SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK RAJA HAJI TANJUNG PINANG TAHUN AJARAN 2021/2022 1. Pengertian Evaluasi Kebijakan Menurut Muhadjir dalam Widodo mengemukakan “Evaluasi kebijakan publik merupakan suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat “membuahkan hasil”, yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan dan/atau target kebijakan publik yang ditentukan”. Dalam bahasa yang lebih singkat Jones mengartikan evaluasi adalah “Kegiatan yang bertujuan untuk menilai “manfaat” suatu kebijakan”. Serta secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai “Kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang menyangkut substansi, implementasi, dan dampak”. Hal ini berarti bahwa proses evaluasi tidah hanya dapat dilakukan pada tahapan akhir saja, melainkan keseluruhan dari proses kebijakan dapat dievaluasi. 2. Fungsi dan Tujuan Evaluasi Kebijakan Menurut Wibawa dalam Nugroho, evaluasi kebijakan publik memilik empat fungsi, yaitu: Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hungungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi masalah ,kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut. Beberapa ahli juga mengemukakan tentang tujuan-tujuan dari evaluasi, Subarsono merinci beberapa tujuan dari evaluasi antara lain sebagai berikut : Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat diketahui derajad diketahui berapa biaya dan manfaat suatu kebijakan. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan. Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur berapa besar dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu kebijakan. Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif. Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian target. Sebagai bahan masukan (input) unutk kebijakan yang akan datang. Tujuan akhir evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik. Oleh karena itu evaluasi kebijakan, pada prinsipinya digunakan untuk mengevaluasi empat asek dalam proses kebijakan publik, yaitu “a) proses pembuatan kebijakan; 2) proses implementasi; 3) konsekuensi kebijakan; 4) efektifitas dampak kebijakan”. 3. Pentingnya evaluasi kebijakan dan ciri-ciri evaluasi kebijakan Nugroho (2009:535) kemudian mengemukakan pemikirannya bahwa “sebuah kebijakan publik tidak dapat dilepas begitu saja. Kebijakan harus diawasi dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut adalah evaluasi kebijakan”. Menurutnya kemudian, evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektivan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauh mana tujuan itu dicapai, evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara “harapan” dan “kenyataan”. Jadi sebenarnya evaluasi kebijakan dilakukan untuk memperbaiki “kesenjangan” yang ada. Adapun ciri-ciri dari evaluasi kebijakan adalah sebagai berikut di bawah ini: 1)Menemukan hal-hal yang strategis yang ditujukan untuk meningkatkan kinerja kebijakan, 2)Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan, 3)Menghasilkan prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan secara metodologis, 4)Dapat dilaksanakan dalam suasana yang kondusif, 5)Pelaksanaan evaluasi kebijakan mencakup rumusan, implementasi. Lingkungan dan kinerja kebijakan. 4. Kriteria Evaluasi Kebijakan Evaluasi kebijakan publik, dalam tahapan pelaksanaannya menggunakan pengembangan beberapa indikator untuk menghindari timbulnya bias serta sebagai pedoman ataupun arahan bagi evaluator. William N. Dunn mengemukakan beberapa kriteria rekomendasi kebijakan yang sama dengan kriteria evaluasi kebijakan, kriteria rekomendasi kebijakan terdiri atas : 1) Efektifitas (effectiveness). Berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Efektifitas, yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya. 2) Efisiensi(efficiency). Berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektifitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi adalah merupakan hubungan antara efektifitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter. 3) Kecukupan (adequacy). Berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektifitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan menumbuhkan adanya masalah. Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. 4) Perataan (equity).Erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya (misalnya, unit pelayanan atau manfaat moneter) atau usaha (misalnya biaya moneter) secara adil didistribusikan. 5) Responsivitas (responsiveness)berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu. kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya – efektifitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan – masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan. 6) Ketepatan (appropriateness). Kriterian ketepatan secara dekat berhubungan dengan rasionalitas, substantif, karena pertanyaan tentang ketepatan kebijakan tidak berkenaan dengan satuan kriteria individu tetapi dua atau lebih kriteria secara bersama-sama. Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. Sejalan dengan kriteria rekomendasi kebijakan tersebut, Dunn mengemukakan kriteria evaluasi kebijakan antara lain 5. Langkah-langkah Evaluasi Kebijakan Evaluasi dalam pelaksanaanya memiliki tahapan atau langkah-langkah yang dapat dilakukan agar dapat berjalan secara sistematis. Edward A. Suchman di sisi lain lebih masuk ke sisi praktis dengan mengemukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan yaitu : 1) Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi. 2) Analisis terhadap masalah. 3) Deskripsi dan standardisasi kegiatan. 4) Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi. 5) Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab lain. 6) Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak Langkah-langkah tersebut dibuat agar suatu evaluasi dapat efektif dengan berjalan secara sistematis. Pada pelaksanaanya sendiri, evaluasi tidak terlepas dari kemungkin timbulnya masalah atau kendala. Hal ini disebabkan evaluasi juga merupakan proses yang kompleks, sehingga kendala atau masalah tersebut dapat menghambat pelaksanaan evaluasi tersebut. 6. Lingkungan kebijakan Dalam lingkuan kebijakan diakenal ada dua bagian yaitu lingkungan Internal dan lingkungan eksternal. Dimana dari kedua lingkungan tersebut mempengaruhi kebijakan publik. Hal tersebut sependapat dengan Anderson dalam putri (2010) yang menyatakan Perumusan kebijakan dalam prakteknya akan melibatkan berbagai aktor, baik yang berasal dari aktor negara maupun aktor non negara, sebagai pembuat kebijakan resmi (official policy-makers) dan peserta non pemerintahan (nongovernmental participants) 1) Lingkungan Internal Lingkungan internal yaitu lingkungan terdapat struktur formal dari bagaimana kebijakan tersebut dibuat. Dalam arti struktur formal tersebut dalam dilihat siapakah yang berhak membuat kebijakan. Pembuat kebijakan resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat dalam perumusan kebijakan publik. Menurut Anderson dalam putri (2010) terdiri atas legislatif; eksekutif; badan administratif; serta pengadilan. 2) Lingkuangan Ekternal Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat dalam proses kebijakan yang meliputi diantaranya kelompok kepentingan; partai politik; organisasi penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini yang disebut oleh Anderson sebagai peserta non pemerintahan (nongovernmental participants) karena penting atau dominannya peran mereka dalam sejumlah situasi kebijakan tetapi mereka tidak memiliki kewenangan legal untuk membuat kebijakan yang mengikat. Peranan mereka biasanya adalah dalam menyediakan informasi; memberikan tekanan; serta mencoba untuk mempengaruhi Anderson dalam putri (2010). Mereka juga dapat menawarkan proposal kebijakan yang telah mereka siapkan. 7. Evaluasi formulasi kebijakan Dapat dikatakan bahwa evaluasi pada tahap formulasi kebijakan lebih dimaksudkan untuk memberikan gambaran apakah proses formulasi kebijakan telah on the track atau sesuai dengan mekanisme, prosedur, dan kaedah-kaedah dalam aturan main yang berlaku yang telah ditentukan sebagai landasan administratif dalam proses perumusan kebijakan. Evaluasi formulasi kebijakan publik, menurut Dwidjowijoto, (2006:157) secara umum berkenaan dengan apakah formulasi kebijakan publik telah dilaksanakan: 1)Dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan yang masalah publik yang akan di atasi; 2)mengarah pada pokok permasalahan atau alternatif pemecahan masalah sesuai dengan masalah publik yang akan di atasi; 3)mengikuti mekanisme, prosedur dan kaedah-kaedah normatif sebagaimana yang telah disepakati atau yang telah ditetapkan (rule of the game) dalam konteks untuk keabsahan maupun untuk kebersamaan dan keterpaduan dalam proses perumusan; 4)mendayagunakan sumber daya yang ada secara optimal, baik dalam bentuk sumber daya waktu, dana, manusia, dan kondisi lingkungan strategis. 8. Evaluasi Lingkungan Kebijakan Evaluasi lingkungan kebijakan merupakan pengukuran kondisi atau penilaian terhadap sesuatu dalam hal ini yaitu lingkungan setelah meneliti setiap variabel yaitu lingkungan internal dan eksternal tersebut sejauh mana dalam mempengaruhi suatu kebijkan tersebut. Jadi evaluasi lingkungan kebijakan adalah cara yang digunakan oleh seorangan peneliti untuk melihat lingkungan yang mempengaruhi kebijakan tersebut. Dinama lingkuang tersebut terdiri dari lingkungan internal dan eksternal. 9. Agenda kebijakan Tahap-tahap dalam proses kebijakan publik menurut William N. Dunn dimulai dari penyusunan agenda kebijakan, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan. Penyusunan agenda kebijakan merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari tahapan pembuatan kebijakan. Tahapan ini merupakan langkah kunci yang harus dilalui ketika suatu isu masuk dan dapat diangkat dalam agenda pemerintah. Pada akhirnya isu tersebut dapat diangkat menjadi agenda kebijakan pemerintah, maka masalah tersebut dapat dipecahkan melalui tindakan kebijakan. Agenda kebijakan dapat didefinisikan sebagai tuntutan-tuntutan agar para pembuat kebijakan memilih atau merasa terdorong untuk melakukan tindakan tertentu. Tahapan agenda kebijakan, menurut Mark Rushefky, yaitu : Tahap identifikasi masalah Tahap pemecahan masalah, Tahap ini melibatkan para spesialis dibidang kebijakan, misalnya para birokra, staf legislatif, akademis, para ahli dari kelompok-kelompok penting Urutan politik, yaitu perubahan-perubahan dalam opini publik, hasil pemilihan umum, perubahan dalam administrasi dan pergantian partisipan atau ideologi dalam lembaga legislatif. 10. Evaluasi partisipatif Definisi evaluasi partisipatif adalah adanya keterlibatan konstituen (target group/klien). Jika konstituen hanya berperan memberi informasi maka tidak bersifat partisipatif. Prinsip-Prinsip Evaluasi Partisipatif : Partisipasi – yang berarti mermbuka desain prosesnya untuk menyertakan mereka yang paling langsung terpengaruh dan bersepakat untuk menganalisis data secara bersama. Inklusivitas EP memerlukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan tentang apa yang akan dievaluasi, bagaimana dan kapan data akan dikumpulkan dan dianalisis, apa makna data tersebut sebenarnya, dan bagaimana berbagai temuan akan disebarluaskan dan ditindaklanjuti; Ini menuju pada pembelajaran yang menjadi landasan bagi tidakan perbaikan dan korektif yang berikutnya; Karena jumlah, peranan dan keterampilan para stakeholder, maka lingkungan eksternal serta faktor lain berubah dari waktu ke waktu; fleksibilitas pun menjadi amat penting. Terpokok dalam evaluasi adalah menyusun lingkup kerja. Lingkup kerja adalah rencana kerja untuk melakukan evaluasi, yaitu uraian yang jelas yang dapat digunakan untuk memandu perkerjaan tim evaluasi.