2. Thomas Aquinais
Masalah keadilan diterjemahkannya ke dalam dua bentuk yaitu pertama, keadilan yang timbul
dari transaksi-transaksi seperti pembelian penjualan yang sesuai dengan azas-azas distribusi
pasar, dan kedua, menyangkut pangkat bahwa keadilan yang wajar terjadi bila seorang penguasa
atau pemimpin memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya berdasarkan pangkat.
Kemudian, St. Thomass aquinas membahas tentang hukum melalui pembedaan jenis-jenis
hukum berikut ini menjadi tiga.
a. Hukum abadi (Lex Eterna)
Kebenaran dari hukum ini ditunjang oleh kearifan ilahi yang merupakan landasan dari segala
ciptaan.
b. Hukum Kodrat (Lex Naturalis)
Menurut Aquinas, Tuhan menghendaki agar manusia hidup sesuai dengan kodratnya. Itu berarti
bahwa manusia hidup sedemikian rupa sehingga ia dapat berkembang, membangun dan
menemukan identitasnya, serta dapat mencapai kebahagiaan. Aquinas menolak segala paham
kewajiban yang tidak absah dan tidak sesuai dengan martabat manusia.
3. Niccolo Machiavelli
Pada saat Niccolo machiavelli menulis pemikiran-pemikirannya tentang filsafat politik, ia
menyaksikan terpecah belahnya kekuasan di Italia dengan banyak munculnya negara-negara kota
yang rapuh. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa ajaran-ajarannya kemudian mengandung
sinisme yang keras terhadap moralitas di dalam kekuasaan.
Machiavelli bergerak terlalu jauh ketika mengatakan bahwa tindakan-tindakan yang jahat pun
dapat dimaafkan oleh masyarakat asal saja penguasa mencapai sukses. Bahwa, kekejaman asal
dipakai secara tepat, merupakan sarana stabilitasi kekuasaan raja yang mutlak ada. Beberapa
pernyataannya yang ekstrim mengenai pentingnya kekuasaan dapat dilihat dari kutipan berikut.
Oleh karena itu, raja harus membuat dirinya ditakuti sedemikian rupa sehingga kalau ia tidak
dicintai rakyatnya, setidak-tidaknya ia tidak dibenci.
.....kalau raja berperang bersama pasukannya dan memimpin pasukan yang besar, ia tidak perlu
merasa khawatir disebut kejam. Karena tanpa sebutan itu, ia tidak akan pernah dapat
mempersatukan dan mengatur passukan.
Walau terdapat kelemahan-kelemahan mencolok dalam pemikiran Machiavelli, ia telah berhasil
menyuarakan penderitaan rakyat yang tercerai berai karena adanya intrik politik yang
berkepanjangan. Setidak-tidaknya telah menegaskan bahwa suatu pemerintahan tidak seharusnya
bertindak setengah-setengah.
4. Thomas Hobbes
Dasar dari ajaran Hobbes adalah tinjauan psikologis terhadap motivasi tindakan manusia. Dia
menemukan bahwa manusia selalu memiliki harapan dan keinginan yang terkadang absurd, licik,
dan emosional. Semua itu akan berpengaruh apabila seseorang manusia mengenggam
kekuasaan.
Hobbes mengatakan bahwa untuk menertibkan tindakan manusia, mencegah kekacauan, dan
mengatasi anarki, kita tidak mungkin mengandalkan kepada imbauan-imbaauan moral. Negara
harus membuat supaya manusia-manusia itu takut, dan perkakas utama yang mesti digunakan
adalah tatanan hukum. Hobbes adalah orang yang pertama kali menyatakan dengan pasti paham
positivisme hukum; bagi Hobbes hukum di atas segala-galanya. Sesuatu dianggap adil apabila itu
sesuai dengan undang-undang, betapapun buruknya. Kesimpulan pemikiran Hobbes bahwa
pembatasan konflik itu dilakukan melalui saran hukum.
5. Jean-Jacques Rousseau
Rousseau memandang ketertiban yang dihasilkan sebagai akibat dari hak-hak yang sama.
Rousseau berangkat dari asumsi bahwa ada dasarnya manusia itu baik. Negara dibentuk karena
adanya niat-niat baik untuk melestarikan kebebasan dan kesejahteraan individu.
Guna menangani konflik-konflik yang akan selalu ada dalam masyarakat, Rousseau
mendesakkan persamaan demi tujuan-tujuan yang lebih besar. Dia mengandaikan bahwa
keinginan umum dan semua kesejahteraan individu akan muncul bersamaan. dalam melihat dua
sisi kepentingan ini, Rousseu mengatakan:
Para warga negara setuju terhadap semua hukum, terhadap undang-undang sah yang bermaksud
jahat kepadanya, dan bahkan terhadap undang-undang yang menghukumnya bila ia berani
melanggarnya. Keinginan yang tidak berubah dari semua anggota negara adalah keinginan
umum; melalui hal itulah mereka menjadi warga negara dan bebas. Ketika undang-undang
diajukan dalam majelis rakyat, apa yang diminta dari mereka sebenarnya, apakah mererka
menyetujui usulan itu atau menolaknya, tetapi apakah ia sesuai atau tidak dengan keinginan
umum, yang adalah keinginan mereka sendiri; lalu msing-masing dalam memberikan suaranya
menyatakan pendapatnya; dan dari perhitungan suara diperoleh pernyataan keinginan umum.
Inilah landasan dari konsep kontrak sosial Rousseau yang begitu memikat. Segala bentuk
kepentingan individu yang menyimpang dari kepentingan umum adalah salah, dan karena itu
orang harus melihat kebebasan itu justru pada kesamaan yang terbentuk dalam komunitas.
Rousseau terlalu idealis dalam memandang manusia. Dia ternyata telah menjungkirbalikkan
logika secara a posteriori dengan mengatakan bahwa kepentingan publik kolektif senantiasa
memperkuat kebebasan dan kesejahteraan individu sambil menguraikan bahwa setiap pribadi
hendaknya tidak lagi menganggap dirinya sebagai kesatuan melainkan bagian dari kesatuan yang
disebut komunitas.