Anda di halaman 1dari 16

“EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK”

Nur Izati Kirom 2174201105,Berlian Aqshal Darmawan 2174201073,Wanda


Melia Sari 2174201089,Muhammad Farel 2174201076,Muhamad Aqil
Kenedi 2174201082

Menurut William N Dunn dalam Publik Policy Analisis: An Introduction


menjelaskan bahwa evaluasi merupakan salah satu dari proses ataupun
siklus kebijakan publik setelah perumusan masalah kebijakan,
implementasi kebijakan, dan monitoring atau pengawasan terhadap
implementasi kebijakan. Pada dasarnya, evaluasi kebijakan bertujuan
untuk menilai apakah tujuan dari kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan
tersebut telah tercapai atau tidak. Tetapi evaluasi tidak hanya sekedar
mengahasilkan sebuah kesimpulan mengenai tercapai atau tidaknya
sebuah kebijakan atau masalah telah terselesaikan, tetapi evaluasi juga
berfungsi sebagai klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari
kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan masalah pada
proses kebijakan selanjutnya. Evaluasi merupakan salah satu dari prosedur
dalam analisis kebijakan publik. Metodologi analisis kebijakan publik pada
hakikatnya menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam
pemecahan masalah manusia yaitu definisi (perumusan masalah), prediksi
(peramalan), preskripsi (rekomendasi), dan evaluasi yang mempunyai nama
sama dengan yang dipakai dalam bahasa sehari-hari yang berfungsi
menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi
pemecahan masalah atau pengatasan masalah .

Dalam beberapa tahun belakangan ini, dimana persoalan-persoalan


yang dihadapi pemerintah sedemikian kompleks akibat krisis
multidimensional, maka bagaimanapun keadaan ini sudah barang tentu
membutuhkan perhatian yang besar dan penanganan pemerintah yang
cepat namun juga akurat agar persoalan-persoalan yang begitu kompleks
dan berat yang dihadapi oleh pemerintah segera dapat diatasi. Kondisi
seperti ini pada akhirnya menempatkan pemerintah dan lembaga tinggi
Negara lainnya berada pada pilihan-pilihan kebijakan yang sulit.Kebijakan
yang diambil tersebut terkadang membantu pemerintah dan rakyat
Indonesia keluar dari krisis, tetapi dapat juga terjadi sebaliknya, yakni
malah mendelegitimasi pemerintah itu sendiri. Dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang muncul diperlukan pengambilan kebijakan yang
tepat, sehingga kebijakan tersebut tidak menimbulkan permasalahan
baru.Pengambilan suatu kebijakan tentunya memerlukan analisis yang
cukup jeli, dengan menggunakan berbagai model serta pendekatan yang
sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkan. Untuk bisa mengambil
kebijakan yang sesuai dengan permasalahan yang ada, dipandang sangat
perlu bagi pengambil kebijakan untuk mengerti serta memahami berbagai
model dan pendekatan yang dapat digunakan sebagai dasar dalam
pengambilan suatu kebijakan.
Pengertian Kebijakan Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli
untuk menjelaskan arti kebijakan.) menyebutkan kebijakan sebagai “pilihan
pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever
governments choose to do or not to do) [5]. Definisi ini dibuat dengan
menghubungkan beberapa definisi lain dari David Easton, Lasswell dan
Kaplan. kebijakan pemerintah sebagai “kekuasaan pengalokasian nilai-nilai
untuk masyarakat secara keseluruhan” [6]. Hal ini mengandung konotasi
tentang kewenangan pemerintah yang meliputi keseluruhan kehidupan
bermasyarakat. Tidak ada organisasi lain yang wewenangnya dapat
mencakup seluruh masyarakat kecuali pemerintah. Sementara itu, Lasswell
dan Kaplan, yang melihat kebijakan sebagai sarana untuk mencapai
tujuan, menyebutkan kebijakan sebagai “program yang diproyeksikan
berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik .

Pressman dan Widavsky sebagaimana dikutip Budi Winarno ,


mendefinisikan kebijakan publik sebagai hipotesis yang mengandung
kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bias diramalkan. Kebijakan
publik itu harus dibedakan dengan bentuk-bentuk kebijakan yang lain
misalnya kebijakan swasta [1]. Hal ini dipengaruhi oleh keterlibatan faktor-
faktor bukan pemerintah. Robert Eyestone sebagaimana dikutip [2]
mendefinisikan kebijakan publik sebagai “hubungan antara unit
pemerintah dengan lingkungannya”. Banyak pihak beranggapan bahwa
definisi tersebut masih terlalu luas untuk dipahami, karena apa yang
dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak hal.1

Evaluasi kebijakan publik merupakan bagian atau tahap Terakhir


dari suatu kebijakan publik, dengan kata lain sebuah Kebijakan publik
tidak dapat dilepas begitu saja, melainkan Harus diawasi, dan salah satu
mekanisme pengawasan tersebut Disebut sebagai ”evaluasi kebijakan”.
Evaluasi kebijakan itu Sendiri dilakukan untuk menilai sejauh mana
keefektifan Kebijakan publik guna dipertangungjawabkan kepada
Konstituennya. Selain itu, evaluasi diperlukan untuk melihat Kesenjangan
antara harapan dan kenyataan serta untuk mencari Kekurangan sekaligus
untuk menutup kekurangan. Evaluasi ini merupakan suatu proses untuk
menilai seberapa jauh suatu kebijakan membuahkan hasil yaitu dengan
membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan dan target
kebijakan yang ditentukan. Dari berbagai pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan adalah merupakan penilaian
terhadap serangkaian tindakan yang telah direncanakan, diputuskan, dan
dilakukan; dimana tujuan dari evaluasi adalah untuk mengetahui sejauh
mana kebijakan mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebagai
pertimbangan dalam peninjauan dan peningkatan pelaksanaan kebijakan
pada masa yang akan datang. 2Terkait dengan evaluasi kebijakan publik,
Ernet R House(1980) membuat taksonomi evaluasi kebijakan publik melalui
beberapa model, yaitu: (1) model system dengan indikator utama adalah
1
L. Agustino and B. A. Mohamed Bakar, “The Paradox of Social Media: The De-democratization of Malaysia,”
Insign. J. Int. Relations, 2015.
2
Situmorang Chazali. (2016). Kebijakan Publik (Teori, Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan). Social
Security Development Institute (SSDI).
efisiensi, (2) model perilaku dengan indikator utama produktivitas dan
akuntabilitas, (3) model formulasi keputusan dengan indikator utama
adalah keefektifan dan keterjagaan kualitas, (4) model tujuan bebas (goal
free) dengan indikator utama adalah pilihan pengguna dan manfaat sosial,
(5) model kekritisan seni (art criticism) dengan indikator utama standar
yang semakin baik dan kesadaran yang semakin meningkat,(6) model
review professional dengan indikator utama adalah penerimaan profesional,
(7) model kuasi-legal (quasi-legal) dengan indikator utama adalah resolusi,
serta (8) model studi kasus dengan indikator utama adalah pemahaman
atas diversitas. Sementara itu, James Anderson membagi evaluasi
implementasi kebijakan publik menjadi tiga, yaitu: (1) evaluasi kebijakan
publik yang dipahami sebagai kegiatan fungsional, (2) evaluasi yang
memfokuskan pada bekerjanya kebijakan, serta (3) evaluasi kebijakan
sistematis yang melihat secara objektif program-program kebijakan yang
ditujukan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan sejauh mana
tujuan-tujuan yang ada telah dinyatakan dicapai.

Thomas R Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai “ is whatever


government choose to do or not to do” ( apapaun yang dipilih pemerintah
untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan). Definisi ini menekankan
bahwa kebijakan publik adalah mengenai perwujudan “tindakan” dan
bukan merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat publik
semata. Di samping itu pilihan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu
juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai pengaruh (dampak
yang sama dengan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu [7].

1. Mengikuti William N. Dunn, istilah evaluasi dapat disamakan


denganpenaksiran (appraisal),pemberianangka (rating),danpenilaia
n (assessment). Evaluasi berkenan dengan produksi informasi
mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi memberi
informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja
kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan
telah dapat dicapai melalui tindakan publik; evaluasi member
sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan
lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Jadi,
meskipun berkenaan dengan keseluruhan proses kebijakan,
evaluasi kebijakan lebih berkenaan pada kinerja dari kebijakan,
khususnya pada implementasi kebijakan publik. Evaluasi pada
“perumusan” dilakukan pada sisi post-tindakan, yaitu lebih pada
“proses” perumusan daripada muatan kebijakan yang biasanya
“hanya” menilai apakah proesnya sudah sesuai dengan prosedur
yang sudah disepakati.3

2. Menurut pendapat sebagian ahli kebijakan, evaluasi dimasukkan


dalam tahap akhir siklus (proses) kebijakan.Namun, beberapa ahli
berpendapat bahwa evaluasi bukan merupakan tahap akhir
namun masih ada tahap selanjutnya dari hasil evaluasi tersebut.

3
Jurnal Ilmiah Wawasan Insan Akademik 1 (3), 13-26, 2018
4
Sejatinya, kebijakan publik lahir mempunyai tujuan untuk
menyelesaikan permasalahan,namun seringkali terjadi kebijakan
tidak berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya.Untuk mengetahui sejauh mana pencapaian suatu
kebijakan dan sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan dilakukan
evaluasi. Dalam bahasa yang lebih singkat evaluasi adalah
kegiatan yang bertujuan untuk menilai “manfaat” suatu kebijakan.

3. Menurut Harris, yang evaluasi adalah penggunaan metode


pengujian atau penelitian sosial untuk mengetahui efektifitas
suatu program. evaluasi adalah suatu proses untuk
mengetahui/menguji apakah suatu kegiatan,proses kegiatan,
keluaran suatu program telah sesuai dengan tujuan atau kegiatan
yang telah ditentukan. Suatu program tidak hanya sekedar
dirancang dan dilaksanakan melainkan harus diukur pula sejauh
mana efektifitas dan efisiensinya.5

4. Jamed Anderson membagi evaluasi kebijakan publik menjadi tiga.


Tipe pertama, evaluasi kebijakan publik yang dipahami sebagai
kegiatan fungsional. Kedua, evaluasi yang memfokuskan pada
bekerjanya kebijakan. Ketiga, evaluasi kebijakan sistematis yang
melihat secara objektif program-program kebijakan yang ditujukan
untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan sejauh mana
tujuan-tujuan yang ada telah dinyatakan telah dicapai6.

5. Sementara itu, Bingham dan Felbinger ,membagi evaluasi


kebijakan menjadi empat jenis, yaitu:
a. Evaluasi proses, yang fokus pada bagaimana proses
implementasi suatu kebijakan
b. Evaluasi impak, yang fokus pada hasil akhir suatu
kebijakan
c. Evaluasi kebijakan, yang menilai hasil kebijakan dengan
tujuan yang direncanakan dalam kebijakan pada saat
dirumuskan
d. Meta-evaluasi, yang merupakan evaluasi terhadap berbagai
hasil atau temuan evaluasi dari berbagai kebijakan yang
terkait7

6. Mengikuti Samodra Wibawa dkk evaluasi kebijakan publik memiliki


empat fungsi, yaitu:

a. Eksplanasi, melalui evaluasi dapat dipotret realitas


pelaksanaan program dan dapat dibuat generalisasi tentang
pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang

4
ESENSI: Jurnal Manajemen Bisnis 21 (2), 46-65, 2018
5
Jurnal Agribis 4 (1), 39-47, 2018
6
Jurnal Kelola 1 (2), 2018
7
Jurnal Administrasi Publik 4 (62), 2018
diamati. Dari evaluasi, elevator dapat mengidentifikasi masalah,
kondisi dan aktor yang mendukung keberhasilan atau
kegagalan kebijakan
b. Kepatuhan, melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan
yang dilakukan para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku
lainnya, sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan
kebijakan
c. Audit, melalui evaluasi dapat diketahui apakah output benar-
benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau
justru ada kebocoran atau peyimpangan
d. Akunting, evaluasi dapat diketahui apa akibat ekonomi
kebijakan tersebut
7. Evaluasi kebijakan sistematis, Melihat secara obyektif program–
program kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi
masyarakat dan melihat sejauh mana tujuan-tujuan yang telah
dinyatakan tersebut dicapai. Menjawab kontribusi dampak dalam
menjawab kebutuhan masyarakat [3].8

8. Menurut Edi Suharto, model-model yang umumnya digunakan dalam


analisis kebijakan publik adalah [8]:
a. Model Prospektif adalah bentuk kebijakan yang mengarahkan
kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan sebelum
suatu kebijakan diterapkan. Model ini dapat disebut juga model
prediktif
b. Model Retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan
terhadap akibat-akibat kebijakan setelah kebijakan
diimplementasikan. Model ini biasa disebut model evaluatif,
karena banyak melibatkan pendekatan evaluasi terhadap
dampakdampak kebijakan yang sedang atau telah diterapkan
c. Model Integratif adlah model perpaduan antara kedua model
diatas. Model ini kerap disebut sebagai model komprehensif
atau model holistik, karena analisis dilakukan terhadap
konsekuensikonsekuensi kebijakan yang mungkin timbul, baik
sebelum maupun sesudah suatu kebijakan dioperasikan. 9

9. Menurut Edi Suharto, tujuan kebijakan publik sosial, dalam konteks


pembangunan sosial, kebijakan sosial merupakan suatu perangkat,
mekanisme, dan sistem yang dapat mengarahkan dan
menterjemahkan tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan sosial
senantiasa berorientasi kepada pencapaian tujuan sosial. Tujuan
sosial ini mengandung dua pengertian yang saling terkait, yakni
memecahkan masalah sosial dan memenuhi kebutuhan social [8].10

10. James Anderson dalam Winarno, membagi evaluasi kebijakan


dalam tiga tipe, masing-masing tipe evaluasi yang diperkenalkan ini

8
Erick Hidayatullah Armanto, Salahudin Salahudin, Heru MulyonoLOGOS (Journal of Local Government
Issues), 2018
9
Tengku Maya Magdina, M Arif Nasution, Husni Thamrin Universitas Sumatera Utara, 2018
10
Jurnal Manajemen Bisnis 21 (3), 2018
didasarkan pada pemahaman para evaluator terhadap evaluasi,
sebagai berikut:

a. Tipe pertama Evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan


fungsional. Bila evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan
fungsional, evaluasi kebijakan dipandang sebagai kegiatan yang
sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri.11
b. Tipe kedua Merupakan tipe evaluasi yang memfokuskan diri
pada bekerjanya kebijakan atau program-program tertentu.
Tipe evaluasi ini lebih membicarakan sesuatu mengenai
kejujuran atau efisiensi dalam melaksanakan program.
c. Tipe ketiga Tipe evaluasi kebijakan sistematis, tipe kebijakan ini
melihat secara obyektif program-program kebijakan yang
dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan
melihat sejauhmana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan
tersebut tercapai.

Evaluasi kebijakan publik menurut Muhadjir dalam Widodo ,merupakan


suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat
membuahkan hasil, yaitu dengan membandingkan antara hasil yang
diperoleh dengan tujuan atau target kebijakan publik yang ditentukan.
Bingham dan Felbinger, Howlet dan Ramesh (1995) dalam Nugroho
mengelompokkan evaluasi menjadi tiga, yaitu:

a. administratif, yang berkenaan dengan evaluasi sisi administratif-


anggaran, efisiensi,biaya-dari proses kebijakan di dalam pemerintah
yang berkenaan dengan:

1) effort evaluation, yang menilai dari sisi input program


yang dikembangkan oleh kebijakan

2) performance evaluation, yang menilai keluaran (output)


dari program yang dikembangkan oleh kebijakan

3) adequacy of performance evaluation atau effectiveness


evaluation, yang menilai apakah program dijalankan
sebagaimana yang sudah ditetapkan

4) efficiency evaluation, yang menilai biaya program dan


memberikan penilaian tentang keefektifan biaya tersebut

5) process evaluations, yang menilai metode yang


dipergunakan oleh organisasi untuk melaksanakan program.

b. judicial, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan


hukum tempat kebijakan diimplementasikan,termasuk kemungkinan
pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika,aturan
administrasi negara, hingga hak asasi manusia.
11
Benny Prasetiya Conciencia 19 (2), 99-111, 2019
c. Evaluasi politik, yaitu menilai sejauh mana penerimaan konstituen
politik terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan.

Menurut beberapa ahli ada tiga tipe evaluasi yang Berkaitan dengan
tingkatan-tingkatan program, yaitu:
1. Evaluasi Pra-program (ex-ante evaluation) dilaksanakan sebelum
program diimplementasikan, hal ini dilaksanakan untuk menaksir
kebutuhan atau pernyataan kebutuhan pembangunan yang
bersangkutan, atau untuk menentukan sasaran potensial dari suatu
program pembangunan per-kelompok atau per- region.
2. Evaluasi Tengah Berlangsung (on going/concurrent evaluation)
Dilakukan pada saat program itu diimplementasikan, jadi pada tahap
tenggang waktu program itu berjalan dievaluasi.
3. Evaluasi setelah berlangsung (ex-post evaluation)dilakukan setelah
program itu diimplementasikan untuk menilai dampak dan pengaruh
program itu dengan menghitung seberapa jauh program itu dapat
mencapai tujuan yang telah ditentukan oleh program itu. Terdapat
beberapa pendapat mengenai siapa yang sebenarnya paling baik
melakukan evaluasi terkait dengan independensi laporan hasil
evaluasi. Menurut DePoy, E., & Gilson, G. F. Dalam American Jurnal
of Evaluation, menyatakan bahwa:

“Evaluation Practice may be controversial to some colleagues for many


reasons. First, the authors believe that evaluation is the responsibility
of all of us not the sole responsibility of an external evaluator.
Professionals are responsible for evaluating their own practice: Our
model, therefore, holds the professional, not an “external evaluator,”
accountable for systematic thinking and action, for careful
examination of his/her practices, and for critical appraisal of the
results of professional functioning. So who conducts evaluation?
Educators, providers, policymakers, public health practitioners,
technology experts, business specialists, and so forth: in other words,
you do”.

Meski terdapat perbedaan pendapat, dalam hal ini demi alasan ilmu
pengetahuan, tetap dilakukan evaluasi untuk mengetahui kinerja
pemerintah dalam melaksanakan peraturan dan melayani
masyarakat. Evaluasi mencakup beberapa hal penting, yaitu:

1) Evaluasi adalah untuk mengukur performance dan


hasil yang diperoleh dari pelaksanaan satu atau
sebagian program.
2) Penilaian dilakukan dalam mengacu pada tujuan dan
target yang telah ditetapkan.
3) Hasil evaluasi merupakan pertimbangan dalam
peninjauan kembali suatu program dan peningkatan
pelaksanaan program di masa yang akan datang.
Secara lebih rinci beberapa persoalan yang harus
dijawab oleh suatu kegiatan evaluasi menurut adalah
sebagai berikut:
4) Kelompok dan kepentingan mana yang memiliki akses
didalam pembuatan kebijakan?
5) Apakah proses pembuatannya cukup rinci, terbuka,
dan memenuhi prosedur?
6) Apakah program didesain secara logis?
7) Apakah sumber daya yang menjadi input program telah
8) Cukup memadai untuk mencapai tujuan?
9) Apa standar implementasi yang baik menurut kebijakan
tersebut?
10) Apakah program dilaksanakan sesuai standar
efisiensi dan ekonomi?

Evaluationerson dalam Winarno membagi evaluasi kebijakan dalam tiga


tipe, masing-masing tipe evaluasi yang diperkenalkan ini didasarkan pada
pemahaman para evaluator terhadap evaluasi, sebagai berikut:

a. Tipe pertama

Evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional. Bila


evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional, evaluasi
kebijakan dipandang sebagai kegiatan yang sama pentingnya dengan
kebijakan itu sendiri.

b. Tipe kedua

Merupakan tipe evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya


kebijakan atau program-program tertentu. Tipe evaluasi ini lebih
membicarakan sesuatu mengenai kejujuran atau efisiensi dalam
melaksanakan program. 12

c. Tipe ketiga

Tipe evaluasi kebijakan sistematis, tipe kebijakan ini melihat secara


obyektif program-program kebijakan yang dijalankan untuk
mengukur dampaknya bagi masyarakat dan melihat sejauhmana
tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut tercapai.

Berdasarkan ketiga tipe tersebut yang paling sesuai dalam penelitian


ini adalah tipe yang ketiga, yakni tipe evaluasi kebijakan sistematis,
di mana peneliti ingin melihat sejauh mana pelaksanaan Kebijakan
Program Jamkesta, dengan mencari tahu apakah kebijakan yang
dijalankan telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan.13

Menurut Edi Suharto tujuan kebijakan publik sosial,dalam konteks


pembangunan sosial, kebijakan sosial merupakan suatu perangkat,
mekanisme, dan sistem yang dapat mengarahkan dan
menterjemahkan tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan sosial

12
James Anderson Dalam Winanrno Membagi evaluasi kebijakan dalam tiga tipe (2008:229)
13
Egi Suharto “Tujuan Kebijakan Publik Sosial dalam Konteks Pembangunan Sosial (2012:61)
senantiasa berorientasi kepada pencapaian tujuan sosial. Tujuan
sosial ini mengandung dua pengertian yang saling terkait,yakni
memecahkan masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial. 14

Menurut Edi Suharto,model-model yang umumnya digunakan dalam


analisis kebijakan publik adalah:

a. Model Prospektif adalah bentuk kebijakan yang


mengarahkan kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi
kebijakan sebelum suatu kebijakan diterapkan. Model ini dapat
disebut juga model prediktif

b. Model Retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan


terhadap akibat-akibat kebijakan setelah kebijakan
diimplementasikan. Model ini biasa disebut model
evaluatif,karena banyak melibatkan pendekatan evaluasi
terhadap dampak-dampak kebijakan yang sedang atau telah
diterapkan

c. Model Integratif adlah model perpaduan antara kedua model


diatas. Model ini kerap disebut sebagai model komprehensif
atau model holistik, karena analisis dilakukan terhadap
konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul, baik
sebelum maupun sesudah suatu kebijakan dioperasikan.

Public Procurement dapat dipahami dari sudut pandang obyek


pengadaan,pelaksana pengadaan, dan sumber dana untuk mengadakan.
Menurut Edquist et al (2000) pada prinsipnya, pengadaan
publik(PublicProcurement) adalah proses akuisisi yang dilakukan oleh
pemerintah dan institusi publik untuk mendapatkan barang (goods),
bangunan (works), dan jasa (services) secara transparan, efektif, dan
efisien sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penggunanya. Dalam
hal ini,pengguna bisa individu (pejabat), unit organisasi (dinas, fakultas,
dsb), atau kelompok masyarakat luas. Dari pengertian ini maka yang
dimaksud dengan public procurement ditentukan oleh siapa yang
melaksanakan pengadaan bukan oleh obyek dari barang/jasanya. Selain
penggolongan diatas, ditinjau dari sumber dana yang digunakan untuk
pengadaan barang/jasa, maka yang dimaksud dengan public
procurement adalah kegiatan pengadaan yang sumber dananya berasal
dari pemerintah atau institusi publik.Adapun Prinsip-prinsip pengadaan
barang dan jasa sebagaimana telah diatur dalam Perpres No. 54 Tahun
2010, antara lain efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan,
adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel.

Mengevaluasi dampak suatu program atau kebijakan publik diperlukan


Adanya suatu kriteria untuk mengukur keberhasilan program atau
Kebijakan publik tersebut. Mengenai kinerja kebijakan dalam
Menghasilkan informasi terdapat kriteria evaluasi dampak kebijakan
publik yaitu sebagai berikut:

14
Joko Pramono S Sos,Unisri Press, 2020
a) Efektivitas

Menurut Winarno:Efektivitas berasal dari kata efektif yang


mengandung pengertian Dicapainya keberhasilan dalam mencapai
tujuan yang telah Ditetapkan. Efektivitas disebut juga hasil guna.
Efektivitas selalu Terkait dengan hubungan antara hasil yang
diharapkan dengan hasil Yang sesungguhnya dicapai.

Berdasarkan pendapat di atas, bahwa apabila pencapaian tujuan-


tujuan Daripada organisasi semakin besar, maka semakin besar pula
Efektivitasnya. Pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya
Pencapaian tujuan yang besar daripada organisasi, maka makin
besar Pula hasil yang akan dicapai dari tujuan-tujuan tersebut.
Apabila Setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata
dampaknya Tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah
dihadapi Masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan
kebijakan Tersebut telah gagal, tetapi adakalanya suatu kebijakan
publik hasilnya Tidak langsung efektif dalam jangka pendek, akan
tetapi setelah Melalui proses tertentu.

b) Efisiensi

Menurut Winarno:Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah


usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas
tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas
ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha,
yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter. Efisiensi
biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau
layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya
terkecil dinamakan efisien

Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik


ternyata sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui
proses kebijakan terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang
dicapai. Ini berarti kegiatan kebijakan telah melakukan pemborosan
dan tidak layak untuk dilaksanakan.

c) Kecukupan

Menurut Winarno:Kecukupan dalam kebijakan publik dapat


dikatakan tujuan yang telah dicapai sudah dirasakan mencukupi
dalam berbagai hal.Kecukupan (adequacy) berkenaan dengan
seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai,
atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah Kecukupan
masih berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau
memprediks tri seberapa jauh alternatif yang ada dapat memuaskan
kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam menyelesaikan masalah
yang terjadi.

Berbagai masalah tersebut merupakan suatu masalah yang terjadi


dari suatu kebijakan sehingga dapat disimpulkan masalah tersebut
termasuk pada salah satu tipe masalah tersebut. Hal ini berarti
bahwa sebelum suatu produk kebijakan disahkan dan dilaksanakan
harus ada analisis kesesuaian metoda yang akan dilaksanakan
dengan sasaran yang akan dicapai, apakah caranya sudah benar atau
menyalahi aturan atau teknis pelaksanaannya yang benar.

d) Perataan

Menurut Winarno :Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan


mempunyai arti dengan keadilan yang diberikan dan diperoleh
sasaran kebijakan publik. Kriteria kesamaan (equity) erat
berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk
pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang
berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada
perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usaha secara adil
didistribusikan.

Suatu program tertentu mungkin dapat efektif, efisien, dan


mencukupi apabila biaya-manfaat merata. Menurut Winarno,
seberapa jauh suatu kebijakan dapat memaksimalkan kesejahteraan
sosial dapat dicari melalui beberapa cara, yaitu:

1. Memaksimalkan kesejahteraan individu


Analis dapat berusaha untuk memaksimalkan kesejahteraan
individu secara simultan. Hal ini menuntut agar peringkat
preferensi transitif tunggal dikonstruksikan berdasarkan
nilai semua individu.
2. Melindungi kesejahteraan minimum. Di sini analis
Mengupayakan peningkatan kesejahteraan sebagian orang
dan Pada saat yang sama melindungi posisi orang-orang
yang Dirugikan (worst off). Pendekatan ini didasarkan pada
kriteria Pareto yang menyatakan bahwa suatu keadaan
sosial dikatakan Lebih baik dari yang lainnya jika paling
tidak ada satu orang Yang diuntungkan atau dirugikan.
3. Memaksimalkan kesejahteraan bersih. Di sini analisis
berusaha Meningkatkan kesejahteraan bersih tetapi
mengasumsikan Bahwa perolehan yang dihasilkan dapat
digunakan untuk Mengganti bagian yang hilang. Pendekatan
ini didasarkan pada Kriteria Kaldor-Hicks: Suatu keadaan
sosial lebih baik dari Yang lainnya jika terdapat perolehan
bersih dalam efisiensi dan Jika mereka yang memperoleh
dapat menggantikan mereka Yang kehilangan. Untuk tujuan
praktis kriteria yang tidak Mensyaratkan bahwa yang
kehilangan secara nyata Memperoleh kompensasi ini,
mengabaikan isu perataan.
4. Memaksimalkan kesejahteraan redistributif. Di sini analis
Berusaha memaksimalkan manfaat redistributif untuk
Kelompok-kelompok yang terpilih, misalnya mereka yang
Secara rasial tertekan, miskin atau sakit. Salah satu kriteria
Redistributif dirumuskan oleh filosof John Rawls: Suatu
situasi Sosial dikatakan lebih baik dari lainnya jika
menghasilkan Pencapaian kesejahteraan anggota-anggota
masyarakat yang Dirugikan.

e) Responsivitas

Menurut Winarno:Responsivitas dalam kebijakan publik dapat


diartikan sebagai Respon dari suatu aktivitas. Yang berarti tanggapan
sasaran Kebijakan publik atas penerapan suatu kebijakan.
Responsivitas Berkenaan dengan seberapa jauh kebijakan dapat
memuaskan Kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok
masyarakat Tertentu. Keberhasilan kebijakan dapat dilihat melalui
tanggapan Masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah terlebih
dahulu Memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika kebijakan akan
Dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak Kebijakan
sudah mulai dapat dirasakan dalam bentuk Dukungan/berupa
penolakan.Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang
dapat Memuaskan semua kriteria lainnya (efektivitas, efisiensi,
kecukupan, Kesamaan) masih gagal jika belum menanggapi
kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari
adanya kebijakan. Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan
nyata kebutuhan, preferensi, dan nilai dari kelompok tertentu
terhadap kriteria efektivitas, efisiensi, kecukupan, dan kesamaan.

f) Ketepatan

Menurut Winarno:Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari


tujuan program dan pada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-
tujuan tersebut.Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah
alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil
dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan
tujuan yang layak. Kriteria kelayakan dihubungkan dengan
rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi
tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan
tersebut.

Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud dengan evaluasi


dampak kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu
penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan yang telah diberlakukan
oleh organisasi atau pemerintah, dengan cara mengevaluasi aspek-
aspek dampak kebijakan yang meliputi efektivitas, efisiensi,
kecukupan, perataan, responsivitas dan ketepatan pelaksanaan
kebijkan tersebut ditinjau dari aspek masyarakat sebagai sasaran
kebijakan tersebut.

Kebijakan merupakan upaya-upaya yang dilakukan dengan langkah-


langkah secara logis untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
pada masa mendatang dengan mempertimbangkan kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi dan menggunakan sumber daya yang
tersedia. Menurut Solichin Abdul Wahab, kebijakan publik memiliki
ciri-ciri Sebagai berikut:

a. Kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang mengarah pada


Tujuan daripada prilaku atau tindakan serba acak dan kebetulan,
Melainkan tindakan yang direncanakan,15
b. Kebijakan publik hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang
Saling berkaitan dan berpola mengarah pada tujuan tertentu yang
Dilakukan pejabat pemerintah bukan merupakan keputusan yang
Berdiri sendiri. Misalnya : kebijakan tidak hanya mencangkup
Keputusan untuk membuat Undang-Undang dalam bidang
tertentu,Akan tetapi diikuti pula keputusan-keputusan yang
berkaitan dengan implementasi dan pemaksaan
pemberlakuannya,
c. Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang dilakukan oleh
Pemerintah dalam bidang-bidang tertentu, dalam arti setiap
Kebijakan pemerintah itu diikuti dengan tindakan-tindakan
Konkrit.
d. Kebijakan publik berbentuk positif maupun negatif, dalam bentuk
Positf kebijakan mencangkup beberapa bentuk tindakan
Pemerintah yang dimaksudkan untuk mempengaruhi masalah
Tertentu, sementara itu bentuk yang negatif, kebijakan meliputi
Keputusan para pejabat-pejabat pemerintah untuk tidak bertindak
Atau tidak melakukan apapun dalam masalah-masalah dimana
Campur tangan pemerintah justru diperlukan.

Menurut Dwiyanto Indiahono:”Masalah publik yaitu masalah yang


melibatkan seluruh orang lain dan Penyelesaiannya dapat
mempengaruhi pihak secara luas, termasuk Negara. Untuk
menyelesaikan masalah publik tersebut, maka dibuatlah Suatu
kebijakan oleh pemerintah. Dan kebijakan tersebut nantinya
Diharapkan mampu mengatasi masalah publik tersebut. Selain itu,
untuk menyelesaikan masalah publik dan membuat kebijakan juga
diperlukan barang publik.”16

Menurut Dwiyanto Indiahono , konsep barang publik memiliki dua


karakteristik utama yaitu sifat non rivalry (tidak terdapat kompetisi)
dan sifat non-excludability (tidak dapat menafikkan), shingga dengan
15
Keban, Yeremias T. (2008) Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori, dan Isu, Edisi
Kedua. Cetakan Pertama. Yogyakarta,Penerbit Gaya Media.

16
Julio A Rarung, Novi Pioh, Welly Waworundeng Jurnal Eksekutif 3 (3), 2019
adanya karakteristik tersebut, barang-barang tersebut tidak bersifat
khusus atau ekslusif, dan semua orang dapat menikmati barang
tersebut tanpa terkecuali. Tetapi karena dapat diakses oleh siapapun,
penggunaan barang pun menjadi berlebihan sehingga cepat rusak.17

Barang swasta juga penting untuk mendudukkan masalah publik


dalam rangka urusan dan kepentingan publik. Barang swasta
menggunakan prinsip excludability (dapat menafikkan) dan rivalry
(kompetisi), karena semua orang dapat menafikkan keberadaan
barang tersebut dalam artian semua orang berhak mendapatkan
barang tersebut maka dengan sifat barang swasta yang terbatas
menyebabkan adanya persaingan dan kompetisi bagi orang-orang
tersebut. Selain itu, harga barang privat dapat ditentukan dengan
mudah oleh mekanisme pasarantara produsen dan konsumen.Barang
Toll publik merupakan barang yang dikonsumsi oleh banyak orang
secara bersama dan produsennya bisa melakukan pencegahan
terhadap pihak lain untuk mengkonsumsinya. Sedangkan barang
terbuka untuk umum yaitu barang yang digunakan oleh
perseorangan tapi pencegahan tidak mungkin dilakukan oleh
penyelenggaranya.

Menurut Dwiyanto Indiahono,masalah publik harus diatasi dengan


melakukan beberapa langkah, yaitu:

a. Pencarian masalah. Yaitu suatu tahap mengenali akar masalah.


Dikarenakan masalah publik melibatkan banyak pihak,maka
pemerintah perlu menilik secara serius apa sebenarnya
persamasalahannya

b. Pendefinisian masalah. Yaitu merangkum permasalahan yang


dikemukakan oleh bebagai pihak menjadi satu permasalahan formal.

c.Spesifikasi masalah.Setelah merangkum seluruh


permasalahan,langkah selanjutnya yaitu mempertimbangkan
masalah mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu dengan
memperhatikan karakteristik masalah dan sumber daya yang
dimiliki.

d. Agenda pemerintah. Setelah ditetapkan masalah mana yang harus


diselesaikan terlebih dahulu, barulah ditetapkan menjadi agenda
pemerintah dan segera dibentuk kebijmakan yang nantinya akan
menyelesaikan masalah publik.

Menurut Dwiyanto Indiahono:Proses politik kebijakan adalah proses


melegitimasi kebijakan publik Dengan menyandarkan pada proses
pembahasan kebijakan di lembaga Politik yang diakui sebagai
representative publik. Jika lembaga politik Yang representative dari
kebijakan benar-benar menampung aspirasi Publik, maka kebijakan
yang direkomendasikan tidak mengalami Hambatan untuk
dilegitimasikan menjadi sebuah kebijakan.
17
Trio Saputra, Pebriana Marlinda, Wasiah Sufi Jurnal Niara 11 (2.2019), 177-188, 2018
Selanjutnya menurut Dwiyanto Indiahono, proses politik Kebijakan
publik meliputi:

a. Pernyataan Kebijakan
Adalah pernyataan pemerintah atas suatu kebijakan yang diambil
Untuk menyelesaikan atau terkait dengan masalah publik
tertentu. Setiap pernyataan kebijakan tersebut harus sudah
mendapatkan Pernyataan legitimasi dari pihak hukum. Pernyataan
kebijakan Harus diketahui oleh publik dengan sebaik-baiknya,
sehingga Dibutuhkan proses sosialisasi secara detail.18

b. Implementasi Kebijakan
Menunjuk kepada apakah kebijakan yang disusun tersebut
Dilaksanakan seperti yang telah direncanakan, apakah benar-
benar teraplikasi di lapangan dan apakah benar-benar mampu
mengatasi masalah publik.

c. Evaluasi Kebijakan
Yaitu menilai keberhasilan/kegagalan kebijakan berdasarkan
indikator yang telah ditentukan. Dan apabila kebijakan tersebut
dinyatakan gagal mengatasi permasalahan publik, maka nantinya
akan dibuat kebijakan yang baru lagi dan belajar dari pengalaman
sebelumnya. Inilah yang disebut dengan analisis kebijakan yang
dinamis.

Menurut William N. Dunn, dalam tahapan kebijakan publik Sebagai berikut


:

a. Penyusunan Agenda

Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis
Dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki Ruang
untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik Dan
prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu
Berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan
Mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut
Berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih
Daripada isu lain.19

b. Formulasi kebijakan

Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian


Dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi
Didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang
Terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai Alternatif
18
Tangkilisan, Hessel Nogi S. (2003)Evaluasi kebijakan publik.Yogyakarta, Balairung
19
Widodo, Joko. (2008) Analisis Kebijakan Publik. Jakarta,Bayumedia.
atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan Perjuangan
suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, Dalam tahap
perumusan kebijakan masing-masing alternatif Bersaing untuk dapat
dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk Memecahkan masalah.

c. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses


Dasar pemerintahan.Jika tindakan legitimasi dalam suatu
Masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan
Mengikuti arahan pemerintah, namun warga negara harus percaya
Bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan Untuk
rezim cenderung berdifusi cadangan dari sikap baik dan Niat baik
terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota Mentolerir
pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola Melalui manipulasi
simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses Ini orang belajar
untuk mendukung pemerintah20

d. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan


Yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang Mencakup
substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini,Evaluasi
dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, Evaluasi
kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, Melainkan
dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan Demikian,
evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan Masalah-masalah
kebijakan, program-program yang diusulkan untuk Menyelesaikan
masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap Dampak kebijakan.

20
Amanda Permatasari, I. (2020). KEBIJAKAN PUBLIK (TEORI, ANALISIS, IMPLEMENTASI DAN
EVALUASI KEBIJAKAN). TheJournalish: Social and Government, 1(1), 33-37. Retrieved from

Anda mungkin juga menyukai