Anda di halaman 1dari 24

BAB VI

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

A. Konsep Implementasi Kebijakan


Pada dasarnya setiap usulan suatu kebijakan telah diterima dan disahkan oleh
pihak yang berwenang, maka kebijakan pemerintah tersebut telah siap untuk
diimplementasikan. Implementasi kebijakan pada hakekatnya merupakan
serangkaian kegiatan yang terencana, sistematis dan bertahap yang dilakukan oleh
pihak-pihak terkait sesuai dengan garis-garis ketentuan yang tertuang dalam suatu
kebijakan tersebut untuk mencapai tujuan tertentu.
Udoji (dalam Wahab (2008:59) mengatakan bahwa: ”the execution of
poilicies is as important if not more important that policy making. Policies will
remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented.”
(pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih
penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian
atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak
diimplementasikan). Sementara Van Metter dan Van Horn (dalam Wahab,
2008:65) merumuskan proses implementasi sebagai berikut:“those actions by
public or private individuals (or groups) tgat are directed at the achievement of
objectives set forth in prior policy decisions” (tindakan-tindakan yang dilakukan
baik oleh individu-individu/pejabat/pejabat atau kelompok pemerintah atau swasta
yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijaksanaan).
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa proses implementasi
kebijakan mengarahkan pemahaman kepada sejauhmana tindakan para pelaksana
sesuai dengan prosedur dan tujuan kebijakan yang telah digariskan oleh pembuat
kebijakan. Fokus perhatian tersebut membawa konsekuensi pada perhatian
terhadap aspek organisasi atau birokrasi sebagai ukuran efisien dan efektivitas
pelaksanaan dari suatu kebijakan pemerintah daerah.Sebagai aktivitas fungsional,
penilaian kebijakan untuk menilai hasil-hasil berbagai macam program, termasuk
dalam proses implementasi kebijakan perlu dilakukan. Jones (dalam Islamy,

34
35

2000:112-113) mengartikan penilaian kebijakan sebagai : “... an activity designed


to judge the merits of government program which varies significantly in the
specipication of object, the techniques of measuremen, and the methods of
analysis”. (“ ... suatu aktivitas yang dirancang untuk menilai hasil-hasil program
pemerintah yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat penting dalam
spesifikasi obyeknya; teknik-teknik pengukurannya dan metode analisanya).”
Kegiatan menilai kebijakan negara, sebagian besar dilakukan oleh pembuat
kebijakan itu sendiri, misalnya oleh eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yang sering
kali hasilnya bersifat politis dan mempuyai kecenderungan tertentu.Dalam hal ini
kriteria pribadi (personal values), idiologi (idiological values), dan sebagainya
seringkali berpengaruh terhadap obyektivitas penilaiannya.Kriteria ilmiah masih
sering terabaikan.Sebagian yang lain, penilaian kebijakan dilakukan di luar dari
pemerintah yang cenderung lebih obyektif terhadap pelaksanaan nyata dan atau
konsekuensi-konsekuensi yang mengiringi implementasi kebijakan tersebut.
Penilaian yang terakhir sangat dibutuhkan, karena dengan mengetahui hasil dan
dampak kebijakan tersebut akan dapat dikenali tingkat efektifitas kebijakan dan
sebagai bahan masukan yang sangat berguna dalam memperbaiki kebijakan yang
telah ada ataupun perumusan kebijakan yang baru.
Menurut Islamy (2000:114-115) menegaskan bahwa “terdapat perbedaan
antara pengertian hasil kebijakan (policy outputs) dengan dampak kebijakan
(policy outcames atau policy consequences). Hasil kebijakan adalah apa-apa yang
telah dihasilkan dengan adanya proses perumusan kebijakan pemerintah;
sedangkan dampak kebijakan adalah akibat-akibat dan konsekuensi-konsekuensi
yang ditimbulkan dengan dilaksanakannya kebijakan-kebijakan tadi.”Penilaian
kebijakan negara banyak dilakukan untuk mengetahui dampak kebijakan negara.
Menurut Anderson (dalam Islamy: 2000:115), dimensi dampak kebijakan
negara itu dalam berbagai bentuk sebagai berikut:
- Dampak kebijaksanaan yang diharapkan (intended consequences) atau tidak
diharapkan (unintended consequences), baik pada problemnya maupun pada
masyarakat.
36

- Limbah kebijaksanaan terhadap situasi atau orang-orang (kelompok) yang


bukan menjadi sasaran/tujuan utama dari kebijaksanaan tersebut, ini biasanya
disebut “externalities” atau “spillover effects”. Limbah kebijaksanaan ini bisa
positif atau bisa pula negatif.
- Dampat kebijaksanaan dapat terjadi atau berpengaruh pada kondisi sekarang
atau kondisi yang akan datang.
- Dampak kebijakan terhadap “biaya” langsung (direct costs).
- Dampak kebijakan terhadap “biaya” tidak langsung atau (indirect costs)
sebagaimana yang dialami oleh anggota-anggota masyarakat.
Terdapat beberapa sebab, bahwa kebijakan negara (pemerintah) tidak
mencapai hasil atau memperoleh dampak yang diharapkan. Menurut Islamy
(2000:117) tidak tercapainya tujuan kebijaksanaan ini disebabkan oleh adanya
faktor-faktor sebagai berikut:
- Pertama, tersedianya sumber-sumber yang terbatas, baik tenaga, biaya,
material, waktu dan sebagainya.
- Kedua, kesalahan dalam pengadministrasian kebijaksanaan-kebijaksanaan
negara yang akan mengurangi tercapainya dampak kebijasanaan negara.
- Ketiga, problema-problema publik seringkali timbul karena adanya pelbagai
macam faktor, sedangkan kebijaksanaan seringkali dirumuskan hanya atas
dasar salah satu dan sejumlah kecil faktor-faktor tersebut.
- Keempat, masyarakat memberikan respon dengan cara-caranya sendiri
sehingga dapat mengurangi atau menghilangkan dampaknya.
- Kelima, adanya kebijaksanaan negara yang mempunyai tujuan bertentangan
satu sama lain.
- Keenam, adanya usaha-usaha untuk memecahkan beberapa masalah tertentu
yang memakan biaya lebih besar dari masalah-masalahnya sendiri.
- Ketujuh, banyaknya problem-problem publik yang tidak dapat dipecahkan
secara tuntas.
- Kedelapan, terjadinya perubahan sifat permasalahan ketika kebijaksanaan
sedang dirumuskan atau dilaksanakan.
37

- Kesembilan, adanya masalah-masalah baru yang lebih menarik dan dapat


mengalihkan perhatian orang dari masalah-masalah yang telah ada.
Dalam implementasi suatu kebijakan, terdapat banyak faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja atau keberhasilan implementasi tersebut. Kompleksitas
implementasi kebijakan bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor (pelaksana)
dan unit organisasi atau badan-badan yang terlibat, tetapi juga karena proses
implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks. Variabel-variabel
itu, baik berupa variabel yang individual maupun variabel yang
organisasional.Keseluruhan variabel tersebut merupakan suatu rangkaian yang
tidak terpisahkan yang dapat menjadi faktor pendorong maupun faktor
penekan.Dalam kaitan ini para pengambil keputusan dalam implementasi
kebijakan hendaknya menyadari terhadap berbagai faktor tersebut.
Secara garis besar faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan dalam
penelitian ini dapat dilihat dari faktor/variabel lingkungan implementasi (context
of implementation) maupun variabel isi kebijakan (content of policy). Menurut
Goggin, M.L. et.al. (1990) menyatakan bahwa “kapasitas organisasi dapat
memberi kontribusi pada keberhasilan implementasi.Menurutnya kemampuan
organisasi akan dapat dipengaruhi (produk dari) tiga hal pokok yaitu : struktur
organisasi, personil (human resources) dan finansial”. Gogin menjelaskan bahwa
meskipun suatu kebijakan telah dirumuskan dengan jelas (yang memungkinkan
untuk diimplementasikan secara mudah), akan tetapi mungkin saja bisa gagal oleh
kelemahan struktur organiasasi atau kelemahan sistem. Struktur yang ketat dan
tersentralisasi akan mendukung kepatuhan. Jika semua dalam kondisi sama
(struktur, dsb.) maka keberhasilan implementasi nampak akan sangat tergantung
pada karakter dan tujuan kebijakan itu sendiri, jumlah staf yang memadai, ahli, dan
mempunyai motivasi tinggi akan mempermudah proses konversi pesan kebijakan
menjadi realita. Hal ini akan lebih berhasil lagi juga didukung oleh kondis finansial
yang memadai.
Dalam konteks variabel organisasional, Steer (1980:72) menyatakan bahwa
faktor-faktor yang menyokong keberhasilan akhir suatu organisasi dapat
ditentukan dalam empat kelompok umum, yaitu karakteristik organisasi,
38

karakteristik lingkungan, karakteristik pekerja, kebijakan dan praktek manajemen,


yang diuraikan sebagai berikut:
1) Karakteristik organisasi, terdiri dari struktur dan teknologi organisasi. Yang
dimaksud dengan struktur adalah hubungan yang relatif tetap sifatnya
seperti dijumpai dalam organisasi, sehubungan dengan sumber daya
manusia. Struktur adalah cara unik organisasi menyusun orang-orangnya
untuk menciptakan sebuah organisasi. Dengan demikian pengertian struktur
meliputi faktor-faktor seperti luasnya desentralisasi pengendalian, jumlah
spesialisasi pekerjaan, cakupan perumusan interaksi antar pribadi dan
seterusnya. Jadi, keputusan mengenai cara bagaimana orang-orang akan
dikelompokkan untuk menyelesaikan pekerjaan. Dilain pihak, teknologi
adalah mekanisme suatu organisasi untuk mengubah masukan mentah
menjadi keluaran jadi.Teknologi dapat memiliki berbagai bentuk, termasuk
variasi-variasi dalam pengetahuan teknis yang dipakai untuk menunjang
kegiatan menuju sasaran.
2) Karaktristik lingkungan, mencakup dua aspek yaitu pertama lingkungan
ekstern, yaitu semua kekuatan yang timbul diluar batas-batas organisasi dan
mempengaruhi keputusan serta tindakan di dalam organisasi (contoh:
kondisi ekonomi dan pasar, peraturan pemerintah). Yang kedua adalah
lingkungan intern, yang dikenal sebagai iklim organisasi meliputi macam-
macam atribut lingkungan kerja (contoh: pekerja sentris, orientasi pada
prestasi) yang mempunyai hubungan dengan segi-segi tertentu dari
efektivitas, khususnya atribut-atribut yang diukur pada tingkat individual
(contoh: sikap kerja, pretasi).
3) Karakteristik pekerja, perhatian harus diberikan kepeda perbedaan
individual antara pekerja dalam hubungannya dengan efektivitas. Pekerja
yang berlainan mempunyai pendangan, tujuan, kebutuhan dan kemampuan
yang berbeda-beda. Variasi sifat manusia ini sering menyebabkan perilaku
orang berbeda satu sama lain, walaupun mereka ditempatkan pada
lingkungan kerja yang sama. Perbedaan-perbedaan individual ini dapat
mempunyai pengaruh yang langsung terhadap dua proses yang penting,
39

yang dapat berpengaruh nyata terhadap efektivitas, yaitu rasa keterikatan


terhadap organisasi atau jangkauan identifikasi para pekerja dengan
majikannya, dan prestasi kerja individual. Tanpa rasa keterikatan dan
prestasi, efektivitas adalah mustahil.
4) Kebijakan dan praktek manajemen. Peran manajemen dalam prestasi
organisasi meliputi gaya, kebijakan dan praktek kepemimpinan dapat
merintangi pencapaian tujuan. Peran menejer memainkan peran sentral
dalam keberhasilan suatu perusahaan melalui perencanaan, koordinasi dan
memperlancar kegiatan yang ditujukan kearah sasaran.Adalah kewajiban
mereka untuk menjamin bahwa struktur organisasi konsisten dengan dan
menguntungkan untuk teknologi dan lingkungan yang ada.Adalah tanggung
jawab mereka untuk menetapkan suatu sistem imbalan yang pantas
sehingga para pekerja dapat memuaskan kebutuhan dan tujuan pribadinya
sambil mengejar sasaran organisasi. Peranan manajemen dalam
mengkoordinasikan orang dan proses demi keberhasilan organisasi juga
semakin penting artinya.
Menurut Bryson (1995) faktor yang mempengaruhi terhadap kinerja
(keberhasilan dalam implemetasi) bukan semata bersifat internal seperti input
proses manajemen, tetapi juga lingkungan eksternal. Walaupun faktor lingkungan
eksternal ini sering kali berada di luar jangkauan intervensi organisasi, namun
pengaruhnya yang cukup signifikan terhadap organisasi, maka kiranya faktor ini
tetap harus menjadi perhatian dalam upaya peningkatan kinerja implementasi.
Bryson juga menyatakan bahwa perkembangan di lingkungan internal dan
eksternalnya, tentunya kembali pada spesifikasi permasalahan yang dihadapinya.
Apakah permasalahan itu pada aspek inputnya atau aspek proses manajemennya,
yang kemudian pada sisi mana dari aspek tersebut yang paling diprioritaskan
kembali untuk dibenahi, baru kemudian dapat ditentukan upaya-upaya relevan
yang dapat dilakukan guna meningkatkan kinerja tersebut.Bryson juga
menjelaskan, guna lebih meningkatkan kinerja lembaga/badan/dinas terkait,
aspek-aspek yang dapat berpengaruh yakni pertama aspek-aspek input atau
sumber-sumber dayanya (resources) seperti (1) pengawasan sumber daya manusia
40

(2) anggaran (3) sarana prasarana (4) informasi (5) budaya organisasi; Kedua,
berkaitan dengan proses manajemen seperti (1) proses perencanaan (2) proses
pengorganisasian (3) proses pelaksanaan (4) proses penganggaran (5) proses
pengawasan (6) proses evaluasi, dsb. Selain faktor internal tersebut, perlu juga
diperhatikan aspek-aspek lingkungan eksternal, yang secara langsung maupun
tidak langsung ikut mempengaruhi kinerja implementasi, seperti perubahan-
perubahan kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi, juga pihak-pihak
yang terkait dengan penyediaan input misalnya wajib pajak/retribusi, para pembuat
kebijakan dan sebagainya.
Menurut Higgins (dalam Salusu, 1996) menyebutkan ada dua kondisi yang
dapat mempengaruhi suatu kinerja implementasi.Kondisi pertama yaitu kapabilitas
organisasi, yaitu konsep yang dipakai untuk menunjuk pada kondisi lingkungan
internal, yang terdiri atas dua faktor stratejik yaitu kekuatan dan
kelemahan.Kekuatan adalah situasi dan kemampuan internal yang bersifat positif,
yang memungkinkan organisasi memiliki keuntungan stratejik dalam mencapai
sasarannya.Sedangkan kelemahan adalah situasi dan ketidakmampuan internal
yang mengakibatkan organisasi tidak dapat mencapai sasarannya.Faktor yang perlu
diperhitungkan dalam melihat kemampuan internal organisasi antara lain: struktur
organisasi, sumber daya, baik dana maupun tenaga, lokasi, fasilitas yang dimiliki,
integritas seluruh karyawan dan integritas kepemimpinan.
Kondisi yang kedua adalah lingkungan eksternal, yang terdiri atas dua faktor
stratejik, yaitu peluang dan ancaman atau tantangan. Peluang sebagai situasi dan
faktor-faktor eksternal yang membantu organisasi memcapai atau bahkan bisa
melampaui pencapaian sasarannya. Sedangkan ancaman adalah faktor-faktor
eksternal yang menyebabkan organisasi tidak dapat mencapai sasarannya.Dalam
mengamati lingkungan ekternal, ada beberapa sektor yang peka secara stratejik,
artinya bisa menciptakan peluang, atau sebaliknya merupakan
ancaman.Perkembangan teknologi misalnya, peraturan perundangan, atau situasi
keuangan, dapat saja memberi keuntungan atau kerugian bagi organisasi.Yang
jelas bahwa peluang dan ancaman hadir pada setiap saat dan senantiasa melampaui
sumber daya yang tersedia.Artinya kekuatan yang dimiliki organisasi selalu berada
41

dalam posisi lebih lemah dalam menanggulangi ancaman, bahkan dalam mengjar
dan memanfaatkan peluang sekalipun.
Implementasi kebijakan juga dipengaruhi oleh variabel isi kebijakan itu
sendiri (content of policy). Karena itu, agar kebijakan publik berwibawa dalam
arti ditaati, direalisasi, berefek, berdampak positif; sehingga berguna, bermanfaat
dan memecahkan masalah, maka menurut Atmosudirdjo (1990:166) diperlukan
tiga syarat utama yaitu:
(1) Isinya, konsepnya, idenya harus tepat;
(2) Perumusannya harus jelas, dimengerti dan mudah dipahami oleh orang-
orang (pejabat, warga masyarakat, ... dan sebagainya) yang bersangkutan
dan berkepentingan;
(3) Sarana-sarana (instrumen-instrumennya) yang digunakan harus efektif.
Dijelaskan pula, bahwa apakah isi suatu kebijakan publik cukup tepat guna
mengatur dan menjadi pedoman bagi berbagai pihak yang berkepentingan
(stakeholders), serta dirumuskan secara jelas, hal itu juga akan mempengaruhi
pada keberhasilan implementasi. Efektif atau tidaknya sarana atau instrumen yang
dipergunakan untuk memperoleh, memperlancar, mempercepat atau
memungkinkan suatu tujuan atau beberapa tujuan tercapai (misal tempat, bahan
dsb), juga dapat mempengaruhi keberhasilan dalam proses implementaasi suatu
kebijakan.

B. Model-model Implementasi Kebijakan Publik.


Implementasi kebijakan akan lebih mudah dipahami apabila menggunakan
suatu model atau kerangka pemikiran tertentu. Suatu model akan memberikan
gambaran secara lengkap mengenai suatu obyek, situasi, atau proses tersebut, serta
bagaimana korelasi antara komponen-komponen tersebut. Berikut ini diuraikan
beberapa model implementasi kebijakan publik.
a) Model Daniel Mazmanian dan Paul Sabatir.
Model kebijakan publik yang dikemukan Mazmanian dan Sabatir
(1983:21) disebut A Framework for Policy Implementation Analysis. Peran
penting dari implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam
42

mengidenfikasikan variabel-variabel yamg mempengaruhi tercapainya tujuan-


tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-variabel
tersebut secara umum di klasifikasikan menjadi tiga kategori variabel bebas,
yaitu: (1) Tractability of the problem (risalah tentang tingkat kesulitan
permasalahan yang akan dikendalikan); (2) Ability of policy desiction to
structure implemention (kemampuan keputusan kebijakan untuk
menstrukturkan proses impelemntasi secara tepat; (3) Non-statutory variables
affecting implementation (variabel-variabel di luar kebijakan/peraturan
perundangan yang mempengaruhi implementasinya). Ketiga variabel bebas
(independent variables) tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut:
(1) Risalah tentang tingkat kesulitan permasalahan yang akan dikendalikan
dengan indikator :
a. Kesukaran-kesukaran teknis.
b. Keragaman perilaku kelompok sasaran.
c. Presentase kelompok sasaran dalam totalitas penduduk.
d. Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan.
(2) Kemampuan keputusan kebijakan dalam menstrukturkan proses
implementasi, dengan indikator:
a. Kejelasan dan konsistensi tujuan.
b. Digunakannya teori kausal yang memadai.
c. Ketepatan alokasi sumber dana.
d. Keterpanduan hierakhi dalam dan diantara lembaga pelaksana.
e. Aturan-aturan pembuatan keputusan dari badan pelaksana.
f. Rekruitmen para pejabat pelaksana.
g. Akses formal pihak luar.
(3) Variabel di luar kebijakan/peraturan perundangan yang mempengaruhi
implementasi, ditentukan oleh indikaktor :
a. Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi.
b. Dukungan publik.
c. Sikap dan sumber-sumber yang di dimiliki kelompok-kelompok.
d. Dukungan dari pejabat atasan.
43

e. Komitmen dan kemampuan kepemimpinan penjabat-pejabat


pelaksana.
Sedangkan tahapan-tahapan dalam poses implementasi kebijakan publik
sebagai variabel tergantung (dependent variables) yang dipengaruhi oleh
variabel-variabel bebas, terdiri dari:
a. Output (keputusan-keputusan) kebijakan institusi-institusi pelaksana.
b. Kesediaan kelompok sasaran untuk mematuhi output kebijakan.
c. Dampak nyata output kebijakan.
d. Persepsi terhadap dampak nyata output kebijakan.
e. Perbaikan (revisi) mendasar terhadap kebijakan.

Mudah/tidaknya Masalah dikendalikan


Kesukaran-kesukaran teknis.
Keragaman perilaku kelompok sasaran
dibanding jumlah penduduk.
Ruag lingkup perubahan perilaku yang
diinginkan.

B. Kemampuan Kebijakan untuk C. Variabel di luar kebijakan yang


menstruktur proses implementasi mempengaruhi proses implementasi

Kejelasan dan konsistensi tujuan Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi.


Dipergunakannya teori kausal yang Dukungan publik.
memadai. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki
Ketepatan alokasi sumber dana. kelompok-kelompok.
Keterpaduan hierarki dalam dan diantara Dukungan dari pejabat atasan.
lembaga pelaksana. Komitmen dan kemampuan
Aturan-aturan keputusan dari badan Kepemimpinan dari pejabat-pejabat
pelaksana. pelaksana
Rekruitmen pejabat pelaksana
Akses formal pihak luar.

D. Tahap-tahap dalam Proses Implementasi (Variabel Tergantung)


44

Sumber: Wahab (2008:82).


Gambar 2.1:
Model Pendekatan A Framework for Implementation Analysis (Daniel
Mazmanian dan Paul Sabatier)

b) Model Edward III.


Model implementasi kebijakan publik Edward III (dalam Agustino,
2006:149), yaitu implementasi kebijakan publik dengan “Direct and indirect
impect on implementation.”Menurut model ini ada empat variabel yang sangat
menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu: (1)
komunikasi; (2) sumberdaya;(3) disposisi; dan (4) struktur birokrasi.
Selanjutnya dari ke-empat variabel dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut:
Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu
kebijakan adalah komunikasi. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai
dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut, yaitu:
(a) Transmisi; bahwa penyaluran komunikasi yang baik akan dapat
menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Mis-komunikasi sering
terjadi, karena komunikasi melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga
apa yang diharapkan bisa terdistorsi di tengah jalan.
(b) Kejelasan; bahwa komunikasi yang diterima oleh para pelaksana
kebijakan haruslah jelas dan tidak membingungkan.
(c) Konsistensi; bahwa perintah yang diberikan dalam pelaksanaan
komunikasi haruslah konsisten dan jelas. Jika perintah yang diberikan
sering berubah-ubah, maka menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di
lapangan.
Variabel kedua, adalah sumber daya. Indikator sumber daya terdiri dari
beberapa elemen, yaitu:
(a) Staf. Staf merupakan sumber daya utama dalam implementasi
kebijakan.Kegagalan yang sering terjadi karena staf yang tidak
mencukupi, memadai ataupun tidak kompeten dibidangnya.Penambahan
45

staf dan implementator saja tidak cukup, tetapi diperlukan kecukupan staf
dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan.
(b) Informasi. Informasi yang dibutuhkan dalam implementasi mencakup:
(1) Informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan.
Implementator harus tahu apa yang mereka harus lakukan disaat
mereka diberi perintah untuk melakukan tindakan;
(2) Informasi data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan
regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementator harus
mengetahui apakah orang lain yang terlibat di dalam pelaksanaan
kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.
(c) Wewenang. Aspek wewenang, pada umumnya kewenangan harus formal
agar perintah dapat dilaksanakan.Efektivitas kewenangan diperlukan
dalam pelaksanaan implementasi. Efektivitas akan menyurut apabila
wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingan pribadi
atau kelompoknya.
(d) Fasilitas. Tanpa fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka
implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
Variabel ketiga adalah disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan. Jika
pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan
tidak hanya harus mengetahui apa yang harus dilakukan, tetapi juga harus
memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam prakteknya
tidak menjadi bias. Hal yang perlu dicermati pada variabel disposisi ini
adalah:
(1) Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap para pelaksana akan
menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi
kebijakan bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan
yang diinginkan oleh pejabat pejabat tinggi. Karena itu pemilihan dan
pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang
mempunyai dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan; lebih khusus
lagi bagi kepentingan warga.
46

(2) Insentif; bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi
masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi
insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut
kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para
pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebiajkan.
Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu yang mungkin
akan menjadi faktor pendorong agar para pelaksana kebijakan
melaksanakan perintah dengan baik. Ini dilakukan sebagai upaya
memenuhi kepentingan pribadi (self interest) atau organisasi.
Variabel keempat, adalah struktur birokrasi. Kelemahan struktur birokrasi
dapat menghambat proses implementasi, meskipun berbagai faktor
sebelumnya terpenuhi. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus
dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan, dengan jalan melakukan
koordinasi dengan baik. Dua karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja
struktur birokrasi ke arah yang lebih baik adalah:
(1) Melakukan standard operating prosedures (SOPs). SOPs adalah suatu
kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai atau pelaksana
kebijakan/administrator/birokrat untuk melaksanakan kegiatannya pada
tiap harinya sesuai dengan standar yang ditetapkan.
(2) Melaksanakan fragmentasi. Pelaksanaan pragmentasi adalah upaya
penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas
pegawai diantara beberapa unit kerja.
47

Secara bagan model implementasi kebijakan ini digambarkan sebagai berikut:

KOMUNIKASI

SUMBER DAYA

IMPLEMENTASI

DISPOSISI

STRUKTUR
BIROKRASI

Sumber: Agustino (2014:150)

Gambar 2.2
Model Direct and Indirect Impact on Implementation (George Edward III).

c) Model Van Meter dan Van Horn.


Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh Van Meter dan
Van Horn (1975) yang disebut A Model of the Policy Implementation
Process.Model iniberanjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam
proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakasanaan yang akan
dilaksanakan, selanjutnya ditawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk
menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model
konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan prestasi kerja (performance),
seperti gambar di bawah ini.
48

Komunikasi antar
organisasi dan kegiatan pelaksanaan

Ukuran dan tujuan kebijaksanaan


Prestasi Kerja

Ciri Badan Sikap Para Pelaksana


Pelaksana

Sumber-sumber kebijaksanaan

Lingkungan: Ekonomi, Sosial dan Politik

Sumber: D.S van Meter and van Horn (1975:445-448).

Gambar 2.3
Model Proses Implementasi Kebijaksanaan

Van Meter dan Van Horn kemudian berusaha untuk membuat tipologi
kebijakan yaitu menurut: (a) jumlah masing-masing perubahan yang akan
dihasilkan; dan (b) jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara
pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi. Jalan yang mempertalikan
antara kebijakan dan prestasi kerja tersebut adalah sejumlah variabel bebas yang
saling berkaitan, variabel-variabel itu menurut Wahab (2008:79) adalah :
1. Ukuran dan tujuan kebijaksanaan
2. Sumber-sumber kebijaksanaan
3. Ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana.
4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
5. Sikap para pelaksana.
6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
Variabel-variabel kebijakan bersangkut pula dengan tujuan-tujuan yang telah
digariskan dan sumber-sumber yang tersedia.Pusat perhatian pada badan-badan
pelaksana meliputi, baik organisasi formal maupun informal, sedangkan
komunikasi antar organisasi beserta kegiatan-kegiatan pelaksanaannya mencakup
49

hubungan di dalam lingkungan sistem politik dan dengan kelompok-kelompok


sasaran.

d) Model Goggin, Bowman, dan Lester.


Goggin, Bowman, dan Lester (dalam Nugroho, 2014:670) mengembangkan
apa yang disebutnya sebagai “communication model” untuk implementasi
kebijakan, yang disebutnya sebagai generasi ketiga model implementasi kebijakan.
Model ini bertujuan mengembangkan sebuah model implementasi kebijakan yang
lebih ilmiah dengan mengedepankan pendekatan metode penelitian dengan adanya
variabel independen, intervening, serta dependen, dan meletakkan faktor
komunikasi sebagai penggerak dalam implementasi kebijakan. Model ini
digambarkan dengan model sebagai berikut:

Independent Intervening Dependent


Variables Variables Variables

Feedback
Federal Level Inducements and Constrains

State Implementation

State
capacity

State
Dectional
Outcome

State-and Local Level Inducements and Constrains

(Feedback)

Gambar 2.3:
Model communication (Goggin, Bowman, Dan Lester)

e) Model Grindle.
Dalam memahami bagaimana implementasi kebijakan bekerja dalam
rangka mewujudkan tujuan kebijakan, akan dibahas model implementasi
kebijakan dari Grindle (1986:11). Menurut model ini bahwa keberhasilan
suatu implementasi kebijakan publik amat ditentukan oleh implementasinya
yang terdiri dari content of policy dan context of implementation.Content of
50

policy mengacu pada muatan-muatan yang terdapat dalam kebijakan yang


dihasilkan.Sedangkan Context of implementation adalah kondisi-kondisi
lingkungan yang mewarnai implementasi kebijakan.
1. Content of Policy menurut Grindle adalah :
a. Interest Affected (kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi).
Berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu
implementasi kebijakan. Indikator ini berargumen bahwa suatu
kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan banyak kepentingan.
b. Type of Benefits (tipe manfaat). Content of Policy berupaya untuk
menunjukkan atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus
terdapat beberapa manfaat yang menunjukkan dampak positif yang
dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang dilaksanakan.
c. Extent of Change Envision (derajat perubahan yang ingin dicapai).
Setiap kebijakan mempunyai derajat perubahan yang hendak dicapai.
Content of policy yang ingin dijelaskan pada poin ini adalah apa saja
perubahan yang ingin dicapai dari pelaksanaan Sunset Policy.
d. Site of Decision Making (letak pengambil keputusan). Pengambilan
keputusan dalam suatu kebijakan. Site of Decision Making
menunjukkan dimana letak pengambil keputusan dari suatu kebijakan
yang diimplementasikan.
e. ImplementerProgram(pelaksana program). Dalam menjalankan suatu
kebijakan perlu didukung adanya pelaksana kebijakan yang kompeten
dari kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Hal ini harus sudah
terdata atau terdapat dengan baik pada bagian ini.
f. Resources Committed (sumber-sumber daya yang digunakan).
Pelaksanaan suatu kebijakan juga harus didukung oleh sumber-sumber
daya yang mendukung agar pelaksanaannya berjalan dengan baik.
2. Context of Implementationmenurut Grindle adalah :
a. Power, Interest and Strategy of Actor Involved (kekuasaan,
kepentingan-kepentingan dan strategi dari aktor yang terlibat). Dalam
suatu kebijakan, perlu dipertimbangkan pula kekuatan atau kekuasaan,
51

kepentingan, serta strategi yang digunakan oleh para aktor yang terlibat
guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi
kebijakan.
b. Institution and Regime Characteristic (karakteristik lembaga dan rezim
yang berkuasa). Lingkungan dimana suatu kebijakan dilaksanakan juga
berpengaruh terhadap keberhasilannya. Karakteristik suatu lembaga
akan turut mempengaruhi keberhasilan kebijakan.
c. Compliance and Responsiveness (tingkat kepatuhan dan adanya respon
dari pelaksana). Kepatuhan dan adanya respon dari para pelaksana
kebijakan merupakan hal penting yang mempengaruhi keberhasilan
kebijakan.
Secara bagan,model implementasi kebijakan dari Grindle dimaksud seperti
gambar di bawah ini:

Implementing activities influenced by :


Policy Goals Content of Policy
Interest Affected
Type of Benefits
Extent of Change Envision
Goal achieved? Site of
Actions programs and individual Decision
projects Makingand funded
designed Outcomes :
Program Implementer Impact on society, individuals and groups
Resources Committed Change and its acceptance
Context of Implementation
Power, Interest and Strategy of Actor Involved Extent of Change Envision
Institution and Regime Characteristic Program
Compliance and Responsiveness
Program delivered as designed?

MEASURING SUCCESS

Sumber: Grindle (1986:11).


Gambar 2.4.
Implementasi sebagai Proses Politik dan Administrasi
(Implementation as A Political and Administration Process)
52

C. Konsep Pelayanan Publik.


Implementasi kebijakan pada hakekatnya juga melakukan pelayanan publik
oleh berbagai tingkatan pemerintahan. Menurut Savas (1987:62) bahwa pada
sektor publik, terminologi pelayanan pemerintah (government service) diartikan
sebagai pemberian pelayanan oleh agen pemerintah melalui pegawainya (“the
delivery of service by a government agency using its own employees”). Menurut
Davidow (dalam Lovelock, 1992:18) menyebutkan bahwa pelayanan adalah hal-
hal yang jika diterapkan terhadap sesuatu produk akan meningkat daya atau nilai
terhadap pelanggan (service is those thing which when added to a product,
increase its utility of value to the costumer). Lovelock (1992:19) menyebutkan
bahwa pelayanan yang baik membutuhkan instruktur pelayanan yang sangat baik
pula. Hal yang paling penting adalah membuat setiap orang dalam organisasi
berorientasi pada kualitas.
Crosby, Lethimen dan Wyckoff (dalam Lovelock, 1992:217) mendefinisikan
kualitas pelayanan adalah “penyesuaian terhadap perincian-perincian
(conformance to specification) dimana kualitas ini dipandang sebagai derajat
keunggulan yang ingin dicapai.Dilakukannya kontrol terus menerus dalam
mencapai keunggulan tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan pengguna jasa.
Pelayanan merupakan respon terhadap kebutuhan manajerial yang hanya
akan terpenuhi kalau pengguna jasa itu mendapatkan produk yang mereka inginkan
(Lovelock, 1992:5). Jika demikian halnya, maka apa yang menjadi perumpamaan
bahwa pembeli adalah raja (the costumer is always right), menjadi sangat penting
dan menjadi konsep yang mendasar bagi peningkatan manajemen pelayanan.
Menurut Wasistiono (2003:43) pelayanan umum adalah pemberian jasa baik oleh
pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah ataupun pihak swasta kepada
masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan atau
kepentingan masyarakat.
Menurut Gasperz (dalam Sedarmayanti, 2000:194) bahwa kriteria yang
menjadi ciri pelayanan atau jasa, sekaligus membedakannya dari barang, antara
lain yaitu:
1. Pelayanan merupakan output tak berbentuk (intangible output).
53

2. Pelayanan merupakan output variabel, tidak standar.


3. Pelayanan tidak dapat disimpandalam inventori, tetapi dapat dikonsumsi
dalam produksi.
4. Terdapat hubungan langsung yang erat dengan pelanggan melalui proses
pelayanan.
5. Pelanggan berpartisipasi dalam proses memberikan pelayanan.
6. Keterampilan personal “diarahkan” atau diberikan secara langsung kepada
pelanggan.
7. Pelayanan tidak dapat diproduksi secara masal.
8. Membutuhkan pertimbangan pribadi yang tinggi dari individu yang
memberikan pelayanan.
Menurut Thoha (1991:39) memberi pengertian:“pelayanan masyarakat
sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang dan atau kelompok orang atau
instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat
dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.”Kualitas pelayanan (servis quality)
telah menjadi faktor yang mentukan dalam menjaga keberlangsungan suatu
organisasi, tak terkecuali dalam organisasi pemerintahan desa. Pelayanan yang
baik dan sesuai dengan kebutuhan pengguna jasa publik, sangat penting dalam
upaya mewujudkan kepuasan pengguna jasa publik (costumer
satisfaction).Kualitas dalam pemberian pelayanan oleh pemerintah desa sebagai
unit penyelenggara pelayanan publik sangatlah menentukan kinerja pemerintah
desa sebagai unit pelayanan publik tersebut.Kualitas, mengandung banyak arti dan
makna, seperti yang diutarakan oleh beberapa pakar. Tjiptono (dalam
Sedarmayanti, 2000:202) memberikan pengertian kualitas sebagai berikut:
1. Kesesuaian dengan persyaratan/tuntutan.
2. Kecocokan untuk pemakaian.
3. Perbaikan/penyempurnaan berkelanjutan.
4. Bebas dari kerusakan/cacat.
5. Pemenuhan kebutuhan pelanggan semenjak awal dan setiasp saat.
6. Melakukan segala sesuatu secara benar semenjak awal.
7. Sesuatu yang bisa membahagiakanpelanggan.
54

Kualitas pelayanan menurut Gasperz (dalam Sedarmayanti, 2000:203) pada


dasarnya dapat mengacu kepada pengertian berikut:
1. Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan
langsung maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan
pelanggan, dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan
produk itu.
2. Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau
kerusakan.
Berdasarkan pengertian kualitas tersebut dapat dikatakan bahwa kualitas
selalu berfokus pada pelanggan (costumer focussed quality). Suatu produk
didesain, diproduksi, serta pelayanan diberikan untuk memenuhi keinginan
pelanggan.Suatu produk yang dihasilkan oleh pemberi layanan dapat dikatakan
berkualitas apabila sesuai dengan keinginan penerima layanan, dapat dimanfaatkan
dengan baik, serta diproduksi (dihasilkan) dengan cara yang baik dan benar.
Menurut Fitzsimmons dan Mona (1994:190) bahwa kualitas pelayanan merupakan
sesuatu yang kompleks, sehingga untuk menentukan sejauhmana kualitas dari
pelayanan tersebut, dapat dilihat dari lima dimensi, yakni:
1. Reliability, kemampuan untuk memberikan secara tepat dan benar, jenis
pelayanan yang telah dijanjikan kepada konsumen/pelanggan.
2. Responsiveness, kesadaran atau keinginan untuk membantu konsumen dan
memberikan pelayanan yang cepat.
3. Assurance, pengetahuan atau wawasan, kesopan santunan, kepercayaan diri
dari pemberi layanan, serta respek terhadap konsumen.
4. Empathy, kemauan pemberi layanan untuk melakukan pendekatan,
memberi perlindungan, serta berusaha untuk mengetahui keinginan dan
kebutuhan konsumen.
5. Tangibles, penampilan para pegawai dan fasilitas fisik lainnya, seperti
peralatan atau perlengkapan yang menunjang pelayanan.
Menurut De Vrye (dalam Wasistiono 2003:47) mengemukakan tujuh strategi
sederhana untuk meningkatkan pelayanan, yang disingkat menjadi S-E-R-V-I-C-E.
Strategi dimaksud meliputi:
55

1) Self-esteem (memberi nilai pada diri sendiri).


2) Exceed expectation (melampaui yang diharapkan).
3) Recover (rebut kembali).
4) Improve (peningkatan).
5) Care (perhatian).
6) Empower (pemberdayaan).
Prinsip ataupun strategi yang telah dikemukakan di atas memang ditujukan
kepada pemberian jasa yang dikelola oleh sektor bisnis.Akan tetapi ada pula
prinsip atau strategi tertentu yang dapat digunakan pula pada pelayanan jasa sektor
pemerintah, sepanjang dipahami perbedaan mendasar antara kegiatan sektor bisnis
dengan sektor pemerintah.Untuk meningkatkan kualitas pelayanan, perlu diketahui
terlebih dahulu berbagai kekurangan yang ada selama ini. Berdasarkan kekurangan
tersebut dapat disusun langkah-langkah praktis untuk mengantisipasinya.
Macaulay dan Cook (dalam Wasistiono, 2003:48) memberikan kiat meningkatkan
pelayanan kepada pelanggan sebagai berikut:
1) Menciptakan kepemimpinan yang berorientasikan pelanggan (costumer
oriented).
2) Menciptakan citra positif di mata pelanggan.
3) Bersifat tegas tetapi ramah terhadap pelanggan.
4) Pengembangan budaya persuasi positif dan negoisasi.
5) Mengatasi situasi sulit yang dihadapi pelanggan.
Untuk mendapatkan sasaran pemberian pelayanan secara tepat, Macaulay dan
Cook (dalam Wasistiono, 2003:48) menyarankan menggunakan pendekatan S-M-
A-R-T, yaitu:
a) Spescifik (spesifik).
b) Measurable (terukur).
c) Achievable (dapat dicapai).
d) Relevant (relevan).
e) Time-bound (keterkaitan dengan waktu).
Pada tingkat kompetisi yang akan semakin terbuka di era globalisasi, maka
dorongan untuk membangun pemerintahan yang digerakkan oleh pelanggan, yaitu
56

dengan semakin memperbaiki manajemen pelayanan untuk memenangkan


kompetisi tersebut. Oleh karena itu, perlu perubahan perspektif manajemen
pelayanan yang mengubah fokus manajemen dalam penyelenggaraan pelayanan
jasa dimaksud. Perubahan perspektif dimaksud menurut Groonros (dalam
Lovelock, 1992:10) adalah sebagai berikut:
a. Dari berdasarkan daya manfaat produk menjadi daya manfaat total dalam
hubungan dengan pengguna jasa (from the product based utility in the
customer relationship).
b. Dari transaksi jangka pendek menjadi hubungan jangka panjang (from short
– form to long from relationship).
c. Dari kualitas initi (baik barang maupun jasa) kualitas tenis dari suatu
produk pada kualitas yang diharapkan dan dipersepsikan para pengguna
jasa dalam mempertahankan hubungan dengan pengguna jasa (from care
product, good or service, quality the technical quality of the outcome to
total customer perceived quality in enduring customer relations).
d. Dari menghasilkan solusi teknis sebagai proses kunci dalam organisasi
menjadi pengembangan daya manfaat dan kualitas keseluruhan sebagai
proses kuncinya (from production of the technical correlation as the key
process inthe organization to developing total utility and total quality as
the key process).
Menurut Stamatis (dalam Sedarmayanti, 2000:206) bahwa dikaitkan dengan
Total Quality Service (TQS), yang diartikan sebagai sistem manajemen strategik
dan integratif yang melibatkan semua manajer (pimpinan) dan karyawan
(pegawai), serta menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif untuk memperbaiki
secara berkesinambungan, proses organisasi agar dapat memenuhi dan melebihi
kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan yang meliputi strategi, sistem,
sumber daya manusia dan tujuan keseluruhan dari pelanggan. Dalam strategi yang
dibuat, pernyataan diharapkan jelas dan dikomunikasikan secara baik tentang
posisi dan sasaran organisasi dalam hal layanan pelanggan.Sedangkan untuk aspek
yang dirancang, dimaksudkan untuk mendorong, menyampaikan dan menilai
jasa/layanan yang nyaman serta berkualitas bagi pelanggan.Kaitannya dengan
57

aspek sumber daya manusia, yaitu seluruh karyawan di seluruh posisi yang
mempunyai kapasitas dan hasrat untuk responsif terhadap kebutuhan pelanggan.
Tujuan akhir dari keseluruhan sistem total quality service disini adalah
menciptakan kepuasan pelanggan dengan memberi tanggung jawab kepada setiap
karyawan dan melakukan perbaikan yang berkesinambungan. Dengan
memperhatikan atau melaksanakan prinsip-prinsip dimensi atau tolok ukur kualitas
pelayanan dan Total Quality Service (TQS), diharapkan kualitas pelayanan yang
diselenggarakan Pemerintah akan menjadi baik atau berkualitas.
Pada dasarnya kualitas pelayanan dimaksud dapat meliputi aspek
kemampuan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, prosedur yang
dilaksanakan, dan jasa pelayanan administrasi yang diberikan oleh pemberi
layanan. Asek-aspek yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan, yang berkaitan
dengan aspek sumber daya manusia, terdiri dari keterampilan, pengetahuan dan
sikap; dan hal lainnya terkait sarana dan prasarana. Hal ini apabila pengelolaan
atau pemanfaatan sarana dan prasarana dilakukan dengan cepat, tepat dan lengkap,
sesuai dengan kebutuhan atau kepentingan masyarakat. Sedangkan yang berkaitan
dengan aspek prosedur yang dilaksanakan, misalnya ketepatan prosedur, kecepatan
prosedur, kemudahan prosedur. Berkaitan dengan aspek jasa yang diberikan,
misalnya kemudahan dalam memperoleh informasi, kecepatan dan ketepatan
pelayanan, dan lain sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai