Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH FILSAFAT HUKUM

 
BAB I
 
PENDAHULUAN
 
A.
 
Latar Belakang
 
Pada dasarnya, penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tentang sistem pemerintahan
Indonesiadijelaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum
(rechtsstaat)
 bukan berdasarkan ataskekuasaan belaka
(machtsstaat)
, dalam hal ini terlihat bahwa kata “hukum” dijadikan lawan kata“kekuasaan”.
Tetapi apabila kekuasaan adalah serba penekanan, intimidasi, tirani, kekerasan dan
 pemaksaan maka secara filosofis dapat saja hukum dimanfaatkan oleh pihak
tertentu yang menguntungkandirinya tetapi merugikan orang lain.
 
Hubungannya dengan hal tersbut di atas, maka sesungguhnya perlu dipahami akan
makna darifilsafat hukum. Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan
yang bersifat dasar dari hukum.Pertanyaan-
 pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar 
-dasar bagi kekuatan mengikat dari
hukum”, merupakan contoh
-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu,filsafat
hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama
menggarap bahanhukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang
berbeda sama sekali. Ilmu hukum positifhanya berurusan dengan suatu tata hukum
tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas,  peraturan-peraturan,
bidang-bidang serta sistem hukumnya sendiri.
 
Berbeda dengan pemahaman yang demikian itu, filsafat hukum mengambil sebagai
fenomenauniversal sebagai sasaran perhatiannya, untuk kemudian dikupas dengan
menggunakan standar analisaseperti tersebut di atas.
Suatu hal yang menarik adalah, bahwa “ilmu hukum” atau
“jurisprudence”
 jugamempermasalahkan hukum dalam kerangka yang tidak berbeda dengan filsafat
hukum. Ilmu hukum danfilsafat hukum adalah nama-nama untuk satu bidang ilmu
yang mempelajari hukum secara sama.Pemikiran tentang Filsafat hukum dewasa ini
diperlukan untuk menelusuri seberapa
jauh penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, juga untuk 
menunjukkan ketidaksesuaianantara teori dan praktek hukum. Manusia
memanipulasi kenyataan hukum yang baik menjadi
tidak bermakna karena ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan disalahtaf
sirkan untuk mencapaikepentingan tertentu. Banyaknya kasus hukum yang tidak
terselesaikan karena ditarik ke masalah politik.Kebenaran hukum dan keadilan
dimanipulasi dengan cara yang sistematik sehingga peradilan tidakmenemukan
keadaan yang sebenarnya. Kebijaksanaan pemerintah tidak mampu  membawa hukum
menjadi
“panglima” dalam menentukan keadilan, sebab hukum dikebiri oleh sekelompok
orang yang mampu
membelinya atau orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam beberapa
dekade terakhir,fenomena pelecehan terhadap hukum semakin marak. Tindakan
pengadilan seringkali tidak bijak karenatidak memberi kepuasan pada masyarakat.
Hakim tidak lagi memberikan putusan adil pada setiap  pengadilan yang berjalan
karena tidak melalui prosedur yang benar. Perkara diputuskan dengan undang-
undang yang telah dipesan dengan kerjasama antara pembuat Undang-undang
dengan pelaku kejahatanyang kecerdasannya mampu membelokkan makna peraturan
hukum dan pendapat hakim sehingga
 berkembanglah “mafia peradilan”. Produk hukum telah dikelabui oleh pelanggarnya
sehingga kewibawaan
hukum jatuh. Manusia lepas dari jeratan hukum karena hukum yang dipakai telah dikemas
secarasistematik sehingga perkara tidak dapat diadili secara tuntas bahkan justru berkepanjangan
dan akhirnyalenyap tertimbun masalah baru yang lebih aktual. Keadaan dan kenyataan hukum
dewasa ini sangatmemprihatinkan karena peraturan perundang-undangan hanya menjadi lalu
lintas peraturan, tidak
 
f. Ada satu gagasan mengenai hukum sebagai satu himpunan persetujuan yang dibuat manusia di 
dalammasyarakat yang diatur secara politik, persetujuan yang mengatur hubungan antara yang
seorang denganyang lainnya. Ini adalah suatu pandangan demokratis tentang identifikasi hukum
dengan kaidah hukum,dan karena itu dengan pengundangan dekrit dari negara kota yang
diperbincangkan di dalam buku Minosdari Plato. Sudah sewajarnyalah Demosthenes
menganjurkan kepada satu juri di Athena. Sangat mungkindengan teori serupa itu, satu gagasan
filsafat akan menyokong gagasan politik dan kewajiban moril yangmelekat pada suatu janji akan
dipergunakan untuk menunjukkan mengapa orang harus menepati persetujuan yang mereka buat
di dalam majelis rakyat.
 
g. Hukum dipikirkan sebagai satu pencerminan dari akal Illahi yang menguatkan alam semesta in
i; satu pencerminan dari bagian yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia
sebagai satuanyang berkesusilaan, yang berbeda dengan yang masih dilakukan, yang ditujukan
kepada mahkluk lainselain manusia. Begitulah konsepsi Thomas Aquino, yang mempunyai
penganut banyak sampai abad ke-17 dan semenjak itu masih besar pengaruhnya.
 
h. Hukum telah dipahamkan sebagai satu himpunan perintah dari penguasa yang berdaulat di
dalam satumasyarakat yang disusun menurut satu sistem kenegaraan, tentang bagaimana orang
harus bertindak didalam masyarakat itu, dan perintah itu pada tingkat terakhir berdasarkan apa
saja yang dianggap terdapatdi belakang wewenang dari yang berdaulat. Demikianlah anggapan-
anggapan sarjana-sarjana Romawi pada masa republik dan masa klasik mengenai hukum positif.
Dan karena Kaisar memegang kedaulatanrakyat Romawi yang diserahkan kepada baginda, maka
  Institutiones
 dari Kaisar Justinianus dapatmenetapkan bahawa kemauan kaisar mempunyai keuatan satu
undang-undang. Cara berfikir serupa itucocok dengan pikiran-pikiran ahli-ahli hukum yang giat
menyokong kekuasaan raja dalam memusatkankerajaan Perancis pada abad ke-16 dan ke-17, dan
dengan perantaraan ahli-ahli hukum itu masuklah cara berfikir itu ke dalam hukum publik.
Rupanya dia sesuai dengan keadaan di sekitar kekuasaan tertinggiParlemen di tanah Inggris
sesudah tahun 1688 dan menjadi teori hukum Inggris yang kolot. Demikianlahdia dicocokkan
dengan satu teori politik tentang kedaulatan rakyat yang menurut teori itu, rakyat
dianggapsebagai pengganti parlemen untuk memegang kedaulatan pada waktu Revolusi
Amerika, atau sebagai pengganti Raja Perancis pada waktu Revolusi Perancis.
 
i. Satu gagasan yang menganggap hukum sebagai satu sistem pemerintah, ditemukan oleh pengal
amanmanusia yang menunjukkan, bahwa kemauan tiap manusia perseorangan akan mencapai
kebebasansesempurna mungkin yang sejalan dengan kebebasan serupa itu pula, yang diberikan
kepada kemauanorang-orang lain. Gagasan ini yang dianut dalam salah satu bentuk oleh mazhab
sejarah, telah membagiksetiaan sarjana hukum kepada teori hukum sebagai perintah dari
pemegang kedaulatan, dan hal in terjadihampir di sepanjang abad yang lalu. Menurut anggapan
pada masa itu, pengalaman manusia yangmenemukan prinsip hukum ditentukan dengan sesuatu
cara yang tak dapat dielakkan lagi. Ini bukanlahsoal daya upaya manusia yang dilakukannya
dengan sadar. Prosesnya ditentukan oleh pengembangan suatugagasan mengenai hak dan
keadilan, satu gagasan tentang kebebasan yang mewujudkan dirinya di dalam pelaksanaan
peradilan oleh manusia, atau oleh kerja-kerja hukum yang biologis atau psikologis atautentang
sifat-sifat jenis bangsa, yang kemudian menghasilkan sistem hukum daru suatu masa dan
suatu bangsa yang bersangkutan.
 
 j. Orang menganggap hukum itu sebagai satu sistem asas-asas, yang ditemukan secara filsafat
dandikembangkan sampai pada perinciannya oleh tulisan-tulisan sarjana hukum dan putusan
pengadilan, yangdengan perantaraan tulisan dan putusan itu kehidupan lahir manusia diukur oleh
akal, atau pada taraf lain,dengan tulisan dan putusan itu kemauan tiap orang yang bertindak
diselaraskan dengan kehendak oranglain. Cara berfikir ini muncul pada abad ke-19 sesudah
ditinggalkan teori hukum alam dalam bentuk yangmempengaruhi pikiran hukum selama dua
abad, dan filsafat diminta untuk memberikan satu terhadapkritik susunan sistematik
dan perkembangan detail.
 
k. Hukum dipahamkan sebagai sehimpunan atau sistem kaidah yang dipikulkan atas manusia di
dalammasyarakat oleh satu kelas yang berkuasa untuk sementara buat memajukan kepentingan
kelas itu sendiri, baik dilakukan dengan sadar maupun tidak sadar. Interpretasi ekonomis dari
hukum ini banyak bentuknya.Di dalam satu bentuk yang idealistis, yang dipikirkannya adalah
pengembangan satu gagasan ekonomiyang tak dapat dihindarkan. Di dalam satu bentuk
sosiologis mekanis, pikirannya dihadapkan pada perjuangan kelas atau satu perjuangan untuk
hidup di lapangan perekonomian, dan hukum adalah akibatdari pekerjaan tenaga atau hukum
yang terlibat atau menentukan perjuangan serupa itu. Di dalam betukPositivistis-Analistis,
hukum dipandang sebagai perintah dari pemegang kedaulatan, tetapi perintah ituseperti yang
ditentukan isi ekonomisnya oleh kemauan kelas yang berkuasa, pada gilirannya ditentukanoleh
kepentingan mereka sendiri. Semua bentuk ini terdapat dalam masa peralihan dari
stabilitaskematangan hukum ke satu masa pertumbuhan baru. Apabila gagasan bahwa hukum
dapat mencukupkan
 
keperluan sendiri telah ditinggalkan, dan orang mulai mencoba menghubungkan ilmu hukum
dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, yang lebih dulu menonjol ialah hubungan dengan ilmu
ekonomi. Tambahan lagi padamasa undang-undang banyak dibuat peraturan perundang-
undangan yang dundangkan mudah dianggaporang sebagai type darimperintah hukum, dan satu
percobaan hendak membentuk satu teori tentang pembuatan undang-undang oleh badan
legislatif dianggap memberikan uraian tentang semua hukum.
 
l. Akhirnya ada satu gagasan tentang hukum sebagai perintah dari undang-undang ekonomi dan s
osialyang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia di dalam masyarakat, yang ditemukan
oleh pengamatan,dinyatakan dalam perintah yang disempurnakan oleh pengalaman manusia
mengenai apa yang akanterpakai dan apa yang tidak terpakai di dalam penyelenggaraan
peradilan. Teori type ini terdapat padaakhir abad ke-19, tatkala orang mulai mencari dasar fisik
dan biologis, yang dapat ditemukan oleh pengamatan, dan bukan lagi dasar metafisik, yang
ditemukan oleh perenungan filsafat. Satu bentuk lainmenemukan satu kenyataan sosial yang
terakhir dengan pengamatan dan mengembangkan kesmpulan yanglogis dari kenyataan itu, mirip
seperti yang dilakukan oleh sarjana hukum metafisika. Ini adalah akibat lagidari suatu
kecenderungan dalam tahun mutakhir yang hendak mempersatukan ilmu-ilmu sosial, yang
lebih besar kepada teori-teori sosiologi.
 
Keduabelas konsepsi tentang hukum tersebut terkait dengan teorinya yang dikenal dengan “
  Lawas a tool of social engineering 
”. Untuk itu, Pound membuat penggolongan atas kepentingan
-kepentinganyang harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut :
 
1. Kepentingan Umum
(Public Interest)
, terdiri dari
 
a. kepentingan negara sebagai badan hukum;
 
 b. kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
 
2. Kepentingan Masyarakat
(Social Interest)
:
 
a. kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;
 
 b. perlindungan lembaga-lembaga sosial;
 
c. pencegahan kemerosotan akhlak;
 
d. pencegahan pelanggaran hak;
 
e. kesejahteraan sosial.
 
3. Kepentingan Pribadi
(Private Recht)
:
 
a. kepentingan individu;
 
 b. kepentingan keluarga;
 
c. kepentingan hak milik.
 
Dari klasifikasi tersebut dapat ditarik dua hal penting, yaitu: Pertama, Pound mengikuti
garis pemikiran yang berasal dari von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap
hukum sebagaike arah tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial. Penggolongan
kepentingan tersebutsebenarnya merupakan kelanjutan dari apa yang telah dilakukan Jhering.
Oleh karena itu, dilihat dari haltersebut, Pound dapat pula digolongkan ke dalam alairan
Utilitarianisme dalam kapasitasnya sebagai penerus Jhering dan Bentham.
 
Kedua, klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-premis hukum, sehingga
membuat pembentuk undng-undang, hakim, pengacara, dan pengajar hukum menyadari prinsip-
prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap persoalan khusus. Dengan kata lain, klasifikasi
tersebut membantumenghubungkan antara prinsip hukum dan praktiknya.
 
BAB III
 
PENUTUP
 
A.
 
Kesimpulan
 
Pada dasarnya hakekat hukum yang ideal sebagai obyek filsafat hukum
tentunyamempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-
 pertanyaan tentang “hakikat hukum”,tentang “dasar 
-
dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”, merupaka
n contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat
hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-
sama menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbed
a sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum
 
tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang
serta sistemhukumnya sendiri.
 
Oleh sebab itu, hukum harus melindungi kepentingan-kepentingan sebagimana yang
dikemukakanoleh Pound yaitu sebagai berikut :
 
1. Kepentingan Umum
(Public Interest)
, terdiri dari
 
a. kepentingan negara sebagai badan hukum;
 
 b. kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
 
2. Kepentingan Masyarakat
(Social Interest)
:
 
a. kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;
 
 b. perlindungan lembaga-lembaga sosial;
 
c. pencegahan kemerosotan akhlak;
 
d. pencegahan pelanggaran hak;
 
e. kesejahteraan sosial.
 
3. Kepentingan Pribadi
(Private Recht)
:
 
a. kepentingan individu;
 
 b. kepentingan keluarga;
 
c. kepentingan hak milik.
 
B.
 
Saran
 
Sebagai bentuk saran dari penulis hubungannya dengan hakekat, pengertian hukum sebagai
obyektelaah filsafat hukum yakni sebagai insan yang berpikir tentunya dapat membedakan yang
mana yang haqdan mana yang bathil, mana yang salah dan mana yang benar. Utamanya kepada
para penegak hukum,haruslah mengetahui akan makna hukum itu sendiri agar tidak terjebak
dalam dinamika perdebatan akanmakna hukum itu, sehingga dengan demikian mereka mampu
menegakkan hukum secara ideal yangmengedepankan keselarasan antara keadilan, kemanfaatan,
serta kepastian hukum
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Huijbers, Theo,
  Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah
, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
 
Kencana, Syafiie Inu,
  Pegantar Filsafat 
. Penerbit PT Refika Aditama, Bandung, 2004.
 
Muchsin,
  Ikhtisar Filsafat Hukum,
cetakan kedua , Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006
 
Pound, Roscoe,
  Pengantar Filsafat Hukum
, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit Bhratara, Jakarta, 1996.
 
Rasjidi, Lili,
  Dasar-Dasar Filsafat Hukum
, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.
 
Soeyono Koesoemo Sisworo,
“Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum”,
 Penerbit Universitas Diponegoro,Semarang.
 
Soeyono Koesoemo Sisworo, Pidato Ilmiah Dies Natalis Ke-25 UNISSULA,
“Dengan semangat Sultan
  Agung Kita Tegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan kebenaran, suatu perjuangan yang
tidak pernah
tuntas”.
 
Ontologi Filsafat Hukum

Sebelum kita masuk pada cangkupan dan kajian aspek ontologi filsafat hukum, maka kita perlu
meletakan fungsi ontologi. Ajaran ontologi dalam filsafat ilmu, tidak membatasi jangkauannya hanya
pada suatu wujud tertentu. Penelusuran ontologi mengkaji apa yang merupakan keseluruhan yang
ada secara objektif ditangkap oleh panca indra, yaitu pada taraf metafisika akan mengkaji dan
membicarakan problem watak yang sangat mendasar dari benda atau realitas yang ada dibelakang
pengalaman yang langsung secara koperhensif, oleh karena itu, ontologi akan mencari dan mengkaji
serta membicarakan watak realitas tertinggi (hakekat) atau wujud (being). Noeng Muhajir
berpandangan bahwa objek telaah ontologi adalah yang ada tidak terikat pada sesuatu perwujudan
tertentu, ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang
dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa titik tolak kajian ontologi dalam filsafat ilmu akan mempersoalkan; apa
objeknya, bagaimana hakekat dari keberadaan (wujud) objek tersebut, serta bagaimana perhubungan
objeknya terhadap jangkauan penalaran (pikiran) dan deteksi panca indara manusia.

Aspek Ontologi Filsafat Hukum, berusaha untuk menemukan objeknya, bagaiman kita dapat
memahami wujud hukum yang sesungguhnya (makna tertinggi), sementara kita hanya
mempersoalkan bahwa hukum harus “begini” dan hukum harus “begitu”, tanpa melihat apa
sesungguhnya dari objek hukum itu sendiri. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis. Demikian pula menurut Abdul Ghafur Anshori bahwa objek filsafat
hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya,
yang disebut sebagai hakikat. Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka permasalahan dan
pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkisar pada apa yang telah
diuraikan diatas, seperti hubungan hukum dengan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dan hukum
positif, apa sebab orang mentati hukum, apa tujuan hukum, sampai pada masalah-masalah filsafat
hukum yang ramai dibicarakan saat ini oleh sebahagian orang disebut sebagai masalah filsafat hukum
kontemporer meskipun itu belum tentu benar, oleh karena masalah tersebut jauh sejak dulu telah
diperbincangkan…. Para filsuf terdahulu menjadikan tujuan hukum sebagai objek dalam kajian filsafat
hukum. Objek pembahasan filsafat hukum bukan hanya tujuan hukum, melainkan masalah hukum
yang mendasar sifatnya yang muncul didalam masyarakat yang memerluka suatu pemecahan, karena
perkembangan filsafat hukum saat ini bukan lagi filsafat hukum para fisuf zaman yunani dan romawi.
Pemikiran filsafat hukum selalu berupaya dinamis menembus permsalahan yang bersinggungan
hukum, dan secara terus menerus mencari jawaban debalik apa yang telah tertuntaskan (ultimate).
Pandangan fisafat hukum juga tidak secara langsung mempersoalkan hukum positif sebagai objek
yang inti. Adalah Gustav Radbruch dengan tesis “Tiga Nilai Dasar Hukum”, yaitu Keadilan, Kegunaan
dan Kepastian Hukum Oleh karena filsafat hukum secara ontologi bekerja diluar jangkauan yang
mengikat. Ontologi filsafat hukum, pada prinsipntnya tidak hanya melihat hukum sebagai objeknya
melainkan segala pola perilaku manusia, dasar dimana timbal balik hak dan kewajiban (manusia)
berperan, serta hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya yang berkemungkinan
bersentuhan (perlindungan) dengan kewajiban negara, pemerintah dan masyarakat. Menurut hemat
kami, bahwa yang dimaksudkan dengan objek filsafat hukum yaitu, hak dan kewajiban, keadilan,
perlindungan/pencegahan.

Epistimologi Filsafat Hukum

Pada tataran epistimologi dalam filsafat ilmu, akan mempersoalkan bagaimana segala sesuatu itu ada
(datang), bagaimana kita dapat memahaminya, dan bagaimana kita dapat mengklasifikasi eksistensi
setiap objek berdasarkan ruang dan waktunya. Epistimologi filsafat hukum, merupakan landasan
dimana kita melakukan suatu proses penemuan pengetahuan logika, etika dan estetika, menjadi
suatu kebenaran ilmiah.

Epostimologi dalam filsafat hukum, akan mempersoalkan darimana unsur-unsur hukum itu datang
(ada), selanjutnya bagaimana orang dapat memperoleh pengetahuan hukum dan bagaimana orang
dapat merumuskan tentang struktur pengetahuan tentang ilmu-ilmu hukum. Untuk ilmu pengetahuan
hukum, lahirlah pertanyaan mendasar yakni, untuk apa penggunaan hukum, apa batasan wewenang
penelitian (jangkauan) hukum dan bagaimana hukum raharus diarahkan, serta bagaimana kita dapat
memperoleh jaminan-jaminan hak dan kewajiban hukum pada taraf yang wajar.
Sebagai suatu sistem ajaran, maka disiplin ilmu hukum mencangkup antara lain; pertama, ajaran
yang menentukan apa yang seyogianya atau seharusnya dilakukan, (preskriptif), dan yang kedua,
yang senyatanya dilakuakan (deskriptif) didalam hidup. Sedangkan unsur-unsur hukum mencangkup
unsur-unsur idiil serta unsur-unsur riil. Epistimologi filsafat hukum berusaha membuat “dunia etis
yang menjadi latar belakan yang tidak dapat diubah oleh panca indra”, sehingga filsafat hukum (pada
tataran epistimologinya), menjadi suatu ilmu normatif , seperti halnya dengan ilmu politik hukum,….

Aspek epistimologi dalam filsafat hukum, berusaha untuk menyatakan bahwa unsu-unsur hukum
merupakan objek pengetahuan ilmu hukum yang senantiasa titeliti perkembangan dan
persesuaiannya terhadap kondisi ruang dan waktunya dimana hukum diberlakukan serta segala
sesuatu yang dapat mempengaruhi hubungan-hubungan hukum.

4. Aksiologi Filsafat Hukum

Yang menjadi objek kajian filsafat pada tataran aksiologi adalah bagaimana manusia dalam penerapan
pengetahuan itu, dapat mengklasifikasinya, tujuan pengetahuan dan perkembangannya. Pada taraf
tertinggi, aksilogi filsafat hukum akan mempersoalkan bagaiman hukum itu berfungsi secara ideal.
Nilai, azas dan norma (azas objektif hukum yang bersifat moral, Azas objektif hukum yang bersifat
Rasional, dan Azas subjektif hukum yang bersifat Moral dan Rasional) yang merupakan unsur-unsur
hukum. Pengertian azas hukum adalah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum
atau pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak pembentukan undang-undang dan interpretasi
undang-undang atau prinsip-prinsip yang merupakan kedudukannya yang lebih tinggi dari pada
hukum yang ditentukan manusia. Aksiologi filsafat hukum pada kebanyakan (masyarakat) umumnya
dikenal dengan peranan hukum, dimana dasar keadilan dan kepastian hukum menjadi pilar yang
seyogianya ditopang dengan segenap keseimbangan hukum. Tidak bermaksud untuk memadukan
antara aksiologi filsafat hukum dan penemuan hukum, namun pada kausalitasnya penerapan hukum,
unsur-unsur penemuan hukum merupakan kosekwesi dari penerapan hukum secara empirik. Sudikno
Mortokusumo berpandangan bahwa, jikalau mencari hukumnya, arti sebuah kata maka dicari terlebih
dahulu dalam undang-undang, karena undang-undang bersifat autentik, berbentuk tertulis, dan
menjamin kepastian hukum. Nilai (value) merupakan salah satu cabang filsafat yaitu axiologi (filsafat
nilai). Nilai biasanya digunakan untuk menunjukan kata benda yang abstrak yang dapat dinyatakan
sebagga keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Demikian pula, Bahanuddin Salam
menyatakan bahwa, melalui teori pengetahuan kita sudah sampai pada teori nilai yaitu teori yang
menyelidiki proses dan isi penilaian yaitu proses-proses yang mendahului, mengiringkan malahan
menentukan semua kelakuan manusia.

Oleh karena, hukum dalam tataran aksiologi filsafat hukum pada fase ketiga tahapan pembedahan
hukum (Fungsi Filsafat Hukum) maka, keadilan hukum, kepastian hukum, jaminan hak dan kewajiban
serta hubungan-hubungan hukum merupakan ruang bersekutunya unsur-unsur hukum, yang menjadi
alasan objektif ke-dinamisasian hukum itu berproses.

5. Kesimpulan

Pada prinsipnya, filsafat hukum merupakan variabel utama disamping ilmu-ilmu terapan dalam ilmu
hukum, bahkan dikatakan filsafat hukum adalah gerbang masuk dalam arena pengkajian ilmu-ilmu
hukum. Terhadap Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Filsafat Hukum, secara umum adalah sama
objeknya namun secara hakekat bahwa, ternyata ketiga unsur filsafat ilmu ini, (Ontologi, Epistimologi
dan Aksiologi ) dalam filsafat hukum memiliki substansi yang berbeda pula, sehingga kita perlu
mempelajari filasafat hukum.

Filsafat hukum dalam perannya akan melahirkan hubungan teori-teori hukum. Misalnya hubungan
hukum dengan teori hukum, jika teori hukum mewujudkan sebuah meta teori berkenaan dengan
Dokmatika Hukum, maka filsafat hukum memenuhi fungsi dari sebuah meta disiplin berkenaan dengn
teori hukum. Secara struktur teori hukum terhubungkan pada filsafat hukum dengan cara yang sama
seperti Dogmatika hukum terhadap teori hukum. Filsafat hukum merupakan sebuah meta disiplin
berkenaan dengan teori hukum. Filsafat hukum sebagai ajaran nilai dari teori hukum dan filsafat
hukum sebagai ajaran ilmu dari teori hukum.

Filsafat sebagai ajaran ilmu dari teori hukum dan sebagai ajaran pengetahuan mewujudkan sebuah
meta disiplin berkenaan dengan teori hukum tidak memerlukan penjelasan lebih jauh mengingat
filsafat hukum disini mengambil sdari kegiatan-kegiatan dari teori hukum itu sendiri sebagai objek
studi.

Anda mungkin juga menyukai