlemen. Kabinet
dibentuk berdasarkan kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam parlemen.
Kelebihan dari sistem perlementer adalah kerjasama antara badan eksekutif
dengan badan legislatif dapat mudah tercapai, sehingga perumusan kebijakan
pemerintah tidak memakan waktu lama. Hal ini penting dilihat dari sisi
efektivitas pergerakan program dan kegiatan pemerintahan. Sedangkan
kelemahan dalam sistem ini adalah adanya mosi tidak percaya dari parlemen,
akibatnya badan eksekutif tergantung dalam pelaksanaan program kerja. Sering
terjadi berbagai pergantian kabinet (Dewan Menteri) sehingga kebijaksanaan
pemerintah terutama dalam hal pembangunan sering mengalami kemacetan dan
kegagalan.
Sistem pemerintahan jenis kedua adalah sistim pemerintahan di mana ada
pemisahan yang tegas antara lembaga legislatif (Parlemen dengan lembut
eksekutif dan juga dengan lembaga yudikatif). Menurut sistem ini Presiden
sebagai kepala Negara sekaligus menjadi Kepala Eksekutif. Presiden bukan
dipilih oleh Parlemen, tetapi bersama Parlemenis dipilih secara langsung oleh
rakyat melalui suatu pemilihan umum. Kerena itu Presiden tidak
bertanggungjawab kepada Parlemen, sehingga Presiden dan kabinetnya tidak
dapat dijatuhkan oleh Parlemen. Kedua lembaga ini melaksanakan tugasnya
sesuai dengan ketentuan konstitusi dan berakhir pada masa jabatannya. Kecuali
mereka diberhentikan karena perbuatan tercela atau tidak senonoh, misalnya,
dengan meng-impeach Presiden di Amerika Serikat. Sistem pemerintahan jenis
ini disebut sebagai Sistem Pemerintah Presidensial (Fixed Executive).

62
Munculnya sistem pemerintahan presidensial tidak dapat dilepaskan dari
Amerika Serikat yang mengadopsi Trias politika Montesquieu. Latar belakang
Amerika Serikat menganut Sistem presidensial adalah mewujudkan
kemerdekaan pemerintahan lepas dari pengaruh Inggris dengan mengadakan
pemisahan kekuasaan. Dalam Trias politika terdapat sistim check and balance.
Dalam sistim ini antara kekuatan badan eksekutif dan bad legislatif dipisahkan
secara tegas, sehingga tidak mempunyai hubungan yang erat seperti dalam
sistem pemerintahan parlementer, di mana anggota kabinet dapat merangkap
sebagai anggota parlemen. Selanjutnya dalam sistem ini tidak di kenal adanya
pertanggungjawaban menteri-menteri kepada parlemen, kedudukan kepala
negara tidak terpisah dari kepala pemerintahan.
Kelebihan sistim pemerintahan presidensial adalah pemerintahan yang
dijalankan oleh eksekutif berjalan relatif stabil dan sesuai dengan batas waktu
yang telah diatur dan ditetapkan dalam konstitusi. Kelemahan sistem ini yaitu
bahwa setiap kebijakan pemerintahan yang diambil merupakan bargaining
position pihak legislatif dan eksekutif yang berarti terjadi pengutamaan sikap
representatif-elitis bukannya partisipasltif-populis. Kedudukan eksekutif dan
legislatif adalah sama. Dalam melaksanakan tugasnya Presiden sebagai kepala
eksekutif (Pemerintahan) dan sekaligus sebagai kepala negara memiliki dan
mengangkat menteri-menteri sebagai membantu presiden. Menteri-menteri
tersebut tidak bertanggungjawab kepada badan legislatif seperti yang terdapat
dalam sistim pemerintahan parlementer, melainkan kepada presiden yang telah
memiliki dan mengangkatnya. Sistem pemerintahan presidensial memisahkan
kekuasaan yang tegas antara lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif,
sehingga antara yang satu dengan yang lain seharusnya tidak dapat saling
mempengaruhi. Menteri-menteri tidak bertanggungjawab kepada Legislatif,
tetapi bertanggungjawab kepada Presiden yang memiliki dan mengangkatnya,
sehingga menteri-menteri tersebut dapat diberhentikan oleh presiden tanpa
persetujuan badan Legislatif. Presiden merupakan kepala pemerintahan (kepala
eksekutif) sekaligus merangkap sebagai kepala negara yang dipilih oleh rakyat
secara langsung atau melalui badan perwakilan.

63
Sistem pemerintahan jenis ketiga, adalah sistem pemerintahan dengan
pengawasan langsung oleh rakyat terhadap lembaga Legislatif. Dalam sistem
ini Parlemen tunduk kepada kontrol langsung dari rakyat. Kontrol dilakukan
dengan dua cara, yaitu referendum dan usul inisiatif rakyat. Referendum
merupakan kegiatan politik yang dilakukan oleh rakyat untuk memberikan
kepuasan setuju atau menolak terhadap kebijaksanaan yang ditempuh oleh
Parlemen atau setuju atau tidak terhadap kebijaksanaan yang dimintakan
persetujuan kepada rakyat. Terdapat tiga macam referendum, yaitu referendum
obligator (referendum wajib, di mana berlakunya suatu undang-undang yang
dibuat Parlemen, dan telah disetujui oleh rakyat melalui suara terbanyak),
referendum fakultatif (suatu undang-undang yang dibuat oleh Parlemen setelah
diumumkan, beberapa kelompok masyarakat yang berhak meminta disahkan
melalui referendum), dan referendum consultative (referendum untuk soal-soal
tertentu yang teknisnya rakyat tidak tahu.
Munculnya sistem. Hal ini di sebabkan hanya negara Swiss. Hal ini di
sebabkan hanya negara Swiss sebagai satu-satunya negara yang menerapkan
sistem ini. Dalam sistem ini badan eksekutif hanya merupakan “pekerja” dari
pada badan legislatif. Karakteristik sistem pemerintahan referendum sebagai
sebuah sistem yang berkembang di Swiss patut dicermati mengikat untuk
adanya penyimpanan relatif terkontrol oleh masyarakat sehingga sistem ini
murni bersifat partisipasi-populis dan tidak berlandaskan pas sifat representasi-
elitis. Karakteristik selanjutnya bahwa kontrol eksekutif, legislatif dan
yudikatif sepenuhnya di tangan rakyat dengan melihat sistim pengawas
langsung oleh rakyat. Sistem pemerintahan referendum tunduk kepada kontrol
langsung dari rakyat dimana sebagian pelaksanaannya adalah dengan adanya
kehendak rakyat melalui inisiatif publik merespon isu publik, yaitu hak publik
untuk mengajukan/mengusulkan suatu rancangan peraturan perundang-
undangan kepada legislatif dan eksekutif. Terminologi referendum adalah
permintaan/persetujuan dan atau pendapat rakyat apakah setuju atau tidak
terhadap kebijaksanaan yang akan dilaksanakan oleh badan eksekutif atau
badan legislatif.

64
Sistem pemerintahan referendum dapat dilaksanakan melalui pertama,
adanya persetujuan/pengawasan dari rakyat terhadap produk legislatif yang
substansinya menentukan kepentingan orang banyak. Kedua, dengan melihat
substansi rancangan produk legislatif yang sebelumnya telah disosialisasikan
ke rakyat, dan jika sifatnya tak mempengaruhi kepentingan publik maka
pemerintah diperbolehkan untuk menerapkannya tanpa persetujuan publik.
Ketiga, adanya persetujuan/pengawasan rakyat terhadap produk legislatif yang
sudah diberlakukan (satu sampai dua tahun) ke masyarakat, dan apabila terjadi
tuntutan adanya perubahan yang signifikan dari publik maka pemerintah
berkewajiban untuk menentukan penyempurnaan produk tersebut. Sistem
pemerintahan referendum ini tidak dapat digolongkan ke dalam sistem
pemerintahan parlementer ataupun sistem pemerintahan presidensial.
Kelemahan dari sistim ini adalah proses yang di jalankan untuk
menyelenggarakan agenda pemerintahan membutuhkan waktu yang relatif
lama, hal tersebut disebabkan bahwa dalam setiap formulasi produk legislatif
yang signifikan selalu melibatkan rakyat di dalamnya. Tetapi kelebihan dari
sistim ini adalah bahwa dalam setiap masalah-masalah pemerintahan yang
sangat penting dan mendasar rakyat langsung dilibatkan dalam menentukan
arah kebijakan pemerintah.
Munculnya sistem pemerintahan quasi/campuran berawal dari adanya
perpaduan tiga sistem pemerintahan yang telah dijelaskan sebelumnya yang
ternyata terdapat sistem pemerintahan yang tidak dapat dikategorikan secara
langsung ke dalam salah satu sistem pemerintahan tersebut. Sistem ini
merupakan sistem pemerintahan Quasi atau campuran yang mengandung ciri-
ciri sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial.
Mengulas mengenai sistem pemerintahan campuran ini, dalam literatur tata
pemerintahan banyak berkaitan dengan terminologi presidensial, semi
parlementer, atau sistem pemerintahan semu. Untuk memahami lebih jauh
mengenai sistem pemerintahan campuran ini, dapat ditelaah melalui ciri-ciri
atau karakteristiknya. Apabila ciri-ciri sistem pemerintahan suatu negara lebih
banyak mengandung unsur-unsur presidensial, maka negara yang bersangkutan

65
dapat dikatakan menganut sistim pemerintahan quasi presidensial, tetapi
apabila lebih banyak mengarah kepada sistim pemerintahan parlementer, dapat
disimpulkan bahwa negara tersebut menetapkan sistim pemerintahan quasi
parlementer, tetapi apabila lebih banyak mengarah kepada sistim pemerintahan
parlementer, dapat disimpulkan bahwa negara tersebut menerapkan sistem
pemerintahan quasi parlementer.
Dalam prakteknya, pelaksanaan sistem pemerintahan seperti tersebut di atas
tidak secara murni diterapkan di setiap negara menyangkut sistem
pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Sebagai
contoh, Perancis telah menerapkan sistim parlementer tidak murni, tetapi dapat
juga disebut menerapkan sistim presindensial yang tidak murni. Hal ini
nampak dari mekanisme pemilihan langsung presiden dan parlemennya, tetapi
Kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri bertanggungjawab kepada
Parlemen. Sebaliknya Presiden mempunyai kekuasaan yang besar di bidang
eksekutif dan dapat membubarkan parlemen.
 Macam-macam Sistem Pemerintahan Negara
Tujuan utama adanya sistem pemerintahan untuk kestabilan masyarakat.
Menjaga kestabilan ini cakupannya luas sekali. Antara lain menjaga tingkah
laku kaum minoritas dan mayoritas, menjaga kekuatan politik, ekonomi,
keamanan dan pertahanan. Kalau sudah tercipta suatu kestabilan negara,
maka pembangunan diharapkan bisa berjalan dengan lancar. Pemerintahan
di dalam suatu negara memiliki sistem yang berbeda-beda. Sistem
pemerintahan antara negara yang satu dengan negara yang satunya lagi bisa
jadi akan sama, bisa juga tidak. Semuanya tergantung dari bagaimana situasi
dan kondisi dari negara yang bersangkutan. Ada 6 sistem pemerintahan di
dunia, yaitu :
1) Sistem Pemerintahan Presidensial
Negara republik menganut sistem ini. Sistem yang memilih kekuasaan
eksekutif lewat pemilihan umum. Pada sistem ini rakyatlah yang memilih
siapa presidennya. Nantinya presiden akan menjalankan perannya
sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Memiliki

66
kewenangan memilih dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan.
Presiden juga mendapatkan jaminan konstitusi sehubungan
kewenangannya dalam bidang legislatif. Negara Indonesis menganut
sistem ini.
2) Sistem Pemerintahan Parlementer
Di sistem ini parlemennya memegang peranan yang sangat penting.
Perdana menteri dipilih dan diangkat oleh parlementer. Demikian pula
sebaliknya parlemen bisa memberhentikannya dengan cara memberikan
statement “mosi tidak percaya". Di dalam sistem parlemen dimungkinkan
ada perdana menteri dan presiden namun di sini presiden hanya bertindak
selaku kepala negara. Negara Jepang, Malaysia, Belanda adalah negara-
negara yang memegang sistem ini.
3) Sistem pemerintahan Semi Presidensial
Merupakan gabungan dari sistem Presidensial dan Parlementer. Karena
presidennya dipilih oekh rakyat menjadikannya memiliki kekuasaan yang
luas dan kuat. Bersama-sama dengan perdana menteri presiden
menjalankan kekuasaannya. Yang menganut sistem ini adalah negara
Perancis.
4) Sistem Pemerintahan Komunis
Dalam sistem komunis semua sistem pemerintahan dikendalikan penuh
oleh partai komunis. Partai komunis ini bertindak anti kapitalis.
Kekuasaan akan berlangsung secara penuh, tidak mengakui kepemilikan
akumulasi modal pada individu.
5) Sistem pemerintahan Demokrasi Liberal
Kebebasan individu sangat ditonjolkan dalam sistem ini. Demokrasi
liberal disebut juga dengan demokrasi konstitusional. Individu akan
dilindungi hak-haknya oleh undang-undang atau konstitusi. Apapun
keputusan yang diambil oleh pemerintah jangan sampai melanggar
kebebasan individu. Amerika Serikat dan negara-negara persemakmuran
menjalankan sistem ini.
6) Sistem Pemerintahan Liberal

67
Liberal disini maksudnya bebas. Kebebasan dalam segala hal, persamaan
hak-hak dan berpolitik. Sistem liberal sangat menentang keras adanya
pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah dan agama.
 Sistem Pemerintahan Indonesia
Perkembangan sistem pemerintahan Indonesia dari tahun 1945 hingga
sekarang adalah sebagai berikut :
1) Sistem Pemerintahan Periode 1945-1949
Lama periode : 18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Presidensial
Konstitusi : UUD 1945
Sistem pemerintahan awal yang digunakan oleh Indonesia adalah sistem
pemerintahan presidensial. Namun, seiring datangnya sekutu dan
dicetuskannya Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 November
1945, terjadi pembagian kekuasaan dalam dua badan, yaitu kekuasaan
legislatif dijalankan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan
kekuasaan-kekuasaan lainnya masih tetap dipegang oleh presiden sampai
tanggal 14 November 1945. Berdasarkan Maklumat Pemerintah 14
November 1945 ini, kekuasaan eksekutif yang semula dijalankan oleh
presiden beralih ke tangan menteri sebagai konsekuensi dari dibentuknya
sistem pemerintahan parlementer.
2) Sistem Pemerintahan Periode 1949-1950
Lama periode : 27 Desember 1949 - 15 Agustus 1950
Bentuk Negara : Serikat (Federasi)
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Parlementer Semu (Quasi Parlementer)
Konstitusi : Konstitusi RIS
Adanya Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dengan
delegasi Belanda menghasilkan keputusan pokok bahwa kerajaan
Balanda mengakui kedaulatan Indonesia sepenuhnya tanpa syarat dan

68
tidak dapat dicabut kembali kepada RIS selambat-lambatnya pada
tanggal 30 Desember 1949. Dengan diteteapkannya konstitusi RIS,
sistem pemerintahan yang digunakan adalah parlementer. Namun karena
tidak seluruhnya diterapkan maka Sistem Pemerintahan saat itu disebut
Parlementer semu.
3) Sistem Pemerintahan Periode 1950-1959
Lama periode : 15 Agustus 1950 - 5 Juli 1959
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Parlementer
Konstitusi : UUDS 1950
UUDS 1950 adalah konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia
sejak 17 Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli
1959 Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara
demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi baru
hingga berlarut-larut. Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana
Merdeka. Dikeluarkannya dekrit presiden ini diiringi dengan perubahan
sistem pemerintahan dari parlementer ke presidensial.
4) Sistem Pemerintahan Periode 1959-1966 (Orde Lama)
Lama periode : 5 Juli 1959 - 22 Februari 1966
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Presidensial
Konstitusi : UUD 1945
Dikeluarkannya dekrit Presiden 1959 mengembalikan sistem
pemerintahan Indonesia ke sistem pemerintahan presidensial.
5) Sistem Pemerintahan Periode 1966-1998 (Orde Baru)
Lama periode : 22 Februari 1966 - 21 Mei 1998
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik

69
Sistem Pemerintahan : Presidensial
Konstitusi : UUD 1945
6) Sistem Pemerintahan Periode 1998 – sekarang
Lama periode : 21 Mei 1998 – sekarang
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Presidensial
Dapat kita ketahui dari tulisan diatas bahwa sistem pemerintahan
Indonesia telah melakukan perubahan-perubahan dalam pemberlakuan
sistem pemeirntahannya, sistem pemerintahan Indonesia dapat dijelaskan
secara lebih rinci lagi yaitu sebagai berikut :
1. Sistem Pemerintahan Presidensial Menurut UUD’45
Para bapak pendiri (The Founding Fathers) Republik Indonesia
dalam mempersiapkan Kemerdekaan Republik Indonesia telah
bersepakat untuk mengatur sistem pemerintahan presindensial. Seperti
telah disebutkan di atas, menurut sistem pemerintahan presidensial, di
mana presiden sebagai Kepala Neegara sekaligus menjadi Kepala
Eksekutif. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD’45
bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Tetapi sampai dengan
perubahan karena Presiden dipilih oleh Parlemen (Majelis
Permusyawaratan Rakyat – MPR) dan bukan dipilih secara langsung
oleh rakyat.” Baru setelah perubahan ketiga itu disahkan, untuk
pertama kali Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan dipilih
secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang baru saja
selesai diselenggarakan pada 20 September 2004. Demikian pula
dalam sistem presindensial para Menteri tidak bertanggungjawab
kepada lembaga legislatif, tetapi hanya menjadi pembantu presiden.
UUD 1945 secara tegas mengamanatkan sistem ini. Pada pasal 17
tersurat bahwa :
1) Presiden dibantu oleh Menteri-Menteri negara,

70
2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan,
3) Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan.

Menurut sistem pemerintahan presidensial, atau sering disebut


dengan Fied Eecutive (Eksektif Tetap), seorang presiden tidak dapat
dijatuhkan oleh lembaga parlemen, misalnya dengan cara
impeachment, kecuali apabila presiden melakukan suatu tindakan
yang tercela atau melanggar UUD. Kejadian seperti ini pernah terjadi
ketika Presiden Abdurrahman Wahid dijatuhkan oleh MPR pada tahun
2001. Dalam perkembangannya sistem presindesil yang diterapkan
pada masa awal kemerdekaan itu, ternyata tidak berlangsung lama.
Mulai bulan November 1945, berdasarkan Maklumat Wakil Presiden
No.X, tanggal 16 Oktober 1945, pengumuman.

Badan pekerja tanggal 11 November 1945 dan Maklumat


Pemerintah tanggal 14 November 1945, tangggung jawab politik
terletak di tangan para Menteri. Hal ini merupakan awal dari suatu
sistem parlementer yang praktis dipertahankan sampai tahun 1959,
ketika UUD’45 dinyatakan berlaku kembali melalui Dekrit Presiden.

Pada periode akhir 1945 sampai 1949, sistem parlementer yang


ingin diberlakukan telah tiga kali diusahakan untuk disisihkan. Usaha
pertama dengan dikeluarkannya Maklumat Presiden, sehingga
mengambil alih kekuasaan mulai dari tanggal 28 Juni sampai 2
Oktober 1946 dengan alasan untuk mengatasi keadaan darurat yang
diakibatkan oleh penculikan terhadap beberapa anggota kabinet oleh
Persatuan Perjuangan, karena tidak menyetujui perundingan dengan
pihak Belanda. Usaha pengambil alihan kedua adalah dengan
dikeluarkannya Maklumat Presiden, presiden mengambil alih
kekuasaan dari tanggal 27 Juni sampai 3 Juli 1947, untuk mengatasi
keadaan darurat yang timbul sebagai akibat dari penandatanganan
Linggarjati. Pengambilan kekuasaan kali ini hanya berlangsung satu
minggu, dalam masa mana kabinet Syahrir mengundurkan diri dan

71
kabinet Amir Syarifudin dibentuk. Kemudian usaha ketiga terjadi,
ketika dengan suatu undang-undang badan legislatif (yaitu Badan
Pekerja yang bertindak atas nama Komite Nasional) memberikan
kekuasaan penuh (plein pouvoir) kepada Presiden selama tiga bulan
mulai tanggal 15 September 1948, Pemberian kekuasaan penuh
presiden ini dimaksud untuk mengatasi pemberontakan PKI di
Madiun.

2. Sistem Pemerintahan Menurut UUD RIS


Sejak Gubernur Jenderal Dr. Van Mook dikirim ke Indonesia,
ditugasi untuk memporakporandakan keutuhan persatuan dan kesatuan
wilayah Republik Indonesia yang baru merdeka. Dengan
pertimbangkan bahwa korban peperangan yang terus berjatuhan harus
dihentikan, para bapak pendiri Republik Indonesia akhirnya
menyetujui untuk mengadakan berbagai perundingan dengan pihak
Belanda. Di antaranya terjadi Perundingan Linggarjati yang
menghasilkan Perjanjian Linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947,
Perjanjian Renville tanggal 8 Desember 1947, dan Konferensi Meja
Bundar tanggal 23 Agustus 1949. Puncaknya Belanda mengakui
kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949
dengan syarat Republik Indonesia harus berbentuk Serikat (federal),
dan Negara Republik Indonesia hanya sebagai salah satu negara
bagian bersama-sama dengan Negara Indonesia Timur (1946),
Negara Pasundan (termasuk distrik federal Jakarta), Negara Jawa
Timur (16 November 1948), Negara Madura (23 Januari 1948),
Negara Sumatera Timur (24 Maret 1948), dan Negara Sumatra
Selatan. Sedangkan yang masih dalam persiapan adalah Negara
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Dayak Besar, Banjar,
Kalimatan Tenggara, Bangka, Belitung, Riau dan Jawa Tengah.
Sistem pemerintahan parlementer dapat dilihat dari bunyi pasal 118
yang menyatakan bahwa:
1) Presiden tidak dapat diganggu gugat dan,

72
2) Menteri-menteri (Kabinet) bertanggungjawab atas seluruh
kebijaksanaan Pemerintahan, baik bersama-sama untuk seluruhnya,
maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri dalam hal itu.

Jadi dalam sistem ini nampak bahwa tanggung jawab kebijakan


pemerintah berada di tangan Menteri. Namun demikian, sistem
pemerintahan yang berlaku pada masa berlakunya Konsitusi RIS ini
adalah sistem pemerintahan Parlementer yang tidak murni. Hal ini
nampak pada apa yang dinyatakan dalam pasal 122 bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang ditunjuk menurut pasal 109 dan 110
tidak dapat memaksa Kabinet atau masing-masing Menteri
meletakkan jabatannya. Ketentuan ini menunjukkan bahwa
pertanggungjawaban dalam pasal 118 tidak ada artinya atau disebut
pertanggungjawaban tanpa sanksi dan dalam teori hukum tata negara
disebut pertanggungjawaban dalam arti sempit.

3. Sistim Pemerintahan Menurut UUDS Tahun 1950


Terdesak oleh pergolakan-pergolakan yang semakin menghebat di
daerah-daerah, Pemerintahan RIS akhirnya menetapkan Undang-
Undang Darurat No.11 pada tanggal 8 Maret 1950, Lembaga Negara
(LN) 1950/16 tentang cara perubahan susunan kenegaraan wilayah
RIS. Kemudian pada tanggal 19 Mei 1950 ditandatanganilah Piagam
Persetujuan Pemerintah RIS dan Pemerintahan RI yang menetapkan
antara lain bahwa UUD NKRI dibuat dengan mengubah Konstitusi
RIS sedemikian rupa, sehingga esensi UUD 1945 (pasal-pasal
27,29,33) ditambah dengan bagian-bagian yang baik dari Konstitusi
RIS. Maka terbentuklah UUD Sementara (UUDS), dan berdasarkan
pada UU tersebut, pada tanggal 17 Agustus 1950 secara resmi
Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara menghadapi berbagai permasalahan kedaerahan,
pemerintahan Indonesia melangkah setahap dengan melaksanakan
pemilihan umum untuk pertama kalinya pada tahun 1955, untuk

73
memilih anggota DPR atau anggota Dewan Konstituante baru.
Melihat keadaan negara yang semakin tidak menentu, pemerintah
mengusulkan kepada Dewan Konstituante untuk kembali kepada
UUD 1945.
Namun setelah melakukan proses pemungutan suara berulang kali,
Dewan Konstituante tetap masih tidak berhasil memperoleh suatu
keputusan dan bahkan sebagai anggota Konstituante ada yang
menyatakan diri tidak mau menghadiri sidang-sidang paripurna lagi.
Keadaan tersebut mengakibatkan semakin renggangnya hubungan
antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, terutama ketika
lembaga eksekutif menganggap Dewan Konstituante tidak dapat
menyelesaikan tugas penting, yaitu pemungutan suara untuk
menentukan “Apakah Dewan Konstituante sepakat untuk kembali ke
UU 1945 atau tidak .” Oleh karenanya pada tanggal 5 Juli 1959,
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 150
Tentang Dekrit Presiden yang menyatakan:
1) Pembubaran Dewan Konstituante,
2) Berlakunya kembali UUD 1945
3) Tidak berlakunya UUDS
4) Membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)
5) Membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Peristiwa ini selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

4. Sistem Pemerintahan Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959


Sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia setelah
berlakunya kembali UUD 1945 dapat disimak melalui ketentuan yang
ada pada pasal-pasal UUD tersebut. Tetapi yang jelas UUD 1945 tidak
menganut sistem pemerintahan parlementer. Dalam penjelasan UUD
ini, dinyatakan bahwa Dewan tidak dapat dibubarkan oleh Presiden.
Kemudian kita pahami bahwa Presiden RI adalah Kepala
Pemerintahan dan tidak boleh merangkap menjadi anggota DPR dan

74
Mahkamah Agung apalagi menjadi menjadi Pimpinan MPR.
Demikian pula ada ketentuan yang menyebutkan bahwa Presiden tidak
bertanggungjawab kepada DPR dan menyebutkan bahwa Menteri-
Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Dalam penjelasan
UUD 1945 dinyatakan bahwa sistem pemerintahan Indonesia meliputi
tujuh kunci pokok, yaitu:
1) Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum.
2) Sistim Konstitusianal.
3) Kekuasaan Negara yang tertinggi berada di tangan Majelis
Permusyawaran Rakyat.
4) Presiden adalah Penyelenggara Pemerintah Negara Tertinggi di
bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
5) Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR.
6) Menteri negara adalah pembantu presiden, Menteri Negara tidak
bertanggungjawab kepada DPR.
7) Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Suatu DPR tidak dapat didiamkan saja oleh Presiden, karena


kedudukan DPR adalah kuat. DPR tidak dapat dibubarkan oleh
Presiden. Apabila melalui pelaksanaan fungsi tersebut di atas DPR
menganggap Presiden melanggar GBHN, maka DPR dapat
menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden. Apabila
memorandum tersebut tidak dihiraukan, maka DPR menyapaikan
memorandum ke dua. Apabila inipun tetap tidak diindahkan, maka
Dewan akan meminta Majelis mengadakan Sidang Istimewa untuk
meminta pertanggungjawaban Presiden. Apabila menganggap
Presiden sungguh-sungguh melanggar GBHN, dapat memberhentikan
Presiden, meskipun belum habis masa tugasnya. Di sini nampak
meskipun sistem presidensial yang diterapkan, peran dan fungsi DPR
masih cukup kuat terutama dalam mengontrol Presiden.

5. Sistem Pemerintahan Menurut UUD’45 yang Diamandemen

75
Dalam UUD 1945, MPR dikenal sebagai Lembaga tertinggi
Negara, sebuah lembaga yang jauh lebih power-full ketimbang
lembaga tinggi negara lainnya. Setelah Amandemen UUD 1945, MPR
menjadi lembaga yang sejajar dengan lembaga negara lainnya. Setelah
Amandemen UUD 1945, MPR menjadi lembaga negara lainnya.
Kewenangan MPR pun kemudian diatur lebih terperinci. Apabila
dalam UUD 1945, Pasal 3 disebutkan secara singkat bahwa MPR
mempunyai kewenangan menetapkan UUD dan Garis-garis Besar
daripada Haluan Negara (GBHN), maka pada Amandemen Ketiga dan
Keempat dirumuskan secara rinci kewenangannya.
Pertama, adalah MPR berwenang mengubah dan atau Wakil
Presiden. Kedua, MPR melantik Presiden dan atau Wakil Presiden.
Ketiga, MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Sementara itu,
konstruksi keanggotaan MPR diubah pada Amandemen Keempat
UUD 1945. MPR yang sebelumnya terdiri atas anggota DPR ditambah
utusan daerah dan golongan, kemudian diubah menjadi terdiri atas
anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui Pemilihan
Umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang [perubahan
pasal 2 ayat (1)]. Tugas dari DPD disebut dalam Amandemen kedua
UUD 1945, pasal 22D, yaitu:
1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lainnya, dan yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2) DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-
undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan dan agama serta

76
menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai
bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

MPR Pemilu 2004 terdiri dari 550 DPR dan 128 DPD. Berarti,
keseluruhannya berjumlah 678 orang. Jumlah anggota MPR periode
2009-2004 adalah 692 orang yang terdiri atas 560 anggota DPR dan
132 anggota DPD. Dalam perjalanannya DPD merasa bahwa
peranannya dalam proses pembuatan undang-undang atau mengubah
undang-undang dirasa tidak atau kurang kuat. Untuk itu ada usulan
agar peran dan fungsi DPD itu terutama yang tersurat dalam pasal
22D UUD’45 itu perlu diubah atau diamandemen, karena masih jauh
dari cerminan tuntutan rakyat.

Prof. Sofian Effendi, mantan Rektor Universitas Gajah Mada dan


Guru Besar Kebijakan Publik, dalam artikelnya yang dimuat di Harian
Kompas, tanggal 29 September 2004, berjudul “Pemerintahan Kita
Semi-Presidensial”. Mengemukakan bahwa sejak MPR mengesahkan
amandemen ketiga dan keempat UUD 1945 pada tanggal 9 November
2001 dan 10 Agustus 2002, maka sistem pemerintahan negara
Indonesia-pun berubah menjadi sistem pemerintahan presidensial.
Perubahan itu ditetapkan dengan Pasal 1 Ayat (2) UUD baru. MPR
bukan lagi merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat dan bukan
focus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi. Pasal
6A Ayat (1) menetapkan, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam
satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal itu
menunjukkan karakteristik sistem presidensial yang jelas berbeda dari
staats fundamental norm (kaidah dasar penyusunan sistem
pemerintahan negara) yang tercantum dalam Pembukaan dan
diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945.

Sofian Effendi mempertanyakan tentang sistem pemerintahan yang


sedang kita anut sekarang ini. Dikatakan bahwa apakah amandemen
Pasal 1 Ayat (2) dan Pasal 6A yang merupakan kaidah dasar baru

77
sistem pemerintahan negara Indonesia akan membawa bangsa ini
semakin dekat dengan cita-cita para perumusan konstitusi, suatu
pemerintahan konstitusional yang demokratis, stabil, dan efektif untuk
mencapai tujuan negara? Apakah sistem pemerintahan presidensial
lebih menjamin kelangsungan kehidupan bernegara bangsa Indonesia.
Bila dipelajari secara mendalam, notulen lengkap rapat-rapat BPUKI
sekitar 11-15 Juli 1945 dan PPKI pada 18 Agustus 1945 yang ada
pada Arsip AG Pringgodigdo dan Arsip AK Pringgodigdo (Arsip AG-
AK-P), kita dapat menyelami kedalam pandangan para Bapak Pendiri
NKRI (The founding fathers) tentang sistem pemerintahan negara.
Arsip yang selama hampir 56 tahun hilang itu, baru-baru ini diungkap
kembali oleh RM Ananda B. Kusuma, dosen Sejara Ketatanegaraan
Fakultas Hukum UI, dalam sebuah monograf berjudul “Lahirnya
Undang-Undang Dasar 1945”. Terbitan Fakultas Hukum UI (2004).
Kumpulan notulen otenik itu memberi gambaran bagaimana
sebenarnya sistem pemerintahan demokratis yang dicita-citakan para
perancang Konstitusi Indonesia.

Pada rapat Panitia Hukum Dasar, bentukan BPUPKI, 11 Juli 1945,


dicapai kesepakatan, Republik Indonesia tidak akan menggunakan
sistem parlementer seperti di Inggris karena merupakan penerapan
dari pandangan individualis. Sistem itu dipandang tidak mengenal
pemisahan kekuasaan secara tegas. Antara cabang legislatif dan
eksekutif dan fusion of power kerana kekuasaan eksekutif sebenarnya
adalah “bagian” kekuasaan legislatif. Perdana Menteri dan para
menteri sebagai kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.
Sebaliknya, sistem presidensial dipandang tidak cocok untuk
Indonesia yang baru merdeka karena sistem itu mempunyai tiga
kelemahan.

Pertama, sistem presidensial mengandung risiko konflik


berkepanjangan antara legislatif-eksekutif. Kedua, amat kaku karena

78
presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya berakhir.
Ketiga, cara pemilihan winner takes all seperti dipraktekkan di
Amerika Serikat bertentangan dengan semangat demokrasi.

Susunan pemerintahan negara yang mewujudkan kedaulatan rakyat


pada suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam pandangan Bung
Karno adalah satu-satunya sistem yang dapat menjamin terlaksananya
politiek economische democratie yang maupun mendatangkan
kesejahteraan sosial. Berbeda dengan pemikiran BPUPKI dan PPKI
sebagai perancang konstitusi, para perumusan amandemen UUD
1945, Karena tidak menggunakan sumber-sumber otentik, serta merta
menetapkan pemerintahan negara Indonesia sebagai sistem
presindelsil. Padahal, pilihan the founding fathers tidak dilakukan
secara gegabah, tetapi didukung secara empiris oleh penelitian Riggs
di 76 negara dunia ketiga yang menyimpulkan, pelaksanaan sistem
presidensial sering gagal karena konflik eksekutif-legislatif kemudian
berkembang menjadi constitutional deadlock. Karena itu, sistim
presiden kurang dianjurkan untuk negara baru.

Mungkin penjelasan Prof. Dr. Soepomo pada rapat PPKI 18


Agustus 1945, beberapa saat sebelum UUD 1945 disahkan, dapat
memberi gambaran tentang sistem pemerintahan khas Indonesia yang
dirumuskan para perancang konstitusi. “Pokok pikiran untuk Undang-
Undang Dasar, untuk susunan Negara ialah begini, Kedaulatan negara
ada di tangan rakyat, sebagai penjelmaan rakyat, di dalam suatu badan
yang dinamakan di sini Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memegang kedaulatan rakyat
itulah yang menetapkan Undang-Undang Dasar, dan Majelis
Permusyawaratan itu yang mengangkat presiden tidak mempunyai
politik sendiri, tetapi mesti menjalankan haluan negara yang telah
ditetapkan, diperintahkan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Di
samping presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat, badan yang

79
bersama-sama dengan presiden, bersetujuan dengan presiden,
membentuk Undang-Undang, jadi suatu badan legislatif…”

Demikian pokok-pokok pikiran para perancang UUD 1945 tentang


susunan pemerintahan negara yang dipandang mampu mengatasi
ancaman dictatorial partai pada sistem parlementer atau bahaya
political paralysis pada sistem presidensial, bila presiden terpilih tidak
didukung partai mayoritas yang menguasai DPR. Para penyusun
konstitusi menamakannya “Sistem Sendiri”. Ahli politik
menamakannya sistim semi-presidensial.

8. Sistem Pemerintahan Menurut Kekuasaan


Di atas telah diutarakan bahwa Undang-undang Dasar 1945 tidak menganut
sistem pemisahan kekuasaan (Trias Politica) sebagaimana diajarkan oleh
Montesquieu, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan karena :
1) Undang-Undang Dasar 1945 tidak membatasi secara tajam, bahwa setiap
kekuasaan itu harus dilakukan oleh satu organ/badan tertentu yang tidak
boleh saling campur tangan.
2) Undang-Undang Dasar 1945 tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas tiga
bagian saja dan juga tidak membatasi pembagian kekuasaan dilakukan oleh
tiga organ/badan saja.
3) Undang-Undang Dasar 1945 tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang
dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, pasal 1 Ayat (2), kepada
lembaga-lembaga negara lainnya.
Lembaga-Lembaga Negara :
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
MPR tugas wewenangnya adalah mengubah dan menetapkan UUD 1945,
disamping itu wewenang dan tugas lainnya adalah melantik Presiden dan
Wakil presiden berdasar hasil pemilu.
2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

80
DPR adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. DPR terdiri atas
anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui
pemilihan umum. DPR dianggap sebagai salah satu lembaga yang paling
korup di Indonesia.
3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Sebelum 2004 disebut Utusan Daerah, adalah lembaga tinggi negara dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia yang anggotanya merupakan perwakilan
dari setiap provinsi yang dipilih melalui Pemilihan Umum.
DPD memiliki fungsi:
a. Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan
yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu
b. Pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang tertentu.
4) Presiden dan Wakil Presiden
Sebagai konekuensi dari sistem pemerintahan Indonesia yang menganut
presidensiil, maka presiden memiliki dua kekuasaan sekaligus yaitu sebagai
kepala pemerintahan (eksekutif) dan sebagai kepala negara.
Wewenang, kewajiban, dan hak Presiden antara lain:
a. Sebagai kepala pemerintahan (UUD 1945 pasal 4 ayat 1)
b. Mengangkat menteri
5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
BPK adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara. Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang
bebas dan mandiri. Anggota BPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, dan
diresmikan oleh Presiden. Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan
kepada DPR, DPD, dan DPRD.
6) Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman

81
bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh
cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang
MA adalah:
a. Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh Undang-Undang
b. Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
c. Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberikan grasi dan
rehabilitasi.
7) Komisis Yudisial (KY)
Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU No.
22 tahun 2004 yang berfungsi mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan
nama calon hakim agung. Komisi Yudisial berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Tugas
Komisi Yudisial Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung, dengan tugas
utama:
a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung
b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung
c. Menetapkan calon Hakim Agung
d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR
e. Menjaga dan Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat Serta
Perilaku Hakim.
8) Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman
bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945
menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

82
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga
peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-
perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD
1945.
9) Bank Sentral
Bank Sentral Indonesia adalah Bank Indonesia (BI), yang merupakan
lembaga negara independent, bebas dari campur tangan pemerintah dan
pihak lain dalam menjalankan tugasnya. Tujuan Bank Sentral adalah
mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah. BI memiliki wewenang :
a. Menetapkan sasaran moneter dengan memperhatikan laju inflasi
b. Melakukan pengendalian moneter
c. Melaksanakan kebijakan nilai tukar
d. Mengelola cadangan devisa
10) Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Lembaga ini berfungsi sebagai penyelenggara pemilihan umum, bersifat
nasional, tetap, dan mandiri. Terdiri dari KPU pusat, KPU provinsi, dan
KPU kota. Anggota KPU pusat sebanyak 7 orang, KPU provinsi 5 orang,
dan KPU kabupaten juga 5 orang. Masa jabatan KPU semua jenjang 5 tahun
terhitung sejak mengucapkan sumpah atau janji.
11) Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah daerah-daerah
provinsi. Daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan daerah kota.
Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dalam undang-undang. Jadi Pemerintahan
daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah yang dilakukan oleh
pemerintah daerahdan DPRDmenurut asa otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI
sebagai yang dimaksud dalam UUD 1945. Pemerintahan Daerah Provinsi

83
terdiri atas Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi, dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota terdiri atas Pemerintah Daerah
kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. Pimpinan pemerintah daerah
provinsi adalah gubernur, kabupaten bupati, dan kota adalah wali kota.
12) Sistem Pemilihan Umum di Indonesia
Pemilu di Indonesia sejak pertama kali diadakan pada tahun 1995 adalah
untuk memilih anggota legislatif untuk memilih anggota legislatif, yang
sekarang disebut pemilu legislatif untuk memilih anggota DPR,DPD, dan
DPRD, baik DPRD provinsi kabupaten maupun kota. Sejak tahun 2004
pemilu dilakukan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan beberapa
tahun kemudian pemilu juga untuk memilih Gubernur, Bupati, dan wakil
walikota. Pemilu inilah kemudian disebut dengan pemilu eksekutif. Tahapan
Penyelenggara pemilu legislatif sebagaimana diatur UU. No. 10 Tahun 2008
meliputi :
a. Pemuthakiran data dan penyusunan daftar pemilih
b. Pendaftaran peserta pemilu
c. Penetapan peserta pemilu
d. Penetapan jumlah kursi dan daerah pemilihan
e. Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi atau daerah
f. Masa kampanye
g. Masa tenang
h. Pemungutan dan penghitungan suara
i. Penetapan hasil pemilu
j. Pengucapan janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi atau daerah

84
Resume Mata Kuliah Hukum Tata Negara Pertemuan ke 7

(Sabtu, 20 April 2019)

“Asas-Asas Kewarganegaraan”

1. Asas Ius Soli dan Ius Sanguinis


Untuk berdirinya suatu negara yang merdeka harus dipenuh beberapa
syarat yaitu, harus ada wilayah tertentu, ada rakyat yang tetap dan
pemerintahan yang berdaulat. Ketiga syarat ini merupakan suatu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Tanpa adanya wilayah tertentu adalah tidak
mungkin untuk mendirikan suatu negara dan begitu pula adalah mustahil
untuk menyebutkan adanya suatu negara tanpa rakyat yang tetap. Walaupun
kedua syarat ini wilayah dan rakyat telah dipenuhi, namun apabila
pemerintahannya bukan pemerintahan yang berdaulat yang bersifat
nasional, belumlah dapat dinamakan negara itu negara yang merdeka.
Hindia Belanda dahulu memenuhi kedua syarat yang pertama wilayah dan
rakyat tetapi karena Pemerintahan Hindia Belanda adalah pemerintahan
jajahan yang tunduk kepada Pemerintah di Negeri Belanda, maka Hindia
Belanda bukanlah negara yang merdeka.
Rakyat yang menetap di suatu wwilayah tertentu, dalam hubunganya
dengan negara disebut warga negara. Warga negara itu mempunyai
kewajiban-kewajiban terhadap Negara dan sekaligus juga mempunyai hak-
hak yang wajib diberikan dan dilingdungi oleh negara.
Karena hubungannya dengan dunia internasional, maka dalam setiap
wilayah negara selalu ada warga negara dan orang asing, yang kesemuanya
disebut penduduk. Jadi setiap warga negara adalah penduduk adalah warga
negara, karena mungkin dia adalah orang asing. Kalau demikian maka
penduduk suatu negara dapat dibagi dua yaitu warga negara dan orang
asing. Keduanya berbeda dalam hubungannya dengan negara. Setiap warga
negara mempunyai hubungan yangbtidak terputus, walaupun warga negara
yang bersangkutan telah berdomisili di luar negeri, selama dia tidak

85
memutuskan kewarganegaraannya. Sebaliknya seorang asing hanya
mempunyai hubungan selama dia bertempat tinggal di wilayah negara
tersebut. Karena itu adalah menjadi kewajiban dari Negara untuk
melindungi kepentingan setiap penduduk di negaranya. Dalam ilmu
pengetahuan terdapat 2 asas yang utama, yaitu asas ius soli dan asas ius
sanguinis.
Ius soli atau asas daerah kelahiran adalah bahwa kewarganegaraan
seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya. Seseorang adalah warga
negara dari Negara B, karena dia dilahirkan di Negara B tersebut. Dan asas
ius sanguinis atau asas keturunan adalah menentukan bahwa
kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh keturunan dari orang yang
bersangkutan. Seseorangan adalah warga Negara A, karena orang tuanya
adalah warga negara.
2. Bipatride dan Apatride
Menurut istilah Prof. Gouw Giok Siong seolah-olah terjadi
”pertentangan” sebab kemungkinan terjadi bahwa negara A menganut asas
ius soli sedangkan negara B menganut asas ius sanguinis, atau sebaliknya.
Hal tersebut akan menimbulkan bipatride (dwi kewarganegaraan) atau
apatride (tanpa kewarganegaraan) apabila terjadi pemigrasian antara kedua
negara tersebut. Bipatride (dwi kewarganegaraan) timbul apabila menurut
peraturan-peraturan aturan tentang kewarganegaraan dari berbagai negara,
seseorang dianggap sebagai warga negara oleh negara-negara yang
bersangkutan. Umpamanya A dan B adalah suami isteri yang
berkewarganegaraan X dan menganut asas ius soli. Kemudian lahirlah C.
Menurut negara C. C Adalah negaranya, sebab orang tuanya A dan B adalah
warga negara X. Menurut negara Z. C adalah warga negaranya, sebab C
lahir di wilayahnya. Dengan demikian C mempunyai dua kewarganegaraan
atau bipatride (dwi kewarganegaraan). Sebaliknya apatride (tanpa
kewarganegaraan) timbul karena menurut peraturan-peraturan tentang
kewarganegaraan, seseorang tidak dianggap sebagai warga negara. Keadaan
ini dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut : A dan B suami istri

86
adalah warga negara X yang menganut asas ius soli. A dan B berdomisili di
Z yang menganut asas ius sangunis. Tidak lama kemudian A dan B
melahirkan anak C. Menurut negara X. C bukanlah warga negaranya sebab
Z, C bukanlah warga negaranya sebab orang tuanya C bukan
berkewarganegaraann Z. Akibatnya C tidak mempunyai kewarganegaraan
atau apatride.
Baik bipatride maupun apatride adalah keadaan yang tidak disenangi oleh
negara di mana orang tersebut berada, bahkan bagi yang bersangkutan.
Keadaan bipatride membawa ketidak pastian dalam status seseorang,
sehingga dapat saja merugikan negara tertentu. Sebaliknya keadaan apatride
membawa akibat bahwa ornag tersebut tidak akan mendapat perlindungan
dari negara manapun juga.
3. Sejarah Kewarganegaraan Republik Indonesia
Pada waktu Repbulik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus 1945, Negara Republik Indonesia belum mempunyai Undang-
Undang Dasar. Sehari kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengesahkan Undang-Undang Dasar
1945 . Mengenai soal kewarganegaraan Undang-Undang Dasar 1945 dalam
pasal 26 ayat (1) menentukan bahwa ’’Yang menjadi warga negara ialah
orang-orang Bangsa Indonesia aseli dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara,” sedangkan ayat
(2) nya menyebutkan bahwa ’’Syarat-syarat yang mengenai
kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang-Undang”.
Perumusan yang demikian didasarkan pada pertimbangan bahwa
memang seharusnyalah bangsa Indonesia asli yang menjadi warga negara
Indonesia, namun bagi mereka keturunan asing dapat pula menjadi warga
negara dengan akan diatur dalam Undang-Undang. Sebab adalah tidak lazim
masalah kewarganegaraan diatur dalam Undang-Undang Dasar. Dan pada
waktu penyusunan Undang-Undang Dasar telah dijelaskan bahwa hal
tersebut lebih baik diatur dalam Undang-undang biasa. Karena itu bagi
mereka yang tergolong dalam keturunan asing tetap dibuka kemungkinan

87
untuk menjadi warga negara Indonesia, selama mereka mengakui Indonesia
sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia,
demikian penjelasan pasal 26 tersebut.
Sebagai pelaksanaan dari pasal 26 tersebut, maka pada tanggal 10 April
1946 diundangkan Undang-Undang no. 3 tahun 1946. Undang-Undang ini
kemudian beberapa kali mengalami perubahan dengan Undang-Undang no.
6 dan no. 8 tahun 1947. Kalau diperhatikan Undang-Undang tersebut akan
ternyata, bahwa asas kewarganegaraan yang dianut adalah asas ius soli. Ini
dapat dilihat dari rumusan pasal 1 huruf a, warga negara Indonesia ialah
orang yang asli dalam daerah Negara Indonesia. Istilah ’’dalam daerah
Negara Indonesia” menunjukkan pemakaian asas ius soli. Begitu pula dalam
huruf b dinyatakan, bahwa orang peranakan yang lahir dan bertempat
tinggal di Indonesia paling sedikit untuk lima tahun terakhir dan berturut-
turut serta berumur 21 tahun adalah warga negara Indonesia, kecuali kalau
ia menyatakan keberatan menjadi warga negara Indonesia. Perkataan ’’lahir
dan bertempat tinggal di Indonesia” ini menunjukkan, bahwa asas ius soli
yang dipakai. Latar belakang dari pemakaian asas ius soli ini disebabkan
kenyataan, bahwa sejak dahulu sudah banyak peranakan bangsa lain yang
telah bertempat tinggal di Indonesia. Jadi selama mereka menyatakan
kesetiaannya kepada Negara Indonesia dan mengakui Indonesia sebagai
tanah airnya, maka mereka dapat menjadi warga negara Indonesia (hak
repudiasi). Dalam hal ini golongan peranakan secara keseluruhan
dinyatakan terlebih dahulu warga negara tentu saja yang memenuhi syarat-
syarat Indonesia, namun kepada mereka diberikan hak untuk menolak. Di
sini pemilihan kewarganegaraan itu dilakukan secara pasif, karena
kewarganegaraan Indonesia itu dengan sendirinya diperr oleh apabila tidak
mengajukan pernyataan untuk menolak.
Pernyataan yang dimaksud di atas harus sudah disampaikan kepada
Menteri Kehakiman paling lambat dalam waktu satu tahun sejak berlakunya
Undang-Undang no. 3 tahun 1946 tersebut. Karena terlalu sedikit orang
yang mengajukan pernyataan tersebut, maka oleh Undang-Undang no. 8

88
tahun 1947 diberikan perpanjangan waktu sampai tanggal 10 April 1948.
Hal ini sebenarnya dapat dimengerti karena Republik Indonesia pada waktu
itu masih dalam peperangan dengan Belanda yang ingin kembali menjajah
Indonesia. Keadaan ini berjalan terus sampai terbentuknya Negara Republik
Indonesia Serikat.
Setelah terbentuknya Republik Indonesia Serikat, maka pembuat
Undang-Undang Dasar 1949 juga menyadari, bahwa adalah tidak mungkin
untuk mengatur masalah kewarganegaraan dalam Undang-Undang Dasar.
Karena itu pasal 5 dari Undang-Undang Dasar 1949 menentukan, bahwa
kewarganegaraan Republik Indonesia Serikat diatur dengan Undang-
Undang. Menyadari pula, bahwa adalah tidak mungkin membuat Undang-
Undang dalam waktu yang singkat, maka pasal 194 Undang-Undang Dasar
1949 menentukan, bahwa sambil menunggu Undang-Undang sebagai yang
dimaksud oleh pasal 5 tersebut, maka yang sudah menjadi warga negara
Republik Indonesia Serikat adalah orang-orang yang menurut persetujuan
Prihal Pembagian Warga Negara antara Republik Indonesia dan Kerajaan
Belanda, mempunyai kewarganegaraan Indonesia.
Persetujuan Perihal Pembagian Warga Negara tersebut adalah sebagian
dari hasil Konperensi Meja Bundar antara Kerajaan Belanda dan Republik
Indonesia Serikat. Ada tiga hal yang penting dalam persetujuan tersebut.
1) Orang Belanda yang tetap memegang teguh kewarganegaraan Belanda.
Tetapi terhadap turunannya yang lahir atau bertempat tinggal di
Indonesia sekurang-kurangnya enam bulan sebelum tanggal 27 Desember
1949, dalam waktu dua tahun setelah penyerahan kedaulatan dapat
menyatakan memilih kewarganegaraan Indonesia. Di sini keturunan
Belanda itu diberi kesempatan untuk memilih kewarganegaraan
Indonesia, dan ini dinamakan hak opsi (hak untuk memilih
kewarganegaraan). Dan pemilihan kewarganegaraan di sini disebut
tindakan aktif, sebagai lawan dari tindakan pasif dalam hak repudiasi.
2) Orang-orang yang tergolong sebagai kawulanegara Belanda dari
golongan Indonesia asli, yang berada di Indonesia memperoleh

89
kewarganegaraan Indonesia, kecuali mereka yang bertempat tinggal di
Suriname atau Antillen Belanda dan dilahirkan di wilayah Kerajaan
Belanda, yang kemudian juga dapat memilih kewarganegaraan Indonesia.
3) Orang-orang yang menganut sistem hukum Hindia Belanda dulu
termasuk golongan Timur Asing, Kawulanegara Belanda keturunan asing
yang bukan berstatus orang Belanda, yaitu dikenal dengan golongan
Arab dan Cina, maka terhadap mereka terdapat dua kemungkinan yaitu
jika bertempat tinggal di Belanda, mereka tetap berkewarganegaraan
Belanda. Mereka yang dinyatakan sebagai warga negara Indonesia, dapat
menyatakan penolakannya dalam waktu dua tahun.

Dari uraian di muka jelaslah, bahwa untuk menentukan siapa yang


menjadi warga negara Indonesia, Persetujuan Perihal Pembagian Warga
Negara tersebut menganut azas ius soli, karena baik bagi orang Indonesia
asli, Arab, Cina dan keturunan Belanda yang menjadi Warganegara
Indonesia ditentukan pertama, bahwa mereka tersebut lahir atau telah
bertempat tinggal untuk waktu tertentu di Indonesia.

Apabila diperhatikan isi Undang-Undang no. 3 tahun 1946 dan


Persetujuan Perihal Pembagian Warga Negara akan ternyata, bahwa terdapat
ketidak tegasan dari dalam peranakan Belanda. Arab dan Cina, berdasarkan
Undang-Undang no. 3 tahun 1946 telah menjadi warga negara Indonesia
dengan tidak mengajukan penolakan seperti diharuskan, sekarang oleh
Persetujuan Perihal Pembagian Warga Negara, mereka belum dianggap
sebagai warga negara Indonesia sampai mereka mengadakan pilihan.

Untunglah ketidak tegasan ini hanya berjalan selama kurang lebih enam
bulan dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1950 sama dengan dua
Undang-Undang Dasar sebelumnya menyadari akan lebih baik masalah
kewarganegaraan ini diatur dengan Undang-Undang saja. Karena itu dalam
pasal 5 ayat (l) ditentukan bahwa kewarganegaraan Repbulik Indonesia
diatur dengan Undang-undang. Dan sementara badan legislatif menyusun

90
Undang-Undang dimaksud, maka oleh ketentuan peralihan pasal 144
ditentukan, bahwa yang dimaksud atau yang sudah menjadi warga negara
Republik Indonesia ialah mereka yang berdasarkan Undang-Undang no. 3
tahun 1946 dan Persetujuan Perihal Pembagian Warga Negara, sudah
menjadi warga negara Indonesia.
Walaupun oleh Persetujuan Perihal Pembagian Warga Negara telah
diberikan kesempatan kepada khususnya golongan Cina untuk memilih
warga negara Indonesia, tidaklah berarti, bahwa mereka telah sepenuhnya
berkewarganegaraan Indonesia, karena Undang-Undang kewarganegaraan
Republik Rakyat Cina pada waktu itu menganut asas ius sanguinis. Dan
seperti telah dijelaskan di atas, baik Undang-Undang no. 3 tahun 1946
maupun Persetujuan Perihal Pembagian Warga Negara menganut asas ius
soli. Menujrut Penjelasan di muka bahwa apabila terjadi dua asas yang
bertentangan ini akan menimbulkan bipatride (dwi kewarganegaraan). Dan
memang pada waktu itu banyak terjadi dwi kewarganegaraan atas golongan
Cina.
Seperti telah dijelaskan di muka, bahwa satu-satunya usaha untuk
memperoleh pemecahan adalah mengadakan perjanjian antara negara yang
bersangkutan. Dan untuk itu telah ditandai-tangani perjanjian Sonario-Chou
pada tanggal 22 April 1955. Dalam perjanjian itu ditentukan bahwa kepada
semua orang Cina diwajibkan untuk melakukan pilihan dengan tegas dan
secara tertulis, apakah akan tetap menjadi warga negara Republik Indonesia.
Kesempatan untuk memilih itu dalam waktu dua tahun setelah perjanjian itu
berlaku. Perjanjian ini kemudian menjadi Undang-Undang no. 2 tahun 1958.
Oleh Pemerintah Orde Baru perjanjian ini kemudian dicabut dengan
Undang-Undang no. 4 tahun 1969 tanggal 10 April 1969. Dalam pasal-pasal
2, 3 dan 4 Undang-Undang tersebut ditentukan bahwa bagi mereka yang
menurut perjanjian dwi kewarganegaraan tersebut telah menjadi warga
negara Indonesia, tetap menjadi warga negara Indonesia, dan demikian pula
dengan anak-anaknya yang telah dewasa, dan selanjutnya mereka tunduk
kepada Undang-Undang no. 62 tahun 1958.

91
Undang-Undang no. 62 tahun 1958 tentang ’’Kewarganegaraan Republik
Indonesia” yang diundangkan pada tanggal 1 Agustus 1958, sebagai
pelaksanaan dari pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1950 berlaku,
legislatif mampu untuk menyusun suatu Undang-Undang tentang
kewarganegaraan.
Berlainan dengan Undang-Undang no. 3 tahun 1946 dan Persetujuan
Prihal Pembagian Warga Negara yang menganut asas ius soli dalam
menentukan kewarganegaraan, maka Undang-Undang no. 62 tahun 1958
menitik beratkan pada asas ius sanguinis, walaupun dalam hal-hal tertentu
masih memakai asas ius soli. Dasar pertimbangan bahwa asas ius sanguinis
yang dipakai dapat dibaca dari Penjelasan Umum Undang-Undang tersebut
yang menyebutkan bahwa ’’keturunan dipakai sebagai suatu dasar adalah
lazim. Sudah sewajarnya suatu negara menganggap seorang anak sebagai
warga negaranya di mana pun ia dilahirkan, apabila orang tua anak itu
warga negara dari negara itu.” Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 1
huruf b, c, d dan e, yang kesemuanya menentukan, bahwa seseorang anak
adalah warga negara Indonesia karena kedua orang tuanya atau salah
seorang dari orang tuanya berkewarganegaraan Indonesia.
Di atas telah dijelaskan bahwa asas ius soli dipakai sebagai dasar untuk
menentukan kewarganegaraan oleh Undang-Undang tersebut adalah sebagai
kekecualian, karena azas ini hanya khusus untuk mereka atau anak-anak
yang lahir di wilayah Indonesia yang baik kedua orang tuanya tidak
diketahui, atau orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau
mungkin belum mendapat kewarganegaraan dari negara orang tuanya, hal
ini diatur dalam pasal 1 huruf f, g, h dan i.
Di muka telah dijelaskan bahwa untuk mencegah timbulnya bipatride
maka dalam Undang-Undang tentang kewarganegaraan harus diatur
sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan timbulnya bipatride. Dan
kalau diperhatikan Undang-Undang no. 62 tahun 1958 maka jelas, bahwa
Undang-Undang ini juga berusaha untuk mencegah timbulnya bipatride,
umpamanya bagi orang asing yang ingin menjadi warganegara dengan jalan

92
naturalisasi, disyaratkan bahwa dengan memperoleh kewarganegaraan
Indonesia, orang tersebut tidak akan menjadi bipatride, artinya dia benar-
benar harus melepaskan kewargenegaraan asalnya, atau bagi seorang anak
yang lahir dari perkawinan seorang ibu yang berkewarganegaraan Indonesia
dengan orang asing, yang kemudian bercerai, atau dilahirkan di luar
perkawinan di mana ibunya warga negara Indonesia, mengikuti
kewarganegaraan ayahnya, setelah berusia delapanbelas tahun dapat
mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara Indonesia dengan
syarat bahwa setelah menjadi warga negara Indonesia, yang bersangkutan
tidak mempunyai kewarganegaraan negara lain, dan sebagainya.
Demikian pula Undang-Undang tersebut juga berusaha untuk mencegah
timbulnya apatride. Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa ketentuan
dalam Undang-Undang tersebut. Bahwa pada umumnya seorang anak
mengikuti kewarganegaraan bapaknya. Dalam hal antara anak dan bapaknya
tidak ada hubungan, maka si anak mengikuti kewarganegaraan ibunya. Agar
jangan sampai terjadi tanpa kewarganegaraan bagi anak-anak yang lahir di
Indonesia sedangkan orang tuanya tidak diketahui atau orang tuanya tidak
mempunyai kewarganegaraan, maka oleh Undang-Undang tersebut
dinyatakan bahwa mereka adalah warga negara Indonesia. Dan salah satu
kegunaan dipakai asas ius soli adalah untuk mencegah apatride. Begitu pula
bagi perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga
negara asing, baru dapat meninggalkan kewarganegaraan Indonesianya
apabila jelas bahwa negara asal suaminya memungkinkan bagi dia untuk
mendapatkan kewarganegaraan. Kalau tidak demikian, maka kemungkinan
perempuan Indonesia tadi akan menjadi apatride, sebab dia telah terlanjur
meninggalkan kewarganegaraan Indonesia, sementara itu negara asal
suaminya tidak memungkinkan bagi dia memperoleh kewarganegaraan.
Dengan kembali berlaku Undang-Undang Dasar 1945, pada tanggal 5
Juli 1959 oleh Dekrit Presiden, maka Undang-Undang no. 62 tahun 1958 ini
tetap berlaku berdasarkan Aturan Peralihan pasal II Undang-Undang Dasar
1945. Karena Undang-Undang tersebut adalah dalam rangka melaksanakan

93
Undang-Undang Dasar 1950 yang sistem pemerintahannya parlementer,
maka untuk berlaku di bawah Undang-Undang Dasar 1945 hal-hal yang
menjadi ciri dari keparlementeran tersebut harus disesuaikan dengan sistem
pemerintahan presidensiil yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Antara lain, bahwa Menteri Kehakiman yang berwenang untuk memutuskan
suatu permohonan naturalisasi setelah mendapat persetujuan dari Dewan
Menteri. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 eksekutif hanyalah Presiden
dan Menteri-menteri adalah Pembantu Presiden, dan tidak dikenal adalah
istilah Dewan Menteri. Karena itu pasal yang menyebutkan demikian harus
dibaca bahwa naturalisasi diputuskan oleh Presiden. Dan kalau Menteri
Kehakiman yang menandatangani Surat Keputusannya harus diartikan
bahwa Menteri Kehakiman bertindak atas nama Presiden.
Naturalisasi (pewarganegaraan) adalah suatu cara untuk memperoleh
kewarganegaraan Indonesia. Adalah sudah sewajarnya dibuka kemungkinan
bagi orang asing yang sungguh-sungguh ingin menjadi warga negara
Indonesia, namun tentu saja kepentingan Negara dan Bangsa Indonesia juga
harus diperhatikan, dan karenanya dalam setiap Undang-Undang dapat
dilihat bahwa pewargenegaraan ini adalah kebijaksanaan eksekutif,
demikian pendapat Undang-Undang no. 62 tahun 1958. Tetapi tidak
demikian halnya dengan pendapat pembuat Undang-Undang no.3 tahun
1946 yang beranggapan bahwa pewarganegaraan tidak hanya merupakan
tindakan eksekutif saja tetapi harus a ada persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat. Apakah pewarganegaraan itu hanya merupakan
tindakan eksekutif saja, ataukah harus dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat, kedua-duanya bertujuan agar pewarganegaraan ini
benar-benar mendapat pertimbangan yang cermat dan teliti, sehingga kelak
kepentingan Negara dan Bangsa Indonesia tidak dirugikan.
Naturalisasi dalam praktek dapat dibagi dua, yaitu pertama karena yang
bersangkutan mengajukan permohonan, dan yang kedua dapat diberikan
dengan alasan kepentingan Negara atau telah berjasa untuk Negara. Pada
naturalisasi cara pertama, seperti telah dijelaskan di muka, bahwa menurut

94
Undang-Undang no.3 tahun 1946 naturalisasi itu diperoleh dengan
berlakunya Undang-Undang yang memberikan naturalisasi itu (pasal 5 ayat
1) Ini berarti bahwa setiap kali ada naturalisasi harus dibicarakan terlebih
dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila Dewan Perwakilan
Rakyat tidak keberatan dengan permohonan itu, maka harus dinyatakan
dalam Undang-Undang. Tidak jelas apa yangmenyebabkan pembuat
Undang-Undang tersebut berpendapat demikian. Sebaliknya Undang-
Undang no. 62 tahun 1958 menyatakan bahwa naturalisasi ini semata-mata
tindakan dari eksekutif. Dan karena merupakan kebijaksanaan pemerintah,
maka tidak perlu diminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat,
namun Menteri Kehakiman tidak dapat memutuskan tanpa mendapat
persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Menteri. Sedangkan naturalisasi
macam yang kedua, baik Undang-Undang no. 3 tahun 1946 maupun
Undang-Undang no. 62 tahun 1958. sama-sama mengatur bahwa
pewarganegaraan yang diberikan dengan alasan kepentingan atau berjasa
untuk negara harus diminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terlebih
dahulu. Dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada akhirnya harus
dalam bentuk Undang-Undang. Bahwa hai itu harus demikian dapat
dimengerti, karena seharusnyalah wakil-wakil rakyat mengetahui sejauh
manakah kepentingan Negara tersangkut, sehingga seorang asing dapat
diberikan kewarganegaraan Indonesia, atau sejauh manakah jasa dan orang
yang bersangkutan untuk negara Indonesia.
Di samping suatu Undang-Undang tentang kewarganegaraan mengatur
siapa yang disebut warga negara Indonesia, dan cara bagaimanakah
memperoleh kewarganegaraan Indonesia, maka tentu diatur pula hal-hal
yang menyebabkan warga negara Indonesia kehilangan
kewarganegaraannya. Umpamanya karena mendapat kewarganegaraan
Negara lain, atau menjadi pegawai atau tentara negara lain tanpa izin dari
Presiden, atau karena perkawinan bagi seorang perempuan warga negara
Indonesia dengan laki-laki warganegara lain, dan sebagainya.

95
Walaupun Undang-Undang no. 62 tahun 1958 tersebut adalah produk
pemerintahan di bawah Undang-Undang Dasar 1950 yang berlaku terus di
bawah Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Aturan Peralihan pasal II,
namun Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat belum melihat untuk
membuat atau merobah Undang-Undang tersebut sampai sekarang.

96
Resume Mata Kuliah Hukum Tata Negara Pertemuan ke 8

(Rabu, 15 Mei 2019)

“Hak Asasi Manusia (HAM)”

1. Indonesia mengikuti trias politica :


1) Legislatif
2) Eksekutif
3) Yudikatif
4) Inspektif/pengawasan, adiktif (BPK)
2. Dulu

MPR

MA DPA DPR Presiden BPK

3. Sekarang
Negara Kesatuan Republik
Indonesia

Presiden BPK DPD DPR MPR MK MA KY KPU Bank Sentral

E I L L L L Y Y
4. Inpres : Inspektif Presiden : Kebijakan
5. Pemerintah pusat hanya memegang 6 hal :
1) Finansial Dan Moneter
2) Hukum (Yuridis Formal)
3) Pertahanan (Militer)
4) Keamanan (Polisi)
5) Agama (Religion)
6) Hubungan Luar Negeri (Diplomasi)

97
6. Sejarah HAM Dunia
Sejarah hak asasi manusia berawal dari dunia Barat (Eropa). Seorang filsuf
Inggris pada abad ke-17, John Locke, merumuskan adanya hak alamiah
(natural rights) yang melekat pada setiap diri manusia, yaitu hak atas hidup,
hak kebebasan, dan hak milik. Pada waktu itu, hak masih terbatas pada bidang
sipil (pribadi) dan politik. Sejarah perkembangan hak asasi manusia ditandai
adanya tiga peristiwa penting di dunia Barat, yaitu Magna Charta, Revolusi
Amerika, dan Revolusi Prancis.
1) Magna Charta (1215)
Piagam perjanjian antara Raja John dari Inggris dengan para bangsawan
disebut Magna Charta. Isinya adalah pemberian jaminan beberapa hak oleh
raja kepada para bangsawan beserta keturunannya, seperti hak untuk tidak
dipenjarakan tanpa adanya pemeriksaan pengadilan. Jaminan itu diberikan
sebagai balasan atas bantuan biaya pemerintahan yang telah diberikan oleh
para bangsawan. Sejak saat itu, jaminan hak tersebut berkembang dan
menjadi bagian dari sistem konstitusional Inggris.
2) Revolusi Amerika (1776)
Perang kemerdekaan rakyat Amerika Serikat melawan penjajahan Inggris
disebut Revolusi Amerika. Declaration of Independence (Deklarasi
Kemerdekaan) dan Amerika Serikat menjadi negara merdeka tanggal 4 Juli
1776 merupakan hasil dari revolusi ini.
3) Revolusi Prancis (1789)
Revolusi Prancis adalah bentuk perlawanan rakyat Prancis kepada rajanya
sendiri (Louis XVI) yang telah bertindak sewenang-wenang dan absolut.
Declaration des droits de I’homme et du citoyen (Pernyataan Hak-Hak
Manusia dan Warga Negara) dihasilkan oleh Revolusi Prancis. Pernyataan
ini memuat tiga hal: hak atas kebebasan (liberty), kesamaan (egality), dan
persaudaraan (fraternite).
4) African Charter on Human and People Rights (1981)
Pada tanggal 27 Juni 1981, negara-negara anggota Organisasi Persatuan
Afrika (OAU) mengadakan konferensi mengenai HAM. Dalam konferensi

98
tersebut, semua negara Afrika secara tegas berkomitment untuk
memberantas segala bentuk kolonialisme dari Afrika, untuk
mengkoordinasikan dan mengintensifkan kerjasama dan upaya untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat Afrika.
5) Cairo Declaration on Human Right in Islam (1990)
Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam merupakan
deklarasi dari negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam di Kairo
pada tahun 1990 yang memberikan gambaran umum pada Islam tentang hak
asasi manusia dan menegaskan Islam syariah sebagai satu-satunya sumber.
Deklarasi ini menyatakan tujuannya untuk menjadi pedoman umum bagi
negara anggota OKI di bidang hak asasi manusia.
6) Bangkok Declaration (1993)
Deklarasi Bangkok diadopsi pada pertemuan negara-negara Asia pada tahun
1993. Dalam konferensi ini, pemerintah negara-negara Asia telah
mengegaskan kembali komitmennya terhadap prinsip-prinsip Piagam PBB
dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Mereka menyatakan
pandangannya saling ketergantungan dan dapat dibagi hak asasi manusia
dan menekankan perlunya universalitas, objektivitas, dan nonselektivitas
hak asasi manusia.
7) Deklarasi PBB (Deklarasi Wina) Tahun 1993
Deklarasi ini merupakan deklarasi universal yang ditandatangani oleh
semua negara anggota PBB di ibu kota Austria, yaitu Wina. Oleh karenanya
dikenal dengan Deklarasi Wina. Hasilnya adalah mendeklarasikan hak asasi
generasi ketiga, yaitu hak pembangunan. Deklarasi ini sesungguhnya adalah
re-evaluasi tahap dua dari Deklarasi HAM, yaitu bentuk evaluasi serta
penyesuaian yang disetuju semua anggota PBB, termasuk Indonesia.
7. HAM di Indonesia
Sepanjang sejarah kehidupan manusia ternyata tidak semua orang memiliki
penghargaan yang sama terhadap sesamanya. Ini yang menjadi latar belakang
perlunya penegakan hak asasi manusia. Manusia dengan teganya merusak,
mengganggu, mencelakakan, dan membunuh manusia lainnya. Bangsa yang

99
satu dengan semena-mena menguasai dan menjajah bangsa lain. Untuk
melindungi harkat dan martabat kemanusiaan yang sebenarnya sama antarumat
manusia, hak asasi manusia dibutuhkan. Berikut sejarah penegakan HAM di
Indonesia.
1) Pada masa prakemerdekaan
Pemikiran modern tentang HAM di Indonesia baru muncul pada abad ke-
19. Orang Indonesia pertama yang secara jelas mengungkapkan pemikiran
mengenai HAM adalah Raden Ajeng Kartini. Pemikiran itu diungkapkan
dalam surat-surat yang ditulisnya 40 tahun sebelum proklamasi
kemerdekaan.
2) Pada masa kemerdekaan
Pada masa orde lama, gagasan mengenai perlunya HAM selanjutnya
berkembang dalam sidang BPUPKI. Tokoh yang gigih membela agar HAM
diatur secara luas dalam UUD 1945 dalam sidang itu adalah Mohammad
Hatta dan Mohammad Sukiman. Tetapi, upaya mereka kurang berhasil.
Hanya sedikit nilai-nilai HAM yang diatur dalam UUD 1945. Sementara itu,
secara menyeluruh HAM diatur dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950.
Pada masa orde baru, pelanggaran HAM pada masa orde baru mencapai
puncaknya. Ini terjadi terutama karena HAM dianggap sebagai paham
liberal (Barat) yang bertentangan dengan budaya timur dan Pancasila.
Karena itu, HAM hanya diakui secara sangat minimal. Komisi Hak Asasi
Manusia dibentuk pada tahun 1993. Namun, komisi tersebut tidak dapat
berfungsi dengan baik karena kondisi politik. Berbagai pelanggaran HAM
terus terjadi, bahkan disinyalir terjadi pula berbagai pelanggaran HAM
berat. Hal itu akhirnya mendorong munculnya gerakan reformasi untuk
mengakhiri kekuasaan orde baru.
Pada masa reformasi, masalah penegakan hak asasi manusia di Indonesia
telah menjadi tekad dan komitmen yang kuat dari segenap komponen
bangsa terutama pada era reformasi sekarang ini. Kemajuan itu ditandai
dengan membaiknya iklim kebebasan dan lahirnya berbagai dokumen HAM
yang lebih baik. Dokumen itu meliputi UUD 1945 hasil amendemen, Tap

100
MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pada tahun 2005, pemerintah meratifikasi
dua instrumen yang sangat penting dalam penegakan HAM, yaitu Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR)
menjadi Undang-Undang No. 11 tahun 2005, dan Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) menjadi Undang-Undang No.
12 tahun 2005.
8. Bentuk Hukum tentang HAM
Dalam rangka membicarakan hak-hak asasi, maka persoalan lain yang dapat
timbul bahkan juga merupakan hal yang penting adalah bentuk hukum dari
hak-hak asasi tersebut. Pertanyaan yang timbul adalah, apakah ia akan
ditempatkan dalam suatu Piagam yang terpisah dari Undang-Undang Dasar,
ataukah ia dimasukkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar, ataukah
cukup dituangkan dalam suatu Undang-Undang biasa saja?
Apabila hak-hak asasi itu ditempatkan dalam suatu Piagam, dan Piagam ini
mendahului Undang-Undang Dasar seperti halnya dengan Declaration of
Independence Amerika Serikat dan Declaration des droit de I’homme et du
citoyen di Perancis, maka ia akan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari
Undang-Undang Dasar. Piagam tersebut akan bersifat subyektif yang harus
dihormati oleh Negara, dan tidak akan terpengaruh dengan adanya perubahan
terhadap Undang-Undang Dasar Negara tersebut.
Seandainya hak asasi itu ditempatkan dalam pasal-pasal tentang hak-hak
asasi itu akan berubah pula apabila terjadi perubahan terhadap Undang-Undang
Dasar itu. Jadi kemungkinan dirubahnya hak-hak asasi itu sama dengan pasal-
pasal lainnya dalam Undang-Undang Dasar itu.
Menempatkan hak-hak asasi itu dalam Undang-Undang biasa, jelas tidak
menjamin kepastian bahwa ia tidak akan berubah. Kemungkinan dirubah lebih
besar dari hak-hak asasi yang ditempatkan dalam pasal-pasal Undang-Undang
Dasar.

101
Kemungkinan menempatkan hak-hak asasi dalam suatu Piagam yang
terpisah dari Undang-Undang Dasar adalah tidak mungkin, karena saat ini
sudah ada beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang langsung
berbicara mengenai hak-hak asasi. Kemungkinan hak-hak asasi itu ditempatkan
dalam suatu Piagam seperti Declaration of Independence yaitu penyusunan
hak-hak asasi dalam suatu dalam Piagam yang ditetapkan dengan ketetapan
maka nilainya berada di bawah Undang-Undang Dasar, namun kemungkinan ia
dirubh setiap saat tidak ada, sebab Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak
bersidang setiap saat.
Kemungkinan kedua adalah menenpatkan hak-hak asasi itu dalam pasal-
pasal Undang-Undang Dasar. Hal ini sebenarnya sudah ada dalam Undang-
Undang Dasar 1945. Kemungkinan untuk menambah selalu terbuka melalui
pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang-Undang Dasar 1945 sendiri
membuka pintu untuk penambahan tersebut dengan disebutkannya kata ”dan
sebagainya” dalam pasal 28. Ini berarti bahwa Undang-Undang Dasar 1945
tidak menganut sifat yang limitatif dalam hal hak-hak asasi. Hanya masalahnya
kapankah kemungkinan itu terjadi, adalah sebenarnya sudah menyangkut
masalah politis, bukan persoalan Hukum Tata Negara lagi.
Suatu Undang-Undang dapat merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang
Dasar dan ini disebut Undang-Undang Organik. Dapat pula suatu Undang-
Undang merupakan pelaksanaan dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Disamping itu dapat pula Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
mengatur sesuatu dengan Undang-Undang, walaupun hal tersebut tidak
diperintahkan oleh Undang-Undang Dasar atau Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Melihat kenyataan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur
beberapa pasal tentang hak-hak asasi, maka Undang-Undang dapat merupakan
pelaksanaan lebih lanjut dari pasal-pasal tersebut. Bahkan berdasarkan pasal 28
dengan kata-kata ”dan sebagainya”. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
dapat saja menyusun hak-hak asasi lebih banyak dan lengkap dari apa yang
telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan seandainya Majelis

102
Permusyawaratan Rakyat berhasil menyusun suatu Piagam tentang hak-hak
asasi, maka untuk pelaksanannya diperlukan pula Undang-Undang.
Namun demikian, sebagai bentuk peraturan yang dibuat oleh Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat, maka Undang-Undang tersebut setiap saat dapat
saja dirubah atau diganti, sehingga tidak ada jaminan bahwa Undang-Undang
itu akan berlaku untuk jangka waktu yang akan lama. Karenanya mengatur
seluruh hak-hak asasi dalam suatu Undang-Undang adalah kurang tepat. Tetapi
melakukan pasal-pasal tentang hak-hak asasi dalam Undang-Undang Dasar
1945 atau dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentu saja harus
dengan Undang-Undang.
Bentuk hukum apa yang hendak dipilih bukanlah merupakan masalah yang
pokok. Yang penting adalah bagaimana agar hak-hak asasi itu benar-benar
dilaksanakan. Bagaimana caranya agar rakyat benar-benar merasa dirinya
terlindung, bagaimana agar hukum acara betul-betul dapat menjamin hak-hak
rakyat. Bagaimana mencegah agar jangan sampai penguasa melakukan
tindakan sewenang-wenang. Jadi yang penting adalah bagaimana
merealisasikan pasal-pasal tentang hak-hak asasi itu dalam praktek kehidupan
sehari-hari.
9. Hak Asasi Manusia dalam UUD NKRI tahun 1945.

Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

BAB XA**)
HAK ASASI MANUSIA
Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya. **)

Pasal 28B

103
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah. **)
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. **)

Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. **)
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya. **)

Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan umum. **)
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja. **)
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan. **)
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. **)

Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. **)

104
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat. **)

Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluram yang tersedia.

Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat dan harta benda yang dibawah kekuasannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. **)
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain. **)

Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang lebih baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. **)
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan. **)
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. **)
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewennag-wenang oleh siapa pun. **)

Pasal 28I

105
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi mnausia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun. **)
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu. **)
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban. **)
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung negara, terutama pemerintah. **)
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan. **)

Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. **)
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. **)

106
Resume Mata Kuliah Hukum Tata Negara Pertemuan ke 9

(Rabu, 22 Mei 2019)

“Sistem Pemilu”

1. 1) UU No. 5/1974 tentang Pemeritahan Daerah


2) UU No. 22/1999 tentang Pemeritahan Daerah
3) UU No. 32/2004 tentang Pemeritahan Daerah
4) UU No. 23/2014 tentang Pemeritahan Daerah

1. UU No. 8/2005 tentang perubahan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan


Daerah
2. UU No. 12/2008 tentang perubahan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah
2. Pemerintah
Asas Otonomi Desentralisasi
Daerah (E)
Pemerintahan
Daerah Dekonsentrasi
DPRD Tugas
(L) Pembantuan

3.
Sistem Sistem Sistem 1. First Past thepost
Pemilu Mechanis Perwakilan Distrik 2. The Two Round System
3. The Alternative Vote
4. Block Vote
Sistem Terbentuknya Sistem Perwakilan
Hare System
Organis Parlemen Proporsional

Terbentuknya List System


Dewan
Korporatif
Terbuka Tertutup

107
4. Pemilu di Indonesia
Pemilu DPR Proposional
Di Indonesia
DPD Distrik

Provinsi

4 Orang

5. Hubungan Pemilu dengan Kedaulatan Rakyat


Kedaulatan rakyat berarti rakyatlah yang mempunyai kekuasaan yang
tertinggi, rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan dan
rakyatlah yang menentukan tujuan apa yang hendak dicapai.
Dalam suatu negara yang kecil, yang jumlah penduduknya sedikit dan luas
wilayahnya tidak begitu besar saja, kedaulatan rakyat seperti di atas tidak dapat
berjalan dengan semurni-murninya. Apalagi dalam negara modern seperti
sekarang, dimana jumlah penduduknya sudah banyak dan wilayahnya cukup
luas, adalah tidak mungkin untuk meminta pendapat rakyat seorang demi
seorang dalam menentukan jalannya pemerintahan. Ditambah lagi bahwa pada
masyarakat modern sekarang ini spesialisasi sudah semakin tajam dan tingkat
kecerdasan rakyat tidak sama. Hal-hal ini menyebabkan kedaulatan rakyat
tidak sama. Hal-hal ini menyebabkan kedaulatan rakyat tidak mungkin dapat
dilakukan secara murni dan keadaan menghendaki bahwa kedaulatan rakyat itu
dilaksanakan dengan perwakilan.
6. Tujuan dan Fungsi Pemilihan Umum
1) Tujuan Pemilu
Pemilihan Umum Menurut Prihatmoko (2003:19) pemilu dalam
pelaksanaannya memiliki tiga tujuan yakni:
1. Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan
alternatif kebijakan umum (public policy).
2. Pemilu sebagai pemindahan konflik kepentingan dari masyarakat kepada
badan badan perwakilan rakyat melalui wakil-wakil yang terpilih atau

108
partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap
terjamin.
3. Pemilu sebagai sarana memobilisasi, menggerakan atau menggalang
dukungan rakyat terhadap Negara dan pemerintahan dengan jalan ikut
serta dalam proses politik.
Selanjutnya tujuan pemilu dalam pelaksanaanya berdasarkan Undang-
Undang Nomor 8 tahun 2012 pasal 3 yakni pemilu diselenggarakan untuk
memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
2) Fungsi Pemilihan Umum
Menurut C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil Fungsi Pemilihan
Umum sebagai alat demokrasi yang digunakan untuk :
1. Mempertahankan dan mengembangkan sendi-sendi demokrasi di
Indonesia.
2. Mencapai suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila
(Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).
3. Menjamin suksesnya perjuangan orde baru, yaitu tetap tegaknya
Pancasila dan dipertahankannya UUD 1945.
3) Sistem Perwakilan
Kedaulatan rakyat berarti rakyatlah yang mempunyai kekuasaan yang
tertinggi, rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan dan
rakyatlah yang menentukan tujuan apa yang hendak dicapai.
Dalam suatu negara yang kecil, yang jumlah penduduknya sediklit dan luas
wilayahnya tidak begitu besar saja, kedaulatan rakyat seperti di atas tidak dapat
berjalan dengan semurni-murninya. Apa lagi dalam negara modern seperti
sekarang, di mana jumlah penduduknya sudah banyak dan wilayahnya cukup
luas, adalah tidak mungkinuntuk meminta pendapat rakyat seorang demi
seorang dalam menentukan jalannya pemerintahan. Ditambah lagi bahwa pada
masyarakat modern sekarang ini spesialisasi sudah semakin tajam dan tingkat
kecerdasan rakyat tidak sama. Hal-hal ini menyebabkan kedaulatan rakyat

109
tidak mungkin dapat dilakukan secara murni dan keadaan menghendaki bahwa
kedaulatan rakyat itu dilaksanakan dengan perwakilan.
Dalam kedaulatan rakyat dengan perwakilan atau demokrasi dengan
perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak langsung (indirect
democracy) yang menjalankan kedaulatan itu adalah wakil-wakil rakyat.
Wakil-wkail rakyat tersebut bertindak atas nama rakyat dan wakil-wkail
rakyat tersebutlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan, serta tujuan
apa yang hendak dicapai baik dalam waktu yang relatif pendek, maupun dalam
jangka waktu yang panjang.
Agar wakill-wakil rakyat tersebut benar-benar dapat bertindak sendiri oleh
rakyat maka wakil-wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat. Dan
untuk menentukannya biasanya dipergunakan lembaga pemilihan umum. Jadi
pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakil-wakil
rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebut dirinya sebagai
negara demokrasi, pemilihan umum itu harus dilaksanakan dalam waktu-waktu
tertentu.
4) Pemilu di Indonesia
1. Periodesasi Sistem Pemilu Indonesia
a. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1958)
Sebenarnya pemilu sudah direncanakan sejak bulan oktober 1945,
tetapi baru dilaksanakan oleh kabinet Burhanuddin Harahap pada tahun
1955. Sistem pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional. Pada
waktu sistem itu, sebagaimana yang dicontohkan oleh Belanda,
merupakan satu-satunya sistem pemilu yang dikenal dan dimengerti oleh
para pemimpin negara. Pada pemilu ini pemungutan suara dilakukan dua
kali yaitu yang pertama untuk memilih anggota DPR pada bulan
September dan yang kedua untuk memilih anggota Konstituante pada
bulan Desember. Sistem yang digunakan pada masa ini adalah sistem
proporsional.
Pemilihan umum dilakukan dalam suasana khidmat, karena
merupakan pemilihan pertama sejak awal kemerdekaan. Pemilihan

110
umum berlangsung secara demokratis, tidak ada pembatasan partai, dan
tidak ada usaha interversi dari pemerintah terhadap partai-partai
sekalipun kampanye berlangsung seru, terutama antara Masyumi dan
PNI. Serta administrasi teknis berjalan lancar dan jujur.
Pemilihan umum menghasilkan 27 partai dan satu partai
perseorangan, dengan jumlah total 257 kursi. Namun stabilitas politik
yang diharapkan dari pemilihan umum tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan
II) yang memerinth selama 2 tahun dan yang terdiri atas koalisi tga besar,
namun ternyata tidak kompak dalam menghadapi persoalan, terutama
yang terkait dengan konsepsi presiden yang diumumkan pada tanggal 21
Februari 1957.
Namun stabilitas politik yang sangat diharapkan dari pemilu tidak
terwujud. Kabinet Ali (I dan II) yang memerintah selama dua tahun dan
yang terdiri atas koalisi tiga besar: Masyumi, PNI, dan NU ternyata tidak
kompak dalam menghadapi beberapa persoalan terutama yang terkait
dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi Parlementer
berakhir.
b. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Sesudah mencabut maklumat pemerintah November 1945 tentang
kebebasan mendirikan partai , presiden soekarno mengurangi jumlah
partai menjadi 10. Kesepuluh ini antara lain : PNI, Masyumi, NU, PKI,
Partai Katolik, Partindo, Partai Murba, PSIIArudji, IPKI, dan Partai
Islam, kemudian ikut dalam pemilu 1971 di masa orde baru. Di zaman
demokrasi terpimpintidak diadakan pemilihan umum.
c. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Sesudah runtuhnya rezim demokrasi terpimpin yang semi otoriter ada
harapan besar dikalangan masyarakat untuk dapat mendirikansuatu
sistem politik yang demokratis dan stabil. Salah satu caranya ialah
melalui sistem pemilihan umum. pada saat itu diperbincangkan tidak
hanya sistem proporsional yang sudah dikenal lama, tetapi juga sistem
distrik yang di Indonesia masih sangat baru.

111
Pendapat yang dihasilkan dari seminar tersebut menyatakan bahwa
sistem distrik dapat mengurangi jumlah partai politik secara alamiah
tanpa paksaan, dengan harapan partai-partai kecil akan merasa
berkepentingan untuk bekerjasama dalam usaha meraih kursi dalam suatu
distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan membawa
stabilitas politik dan pemerintah akan lebih berdaya untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakannya, terutama di bidang ekonomi.
Jika meninjau sistem pemilihan umum di Indonesia dapat ditarik
berbagai kesimpulan. Pertama, keputusan untuk tetap menggunakan
sistem proporsional pada tahun 1967 adalah keputusan yang tepat karena
tidak ada distorsi atau kesenjangan antara perolehan suara nasional
dengan jumlah kursi dalam DPR. Kedua, ketentuan di dalam UUD 12945
bahwa DPR dan presiden tidak dapat saling menjatuhkan merupakan
keuntungan, karena tidak ada lagi fragmentasi karena yang dibenarkan
eksistensinya hanya tiga partai saja. Usaha untuk mendirikan partai baru
tidak bermanfaat dan tidak diperbolehkan. Dengan demikian sejumlah
kelemahan dari sistem proporsional telah teratasi.
Namun beberapa kelemahan masih melekat pada sistem politik ini.
Pertama, masih kurang dekatnya hubungan antara wakil pemerintah dan
konstituennya tetap ada. Kedua, dengan dibatasinya jumlah partai
menjadi tiga telah terjadi penyempitan dalam kesempatan untuk memilih
menurut selera dan pendapat masing-masing sehingga dapat
dipertanyakan apakah si pemilih benar-benar mencerminkan,
kecenderungan, atau ada pertimbangan lain yang menjadi pedomannya.
Ditambah lagi masalah golput, bagaimanapun juga gerakan golput telah
menunjukkan salah satu kelemahan dari sistem otoriter orde dan hal itu
patut dihargai.
Karena gagal menyederhanakan sistem partai lewat sistem pemilihan
umum, Presiden Soeharto mulai mengadakan beberapa tindakan untuk
menguasai kehidupan kepartaian. Tindakan pertama yang dilakukan
adalah mengadakan fusi diantara partai-partai, mengelompokkan partai-

112
partai dalam tiga golongan yaitu Golongan Spiritual (PPP), Golongan
Nasional (PDI), dan Golongan Karya (Golkar). Pemilihan umum tahun
1977 diselenggarakan dengan menyertakan tiga partai, dalam perolehan
suara terbanyak Golkar selalu memenangkannya.
d. Zaman Reformasi (1998-sekarang)
Seperti dibidang-bidang lain, reformasi membawa beberapa
perubahan fundamental. Pertama, dibukanya kesempatan kembali untuk
bergeraknya partai politik secara bebas, termasuk medirikan partai baru.
Kedua, pada pemilu 2004 untuk pertama kalinya dalam sejarah
indonesiadiadakan pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih melalui
MPR. Ketiga, diadakannya pemilihan umum untuk suatu badan baru,
yaitu Dewan Perwakilan Daerah yang akan mewakili kepentingan daerah
secara khusus. Keempat, diadakannya “electoral thresold”, yaitu
ketentuan bahwa untuk pememilihan legislatif setiap partai harus meraih
minimal 3% jumlah kursi anggota badan legislatif pusat.
Ada satu lembaga baru di dalam lembaga legislatife, yaitu DPD
(dewan perwakilan daerah). Untuk itu pemilihan umum anggota DPD
digunakan Sistem Distrik tetapi dengan wakil banyak (4 kursi untuk
setiap propinsi). Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan
system proposional dengan daftar terbuka, sehingga pemilih dapat
memberikan suaranya secara langsung kepada calon yang dipilih. Dan
pada tahun 2004, untuk pertama kalinya diadakan pemilihan presiden dan
wakil presiden secara langsung, bukan melalui MPR lagi.
2) Pelaksanaan Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia
1. Pemilu 1995
Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di
Indonesia dan diadakan pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan
sebagai pemilu Indonesia yangpaling demokratis.
Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih
kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII
(Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan

113
Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata
dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir
datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung aman.
Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan
Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260,
sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR)
ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu
ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada
saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana
Menteri Burhanuddin Harahap.
2. Pemilu 1971
Pemilihan Umum pertama sejak orde baru atau Pemilu kedua sejak
Indonesia merdeka, yakni Pemilu 1971 diikuti oleh 10 Organisasi Peserta
Pemilu (OPP), yakni 9 partai politik dan satu Golongan Karya. Undang-
undang yang menjadi landasan hukumnya adalah UU No. 15 tahun 1969
tentang Pemilihan Umum dan UU No. 16 tahun 1969 tentang Susunan
dan Kedudukan PR, DPR dan DPRD.
3. Pemilu 1977
Pemilu 1977 diselenggarkan dengan berlandaskan pada Undang-
Undang No. 4 tahun1975 tentang Pemilihan Umum pengganti UU No. 15
tahun 1969, dan UU No. 5 tahun 1975 pengganti UU No. 16 tahun 1969
tentang Susunan dan Kedudukan PR, DPR dan DPRD. Selain kedua UU
tersebut, Pemilu 1977 juga menggunakan UU No. 3 tahun 1975 tentang
Partai Politik dan Golongan karya. Berdasarkan ketiga UU itulah
diselenggarakan Pemilihan Umum pada tanggal 3 Mei 1977 dengan
diikuti oleh 3 Organisasi Peserta Pemilu (OPP), yakni dua Partai Politik
dan satu Golongan Karya.
4. Pemilu 1982

114
Dengan UU No. 2 tahun 1980 pengganti UU No. 4 tahun 1975 tentang
Pemilihan Umum, Indonesia kembali menyelenggarakan Pemilihan
Umumnya yang keempat pada tanggal 4 Mei 1982.
5. Pemilu 1987
Dengan UU No. 1 tahun 1985 penggantinUU No. 2 tahun 1980,
Indonesia menyelenggarakan Pemilihan Umum yang kelima tahun 1987.
Pemungutan suara Pemilu 1987 secara serentak dilaksanakan pada
tanggal 23 April 1987.
6. Pemilu 1992
Mengingat UU No. 1 yahun 1985 ini dianggap masih sesuai dengan
perkebangan politik Orde Baru, tahun 1992 diselenggarakan Pemilu
keenam di Indonesia berdasarkan paying hokum yang sama dengan
paying hokum Pemilu sebelumnya. Pemungutan suara diselenggarakan
secara serentak pada tanggal 9 Juni 1992.
7. Pemilu 1997
Dengan payung hukum (undang-undang Pemilu) yang sama dengan
Pemilun sebelumnya, Indonesia kembalinmenyelenggarakan Pemilu
yang ketujuh.
8. Pemilu 1999
Pemilihan Umum 1999 ditujukan untuk memilih anggota DPR dan
DPRD. Pemungutan suaranya dilaksanakan pada taggal 7 Juni 1999.
Pemilu ini diikuti oleh 48 Partai dengan berlandaskan UU No. 2 tahun
1999 tentang Partai Politik dan Ubdang-Undang No. 3 tahun 1999
tentang Pemilihan Umum. Pemilu 1999 ini disebut oleh banyak kalangan
sebagai Pemilu paling Demokratis setelah Pemilu 1955. Cara pembagian
kursi hasil Pemilu kali ini tetap menggunakan system proporsional
dengan mengikuti Varian Roget. Dalam system ini, sebuah partai
memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah
pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest remainder.
9. Pemilu 2004

115
Pemilu ini berbeda dengan pemilu sebelumnya, termasuk Pemilu
1999. Hal ini dikarenakan selain demokratis dan bertujuan memilih
anggota DPR dan DORD, Pemilu 2004 juga memilih Dewan Perwakilan
daerah (DPD) dan memilih Presiden dan Wakil Presiden tidak dilakukan
secara terpisah. Pada Pemilu ini, yang terpilih adalah pasangan calon
(pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden). Bukan calon Presiden dan
calon Wakil Presiden secara terpisah.
10. Pemilu 2009
Sama halnya dengan Pemilihan Umum 2004, Pemilihan Umum 2009
juga dibagi menjadi tiga tahapan :
a. Tahap pertama merupakan Pemilihan Umum yang ditujuan untuk
memilih anggota DPR, DPD dan DPRD, atau biasa disebut Pemilu
Legislatif 2009. Pemilu ini diikuti oleh 38 partai yang memenuhi
criteria untuk ikut serta dalam Pemilihan Umum 2009. Pemilu ini
diselenggarakan secara serentak di hamper seluruh wilayah Indonesia
pada Tanggal 9 April 2009, yang seharusnya dijadwalkan berlangsung
tanggal 5 April 2009.
b. Tahap kedua atau Pemilu Presiden dan Wakil Presiden putaran
pertama adalah untuk memilih pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung. Tahap kedua ini dilaksanakan pada tanggal
8 Juli 2009.
c. Tahap ketiga atau Pemilu Presidan dan Wakil Presiden tahap puturan
kedua adalah babak terakir yang dilaksanakan hanya apabila pada
tahap kedua, belum ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih
dari 50% (bila keadaannya demikian, dua pasangan calon yang
mendapatkan suara terbanyak akan diikutsertakan pada Pemilu
Presiden putaran kedua. Akan tetapi apabila pada Pemilu Presiden
putaran pertama sudah ada pasangan calon yang mendapatkan suara
lebih dari 50 persen, pasangan calon tersebut akan langsung diangkat
menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Tahap ketiga ini dilaksanakan
pada taggal 8 September 2009.

116
Resume Mata Kuliah Hukum Tata Negara Pertemuan ke 10

(Rabu, 29 Mei 2019)

“Mayoritas”

Mayoritas adalah himpunan bagian dari suatu himpunan yang jumlah elemen di
dalamnya mencapai lebih dari separuh himpunan tersebut. Mayoritas bisa
dibedakan dengan pluralitas, yang berarti himpunan bagian yang lebih besar
daripada himpunan bagian lainnya. Lebih jelasnya, pluralitas tidak bisa dianggap
mayoritas jika jumlah elemennya lebih sedikit daripada separuh himpunan
tersebut. Dalam bahasa Inggris Britania, mayoritas (majority) dan pluralitas
(plurality) sering disamakan dan kata mayoritas juga kadang dipakai untuk
menyebut margin kemenangan, yaitu jumlah suara yang memisahkan pemenang
pertama dan pemenang kedua.
1. Mayoritas Mutlak (Absolute Majority)
Mayoritas mutlak adalah mayoritas atau terbanyak tapi ditentukan angkanya,
2 2 3
misalnya jadi jauh diatas 50%+1 atau tidak ditentukan malah ditentukan
3 3 4
2 3
baru disebut pemenang jika ia memperoleh begitu juga biasanya ini untuk
3 4

pengambilan keputusan, keputusan Undang-Undang Dasar 1945 misal boleh


2
diubah atau tidak? Boleh dengan syarat 3 anggota MPR menyetujuinya.

2. Mayoritas Sederhana (Simple Majority)


Misal 3 orang, komposisinya :
A : 20
B : 21
C : 59
Dia lewat dari setengah bukan mayoritas nisbi kalau ini, karena lewat dari
setengah (min 50%+1) ini rumus umum mayoritas secara Internasional, ini
namanya mayoritas sederhana. Kalau ada pemilihan-pemilihan patokannya
adalah simple majority atau mayoritas sederhana.
Contoh :

117
Jumlah suatu anggota di suatu forum 1300 anggota dan memakai simple
majority untuk mendapatkan suara dan itu minimal harus mendapatnya 651
suara.
1300 : 2 = 650
(50% + 1)
650 + 1 = 651
3. Mayoritas Nisbi (Relative Majority)
Ada 3 orang, disatu daerah pemilihan. Yang milih itu 100 orang. 3 orang itu A,
B, C. Si A dapat 33 suara, si B dapat 33 suara dan si C dapat 34 suara. Dan
yang menang adalah C. Dia adalah wakil rakyat di daerah ini. Walaupun
suaranya cuman 34, artinya suara yang terbuang ada 66 suara, padahal suara
yang terbuang itu yang mayoritas. Artinya 66 orang yang tidak menghendaki si
C menjadi wakilnya. Dan ini disebut dengan mayoritas nisbi, dia mayoritas tapi
nisbi, kalau bahasa agama itu fana sementara. Sebetulnya ini lemah jika
dibilang mayoritas karena lebih banyak ynag tidak suka sama dia.
4. Mayoritas yang Dikualifisir (Qualificationed Majority).

118
Resume Mata Kuliah Hukum Tata Negara Pertemuan ke 11

(Rabu, 19 Juni 2019)

“Menguraikan tentang Demokrasi, Demokrasi Substansial dan Demokrasi


Prosedural, Nomokrasi, Sistem Pemerintahan Oligarki, Otokrasi, dan
Diktator”

1. Sistem keparlemenan identik dengan partai politik.


2. Bikameral adalah sistem keparlemenan 2 kamar, itu dipakai dinegara-negara
yang ingin praktis. Contoh negara Inggris House of Lord dan House of
Common.
3. Multikameral contohnya Indonesia dan Amerika.
4. DPD mewakili tanah di daerah
5. Unikameral sistem adalah Singapura
6. DPD dan DPR adalah join session lahirlah MPR
7. Anggaran MPR itu pasti kalo bukan anggota DPR dan DPD
8. Trium Virat : berkuasa 30hari, untuk menunggu MPR siding
9. Keadilan (Aristoteles)
a. Distributif, keadilan yang membagi
b. Komunikatif, keadilan yang menyamaratakan. Biasanya dipakai di negara-
negara barat/komunis
10. Demokrasi
Demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan dimana kekuasaannya
bersandar pada masyarakatnya sendiri. Contoh utamanya ada pemungutan
suara. Ada banyak tipe demokrasi, demokrasi langsung menempatkan
pembuatan keputusannya secara langsung ke tangan masyarakat secara
individu. Sedangkan, demokrasi tidak langsung menempatkan pembuatan
keputusannya kepada pejabat resmi yang telah terpilih. Kebanyakan,
demokrasi pada masyarakat memiliki campuran dari langsung dan tidak
langsung. Demokari liberal adalah bentuk dari demokrasi dimana kebebasan
individu ditegaskan dan dilindungi. Beberapa hak dapat dilihat sebagai hak

119
yang tidak dapat dicabut, artinya hak tersebut merupakan hak dasar pada
individu dan tidak dapat dipindahkan maupun dihapuskan. Biasanya, hal ini
dapat dicapai melalui deklarasi konstitusi atau hukum undang-undang dan
pelarangan untuk menghalangi hak-hak tersebut. Keuntungan dari hal ini
adalah tidak adanya kekuatan mayoritas yang dapat menahan atau
menghalangi hak-hak tersebut tanpa melanggar perlindungan hak. Demokrasi
yang picik (tidak luas pengetahuannya) tidak memberikan jaminan terhadap
perlindungan hak. Sebaliknya, semua hak dipandang untuk memberikan
kepuasan kepada pemerintahan dan sebagai subyek pencabutan hak. Semua
minoritas dapat ditindas dengan mudah sesuai dengan kehendak mayoritas.
Dimana-mana katanya memakai demokrasi liberal, demokrasi ini sistem
yang canggih menurut banyak kalangan bahkan lebih canggih daripada
agama, kata orang-orang barat. Ada seorang warga negara Amerika keturunan
Jepang bernama Francis Fukuyama, ia adalah seorang pemikir politik,
penasihat kementerian luar negeri Amerika, dia ahli ekonomi dan ahli politik.
Ia mempunyai karya buku berjudul “The End of History and the Last Man”,
dalam bukunya itu digambarkan bahwa “nanti sehebat apapun negara itu pasti
berujung pada diterapkannya demokrasi, tidak ada sistem yang lebih bagus
daripada demokrasi, jadi percayalah semua akan gugur, mau komunis, mau
agama semua akan gugur dan lari ke demokrasi. Dan orang yang terakhir
hidup pun diyakini dia adalah orang yang hidup pada masa demokrasi.”.
Demokrasi ada 2, yaitu :
a. Demokrasi Substansial adalah demokrasi yang bicara tentang isi.
Bagaimana? Suatu kekuasaan dikelola dengan baik dan bermanfaat bagi
masyarakat banyak. Bagaimana pemerintah itu transparan? Bagaimana
pemerintah itu bisa dikoreksi oleh masyarakat bawahannya? Itu
demokrasi, tidak sewenang-wenang dalam melaksanakan kekuasaan. Ini
adalah substansi dari demokrasi, ada semboyan yang paling dahsyat yaitu
“Vox Populi, Vex Dei” artinya suara rakyat adalah suara tuhan. Jika
masyarakatnya banyak yang penjahat akan rusak negara tersebut karena
kebiasaan mereka.

120
b. Demokrasi Prosedural adalah demokrasi yang bicara tentang prosedur atau
mekanisme tata cara atau kulitnya demokrasi. Bagaimana pemilihan
disuatu negara? Contohnya milih Presiden, Anggota DPR, Gubernur,
Bupati, Walikota dan seterusnya. Pada demokrasi ini bagaimana tata cara
pemilihan. Dalam demokrasi ini sangat dianggungkan sampai ada sebuah
kalimat “One Man One Vote” satu orang satu suara. Dewan Perwakilan
India proses kepada PBB “kok One Man?”, wakil dari India adalah
seorang perempuan. Lalu oleh PBB dicoret diganti dengan “One Human
One Vote” satu manusia satu suara. Yang jelas sehat jasmaninya. Apakah
demokrasi akan selalu baik? Tidak, guncangan akan tetap terjadi.
Pemilihan demokrasi terbagus ada di Thailand karena sering kali kudeta
(sebuah tindakan secara mendadak oleh sekelompok kecil orang untuk
mengambil alih pemerintah atau menggulingkan pemerintahan biasanya
melalui kekerasan dan kegiatan anarkis). Kalau pemilihan Presiden itu
sudah pasti Demokrasi Prosedural.
11. Nomokrasi, diartikan sebagai suatu sistem pemerintahan bersifat teokrasi
yang berdasar pada syariat. Dalam artian lain, menurut A.V. Dicey,
Nomokrasi adalah sistem pemerintahan yang menjadikan hukum sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi bukan rakyat atau orang seperti pada
demokrasi. Teokrasi sendiri diartikan sebagai suatu cara dalam menjalankan
kehidupan bernegara dengan berdasar pada kepercayaan bahwa Tuhan lah
yang memerintah Negara secara langsung sehingga hukum yang diberlakukan
pun adalah hukum Tuhan melalui kuasa para ulama atau pun organisasi
keagamaan.
12. Bentuk Pemerintahan
Bentuk pemerintahan adalah suatu istilah yang digunakan untuk merujuk
pada rangkaian institusi politik yang digunakan untuk mengorganisasikan
suatu negara untuk menegakkan kekuasaannya atas suatu komunitas politik[1].
Definisi ini tetap berlaku bahkan untuk pemerintahan yang tidak sah atau
tidak berhasil menegakkan kekuasaannya. Tak tergantung dari kualitasnya,
pemerintahan yang gagalpun tetap merupakan suatu bentuk pemerintahan.

121
a. Oligarki
Bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang
oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut
kekayaan, keluarga atau militer
b. Otokrasi
Otokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya
dipegang oleh satu orang. Istilah ini diturunkan dari bahasa Yunani
autokratôr yang secara harfiah berarti "berkuasa sendiri" atau "penguasa
tunggal".
c. Diktator
Diktator adalah seorang pemimpin negara yang memerintah secara
otoriter/tirani dan menindas rakyatnya. Biasanya seorang diktator naik
takhta dengan menggunakan kekerasan, seringkali dengan sebuah kudeta.
Tetapi ada pula diktator yang naik takhta secara demokratis. Contoh yang
paling terkenal adalah Adolf Hitler. Seringkali diktator dibedakan dengan
despot. Seorang despot berkuasa secara sewenang-wenang pula, tetapi
kadangkala ada pula despot yang 'baik'.

122
Resume Mata Kuliah Hukum Tata Negara Pertemuan ke 12

(Rabu, 26 Juni 2019)

“Sejarah Ketatanegaraan Indonesia”

1. Bapak demokrasi : JJ Rousseu : orang Perancis


2. Diktator adalah orang yang mendikte kehidupan, fasisme itu megajarkan
tentang authoritarianisme/otoriter, paham diri dan otoriter bisa berubah
dikatator. Otoriter itu cikal bakalnya diktator. Totaliter dan ketika sudah mutlak
menjadi absolutisme
3. Demokrasi itu sangat menghargai HAM.
4. Asas :
1) Asas Sentralisasi
2) Asas desentralisasi
3) Asas dekosentralisasi
4) Asas devolusi
5. Kekuasaan di daerah (organ pusat di daerah), berdasasrkan :
1) Mandat
2) Pelegasi
3) Abribusi

Perkembangan ketatanegaraan dapat di bagi menjadi beberapa periode, sejak masa


Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang. Walaupun
sebenarnya tonggak ketatanegaraan Indonesia telah ada jauh sebelum proklamasi.
Secara formal, periode perkembangan ketatanegaraan itu dapat dirinci sebagai
berikut :
1. Periode berlakunya UUD 1945 (Agustus 1945 - 27 Desember 1949)
2. Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949 - 17 Agustus
1950)
3. Periode berlakunya UUD 1950 (17 Agustus 1950 - 5 juli 1959)
4. Periode berlakunya kembali UUD 1945 (5 juli 1959 - 21 Mei 1998). Pada
periode ini pun terbagi menjadi beberapa periode, yaitu :

123
a. Periode Orde Lama (5 juli 1959 - 11 Maret 1966)
b. Periode Orde Baru (11 Maret 1966 - 21 Mei 1998)
5. Periode Reformasi (21 Mei 1998-Sekarang)
PENJELASAN :
1. Periode Undang-Undang Dasar 1945
Bentuk negara Republik Indonesia pada kurun waktu 18 Agustus 1945
sampai dengan 27 Desember 1945 adalah Negara Kesatuan. Landasan yuridis
negara kesatuan Indonesia antara lain sebagai berikut.
a. Pembukaan UUD 1945 alinea 4, yang berbunyi :
“... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia ...” Hal tersebut menunjukan satu kesatuan bangsa Indonesia dan
satu kesatuan wilayah Indonesia.
b. Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi :
“Negara Republik Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk
Republik.” Kata Kesatuan dalam pasal tersebut menunjukkan bentuk
negara, sedangkan Republik menunjukkan bentuk pemerintahan. UUD 1945
tidak menganut teori pemisahan kekuasaan secara murni. Seperti yang
diajarkan Montesquieu dalam ajaran Trias Politika. UUD 1945 lebih
cenderung menganut prinsip Pembagian Kekuasaan (Distribution of Power).
Dalam prinsip Pembagian Kekuasaan antara lembaga yang satu dengan
yang lainnya masih dimungkingkan adanya kerja sama menjalankan tugas-
tugasnya.
Menurut UUD 1945, seperti yang telah di sebutkan di atas bahwa
kekuasaan-kekuasaan dalam negara di kelola oleh lima lembaga, yaitu :
1) Legislatif, yang dilakukan oleh DPR.
2) Eksekutif, yang di jalankan oleh presiden.
3) Konsultatif, yang dijalankan oleh DPA.
4) Eksaminatif (mengevaluasi), kekuasaan inspektif (mengontrol) dan
kekuasaan auditatif (memeriksa), yang di jalankan oleh BPK.
5) Yudikatif, yang dijalankan oleh Mahkamah Agung.

124
Namun, pembagian kekuasaan pada masa UUD 1945 kurun waktu 18
Agustus 1949 sampai dengan 27 Desember 1945 belum berjalan sebagaimana
mestinya. Hal ini disebabkan belum trebentuknya lembaga-lembaga negara
seperti yang di kehendaki UUD 1945.
Seperti kita ketahui, pada kurun waktu itu Indonesia hanya ada presiden,
wakil presiden, dan menteri-menteri, serta KNIP. Oleh karena itu, sejak
tanggal 18 Agustus 1945 sampai 16 oktober 1945 segala kekuasaan (eksekutif,
legislatif dan yudikatif) dijalankan oleh satu badan atau lembaga, yaitu
presiden dibantu oleh KNIP. Jadi dapat dikatakan belum ada pembagian
kekuasaan. Kekuasaan presiden yang demikian luas itu berdasarkan Pasal IV
aturan peralihan UUD 1945.
Namun, setelah munculnya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16
Oktober 1945, terjadi pembagian kekuasaan dalam dua badan, yaitu kekuasaan
legislatif dijalankan oleh KNIP dan kekuasaan-kekuasaan lainnya masih tetap
di pegang oleh presiden sampai tanggal 14 November.
Dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945,
kekuasaan eksekutif yang semula dijalankan oleh presiden beralih ke tangan
perdana menteri sebagai konsekuensi dari dibentuknya sistem pemerintahan
parlementer.
Mengingat keadaan pada masa awal kemerdekaan negara kita masih berada
masa peralihan hukum pemerintahan, pelaksanaan ketatanegaraan seperti yang
diamanatkan oleh UUD 1945 belum dapat sepenuhnya dilasanakan. Namun,
penjelasan UUD 1945 telah mengantisipasi keadaan itu. Menurut Pasal IV
Aturan peralihan, bahwa sebelum MPR, DPR , dan DPA di bentuk menurut
UUD 1945, segala kekuasaan negara dijalankan oleh presiden dengan bantuan
sebuah komite nasional.
Namun dalam perkembangannya KNIP yang dibentuk itu menuntut
kekuasaan legislatif kepada pemerintah atau presiden sehingga
keluarlah Maklumat Wakil Presiden No. X, yang memberikan kewenangan
kepada KNIP untuk menjalankan Kekuasaan legislatif (DPR atau MPR).

125
Penyimpangan kekuasaan KNIP menjadi lembaga legislatif (parlemen)
waktu itu dimungkinkan setelah keluarnya Maklumat Pemerintah pada 14
November 1945, yang menyatakan bahwa prinsip pertanggungjawaban
menteri-menteri kepada KNIP secara resmi diakui. Akibatnya, di bentuklah
kabinet baru yang dipimpin oleh Sutan Syahrir (sebagai Perdana Menterinya).
2. Periode Konstitusi Republik Indonesia Serikat ( RIS ) 1949
Menurut ketentuan pasal-pasal yang tercantum dalam Konstitusi RIS, sistem
pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan parlementer. Pada
sistem ini, Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen (Dewan Perwakilan
Rakyat) dan apabila pertanggungjawaban itu tidak diterima oleh Dewan
Perwakilam Rakyat maka dapat menyababkan bubarnya kabinet. Jadi,
kedudukan kabinet bergantung kepada DPR. Sistem pemerintahan parlementer
mempunyai ciri-ciri pokok berikut ini :
a. Perdana menteri bersama para menteri baik secara bersama ataupun sendiri-
sendiri bertangggung jawab kepada parlemen.
b. Pembentukan kabinet didasarkan pada kekuatan-kekuatan yang ada dalam
parlemen.
c. Para anggota kabinet mungkin seluruhnya atau sebagian mencerminkan
kekuatan yang ada dalam parlemen.
d. Kabinet dapat dijatuhkan setiap saat oleh parlemen dan sebaliknya kepala
negara dengan saran perdana menteri dapat memubarkan parlemen dan
memerintahkan diadakannya pemilihan umum.
e. Lamanya masa jabatan kabinet tidak dapat di tentukan dengan pasti.
f. Kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat atau di minta
pertanggungjawaban atas jalannya pemerintahan.
Dengan demikian, yang membedakan sistem pemerintahan presidensial dengan
parlementer adalah sebagai berikut :
a. Sistem pemerintahan presindensial yang menjadi kepala negara pasti
seorang presiden, sedangkan dalam pemerintahan parlementer yang menjadi
kepada negara bisa presiden, raja, atau kaisar.

126
b. Sistem pemerintahan parlementer, pemerintah bertanggung jawab dan
berada di bawah pengawasan parlemen,sedangkan dalam sistem
pemerintahan presindensial pemerintah tidak bertnggung jawab kepada
parlemen atau DPR.
Sejarah sistem pemerintahan parlementer di Indonesia telah dimulai sejak
periode berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama. Tepatnya sejak
dikeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Akibatnya,
kekuasaan pemerintahan bergeser dari tangan presiden kepada menteri atau
menteri-menteri . setiap undang-undang yang dikeluarkan harus terdapat tanda
tangan menteri (contra seign ministry). Dengan demikian, presiden tidak dapat
di ganggu-gugat. Oleh karena itu, yang bertanggung jawab dalam penetapan
suatu undang-undang adalah para menteri, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan Konstitusi RIS 1949, dapat di simpulkan
bahwa Konstitusi RIS 1949, dipengaruhi oleh Montesquieu, namun tidak
menganut teori tersebut secara murni. Konstitusi RIS 1949 menganut
Pembagian Kekuasaan, sedangkan Montesquieu menganjurkan Pemisahan
kekuasaan. Selain itu, kekuasaan negara bukan hanya terbagi dalam tiga
kekuasaan atau lembaga, tetapi terbagi dalam 6 lembaga negara.
Berikut ini keenam lembaga negara sebagai alat-alat perlengkapan federal
RIS, yaitu sebagai berikut :
a. Presiden
b. Menteri-menteri
c. Senat
d. Dewan Perwakilan Rakyat
e. Mahkamah Agung Indonesia
f. Dewan Pengawas keuangan.
Diantara badan-badan (kekuasaan) tersebut, terdapat hubungan yang bersifat
kerja sama dan pengawasan. Pembagian kekuasaan yang dimaksudkan itu
adalah sebagai berikut :

127
a. Kekuasaan pembentukan perundang-undangan (legislatif) yang di jalankan
oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan senat.
b. Kekuasaan melasanakan perundang-undangan atau pemerintahan
negara (eksekutif) yang dilakukan oleh pemerintah.
c. Kekuasaan mengadili pelanggaran perundang-undangan (yudikatif oleh
Mahkamah Agung).
Menurut Konstitusi RIS 1949 bahwa kekuasaan pembentukan perundang-
undangan federal dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan
senat terhadap undang-undang yang isinya melibatkan beberapa negara/daerah
bagian atau antara pemerintah federal dengan negara/daerah bagian. Untuk
undang-undang yang isinya di luar itu, cukup dilakukan oleh pemerintah
bersama-sama dengan DPR.
Oleh karena itu, agar suatu undang-undang mempunyai kekuatan mengikat
maka harus disetujui oleh DPR dan senat serta disahkan oleh pemerintah.
Dalam hal pengesahan ini suatu undang-undang selain ditandatangani oleh
presiden juga ditandatangani oleh menteri yang bertanggung jawab terhadap
materi undang-undang tersebut.
Dengan demikian, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan senat dalam
melaksanakan kekuasaan legislatif harus bekerja sama, Demikian pula
pemerintah, dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan harus benar-benar
memperhatikan suara Dewan Perwakilan Rakyat . jadi, dalam hal ini antara
pemerintahan dan DPR dan senat terdapat hubungan yang bersifat kerja sama.
Mahkamah Agung berfungsi sebagai penilai masalah penerapan atau
pelanggaran hukum dan peradilan tingkat kasasi. Kedudukan Mahkamah
Agung sebagai pengadilan federasi tinggi yang berwenang melakukan
pengawasan tertinggi atas perbuatan-perbuatan, baik pengadilan federal
maupun pengadilan negara/daerah bagian. Di samping itu, Mahkamah Agung
berhak memberi nasihat kepada presiden yang berkenaan dengan pemberian
grasi atau hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan.
Konstitusi RIS yang bersifat liberal federalistik tidak sesuai dengan
semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945, Pancasila, dan

128
kepribadian bangsa Indonesia. Oleh karena itu,muncullah berbagai reaksi dan
unjuk rasa dari negara-negara bagian menuntut pembubaran negara RIS dan
kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas desakan itu maka
tanggal 8 Maret 1950, Pemerintah Federal mengeluarkan Undang-Undang
Darurat Nomor 11 Tahun 1950, yang isinya mengatur tata cara perubahan
susunan kenegaraan RIS. Dengan adanya undang-undang tersebut hampir
semua negara bagian RIS menggabungkan diri dengan negara Republik
Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Akhirnya, Negara RIS hanya memiliki
tiga negara bagian, yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur
dan Negara Sumatera Timur.
Keadaan itu mendorong negara RIS berunding dengan RI untuk
membentuk negara kesatuan. Pada 19 Mei 1950, dicapai kesepakatan
membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dituangkan
dalam sebuah piagam persetujuan. Disebutkan pula bahwa Negara Kesatuan itu
akan berdasarkan undang-undang dasar baru yang merupakan gabungan unsur-
unsur UUD 1945 dengan Konstitusi RIS yang menghasilkan UUDS 1950.
Negara Kesatuan RI secara resmi berdiri pada tanggal 17 Agustus 1950 dan Ir.
Soekarno terpilih sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil
Presiden. Sejak saat itu pula pemerintah menjalankan pemerintahan dengan
menggunakan UUDS 1950.
3. Periode UUDS 1950
Bentuk negara yang dianut Negara Indonesia pada masa berlakunya bentuk
UUDS 1950 adalah negara kesatuan. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 1
ayat 1 UUDS 1950 yang berbunyi, “Republik Indonesia yang merdeka dan
berdaulat ialah negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.
Bentuk negara kesatuan merupakan kehendak rakyat Indonesia. Hal ini
dikemukakan dalam UU No. 7 Tahun 1950. Selain itu, pada bagian
Mukaddimah UUDS 1950 alinea 4 disebutkan : “Maka demi ini kami
menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam Negara yang berbentuk
Republik Kesatuan...”

129
Sistem pemerintahan yang dianut oleh UUDS 1950 adalah sistem
pemerintahan parlementer. Dengan demikian, sistem pemerintahan yang
digunakan pada masa Konstitusi RIS 1949 masih dipertahankan oleh UUDS
1950. Sebagai dasar hukum UUDS 1950 mengatur sistem pemerintahan
parlementer, dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan berikut ini.
Dalam pasal 45 disebutkan “Presiden ialah Kepala Negara”. Karena
presiden sebagai kepala negara, ia tidak dapat diminta pertanggung jawaban
atas pelaksanaan pemerintahan. Pernyataan pasal 45 tersebut kemudian
dipertegas oleh pasal 83 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
(1) Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat
(2) Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan
pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing
untuk bagiannya sendiri-sendiri.
Berdasarkan pasal tersebut, jelaslah bahwa yang bertanggung jawab atas
seluruh kebijaksanaan pemerintah adalah menteri-menteri. Menteri-menteri
tersebut harus bertanggung jawab atas kebijakannya kepada parlementer DPR.
Ketentuan lain yang menunjukkan bahwa UUDS 1950 menganut sistem
pemerintahan parlementer adalah pasal 84, yang berbunyi : “Presiden berhak
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”. Keputusan presiden yang
menyatakan pembubaran itu, memerintahkan pula untuk mengadakan
pemilihan DPR baru dalam 30 hari.
Masa berlakunya UUDS 1950 diisi dengan jatuh bangunnya kabinet
sehingga pemerintahan tidak stabil. Hal tersebut disebabkan oleh hal-hal
berikut :
a. Adanya sistem pemerintahan parlementer yang disertai sistem multipartai
(banyak partai).
b. Perjuangan partai-partai politik hanya untuk berkepentingan golongan atau
partainya.
c. Pelaksanaan sistem demokrasi yang tidak sehat.

130
Oleh karena itu, baik UUD RIS maupun UUD 1950 menggunakan Pancasila
sebagai dasar negara hanya dalam ketentuan formal, sedangkan jiwa
kekeluargaannya belum mampu dilaksanakan secara operasional.
Pada masa berlakunya UUDS 1950, kekuasaan-kekuasaan negara dipegang
oleh beberapa alat perlengkapan negara. Hal ini berarti kekuasaan dalam
negara tidak dipegang atau dipusatkan pada satu badan atau lembaga.
Berdasarkan Pasal 44 UUDS 1950, alat-alat perlengkapan negara adalah
sebagai berikut :
a. Presiden dan Wakil Presiden
b. Menteri-menteri
c. Dewan Perwakilan Rakyat
d. Mahkamah Agung
e. Dewan Pengawas Keuangan.
Sebagaimana undang-undang dasar sebelumnya, dalam UUDS 1950 pun
menganut ajaran pembagian kekuasaan. Hal ini terbukti dengan ditentukannya
badan-badan yang memegang ketiga kekuasaan tersebut :
a. Kekuasaan pemerintah negara (eksecutive power) dilakukan oleh dewan
menteri.
b. Kekuasaan perundang-undangan (legislative power) dilakukan oleh
pemerintah bersama-sama dengan DPR.
c. Kekuasaan kehakiman (yudicative power) dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
Sesuai dengan sistem parlementer yang dianut oleh UUDS 1950, kekuasaan
pemerintah negara (eksekutif) dilakukan sepenuhnya oleh dewan menteri
sehingga kebijaksanaan pemerintah dipertanggung jawabkan oleh dewan
menteri kepada DPR. Namun, mereka juga harus memperhatikan
kebijaksanaan presiden/kepala negara. Begitu pula mengenai hal-hal yang
penting atau menyangkut kepentingan nasional, dewan menteri baik secara
kolektif maupun sendiri-sendiri berkewajiban memberitahukan kepada
presiden.

131
Kekuasaan perundang-undangan (legislatif) dilakukan oleh pemerintah
bersama Dewan Perwakilan Rakyat, kecuali dalam perubahan undang-undang
dasar. Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak untuk mengajukan
rancangan undang-undang. Selama masa berlakunya Undang-Undang Dasar
Sementara 1950, hak tersebut pernah digunakan oleh DPR sebanyak delapan
kali. Dengan demikian, pemerintah (presiden dan menteri-menteri) dan DPR
harus bekerja sama dibidang legislatif karena setiap undang-undang harus
memperoleh persetujuan DPR dan pengesahan pemerintah.
Pengesahan pemerintah dilakukan dengan cara menandatangani undang-
undang oleh presiden dan menteri yang bersangkutan dengan menteri undang-
undang. Jadi dapat dikatakan bahwa antara pemerintah dan DPR terdapat
hubungan yang bersifat kerja sama.
Bidang yudikatif sepenuhnya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.
Menurut pasal 105 ayat 1 dan 2 UUDS 1950. Mahkamah Agung adalah
pengadilan negara tertinggi yang bertugas melakukan pengawasan tertinggi
atas perbuatan pengadilan-pengadilan lain, berdasarkan aturan-aturan yang
ditetapkan dengan undang-undang. Di samping itu, Mahkamah Agung dapat
memberi nasihat kepada presiden berkenaan dengan pemberian grasi atas
hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan.
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, berlakulah
kembali UUD 1945 sebagai landasan konstitusional pemerintahan Republik
Indonesia. Pada masa itu demokrasi liberal yang di praktikkan pada masa
berlakunya UUDS 1950 tidak dipergunakan sistem Demokrasi Terpimpin.
UUDS 1950 pun menganut sistem pemerintahan kabinet parlementer. Hal
ini tampak jelas dari pasal 83 UUDS 1950 yang menyebutkan ketentuan
sebagai berikut :
1. Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.
2. Menteri-menteri bertanggung jawab atas keseluruhan kebijaksanaan
pemerintah, baik bersama-sama untuk keseluruhan maupun masing-masing
untuk bagiannya sendiri-sendiri.

132
Kemudian pasal 84 UUDS 1950, menyatakan bahwa : “Presiden berhak
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”, dengan ketentuan harus
mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat baru dalam 30 hari.
UUDS 1950 inipun bersifat sementara yang ditegaskan dalam pasal 134
bahwa, “Konstituante bersama-sama pemerintah selekas-lekasnya menetapkan
Undang-Undang Dasar Sementara ini”.
Badan Konstituate yang diserahi tugas membuat undang-undang dasar baru
tetap tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Keadaan ini memancing
berkembangnya persaingan politik yang membawa akibat luas dalam berbagai
tata kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Situasi gawat itu mendorong
presiden mengajukan konsepsinya mengenai sistem Demokrasi Terpimpin
dalam rangka kembali ke UUD 1945. Konsepsi itu disampaikan didepan sidang
pleno DPR hasil Pemilu tahun 1955.
Perdebatan terus berlarut-larut tanpa menghasilkan suatu keputusan penting,
sementara keadaan negara semakin gawat dan tidak terkendali yang
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa negara Indonesia. Keadaan itu
mendorong Presiden Soekarno menggunakan wewenangnya, yakni dengan
mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang berisi :
a. Pembubaran Badan Konstituante
b. Memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
c. Pembentukan MPR dan DPA sementara.
4. Periode Berlakunya Kembali UUD 1945
a. Periode Orde Lama (5 Juli 1959 - 11 Maret 1966)
Para pembentuk UUDS 1950 sejak semula menyebutkan bahwa UUD
tersebut masih bersifat sementara. Hal ini ditegaskan dalam pasal 134 yang
berbunyi : “Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar)
bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD
Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini”.
Mengingat UUDS 1950 masih bersifat sementara, maka harus ada UUD
yang tetap yang akan ditetapkan oleh Konstituate bersama-sama dengan
pemerintah.

133
Berdasarkan UUDS 1950, pembentukan anggota-anggota Konstituate
harus diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum untuk anggota
Konstituante tersebut, baru dapat diselenggarakan pada bulan Desember
1955. Pada 10 November 1956, sidang pertama konstituante dibuka di
Bandung oleh Presiden Soekarno. Pada saat itu Presiden Soekarno untuk
kali pertama memperkenalkan istilah Demokrasi Terpimpin.
Rakyat dan pemerintah sangat berharap Konstituante dapat membentuk
UUD baru dengan segera. Dengan munculnya UUD baru diharapkan dapat
mengubah tatanan kehidupan politik yang dinilai kurang baik.
Lebih dari dua tahun bersidang, Konstituante belum berhasil
merumuskan rancangan UUD baru. Ketika, itu perbedaan pendapat yang
telah menjadi perdebatan didalam gedung Konstituante mengenai dasar
negara telah menjalar keluar gedung Konstituante, sehingga diperkirakan
akan menimbulkan ketegangan politik dan fisik di kalangan masyarakat.
Perdebatan-perdebatan dikalangan anggota Konstituate tentang dasar
negara sulit untuk diselesaikan. Sehubungan dengan itu, pada bulan Maret
1959 pemerintah memberikan keterangan dalam sidang pleno DPR
mengenai Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali kepada UUD 1945.
Perdana Menteri Djuanda menegaskan bahwa usaha untuk kembali kepada
UUD 1945 itu harus dilakukan secara konstituante untuk menetapkan UUD
1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia.
Mengingat suhu politik yang semakin “memanas”, pada 22 April 1959
Presiden Soekarno menyampaikan amanat kepada Konstituante. Amanat
tersebut memuat anjuran kepala negara dan pemerintah untuk kembali ke
UUD 1945. Disamping itu, menegaskan pula pokok-pokok Demokrasi
Terpimpin, yaitu sebagai berikut :
1. Demokrasi Terpimpin bukanlah diktator, berlainan dengan Demokrasi
Sentralisme dan berbeda pula dengan Demokrasi Liberal yang
dipraktikkan selama ini.
2. Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian
dan dasar hidup bangsa Indonesia.

134
3. Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan
kemasyarakatan yang meliputi bidang-bidang politik dan sosial.
4. Inti dari pimpinan dalam Demokrasi Terpimpin adalah pemusyawaratan
yang “dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, bukan oleh penyiasatan dan
perdebatan yang diakhiri dengan pengaduan kekuatan dan perhitungan
suara pro dan kontra”.
5. Oposisi dalam arti melahirkan pendapat yang sehat dan yang membangun
diharuskan dalam alam Demokrasi Terpimpin.
6. Demokrasi Terpimpin merupakan alat, bukan tujuan.
7. Tujuan melaksanakan Demokrasi Terpimpin ialah mencapai sesuatu
masyarakat yang adil dan makmur, yang penuh dengan kebahagiaan
materil dan spiritual, sesuai dengan cita-cita proklamasi 17 Agustus
1945.
8. Sebagai alat, Demokrasi Terpimpin mengenal juga kebebasan berpikir
dan berbicara, tetapi dalam batas-batas tertentu.
Pada dasarnya, saran untuk kembali kepada UUD 1945 tersebut
dapat diterima oleh para anggota Konstituate, namun dengan pandangan
yang berbeda. Pertama, menerima saran untuk kembali kepada UUD 1945
secara utuh. Kedua, menerima untuk kembali kepada UUD 1945 tetapi
dengan amandemen, yaitu sila ke satu Pancasila seperti yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 harus diubah dengan sila ke satu Pancasila
seperti tercantum dalam Piagam Jakarta. Adapun prosedur untuk kembali
kepada Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana diputuskan oleh Kabinet
Karya adalah sebagai berikut :
1. Setelah terdapat kata sepakatantara Presdiden dan Dewan Menteri maka
pemerintah minta supaya diadakan sidang pleno Konstituante.
2. Atas nama pemerintah, disampaikan oleh presiden amanat berdasarkan
pasal 134 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 kepada Konstituante
yang berisi “anjuran” supaya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945 ditetapkan.

135
3. Jika anjuran itu diterima oleh Konstutuante, pemerintah atas ketentuan
pasal 137 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 mengumumkan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 itu dengan keluhuran.
Pengumuman dengan keluhuran itu dilakukan dengan suatu piagam yang
ditanda tangani dalam suatu sidang pleno Konstituante di Bandung oleh
presiden, para menteri, dan para anggota Konstituante, yang antara lain
memuat Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945.
Setelah melalui berbagai macam usaha, Konstituante tidak dapat
mengambil keputusan untuk menerima anjuran tersebut. Hal ini sah-sah saja
mengingat kewenangan untuk mempersiapkan dan membentuk undang-
undang dasar ada di tangan Konstituante, sedangkan pemerintah yang
melandaskan pada pasal 137 hanya berwenang mengesahkan dan
mengumumkan.
Langkah yang dilakukan oleh pemerintah bisa dianggap sebagai bentuk
intervensi kewenangan dalam membentuk UUD. Berdasarkan kondisi itulah
maka presiden mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959 yang pada intinya
menegaskan untuk kembali kepada UUD 1945 dan membubarkan
Konstituante.
Dengan Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan mengingat lembaga-
lembaga negara belum lengkap maka dilakukan beberapa langkah sebagai
berikut :
1. Pembaruan susunan Dewan Perwakilan Rakyat melalui Penetapan
Presiden No. 3 Tahun 1960.
2. Penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR)
dengan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960. Dalam Pasal ditentukan
bahwa anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat diberhentikan dengan
Hormat dari jabatannya terhitung mulai tanggal pelantikan Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong oleh presiden.
3. Untuk melaksanakan Dekrit Presiden, Presiden mengeluarkan Penetapan
Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara.

136
4. Penyusunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan
Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1960.
5. Dikeluarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959 tentang Dewan
Pertimbangan Agung Sementara.
Ditinjau dari aspek konstitusional, langkah-langkah penyusunan DPRGR
dan MPRS yang dilakukan dengan Penetapan Presiden jelas menyimpang
dari UUD 1945 yang berlaku berdasarkan Dekrit Presiden. Apalagi langkah
seperti ini terlebih dahulu diawali dengan pembubaran Dewan Perwakilan
Rakyat hasil Pemilihan umum berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun
1953. Lain daripada itu, dalam sistematika UUD 1945 produk hukum
(perundang-undangan) yang berbentuk Penetapan Presiden sama sekali
tidak dikenal. Oleh sebab itu langkah-langkah yang diambil oleh presiden
dalam rangka melaksanakan Demokrasi Terpimpin dan kembali ke UUD
1945 justru merupakan langkah-langkah yang menyalahi konstitusi. Bahkan
dalam melakukan langkah-langkah ini presiden melandaskan pada pasal IV
aturan Peralihan UUUD 1945, juga masih belum dapat dikategorikan
bersifat konstitusional, sebab Dewan Perwakilan Rakyat sudah terbentuk
melalui Pemilu tahun 1955.
Dengan demikian sejak berlakunya kembali UUD 1945 berdasarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam
UUD 1945 belum dapat dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Banyak
penyimpangan yang telah terjadi antara lain sebagai berikut :
1. Lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, DPA belum dibentuk
berdasarkan undang-undang. Lembaga-lembaga negara ini masih bersifat
sementara
2. Pengangkatan presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup melalui
ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963. Ketetapan ini melanggar ketentuan
pasal 7 UUD 1945 yang tegas-tegasnya menyatakan bahwa presiden dan
wakil presiden memegang jabatannya selama masa 5 tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali.

137
Sejarah Indonesia mencatat bahwa penyimpangan-penyimpangan
konstitutional ini mencapai puncaknya dibidang politik dan peristiwa
gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini masih menjadi perdebatan sampai
saat ini. Sejarah mengenai peristiwa gerajan 30 September 1965 masih
menyimpan berbagai misteri. Banyak ahli sejarah dan bahkan pelaku sejarah
yang mencoba melakukan penelusuran kembali, akan tetapi sayang banyak
dokumen yang hilang.
Terlepas dari kebenaran dari masing-masing versi tersebut, yang jelas
peristiwa 30 September 1965 telah menimbulkan kekacauan sosial budaya
dan instabilitas pemerintahan serta meninggalkan “sejarah hitam” dalam
peta politik dan hukum ketatanegaraan Indonesia. Puncak dari peristiwa
seperti ini adalah jatuhnya legitimasi presiden Soekarno dalam memegang
tampuk kekuasaan negara. Letimasi itu semakin terpuruk dengan
dikeluarkannya surat perintah 11 maret 1966 (Supesemar) yang pada
hakikatnya merupakan perintah dan presiden kepada Letnan Jendral
Soeharto untuk mengambil segala tindakan dalam menjamin keamanan dan
ketentraman serta stabilitas jalannya pemerintahan. Keberadaan supersemar
itu sendiri sampai sekarang masih misterius. Bahkan, penerbitan surat
perintah seperti ini juga masih memunculkan berbagai kontroversi.
Kemudian dengan ketetapan MPRS No. IX MPRS 1966, Surat Perintah 11
Maret 1966 dikukuhkan dengan masa berlaku sampai terbentuknya MPR RI
hasil pemilihan umum yang akan datang.
Oleh karena pemilihan umum yang sedianya akan diselenggarakan pada
5 Juli 1968 tertunda sampai 5 Juli 1971 dan mengingat telah dikeluarkannya
ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan
Pemerintahan Negara Dari Tangan Presiden Soekarno. Demi terciptanya
kepimpinan nasional yang kuat dan terselenggaranya kestabilan politik,
ekonomi dan hankam dikeluarkanlah Ketetapan MPRS No.
XLIV/MPRS/1968 tentang pengangkatan pengemban ketetapan majelis
permusyawaratan rakyat sementara No. IX/MPRS/1966 sebagai presiden
republik Indonesia, yang antara lain menyatakan : “Mengangkat jenderal

138
Soeharto sebagai presiden republik Indonesia sampai terpilihnya presiden
oleh MPR hasil pemilihan umum”
b. Periode Orde Baru (11 Maret - 21 Mei 1998)
Setelah turunnya Presiden Soekarno dari tampuk kepresidenan, maka
berakhirlah orde lama. Kepimpinan disahkan kepada jenderal Soeharto
mulai memegang kendali pemerintahan dan menanamkan era
kepemimpinan sebagai orde baru. Di era ini konsentrasi penyelenggaraan
sistem pemerintahan dan kehisupan demokrasi menitikberatkan kepada
aspek kestabilan politik dalam rangka menunjang pembangunan nasional.
Untuk mencapai titik tolak tersebut, dilakukanlah upaya-upaya pembenahan
sistem ketatatnegaraan dan format politik yang pada prinsipnya mempunyai
sejumlah sisi yang menonjol yaitu :
1. Adanya konsep dwi fungsi ABRI
2. Pengutamaan Golongan Karya
3. Magnifikasi kekuasaan ditangan eksekutif
4. Diteruskannya sistem pengangkatan dalam lembaga-lembaga perwakilan
rakyat
5. Kebijaksanaan depolitisasi khususnya masyarakat pedesaan melalui
konsep massa mengambang (floating mass)
6. Kontrol atas kehidupan pers.
Konsep Dwi fungsi ABRI pada masa itu secara implisit sebenarnya
sudah dikemukakan oleh kepala staff angkatan darat, Mayjen A.H.
Nasution, tahun 1958 yaitu dengan konsep “jalan tengah”. Prinsipnya
menegaskan bahwa peran tentara, tidak terbatas pada tugas profesional
militer belaka, melainkan juga mempunyai tugas-tugas dibidang sosial
politik. Dengan konsep seperti inilah dimungkinkan dan bahkan menjadi
semacam kewajiban jikalau militrer berpartisipasi dibidang politik.
Penerapan konsepsi ini, menurut penafsiran militer dan penguasaan orde
baru memperoleh landasan urigis konstitusional didalam pasal 2 ayat 1
UUD 1945 yang menegaskan “ Majelis Permusyawaratan rakyat terdiri atas
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-

139
utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut keaturan yang
ditetapkan dengan undang-undang”
Dengan demikian dibidang politik militer (TNI/POLRI), memperoleh
jatah dilembaga-lembaga politik (DPR dan MPR) melalui proses
penunjukkan dan pengangkatan. Artinya, militer secara otomatis akan
memperoleh jatah keanggotaan dilembaga-lembaga tersebut tanpa melalui
proses pemilihan umum. Kondisi seperti ini menunjukkan adanya
paradigma ketatanegaraan yang tidak lazim dikenal didalam negara
demokrasi.
Dibidang kepartaian, pada 27 Februari 1970, presiden Soeharto
mengadakan konsultasi dan parpol-parpol guna membahas gagasan untuk
mengelompokkan partai-partai politi yang ada. Gagasan tersebut akhirnya
diarealisasikan dalam pemilihan umum 1977. Pada pemilu tersebut terdapat
3 kakuatan sosial politik, yaitu 2 partai politik (PDI dan PPP) dan satu
Golkar. Keberadaan ketiga kekuatan sosial politik ini kemudian diperkuat
dengan keluarnya undang-undang no. 3 tahun 1975 tentang partai politik
dan golongan karya. Dengan UU inilah dalam kurun waktu lebih kurang 32
tahun konstelasi politik Indonesia hanya membatasi adanya 2 partai politik
dan Golkar sebagai kekuatan sosial politik yang sah berhak hidup dinegara
kesatuan republik Indonesia.
Sejarah menunjukkan bahwa dalam setiap pemilihan umum, yang
diselenggarakan orde baru, Golkar selalu berhasil menjadi single
majority, dan setiap pemilihan presiden RI, Soeharto selalu dapat terpilih
kembali secara aklamasi kondisi semacam ini mengakibatkan adanya dua
fenomena ketatanegaraan indonesia. Pertama sistem ketatanegaraan yang di
jalankan pada waktu itu lebih menekankan pada kestabilan politik dan
memang berhasil. Kedua, terjadi pemasungan hak-hak politik bagi warga
negara, khususnya dalam hal berserikat dan berkumpul untuk mengeluarkan
pendapat baik tertulis maupun lisan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa orde baru memang berhasil dalam
mewujudkan stabilitas politik. Pembangunan dapat berjalan secara bertahap

140
berkelanjutan. Tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 7%. Indonesia telah
mampu berswasembada pangan. Indikator-indikator inilah yang
dipergunakan untuk menilai keberhasilan orde baru. Akan tetapi, sebaliknya
dilingkungan infrastruktur politik, telah terjadi pembelengguan hak politik
bagi warga negara. Puncak dari kesadaran semacam ini adalah terjadinya
garakan reformasi sebagai akibat adanya krisis multi dimensional pada akhir
1997 dan awal 1998. Kemudian karena krisis multi dimensional tersebut
tidak dapat terselesaikan dengan segera diawali dengan terjadinya
kerusuhan tanggal 13-14 Mei 1998 presiden soeharto meletakkan
jabatannya pada 20 Mei 1998 dan digantikan oleh wakil presiden B.J
Habibie.
Penggantian jabatan tersebut menurut sementara pihak merupakan
langkah konstitusional, sebab pasal 8 UUD 1945 telah menagaskan bahwa “
jika presiden mangkar, berganti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya,ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis
waktunya.” Namun dipihak yang lain, proses penggantian tersebut dianggap
inkonstitusional. Bagi pihak yang menganggap pergantian tersebut adalah
inkonstitusional, dilandasi oleh adanya anggapan bahwa proses pegantian
tersebut tidak ditandai dengan penyerahan kembali mandat yang diterima
oleh Soeharto kepada MPR.
Dalam teori perundang-undangan dikenal adanya dua jenis Ketetapan
MPR jika ditinjau dari sifatnya, yaitu Ketetapan MPR yang bersifat
perundang-undangan dan Ketetapan MPR yang bersifat bukan perundang-
undangan. Ketetapan MPR yang memberikan mandat presiden, pada
hakikatnya tidak dapat dikatagorikan bersifat perundang-undangan. Hal ini
mengingat suatu produk hukum disebut perundang-undangan, kalau bersifat
dan mengikat umum. Ketetapan tersebut sifatnya kongkrit, individual, dan
final. Oleh sebab itu, ketetapan MPR yang mengangkat Soeharto sebagai
Presiden bisa dikatakan mirip dengan Ketetapan Tata Usaha Negara.
Berdasarkan sifat seperti itulah, peralihan Jabatan Presiden dari Soeharto
kepada Wakil Presiden (B. J. Habibie) harus diawalin dengan penyerahan

141
mandat (Ketetapan MPR) terlebih dahulu. Pendek kata mandat sebagaimana
digariskan oleh Ketetapan MPR tidak dapat dialihkan begitu saja. Walaupun
demikian, pemerintahan tetap jalan dengan mengangkat B.J. Habibie
sebagai Presiden RI ketiga.
5. Periode Reformasi
Setelah “tumbangnya” Orde Baru maka dimulailah pentahapan konsolidasi
sistem demokrasi di Indonesia. Konsolidasi tersebut antara lain adalah
melakukan perubahan dan penggantian berbagai peraturan perundang-
undangan yang dirasa tidak memberikan ruang bagi kehidupan demokrasi dan
prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Adapun peraturan perundang-undangan yang
mengalami perubahan atau penggantian bahkan dihilangkan dalam kehidupan
ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Ketetapan MPR No,IV/MPR/1983 tentang Referendum.
b. Undang-Undang No. 5 tahun 1985 tentang Referendum.
c. Undang-Undang di bidang politik (UU Susduk MPR/DPR/DPRD,UU
Pemilihan Umum, UU Partai politik dan Golongan Karya ). Undang-undang
ini kemudian diganti dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1999 tentang
Susduk MPR/DPR/DPRD, UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, dan
UU No.3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
d. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan di Daerah, diganti
dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25
Tahun 1999 yang sering disebut sebagai Undang-undang tentang Otonomi
Daerah.
Gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa Indonesia mencapai
puncak dengan mundurnya Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan
nasional pada 20 Mei 1998. Selama Presiden Soeharto memegang tampuk
kekuasaan pemerintahan negara dengan akulumasi tenggang waktu lebih
kurang 30 tahun, sistem pemerintahan Indonesia mengarah kepada supremasi
eksekutif. Artinya, kekuasaan Presiden RI telah merambah ke tiga cabang
kekuasaan lain dan bahkan secara politis cabang-cabang utama kekuasaan,
seperti DPR dan MPR telah terkooptasi oleh kepentingan dan kehendak

142
presiden. Model supremasi eksekutif ini mengakibatkan langgam politik
ketatanegaraan Indonesia justru mengarah pada pola otoriterisme.
Kondisi semacam inilah yang mengakibatkan akuntabilitas penyelenggaraan
pemerintahan menjadi lemah, sehingga kontrol terhadap pelaksanaan
pemerintah menjadi tidak berjalan. Akibat dari kesemuanya itu adalah krisis
multidimensional yang dialami oleh Indonesia dipertengahan tahun 1997 tidak
dapat tertanggulangi. Bahkan, keterpurukan moralitas penyelenggaraan negara
melalui apa yang disebut Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) menjadi
faktor pendukung utama keterpurukan Indonesia di bidang ekonomi, politik,
hukum, dan sosial budaya.
Gerakan reformasi yang dikumandakan oleh mahasiswa Indonesia tersebut,
sejatinya bukanlah merupakan gerakan yamg berdiri sendiri. Gerakan ini pada
hakikatnya merupakan imbas dari gerakan-gerakan demokrasi yang
berkembang di belahan dunia lain yang oleh samuel P. Huntington dikatakan
sebagai efek “bola salju”. Berkaitan dengan hal inilah. Samuel P. Huntington
mengemukakan bahwa proses demokratisasi pada umumnya melalui tiga
periode, yakni periode pengakhiran rezim non demokrasi, pengukuhan rezim
demokrasi, dan pengkonsolidasian sistem yang demokrasi.
Bertitik tolak dari gambaran tersebut, Reformasi Indonesia yang utama
adalah menuju tatanan kehidupan ketatanegaraan yang demokratis dapat dilihat
dari ketiga periode sebagaimana dikemukakan oleh Huntington. Ketiga periode
yang dimaksud adalah pertama, pengakhiran rezim nondemokratis, yakni
ditandai dengan tumbangnya kekuasaan Presiden Soeharto sebagai akibat
ketidakmampuannya dalam mempertahankan legitimasi di hadapan masa
rakyat dan mahasiswa. Kedua, pengukuhan rezim demokratis yang ditandai
dengan dilaksanakannya Pemilu tahun 1999 dengan sistem multipartai. Dalam
pemilu ini telah dihasilkan DPR dan MPR dengan komposisi yang relatif
heterogen dan tidak ada satupun partai politik yang menduduki kursi mayoritas
di kedua lembaga tersebut. Dalam periode ini pula telah terpilih presiden dan
wakil presiden yang memang sejak semula dianggap demokratis dan populis,
yakni Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, sebagai Presiden dan Megawati

143
Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden. Ketiga periode konsolidasi sistem
demokratis ditandai dengan adanya pembenahan struktur ketatanegaraan
Indonesia, misalnya dengan dibentuknya Paket UU dibidang Politik, UU No.
22 Tahun 1999 diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan yang paling penting adalah dilakukannya amandemen terhadap
UUD 1945 oleh MPR melalui Panitia Ad Hoc I MPR-RI. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa proses amandemen UUD 1945 merupakan sarana
untuk melaksanakan konsolidasi sistem demokrasi.
Didalam amandemen UUD 1945 tersebut, antara lain ditegaskan bahwa
sistem Pemerintahan Presidensial akan tetap dipertahankan dan bahkan
diperkuat melalui mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara
Langsung. Terkait dengan penegasan sistem pemerintahan negara Indonesia,
pasal-pasal dari UUD 1945 yang terkait dengan hal tersebut dan telah
diamandemen untuk pertama kali adalah sebagai berikut.
a. Pasal 5 ayat 1 menegaskan “Presiden berhak mengajukan Rancangan
Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal ini dulunya
berbunyi “Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat". Pasal ini dulunya berbunyi
“Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
b. Pasal 7 menegaskan : “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan
yang selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan
yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Pasal ini merupakan
bentuk perubahan yang sangat signifikan dari ketentuan yang sebelum
diamandemen yang menegaskan: “Presiden dan Wakil Presiden memegang
jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.
Perubahan ini dikatakan cukup signifikan karena sebelum pasal tersebut
dilakukan perubahan, pasal tersebut menjadi dasar konstitutional bagi
Presiden Soeharto untuk dipilih berulang kali sehingga total waktu yang
dipergunakan oleh Presiden Soeharto untuk memangku jabatan Presiden

144
menjadi kurang lebih 30 tahun. Suatu akumulasi masa jabatan yang luar
biasa panjang.
c. Pasal 17 ayat 2 menyatakan : “Menteri-menteri diangkat dan di berhentikan
oleh Presiden”.
d. Pasal 20 ayat 1 menyatakan “Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang”.
Kendati Pasal-pasal UUD 1945 yang suda diamandemen tersebut
memberikan indikasi pelaksanaan sistem presidensial, tetapi dalam praktik
penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia, sistem presidensial ini masih
belum dilaksanakan secara murni. Hal ini tampak jelas tertuang di dalam Tap
MPR No. IV/MPR/1999 tentang Tata Cara Pencalonan dan pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Di dalam pasal 8 menyatakan sebagai
berikut :
a. Fraksi dapat mengajukan seorang Presiden.
b. Calon presiden dapat juga dianjukan oleh sekurang-kurangnya tujuh puluh
orang anggota Majelis yang terdiri atas satu fraksi atau lebih.
c. Setiap anggota Majelis hanya boleh menggunakan salah satu cara pengajuan
Calon Presiden sebagaimana disebutkan dalam ayat 1 dan 2 pasal ini.
Dengan memperhatikan ketentuan seperti ini, tampak jelas bahwa pemilihan
presiden tidak dilakukan secara langsung, melainkan masih merupakan
wewenang dari MPR melalui pengusulan oleh anggota MPR maupun fraksi
(sebagai perpanjang dari parpol peserta pemilu). Ini berarti dalam hal
rekruitmen kepala pemerintahan masih tetap mempergunakan pola sistem
parlementer.
Sistem pemerintahan parlementer ini semakin menunjukkan eksitensinya
ketika Presiden Abdurahaman “gus Dur” Wahid memperoleh memorandum I,
II, dan III oleh DPR karena dianggap terlibat dalam kasus penyelewengan dana
Bulog dan bantuan dari sultan Brunei. Kasus ini disebut sebagai kasus
“Buloggate” dan “Brunaigate.”
Akhir dari konflik eksekutif dan legislatif ini mengakibatkan Presiden Gus
Dur “dilengserkan” oleh MPR melalui keputusan pada sidang Istimewa MPR

145
tahun 2001. Perlu diketahui dalam sidang tersebut Presiden Gus Dur tidak
bersedia untuk hadir. Bahkan , Beliau berniat mengeluarkan suatu Dekrit
Presiden untuk memubarkan MPR dan DPR, dengan alasan menghadiri Sidang
Istimewa tersebut berarti bisa dianggap melanggar UUD 1945 mempergunakan
sistem presidensial, bukan parlementer.
Peristiwa ketatanegaraan tersebut, merupakan peristiwa yang kedua setelah
Sidang Istimewa MPRS pada tahun 1966 yang berakibat jatuhnya kekuasaan
Presiden Soekarno dari tampuk kepemimpinan nasional. Presiden gus Dur
selanjutnya digantikan oleh Wakil Presiden, Megawati Soekarnoputri.
Kemudian, dalam sidang Tahunan MPR tahun 2001, Megawati Soekarnoputri
diangkat menjadi Presiden dan didampingin oleh Hamzah Haz sebagai Wakil
presiden. Peristiwa-peristiwa ketatanegaraan Indonesia semacam ini masih
mengindikasikan bahwa sistem pemerintahan yang dilaksanakan dalam praktik
penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia adalah sistem parlementer.
Berdasarkan Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, didalam amandemen
keempat UUD 1945 ditegaskan bahwa presiden dan wakil presiden, akan
dipilih secara langsung oleh rakyat. Dia tidak bertanggungjawab kepada
Majelis ynag terdiri atas dua kamar, yakni Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Daerah. Konstruksi semacam ini telah menghentikan
konflik ketatanegaraan yang selama ini mewarnai sistem pemerintahan di
Indonesia. Di dalam Pasal 6A UUD 1945, antara lain ditegaskan sebagai
berikut :
(1) Presiden dan wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat.
(2) Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum.
(3) Pasangan Colon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara lebih
dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan
sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tesebar di lebih

146
dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan
Wakil Presiden.
(4) Dalam hal tidak pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua
pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan
yang mempeoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai pasangan
presiden dan Wakil Presiden.
(5) Tata Cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut
diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan ketentuan tersebut, presiden dan wakil presiden tidak lagi
bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, melainkan
bertanggungjawab secara langsung kepada rakyat. Berkaitan dengan hal ini,
pasal 3 Ayat 3 amandemen UUD 1945 menegaskan bahwa “Majelis
Permusyawaratan rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-undang Dasar”.
Menurut Pasal 7 A UUD 1945, pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat ini atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila
terbukti melakukan pelanggaran hukum yang berupa penghianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau
wakil presiden.
Untuk mengusulkan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden
tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat terlebih dahulu mengajukan permintaan
kepada Mahkamah konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tentang adanya indikasi perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan oleh presiden dan/ atau wakil presiden.
Sehubungan dengan hal ini, Pasal 7B UUD 1945 secara lengkap menyatakan
sebagai berikut :
(1) Usul Pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat diajukan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat

147
hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan mengutus pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
dan/ atau pendapat bahwa Presiden dan/ atau Wakil presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa presiden dan/ atau Wakil
presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden adalah
dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan Permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah
Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya
2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam
sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan
seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut
paling lambat sembilan puluh hari setelah pemintaan Dewan Perwakilan
Rakyat itu diterima oleh Mahkamah konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/ atau
Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pindana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/ atau terbukti bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau
Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menuyelenggarakan sidang
paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden kepada Majelis Pemusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk
memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga
puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.

148
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna.
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya
¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya ¾ dari
jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden
diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Berdasarkan mekanisme pertanggungjawaban tersebut, setelah UUD 1945
diamandemen, terdapat perubahan sistem pemerintahan Negara Republik
Indonesia yang cukup fundamental. Perubahan tersebut dapat diilustrasikan
sebagai berikut :
a. Sistem pemerintahan negara mempergunakan sistem presidensial murni.
b. Presiden dan/atau wakil presiden serta parlemen yang terdiri atas dua kamar
dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.
c. Di bidang politik, kedudukan presiden dan/atau wakil presiden serta parlemen
sama-sama kuat. Artinya antara kedua lembaga ini tidak bisa saling
menjatuhkan.
d. Dikenal adanya lembaga peradilan konstitusi, yakni Mahkamah Konstitusi
yang mempunyai wewenang untuk melakukan impeachment kepada presiden
dan/atau wakil presiden jikalau ditengarai telah melakukan pelanggaran hukum
berat. Hal ini berarti presiden dan/atau wakil presiden hanya dapat dijatuhkan,
jika melakukan perbuatan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat yuridis.
e. Pertanggungjawaban yang dibebankan kepada presiden dan/atau wakil
presiden kepada parlemen harus diawali dengan adanya pertanggungjawabkan
hukum (yuridis). Adapun untuk pertanggungjawaban politis merupakan
konsekuensi logis, jika presiden dan/atau wakil presiden telah melaksanakan
pertanggungjawaban hukum tersebut. Hal ini berarti telah mengubah
paradigma yang selama ini mewarnai sistem pertanggungjawaban presiden
dan/atau wakil presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam
paradigma lama, pertanggungjawaban presiden dan/atau wakil presiden lebih
menekankan pada pertanggungjawaban politis.

149
Resume Mata Kuliah Hukum Tata Negara Pertemuan ke 13

(Jum’at, 12 Juli 2019)

”Sejarah Lahirnya Orde Baru”

1. Undang-Undang 1945 :
 Pasal 5 ayat (1) : Presiden berhak merancang RUU
 Pasal 5 ayat (2) : Presiden membuat PP untuk melaksanakan undang-
undang.
2. Undang-Undang (UU) untuk keadaan normal
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) untuk keadaan
genting (Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945)
4. Presiden dapat memberikan abolisi, amnesti dan grasi (pasal 14)
1) Amnesti, biasanya politik
2) Abolisi, lagi diproses presiden bilang “stop jangan dilanjutkan kasus itu.”
Jadi wajar jaksa agung dibawah presiden.
5. Presiden juga ada dibilang inspektif/audikatif
1) Presiden membuat BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan)
2) Presiden juga membuat inspektorat, orangnya inspektur.
6. Sistem pemerintahan parlementer
Pembentukan pemerintahan parlemen yang multiparty sistem (banynak anggoa
politiknya). Pertama ada pemilu, pemilu memilih anggota parlemen. Anggota
parlemen itu berkualisi (penggabungan). Koalisi itu berkuasa (50%+1) minimal
dan oposisi (50%-1) maksimal.
7. Pembentukan pemerintahan parlementer multiparty
The Rulling Party
1) Pola 1 :
Anggota Perdana Kabinet
Pemilu Koalisi Berkuasa
Parlemen Menteri Koalisi
50%+1
(minimall)

Oposisi Votum
50%-1 Mosi tidak
(maksimal) percaya

150
2) Pola 2 :
Perdana Kabinet
Anggota Berkuasa
Pemilu Koalisi Menteri Koalisi
Parlemen
Oposisi
Kepala
Negara

Perdana Oposisi
Menteri

Votum

8. Votum belum tentu perdana menteri jatuh.


9. Oposisi yang salah parlemen yang bubar, diulang lagi dari pemilu.. biasanya
parlemen membentuk 6-8 bulan untuk membuat parlemen baru.
10. Australia tidak mempunyai kepala negara, adanya kepala pemerintahan.
11. Hak veto adalah undang-unang untuk membatalkan keputusan.
Orde baru (orba) adalah sebutan bagi masa pemerintahan (rezim) Soeharto
yang menggantikan Soekarno sebagai presiden RI ke-2 yang dimulai pada tahun
1966. Arti orde baru adalah sebuah tata tertib atas kehidupan rakyat, bangsa, dan
negara Indonesia yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan
UUD 1945 secara konsekuen dan murni.
Pemerintahan Indonesia sempat terancam digantikan dengan paham komunis
pada peristiwa pemberontakan G30S/PKI dan pemerintahan orde baru
menitikberatkan pengembalian Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi dasar
negara Indonesia.
Masa orde baru kemudian dilanjutkan dengan orde reformasi setelah berakhir
pada tahun 1998 dan ditandai dengan lengsernya presiden Soeharto dari
jabatannya setelah menjabat lebih dari 30 tahun.
Masa pemerintahan orde baru dimulai pada tahun 1967. Presiden Soekarno
secara resmi menyerahkan mandatnya kepada jenderal Soeharto melalui
Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).

151
Latar belakang dikeluarkannya Supersemar adalah akibat peristiwa Gerakan 30
September 1965 (Gestapu, Gestok, atau G30S / PKI), yaitu aksi kudeta PKI
(Partai Komunis Indonesia) yang menculik dan membunuh beberapa perwira TNI
AD dan beberapa orang penting lainnya.
Kejadian ini memicu kekacauan negara. Pembantaian anggota PKI terjadi di
mana-mana, dan keamanan negara menjadi tidak terkendali. Rakyat Indonesia
melakukan demo besar-besaran yang menuntut pembubaran PKI dan pengadilan
bagi tokoh-tokoh PKI. Melalui bantuan Angkatan ’66, masyarakat Indonesia
mengajukan Tritura atau Tiga Tuntutan Rakyat, yaitu:
1. Menuntut pemerintah untuk membubarkan PKI beserta organisasi-organisasi
pendukungnya, seperti Gerwani, Lekra, BTI, Pemuda Rakyat, dan sebagainya.
2. Menuntut pemerintah untuk melakukan pembersihan kabinet Dwikora (Dwi
Komando Rakyat) dari unsur-unsur PKI, seperti wakil Perdana Menteri I, Drs.
Soebandrio.
3. Menuntut pemerintah untuk menurunkan harga bahan pokok dan memperbaiki
ekonomi. Kondisi ekonomi Indonesia tidak stabil sejak era kemerdekaan, dan
makin memburuk pada pertengahan tahun 60-an.
Presiden Soekarno menanggapi tuntutan tersebut dengan melakukan reshuffle
pada kabinet Dwikora. Namun reshuffle tersebut dinilai kurang memuaskan
karena masih terdapat unsur PKI di dalamnya.
Saat itu negara mengalami masa-masa genting dan kekuasaan presiden
semakin lemah. Akhirnya pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno menandatangani
surat penunjukan Soeharto sebagai presiden RI ke-2, yang dikenal dengan nama
Supersemar.
Soeharto secara resmi diangkat sebagai presiden RI ke-2 pada 22 Februari
1967, melalui Ketetapan MPRS No. XV / MPRS / 1966 dan sidang istimewa
MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) pada tanggal 7 – 12 Maret
1967.
Akibat peristiwa Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) yang
menggoyahkan keutuhan bangsa dan Pancasila, pemerintahan orde baru berhasil

152
meletakkan kembali Pancasila dan UUD 1945 pada posisinya sebagai dasar
pembentukan negara Republik Indonesia. Tujuan umum pemerintahan orde baru:
1. Mengoreksi total penyimpangan yang terjadi pada era pemerintahan orde lama.
2. Penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara.
3. Melaksanakan amanat Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
4. Menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional,
guna mempercepat proses pembangunan bangsa.
Selama perjalanan pemerintahan orde baru, Indonesia mengalami banyak
kemajuan di berbagai bidang, terutama ekonomi. Zaman orde baru berhasil
memperbaiki ekonomi Indonesia yang tidak stabil sejak masa kemerdekaan.
Namun pemerintahan ini bukannya tanpa cela, prestasi dalam bidang ekonomi
tersebut dibarengi dengan kebijakan politik yang otoriter. Kebijakan politik yang
otoriter dalam arti bahwa kekuasaan presiden berada di atas UUD 1945.
Pada masa orde baru, menteri yang ditunjuk tidak berhak mengeluarkan
kebijakan kecuali atas persetujuan presiden, dan harus melaksanakan setiap
kebijakan yang dikeluarkan oleh presiden.
Sistem pemerintahan orde baru adalah patronase (patronasi) atau bapakisme.
Soeharto memberikan posisi-posisi penting dalam pemerintahan kepada lawan-
lawan politiknya. Soeharto juga memberikan kesempatan bagi para pendukungnya
untuk dapat melakukan bisnis yang menguntungkan.
Sejak memerintah pada tahun 1967, presiden Soeharto membentuk kabinet
pertama, yaitu Kabinet Ampera. Kemudian setelah pemilu pertama tahun 1971,
presiden membentuk kabinet baru bernama Kabinet Pembangunan. Sepanjang 32
tahun era kepemimpinan Soeharto, telah terjadi pergantian kabinet sebanyak 8
kali. Kabinet terakhir adalah Kabinet Pembangunan VII, yang masa jabatannya
hanya berlangsung selama 2 bulan.
Sejak tahun 1950-an Indonesia mengalami krisis ekonomi. Krisis ini semakin
diperparah dengan kebijakan Soekarno yang memberlakukan pemerintahan
Demokrasi Terpimpin, dengan slogan terkenalnya, NASAKOM (Nasionalisme,
Agama, Komunisme).

153
Komposisi pemerintahan Demokrasi Terpimpin diisi oleh ketiga elemen
tersebut. Dalam praktiknya, persaingan politik menjadi semakin sengit. Partai
Komunis Indonesia (PKI) menjadi kelompok yang paling sering disudutkan dan
dicurigai oleh elemen lain di pemerintahan.
Puncaknya adalah ketika terjadi aksi penculikan dan pembunuhan 7 perwira
TNI pada peristiwa Gestapu. Pihak militer menyatakan bahwa PKI adalah dalang
dari peristiwa ini. Sebelumnya, PKI sempat meminta pada pemerintah untuk
dipersenjatai, namun tuntutan mereka mendapat penolakan dari pihak militer,
terutama TNI AD.
Peristiwa G30S / PKI memicu kekacauan di seluruh negeri. Soeharto yang
pada saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad, kemudian diangkat menjadi
Menteri Panglima TNI dan Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), menggantikan peran Jenderal Ahmad
Yani, salah satu korban dalam peristiwa G30S / PKI. Soeharto bertugas menjaga
keamanan negara pasca peristiwa Gestapu.
Keberhasilan Soeharto dalam mengamankan negara terbayar dengan
diserahkannya mandat presiden Soekarno kepadanya. Melalui Supersemar,
Soeharto diangkat menjadi presiden dan memimpin Indonesia selama 32 tahun
lamanya.
Berbagai keberhasilan diraih oleh pemerintahan orde baru, terutama dalam
bidang ekonomi.
Namun terdapat beberapa penyimpangan pada masa orde baru yaitu kekuasaan
yang otoriter, kebijakan ekonomi yang terlalu berpihak pada asing, serta
maraknya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang menjadi penyebab
runtuhnya orde baru dan rasa ketidakpuasan masyarakat.
Kronologi jatuhnya orde baru pun berlanjut dengan persaingan politik
yang menjadi tidak imbang akibat penyederhanaan partai dan indikasi
kecurangan dalam pemilu. Kebebasan berpendapat juga ditekan, siapa saja yang
tidak sependapat dengan pemerintah akan “dibungkam”. Hal ini dilakukan demi
mempertahankan kekuasaan Soeharto sebagai presiden Indonesia.

154
Inilah yang memicu kemarahan masyarakat, terutama mahasiswa. Krisis
ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 – 1998 semakin menambah keresahan
rakyat. Situasi keamanan negara kembali memanas sepanjang Mei 1998. Demo
besar terjadi di ibu kota, dan menuntut Soeharto mundur dari jabatannya.
Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto membacakan pidato pengunduran dirinya,
sehingga masa pemerintahan orde baru secara resmi berakhir dan digantikan
dengan orde reformasi di bawah pimpinan B.J. Habibie yang pada waktu itu
menjabat sebagai wakil presiden.
Tujuan utama pemerintahan orde baru adalah menciptakan stabilitas ekonomi
dan politik. Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut, pemerintah meluncurkan
berbagai macam kebijakan, yaitu:
1. Kebijakan Ekonomi
Membuat program yang disebut dengan Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita). Repelita dimulai pada tahun 1969 hingga 1994, dan berhasil
meningkatkan ekonomi nasional. Salah satu keberhasilannya adalah
swasembada beras yang dicapai pada tahun 1984. Pemerintah melaksanakan
program trilogi pembangunan demi pemerataan ekonomi bagi seluruh rakyat
Indonesia.
2. Kebijakan Politik
Kebijakan politik dalam negeri pertama adalah pembubaran PKI beserta
organisasi-organisasi sayapnya, dan membersihkan DPR / MPR dari unsur-
unsur PKI. Pemilu pada masa orde baru pertama kali dilakukan pada tahun
1971. Pemerintah kemudian menyederhanakan partai politik (dari 10 menjadi
3), meresmikan peran militer dalam pemerintahan (dwifungsi ABRI), serta
mewajibkan Penataran P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila)
bagi masyarakat. Irian Barat dan Timor Timur disahkan sebagai wilayah
kekuasaan NKRI lewat perjanjian dan konfrontasi. Pemerintah juga menggagas
berdirinya ASEAN, setelah sebelumnya mengakui negara Singapura,
memulihkan hubungan dengan Malaysia (bermusuhan pada masa orde lama),
dan kembali menjadi anggota PBB pada tahun 1967 setelah keluar pada tahun
1965.

155
3. Kebijakan Sosial
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah mengeluarkan
berbagai kebijakan, seperti: Program Keluarga Berencana, Transmigrasi,
Gerakan Wajib Belajar, dan Gerakan Orang Tua Asuh.
Perbedaan masa orde lama dan masa orde baru yang diberikan dari segi
kebijakan ekonomi, politik, stabilitas politik dan ekonomi negara, sumber daya
manusia, serta kondisi dunia pada era tersebut:
 Orde Lama
1. Kebijakan Ekonomi: tertutup dengan orientasi komunis atau sosialis.
2. Politik: Emosi nasionalisme masyarakat masih sangat tinggi karena negara
baru saja merdeka. Mulai banyak proyek mercusuar yang bermunculan
karena masyarakat memiliki keinginan untuk terlihat unggul di mata negara
lain.
3. Stabilitas Politik dan Ekonomi: Tingkat inflasi sangat tinggi.
4. Sumber Daya Manusia: Kualitas SDM yang mumpuni masih terbatas karena
baru berhasil keluar dari masa penjajahan.
5. Kondisi Dunia: Situasi dunia baru saja selesai melewati perang dunia ke 2.
 Orde Baru
1. Kebijakan Ekonomi: Ekonomi terbuka dengan orientasi kapitalis.
2. Politik: Memiliki keinginan yang kuat untuk berubah dan memperbaiki
permasalahan yang muncul pada masa orde lama dan berkeinginan untuk
membangun ekonomi serta membuka ruang bagi para investor asing.
3. Stabilitas Politik dan Ekonomi: Inflasi berhasil ditekan. Pada tahun 1966
tingkat inflasi mencapai 500% dan berhasil ditekan menjadi 5-10%
pada tahun 1970.
4. Sumber Daya Manusia: Semakin banyak SDM berkualitas karena
meningkatnya prestasi masyarakat yang bersekolah.
5. Kondisi Dunia: Sedang dalam masa oil boom, berakhirnya perang dingin
dan perang Vietnam memberikan dampak positif terhadap kondisi negara.
Ciri-ciri Pemerintahan Orde Baru :

156
1. Pemerintahan diktator dan otoriter, tetapi kondisi tetap aman, nyaman, dan
terkendali.
2. Implementasi hak asasi manusia masih sangat terbatas dan masih marak terjadi
pelanggaran HAM.
3. Indonesia kembali menjadi anggota PBB.
4. Pemilu hanya diikuti 3 partai yaitu PPP, Golkar, dan PDI. Pemilu diadakan 5
tahun sekali, tetapi tidak bersifat demokratis.
5. Terjadi pemerintahan dengan sistem sentralistik kekuasaan pada presiden,
dimana seluruh proses politik ditopang dan diatur oleh presiden.
6. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sedang berkembang pesat tetapi tidak
berbasis ekonomi kerakyatan.
7. Kebebasan pers sangat terbatas dan tindak korupsi terjadi dimana-mana.
8. Kebijakan publik tidak transparan, serta tidak adanya kebebasan untuk
berpendapat, sehingga memberikan kesan ideologi tertutup.
Kelebihan Orde Baru :
1. Meningkatnya GDP per kapita Indonesia. Pada tahun 1968, GDP per
kapita Indonesia hanyalah $70 dan berhasil mencapai lebih dari $1000 pada
tahun 1996.
2. Program keluarga berencana yang tidak dilakukan pada masa orde lama
berhasil diimplementasikan pada masa orde baru.
3. Semakin banyak orang yang bisa membaca sehingga tingkat pengangguran
menurun.
4. Kebutuhan pangan semakin tercukupi.
5. Keamanan dalam negeri semakin meningkat.
6. Gerakan Wajib Belajar dan Gerakan Nasional Orang Tua Asuh sukses
dilaksanakan.
7. Indonesia mulai membuka peluang investasi bagi investor asing, sehingga
menerima banyak dana dari luar negeri.
8. Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) sukses dilaksanakan.
Kekurangan (Kelemahan) Orde Baru :

157
1. Kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme marak terjadi di semua kalangan
masyarakat.
2. Pembangunan negara tidak merata, dan muncul perbedaan mencolok antara
pembangunan pada pusat dan daerah. Kekayaan daerah banyak
digunakan untuk pembangunan pada pusat kota.
3. Rasa ketidakpuasan bermunculan di sejumlah daerah di Indonesia seperti Aceh
dan Papua karena kesenjangan pembangunan yang terjadi.
4. Tidak ada tanda-tanda pergantian atau penurunan kekuasaan ke presiden
berikutnya.
5. Hak Asasi Manusia masih belum diperhatikan dengan benar, dan kekerasan
banyak digunakan sebagai solusi menyelesaikan permasalahan. Sebagai
contoh, operasi rahasia Petrus (Penembakan Misterius).
6. Banyak koran dan majalah yang dihentikan penerbitan dan peredarannya
secara paksa, sehingga menyebabkan kebebasan pers sangat terbatas.
7. Kebebasan berpendapat masih sangat terkekang.
8. Terdapat kesenjangan sosial bagi si kaya dan si miskin, dimana orang kaya
memiliki hak yang lebih baik dari pada orang miskin.

158
Resume Mata Kuliah Hukum Tata Negara Pertemuan ke 14

(Rabu, 10 Juli 2019)

”Sejarah Lahirnya Orde Reformasi”

1. UU No. 7 tahun 2017 tentang pemilu. Ada 575 anggota.


2. Negara Hukum
1) Sistem Hukum Eropa Kontinental (Rechstaat), ciri-ciri menurut F. J. Stahl :
1. Hak Asasi Manusia
2. Pembatasan kekuasaan negara
3. Pemerintah berdasarkan ketentuan-ketentuan
4. Peradilan yang menyelesaikan masalah secara adil
2) Sistem Hukum Anglo Saxon (Rule of Law), ciri-ciri oleh A. V. Dicey :
1. Human Right
2. Supremasi of Law
3. Equality the Law
3. Tipe/corak pemerintahan :
1) Demokrasi
2) Oligarki
3) Otoriter
4. Denmark (quasi), pemerintahan dengan pengawasan langsung oleh rakyat :
1) Referendum/Plebisit
2) Usul inisiatif Rakyat (RUU)
5. RUU tentang perkawinan homoseksual pertama kali berada di Denmark
berdasarkan pemerintahan dengan pengawasan langsung oleh rakyat.
6. Kewarganegaraan :
1) Ius sanguinis : kewarganegaraan berdasarkan ayah/ibu
2) Ius soli : kewarganegaraan berdasarkan tempat lahir di wilayah dari suatu
negara
Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik

159
secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang politik,
ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang lebih baik, demokratis berdasarkan
prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.
Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai
segi kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial merupakan
faktor yang mendorong lahirnya gerakan reformasi.Bahkan, krisis kepercayaan
telah menjadi salah satu indikator yang menentukan. Reformasi dipandang
sebagai gerakan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi dan karena itu, hampir
seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya gerakan reformasi tersebut.
Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya pergantian
kepemimpinan nasional sebagai langkah awal menuju terwujudnya masyarakat
yang adil dan makmur. Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan dapat
memperbaiki kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Indoenesia
harus dipimpin oleh orang yang memiliki kepedulian terhadap kesulitan dan
penderitaan rakyat. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang Reformasi
di Indonesia.
Reformasi merupakan suatu perubahan catatan kehidupan lama catatanan
kehidupan baru yang lebih baik. Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun
1998 merupakan suatu gerakan yang bertujuan untuk melakukan perubahan dan
pembaruan, terutama perbaikan tatanan kehidupan dalam bidang politik, ekonomi,
hukum, dan sosial. Dengan demikian, reformasi telah memiliki formulasi atau
gagasan tentang tatanan kehidupan baru menuju terwujudnya Indonesia baru.
Persoalan pokok yang mendorong atau menyebabkan lahirnya reformasi adalah
kesulitan warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok. Harga-harga
sembilan bahan pokok (sembako), seperti beras, terigu, minyak goreng, minyak
tanah, gula, susu, telur, ikan kering, dan garam mengalami kenaikan yang tinggi.
Bahkan, warga masyarakat harus antri untuk membeli sembako itu.
Sementara situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia semakin tidak
menentu dan tidak terkendali. Harapan masyarakat akan perbaikan politik dan
ekonomi semakin jauh dari kenyataan. Keadaan itu menyebabkan masyarakat
Indonesia semakin kritis dan tidak percaya terhadap pemerintahan Orde Baru.

160
Pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan kehidupan
masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Oleh karena itu, tujuan lahirnya reformasi
adalah untuk memperbaiki tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok merupakan
faktor atau penyebab utama lahirnya gerakan reformasi. Pemerintahan Orde Baru
yang dipimpin Presiden Soeharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan
konsekuen dalam melaksanakan cita-cita Orde Baru. Pada awal kelahirannya
tahun 1966, Orde Baru bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahan Orde Baru banyak melakukan
penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang
tertuang dalam UUD 1945 yang sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan Pancasila
dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan.
 Kronologis Jatuhnya Pemerintah Orde Baru
1) Tanggal 10 Maret 1998 melalui Sidang Umum MPR Soeharto terpilih
kembalih sebagai presiden RI untuk masa jabatan lima tahun (1998-2003)
yang ketujuh kali dengan menggandeng B.J. Habibie sebagai Wakil
Presiden.
2) Tanggal 4 Mei harga BBM naik 71%, yang menimbulkan aksi demontrasi
di berbagai kota, seperti 3 hari kerusuhan di Medan dengan korban 6
meninggal.
3) Tanggal 8 Mei Peristiwa Gejayan, 1 mahasiswa Yogyakarta tewas.
4) Tanggal 9 Mei Presiden Soeharto berangkat ke luar negeri dalam rangka
kunjungan kenegaraan selama satu minggu ke Mesir.
5) Tanggal 12 Mei Tragedi Trisakti, 4 Mahasiswa Trisakti terbunuh, yaitu
Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Lesmana, Heri Hertanto, dan Hafidin
Royan. Sedangkan para mahasiswa yang menderita luka ringan dan luka
parah pun tidak sedidkit jumlah, setelah bentrok dengan aparat keamanan
yang berusaha membubarkan para demontrans.

161
6) Kerusuhan Mei 1998 pecah di Jakarta. Kerusuhan juga terjadi dikota solo.
Presiden Soeharto yang sedang menghadiri pertemuan-pertemuan negara
berkembang G-15 di Kairo, Mesir, memutuskan untuk kembali ke
Indonesia. Di Kairo, Presiden Soeharto menyatakan akan mengundurkan
diri dari jabatannya sebagai presiden.
7) Tanggal 14 Mei demontrasi terus bertambah besar hampir seluruh kota-
kota di indonesia,demontrans mengepung dan menduduki gedung-gedung
DPRD di daerah.
8) 18 Mei Ketua MPR yang juga ketua Partai Golkar, Harmoko meminta
Soeharto untuk turun dari jabatannya sebagai presiden.
9) Jendral Wiranto mengatakan bahwa pernyataan Harmoko tidak
mempunyai dasar hukum wiranto mengusulkan pembentukan "Dewan
Reformasi".
10) Gelombang pertama mahasiswa dari FKSMJ, Forum Kota, UI dan HMI
MPO memasuki halaman dan menginap di Gedung DPR/MPR.
11) Tanggal 19 Mei Soeharto berbicara di TV, menyatakan dia tidak akan
turun dari jabatannya, tetapi menjanjikan pemilu baru akan dilaksanakan
secepatnya.
12) Tanggal 21 Mei Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada pukul
9:00 WIB.
13) Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi presiden baru indonesia.
14) Di Gedung DPR/MPR, bentrokan hampir terjadi antara pendukung
Habibie yang memakai simbol-simbol dan atribut keagamaan dengan
mahasiswa yang masih bertahan di Gedung DPR/MPR. Mahasiswa
menganggap bahwa Habibie masih tetap bagian dari rezim Orde Baru.
Tentara mengevakuasi mahasiswa dari Gedung DPR/MPR ke Universitas
Atma Jaya.
 Tujuan Reformasi
1) Reformasi politik bertujuan tercapainya demokratisasi.
2) Reformasi ekonomi bertujuan meningkatkan tercapainya masyarakat.

162
3) Reformasi hukum bertujuan tercapainya keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia.
4) Reformasi sosial bertujuan terwujudkan integrasi bangsa Indonesia.
 Faktor Pendorong Terjadinya Reformasi
1) Faktor politik meliputi hal-hal berikut.
a. Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dalam kehidupan
pemerintahan.
b. Adanya rasa tidak percaya kepada pemerintah Orba yang penuh dengan
nepotisme dan kronisme serta merajalelanya korupsi.
c. Kekuasaan Orba di bawah Soeharto otoriter tertutup.
d. Adanya keinginan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
e. Mahasiswa menginginkan perubahan.
2) Faktor ekonomi, meliputi hal-hal berikut.
a. Adanya krisis mata uang rupiah.
b. Naiknya harga barang-barang kebutuhan masyarakat.
c. Sulitnya mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok.
3) Faktor sosial masyarakat
Adanya kerusuhan tanggal 13 dan 14 Mei 1998 yang melumpuhkan
perekonomian rakyat.
4) Faktor hukum
Belum adanya keadilan dalam perlakuan hukum yang sama di antara
warga negara.
Salah satu penyebab semakin memburuknya situasi dalam negeri Indonesia
adalah terjadinya bentrokan dan aksi demonstrasi menuntut reformasi Indonesia.
Diantara tragedi bentrokan dan aksi demonstrasi yang terjadi adalah sebagai
berikut :
1) Tragedi Trisakti
Soeharto mendapatkan surat dari Harmoko, mantan ketua DPR saat itu,
ketika sedang menghadiri konferensi tingkat tinggi antar-negara di Mesir pada
tanggal 20 Mei 1998. Isi surat itu adalah : "Soeharto harus mengundurkan diri

163
dari jabatan Presiden RI karena Jakarta tidak aman lagi". Surat ditandatangani
oleh 15 orang, termasuk 14 menteri Kabinet Pembangunan VII, yang merasa
telah "meninggalkan" Soeharto.
Puncak kebencian mereka pada zaman orde baru telah meradang dalam
gelombang unjuk rasa mahasiswa yang menimbulkan Tragedi Trisakti pada
tanggal 12-20 Mei 1998. Saat itu, Soeharto Hingga akhirnya, pada tanggal 21
Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden, dan pada
akhirnya posisi Soeharto digantikan oleh Baharuddin Jusuf Habibie yang
sebelumnya adalah wakil presiden terakhir pada zaman orde baru. Gerakan
mahasiswa Indonesia 1998 memang begitu monumental, karena telah berhasil
menurunkan Soeharto dari jabatannya.
Meski salah satu agenda perjuangan mahasiswa yaitu menuntut lengsernya
Soeharto telah tercapai, namun banyak yang menilai agenda reformasi belum
tercapai atau malah gagal. Sepanjang aksi unjuk rasa itu, ada empat orang yang
tertembak aparat kepolisian. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana (1978 -
1998), Heri Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan
Hendriawan Sie (1975 - 1998). Mereka tewas tertembak di dalam kampus,
terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan
dada. Mereka telah ditemukan tewas di bekas bangunan mal yang terbakar.
Alhasil, keluarga keempat mahasiswa yang tertembak mengadukan
penembakan oleh aparat yang mereka anggap sebagai pelanggaran HAM (Hak
Asasi Manusia) berat.
2) Tragedi Semanggi
Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998 juga mencuatkan tragedi Trisakti yang
menewaskan empat orang Pahlawan Reformasi. Pasca Soeharto mundur,
nyatanya masih terjadi kekerasan terhadap rakyat dan mahasiswa, yang antara
lain mengakibatkan tragedi Semanggi yang berlangsung hingga dua kali.
Gerakan Indonesia 1998 juga memulai babak baru dalam kehidupan bangsa
Indonesia, yaitu era Reformasi. Akhirnya, setelah Soeharto mundur dan
Baharuddin Jusuf Habibie menjadi Presiden RI ke-3 untuk periode 1998-2003,
pada November 1998, muncul kembali Tragedi Semanggi.

164
Tragedi Semanggi terjadi pada tanggal 11-13 November 1998, dan terjadi
kembali pada tanggal 24 September 1999, ketika zaman Kabinet Reformasi
Pembangunan Baharuddin Jusuf Habibie telah berakhir, walaupun tanpa wakil
presiden. Mahasiswa juga menganggap bahwa rejim Baharuddin Jusuf Habibie
masih sama dengan rejim Soeharto. Kesamaan yang mudah mereka lihat yaitu
Dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu,
masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi
ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini
mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia
internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat
diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa
berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra
ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah
tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.
Keadaan di Gedung Nusantara boleh dikatakan aman terkendali. Tidak ada
satupun mahasiswa yang mengacaukan keamanan berani masuk. Tidak
mungkin mereka mampu menerobos pintu gerbang karena telah digembok dan
di-las oleh penjaga yang begitu ketatnya.
Penjagaan keamanan begitu diperketat sampai ke kawasan Semanggi.
Semua kendaraan pribadi dan umum dikosongkan. Namun, ketika mahasiswa
bentrok dengan penjaga keamanan yang begitu ketatnya, semua mahasiswa
berhasil dibubarkan. Namun, ada sebagian kecil dari mahasiswa yang
dibubarkan, mereka meninggal di tempat karena ditembak aparat. Hal
tersebutlah yang membuat peristiwa itu dinamakan sebagai "Tragedi Trisakti".
Tragedi Semanggi berlanjut pada tanggal 24 September 1999. Sama seperti
Tragedi Trisakti, tragedi ini mampu menurunkan tahta kepresidenan
Baharuddin Jusuf Habibie yang cuma bertahan 1 tahun. Ketika itu, pada awal
September 1999, sasaran unjuk rasa yang mereka tuju adalah rumah dinas BJ
Habibie, yang dituding mendapatkan harta kekayaannnya dari korupsi. Namun,
pada 24 September 1999, Baharuddin Jusuf Habibie akhirnya dilengserkan dari
jabatannya. Akhirnya, pada bulan Oktober 1999, MPR menunjuk

165
Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri untuk menjadi Presiden RI
1999-2004, walaupun Kabinet Persatuan Indonesia Abdurrahman Wahid cuma
bertahan 2 tahun.
 Sebab Umum Lahirnya Gerakan Reformasi
Penyimpangan-penyimpangan pada orde baru melahirkan krisis
multidimensional yang menjadi penyebab umum lahirnya gerakan reformasi,
seperti berikut ini:
1) Krisis Politik
Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari
berbagai kebijakan politik pemerintahan Orde Baru.Berbagai kebijakan
politik yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu dengan alasan
dalam kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila.Namun yang sebenarnya
terjadi adalah dalam rangka mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto
dan kroni-kroninya.Artinya, demokrasi yang dilaksanakan pemerintahan
Orde Baru bukan demokrasi yang semestinya, melainkan demokrasi
rekayasa.
Dengan demikian, yang terjadi bukan demokrasi yang berarti dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, melainkan demokrasi yang berarti
dari penguasa, oleh penguasa, dan untuk penguasa. Pada masa Orde Baru,
kehidupan politik sangat represif, yaitu adanya tekanan yang kuat dari
pemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis.
Ciri-ciri kehidupan politik yang represif, di antaranya:
1. Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah
dituduh sebagai tindakan subversif (menentang Negara Kesatuan
Republik Indonesia).
2. Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu
atau demokrasi rekayasa.
3. Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan
masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk mengontrolnya.
4. Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap
warga negara (sipil) untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.

166
5. Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun
Suharto dipilih menjadi presiden melalui Sidang Umum MPR, tetapi
pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak demokratis.
2) Krisis Hukum
Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde Baru tidak
terbatas pada bidang politik. Dalam bidang hukumpun, pemerintah
melakukan intervensi. Artinya, kekuasaan peradilan harus dilaksanakan
untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani
masyarakat dengan penuh keadilan. Bahkan, hukum sering dijadikan alat
pembenaran para penguasa. Kenyataan itu bertentangan dengan ketentuan
pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kehakiman memiliki
kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah
(eksekutif).
3) Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli
1996 mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ternyata,
ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi krisis global yang melanda
dunia.Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai
tukar rupiah turun dari Rp 2,575.00 menjadi Rp 2,603.00 per dollar
Amerika Serikat.
Pada bulan Desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
Serikat turun menjadi Rp 5,000.00 per dollar. Bahkan, pada bulan Maret
1998, nilai tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik terendah, yaitu
Rp 16,000.00 per dollar Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak
dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti:
1. Hutang luar negeri Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab
terjadinya krisis ekonomi. Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya
hutang negara, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya
untuk mengatasi krisis ekonomi.

167
2. Industrialisasi, pemerintah Orde Baru ingin menjadikan negara RI
sebagai negara industri. Keinginan itu tidak sesuai dengan kondisi nyata
masyarakat Indonesia.Masyarakat Indonesia merupakan sebuah
masyarakat agraris dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah (rata-
rata).
3. Pemerintahan Sentralistik, pemerintahan Orde Baru sangat sentralistik
sifatnya sehingga semua kebijakan ditentukan dari Jakarta. Oleh karena
itu, peranan pemerintah pusat sangat menentukan dan pemerintah
daerah hanya sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat.
4) Krisis Sosial
Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya
krisis sosial.Pelaksanaan politik yang represif dan tidak demokratis
menyebabkan terjadinya konflik politik maupun konflik antar etnis dan
agama.Semua itu berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di
beberapa daerah. Ketimpangan perekonomian Indonesia memberikan
sumbangan terbesar terhadap krisis sosial.Pengangguran, persediaan
sembako yang terbatas, tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya
beli masyarakat merupakan faktor-faktor yang rentan terhadap krisis
sosial.
5) Krisis Kepercayaan
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah
mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden
Suharto. Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan
politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem
peradilan, dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada
rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaan.
Perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional dianggap telah
menimbulkan ketimpangan ekonomi yang lebih besar. Monopoli sumber
ekonomi oleh kelompok tertentu, konglomerasi, tidak mempu
menghapuskan kemiskinan pada sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kondisi dan situasi Politik di tanah air semakin memanas setelah

168
terjadinya peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa ini
muncul sebagai akibat terjadinya pertikaian di dalam internal Partai
Demokrasi Indonesia (PDI).
Krisis politik sebagai faktor penyebab terjadinya gerakan reformasi itu,
bukan hanya menyangkut masalah sekitar konflik PDI saja, tetapi
masyarakat menuntut adanya reformasi baik didalam kehidupan
masyarakat, maupun pemerintahan Indonesia. Di dalam kehidupan politik,
masyarakat beranggapan bahwa tekanan pemerintah pada pihak oposisi
sangat besar, terutama terlihat pada perlakuan keras terhadap setiap orang
atau kelompok yang menentang atau memberikan kritik terhadap
kebijakan-kebijakan yang diambil atau dilakukan oleh pemerintah. Selain
itu, masyarakat juga menuntut agar di tetapkan tentang pembatasan masa
jabatan Presiden.
Terjadinya ketegangan politik menjelang pemilihan umum tahun 1997
telah memicu munculnya kerusuhan baru yaitu konflik antar agama dan
etnik yang berbeda. Menjelang akhir kampanye pemilihan umum tahun
1997, meletus kerusuhan di Banjarmasin yang banyak memakan korban
jiwa.
Pemilihan umum tahun 1997 ditandai dengan kemenangan Golkar
secara mutlak. Golkar yang meraih kemenangan mutlak memberi
dukungan terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden dalam
Sidang Umum MPR tahun 1998 – 2003. Sedangkan di kalangan
masyarakat yang dimotori oleh para mahasiswa berkembang arus yang
sangat kuat untuk menolak kembali pencalonan Soeharto sebagai Presiden.
Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto terpilih sebagai
Presiden Republik Indonesia dan BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden.
Timbul tekanan pada kepemimpinan Presiden Soeharto yang datang dari
para mahasiswa dan kalangan intelektual.
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat
banyak ketidakadilan. Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori
oleh kalangan mahasiswa, masalah hukum juga menjadi salah satu

169
tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum
agar dapat mendudukkan masalah-masalah hukum pada kedudukan atau
posisi yang sebenarnya.
Krisis moneter yang melanda negara-negara di Asia Tenggara sejak
bulan Juli 1996, juga mempengaruhi perkembangan perekonomian
Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu untuk menghadapi
krisi global tersebut. Krisi ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya
nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Ketika nilai tukar
rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi
0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi
moneter Indonesia mengalami keterpurukan yaitu dengan dilikuidasainya
sejumlah bank pada akhir tahun 1997. Sementara itu untuk membantu
bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (KLBI). Ternyata udaha yang dilakukan pemerintah
ini tidak dapat memberikan hasil, karena pinjaman bank-bank bermasalah
tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat di kembalikan begitu
saja. Krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara,
tetapi juga telah menghancurkan keuangan nasional.
Memasuki tahun anggaran 1998 atau 1999, krisis moneter telah
mempengaruhi aktivitas ekonomi yang lainnya. Kondisi perekonomian
semakin memburuk, karena pada akhir tahun 1997 persedian sembilan
bahan pokok sembako di pasaran mulai menipis. Hal ini menyebabkan
harga-harga barang naik tidak terkendali. Kelaparan dan kekurangan
makanan mulai melanda masyarakat. Untuk mengatasi kesulitan moneter,
pemerintah meminta bantuan IMF. Namun, kucuran dana dari IMF yang
sangat di harapkan oleh pemerintah belum terelisasi, walaupun pada 15
januari 1998 Indonesia telah menandatangani 50 butir kesepakatan (letter
of intent atau Lol) dengan IMF.
Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia
tidak terlepas dari masalah utang luar negeri. Utang Luar Negeri Indonesia
Utang luar negeri Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab

170
munculnya krisis ekonomi. Namun, utang luar negeri Indonesia tidak
sepenuhnya merupakan utang Negara, tetapi sebagian lagi merupakan
utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan Negara hingga 6 februari
1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang pihak swasta
mencapai 73,962 miliar dollar Amerika Serikat.
Akibat dari utang-utang tersebut maka kepercayaan luar negeri terhadap
Indonesia semakin menipis. Keadaan seperti ini juga dipengaruhi oleh
keadaan perbankan di Indonesia yang di anggap tidak sehat karena adanya
kolusi dan korupsi serta tingginya kredit macet.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai
tujuan menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai Negara industri,
namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di masyarakat. Masyarakat
Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan
yang masih rendah.
Sementara itu, pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde
Baru sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila. Dalam
Pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi
dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan
anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya, sistem ekonomi yang
berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru adalah sistem ekonomi
kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk
monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
Pola Pemerintahan Sentralistis Sistem pemerintahan yang dilaksanakan
oleh pemerintah Orde Baru bersifat sentralistis. Di dalam pelaksanaan pola
pemerintahan sentralistis ini semua bidang kehidupan berbangsa dan
bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintah yakni di Jakarta.
Pelaksanaan politik sentralisasi yang sangat menyolok terlihat pada
bidang ekonomi. Ini terlihat dari sebagian besar kekayaan dari daerah-
daerah diangkut ke pusat. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan pemerintah
dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat. Politik sentralisasi ini
juga dapat dilihat dari pola pemberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris,

171
karena pemberitaan yang berasala dari Jakarta selalu menjadi berita utama.
Namun peristiwa yang terjadi di daerah yang kurang kaitannya dengan
kepentingan pusat biasanya kalah bersaing dengan berita-barita yang
terjadi di Jakarta dalam merebut ruang, halaman, walaupun yang
memberitakan itu pers daerah.
Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998 adalah puncak gerakan mahasiswa
dan gerakan rakyat pro-demokrasi pada akhir dasawarsa 1990-an. Gerakan
ini menjadi monumental karena dianggap berhasil memaksa Soeharto
berhenti dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada tangal 21 Mei
1998, setelah 32 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia sejak
dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tanggal
11 Maret 1966 hingga tahun 1998. Pada April 1998, Soeharto terpilih
kembali menjadi Presiden Republik Indonesia untuk ketujuh kalinya
(tanpa wakil presiden), setelah didampingi Try Soetrisno (1993-1997) dan
Baharuddin Jusuf Habibie (Oktober 1997-Maret 1998). Namun, mereka
tidak mengakui Soeharto dan melaksanakan pemilu kembali. Pada saat itu,
hingga 1999, dan selama 29 tahun, Partai Golkar merupakan partai yang
menguasai Indonesia selama hampir 30 tahun, melebihi rejim PNI yang
menguasai Indonesia selama 25 tahun. Namun, terpliihnya Soeharto untuk
terakhir kalinya ini ternyata mendapatkan kecaman dari mahasiswa karena
krisis ekonomi yang membuat hampir setengah dari seluruh penduduk
Indonesia mengalami kemiskinan.
Gerakan ini mendapatkan momentumnya saat terjadinya krisis moneter
pada pertengahan tahun 1997. Namun para analis asing kerap menyoroti
percepatan gerakan pro-demokrasi pasca Peristiwa 27 Juli 1996 yang
terjadi 27 Juli 1996. Harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli
masyarakat pun berkurang. Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda
nasional gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan
mahasiswa dengan agenda reformasi mendapat simpati dan dukungan dari
rakyat.

172
Demontrasi di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar setelah
pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan
pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak aksi para mahasiswa terjadi tanggal 12
Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang semula
damai itu berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya empat
orang mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto,
Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan.
Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari
kalangan kampus dan masyarakat yang menantang kebijakan
pemerintahan yang dipandang tidak demokratis dan tidak merakyat.
Agenda reformasi yang menjadi tuntutan para mahasiswa mencakup
beberapa tuntutan, seperti:
1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya,
2. Laksanakan amandemen UUD 1945,
3. Hapuskan Dwi Fungsi ABRI,
4. Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya,
5. Tegakkan supremasi hukum,
6. Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN
Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan
terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber
ketidakadilan, di antaranya :
1. UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum
2. UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan
Wewenang DPR / MPR
3. UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
4. UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum
5. UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa
Gedung parlemen, yaitu Gedung Nusantara dan gedung-gedung DPRD
di daerah, menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota di
Indonesia. Seluruh elemen mahasiswa yang berbeda paham dan aliran
dapat bersatu dengan satu tujuan untuk menurunkan Soeharto. Organisasi

173
mahasiswa yang mencuat pada saat itu antara lain adalah FKSMJ dan
Forum Kota karena mempelopori pendudukan gedung DPR/MPR.
Meski salah satu agenda perjuangan mahasiswa yaitu menuntut
lengsernya sang Presiden tercapai, namun banyak yang menilai agenda
reformasi belum tercapai atau malah gagal. Gerakan Mahasiswa Indonesia
1998 juga mencuatkan tragedi Trisakti yang menewaskan empat orang
Pahlawan Reformasi. Pasca Soeharto mundur, nyatanya masih terjadi
kekerasan terhadap rakyat dan mahasiswa, yang antara lain mengakibatkan
tragedi Semanggi yang berlangsung hingga dua kali. Gerakan Mahasiswa
Indonesia 1998 juga memulai babak baru dalam kehidupan bangsa
Indonesia, yaitu era Reformasi.
Sampai saat ini, masih ada unjuk rasa untuk menuntut keadilan akibat
pelanggaran HAM berupa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh
aparat terhadap keempat orang mahasiswa.
 Kronologis Peristiwa Reformasi
Secara garis besar, kronologi gerakan reformasi dapat dipaparkan sebagai
berikut:
1. Keberanian Amin Rais membongkar kebobrokan sistem pengelolaan PT.
Freeport
2. Peristiwa 27 Juli 1996 (KUDATULI) yaitu penyerbuan kantor PDI yang
ditempati Megawati oleh PDI pro-Suryadi
3. Terpilihnya kembali Bpk Soeharto sebagai presiden pada bulan Maret 1998
4. Sidang Umum MPR (Maret 1998) memilih Suharto dan B.J. Habibie
sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI untuk masa jabatan 1998-2003.
Presiden Suharto membentuk dan melantik Kabinet Pembangunan VII.
5. Pada bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai
bergerak menggelar demonstrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut
penurunan harga barang-barang kebutuhan (sembako), penghapusan
KKN, dan mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan.
6. Pada tanggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas
Trisakti Jakarta telah terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang

174
menyebabkan empat orang mahasiswa (Elang Mulia Lesmana, Hery
Hartanto, Hafidhin A. Royan, dan Hendriawan Sie) tertembak hingga
tewas dan puluhan mahasiswa lainnya mengalami luka-luka. Kematian
empat mahasiswa tersebut mengobarkan semangat para mahasiswa dan
kalangan kampus untuk menggelar demonstrasi secara besar-besaran.
7. Pada tanggal 13-14 Mei 1998, di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan
massal dan penjarahan sehingga kegiatan masyarakat mengalami
kelumpuhan. Dalam peristiwa itu, puluhan toko dibakar dan isinya
dijarah, bahkan ratusan orang mati terbakar.
8. Pada tanggal 19 Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai perguruan
tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki gedung MPR/DPR.
9. Pada saat yang bersamaan, tidak kurang dari satu juta manusia
berkumpul di alun-alun utara Keraton Yogyakarta untuk menghadiri
pisowanan agung, guna mendengarkan maklumat dari Sri Sultan
Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam VII.
10. Pada tanggal 19 Mei 1998, Harmoko sebagai pimpinan MPR/DPR
mengeluarkan pernyataan berisi “anjuran agar Presiden Suharto
mengundurkan diri”.
11. Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Suharto mengundang tokoh-tokoh
agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk dimintai pertimbangan dalam
rangka membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh Presiden
Suharto.
12. Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di Istana Negara, Presiden
Suharto meletakkan jabatannya sebagai Presiden RI di hadapan Ketua
dan beberapa anggota Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 8 UUD
1945, kemudian Suharto menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden
B.J. Habibie sebagai Presiden RI.Pada waktu itu juga B.J. Habibie
dilantik menjadi Presiden RI oleh Ketua MA.
 Ruang Lingkup Reformasi
1) Reformasi politik adalah demokratisasi, kebebasan berserikat berkumpul
dan mendirikan partai, serta kebebasan dalam menyampaikan pendapat.

175
2) Reformasi bidang ekonomi adalah penyehatan ekonomi dan kesejahteraan.
3) Reformasi bidang hukum adalah keadilan atas dasar HAM.
4) Reformasi bidang sosial adalah integrasi nasional.
5) Reformasi bidang pendidikan dan masalah kurikulum.
 Reformasi politik dititik-beratkan pada demokratisasi, format baru ini
membutuhkan beberapa hal, diantaranya :
1) Rancang bangun sistem politik yang sejalan dengan tuntutan reformasi
meliputi, sistem kepartaian, pemilu, sistem perwakilan rakyat, dan sistem
penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis.
2) Aturan-aturan mengenai pelaksanaan seluruh proses tersebut.
 Prasarat yang dibutuhkan dalam reformasi politik adalah sebagai berikut :
1) Aspek ideologi dan konstitusi yaitu berupa kebebasan
menginterprestasikan ideologi Pancasila dan konstitusi dan menghilangkan
tafsir yang bertentangan dengan demokrasi.
2) Aspek kultur yaitu mereformasi budaya politik dengan menumbuhkan
budaya yang mengarah pada keterbukaan, kejujuran, dan persamaan
keadilan dengan menghilangkan budaya tertutup dan paternalistik,
sentralistik, manipulatif, serta ketidak setaraan.
3) Aspek struktur yaitu dengan mereformasi struktur politik agar berfungsi
secara benar mengikuti kaidah demokrasi.
 Suksesi (Pergantian Pimpinan)
 Sukarno–Soeharto, ada beberapa hal, yaitu sebagai berikut :
a. Problem pokok adanya komunis/ PKI (nomor 4 sedunia).
b. Peristiwa Lubang Buaya.
c. Adanya dualisme: ada pro dan anti pembubaran PKI.
d. Sidang istimewa MPRS 1967 didahului turunnya Supersemar.
 Soeharto–Habibie, ada beberapa hal, antara lain sebagai berikut :
a. Problem pokok adanya krisis ekonomi meluas ke bidang politik.
b. Adanya gerakan reformasi yang menghendaki perubahan radikal karena
KKN dalam tubuh pemerintahan. Nepotisme berarti mengajak keluarga

176
dalam kekuasaan. Kronisme adalah mengajak teman-teman dalam
kekuasaan.
c. Presiden Soeharto ditolak oleh rakyat ditandai dengan didudukinya
gedung DPR/MPR oleh mahasiswa, sehingga Soeharto menyerahkan
jabatan kepada Habibie.
 Pengalaman suksesi di Indonesia
a) Pergantian pimpinan disertai kekerasan dan keributan dan setelah turun dari
jabatan, dihujat.
b) Menginginkan pergantian pimpinan yang wajar, namun tidak ditemukan
sebab tidak adanya pembatasan masa jabatan.
c) Tidak adanya Chek and Balance yaitu tidak ada keseimbangan dalam negara
yang disebabkan kecenderungan otoriter.
d) Etika moralitas bahwa KKN bertentangan dengan moralitas.
 Agenda pada Reformasi dalam Berbagai Bidang
a) Substansi Agenda Reformasi Politik, Subsitusi agenda reformasi politik
sebagai berikut :
1. Reformasi di bidang ideologi negara dan konstitusi.
2. Pemberdayaan DPR, MPR, DPRD maksudnya agar lembaga perwakilan
rakyat benar-benar melaksanakan fungsi perwakilannya sebagai aspek
kedaulatan rakyat dengan langkah sebagai berikut.
3. Anggota DPR harus benar-benar dipilih dalam pemilu yang jurdil.
4. Perlu diadakan perubahan tata tertib DPR yang menghambat kinerja
DPR.
5. Memperdayakan MPR.
6. Perlu pemisahan jabatan ketua MPR dengan DPR.
7. Reformasi lembaga kepresidenan dan kabinet meliputi hal-hal berikut :
a. Menghapus kewenangan khusus presiden yang berbentuk keputusan
presiden dan instruksi presiden.
b. Membatasi penggunaan hak prerogatif.
c. Menyusun kode etik kepresidenan.

177
8. Pembaharuan kehidupan politik yaitu memperdayakan partai politik
untuk menegakkan kedaulatan rakyat, maka harus dikembangkan sistem
multipartai yang demokratis tanpa intervensi pemerintah.
9. Penyelenggaraan pemilu.
10. Birokrasi sipil mengarah pada terciptanya institusi birokrasi yang netral
dan profesional yang tidak memihak.
11. Militer dan dwifungsi ABRI mengarah kepada mengurangi peran sosial
politik secara bertahap sampai akhirnya hilang sama sekali, sehingga
ABRI berkonsentrasi pada fungsi Hankam.
12. Sistem pemerintah daerah dengan sasaran memperdayakan otonomi
daerah dengan asas desentralisasi.
 Hambatan Pelaksanaan Reformasi Politik
1. Hambatan kultural, mengingat pergantian kepemimpinan nasional dari
Soeharto ke B.J. Habibie tidak diiringi pergantian rezim yang berarti
sebagian besar anggota kabinet, gubernur, birokrasi sipil, komposisi anggota
DPR/MPR masih peninggalan rezim Orba.
2. Hambatan legitimasi, pemerintah B.J. Habibie karena belum merupakan
hasil pemilu.
3. Hambatan struktural, berkaitan dengan krisis ekonomi yang berlarut-larut
yang berdampak bertambah banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan.
4. Munculnya berbagai tuntutan otonomi daerah, yang jika tidak ditangani
secara baik akan menimbulkan disintegrasi bangsa.
5. Adanya kesan kurang kuat dalam menegakkan hukum terhadap praktik
penyimpangan politik-ekonomi rezim lama seperti praktik KKN.
6. Terkotak-kotaknya elite politik, maka dibutuhkan kesadaran untuk
bersamasama menciptakan kondisi politik yang mantap agar transformasi
politik berjalan lancar.

178
Daftar Pustaka
1. Buku :
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia (2018). Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia dan CV “Sinar Bakti”
Dr. Ni’Matul Huda S.H., M. Hum. Hukum Tata Negara Indonesia (2011).
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil. Hukum Tata Negara Republik
Indonesia (2008). Jakarta : PT Rineka Cipta.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S. H. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (2006).
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Drs. S. H. Sarundajang. Babak Baru Sistem Pemerintahan (2005). Jakarta:
Perpustakaan Nasional : Katalog dalam Terbitan (KDT).
Redaksi Bmedia. UUD 1945 & Perubahannya Reshuffle Kabinet Kerja (2014-
2019) (2017). Penerbit Bmedia Imprint Kawan Pustaka.
2. Elektronik :
https://po-box2000.blogspot.com/2010/11/lembaga-lembaga-negara-di-
indonesia.html
http://selaseptian020.blogspot.com/2013/02/lembaga-lembaga-negara-beserta-
tugasnya.html?m=1
http://asagenerasiku.blogspot.com/2012/04/lembaga-lembaga-negara-fungsi-
dan.html?m=1
http://debbymacella.blogspot.com/2012/07/normal-0-false-false-false-in-x-
none-x.html?m=1
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Nonstruktural
http://riahnee.blogspot.com/2012/05/sejarah-ketatanegaraan-indonesia.html
https://aprileopgsd.wordpress.com/tag/makalah-sistem-pemerintahan-di-
indonesia/
http://www.markijar.com/2016/06/sistem-pemerintahan-indonesia-
lengkap.html

179

Anda mungkin juga menyukai