Anda di halaman 1dari 49

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian atas penilaian kinerja individual /pegawai telah banyak

dilakukan akan tetapi penelitian berkaitan dengan implementasi instrumen

penilaian kinerja individual masih jarang. Meskipun demikian, penelitian

sebelumnya sangat bermanfaat dalam membangun konsep dan

konstruksi penelitian saat ini. Misalnya,

1. Supriatno, (2010). Menyatakan bahwa implementasi Peraturan

Daerah Kutai Kertanegara Nomor 6 Tahun 2008 tentang

penyelenggaraan sistem informasi administrasi kependudukan sudah

cukup baik dilaksanakan oleh petugas dan masyarakat. Faktor-faktor

pendukung implementasi kebijakan antara lain kebijakan-kebijakan

yang mendasari pelayanan penyelenggaraan sistem informasi

administrasi kependudukan, komitmen petugas pelaksana dan sarana

serta fasilitas yang memadai untuk mendukung kenyamanan

masyarakat pada saat membutuhkan pelayanan. Sedangkan untuk

faktor penghambat implementasi kebijakan antara lain kurang

optimalnya petugas dalam memberikan informasi penyelenggara

sistem informasi administrasi kependudukan karena masih adanya


9

aparatur yang tidak memiliki keterampilan dan keahlian, terbatasnya

tenaga teknis, khususnya yang menangani penyelenggaraan sistem

informasi administrasi kependudukan di Kabupaten Kutai Kartanegara,

dan terbatasnya sarana operasional.

2. Zulfinandar, (2011). Menyatakan bahwa penerapan sistem informasi

kepegawaian belum terlaksana secara optimal, permasalahannya

antara lain: data kepegawaian yang masih tidak lengkap/valid, belum

dipergunakannya sistem informasi kepegawaian berbasis online

secara maksimal, jam kerja unit sistem belum sesuai keinginan

pengguna, perangkat server back up database PNS di lingkungan

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan client/work station server di

lingkungan Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kalimantan Timur

yang tidak sesuai perkembangan jaman, serta keterbatasan personil

dari segi kuantitas maupun kualitas.

2. Salmawati, (2012). Menyatakan bahwa implementasi kebijakan e-

KTP di Kantor Camat Bontang Utara telah berjalan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku dan optimal. Faktor yang mendukung antara

lain adalah peraturan-peraturan yang mendasari pelaksanaan

program e-KTP diseluruh Indonesia, keseriusan dan komitmen camat

dan seluruh jajarannya, dukungan pendanaan yang memadai,

antusiasme warga. Sedangkan faktor penghambatnya adalah


10

sosialisasi belum melibatkan semua pihak, sarana sosilisasi terbatas,

sarana teknologi komputer, jaringan internet dan listrik.

Keseluruhan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa proses

penilaian kinerja di dalam organisasi sangat terkait dengan perilaku

sumber daya manusia baik dalam hal inovasi, budaya kerja maupun

sikap. Fakus penelitian evaluasi kebijakan penilaian kinerja pegawai

negeri sipil pada Dinas Lingkungan Hidup Kota Samarinda.

Penerapan kebijakan penilaian prestasi kerja pegawai negeri sipil juga

sangat terkait dengan tuntutan proses transformasi pegawai negeri

sipil atau aparatur sipil negara. Namun proses transformasi dalam

perilaku sumber daya manusia tidak bisa terlepas dari strategi

implementasi yang diambil oleh organisasi. Penelitian sebelumnya

diharapkan dapat memberikan gambaran sebagai landasan penilaian

kinerja dalam proses transformasi pegawai negeri sipil menjadi

aparatur sipil negara pada Dinas Lingkungan Hidup Kota Samarinda.

2.2. Dasar Teori

2.2.1. Pengertian Kebijakan Publik

Menurut Laswell dan Kaplan (Islamy, 2001: 17) “policy is a

projected program of goals, value dan practices”. Selanjutnya kebijakan

menurut Kertasamita (dalam Widodo, 2001 : 35) merupakan upaya untuk

memahami dan mengartikan (1) apa yang dilakukan (atau tidak dilakukan)
11

oleh pemerintah mengenai suatu masalah, (2) apa yang menyebabkan

dan mempengaruhinya, (3) apa pengaruh dan dampak dari adanya

kebijakan tersebut.

Kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi atau tindakan

tertentu pemerintah yang dirancang untuk mencapai suatu hasil yang

diharapkan, kebijakan publik pada dasarnya adalah suatu keputusan yang

dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu oleh instansi yang

berwenang dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara dan

pembangunan (Mustopadidjaja 2001:92).

Kebijakan menurut Anderson dalam Islamy (2001:17) “ a purposive

course of action followed by an actor or of set of actors in deadling with a

problem or a matter of concern” artinya serangkaian tindakan yang

mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang

pelaku atau kelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.

Batasan mengenai kebijakan publik juga disampaikan oleh Frederich

dalam (Wahab 2001 : 3) adalah suatu tindakan yang mengarah pada

tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam

lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan

tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau

mewujudkan sasaran yang diinginkan.


12

Dan pendapat lain di kemukakan oleh Edwars III dan Ira

Sharkansky dalam Islamy (2001:18-19) “Kebijakan negara adalah suatu

tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan pemerintah” kebijakan

Negara tersebut dapat berupa peraturan perundang-undangan yang

dipergunakan untuk mencapai tujuan dan sasaran dari program-program

dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.

2.2.2. Tujuan dan Sifat Kebijakan Publik

Fungsi utama Negara adalah mewujudkan, menjalankan dan

melaksanakan kebijaksanaan bagi seluruh masyarakat. Hal ini

berkaitan dengan tujuan penting kebijakan pemerintah pada umumnya,

yaitu :

1. Memelihara ketertiban umum (Negara sebagai stabilisator ).

2. Memajukan perkembangan dari masyarakat dalam berbagai hal

(Negara sebagai simulator ).

3. Memadukan berbagai aktivitas (Negara sebagai koordinator).

4. Menunjuk dan membagi meterial dan non material (Negara sebagai

distributor) (Bambang Sunggono,1994:12).

Menurut Winarno (2007) sifat kebijakan bisa diperinci menjadi

beberapa kategori yaitu : a). tuntutan kebijakan adalah tuntutan-tuntutan

yang dibuat oleh aktor swasta atau pemerintah, ditujukan kepada pejabat-

pejabat pemerintah atau sistem politik, b). keputusan kebijakan (policy


13

decisions) didefinisikan sebagai keputusan-keputusan yang dibuat oleh

pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan

subtansi kepada tindakan-tindakan kebijakan publik. Termasuk dalam

kegiatan ini adalah menetapkan undang-undang memberikan perintah-

perintah eksekutif atau pernyataan pernyataan resmi, mengumumkan

peraturan-peraturan administratif atau membuat interpretasi yuridis

terhadap undang-undang, c). pernyataan kebijakan (policy statements)

adalah pernyataan-pernyataan atau pidato-pidato pejabat pemerintah

yang menunjukkan maksud dan tujuan pemerintah dan apa yang akan

dilakukan untuk mencapai tujuan itu. d). hasil kebijakan (policy outputs)

lebih merujuk ke manifestasi nyata dari kebijakan publik, hal-hal yang

sebenarnya dilakukan menurut keputusan-keputusan dan pernyataan-

pernyataan kebijakan. e). dampak kebijakan (policy outcomes) lebih

merujuk pada akibat-akibatnya bagi masyarakat, baik yang diinginkan

yang berasal dari tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah

(Winarno 2007:19-20).

Definisi kebijakan publik diatas adalah jelas bahwa sebenarnya

kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat dalam suatu bentuk

positif seperti undang-undang dan kemudian didiamkan dan tidak

dilaksanakan atau diimplementasikan, tetapi sebuah kebijakan publik


14

harus dilaksanakan atau diimplementasikan agar mempunyai dampak

atau tujuan yang diinginkan dan kemudian dievaluasi pelaksanaannya.

2.2.3. Proses Analisis Kebijakan Publik

Menurut Dunn dalam Winarno (2007:16) kebijakan publik adalah

serangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan (termasuk keputusan

untuk tidak berbuat) yang dibuat oleh badan-badan atau kantor-kantor

pemerintah. Dalam tahapan kebijakan publik adanya proses yang

berlangsung didalamnya yang saling keterkaitan antara faktor-faktor yang

mencakup dari perumusan masalah, formulasi kebijakan, implementasi

kebijakan dan penilaian kebijakan.

Proses kebijakan baru dimulai ketika para pelaku kebijakan mulai

sadar bahwa adanya situasi permasalahan atau kekecewaan dalam

perumusan kebutuhan, nilai dan kesempatan menurut Ackoff dalam Dunn

(2000:121) dalam analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur

umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah dan evaluasi.

Dalam analisis kebijakan prosedur tersebut memperoleh nama-nama

khusus yakni sebagai berikut :

1. Perumusan masalah, menghasilakan pendefinisian dan informasi

mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah terkait dengan

perlunya suatu kebijakan.


15

2. Peramalan, atau prediksi, menyediakan informasi mengenai

konsekuensi dimasa mendatang dari penerapan kebijakan yang akan

dilaksanakan.

3. Rekomendasi, (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai atau

kegunaan relatif dari konsekuensi.

4. Pemantauan yakni (deskripsi) menghasilkan informasi tentang

konsekuensi sekarang dan masa lalu dari suatu fakta terkait dengan

pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan.

5. Evaluasi, yakni mempunyai nama sama dengan yang dipakai dalam

bahasa sehari-hari, menyediakan informasi konsekuensi pemecahan

atau pengatasan masalah, yakni melihat proses dan dampak dari

kebijakan.

Dengan demikian proses keterkaitan tersebut dapat

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1.Tahapan Kebijakan Publik

Perumusan masalah

Forcasting

Rekomendasi Kebijakan

Monitoring Kebijakan
16

Evaluasi Kebijakan

Sumber : William N.Dunn dalam ( Winarno 2007:18)

Analisis kebijakan paling tidak meliputi tujuh langkah dasar yaitu :

1. Formulasi masalah kebijakan untuk dapat mengkaji suatu masalah

publik diperlukan teori, informasi dan metodologi yang relevan dengan

identifikasi masalah akan tepat dan akurat.

2. Formulasi tujuan, suatu kebijakan selalu mempunyai tujuan untuk

memecahkan masalah publik. Analis kebijakan harus jelas, realistis

dan terukur.

3. Penentuan kriteria analisis memerlukan kriteria yang jelas dan

konsisten Penyusunan model, model adalah abtraksi dari dunia nyata

dapat pula didefinisikan sebagai gambaran sederhana dari realitas

perubahan dalam faktor penyebab.

4. Penyusunan model, model adalah abtraksi dari dunia nyata dapat pula

didefinisikan sebagai gambaran sederhana dari realitas perubahan

dalam faktor penyebab.

5. Pengembangan alternatif, alternatif adalah sejumlah alat atau cara-

cara yang dapat dipergunakan untuk mencapai, langsung ataupun

ditentukan.
17

6. Penilaian alternatif, anternatif-alternatif yang ada perlu dinilai

berdasarkan kriteria sebagaimana yang dimaksud pada langkah

gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektifitas dan fisibilitas tiap

alternatif dalam pencapaian tujuan.

2.2.4. Pengertian Implementasi Kebijakan

Menurut Masmanian dan Sabatier dalam Wahab (2005:65)

menjelaskan bahwa makna implementasi adalah memahami apa yang

kenyataannya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau

dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni

kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah

disahkannya pedoman-pedoman kebijakan Negara, yang mencakup baik

usaha-usaha untuk mengadministrasikan maupun menimbulkan

akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Menurut Persons (2005:463) studi implementasi adalah studi

perubahan yang terjadi dan perubahan bisa dimunculkan, juga

merupakan studi tentang mikro struktur dari kehidupan politik yaitu

organisasi di luar dan di dalam sistem politik menjalankan urusan mereka

dan berinteraksi satu sama lain dan motivasi yang membuat bertindak

secara berbeda.

Sedangkan menurut Edwards dalam Islamy (2001 : 1) menyatakan

“Implemantasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara

pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi


18

masyarakat yang dipengaruhinya” itu dapat mengalami kegagalan jika

kebijakan tersebut kurang dimplemetasikan dengan baik oleh para

pelaksana kebijakan.

Dalam setiap perumusan suatu tindakan apakah itu menyangkut

program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan

pelaksanaan atau implementasi, karena suatu kebijaksanaan tanpa

diimplementasikan maka tidak akan banyak berarti. Sesuai dengan hal

tersebut, van Meter dan van Horn dalam Winarno (2007:146)

mengemukakan “ Implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang

dilakukan oleh individu-individu (kelompok-kelompok) pemerintah maupun

swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah

ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya”.

Standar dan sasaran kebijakan didasarkan pada kepentingan

utama terhadap faktor-faktor yang menentukan pencapaian kebijakan.

Mengidentifikasi indikator-indikator pencapaian merupakan tahap yang

krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator

pencapaian ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-

tujuan kebijakan telah direalisasikan.

Berdasarkan pendapat para ahli dalam menentukan tahapan

implementasi kebijakan tersebut, terlihat bahwa implementasi program

adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu- individu atau


19

pejabat-pejabat terhadap suatu objek atau sasaran yang diarahkan untuk

mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

2.2.5. Faktor Implementasi Kebijakan Publik

Pencapaian keberhasilan suatu kebijakan sangat tergantung pada

pelaku yang mempunyai peranan di luar kebijakan. Oleh karena itu dalam

menentukan keberhasilan suatu program maka model kesesuaian

Koorten dalam Tjokrowinoto (1996:136) merupakan bentuk yang ideal

untuk mencapai keberhasilan suatu program/kebijakan. Keberhasilan

suatu program juga akan terjadi jika terdapat kesesuaian antara hasil

program dengan kebutuhan sasaran, syarat tugas-tugas pekerjaan

program dengan kemampuan organisasi pelaksana, serta proses

pengambilan keputusan organisasi pelaksana dengan sarana

pengungkapan kebutuhan sasaran.

Hal yang sama juga dinyatakan oleh Quade dalam LAN

(2008:120) dalam bukunya disebutkan bahwa dalam proses implementasi

kebijakan akan terjadi interaksi dan reaksi dari organisasi pelaksana,

kelompok, sasaran dan faktor-faktor lingkungan yang mengarah pada

konflik, sehingga membutuhkan suatu transaksi sebagai umpan balik

yang digunakan oleh pengambil keputusan.


20

Menurut Edward III dalam Widodo (2012 :96) bahwa terdapat

empat aspek yang dapat digunakan sebagai alat analisa dalam mengukur

keberhasilan suatu kebijakan, yaitu :

1. Komunikasi,

Ada tiga hal penting yang dibahas dalam proses komunikasi

kebijakan, yakni transisi, konsistensi, dan kejelasan. Faktor

penyampaian informasi dan transmisi, seorang pejabat yang

mengimplementasikan keputusan harus menyadari bahwa suatu

keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah

dikeluarkan. Faktor lain implementasi kebijakan adalah kejelasan,

yaitu pentunjuk-petunjuk pelaksan kebijakan, tetapi komunikasi harus

jelas, faktor berikutnya adalah konsistensi, yaitu jika implementasi

kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah

pelaksanaan harus konsisten dan jelas.

Menurut Widodo (2012:97) bahwa komunikasi merupakan

proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan

kepada pelaksana kebijakan. Kemudian informasi disampaikan kepada

para pelaku kebijakan agar dapat mengetahui dan memahami apa

yang menjadi isi, tujuan, arah, dan kelompok sasaran kebijakan.


21

2. Sumberdaya,

Sumberdaya yang penting mendukung implementasi kebijakan

meliputi staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk

melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang pelayanan publik.

Menurut Widodo (2012:98) sumberdaya meliputi sumberdaya

manusia, sumberdaya keuangan, dan sumberdaya peralatan (gedung,

peralatan, tanah, dan suku cadang lainnya) yang diperlukan dalam

melaksanakan kebijakan.

3. Disposisi

Kecendrungan dari para pelaksana mempunyai konsekuensi-

konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika

para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu dalam

hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka

melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para

pembuat keputusan awal. Menurut Widodo (2012 :104) bahwa

disposisi merupakan kemauan implementor, keinginan implementor,

dan kecenderungan para pelaku kebijakan untuk melaksanakan

kebijakan secara sungguh-sungguh.

4. Struktur Birokrasi,
22

Faktor birokrasi merupakan salah satu badan paling sering

bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan, baik itu

struktur pemerintah dan juga organisasi-organisasi swasta (Winarno

2007:126-151). Menurut Edward III dalam Widodo (2012:106) bahwa

struktur birokrasi yang tidak efisien dapat menyebabkan implementasi

kebijakan masih belum efektif. Struktur birokrasi mencakup struktur

organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antara unit-unit

organisasi yang ada dalam organisasi, dan hubungan antar organisasi.

Selain itu, adanya standar operasional prosedur untuk memudahkan

dan menyeragamkan tindakan dari para pelaksana kebijakan sesuai

dengan bidang tugasnya.

Empat variabel tersebut diatas dapat digambarkan sebagaimana

berikut:

Sumber
Komunikasi
Daya

Implementasi

Struktur
Organisasi Disposisi
23

Sumber: Edward III dalam Widodo ( 2012:97)

Gambar 2.2 : Empat faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan


menurut Edward III

Dengan demikian implementasi kebijakan adalah untuk

memahami apa yang telah terjadi setelah semua program dirumuskan,

serta apa yang timbul dari program kebijakan itu. Disamping itu

implementasi kebijakan tidak hanya terkait dengan persoalan

administratif saja, melainkan juga mengkaji faktor-faktor lingkungan yang

berpengaruh terhadap proses pelaksanaan implementasi kebijakan.

2.2.7. Evaluasi Kebijakan

Menurut Dunn dalam Asmara (2009:35) istilah evaluasi dapat

disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating),

dan penilaian (assessment). Evaluasi berkenaan dengan produk

informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi memberi

informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan.

Yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat

dicapai melalui tindakan publik, evaluasi memberi sumbangan pada

aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan

masalah dan rekomendasinya. Jadi , meskipun berkenaan dengan

keseluruhan proses kebijakan,evaluasi kebijakan lebih berkenaan pada

kinerja dari kebijakan, khususnya pada implementasi kebijakan publik.


24

Evaluasi pada perumusan dilakukan pada sisi post-tindakan, yaitu lebih

pada proses perumusan daripada muatan kebijakan yang biasanya

hanya menilai apakah prosesnya sesuai dengan prosedur yang sudah

disepakati.

Evaluasi merupakan tahapan penting dalam pelaksanaan suatu

program. Manfaat positif akan diperoleh apabila evaluasi dijalankan

dengan benar dan memperhatikan segenap aspek yang ada dalam suatu

program. Menurut Dunn dalam Asmara (2009:38) mempunyai sejumlah

fungsi utama dalam analisis kebijakan yakni:

1. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya

mengenai kinerja kebijakan yaitu seberapa jauh kebutuhannya, nilai,

dan kesempatan telah dapat dicapai.

2. Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap

nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas

dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Nilai

juga dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan

tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang dituju.

3. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis

kebijakan lainnya, termasuk rumusan masalah dan rekomendasinya.

Dunn dalam Asmara (2009:41) menggambarkan kriteria-kriteria

evaluasi kebijakan yang meliputi 6 (enam) tipe sebagai berikut:


25

1. Effektifitas berkenaan dengan apakah suatu alternative mencapai

hasil (akibat) yang diharapkan atau mencapai tujuan dari

diadakannya tindakan.

2. Effesiensi berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk

meningkatkan tingkat efektifitas tertentu.

3. Kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh suatu

tingkat efektifitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang

menumbuhkan adanya masalah. Kriteria kecukupan menekankan

pada kuatnya hubungan antara alternative kebijakan dan hasil yang

diharapkan.

4. Kesamaan (equity) erat hubungannya dengan rasionalitas legal dan

sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara

kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat.

5. Responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh

suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, prefensi, atau nilai

kelompok-kelompok masyarakat tertentu.

6. Ketepatan (appropriateness) adalah kriteria ketepatan secara dekat

yang berhubungan dengan rasionalitas subtansi.

Evaluasi implementasi kebijakan dibagi 3 menurut waktu

evaluasi, yaitu sebelum dilaksanakan, pada waktu dilaksanakan dan

setelah dilaksanakan. Secara spesifik Dunn dalam Asmara (2009:42)


26

mengembangkan tiga pendekatan evaluasi implementasi kebijakan yang

tujuan, asumsi dan bentuk-bentuk utamanya terlihat dalam Tabel 2.1

dibawah ini:

Tabel: 2.1. Tiga Pendekatan Evaluasi

Pendekat Tujuan Asumsi Bentuk-bentuk

an utama

Evaluasi Menggunakan metode Ukuran manfaat atau nilai Eksperimen


Semu deskriptif untuk terbukti dengan Sosial
menghasilkan informasi sendirinya atau tidak Akuntansi
yang valid tentang hasil kontroversial sistem social
kebijakan Pemeriksaan
Sosial
Siiintesis riset
dan praktik
Evaluasi Menggunakan metode Tujuan dan sasaran dari Evaluasi
Formal deskriptif untuk pengambil kebijakan dan perkembangan
menghasilkan informasi administrator yang Evaluasi
yang terpercaya dan valid secara resmi diumumkan Eksperimental
mengenai hasil kebijakan merupakan ukuran yang Evaluasi proses
secara formal tepat dari manfaat atau retrospektif
diumumkan sebagai nilai Evaluasi hasil
tujuan program kebijakan retrospektif
27

Evaluasi Menggunakan metode Tujuan dan sasaran dari Penilaian


keputusan deskriptif untuk berbagai pelaku yang tentang dapat
teoritis menghasilkan informasi dumumkan secara formal tidaknya
yang terpercaya dan valid ataupun diam-diam dievaluasi
mengenai hasil kebijakan merupakan ukuran yang Analisa utilities
yang secara eksplisit tepat dari manfaat atau multiatribut
diinginkan oleh berbagai nilai
pelaku kebijakan

Sumber: Dunn dalam Asmara (2009:42).

Sedangkan Lester dan Steward dalam Asmara (2009:44)

mengelompokkan evaluasi implementasi kebijakan menjadi evaluasi

proses, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan proses implementasi dan

evaluasi impak yaitu evaluasi berkenaan dengan hasil dan atau

pengaruh dari implemntasi kebijakan, yaitu apakah benar hasil yang

dicapai mencerminkan tujuan yang dikehendaki dan evaluasi meta

evaluasi yang berkenaan dengan evaluasi berbagai implementasi

kebijakan yang ada untuk menemukan kesamaan-kesamaan tertentu.

Menurut Nugroho (2002) pemahaman tentang evaluasi kebijakan

biasanya bermakna sebagai evaluasi implementasi kebijakan dan atau

evaluasi kinerja atau hasil kebijakan.

Perumusan Kebijakan Implementasi Kebijakan


Evaluasi Kebijakan
Lingkungan Kebijakan Kinerja Kebijakan
28

Gambar: 2.3. Dimensi Kebijakan Publik Sebagai Fokus Evaluasi


Kebijakan (Nugroho: 2002).

Dari proses kebijakan diatas terlihat bahwa selalu ada sisi

evaluasi kebijakan dari setiap kebijakan publik. Sesungguhnya, evaluasi

kebijakan publik mempunyai 3 (tiga) lingkup makna yaitu evaluasi

perumusan kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan, dan evaluasi

lingkungan kebijakan karena ketiga komponen tersebutlah yang

menentukan apakah kebijakan akan berhasil guna atau tidak sehingga

evaluasi kebijakan publik pada ketiga wilayah bermakna kegiatan pasca.

2.2.8. Teori Umpan Balik Kinerja (performance feedback theory)

Secara umum organisasi, perusahaan maupun instansi yang

mempunyai kinerja rendah dari target yang telah direncanakan berusaha

melakukan perubahan rencana strategis lebih serius guna tercapainya

kinerja yang diharapkan antara lain dengan melakukan penelitian dan

pengembangan, pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia,

perencanaan program yang tepat , terarah dan terukur serta pendanaan

yang cukup.

Greve (2003) menyatakan bahwa umpan balik menentukan arah

perubahan organisasi dengan menganalisis perilaku anggota organisasi

atau perusahaan dalam berbagai situasi baik secara individu, unit-unit

organisasi maupun secara keseluruhan organisasi tersebut. Hal-hal yang


29

menarik dalam teori umpan balik menurut Greve (2003) antara lain

sederhana, sesuai kenyataan, berlaku umum.

Teori umpan balik kinerja memiliki keterkaitan langsung dengan

referensi organisasi serta referensi psikologis yang menggabungkan

gagasan beberapa peneliti sebelumnya. Tujuan utama dari Performance

Feedback Theory adalah untuk menjelaskan bagiamana perilaku suatu

organisasi untuk merespon umpan balik dari kinerja mereka. Karena

setiap organisasi pasti dibentuk dan dijalankan oleh manusia tentu saja

aspek kognitif dan psikologis harus diperhitungkan. Kajian psikologis

menitikberatkan pada penjelasan perilaku manusia terhadap

pengambilan resiko, perilaku adaptif dan bagaimana individu

mengevaluasi diri sendiri terhadap capaian dari target kinerja yang

diinginkan Lewin dkk dalam (Greve 2003).

Umpan Balik
Lingkungan
Evaluasi

Ya Hasilnya
/Memuaskan No

No
Teruskan
Pendalaman Permasalahan ke
Masalah pengambil kebijakan

Analisis Identifikasi Solusi pengambilan


kelemahan/kekuran kebijakan
gan

Kelembagaan
30

Dasar
Keputusan ,Resiko
Kebijakan toleransi, Solusi
dan masalah

Maximal Toleransi
Minim Toleransi Resiko
Resiko

Gambar: 2.4. Model performance feedback theory (Greve:2003)

2.2.9. Konsep Kinerja

Konsep kinerja pada dasarnya dapat dilihat dari dua sudut

pandang, yaitu kinerja pegawai dan kinerja organisasi. Kinerja pegawai

adalah hasil kerja perorangan dalam suatu organisasi, sedangkan kinerja

organisasi adalah totalitas hasil kerja yang dicapai suatu organisasi.

Kinerja pegawai dan kinerja organisasi memiliki keterkaitan yang sangat

erat. Tercapainya tujuan organisasi tidak bisa dilepaskan dari

sumberdaya yang dimiliki oleh organisasi yang digerakkan atau

dijalankan oleh pegawai yang berperan aktif sebagai pelaku dalam

upaya mencapai tujuan organisasi.

Istilah kinerja menururt The Scibner Bantam English Dictionary

terbitan Amerika Serikat dan Kanada yang dalam Widodo (2005:77-78)

menyebutkan bahwa kinerja berasal dari akar kata to performance yang


31

diartikan sebagai to do or carry out execute (melakukan, menjalankan

melaksanakan), to discharge or fulfill as a vow (memenuhi atau

menjalankan kewajiban satu nazar), to portray, as a character in a play

(menggambarkan suatu karakter dalam suatu permainan), to render by

voice or a musical instrument (menggambarkan dengan suara atau alat

musik), to execute or complete an undertaking (melaksanakan atau

menyempurnakan tanggung jawab), to perform music

(memainkan/pertunjukan musik), to do what is expected of a person or

machine (melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau

mesin).

Nasucha dalam Keban (2004:107) mengemukakan bahwa kinerja

organisasi adalah sebagai efektivitas organisasi secara menyeluruh

untuk memenuhi kebutuhan yang ditetapkan dari setiap kelompok yang

berkenaan melalui usaha-usaha yang sistematik dan meningkatkan

kemampuan organisasi secara terus menerus mencapai kebutuhannya

secara efektif.

Kinerja (performance) merupakan suatu konsep umum yang

digunakan untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan kerja pegawai

sehingga dapat diaplikasikan dalam beragam setting organisasi,

termasuk pendidikan/sekolah. Gibson (1999:118) mengartikan kinerja

sebagai tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan

kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetap-kan. Kemudian


32

Hasibuan (2001:94) yang menyebut kinerja sebagai prestasi kerja

mengungkapkan bahwa prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang

dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan

kepadanya yang disandar-kan atas kecakapan, pengalaman dan

kesungguhan serta waktu. Sedangkan Mangkunegara (2000:67)

mengatakan bahwa prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan

kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan

tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya.

Menurut Sedarmayanti (2001:21) kinerja aparatur erat kaitannya

dengan efektivitas kerja. Kinerja aparatur sebagaimana yang dimaksud

menunjukkan adanya pencapaian terhadap hasil melalui adanya

kebijakan, prosedur dan kondisi lingkungan organisasi. Kriteria dari

kinerja aparatur dimaksud menyangkut permasalahan pilihan personal

yang dikaitkan dengan nilai-nilai pemerintahan (government values),

aparatur memiliki constumer-aware, menerapkan nilai-nilai the manager

faces the consumer yang pada akhirnya akan membawa implikasi pada

efektivitas organisasi.

Menurut Widodo (2001:28). kinerja merupakan suatu hasil kerja

yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu

organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-

masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan


33

secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika

Kinerja pegawai merupakan perihal yang penting dan perlu mendapat

perhatian yang cukup dalam rangka untuk peningkatan dan perbaikan

kualitas pelayanan publik. Penilaian terhadap kinerja pegawai akan

sangat berguna untuk menilai kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan;

mendorong aparatur untuk lebih memahami kebutuhan masyarakat yang

dilayani serta untuk melakukan perbaikan pelayanan publik (Keban

2004:172).

Rue dan Byars dalam Keban (2004:170) mengatakan kinerja

pegawai sebagai tingkat pencapaian hasil (the degree of

accomplisinent), karena itu kinerja pegawai dapat dipandang sebagai

tingkat pencapaian tujuan yang diinginkan. Pendapat lain dapat

dikemukakan Gordon dalam Tjandra (2005:262) bahwa "performance

refers specificallly to performing and reaching group goal throught fast

workspeed; outcomes of high quality, accuracy, and quantity;

observation of rules".

Mencermati beberapa pendapat di atas memperlihatkan bahwa

kinerja merupakan suatu penilaian dari hasil pekerjaan seseorang yang

dilakukan dalam kurun waktu tertentu yang didasarkan atas kewenangan

yang dimiliki. Kinerja itu sendiri mengandung makna identik dengan

istilah prestasi. Keduanya mempunyai kesamaan dalam menetapkan


34

tolok ukur, seperti penghematan dan kesalahan dan sebagainya, tetapi

hampir seluruh cara pengukurannya mempertimbangkan kualitas,

kuantitas, dan ketepatan waktu.

2.2.9.1. Pengukuran Kinerja

Sendarmayanti (2001:68) mengatakan bahwa pengukuran kinerja

yang dilakukan terus menerus dan berkesinambungan dapat memberi

umpan balik yang penting, artinya bagi upaya perbaikan guna mencapai

keberhasilan dimasa yang akan datang.

Sebelum melakukan pengukuran kinerja yang harus dipenuhi

terlebih dahulu menururt Sikula dalam Mangkungara (2000:73-74)

mengemukakan kinerja berumuskan 5W + 1H, yaitu :

a. Who (Siapa), pertanyaan ini mencakup siapa yang harus dinilai dan

siapa yang harus menilai.

b. What (apa), pertanyaan ini mencakup objek/materi yang dinilai (hasil

kerja, kemampuan, sikap, kepemimpinan, dan motivasi ) dan dimensi

waktu (kemampuan saat ini dan potensi yang akan datang).

c. Why (mengapa), pertanyaan ini diupayakan ampu menjawab tujuan

dari pengukuran kinerja, seperti untuk memelihara potensi kerja,

menentukan kebutuhan pelatihan, dasar pengembangan karier,

maupu dasar promosi jabatan.


35

d. When (bilamana), pertanyaan ini mencakup kapan pengukuran harus

dilakukan, apakah secara formal (priodik) ataukah secara informal

(terus menerus).

e. How (bagaimana), pertanyaan ini mencakup apakah penilaian harus

dilakukan dengan metode tradisional (rating scale, employee

comparison), ataukah metode modern (managemen by objective,

assesment centre).

Nasucha dalam Keban (2004:110) mengatakan bahwa hasil

dari pengukuran kinerja dapat digunakan untuk menentukan beberapa

hal antara lain :

a. Menentukan bahwa keuntungan dan pengaruh yang sedang berjalan

dapat dicapai;

b. Memperoleh jaminan bahwa tujuan dapat dan sedang dicapai;

c. Memonitor dan mengontrol perkembangan dari rencana yang

ditetapkan;

d. Memastikan penggunaan sumber-sumberdaya;

e. Menilai efektivitas dari sebuah aktivitas;

f. Menyediakan sebuah dasar untuk menghitung penghargaan dan

insentif;

g. Menentukan bahwa value for money dapat diperoleh.


36

Hasil pengukuran kinerja merupakan wujud akuntabilitas kinerja

para pejabat atau manajer atas kinerja mereka dalam melaksanakan apa

yang menjadi tugas pokok, fungsi kewenangan dan tanggung jawabnya.

Pengukuran kinerja juga untuk melihat tingkat kegagalan dan

keberhasilan organisasinya dalam melaksanakan kebijakan, program

dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam rencana strategis (renstra).

Pengukuran kinerja adalah menjadi suatu keharusan bagi setiap unit

organisasi, karena :

a. Jika kinerja tidak diukur, maka tidak mudah membedakan antara

keberhasilan dengan kegagalan.

b. Jika suatu keberhasilan tidak diidentifikasi maka kita tidak dapat

menghargainya.

c. Jika keberhasilan tidak dihargai, kemungkinan besar malahan

menghargai kegagalan.

d. Jika tidak mengenali keberhasilan, berarti juga tidak akan belajar

dari kegagalan.

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Simamora (1997: 241)

pengukuran kinerja dapat dilihat dari segi kuantitas dan kualitas item

atau produk yang dihasilkan, serta banyaknya kesalahan atau tingkat

kesukaran. Sejalan dengan pendapat tersebut Locher & Tell dalam

Keban (2004:97) mengatakan bahwa penilaian kinerja bertujuan untuk


37

menentukan kompetensi, perbaikan kinerja, umpan balik, dokumentasi,

promosi, pelatihan, mutasi, pemecatan, pemberhentian, penelitian

kepegawaian dan perencanaan tenaga kerja.

Menurut Mitchell dalam Sedarmayanti (2001:51) menyebutkan

lima aspek yang dijadikan indikator atau ukuran dalam mengadakan

pengkajian tingkat kinerja seseorang, adalah :

1. Quality of work, yang terdiri dari komponen mutu hasil pekerja dan

sikap dalam bekerja.

2. Promptness, yang terdiri dari komponen tingkat kehadiran dan

pemanfaatan waktu luang.

3. Initiative, yang terdiri dari komponen ingkat inisiatif dan tanggung

jawab terhadap pekerjaan.

4. Copability, yang terdiri dari komponen tingkat inisiatif dan tanggung

jawab terhadap pekerjaan.

5. Communication, yang terdiri dari komponen kejujuran dalam

meyampaikan pendapat dan kerjasama dalam menyelesaikan

pekerjaan.

Meskipun terdapat banyak cara dalam melakukan pengukuran

kinerja tetapi beberapa hal yang selalu menjadi pertimbangan, menurut

Gibson dalam Dharma (1996:123) perimbangan tersebut meliputi :

a. Kuantitas yang berhubungan dengan jumlah yang harus

diselesaikan.
38

b. Kualitas yang berhubungan dengan mutu yang dihasilkan.

c. Ketepatan waktu berhubungan dengan waktu penyelesaian.

Secara kuantitas kinerja dapat dianalogikan dengan semakin

banyak pekerjaan yang dihasilkan karyawan maka karyawan tersebut

dapat dikatakan lebih berprestasi. Tetapi pengukuran secara kuantitas

lebih tepat jika diterapkan pada jenis pekerjaan tertentu saja.

Pengukuran kinerja dapat diartikan sebagai suatu proses dimana

kontribusi karyawan terhadap organisasi yang dinilai dalam suatu

periode waktu tertentu.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

indikator kinerja dapat ditinjau dari beberapa aspek dan dalam

pengukurannya dapat ditentukan menurut ruang lingkup dan kondisi

sesuai bidang kajiannya, atau menurut substansi dan kesemuanya itu

tergantung pada keinginan peneliti dalam mengungkap persoalan. Untuk

mengetahui peningkatan atau penurunan maka penilaian/evaluasi kinerja

merupakan suatu keharusan yang harus dilaksanakan. Hasil dari

evaluasi kinerja dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan

perbaikan dalam meningkatkan kinerja pegawai di masa yang akan

datang.

2.2.9.2 Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja


39

Penilaian/evaluasi kinerja pegawai merupakan hal yang sangat

penting arti dan peranannya dalam proses pengambilan keputusan di

masa depan tentang berbagai hal. Pendapat ini sejalan dengan Siagian

(2009:67) yang menjelaskan berbagai hal, seperti identifikasi kebutuhan

program pendidikan dan pelatihan, rekruitmen, seleksi program

pengenalan, penempatan, promosi, dan sistem imbalan.

Evaluasi kinerja atau penilaian kinerja pegawai yang dikemukakan

Mengginson dalam Mangkunegara (2006:56) bahwa “penilaian prestasi

kerja (performance appraisal) adalah suatu proses yang digunakan

pimpinan untuk menentukan apakah seseorang karyawan melakukan

pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya”.

Menurut Rival (2009:324) penilaian kinerja merupakan suatu

proses organisasi dalam menilai unjuk kerja pegawainya. Dikemukakan

pula arti pentingnya penilaian kinerja yaitu sebagai feedback berikut :

1. Perbaikan unjuk kerja memberikan kesempatan kepada karyawan

untuk mengambil tindakan-tindakan perbaikan meningkatkan kinerja

melalui yang diberikan oleh organisasi.

2. Penyesuaian gaji dapat dipakai sebagai informasi untuk

mengkompensasi pegawai secara layak sehingga memotivasi

mereka.
40

3. Keputusan untuk penempatan, yaitu dapat dilakukan penempatan

pegawai sesuai dengan keahliannya.

4. Pelatihan dan pengembangan, yaitu melalui penilaian akan diketahui

kelemahan-kelemahan dari pegawai sehingga dapat dilakukan

program pelatihan dan pengembangan yang efektif.

5. Perencanaan karir yaitu organisasi dapat memberikan bantuan

perencanaan karir bagi pegawai dan menyelaraskannya dengan

kepentingan organisasi.

6. Mengidentifikasi kelemahan-kelemahan dalam proses penempatan,

yaitu unjuk kerja yang tidak baik menunjukkan adanya kelemahan

dalam penempatan sehingga dapat dilakukan perbaikan.

7. Dapat mengidentifikasi adanya kekurangan dalam desain pekerjaan

yaitu kekurangan kinerja akan menunjukkan adanya kekurangan

dalam perancangan jabatan.

8. Meningkatkan adanya perlakuan kesempatan yang sama pada

pegawai, yaitu dengan melakukan penilaian yang obyektif berarti

meningkatkan perlakuan yang adil bagi pegawai.

9. Dapat membantu pegawai mengatasi masalah yang bersifat

eksternalyaitu penilaian unjuk kerja atasan akan mengetahui apa

yang menyebabkan terjadinya unjuk kerja yang jelek, sehingga

atasan dapat membantu menyelesaiakannya.


41

10. Umpan balik pada pelaksanaan fungsi manajemen sumberdaya

manusia, yaitu dengan diketahuinya unjuk kerja pegawai secara

keseluruhan, ini akan menjadi informasi sejauhmana fungsi

sumberdaya manusia berjalan baik atau tidak.

Sedangkan Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil

berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2011 tentang

Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil adalah suatu proses

penilaian secara sistematis yang dilakukan oleh pejabat penilai terhadap

sasaran kerja pegawai dan perilaku kerja PNS. Penilaian prestasi kerja

Pegawai Negeri Sipil dilakukan berdasarkan prinsip objektif, terukur,

akuntabel, partisipatif, dan transparan. Prestasi kerja adalah hasil kerja

yang dicapai oleh setiap PNS pada satuan organisasi sesuai dengan

sasaran kerja pegawai dan perilaku kerja. Sasaran Kerja Pegawai yang

selanjutnya disingkat SKP adalah rencana kerja dan target yang akan

dicapai oleh seorang PNS.

SKP memuat kegiatan tugas jabatan dan target yang harus

dicapai dalam kurun waktu penilaian yang bersifat nyata dan dapat

diukur. Setiap PNS wajib menyusun SKP berdasarkan Rencana Kerja

Tahunan instansi. Dalam menyusun SKP harus memperhatikan hal-hal

sebagai berikut:

1) Jelas.

Kegiatan yang dilakukan harus dapat diuraikan secara jelas.


42

2) Dapat diukur.

Kegiatan yang dilakukan harus dapat diukur secara kuantitas dalam

bentuk angka seperti jumlah satuan, jumlah hasil, dan lainlain

maupun secara kualitas seperti hasil kerja sempurna, tidak ada

kesalahan, tidak ada revisi dan pelayanan kepada masyarakat

memuaskan. dan lain-lain.

3) Relevan

Kegiatan yang dilakukan harus berdasarkan lingkup tugas jabatan

masing-masing.

4) Dapat dicapai

Kegiatan yang ditakukan harrs disesuaikan dengan kemampuan

PNS.

5) Memiliki target waktu

Kegiatan yang dilakukan harus dapat ditentukan waktunya.

SKP memuat kegiatan tugas jabatan dan target yang harus

dicapai dalam kurun waktu penilaian yang bersifat nyata dan dapat

diukur' Setiap kegiatan tugas jabatan yang akan dilakukan harus

didasarkan pada tugas dan fungsi, wewenang tanggung jawab, dan

uraian tugasnya yang secara umum telah ditetapkan dalam struktur

organisasi dan tata kerja (SoTK).


43

Tujuan dari evaluasi kinerja sebagaimana dikemukakan

Mangkunegara (2006:128) adalah :

1. Meningkatkan saling pengertian antara karyawan tentang

persyaratan kinerja.

2. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang karyawan, sehingga

mereka termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-

kurangnya berprestasi sama dengan prestasi yang terdahulu.

3. Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan

keinginan dan aspirasi serta meningkatkan kepedulian terhadap

yang diembannya sekarang.

4. Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan

sehingga karyawan termotivasi untuk berprestasi sesuai potensinya.

5. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai

dengan kebutuhan pelatihan, rencana diklat, dan kemudian

menyetujui rencana itu, jika tidak ada hal-hal yang perlu diubah.

Sedangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun

2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil disebutkan

tujuan Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil adalah untuk

menjamin objektivitas dalam mempertimbangkan pengangkatan dalam

jabatan dan kenaikan pangkat pembinaan PNS yang dilakukan

berdasarkan sistem prestasi kerja.


44

Penilaian kinerja digunakan untuk mengetahui kinerja seorang

karyawan. Menurut Rivai (2003:49) manfaat penilaian kinerja adalah :

1. Manfaat bagi karyawan yang dinilai antara lain :

a. Meningkatkan motivasi

b. Meningkatkan kepuasan kerja

c. Adanya kejelasan standar hasil yang diharapkan.

d. Adanya kesempatan berkomunikasi keatas.

2. Manfaat bagi penilai

a. Meningkatkan kepuasan kerja.

b. Kesempatan untuk mengukur dan mengidentifikasikan

kecendrungan kerja karyawan

c. Meningkatkan kepuasan kerja baik dari para manajer ataupun

karyawan.

d. Sebagai sarana meningkatkan motivasi karyawan.

e. Bisa mengidentifi kesempatan untuk rotasi karyawan

3. Manfaat bagi perusahaan

a. Memperbaiki seluruh simpul unit-unit yang ada dalam

perusahaan

b. Meningkatkan kualitas komunikasi

c. Meningkatkan motivasi kayawan secara keseluruhan.


45

d. Meningkatkan pandangan secara luas menyangkut tugas yang

dilakukan untuk masing-masing karyawan.

Sedangkan menurut Peraturan Kepala Badan Kepegawaian

Nomor 1 Tahun 2013 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 46 tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja

Pegawai Negeri Sipil hasil penilaian prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil

dimanfaatkan sebagai dasar pertimbangan penetapan keputusan

kebijakan pembinaan karier Pegawai Negeri Sipil, yang berkaitan

dengan:

a. Bidang Pekerjaan

Penilaian prestasi kerja pegawai Negeri Sipil dimanfaatkan sebagai

dasar pertimbangan dalam kebijakan perencanaan kuantitas dan

kuaritas sumber daya manusia pegawai Negeri sipil, serta kegiatan

perancangan pekerjaan Pegawai Negeri Sipil dalam organisasi.

b. Bidang Pengangkatan dan Penempatan

Penilaian prestasi kerja pegawai Negeri Sipil dimanfaatkan sebagai

dasar pertimbangan dalam proses rekrutmen, seleksi dan

penempatan Pegawai Negeri sipil dalam jabatan, sesuai dengan

kompetensi dan prestasi kerjanya.

c. Bidang Pengembangan
46

Penilaian prestasi kerja pegawai Negeri sipil dimanfaatkan sebagai

dasar pertimbangan pengembangan karier dan pengembangan

kemampuan serta keterampilan Pegawai Negeri Sipil yang berkaitan

d.engan pola karier dan program pendidikan dan pelatihan dalam

organisas

d. Bidang Penghargaan

Penilaian prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil dimanfaatkan sebagai

dasar pertimbangan pemberian penghargaan dengan berbasis

prestasi kerja seperti kenaikan pangkat, kenaikan gaji, tunjangan

prestasi kerja, promosi, atau kompensasi dan lain-lain.

e. Bidang Disiplin

Penilaian prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil dimanfaatkan sebagai

dasar peningkatan kinerja PNS dan kewajiban pegawai mematuhi

peraturan perundang-undangan tentang disiplin PNS.

2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan adanya permasalahan tersebut di atas, implementasi

kebijakan tentang penilaian prestasi kerja pegawai negeri sipil pada

Dinas Lingkungan Hidup Kota Samarinda dirasakan memerlukan

penelitian evaluasi yang komprehensif. Oleh karena itu, perlu dilakukan

penelitian evaluasi dengan menggunakan metode evaluasi implementasi


47

kebijakan, sehingga hasil studi dapat menjadi pertimbangan dalam

implementasi kebijakan. Fokus evaluasi adalah implementasi kebijakan

tentang penilaian prestasi kerja pegawai negeri sipil Dinas Lingkungan

Hidup Kota Samarinda. Penelitian yang dilakukan adalah process or

implementation policy evaluation research yaitu penelitian evaluasi

berupa proses penilaian terhadap tahapan menjalankan program

kebijakan, memperoleh akses untuk mengetahui hal-hal yang harus

dilakukan untuk memperbaiki pelaksanaan implementasi kebijakan.

Penelitian ini dilakukan untuk menilai proses implementasi kebijakan

yang dikonfirmasikan terhadap indikator hasil pada implementasi sebuah

kebijakan.

Dalam pandangan Starling (2008), langkah di atas dapat

dikategorikan sebagai penelitian implementasi atau implementation

evaluation. Penelitian implementasi lebih bersifat deskriptif tentang yang

terjadi dan penyebab terjadi. Hal ini dalam istilah Starling disebut

formative evaluation atau process evaluation. Process evaluation yang

dikemukakan Starling membandingkan antara yang terjadi dan dilakukan

dalam pelaksanaan program dengan hasil yang diperoleh dan

dibandingkan pula dengan hasil yang diharapkan. Langkah ini tidak

hanya akan menghasilkan pemahaman serta koreksi bagi implementasi

kebijakan, tetapi juga sekaligus menjadi cara untuk melihat tahapan dan
48

aktivitas implementasi kebijakan yang dilaksanakan memungkinkan

pencapaian tujuan yang ditetapkan dalam tujuannya atau tidak.

Di antara model-model evaluasi terhadap proses implementasi

kebijakan yang menurut peneliti cocok untuk mengkaji proses

pencapaian hasil dalam implementasi kebijakan penilaian prestasi kerja

pegawai negeri sipil pada penilaian kinerja pada Dinas Lingkungan Hidup

Kota Samarinda adalah model implementasi kebijakan dari Jones

(1996). Jones (1996) mengemukakan bahwa model implementasi yang

diterapkan pada implementasi sebuah kebijakan berupa sistem evaluasi

dasar terbuka yang meliputi aktivitas pengorganisasian, interpretasi dan

aplikasi.

Pelaksanaan aktivitas organisasi, interpretasi dan aplikasi dari

implementasi kebijakan penilaian prestasi kerja sangat menentukan

pencapaian tujuan akhir penilaian prestasi kerja PNS. Terlebih untuk

melihat organisasi implementasi telah bekerja sesuai dengan ukuran

kinerja yang ditetapkan atau belum.

Begitu pula dari sisi interpretasi, dapat dilihat sejauh mana para
pelaku kebijakan terkait menginterpretasikan penilaian prestasi kerja
sebagai bagian dari ukuran keberhasilan. Dari sisi aplikasi dapat dilihat
sejauh mana penilaian prestasi kerja tersebut dapat diaplikasikan di
lingkungan kerja Dinas Lingkungan Hidup Kota Samarinda.

1. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 Tentang


Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil
2. Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Nasional Nomor 1
Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2011
49

Bagaimana Implementasi Kebijakan Penilaian Prestasi


Kerja Pegawai Negeri Sipil

Performance Feedback Theory


(Implementasi Kebijakan, Evaluasi)

Alat Analisis Kualitatif Creswell


Koding : peraturan, sumberdaya manusia, kelembagaan

Hasil Penelitian

Gambar 2.5. Kerangka Konsep Penelitian


50
51
52

Gambar : 2.7. Kerangka Konseptual Penelitian


53
54
55
56

Anda mungkin juga menyukai