Anda di halaman 1dari 35

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Evaluasi Kebijakan Publik

Proses pembuatan kebijakan merupakan suatu proses yang panjang dan

kompleks yang melibatkan berbagai aktor serta proses dan variabel yang harus

dikaji terlebih dahulu. Oleh karena itu kemudian proses penyusunan kebijakan

publik dibagi menjadi beberapa tahap sebagai berikut1:

1. Penyusunan Agenda

Pada kegiatan ini masalah publik yang ada akan disaring untuk bisa masuk

ke dalam agenda kebijakan.

2. Formulasi Kebijakan

Pada tahap ini pembuat kebijakan mendefinisikan permasalahan publik yang

ada kemudian dirumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah.

3. Adopsi Kebijakan

Alternatif yang beragam dari para perumus kebijakan tersebut kemudian

dipih alternatif terbaik untuk diadopsi

4. Implementasi Kebijakan

Alternatif kebijakan yang sudah diputuskan untuk menyelesaikan masalah

publik kemudian diimplementasikan pada fase ini. Kegiatan tersebut

dilakukan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasi SDM dan finansial

commit to user
1
Dunn, William N. 2000. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada Press, hlm 24-25

13
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

5. Evaluasi Kebijakan

Pada fase ini kebijakan yang telah diimplementasikan tersebut dinilai atau

dievaluasi untuk melihat sejauh mana alternatif kebijakan yang diambil

tersebut mampu menyelesaikan permasalahan publik yang ada.

Pada proses pembuatan kebijakan menurut William Dunn di atas

menempatkan evaluasi pada tahap yang paling akhir. Hal ini tidak berarti bahwa

suatu kebijakan juga akan berakhir bersamaan dengan tahap evaluasi ini. Ini

berarti evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja,

melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan.

Jones mengemukakan bahwa kajian evaluasi adalah kegiatan yang

dilakukan untuk meninjau kembali pelaksanaan suatu kebijakan guna

mendapatkan perbaikan dari dampak yang tidak diinginkan2. Dari pendapat

Jones tersebut dapat diketahui bahwa dari kegiatan evaluasi akan diketahui

dampak-dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan suatu kebijakan, apakah

hasil yang ada tersebut telah sesuai seperti yang direncanakan atau belum.

Robert O. Brikenhoff dalam Tayibnapis (2000:3). menjelaskan ada

sepuluh hal yang perlu dijawab untuk mengetahui apa itu evaluasi, yaitu3:

1. Apa arti evaluasi

Banyak definisi mengenai evaluasi yang dikemukakan oleh para ahli.

2. Untuk apa evaluasi

Terdapat dua fungsi dari kegiatan evaluasi. Yang pertama yaitu fungsi

formatif, evaluasi digunakan untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan


2
Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta: Yayasan
Pembaruan Administrasi Publik., hlm 25 commit to user
3
Tayibnapis, Farida Yusuf. 2000. Evaluasi Program. Jakarta: PT. Rineka Cipta, hlm 3
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

yang sedang berjalan (program, orang, produk dan sebagainya). Yang kedua

adalah fungsi sumatif dimana evaluasi digunakan untuk

pertanggungjawaban, keterangan, seleksi atau lanjutan.

3. Apa obyek evaluasi

Merupakan suatu hal yang mendasar mengenai apa yang akan dievaluasi

atau memfokuskan obyek evaluasi.

4. Aspek dan dimensi obyek apa yang akan dievaluasi

Setelah menentukan obyeknya, maka selanjutnya adalah menetukan aspek

atau bagian mana dari obyek tersebut yang akan dievaluasi.

5. Kriteria apa yang dipakai untuk menilai suatu obyek

Hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan kriteria penilaian terhadap

suatu obyek adalah: (a) Kebutuhan, ideal dan nilai-nilai; (b) Penggunaan

yang optimal dari sumber-sumber dan kesempatan; (c) Ketetapan efektivitas

training; (d) Pencapaian tujuan yang telah dirumuskan dan tujuan penting

lainnya, kriteria yang ganda (multiple) hendaknya sering dipakai.

6. Siapa yang harus dilayani oleh evaluasi

Supaya evaluasi bermanfaat, maka evaluasi harus berguna untuk klien atau

audiensi khusus. Kegiatan evaluasi ini dilakukan sesuai dengan permintaan

klien yang meminta untuk dilakukan evaluasi.

7. Apa langkah-langkah dan prosedur yang harus dilakukan dalam evaluasi

Dalam evaluasi harus memasukkan ketentuan dan tindakan sejalan dengan

fungsi evaluasi yaitu: (a) memfokuskan evaluasi; (b) mendesain evaluasi; (c)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

mengumpulkan evaluasi; (d) menganalisis informasi; (e) melaporkan hasil

evaluasi; (f) mengelola evaluasi; (g) mengevaluasi evaluasi

8. Metode apa yang akan digunakan dalam evaluasi

Memilih metode evaluasi terbaik sesuai dengan kebutuhan, situasi dan

kondisi yang ada di daerah tersebut

9. Siapa yang akan melakukan evaluasi

Seorang evaluator dituntut untuk memiliki kemampuan yang memadai.

Seorang evaluator yang berkompeten memiliki ciri antara lain yaitu

mengetahui dan mengerti teknik pengukuran dan metode penelitian,

mengerti mengenai kondisi sosial dan hakikat obyek evaluasi serta memiliki

kemampuan human relation, jujur dan bertanggung jawab.

10. Apa standar untuk melakukan evaluasi

Standar yang paling komprehensif dan rinci dikembangkan oleh committee

on standard for educational evaluation (Joint Committee, 1981) dengan

ketuanya Daniel Stufflebeam, yaitu utility (bermanfaat dan praktis),

propriety (dilakukan dengan legal dan etik).

Dengan pendekatan manajemen publik, Firman dan Sirait

mengemukakan bahwa di dalam proses manajemen, evaluasi merupakan usaha

untuk mengukur dan memberi nilai secara obyektif mengenai pencapaian hasil

yang telah direncanakan dan ditetapkan sebelumnya4. Sedangkan Riant Nugroho

berpendapat bahwa suatu kebijakan publik merupakan sebuah manajemen.

Karena itulah, dalam sebuah kebijakan perlu dikendalikan. Riant Nugroho

commit to user
44
Tangkilisan. Op.Cit., hlm 26
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

menggantikan istilah evaluasi dengan istilah pengendalian. Dengan demikian,

kebijakan publik tersebut harus dikendalikan untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan dan bisa mencapai keberhasilan seperti yang diharapkan. Dalam

pelaksanaannya diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.

Dalam hal kajian mengenai evaluasi kebijakan, hal yang perlu dipikirkan

adalah mengenai policy output dan policy outcome. Output kebijakan adalah

sesuatu yang dikerjakan oleh pemerintah dengan standar yang jelas. Output ini

merupakan keluaran dari sebuah sistem kebijakan yang dapat berupa peraturan,

kebijakan, pelayanan/jasa dan program. Sedangkan outcome kebijakan lebih

memfokuskan atau mencoba untuk menentukan pengaruh dari kebijakan dalam

kondisi kehidupan. Outcome ini adalah hasil dari diimplementasikannya suatu

kebijakan dalam waktu tertentu Untuk melihat outcome dari kebijakan kita harus

mengetahui apa yang ingin kita selesaikan dengan kebijakan yang dikeluarkan

(obyektivitas kebijakan), bagaimana implementasinya, apa yang dicapai dari

implementasi tersebut (dampak atau hasil dan hubungannya dengan kebijakan

itu)5.

Evaluasi dilakukan ketika suatu program sudah dan atau sedang

diimplementasikan. Tidak ada batasan waktu yang pasti kapan suatu kebijakan

merasa perlu untuk dievaluasi. Tetapi untuk bisa melihat outcome ataupun

dampak suatu kebijakan diperlukan waktu tertentu untuk kemudian bisa

dilakukan evaluasi. Apabila terlalu dini dalam melakukan evaluasi, maka

outcome dan dampak dari sebuah kebijakan atau program tersebut belum begitu

commit to user
5
Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Penerbit Alfabeta, hlm 190-191
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

tampak. Semakin strategis suatu kebijakan, diperlukan kurun waktu yang lebih

lama dibandingkan dengan kebijakan yang sifatnya teknis

William Dunn menerangkan bahwa secara umum istilah evaluasi dapat

disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (ratting) dan

penilaian (assessment), kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis

hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya. Dalam arti yang lebih spesifik,

evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil

kebijakan.

Lebih jelas lagi, menurut Dunn gambaran utama evaluasi adalah bahwa

evaluasi menghasilkan tuntutan-tuntutan yang bersifat evaluatif. Karena itulah

evaluasi memiliki sejumlah karakteristik yang membedakannya dari metode-

metode analisis kebijakan lainnya antara lain6:

1. Fokus Nilai

Evaluasi dipusatkan pada penilaian kebijakan dan program. Evaluasi

mencakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan dan sasaran kebijakan.

2. Interdependensi Fakta-Nilai

Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai

tujuan perlu didukung dengan adanya bukti bahwa hasil-hasil kebijakan telah

memecahkan masalah tertentu.

3. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau

Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan

pada hasil sekarang dan masa lalu, daripada hasil di masa depan. Evaluasi

commit to user
6
Dunn, Op.Cit., hlm 608-609
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi

yang juga mencakup premis-premis nilai, bersifat prospektif dan dibuat

sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante).

4. Dualitas Nilai

Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda

karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Nilai-nilai

sering ditata di dalam suatu hierarki yang merefleksikan kepentingan relatif

dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran.

Selain itu Nugroho juga menjelaskan bahwa ciri dari evaluasi kebijakan

adalah7 :

1. Tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan kinerja

kebijakan

2. Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan, pelaksana

kebijakan dan target kebijakan

3. Prosedur dapat dipertanggungjawabkan secara metodologi

4. Dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhan atau kebencian

5. Mencakup rumusan, implementasi, lingkungan dan kinerja kebijakan

Thomas Dye mencatat bahwa evaluasi kebijakan adalah pembelajaran

tentang konsekuensi dari kebijakan publik. Dia mengemukakan bahwa evaluasi

kebijakan adalah pemeriksaan yang objektif, sistematis dan empiris terhadap

efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi tujuan yang

commit to user
7
Nugroho, Riant. 2012. Public Policy. Jakarta: TP Elex Media Komputindo, hlm 728
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

ingin dicapai. Carol Weiss mengatakan bahwa evaluasi dapat dibedakan dari

bentuk-bentuk analisis lainnya berdasarkan enam hal yaitu8:

1. Evaluasi dimaksudkan untuk pembuatan keputusan dan untuk menganalisis

problem seperti yang didefinisikan oleh pembuat keputusan, bukan oleh

periset.

2. Evaluasi adalah penilaian karakter. Riset bertujuan untuk mengevaluasi

tujuan program.

3. Evaluasi adalah riset yang dilakukan dalam setting kebijakan, bukan dalam

setting akademik.

4. Evaluasi seringkali melibatkan konflik antara periset dan praktisi.

5. Evaluasi biayanya tidak dipublikasikan.

6. Evaluasi mungkin melibatkan periset dalam persoalan kesetiaan kepada agen

pemberi dana dan peningkatan perubahan sosial.

Evaluasi kebijakan disarankan untuk dilaksanakan dengan cara

komparasi dengan pilihan-pilihan yakni komparasi dengan tujuan, komparasi

dengan historikal dan komparasi dengan best practice9. Melihat perbandingan-

perbandingan tersebut, dengan evaluasi dapat diketahui kesenjangan antara

harapan dan kenyataan. Selain itu dapat pula menilai sejauh mana keefektifan

kebijakan publik yang nantinya akan dipertanggungjawabkan.

Secara garis besar, Badjuri dan Yuwono mengemukakan bahwa terdapat

dua aspek dasar yang dilakukan dalam evaluasi kebijakan publik yaitu findings

8
Parsons, Wayne. 2006. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta:
Kencana, hlm 547-548 commit to user
9
Nugroho, Op.Cit., hlm 727-728
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

dan rekomendasi10. Di dalam sebuah evaluasi, akan ditemukan seberapa jauh

suatu program bisa mencapai tujuan atau justru menyimpang dari yang telah

ditetapkan. Hasil-hasil temuan tersebut kemudian dijadikan rekomendasi atau

catatan-catatan untuk kebijakan pemerintah selanjutnya.

Hasil dari evaluasi itu dapat mempengaruhi keputusan pemerintah

terhadap kebijakan tersebut. Pemerintah akan mempertahankan kebijakan itu

apabila dalam evaluasi tujuan yang ditetapkan bisa tercapai dengan baik.

Pemerintah juga dapat memperluas subyek penerima kebijakan jika kebijakan

itu dinilai berhasil. Atau pilihan pemerintah memilih untuk mengganti atau

memberhentikan kebijakan tersebut karena dinilai tidak dapat mencapai target.

Anderson mengemukakan bahwa elemen dari evaluasi bergantung pada

cara kita memandang fungsi evaluasi itu melihat elemen. Dilihat secara

fungsional (functional activity), evaluasi kebijakan memiliki tiga elemen yaitu

hasil atau dampak, program dan proyek yang pertimbangannya tidak terlepas

dari pengaruh ideologi, kepentingan pribadi dan faktor-faktor lain. Dilihat dari

posisinya sebagai sebuah proses, evaluasi kebijakan memiliki unsur biaya (cost),

manfaat (benefits) dan program. Dipandang dari segi sistem, evaluasi kebijakan

terdiri atas dua elemen, yakni evaluasi sebagai sistem itu sendiri dan hasil

(outcome)11. Evaluasi sebagai bagian dari keseluruhan proses suatu kebijakan

dilihat dari pendekatan sistem merupakan suatu subsistem atau elemen dari

kebijakan. Namun evaluasi itu sendiri juga dapat dipandang sebagai satu sistem

tersendiri yang memiliki beberapa subsistem atau elemen. Sekalipun hampir

10
Tangkilisan. Op.Cit., hlm 29 commit to user
11
Abidin, Said Zainal. 2012. Kebijakan Pubik. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, hlm 169
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

semua pihak sependapat dengan pengertian sistem yang demikian, di antara para

penulis terdapat perbedaan tentang apa saja yang termasuk sebagai elemen dari

suatu evaluasi. Perbedaan itu berasal dari perbedaan pandangan tentang proses

dan posisi dari evaluasi.

Seperti yang telah disebutkan di atas, Riant Nugroho memahami suatu

kebijakan publik adalah sebuah manajemen, mengagendakan pemahaman bahwa

kebijakan publik tersebut harus dikendalikan. Maka kemudian menggunakan

frase pengendalian untuk menggantikan istilah evaluasi kebijakan. Pengendalian

kebijakan sendiri terdiri atas tiga dimensi yaitu12 :

1. Monitoring kebijakan atau pengawasan kebijakan

Pengawasan berupa pemantauan dengan penilaian untuk tujuan pengendalian

pelaksanaan agar pelaksanaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

2. Evaluasi kebijakan

Evaluasi merupakan penilaian pencapaian kinerja dari implementasi.

Evaluasi dilaksanakan setelah kegiatan “selesai dilaksanakan” dengan dua

pengertian “selesai” yaitu: (1) pengertian waktu (mencapai/melewati tenggat

waktu) dan (2) pengertian kerja (pekerjaan tuntas).

3. Pengganjaran kebijakan

Pengganjaran dengan demikian bermakna pemberian insentif atau disinsentif

yang ditetapkan dan diberikan sebagai hasil dari pengawasan dan penilaian

yang telah dilakukan.

commit to user
12
Nugroho, Op.Cit., hlm 723-724
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan.

Pertama, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai

kinerja kebijakan, seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat

dicapai melalui tindakan publik. Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada

klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan

target. Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode

analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi.

Dengan evaluasi, kebijakan-kebijakan ke depan akan lebih baik dan tidak

mengulangi kesalahan yang sama. Alasan dilakukannya evaluasi antara lain13:

1. Untuk mengetahui tingkat efektivitas suatu kebijakan (seberapa jauh

kebijakan mencapai tujuannya)

2. Mengetahui apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal

3. Memenuhi aspek akuntabilitas publik.

4. Menunjukkan pada stakeholders manfaat suatu kebijakan

5. Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama

Dengan melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan

harapan suatu kebijakan melalui sebuah evaluasi, pemerintah dapat menyusun

strategi untuk mengurangi atau menutup kesenjangan tersebut. Beberapa tujuan

dari evaluasi yang dikemukakan oleh Subarsono antara lain:

1. Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan

2. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan

3. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan

13 commit
Subarsono, AG. 2005. Analisis Kebijakan Publik to user
(Konsep, Teori dan Aplikasi). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, hlm 123-124
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

4. Mengukur dampak suatu kebijakan.

5. Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan.

6. Sebagai bahan masukan (input) untuk kebijakan yang akan datang.

Kemudian secara umum, Dunn menggambarkan kriteria-kriteria

evaluasi kebijakan publik sebagai berikut14 :

Tabel 2.1

Kriteria Evaluasi

Tipe Kriteria Pertanyaan Ilustrasi


Efektivitas Apakah hasil yang Unit pelayanan
diinginkan telah tercapai
Efisiensi Seberapa banyak usaha Unit biaya, manfaat
yang diperlukan untuk bersih, Rasio cost-
mencapai hasil yang benefit
diinginkan
Kecukupan Seberapa jauh pencapaian Biaya tetap.
hasil yang diinginkan Efektivitas tetap
memecahkan masalah
Perataan Apakah biaya dan Kriteria Pareto
manfaat didistribusikan Kriteria Kaldor-Hicks
dengan merata kepada Kriteria Rawls
kelompok-kelompok yang
berbeda
Responsivitas Apakah hasil kebijakan Konsistensi dengan
memuaskan kebutuhan, survei warga negara
preferensi atau nilai
kelompok-kelompok
tertentu
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) Program publik harus
yang diinginkan benar- merata dan efisien
benar berguna atau
bernilai

William Dunn menyatakan ada beberapa pendekatan evaluasi kebijakan

guna menghasilkan penilaian yang baik. Pendekatan tersebut adalah15:

14
Dunn, Op.Cit, hlm 610-611 commit to user
15
Ibid., hlm 612
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.2

Tiga Pendekatan Evaluasi

Bentuk-Bentuk
Pendekatan Tujuan Asusmsi
Utama
Evaluasi Menggunakan Ukuran manfaat Eksperimentasi
Semu metode deskriptif atau nilai terbukti sosial,
untuk dengan sendirinya Akuntansi sistem
menghasilkan atau tidak sosial,
informasi yang controversial Pemeriksaan
valid tentang hasil sosial,
kebijakan Sintesis riset dan
praktik
Evaluasi Menggunakan Tujuan dan Evaluasi
Formal metode deskriptif sasaran dari perkembangan,
untuk pengambil Evaluasi
menghasilkan kebijakan dan eksperimental,
informasi yang administrator yang Evaluasi proses
terpercaya dan secara resmi retrospektif,
valid mengenai diumumkan Evaluasi hasil
hasil kebijakan merupakan ukuran retrospektif
secara formal yang tepat dari
diumumkan manfaat atau nilai
sebagai tujuan
program kebijakan
Evaluasi Menggunakan Tujuan dan saran Penilaian tentang
Keputusan metode deskriptif dari berbagai dapat tidaknya
Teoritis untuk pelaku yang dievaluasi,
menghasilkan diumumkan secara Analisis utilitas
informasi yang formal ataupun multiatribut
terpercaya dan diam-diam
valid mengenai merupakan ukuran
hasil kebijakan yang tepat dari
yang secara manfaat atau nilai
eksplisit
diinginkan oleh
pelaku kebijakan

Kaufman dan Thomas membedakan model evaluasi menjadi delapan

yaitu: 1) Goal Oriented Evaluation Model; (2) Goal Free Evaluation Model;

(3) Formatif Summative Evaluation Model; (4) Countanance Evaluation


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

Model; (5) Responsive Evaluation Model; (6) CSE-UCLA Evaluation Model;

(7) CIPP Evaluation Model; (8) Discrepancy Model16.

Finsterbusch dan Motz menjelaskan pula mengenai metode evaluasi ada

beberapa macam, yaitu: (1) single program after-only; (2) single program

before-after; (3) comparative after-only; (4) comparative before-after. Metode

ini dapat dijelaskan dengan tabel berikut17:

Tabel 2.3

Metodologi untuk Evaluasi Program

Informasi
Jenis Pengukuran Kondisi Kelompok
yang
Evaluasi Kontrol
Sebelum Sesudah Diperoleh
Single Keadaan
program Tidak Ya Tidak ada kelompok
after only sasaran
Single Perubahan
program Ya Ya Tidak ada kelompok
before-after sasaran
Keadaan
kelompok
Comparative
Tidak Ya Ada sasaran dan
after-only
kelompok
kontrol
Efek program
terhadap
Comparative kelompok
Ya Ya Ada
before-after sasaran dan
kelompok
kontrol

16
Arikunto, Suharsimi dan Jabar, Cepi Safrudin Abdul. 2008. Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: PT
Bumi Aksara, hlm 40 commit to user
17
Subarsono, Op.Cit., hlm 128-130
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

Kemudian Farida Yusuf Tayipnapis juga mengemukakan empat model

evaluasi, yaitu18:

1. Model Evaluasi CIPP

Menurut Stufflebeam, evaluasi dalam metode ini dibagi menjadi empat

yaitu: (a) Context evaluation (b) Input evaluation (c) Process evaluation (d)

Product evaluation

2. Evaluasi Model UCLA

Dalam model ini, Alkin mengemukakan ada lima macam evaluasi, yakni:

a. System Assessment

b. Program Planning

c. Program Implementation

d. Program Improvement

e. Program Certification

3. Model Brinkerhoff

Tipe golongan evaluasi ini disusun berdasarkan penggabungan

elemen-elemen yang sama seperti evaluator-evaluator lain, namun komposisi

dan versi mereka sebagai berikut:

a. Fixed Vs Emergent Evaluation Design. Dapatkah masalah evaluasi dan

kriteria akhirnya dipertemukan? Jika iya, apakah itu suatu keharusan?

b. Formative Vs Summative Evaluation. Apakah evaluasi akan dipakai

untuk perbaikan atau untuk melaporkan kegunaan atau manfaat suatu

program? Atau keduanya?

commit to user
18
Tayibnapis, Op.Cit., hlm 13
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

c. Experimental and Quasi Experimental Design Vs Natural Unobtrusive

Inquiry. Apakah evaluasi akan melibatkan intervensi ke dalam kegiatan

program atau mencoba memanipulasi kondisi, orang diperlakukan,

variabel dipengaruhi dan sebagainya, atau hanya diamati, atau keduanya?

4. Model stake atau model countenance

Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi adalah

description dan judgement. Matriks description menunjukkan intents

(goals) dan observation (effects) atau yang sebenarnya terjadi. Judgement

mempunyai dua aspek; yaitu standart dan judgement. Penekanan yang

umum atau hal yang penting dalam model ini adalah bahwa evaluator yang

membuat penilaian tentang program yang dievaluasi. Stake mengatakan

bahwa description disatu pihak berbeda dengan judgement atau menilai.

Karena evaluasi dimaksudkan untuk penyempurnaan atau pembangunan

kebijakan, temuan hasil evaluasi digunakan untuk bahan analisis

penyempurnaan kebijakan sehingga dalam proses membandingkan tujuan

kebijakan dengan hasil yang dicapai, perlu juga dievaluasi ketepatan masalah.

Evaluasi terhadap masalah menjadi penting karena evaluasi tujuan saja tanpa

disertai penilaian terhadap masalah yang menjadi sebab terjadinya

penyimpangan atau kelemahan dan ketidakberhasilan itu, tidak dapat memberi

informasi yang lengkap untuk menyusun strategi penyempurnaan dan

pembangunan kebijakan19.

commit to user
19
Abidin. Op.Cit., hlm 173
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa evaluasi adalah

serangkaian proses kebijakan publik. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh

mana sebuah kebijakan bisa mencapai tujuan seperti yang telah direncanakan.

Hasil evaluasi ini bisa dijadikan acuan apakah kebijakan tersebut akan

diperbaiki, diperluas cakupannya atau justru diberhentikan dan digantikan oleh

kebijakan baru.

Untuk menilai evaluasi pelaksanaan Program Pengentasan Kemiskinan,

peneliti akan menggunakan model CIPP untuk menilai evaluasi pelaksanaan

program-program tersebut. Penelitian evaluasi dengan model CIPP ini

dilakukan dengan membandingkan pelaksanaan Program Raskin yang

dikeluarkan Pemerintah Pusat dengan Program Raskinda milik Pemerintah

Kota Surakarta. Penelitian ini dilakukan dengan mengukur kondisi masyarakat

sebelum dan setelah adanya program.

Evaluasi ini dilakukan secara menyeluruh dan komprehensif terhadap

pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan tersebut, mulai dari

aspek konteks yang akan membahas tentang kondisi obyektif lingkungan yang

akan dilakukan program. Lalu aspek masukan yang berhubungan dengan

bagaimana penggunaan sumber-sumber yang ada atau berbagai alternatif

strategi yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan program. Dilanjutkan

dengan aspek proses yang akan dilakukan terkait dengan bagaimana

implementasi program di lapangan. Dan yang terakhir adalah aspek produk

yang akan mengukur keberhasilan pencapaian tujuan program-program

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

tersebut. Peneliti ingin melihat perbedaan kondisi masyarakat sebelum dan

setelah mendapat bantuan beras dari program tersebut.

2. Model Evaluasi CIPP

Model evaluasi CIPP atau kepanjangan dari Context, Input, Process,

Product merupakan model evaluasi yang dikembangkan pada tahun 1960an oleh

Daniel L. Stuffelbeam. Ada tiga kunci definisi yang mendasari model evaluasi

CIPP. Evaluasi merupakan penilaian yang tersistematis terhadap beberapa objek

tertentu. Secara operasional, evaluasi adalah proses dari menggambarkan,

memperoleh, melaporkan dan menerapkan deskripsi dan keputusan mengenai

hal penting sebuah objek untuk dijadikan pedoman dalam pengambilan

keputusan, mendorong adanya akuntabilitas, memberikan implementasi yang

lebih efektif dan untuk memahami fenomena yang sedang terjadi20.

Di dalam buku International Handbook of Educational Evaluation,

model evaluasi CIPP ini digambarkan melalui tiga lingkaran terpusat. Inti

lingkaran menggambarkan nilai inti dari sebuah evaluasi. Kemudian lingkaran di

luarnya digambarkan mengenai 4 foci evaluasi yaitu tujuan, rencana,

implementasi, outcome. Dan lingkaran paling luar menunjukkan tipe-tipe

evaluasi dari masing-masing foci yaitu context, input, process dan product.

20 commit
Stufflebeam, Daniel L. dan Shinkfield, Anthony toEvaluation
J. 2007. user Theory, Models and Applications.
San Fransisco: Jossey-Bass, hlm 326
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.1

Komponen Kunci Model Evaluasi CIPP

Sumber: Stufflebeam dan Shinkfield (2007:33)

Secara lebih jelas lagi, berikut penjelasan masing-masing dimensi dari

model evaluasi CIPP ini:

1. Evaluasi Konteks (context)

Dalam dimensi ini berisikan deskripsi mengenai kondisi lingkungan yang

relevan antara sekarang dengan yang diinginkan, maka dalam konteks ini

membantu para pembuat kebijakan untuk merencanakan suatu kebijakan

atau keputusan kemudian menentukan kebutuhan yang akan dicapai oleh

program dan merumuskan tujuan program.

2. Evaluasi Masukan (input)

Pada tahap ini menyediakan data untuk menetukan bagaimana penggunaan

sumber-sumber yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan program. Hal

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

ini berkaitan dengan relevansi, kepraktisan, pembiayaan (dana), efektivitas

yang dikehendaki dan alternatif yang dianggap unggul21.

3. Evaluasi Proses (process)

Pada tahap ini yang dinilai adalah seberapa jauh suatu program yang

dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya,

bagaimana sumber daya yang digunakan untuk menunjang pelaksanaan

suatu program. Selain itu, dilihat pula hambatan apa saja selama proses

pelaksanaan dan bagaimana jika program dilanjutkan.

4. Evaluasi Produk (product)

Evaluasi produk atau hasil diarahkan pada hal-hal yang menunjukkan adanya

suatu perubahan yang terjadi dari berbagai masukan. Dengan adanya

evaluasi produk ini bisa dijadikan sebagai masukan atau pedoman untuk

pembuatan kebijakan berikutnya.

Lebih jelas lagi Arikunto dan Cepi Safrudin menyusun 4 dimensi

evaluasi tersebut ke dalam tabel berikut ini:

21 commit to
Sudjana, Djudju. 2006. Evaluasi Program Pendidikan user
Luar Sekolah. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, hlm 55
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.4

Matrik Indikator Evaluasi CIPP

Context Input Process Product

1. Kebutuhan yang Kemampuan 1. Kegiatan apa 1. Ketercapaian


belum terpenuhi staff dalam yang dilakukan tujuan yang
2. Tujuan menunjang dalam program ditetapkan
pengembangan program 2. Siapa 2. Kebutuhan
yang belum penanggung yang sudah
tercapai jawab program terpenuhi
3. Tujuan yang 3. Kapan kegiatan 3. Dampak yang
dapat membantu dilakukan dan diperoleh dari
mengembangkan akan selesai kegiatan
masyarakat (waktu program
4. Tujuan yang pelaksanaan) 4. Hal yang
mudah dicapai 4. Kemampuan dirumuskan
staf dalam setelah
penanganan program
pelaksanaan dijalankan
program
5. Pemanfaatan
sarana dan
prasarana
6. Hambatan-
hambatan yang
dijumpai

Evaluasi dengan model CIPP ini didesain untuk memberikan kebutuhan

baik dari evaluasi formatif maupun evaluasi sumatif. Berikut tabel yang

menunjukkan hubungan dari formative evaluation dan summative evaluation

dimana keduanya menjadi pedoman untuk pengembangan dan perbaikan suatu

program22:

22 commit of
Stufflebeam, Daniel L. 2003. International Handbook toEducational
user Evaluation. United Kingdom:
Kluwer Academic Publisher, hlm 35
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.5

Hubungan 4 Tipe Evaluasi untuk Perbaikan dan Akuntabilitas

Improvement/Formative Accountability/Summative
CIPP Orientation Orientation
Context Pedoman untuk pemilihan Laporan dan tujuan-tujuan
tujuan yang ingin dicapai dan yang telah dicapai serta
skala prioritas prioritas yang diambil dengan
laporan penilaian kebutuhan,
peluang dan permasalahan
yang ada
Input Pedoman untuk memilih Laporan dari strategi yang
program atau strategi dipilih, desain dan alasan
pelayanan publik pemilihan keputusan dari
beberapa alternatif yang ada
Pedoman untuk desain
prosedur yang spesifik,
jadwal dan biaya
Process Pedoman implementasi Laporan dari proses yang
dilaksanakan serta biaya
Product Pedoman berakhirnya, Laporan dari hasil yang
keberlanjutan, modifikasi, dicapai, penaksiran yang
atau penambahan program dibandingkan antara
kebutuhan dan biaya serta
perubahan keputusan.

3. Kemiskinan

Kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks sehingga untuk

menyelesaikannya diperlukan sinergitas dari berbagai macam stakeholder untuk

menuntaskan permasalahan ini. Ada berbagai definisi mengenai konsep

kemiskinan ini. Laderchi dkk mengemukakan bahwa pengertian mengenai

kemiskinan didasarkan siapa yang menanyakan pertanyaan, bagaimana hal

tersebut dipahami dan bagaimana responnya. Definisi dan ukuran mengenai

kemiskinan ini menjadi penting dalam penyusunan kebijakan. Studi di India dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

Peru disebutkan bahwa terdapat perbedaan identifikasi masyarakat yang miskin,

tergantung pada pendekatan yang digunakan23.

European Commision mendefinisikan bahwa kemiskinan adalah kondisi

dimana seorang individu, keluarga dan sekelompok orang yang memiliki sumber

daya (material, kultural dan sosial) yang terbatas untuk pengeluaran minimum

yang layak dalam kehidupan di suatu negara dimana mereka berada24. Dari

penjelasan European Comission ini dapat dikatakan bahwa seseorang yang

miskin merupakan seseorang atau individu yang memiliki keterbatasan akses

terhadap sumber daya untuk memenuhi kebutuhan minimum mereka.

Friedman menjelaskan bahwa kemiskinan juga berarti ketidaksamaan

kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan

sosial ini meliputi: (1) Modal produktif seperti tanah, alat produksi, perumahan,

kesehatan; (2) Sumber keuangan; (3) Organisasi sosial dan politik yang dapat

digunakan untuk kepentingan bersama seperti koperasi, partai politik, organisasi

sosial; (4) Jaringan sosial; (5) Pengetahuan dan ketrampilan; (6) Informasi yang

berguna untuk kemajuan hidup25.

World Bank memiliki konsep kemiskinan dengan menggunakan ukuran

kemampuan/daya beli, yaitu US$ 1 atau US$ 2 per kapita per hari. World Bank

mendefinisikan kemiskinan ini dengan membandingkan pendapatan tingkat

23
United Nation Develompent Programme. 2006. Poverty in Focus. Brazil: International Poverty Center,
hlm 10
24
Nyasulu, Gerald. 2010. Revisting the Definition of Poverty. Journal of Sustainable Development in
Africa. Vol. 12. No. 7 (2010), hlm 147
25
Purwanto. Erwan Agus. 2007. Mengkaji Potensi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk Pembuatan
commit
Kebijakan Anti Kemiskinan di Indonesia. Jurnal to user
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 10, No. 3 Maret
(2007), hlm 301
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

pendapatan per kapita atau rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang

diperlukan untuk kebutuhan minimal.

Pendefinisian kemiskinan juga bisa ditentukan melalui kebutuhan fisik

minimum yang kemudian disingkat dengan IKFM (Indeks Kebutuhan Fisik

Minimum). Hal ini dilakukan oleh Departemen Tenaga Kerja. Metode yang

dilakukan adalah dengan mengumpulkan data-data mengenai biaya hidup di

kota-kota, yang obyek kajiannya meliputi seluruh provinsi yang ada di

Indonesia. Pendataan ini dilakukan untuk mendapatkan angka mengenai

besarnya upah minimum. Standar kebutuhan pokok terhadap pangan dan non-

pangan telah ditetapkan, kemudian dinilai dengan harga pasar untuk kota besar

dan kota kecil di tiap-tiap provinsi. Selanjutnya perkembangan harga tiap-tiap

provinsi selalu diikuti dari waktu ke waktu dengan menggunakan kebutuhan

tahun tertentu sebagai dasar dalam menentukan indeks kebutuhan fisik26.

Hendras Esmara menjelaskan bahwa untuk menjelaskan mengenai

kemiskinan digunakan ukuran di bawah rata-rata, yaitu angka: (1) konsumsi

beras (kg/orang); (2) konsumsi 9 bahan pokok; (3) pengeluaran rumah tangga

(Rp/orang); (4) konsumsi kalori dan protein/orang/hari (secara terpisah) dengan

membedakan nilai rata-rata menurut Jawa dan lain daerah, dan desa atau kota27.

Jadi secara umum, Hendras Esmara menggunakan pendekatan konsumsi

makanan serta pengeluaran per individu untuk mendefinisikan mengenai

kemiskinan.

26
Sumodiningrat, Gunawan dkk. 1999. Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan. Jakarta: IMPAC, hlm
11
27 commit
Sajogyo. 1996. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan to user
Minimum Pangan. Yogyakarta: Yayasan Agro
Ekonomika, hlm 1
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

Sebagai pendekatan lain, Sajogyo menggunakan satuan kilogram beras

ekuivalen untuk menetukan kriteria batas garis kemiskinan penduduk. Caranya

dengan mengalikan kuantitas konsumsi satuan kilogram beras per kapita dengan

harga beras pada saat yang bersangkutan dan rata-rata anggota tiap rumah

tangga (5 orang). Berdasakan hal ini Sajogyo membagi masyarakat menjadi

beberapa kluster, yaitu28:

1. Sangat miskin

Penduduk memiliki pendapatan kurang dari sama dengan harga beras seberat

240 kg dalam setahun untuk penduduk di pedesaan dan kurang dari sama

dengan harga beras seberat 360 kg untuk masyarakat di perkotaan

2. Miskin

Penduduk yang memiliki pendapatan setara dengan harga beras seberat 240

kg – 320 kg per tahun untuk penduduk yang tinggal di pedesaan dan setara

dengan harga beras seberat 480 kg – 720 kg untuk penduduk di perkotaan

3. Hampir Cukup

Penduduk yang memiliki pendapatan setara dengan harga beras seberat 320

kg – 480 kg per tahun untuk masyarakat yang tinggal di pedesaan dan setara

dengan harga beras seberat 480 kg – 720 kg per tahun untuk masyarakat

yang tinggal di perkotaan

4. Cukup

Penduduk yang memiliki pendapatan setara dengan harga berat seberat 480

kg tiap orang selama setahun untuk masyarakat yang tinggal di pedesaan dan

commit to user
28
Ibid., hlm 8-9
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

setara dengan harga beras seberat 720 kg tiap orang untuk penduduk yang

tinggal di perkotaan

Sementara itu, BPS mendefinisikan kemiskinan berdasarkan pada garis

kemiskinan (poverty line). Nilai garis kemiskinan yang digunakan untuk

menentukan kemiskinan tersebut mengacu pada kebutuhan minimum yang

dibutuhkan oleh seseorang, yaitu 2100 kalori per kapita per hari, ditambah

dengan kebutuhan minimum non-makan yang merupakan kebutuhan dasar

seseorang yang meliputi papan, sandang, sekolah, transportasi serta kebutuhan

rumah tangga dan individu yang mendasarinya29. Dengan demikian seorang

individu dikatakan miskin apabila pengeluarannya di bawah garis kemiskinan.

Di dalam Program Raskin ini, pemerintah menggunakan definisi dari

BPS untuk mendefinisikan mengenai kemiskinan. Masyarakat miskin adalah

mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Sedangkan untuk Program

Raskinda, Pemerintah Kota Surakarta menggunakan indikator BPS ditambah

beberapa indikator lokal untuk mendefinisikan kemiskinan.

4. Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan pada saat ini masih menjadi salah satu prioritas

pembangunan nasional di Indonesia dan menjadi fokus pemerintah sehingga

pada RPJMN 2010-2014, pemerintah menempatkan pembangunan ketahanan

pangan sebagai salah satu prioritas nasional. Ketahanan pangan merupakan

terjemahan dari food security dimana hal ini mencakup berbagai aspek yang

commit to user
29
Purwanto. Op.Cit., hlm 300
perpustakaan.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

luas, setiap orang berusaha mendefinisikan hal ini sesuai dengan kondisi dan

situasi yang terjadi yang berkembang sesuai dengan waktu kejadiannya. Istilah

ketahanan pangan ini juga masih menjadi perdebatan karena ketahanan pangan

ini diinterpretasikan dengan banyak cara.

Definisi dan paradigma mengenai ketahanan pangan terus mengalami

perkembangan. Pada tahun 1950 sampai 1960-an, ketika Perang Dunia usai,

pangan menjadi pemikiran setiap negara baik negara maju, negara yang baru

saja merdeka atau negara yang kalah perang termasuk Indonesia. Negara-negara

yang baru merdeka berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan pangan

warganya yang baru lepas dari penindasan kolonial, sedangkan negara maju

mungkin memiliki agenda yang berbeda. Dengan kondisi seperti ini, tidak heran

apabila pengertian ketahanan pangan lebih menekankan perhatiannya pada

ketersediaan pangan baik pada tingkat nasional maupun tingkat global daripada

tingkat rumah tangga30.

Dalam Rome Declaration dan World Food Summit Plan of Action pada

November tahun 1996 didefinisikan bahwa ketahanan pangan adalah situasi

dimana dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman

dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif31. Dalam konsep ini dapat

diartikan bahwa ketahanan pangan berarti keadaan dimana masyarakat suatu

negara memiliki akses fisik maupun ekonomi terhadap pangan atau pilihan

makanan mereka guna memenuhi kebutuhannya.

30
Badan Ketahanan Pangan. Buku Dasawarsa BKP dalam http://bkp.pertanian.go.id diakses pada 14
Oktober 2014 pukul 16:58, hlm 16 commit to user
31
http://www.who.int diakses pada 14 Oktober 2014 pukul 17:06
perpustakaan.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id

Pada World Food Summit tahun 1996 tersebut ditargetkan untuk tahun

2015 mengurangi setengah dari jumlah orang yang kekurangan pangan di dunia.

Target ini kemudian diadopsi pula dalam pertemuan Millenium Summit tahun

2000 dan pada Konferensi bulan Juni 2002 di Roma dengan topic “World Food

Summit; Five Years Later”32. Sedangkan definisi ketahanan pangan menurut

Food and Agriculture Organization (FAO) adalah situasi dimana semua rumah

tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan

bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko

mengalami kehilangan kedua akses tersebut33.

Di Indonesia sendiri, konsep ketahanan pangan dapat dilihat di dalam

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. Pada pasal 1 Ayat 17

disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah

tangga (RT) yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah

maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Hal ini sesuai dengan definisi

ketahanan pangan yang disampaikan oleh FAO. Pada hal ini yang digaris bawahi

adalah mengenai akses setiap Rumah Tangga atau individu untuk dapat

memperoleh pangan setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat.

Implikasi kebijakan dari konsep ini adalah bahwa pemerintah, di satu

pihak berkewajiban menjamin kecukupan pangan dalam arti jumlah dengan

mutu yang baik serta stabilitas harga dan di pihak lain, peningkatan pendapatan

32
Badan Ketahanan Pangan. Op.Cit., hlm 17
33 commit
Hanan, Nuhfil AR. 2009. Pengertian Ketahanan to dalam
Pangan user http://nuhfil.lecture.ub.ac.id diakses
pada 14 Oktober 2014 pukul 17:42
perpustakaan.uns.ac.id 41
digilib.uns.ac.id

masyarakat khususnya dari golongan berpendapatan rendah34. Kemudian pada

tahun 2005, melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005, pemerintah

meratifikasi Konvenan Internasional Hal Ekonomi Sosial Budaya (Konvenan

Ekosob). Di dalam konvenan tersebut berisi tentang tanggung jawab negara

dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas pangan bagi rakyatnya.

Dengan demikian, masalah pangan juga merupakan hak azasi manusia yang

pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara.

Dengan adanya ratifikasi tersebut, pemerintah harus mengubah

perundang-undangan yang tidak selaras dengan ketentuan konvensi tersebut

termasuk Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996. Irham menyatakan bahwa ada 4

alasan mengapa Undang-Undang tersebut harus diubah, yaitu35:

1. Perlindungan hak rakyat atas pangan oleh negara merupakan kewajiban

hakiki

2. Undang-Undang dapat menjadi penjamin atas pemenuhan tanggung jawab

pemerintah dalam menyelenggarakan masyarakatnya melalui pemenuhan

pangan yang berkesinambungan

3. Krisis pangan yang melanda dunis (sejak 2007) merupakan pelajaran

berharga tentang pentingnya suatu bangsa memiliki kedaulatan atas pangan

untuk menjamin kecukupan pangan bagi warga negaranya

4. Pembangunan ekonomi bisa berkelanjutan jika pemenuhan hak dasar rakyat

atas pangan terpenuhi.

34
Tambunan, Tulus. 2008. Ketahanan Pangan di Indonesia: Mengidentifikasi Beberapa Penyebab dalam
commit
http://www.kadin-indonesia.or.id/ diakses pada to user
14 Oktober 2014 pukul 17:50, hlm 1
35
Tambunan, Op.Cit., hlm 2
perpustakaan.uns.ac.id 42
digilib.uns.ac.id

Melihat Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan sudah

tidak sesuai lagi dengan dinamika perkembangan kondisi eksternal dan internal,

demokratisasi, desentralisasi, globalisasi, penegakan hukum dan beberapa

peraturan perundang-perundangan lain yang dihasilkan kemudian sehingga perlu

diganti. Kemudian dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012

tentang Pangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996. Di

dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 disebutkan bahwa ketahanan

pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan

perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah

maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak

bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat untuk dapat

hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.

Secara umum, Sitanggang dan Marbun menjelaskan bahwa ketahanan

pangan adalah adanya jaminan bahwa kebutuhan pangan dan gizi setiap

penduduk sebagai syarat utama dalam mencapai derajat kesehatan dan

kesejahteraan yang tercukupi. Darwanto juga menggambarkan bahwa ketahanan

pangan sangat tergantung dari ketersediaan stok beras yang bisa disediakan

secara nasional36.

Secara lebih jelas, perkembangan konsep ketahanan pangan dapat dilihat

melalui tabel berikut ini37:

36
Pasaribu, Rowland B.F. Ketahanan Pangan Nasional dalam rowland_pasaribu.staff.gunadarma.ac.id
commit
diakses pada 15 Oktober 2014 pukul 13:57, hlm 532 to user
37
Badan Ketahanan Pangan. Op.Cit., hlm 35-36
perpustakaan.uns.ac.id 43
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.6

Perkembangan Konsep Ketahanan Pangan

Era Pemikiran Latar Belakang Hasil Respon


Dunia Pemikiran Dunia Indonesia
Internasional Internasional
1960-an Food Supply Sisa-sisa keadaan paska Pemerintah (Orde
PD II memaksa masing- Baru)
masing negara untuk menetapkan
meningkatkan produksi target
pangan dalam negeri. swasembada
Pentingnya penyediaan beras pada tahun
pangan menjadi fokus 1969
dalam Konferensi Pangan
Dunia pada 1974
1980-an Food Access Ketersediaan pangan yang
cukup pada tingkat
nasional tidak secara
otomatis menjamin
ketahanan pangan pada
tingkat rumah tangga
1990-an Nutritional Kurang gizi tidak hanya Undang-Undang
Security (Food, disebabkan oleh Nomor 7 tahun
Health and kekurangan pangan. 1996 ditetapkan.
Mother and Ketahanan pangan pada
Child Care) tingkat rumah tangga
bukan merupakan
prasyarat yang cukup
untuk menjamin
ketahanan gizi
1990-an Livelihood Pangan hanyalah salah
Security satu dari keseluruhan
kebutuhan rumah tangga..
2000-an Food WTO berkembang Swasembada
Sovereignity menjadi salah satu Pangan
lembaga yang menentukan ditetapkan
standar perdagangan kembali oleh
internasional. Petani kecil pemerintahan
tidak akan mampu SBY (beras,
bersaing dan memenuhi jagung, kedele,
standar-standar gula dan daging
perdagangan sapi).
internasional.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 44
digilib.uns.ac.id

Sistem ketahanan pangan di Indonesia sendiri secara komprehensif

meliputi empat sub-sistem, yaitu38: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan

jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan

merata, (iii) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi

seimbang yang berdampak pada, (iv) status gizi masyarakat. Dengan demikian,

hal ini menjadi penekanan bahwa hal yang menyangkut mengenai ketahanan

pangan bukan hanya terbatas pada kegiatan produksi, distribusi dan penyediaan

pangan di tingkat nasional atau regional saja tetapi juga menyangkut aspek

kemudahan akses pangan pada tingkat rumah tangga terutama pada anak dan ibu

hamil pada rumah tangga miskin.

Dari beberapa pengertian-pengertian mengenai ketahanan pangan di atas,

dapat diambil kesimpulan bahwa dalam ketahanan pangan terdapat beberapa

unsur yang harus dipenuhi yakni:

1. Ketahanan pangan berorientasi pada rumah tangga dan atau individu

2. Dimensi waktu dimana setiap saat pangan tersedia dan dapat dengan mudah

diakses

3. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu baik fisik,

ekonomi dan sosial

4. Ketahanan pangan senantiasa berorientasi untuk memenuhi pemenuhan gizi

5. Ketahanan pangan bertujuan untuk menciptakan hidup yang sehat serta

produktif

commit to user
38
Hanan, Nuhfil AR, hlm 27
perpustakaan.uns.ac.id 45
digilib.uns.ac.id

Tujuan dari ketahanan pangan ini harus difokuskan untuk tercapainya

pemenuhan hak atas pangan, meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta

ketahanan pangan nasional. Suksesnya sistem ketahanan pangan tersebut akan

sangat bergantung pada kebijakan atau program pemerintah serta kinerja

birokrat pada sektor ekonomi, sosial maupun politik.

B. Kerangka Pikir

Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menyelasaikan

permasalahan kemiskinan di Indonesia ini, salah satunya adalah dengan

mengeluarkan Program Raskin. Tujuan dikeluarkannya Program Raskin ini adalah

untuk membantu mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Sasaran (RTS)

melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan beras. Tetapi sayangnya dalam

pelaksanaannya masih banyak ditemui permasalahan di lapangan. Hal ini

berdampak pada aspek lainnya. Maka dari itulah, Pemerintah Kota Surakarta juga

mengeluarkan Program Raskin Daerah yang ditujukan untuk mengurangi beban

pengeluaran masyarakat miskin melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pokok

dalam bentuk beras yang belum menerima dari Pemerintah Pusat.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan evaluasi pelaksanaan program

penanggulangan kemiskinan dengan membandingkan pelaksanaan Program Raskin

milik Pemerintah Pusat dengan Program Raskinda Kota Surakarta. Hal ini dilakukan

karena meskipun Progam Raskin Pemerintah Pusat telah lama dilaksanakan, tetapi

masih saja terjadi permasalahan yang ada di lapangan. Sedangkan Program

Raskinda Kota Surakarta baru saja diluncurkan tetapi dianggap memiliki kualitas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 46
digilib.uns.ac.id

yang lebih baik daripada Program Raskin Pemerintah Pusat. Peneliti juga ingin

melihat apakah hasilnya sudah sesuai dengan apa yang diharapkan.

Dalam penelitian ini evaluasi dilakukan dengan menggunakan metode

evaluasi CIPP yang terdiri dari aspek context, input, process dan product. Berikut

ini bagan kerangka pikir penelitian evaluasi pelaksanaan program penanggulangan

kemiskinan di Kelurahan Semanggi (studi komparatif Program Raskin dan Program

Raskinda Kota Surakarta):

commit to user
47

Gambar 2.2 Kerangka Pikir

Program Penanggulangan
Kemiskinan

Evaluasi model Program Program Evaluasi model


Perbandingan Raskinda
CIPP: Raskin CIPP:
Kota
Context, Input, Pemerintah Context, Input,
Surakarta
Process, Product Pusat Process, Product

Mengurangi beban pengeluaran


masyarakat miskin melalui pemenuhan
sebagian kebutuhan pokok dalam
bentuk beras

Anda mungkin juga menyukai