Anda di halaman 1dari 2

Mengenai bentuk pemerintahan republik, negarawan prancia ini mengemukakan bahwa bentuk pemerintahan itu memang ideal, hanya

saja warga untuk bentuk


pemerintahan republik haruslah telah mendapatkan pendidikan yang cukup atau memadai. Republik yang dimaksud adalah menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan
Yudikatif. Teori pembagian kekuasaan dalam suatu negara ini kemudian terkenal dengan sebutan teori trias Politika.

Trias politika merupakan ide pokok dalam demokrasi barat yang mulai berkembang di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18. Menurut ajaran Trias politika kekuasaan
negara terbagi menjadi tiga macam.

a. Kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang


b. Kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang
c. Kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.
Trias politika mengajarkan bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang-orang yang sama. Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan
kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian, diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin. Konsep tersebut untuk pertama kali dikemukakan
oleh John Locke (1632-1704) dan Monstesquieu (1689-1755).

Selanjutnya pada 1748, Monstesqueiu mengembangkan konsep John Locke tersebut lebih jauh dalam bukunya L’Espirit des Lois (The Spirit of Laws) yang
ditulisnya setelah dia melihat sifat despotis (sewenang-wenang) dari raja-raja Bourbon di Prancis. Dia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan yang warga negaranya
akan merasa lebih terjamin hak-haknya. Dalam uraiannya Monstesquieu membagi kekuasaan dalam tiga cabang yang menurutnya haruslah terpisah satu sama lain;
kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, tetapi oleh Monstesqueiu
diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri), dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang) ide pemisahan kekuasaan tersebut,
menurut Monstesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri.

Monstesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat bila kekuasaan terpusat
ditangannya.

Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi
satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya. Monstesquieu juga menekankan bahwa kebebasan akan kehilangan maknanya tatakala kekuasaan eksekutif dan legislatif
terpusat pada satu orang atau satu badan yang menetapkan undang-undang dan menjalankannya secara sewenang-wenang. Demikian pula, kebebasan akan tidak
bermakna lagi bila pemegang kekuasaan menghimpun kedua kekuasaan tersebut dengan kekuasaan yudikatif. Akan merupakan malapetaka seperti yang dikemukakan
oleh Monstesquieu bila satu orang atau satu badan memegang sekaligus ketiga kekuasaan tersebut dalam suatu masyarakat.
Karya terakhir Monstesquieu adalah L’Espirit des Lois (jiwa undang-undang) ini sering dikategorikan sebagai masterpiece dari Monstesquieu. Sebagaimana John
Locke dari Inggris dan para sarjana sezaman, pemikirannya pun masih dipengaruhi oleh ajaran hukum alam. Namun, berbeda dari John Locke yang memiliki konsep
Abstrak, karena teori-teorinya dibangun dari pemikiran kontemplatif belaka, Monstesquieu justru lebih rasional dan empiris karena teorinya dalam L’Espirit des Lois
banyak dibentuk dari realitas empiris yang terjadi sampai masa itu. Karyanya itu mengeksplanasi kejadian-kejadian dalam sejarah sosial yang ada untuk kenudian
menemukan jiwa undang-undang di dalamnya.1

Tidak berlebihan kalau ada yang mengatakan bahwa pada L’Espirit des Lois ini, dia lebih berpretensi sebagai seorang sejarawan ketimbang filusuf politik. L’Espirit
des Lois sebenarnya merupakan sebuah buku yang tebal. Disebutkan oleh R. Haryono Imam dalam pengantar buku membatasi kekuasaan; telaah mengenai jiwa
Undang-undang bahwa edisi lengkap L’Espirit des Lois terdiri dari tiga puluh satu buku yang dalam edisi-edisi tertentu kemudian dibagi menjadi enam bagian. Pertama,
berkaitan dengan hukum pada umumnya dan bentuk-bentuk pemerintahan; kedua, mengenai pengaturan militer, pajak, dan sebagainya; ketiga, berkaitan dengan adat
kebiasaan dan ketergantungan adat kebiasaan pada kondisi iklim; keempat, membahas masalah ekonomi; kelima, berkaitan dengan agama; keenam, semacam
suplemen yang membahas hukum Romawi, Prancis, dan gaya Feodal.

Yang terutama dapat diperhatikan dalam buku membatasi kekuasaan: Telaah mengenai jiwa Undang-undang adalah beberapa hal yang menyangkut tema
hukum. Secara umum, hukum digunakan untuk menunjuk hak-hak dan kewajiban yang dilindungi atau diberlakukan oleh pengadilan serta pada aturan-aturan dasar yang
harus diikuti oleh mereka yang menjalankan kekuasaan.

Dengan bekal kepercayaan bahwa cara untuk mempelajari hukum adalah mengamati berbagai sistem perundang-undangan yang ada dan diberlakukan di
berbagai negara, Monstesquieu menerangkan raison d’etre (hukum). Baginya, hak-hak positif warga negara tidak dimiliki secara apriori semata, yaitu pengakuan formal
atas hak-hak kodrati manusia, tetapi yang penting adalah melakukan verifikasi aktual atas siguasi dimana manusia hidup.

Pendekatan empiris dipertahankan pula dalam menjelaskan tentang kebebasan. Tidak sepergi filusuf dan pemikir lain sezamannya, Monstesquieu tidak memulai
perhatiannya dengan mengajukan konsep-konsep umum yang abstrak. Menurutnya, kebebasan berakar dalam tanah. Diartikan bahwa kebebasan lebih mudah
dipertahankan dengan dua prasyarat pokok, yaitu keadaan geografis negara dan ketentraman yang timbul dafi keamanan. Prasyarat terakhir menghendaki perundang-
undangan menetapkan batas-batas kekuasaan negara serta adanya jaminan hak-hak individu di dalam hukum. Berkaitan dengan tema kebebasan ini, Mostesquieu
memberikan batasan yang penting bagi terpeliharanya kebebasan itu sendiri, yaitu pembatasan dengan hukum. Hukum yang baik adalah hukum yang melindungi
berbagai kepentingan umum.

1
Leo Agung, Sejarah Intelektual, (Yogyakarta: penerbit Ombak, 2013), hlm. 43-46.

Anda mungkin juga menyukai