Anda di halaman 1dari 13

Analisa Kebijakan Publik

Pengertian
Analisis Kebijakan Publik adalah suatu disiplin Ilmu Sosial terapan yang
memanfaatkan berbagai metode dan teknik untuk menghasilkan informasi
yang relevan dengan kebijakan. Analisis seperti ini sangat diperlukan dalam
praktek pengambilan keputusan di sektor publik, dan karenanya dibutuhkan
oleh para politisi, konsultan, peneliti, dan pengambil keputusan di
pemerintahan. Karena itu, buku ini bukan saja relevan dengan tugas dan
fungsi penulis sebagai seorang peneliti, tetapi juga relevan dengan para
praktisi pemerintah, yang secara langsung berhubungan dengan pembuatan
(penentuan) kebijakan (keputusan) publik.
Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang
banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh
pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka
kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang
menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu
proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya,
kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di
jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam
negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu
yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan
kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang
mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk
menarik pajak dan retribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai
kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai
amanat konstitusi.
Pemahaman Istilah
Ketika kita sedang membaca Kepmen No.123/2000, maupun dokumen legal
kegiatan itu  tidak dapat disebut sebagai Analisis Kebijakan. Sebab apa? 
Sebab apa yang disebut Analisis Kebijakan adalah aktivitas menciptakan
pengetahuan (informasi). Pengetahuan tentang apa? Tentang proses
pembuatan kebijakan. Jadi "Analisis Kebijakan" pada dasarnya identik, atau
bahkan kata lain dari "Ilmu Kebijakan" (Policy Science).  
Untuk memahami labih jelas apa itu arti  dan pengertian Analisis
Kebijakan, sebaiknya pahami kutipan di bawah ini, yang Dunn sendiri juga
mengutip buku (penulis) lain, bunyinya begini;
"...suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi
sedemikian rupa sehingga dapat memberikan landasan bagi para pembuat
kebijakan dalam membuat keputusan..... Dalam analisis kebijakan, kata
analisis digunakan dalam pengertian yang paling umum; termasuk
penggunaan intuisi, pengungkapan pendapat, dan mencakup tidak hanya
pengujian kebijakan dengan memilah-milahnya ke dalam sejumlah
komponen, tetapi juga perancangan dan sintesis alternatif baru. Kegiatan-
kegiatan yang tercakup dapat direntangkan mulai dari penelitian untuk
menjelaskan, atau (sekedar) memberikan pandangan-pandangan terhadap
isyu-isyu atau masalah-masalah yang terantisipasi... sampai dengan
mengevaluasi suatu program yang lengkap. Beberapa analisis kebijakan
bersifat informal, meliputi tidak lebih dari proses berpikir yang keras dan
cermat, sementara lainnya memerlukan pengumpulan data yang ekstensif
dan penghitungan yang teliti dengan menggunakan proses matematis yang
canggih."
Jelaslah bahwa sebagai aktivitas intelekektual, Analisis Kebijakan dilakukan
dengan menciptakan, menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan (yang
relevan dengan kebijakan)  dalam satu atau lebih tahap proses pembuatan
kebijakan. Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus
berlangsung sepanjang   waktu. Dan terdapat sejumlah cara di mana
penerapan analisis kebijakan dapat memperbaiki proses pembuatan
kebijakan.
Salah satu aspek penting dalam analisis kebijakan adalah penciptaan
pengetahuan (informasi) yang relevan dengan kebijakan. Informasi,
pengetahuan, data dan kebijakan merupakan unsur-unsur yang dibedakan
dalam proses kognitif. Informasi adalah data yang telah ditafsirkan dan
diorganisir untuk tujuan tertentu yang dapat mengubah pikiran atau
tindakan para pembuat kebijakan. Pengetahuan dalam konteks analisis
kebijakan adalah informasi yang telah dikomunikasikan kepada para
pembuat kebijakan, dan mentransformasikannya menjadi keyakinan
sehingga menghasilkan pencapaian tujuan dalam situasi tertentu.
Dengan demikian, analisis kebijakan juga dapat dipandang sebagai proses
berargumentasi dan debat untuk menciptakan, mengkaji secara kritis, dan
mengkomunikasikan pengetahuan (keyakinan) yang plausibel (keyakinan
kebenaran yang masuk akal) tentang kinerja dari proses pembuatan
kebijakan. Analisis kebijakan pada dasarnya adalah awal, bukan akhir, dari
upaya untuk meningkatkan proses pembuatan kebijakan. Itulah sebabnya,
analisis kebijakan seringkali juga didefinisikan sebagai "pengkomunikasian
(penciptaan) dan penilaian kritis, pengetahuan (yang relevan dengan
kebijakan)".  Kualitas analisis kebijakan (pengatahuan, informasi, penilaian
kritis) adalah penting untuk memperbaiki kebijakan dan hasilnya. Namun,
dan inilah lagi-lagi pernyataan Dunn yang menarik;
".......tetapi analisis kebijakan yang baik (berkualitas) belum tentu
dimanfaatkan oleh pemakainya, dan jikapun analisis kebijakan
digunakan, belum menjamin  kebijakan yang lebih baik. Pada
kenyataannya, ada jarak yang amat lebar antara pembuatan analisis
kebijakan dan pemanfaatannya dalam proses pembuatan kebijakan."
Analis kebijakan, dengan demikian, adalah salah satu diantara sejumlah
banyak aktor lain di dalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan (policy
system),  atau seluruh institusional di mana di dalamnya kebijakan dibuat,
mencakup hubungan timbal balik diantara tiga unsur, yaitu; kebijakan
publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan. Kebijakan publik
(public policy) merupakan rangkaian pilihan yang saling berhubungan
(termasuk keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan
pejabat pemerintah, yang diformulasikan di dalam berbagai bidang (isyu)
dari pertahanan, energy, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dll.
Terminologi
Terminologi kebijakan publik menunjuk pada serangkaian peralatan
pelaksanaan yang lebih luas dari peraturan perundang-undangan, mencakup
juga aspek anggaran dan struktur pelaksana. Siklus kebijakan publik sendiri
bisa dikaitkan dengan pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan
evaluasi kebijakan. Bagaimana keterlibatan publik dalam setiap tahapan
kebijakan bisa menjadi ukuran tentang tingkat kepatuhan negara kepada
amanat rakyat yang berdaulat atasnya. Dapatkah publik mengetahui apa
yang menjadi agenda kebijakan, yakni serangkaian persoalan yang ingin
diselesaikan dan prioritasnya, dapatkah publik memberi masukan yang
berpengaruh terhadap isi kebijakan publik yang akan dilahirkan.
Begitu juga pada tahap pelaksanaan, dapatkah publik mengawasi
penyimpangan pelaksanaan, juga apakah tersedia mekanisme kontrol
publik, yakni proses yang memungkinkan keberatan publik atas suatu
kebijakan dibicarakan dan berpengaruh secara signifikan. Kebijakan publik
menunjuk pada keinginan penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam
masyarakat demokratis merupakan cerminan pendapat umum (opini
publik). Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan
tersebut efektif, maka diperlukan sejumlah hal:
Pertama, adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan
sehingga dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan,
Kedua, kebijakan ini juga harus jelas struktur pelaksana dan
pembiayaannya,
Ketiga, diperlukan adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang
memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam
pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak.
Dalam masyarakat autoriter kebijakan publik adalah keinginan penguasa
semata, sehingga penjabaran di atas tidak berjalan. Tetapi dalam
masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan adalah bagaimana
menyerap opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat
dukungan publik. Kemampuan para pemimpin politik untuk berkomunikasi
dengan masyarakat untuk menampung keinginan mereka adalah satu hal,
tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk
menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi.
Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa
memuaskan seluruh masyarakat setiap saat, tetapi adalah otoriter suatu
pemerintahan yang tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi
dan berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang
akan dijalankannya.
Aktor
Menurut James Anderson, para aktor yang seharusnya terlibat dalam
pembuatan kebijakan itu adalah:
1. Official Policy Makers; yaitu organ-organ yang menduduki pos-pos
kekuasaan secara legal/resmi. Yang termasuk kelompok ini adalah; para
anggota legislatif, para administrator, dan para hakim pengadilan.
2. Unofficial Participants; yaitu organ-organ yang secara formal memang
tidak mempunyai wewenang untuk merumuskan kebijakan publik tetapi
kegiatan kegiatannya banyak mempengaruhi 'official policy makers.
Golongan ini sering berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan,
dan partisipasi mereka itu memang dibenarkan. Yang termasuk golongan
ini adalah; kelompok-kelompok kepentingan (interest groups), partai
politik, media massa dan warga negara secara individual.
Produk-Produk Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan dibuat atas dasar permintaan informasi (nasehat) dari
pelaku atau pengambil keputusan atau kebijakan.  Dalam rangka memenuhi
permintaan tersebut, analis kebijakan menciptakan dan secara kritis
menilai pengetahuan  yang relevan dengan masalah kebijakan, dan kinerja
kebijakan. Untuk mengkomunikasikan pengetahuan tersebut, si-analis
menciptakan berbagai dokumen yang relevan dengan kebijakan, berupa;
nota kebijakan, paper isyu kebijakan, ringkasan eksekutif, lampiran, atau
bahkan bahan siaran berita. Catatan: dokumen-dokumen tersebut pada
gilirannya juga berguna sebagai bahan untuk berbagai strategi komunikasi
interaktif dalam percakapan, misalnya konferensi, pertemuan, briefing,
dengar pendapat, dan berbagai bentuk presentasi lain.
Tujuan penciptaan dokumen-dokumen tersebut, dan presentasi lisan,
adalah untuk meningkatkan prospek pemanfaatan pengetahuan dan diskusi
terbuka antara pelaku kebijakan  dalam tahap-tahap proses pembuatan
kebijakan. Menurut Dunn, dalam penciptaan pengetahuan, dan dokumen
yang dipilihnya, ada beberapa prinsip teknis yang harus diterapkan;
1. Sintesis. Analis sebaiknya mampu membuat sintesa dari berbagai
informasi yang telah terkumpul itu, ke dalam suatu naskah yang singkat
misalnya 3 halaman dalam bentuk nota kebijakan, 10-20 halaman dalam
bentuk paper isu kebijakan. Dalam istilah Indonesia, barangkali, tulisan
harus singkat, pada dan jelas.
2. Organisasi. Analis harus dapat mengorganisir informasi secara koheren,
konsisten dan ekonomis. Meskipun dokumen kebijakan bisa saja sangat
beragam dalam gaya dan panjang tulisan, tetapi ada kesamaannya,
yaitu mancakup diagnosis masalah, ringkasan, identifikasi,  evaluasi dan
alternatif pemecahan masalah.
3. Terjemahan. Terminologi dan prosedur analisis kebijakan harus dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa pelaku kebijakan. Ini berarti harus ada
kemampuan analis untuk mentransformasikan konsep-konsep teoretik
yang abstrak ke dalam ungkapan-ungkapan atau argumen-argumen yang
lazim digunakan oleh orang awam.
4. Penyederhanaan. Solusi-solusi masalah potensial  kebanyakan ruang
lingkupnya luas, saling bergantung dan kompleks. Karena itu, analisis
[informasi] yang njelimet harus dihindari, dan buatlah narasi yang
sederhana.
5. Penyajian Visual. Penyajian visual  informasi kuantitatif, semisal dalam
bentuk grafik balok, histogram, grafik lingkaran, grafik garis, bisa jadi
sangat bermanfaat dalam komunikasi kebijakan.
6. Ringkasan, Pengambil Kebijakan umumnya bekerja dengan agenda yang
sangat padat, di bawah tekanan keterbatasan waktu. Karena itu, di
bawah keterbatasan waktu, pengambil kebijakan lebih mungkin
membaca ringkasan eksekutif atau nota ringkas dibanding misalnya,
paper isyu kebijakan yang lengkap. Ketrampilan menyiapkan ringkasan
menjadi sangat penting bagi komuniasi kebijakan (catatan; belajarlah
membuat ringkasan yang baik).
Metodologi Analisis Kebijakan
Sebagaimana lazimnya sebuah ilmu, Analisis Kebijakan memiliki metodologi
yang khas. Metodologi, dalam pengertian ini  juga berkaitan dengan
aktivitas intelektual, logic of inquiry,  yaitu "kegiatan pemahaman manusia
mengenai pemecahan masalah". Pemecahan masalah adalah elemen kunci
dalam metodologi Analisis Kebijakan. Inilah pernyataan Dunn yang menarik;
".....analisis kebijakan salah satunya adalah untuk merumuskan
masalah sebagai bagian dari pencarian solusi. Dengan menanyakan
pertanyaan yang benar, masalah yang semula tampak tak
terpecahkan kadang-kadang dapat dirumuskan kembali sehingga
ditemukan solusi yang tidak terdeteksi sebelumnya. Ketika ini
terjadi, maka ungkapan tak ada masalah, tak ada solusi, dapat
diganti dengan ungkapan sebaliknya; "masalah yang dirumuskan
dengan baik adalah masalah yang setengah terpecahkan".
Metodologi Analisis Kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang
lazim dipakai dalam pemecahan masalah; yaitu definisi, prediksi,
preskripsi, deskripsi dan evaluasi. Dalam analisis kebijakan, prosedur-
prosedur tersebut memperoleh nama-nama khusus, misalnya:
Definisi (perumusan masalah) menghasilkan informasi mengenai kondisi-
kondisi yang menimbulkan masalah;
Prediksi (peramalan) menghasilkan informasi mengenai konsekuensi di
masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan (sekarang);
Preskripsi (Rekomendasi) menghasilkan informasi mengenai nilai kegunaan
relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah;
Deskripsi (Pemantauan) menghasilkan informasi  tentang konsekuensi
sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan; dan
Evalusai menghasilkan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari
konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah.
Dengan kelima prosedur Analisis tersebut, diperoleh lima tipe (macam)
informasi kebijakan, yaitu
1) Masalah Kebijakan, kebutuhan, nilai atau kesempatan yang tidak
terealisir (meskipun teridentifikasi) dapat diatasi melalui tindakan
publik;
2) Masa Depan Kebijakan; pilihan (alternatif) kebijakan dan prediksi
kosekuensi yang ditimbulkannya;
3) Aksi Kebijakan, serangkaian tindakan kompleks yang dituntut oleh
alternatif-alternatif kebijakan yang dirancang untuk mencapai nilai-nilai
tertentu;
4) Hasil Kebijakan, konsekuensi yang teramati dari suatu aksi kebijakan;
5) Kineja Kebijakan; suatu derajat dimana hasil kebijakan tertentu
memberi kontribusi terhadap pencapaian nilai-nilai.
Kelima Prosedur metodologis Analisis kebijakan tersebut,  sejajar (paralel)
dengan tahap-tahap Pembuatan Kebijakan. Dunn membuat  kesamaan
Prosedur Analisis kebijakan dengan Tahap Pembuatan Kebijakan
sebagaimana matrik di bawah ini.
Prosedur Analisis Kebijakan Tahap Pembuatan Kebijakan
Definisi (Perumusan Masalah) Penyusunan Agenda
Prediksi (Peramalan) Formulasi Kebijakan
Preskripsi (Rekomendasi) Adopsi Kebijakan
Deskripsi (Pemantauan) Implementasi Kebijakan
Penilaian Penilai Kebijakan
Jadi, menurut Dunn, proses pembuatan kebijakan (policy making Process) 
pada dasarnya merupakan proses politik yang berlangsung dalam tahap-
tahap tertentu yang saling bergantung, yaitu penyusunan agenda
kebijakan,  formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan,
dan penilaian kebijakan.
Model-Model Analisis Kebijakan Sosial
Menurut Dunn (1991), analisis kebijakan adalah ilmu sosial terapan yang
menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi untuk
menghasilkan informasi yang relevan dalam menganalisis masalah-masalah
sosial yang mungkin timbul akibat diterapkannnya suatu kebijakan. Ruang
lingkup dan metoda analisis kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan
faktual mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat suatu kebijakan.
Menurut Quade (1982) analisis kebijakan adalah suatu jenis penelaahan
yang menghasilkan informasi sedemikian rupa yang dapat dijadikan dasar-
dasar pertimbangan para pembuat kebijakan dalam memberikan penilaian-
penilaian terhadap penerapan kebijakan sehingga diperoleh alternatif-
alternatif perbaikannya. Kegiatan penganalisisan kebijakan dapat bersifat
formal dan hati-hati yang melibatkan penelitian mendalam terhadap isu-isu
atau masalah-masalah yang berkaitan dengan evaluasi suatu program yang
telah dilaksanakan. Namun demikian, beberapa kegiatan analisis kebijakan
dapat pula bersifat informal yang melibatkan tidak lebih dari sekadar
kegiatan berfikir secara cermat dan hati-hati mengenai dampak-dampak
diterapkannya suatu kebijakan.
Analisis kebijakan pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan informasi
dan argumen-argumen rasional mengenai tiga pertanyaan yang berkaitan
dengan;
1) Fakta-fakta;
2) Nilai-nilai; dan
3) Tindakan-tindakan
Berdasarkan hal tersebut, maka ada tiga model pendekatan dalam analisis
kebijakan sosial, yaitu:
1) Pendekatan Empiris;
2) Pendekatan Evaluatif; dan
3) Pendekatan Normatif. 
Dalam kaitannya dengan tiga model tersebut, terdapat empat prosedur
analisis yang dapat dijadikan patokan dalam melakukan analisis kebijakan
sosial:
 Monitoring yang dapat menghasilkan informasi deskriptif mengenai
sebab-sebab dan akibat-akibat kebijakan.
 Peramalan yang dapat menghasilkan prediksi atau informasi mengenai
akibat-akibat kebijakan di masa depan.
 Evaluasi yang dapat menghasilkan informasi mengenai nilai atau harga
dari dampak-dampak kebijakan yang telah lalu maupun di masa
datang.
 Rekomendasi yang dapat memberikan preskripsi atau informasi
mengenai alternatif-alternatif atau kemungkinan-kemungkinan yang
ditimbulkan dari suatu kegiatan.
 

Merumuskan Masalah Kebijakan Sosial


Perumusan masalah kebijakan sosial adalah suatu proses penyelidikan untuk
mengumpulkan informasi mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan
sosial yang mempengaruhi kelompok sasaran. Perumusan masalah kebijakan
juga mencakup pencarian solusi-solusi terhadap dampak-dampak kebijakan
yang bersifat negatif.
Masalah-masalah kebijakan sosial secara umum memiliki enam elemen,
yaitu:
a. Masalah kebijakan. Informasi ini meliputi argumen mengenai bukti-
bukti pemasalahan, alternatif-alternatif kebijakan, tindakan-tindakan
kebijakan, hasil-hasil kebijakan, dan keberhasilan-keberhasilan
kebijakan.
b. Klaim kebijakan. Klaim kebijakan adalah kesimpulan-kesimpulan
mengenai argumen-argumen kebijakan. Sebagai contoh, pemerintah
harus berinvestasi dalam bidang pendidikan atau mengeluarkan dana
lebih besar lagi bagi penanggulangan anak jalanan dsb.
c. Justifikasi atau pembenaran. Aspek ini meliputi asumsi mengenai
argumen kebijakan yang memungkinkan analisis kebijakan untuk
melangkah dari masalah kebijakan ke klaim kebijakan. Suatu asumsi
bisa mencakup informasi yang bersifat otoritatif, intuitif, analitis,
kausal, pragmatis maupun kritis.
d. Pendukung. Pendukung adalah informasi-informasi yang dapat
digunakan sebagai dasar yang mendukung justifikasi. Pendukung dapat
berupa hukum-hukum keilmuan, pendapat-pendapat para ahli atau
prinsip-prinsip etis dan moral.
e. Keberatan-keberatan atau sanggahan-sanggahan. Keberatan-
keberatan adalah kesimpulan yang kedua atau argumen alternatif yang
menyatakan bahwa suatu kondisi tidak dapat diterima (ditolak) atau
dapat diterima dengan syarat-syarat tertentu.
f. Prasyarat. Aspek ini merupakan kondisi-kondisi yang dapat
meyakinkan atau menjadi dasar bagi analis kebijakan untuk
membenarkan klaim kebijakan. Dalam analisis kebijakan, prasyarat
biasanya dinyatakan dalam bahasa “kemungkinan” atau probabilitas.
Misalnya, “kemungkinan besar”, “kecenderungannya adalah” atau
“pada taraf signifikansi 1 persen”.
Perumusan masalah kebijakan, tidak dapat dilakukan begitu saja,
melainkan harus memenuhi beberapa syarat agar dapat diterima secara
logis. Prasyarat tersebut meliputi:
a. Perumusan masalah harus jelas atau tidak ambigu.
b. Produk analisis harus terbaru (up-to-date).
c. Produk analisis harus berharga atau bernilai (valuable).
d. Proses analisis tidak bersifat konvensional, artinya menggunakan
teknik-teknik yang mutakhir.
e. Proses analisis memiliki daya motivasi, berkesinambungan,
berhubungan satu sama lain dan komprehensif.
Teknik-teknik dalam perumusan masalah kebijakan:
a. Analisis Klasifikasi. Teknik ini dipergunakan untuk memperjelas
konsep yang digunakan dalam mendefinisikan situasi problematis.
Prinsip-prinsip dari sistem klasifikasi adalah: 
1) Relevansi Substantif. Dasar klasifikasi harus dibangun menurut
tujuan analisis dan situasi problematis.
2) Ketuntasan. Dasar klasifikasi harus memiliki argumen yang tepat
dan benar-benar kuat.
3) Keterpilahan. Kategori-kategori harus benar-benar terpilah dan
berdiri sendiri agar tidak ada kelompok yang masuk dalam dua
kategori.
4) Konsistensi. Kategori-kategori harus bersifat pasti atau tetap
berdasarkan sistem klasifikasi tunggal sehingga kesimpulan tidak
bersipat tumpang tindih atau mengalami “the fallacy of cross
division” (kekeliruan dalam pembagian silang).
5) Pembedaan hirarkis. Tingkat dalam sistem klasifikasi harus dapat
dibedakan secara jelas; mulai dari kategori, sub-kategi, sampai
sub-sub kategori.
b. Analisis Hirarki. Teknik ini dipakai untu menganalisis sebab-sebab
yang mungkin dalam sistem permasalahan. Terdapat tiga macam
sebab yang perlu diperhatikan dalam analisi hirarki:
1) Sebab yang mungkin (possible cause).
2) Sebab yang masuk akal (plausible cause). Sebab ini didasari
penelitian ilmiah atau pengalaman langsung.
3) Sebab yang dapat dirubah (actionable cause) atau disebut pula
sebab yang dapat dikontrol dan dimanipulasi.
c. Synectic. Teknik ini dilakukan untuk mengembangkan pengenalan
masalah secara analogis. Beberapa prinsip analogi meliputi:
1) Analogi personil. Analis berusaha membayangkan dirinya
mengalami situasi-situasi problematis sebagaimana dialami
kelompok sasaran kebijakan.
2) Analogi langsung. Mencari hubungan serupa diantara 2 atau lebih
situasi problematis.
3) Analogi simbolik. Menemukan contoh yang serupa dengan
situasiproblematik dengan menggunakan simbol-simbol.
4) Analogi fantasi. Secara bebas mencari kesamaan antara situasi
problematis secra khayali.
d. Branstorming atau curah pendapat. Teknik memunculkan ide atau
gagasan, tujuan dan strategi-strategi tertentu dengan melibatkan
banyak pihak dalam suatu forum diskusi.
e. Analisis Asumsi. Teknik untuk menciptakan sintesa (kesimpulan)
kreatif atas beberapa asumsi mengenai masalah-masalah kebijakan.
Prosedur analisis asumsi meliputi:
1) Identifikasi pelaku yang terlibat (stakeholder identification).
2) Pemunculan asumsi (assumption surfacing).
3) Pembenturan atau penentangan asumsi (assumption challenging).
4) Pengelompokan asumsi (asumption pooling).
5) Sintesa asumsi atau penyimpulan asumsi.
Masalah Kebijakan
Setiap hari, seorang analis (peneliti) kebijakan seharusnya bergulat dengan
masalah-masalah kebijakan. Seperti disinggug sebelumnya, masalah
kebijakan adalah kebutuhan, nilai atau kesempatan yang tidak terealisir
namun dapat diatasi melalui tindakan publik. Dan tindakan publik dipacu,
didorong, dan dikondisikan oleh aksi kebijakan pemerintah. Namun secara
substansial, masalah kebijakan itu sendiri pada dasarnya merupakan
serangkaian konstruksi mental atau konseptual yang diabstraksikan dari
situasi masalah oleh para pelaku kebijakan. William Dunn mengidentiifikasi
ciri-ciri masalah kebijakan; antara lain bahwa;
Masalah Kebijakan itu saling tergantung satu sama lain. Seperti
misalnya, masalah ketransmigrasian berkaitan dengan masalah
investasi, kebudayaan etnik, dll. Dalam kenyataan masalah-
masalah kebijakan bukan merupakan unit (kesatuan) yang berdiri
sendiri tetapi merupakan bagian dari seluruh sistem masalah, yaitu
sistem kondisi eksternal yang menghasilkan ketidak-puasan
diantara segmen-segmen masyarakat yang berbeda. Karena itu,
jarang masalah-masalah dapat didefinisikan dan dipecahkan secara
sendiri-sendiri. Inilah pernyataan Dunn yang menarik.
Menurut Dunn, masalah kebijakan itu memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu;
Pertama, bahwa ada dimensi subyektivitas dalam masalah kebijakan.
Sebab, masalah kebijakan adalah stau hasil pemikiran yang dibuat pada
suatu lingkungan tertentu; Masalah tersebut merupakan elemen dari situasi
masalah yang diabstraksikan dari situasi eksternal oleh analis.  Dengan
demikian, yang dialami pada dasarnya adalah situasi masalah  yang telah
dikonstruksikan  secara konseptual.
Kedua,  bahwa masalah itu bersifat buatan. Dengan kata lain bahwa
masalah-masalah kebijakan hanya mungkin (muncul) ketika manusia
membuat penilaian mengenai keinginan untuk mengubah beberapa situasi
masalah; Dengan demikian masalah kebijakan merupakan produk dari
penilaian subyektif manusia. Namun masalah kebijakan juga dapat diterima
sebagai definisi-definisi yang sah dari kondisi sosial yang obyektif. Masalah
tidak berada di luar individu dan kelompok-kelompok yang mendefinisikan,
dan itu berarti bahwa tidak ada keadaan masyarakat yang alamiah dan
karena apa yang ada dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan
masalah kebijakan.
Ketiga, masalah kebijakan itu dinamik. Terdapat solusi untuk suatu
masalah, sebagaimana terdapat banyak definisi terhadap masalah tersebut.
Masalah dan solusi berada dalam perubahan-perubahan yang konstan, dan
karenanya,  masalah tidak secara konstan terpecahkan, "... solusi terhadap
masalah bisa jadi usang, meskipun masalah itu sendiri belum usang".
Dalam Analisis Kebijakan, perumusan masalah merupakan prioritas sebelum
pemecahan masalah. Ingat, masalah yang terumuskan dengan baik adalah
masalah yang setengah terpecahkan. Perumusan masalah, sebenarnya
merupakan proses kognitif yang terdiri atas empat fase yang saling
tergantung, yaitu  pencarian (problem search), pendefinisian (problem
definition), penspesifikasian (problem spesification), dan pengenalan
(problem sensing). Prasarat perumusan masalah adalah pengakuan adanya
suatu situasi masalah. Tiap-tiap fase tersebut menghasilkan informasi
mengenai situasi masalah, meta-masalah, masalah substantif, dan masalah
formal.
Rekomendasi Kebijakan
Salah satu prosedur (metodologis) analisis kebijakan, seperti disinggung di
atas, adalah rekomendasi atau preskripsi. Rekomendasi seringkali
merupakan bagian dari hasil penelitian (reguler). Rekomendasi merupakan
proses rasional di mana para analis memproduksi informasi dan argumen-
argumen yang beralasan tentang solusi-solusi yang potensial (kuat) dari
msalah-masalah publik. Solusi-solusi itulah yang dikenal sebagai advokasi
kebijakan (policy advocacy).
Bagaimana seharusnya rekomendasi itu berbunyi? Menurut Dunn,
Rekomendasi (preskripsi) memungkinkan analis menghasilkan informasi
tentang kemungkinan serangkaian aksi di masa mendatang untuk
menghasilkan konsekuensi yang berharga bagi individu, kelompok, atau
masyarakat seluruhnya. Prosedur rekomendasi meliputi transformasi
mengenai kebijakan di masa mendatang ke dalam informasi mengenai aksi-
aksi kebijakan yang akan menghasilkan luaran (output) yang bernilai.
Karena itu, untuk merekomendasikan suatu tindakan kebijakan, diperlukan
adanya informasi tentang konsekuensi-konsekuensi masa depan setelah
dilakukan berbagai alternatif tindakan. Membuat rekomendasi kebijakan 
juga mengharuskan analis menentukan alternatif mana yang paling baik dan
mengapa. Oleh karena itu, prosedur kebijakan ini (rekomendasi atau
preskripsi) terkait erat dengan persoalan etika dan moral.
William Dunn memberikan kriteria untuk membuat rekomendasi kebijakan.
Beberapa tipe pilihan rasional (sebagai kriteria atau nilai-nilai) untuk
menyarankan pemecahan masalah (rekomenasi) adalah efektiivitas,
efesiensi, kecukupan, perataan, responsivitas, dan kelayakan. Efektivitas,
yang berkaitan dengan  rasionalitas teknis, berkenaan dengan apakah suatu
alternatif tindakan mencapai hasil (akibat) yang diharapkan,  diukur dari
nilai moneternya. Efisiensi, berkenaan dengan jumlah usaha yang
diperlukan untuk menghasilkan efektifitas, juga diukur dari ongkos
moneternya. Kecukupan (adekuasi) berkenaan dengan seberapa jauh suatu
tingkat efektivitas memberikan kepuasan, nilai, atau kesempatan yang
diraih. Kesamaan (equity) berkenaan dengan rasionalitas legal dan sosial,
dengan mengacu pada distribusi akibat (hasil) dan usaha dari kelompok
yang berbeda dalam masyarakat. Kesamaan erat kaitannya dengan konsep
keadilan atau kewajaran bagi semuanya. Responsivitas, berkaitan dengan
seberapa jauh suatu tindakan (kebijakan) dapat memuaskan kebutuhan,
preferensi atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu.  Kriteria ini
sangat penting, karena analis yang dapat memuaskan semua kriteria
(efektivitas, efisiensi, kecukupan, dan kesamaan) masih gagal jika belum
mampu menanggapi kebutuhan aktual kelompok yang semestinya
diuntungkan dari adanya suatu kebijakan. Jika semua kriteria tersebut
terakomodasi, maka dengan sendirinya kriteria terakhir, kelayakan,  juga
terakomodasi.
Pelaksanaan Kebijakan Publik
Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam
serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku
internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting
adalah adanya suatu standar pelayanan publik, yang menjabarkan pada
masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa
mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga bagaimana bentuk layanan
itu. Hal ini akan mengikat pemerintah (negara) sebagai pemberi layanan
dan masyarakat sebagai penerima layanan. Fokus politik pada kebijakan
publik mendekatkan kajian politik pada administrasi negara, karena satuan
analisisnya adalah proses pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi
dan pengawasan termasuk pelaksanaannya. Dengan mengambil fokus ini
tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan kekuatan politik atau
budaya politik sebagai variabel bebas dalam upaya menjelaskan kebijakan
publik tertentu sebagai variabel terikat.

Anda mungkin juga menyukai