Anda di halaman 1dari 22

Tugas Paper Kelompok

Mata Kuliah : Administrasi Kebijakan Rumah Sakit


Dosen : Mangindara SKM,.M.Kes

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DAN HEALTH CARE


AND VALUE BASED COMPETITION

KELOMPOK 10

INA ALFIYYAH SYRIF (201701022)

NURUL AZIZAH A. (201701011)

SRI NINGSIH MAHMUD (201701001)

FITRIANI S. MALA (201701005)

PROGRAM STUDI S1 ADMINISTRASI RUMAH SAKIT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) PELAMONIA
MAKASSAR

2018
A. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
1. Pengertian Implementasi
Pengertian Implementasi Jones (1987) menjelaskan bahwa implementasi
adalah “those activities directed toward putting a program into effect (proses
mewujudkan program hingga memperlihatkan hasilnya). Van Horn dan Van
meter (1975) : those actions by public and private individual (or groups) that are
the achievement or objectives set forth in prior policy ( tindakan yang dilakukan
oleh Pemerintah maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang menjadi prioritas
kebijakan).
Secara lebih konkrit Mazmanian & Sabatier menyatakan bahwa fokus
perhatian dalam implementasi yaitu memahami apa yang senyatanya terjadi
sesudah suatu program dinyatakan berlaku, diantaranya adalah kejadian dan
kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan yang
mencakup usaha mengadministrasikan maupun usaha menimbulkan dampak
yang nyata pada masyarakat.
Menurut Patton dan Sawicki (1993) bahwa implementasi berkaitan dengan
berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada
posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan
menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir,
seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya,
Unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta
melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk
yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.
Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan
apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan
memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas
dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu
penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil
melalui aktivitas atau kegiatan dan program pemerintah. (Tangkilisan, 2003:9).
Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood hal-hal yang berhubungan
dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi
masalah dan kemudian menerjemahkan ke dalam keputusankeputusan yang
bersifat khusus. (Tangkilisan, 2003:17). Implementasi adalah tindakan yang
dilakukan setelah suatu kebijakan ditetapkan agar sebuah kebijakan dapat
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan kebijakan adalah melakukan
intervensi, dan implementasi adalah tindakan intervensi itu sendiri. Implementasi
melibatkan usaha dari policy makers untuk mempengaruhi street level
bureaucracy (Lipsky) untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku
target group. Menurut Anderson 1979) ada 4 aspek dalam implementasi
kebijakan:
a. Who is involved policy implementation ?
b. The nature of administrative process (hakekat dari proses administrasi)
c. Compliance with policy (kepatuhan pada kebijakan)
d. The effect of implementation (dampak dari pelaksanaan kebijakan)
Ada dua fokus dalam melakukan implementasi :
a. Compliance (kepatuhan) : apakah implementor patuh pada aturan, juklak,
jadwal dsb ?
b. What happening? : mempertanyakan bagimana kinerja implementasi, apa
yang dicapai dsb. Dalam hal ini beberapa hal yang penting :
a) Banyaknya aktor yang terlibat
b) Kejelasan tujuan
c) Partsipasi semua unit pemerintahan
d) Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi (Ripley & Franklin
(1985)
2. Mengapa Implementasi Penting
a. Implementasi merupakan proses yang penting dalam proses kebijakan, dan
tak terpisahkan dari proses formulasi kebijakan (Jones, 1987)
b. Implementasi bahkan jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan
hanya berupa impian atau rencana yang bagus dan tersimpan dalam arsip
kalau tak diimplementasikan (Udoji, 1981)
c. Tanpa implementasi kebijakan tak akan bisa mewujudkan hasilnya.
d. Implementasi bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangat kompleks dan
rumit.
e. Benturan kepentingan antar aktor baik administrator, petugas lapangan,
maupun sasaran sering terjadi
f. Selama implementasi sering terjadi beragam interprestasi atas tujuan, target
maupun strateginya
g. Implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel, baik variabel individual
maupun organisasional
h. Dalam prakteknya sering terjadi kegagalan dalam implementasi
i. Banyaknya kegagalan dalam implementasi kebijakan telah memunculkan
kajian baru dalam studi kebijakan yaitu studi implementasi kebijakan
j. Guna menilai keberhasilan atau kinerja sebuah kebijakan maka dilakukan
evaluasi kebijakan
3. Bagaimana melakukan intervensi dalam implementasi?
Mazmanian dan Sabatier (1983); memberikan langkah-langkah intervensi
dalam implementasi sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi masalah yang harus diintervensi
b. Menegaskan tujuan yang hendak dicapai
c. Merancang struktur proses implementasi
Dengan demikian program harus disusun secara jelas dan harus
dioperasionalkan dalam bentuk proyek. Lineberry (1984) menyatakan beberapa
hal yang harus diperhatikan dalam implementasi :
a. Pembentukan unit organisasi atau staf pelaksana
b. Penjabaran tujuan dalam berbagai aturan pelaksana (Standard operating
procedures/SOP)
c. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran pada kelompok sasaran serta
pembagian tugas diantara badan pelaksana
d. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan
e. Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan
adalah:
1) Penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna
program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat
dijalankan.
2) Organisasi yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan
program ke dalam tujuan kebijakan.
3) Penerapan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi
pelayanan, upah, dan lain-lainnya. (Tangkilisan, 2003:18)
4. Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Berdasarkan teori George C.Edwards III (1980) menjelaskan implementasi
kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel yaitu:
a. Komunikasi, yaitu bagaimana menginformasikan semudah mungkin dapat
dipahami oleh masyarakat sasaran maksud dan tujuan dari kebijakan y ang
diambil. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan proses
penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers)
kepada pelaksana kebijakan (policy implementors) (Widodo, 2011:97).
Komunikasi dalam implementasi kebijakan mencakup beberapa dimensi
penting yaitu tranformasi informasi (transimisi), kejelasan informasi (clarity)
dan konsistensi informasi (consistency). Dimensi tranformasi menghendaki
agar informasi tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi
juga kepada kelompok sasaran dan pihak yang terkait. Dimensi kejelasan
menghendaki agar informasi yang jelas dan mudah dipahami, selain itu untuk
menghindari kesalahan interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok
sasaran maupun pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan.
Sedangkan dimensi konsistensi menghendaki agar informasi yang
disampaikan harus konsisten sehingga tidak menimbulkan kebingungan
pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak terkait.
b. Struktur birokrasi, yaitu didukung institusi pelaksana yang tidak berbelit-belit
dan sederhana. Struktur organisasi memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap implementasi kebijakan. Aspek struktur organisasi ini melingkupi
dua hal yaitu mekanisme dan struktur birokrasi itu sendiri. Aspek pertama
adalah mekanisme, dalam implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat
standart operation procedur (SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap
implementator dalam bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak
melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan. Aspek kedua adalah struktur
birokrasi, struktur birokrasi yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan
cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi
yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas
organisasi menjadi tidak fleksibel
c. Sumber-sumber, yaitu tersedia sumber -sumber dana, daya dan sarana yang
cukup. Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi
kebijakan. Edward III dalam Widodo (2011:98) mengemukakan bahwa:
bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan-ketentuan dan aturan-
aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan
atau aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung
jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber
daya untuk melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementasi
kebijakan tersebut tidak akan efektif. Sumber daya di sini berkaitan dengan
segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan
implementasi kebijakan. Sumber daya ini mencakup sumber daya manusia,
anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan yang dijelaskan sebagai
berikut :
1) Sumber Daya Manusia (Staff) Implementasi kebijakan tidak akan berhasil
tanpa adanya dukungan dari sumber daya manusia yang cukup kualitas
dan kuantitasnya. Kualitas sumber daya manusia berkaitan dengan
keterampilan, dedikas, profesionalitas, dan kompetensi di bidangnya,
sedangkan kuatitas berkaitan dengan jumlah sumber daya manusia
apakah sudah cukup untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber
daya manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi,
sebab tanpa sumber daya manusia yang kehandalan sumber daya
manusia, implementasi kebijakan akan berjalan lambat.
2) Anggaran (Budgetary) Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan
dengan kecukupan modal atau investasi atas suatu program atau
kebijakan untuk menjamin terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan
anggaran yang memadahi, kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif
dalam mencapai tujuan dan sasaran.
3) Fasilitas (facility) Fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah
satu faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Pengadaan
fasilitas yang layak, seperti gedung, tanah dan peralatan perkantoran akan
menunjang dalam keberhasilan implementasi suatu program atau
kebijakan.
4) Informasi dan Kewenangan (Information and Authority) Informasi juga
menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan, terutama informasi
yang relevan dan cukup terkait bagaimana mengimplementasikan suatu
kebijakan. Sementara wewenang berperan penting terutama untuk
meyakinkan dan menjamin bahwa kebijakan yang dilaksanakan sesuai
dengan yang dikehendaki.
d. Disposisi, yaitu kecenderungan dari implementor yakni pemerintah
pelaksanan kebijakan dengan melihat kepentingannya mudah dilaksanakan
atau sebaliknya. Kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana
kebijakan berperan penting untuk mewujudkan implementasi kebijakan yang
sesuai dengan tujuan atau sasaran. Karakter penting yang harus dimiliki oleh
pelaksana kebijakan misalnya kejujuran dan komitmen yang tinggi. Kejujuran
mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam asa program yang telah
digariskan, sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakn akan
membuat mereka selalu antusias dalam melaksanakan tugas, wewenang,
fungsi, dan tanggung jawab sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh dalam
implementasi kebijakan. Apabila implementator memiliki sikap yang baik
maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang
diinginkan oleh pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak
mendukung maka implementasi tidak akan terlaksana dengan baik.
Selain itu, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 variabel yaitu:
a. Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan
dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target
group untuk melaksanakannya
b. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat
mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus
kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan,
maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan
kebijakan yang telah dirumuskan
c. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung
jawab dalam implementasi kebijakan.
d. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi
implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.
1) Sering terjadi suatu program tidak mampu mewujudkan tujuannya
(kegagalan implementasi)
2) Ketidakmampuan program mewujudkan tujuan disebut oleh Andrew
Dunsire sebagai implementation gap yaitu suatu kondisi dimana dalam
proses kebijakan terjadi perbedaan antara apa yang diharapkan pembuat
kebijakan dengan apa yang senyatanya terjadi.
3) Implementation gap ini sangat dipengaruhi oleh implementation capacity
dari orang pelaksana (Goggin, 1990)
5. Batasan Implementasi Kebijakan
Implementasi telah didefinisikan sebagai „apa yang terjadi antara harapan
harapan kebijakan dan hasil kebijakan (yang dirasakan)‟ (DeLeon, 1999). Hingga
tahun 1970-an, para ilmuwan kebijakan cenderung memfokuskan perhatiannya
pada seting agenda, formulasi kebijakan dan „tahapan-tahapan‟ pembuatan
keputusan kebijakan dari proses kebijakan. Meskipun „tahapan‟ yang formal jauh
dari realita yang kacau dari sebagian besar proses kebijakan, namun „tahapan‟
ini tetaplah suatu alat yang sangat berguna untuk membantu mencermati
kegiatankegiatan dan para aktor yang berbeda-beda. Perubahan yang mengikuti
keputusan kebijakan relatif telah diabaikan. Namun, menjadi semakin jelas
bahwa dalam prakteknya, banyak kebijakankebijakan publik tidak berjalan
dengan semestinya dan juga tidak sesuai harapan para pendukungnya. Metode
Teoritis Awal dari Implementasi Kebijakan
a. Pendekatan ‘top down’
Pendekatan „top-down‟ untuk memahami implementasi kebijakan berkaitan
erat dengan model rasional dari seluruh proses kebijakan, yang melihatnya
sebagai suatu urutan kegiatan yang linier di mana ada suatu pembagian yang
jelas antara formulasi kebijakan dan eksekusi kebijakan. Formulasi kebijakan
dilihat sebagai politik yang ekplisit dan eksekusi kebijakan dilihat sebagai
kegiatan teknis, administratif dan manajerial yang besar. Kebijakan-kebijakan
yang disusun di tingkat nasional atau internasional harus dikomunikasikan
hingga tingkat bawah (contohnya otoritas kesehatan, rumah sakit, klinik) yang
kemudian diisi dengan mempraktekkannya. Para pendukung teori „top-down‟
kemudian mengembangkan enam kondisi yang diperlukan untuk
implementasi kebijakan yang efektif (Sabatier dan Mazmanian, 1979),
mengindikasikan bahwa jika kondisi-kondisi ini dicapai, kebijakan seharusnya
diimplementasikan sebagaimana yang dimaksudkan:
1) Tujuan-tujuan yang konsisten secara logis dan jelas
2) Teori kausal yang memadai (yaitu teori yang valid tentang bagaimana
tindakan-tindakan khusus akan menghasilkan keluaran-keluaran yang
diharapkan)
3) Suatu proses implementasi terstruktur untuk meningkatkan kepatuhan
oleh para pelaku (misalnya, insentif dan sanksi yang tepat untuk
mempengarui tingkat bawah dengan cara yang sesuai dengan yang
dipersyaratkan)
4) Pegawai yang mengimplementasikan harus berkomitmen dan terampil
5) Dukungan dari interest groups dan parlemen
6) Tidak ada perubahan kondisi sosio-ekonomi yang merusak dukungan
politik atau teori kausal yang mendasari kebijakan.
b. Pendekatan ‘bottom up”
Pandangan „bottom-up’ terhadap proses implementasi adalah bahwa
para pengimplementasi sering memainkan sebuah fungsi yang penting dalam
implementasi, tidak sekadar sebagai manager kebijakan yang diperintahkan
dari atas, tetapi berpartisipasi aktif dalam suatu proses kompleks yang
memberikan informasi ke tingkat yang lebih tinggi dalam sistem, dan bahwa
kebijakan seharusnya dibuat oleh para pembuat kebijakan dengan
pengetahuan ini. Bahkan dalam sistem yang sangat tersentral, beberapa
kekuasaan biasanya diberikan pada agen-agen dan staf tingkat bawah.
Sebagai hasilnya, para pengimplementasi mungkin mengubah cara suatu
kebijakan diimplementasikan dan bahkan dalam proses, tujuan kebijakan
didefinisi ulang.
Pengetahuan dari perspektif „bottom-up‟ pada implementasi kebijakan
juga telah mengarahkan berbagai studi dalam sistem layanan kesehatan
dengan cara di mana hubungan antara pusat, provinsi dan agen-agen lokal
mempunyai pengaruh atas kebijakan. Kemampuan pusat untuk mengontrol
tingkat yang lebih rendah dari sistem sangat bervariasi dan tergantung pada
faktor-faktor seperti dari manakah biaya-biaya yang ada datang dan siapa
yang mengontrolnya (contohnya, keseimbangan antara sumber-sumber
pembiayaan pusat dan lokal), legislasi (misalnya tingkat otoritas yang
bertanggung jawab untuk tugas-tugas tersebut), aturan operasional dan
kemampuan pemerintah untuk menegakkannya (misalnya, melalui penilaian
performa, audit, insentif dan lain-lain).
Tabel 1. Pendekatan “Top Down” dan “Bottom Up” dalam Impelentasi

Pendekatan “Top Pendekatan “Bottom Up”


Down”

Fokus Awal Keputusan pemerintah Aktor dan jaringan

pusat implementasi lokal

Identifikasi Dari puncak ke bawah Dari dasar ke atas,


Aktor-Aktor dan termasuk pemerintah dan
Utama dimulai dari pemerintah nonpemerintah
Pandangan Proses Proses yang rasional, Proses interaktif
Kebijakan berawal dari identifikasi melibatkan
masalah di tingkat atas pembuat kebijakan dan
hingga implementasi di para
tingkat bawah pengimplementasi dari
berbagai bagian dan
tingkat
pemerintah dan pihak
luar dimana kebijakan
mungkin
berubah selama
implementasi
Kriteria Evaluative Derajat pencapaian Lebih tidak jelas, bida jadi
tujuan – proses kebijakan yang
tujuan formal dari pada mempertimbangkan
pengakuan pengaruh-pengaruh lokal
konsekuensi –
konsekuensi yang tidak
diharapkan

Fokus Keseluruhan Pengakuan atas interaksi


strategis antara berbagai
aktor ganda dalam
jaringan
kebijakan- yang berfokus
pada „agen-agen‟

Cara Pemahaman Implementasi Kebijakan Yang Lain: di luar pendekatan


‘top-down’ dan ‘bottom-up’

a. Principle Agent Theory


Dari perspektif principle-agent, implementasi kebijakan yang kurang
optimal adalah sebuah hasil yang pasti terjadi dari struktur institusi
pemerintah modern di mana para pembuat keputusan („principals’) harus
mendelegasikan tanggung jawab implementasi kebijakan mereka kepada
pegawai mereka (misalnya, pegawai negeri sipil dalam departemen
kesehatan) dan agen-agen lain (misalnya manager, dokter dan perawat
dalam sektor kesehatan atau kontraktor swasta) yang hanya mereka kontrol
secara tidak langsung dan tidak penuh sehingga sulit dimonitor. „Agen-agen‟
ini mempunyai keleluasaan dalam beroperasi atas nama „principals’ politik
dan bahkan mungkin tidak melihat diri mereka sendiri sebagai bagian yang
terlibat dalam pembuatan sebuah realita yang sesuai dengan harapan
„principals’. Contohnya, dokter yang bekerja untuk pemerintah cenderung
melihat diri mereka sendiri sebagai anggota dari profesi medis daripada
sebagai pegawai negeri sipil.

Rentang keleluasaan dan kompleksitas dari hubungan principal-agent


pada gilirannya dipengaruhi oleh:

1) Sifat dari permasalahan kebijakan-menonjolkan sifat-sifat seperti makro


versus sektoral atau mikro (yaitu skala perubahan yang dipersyaratkan
dan ukuran kelompok yang dipengaruhi), sederhana versus kompleks,
masalah yang kurang jelas versus masalah yang jelas, banyak sebab
versus sebab tunggal, sensitivitas politik yang tinggi versus netralitas
politik, memerlukan periode yang pendek atau panjang sebelum
perubahan muncul, murah versus mahal.
2) Konteks atau keadaan di sekitar permasalahan - contohnya, situasi
politik, apakah ekonomi tumbuh atau tidak, ketersediaan sumber daya
dan perubahan teknologi.
3) Organisasi mekanisme yang diperlukan untuk mengimplementasikan
kebijakan - hal ini termasuk sejumlah agen-agen formal dan non formal
yang terlibat dalam membuat perubahan yang dikehendaki dan
keterampilan dan sumber daya yang harus dibawa untuk diemban.
Ke Arah Mana Suatu Sintetis dari Perspektif ‘Top-down’ dan ‘Bottom-
up’?

Linder dan Peters (1989) mengidentifikasi faktor-faktor berikut yang


memainkan peranan penting dalam membentuk pilihan implementasi
kebijakan pemerintah:

a. Ciri-ciri dari instrumen kebijakan. Beberapa instrumen secara instrinsik


lebih sulit secara teknis dan politis untuk digunakan. Instrument-
instrumen ini berubah-ubah sedikitnya dalam empat dimensi: keintensifan
sumber daya; penentuan sasaran; resiko politik; dan tingkat
keterdesakkan. Ripley dan Franklin (1982) menyarankan bahwa
kebijakan-kebijakan distributif (yaitu, pengalokasian dana publik untuk
kelompok-kelompok yang berbeda) memiliki kecenderungan relatif lebih
mudah untuk diimplementasikan; kebijakan dalam pengaturan.
b. Gaya kebijakan dan kultur politik. Di negara yang berbeda dan bidang
kebijakan yang berbeda, para partisipan dan public terbiasa dengan
tingkat kontrol pemerintah dan/ atau provision yang berbeda-beda.
Kebijakankebijakan yang berangkat dari tradisi-tradisi ini akan lebih sulit
diimplementasikan.
c. Kultur organisasi. Pengalaman yang lalu dan cara dalam mengoperas
ikan sesuatu dari organisasi yang mengimplementasikan, berkaitan
dengan poin 2.
d. Konteks permasalahan-pemilihan waktu (misalnya kaitannya dengan
bagaimana pencapaian ekonomi), berbagai macam actor yang terlibat,
kemungkinan reaksi publik dan lain-lain.
e. Preferensi subjektif dari pembuat keputusan administrative berdasarkan
pada latar belakang, afiliasi profesional, pelatihan, gaya kognitif dan lain-
lain.

Faktor-faktor ini menyoroti dua set variabel umum yang mempengaruhi


implementasi kebijakan, yaitu, tingkat kapasitas pemerintah dan dengan
demikian kemampuannya untuk melakukan intervensi, dan kompleksitas dari
bidang kebijakan terkait yang akan dipengaruhi. Usaha-usaha untuk
rekonsiliasi pendekatan „top-down’ dan ‘bottom-up’ telah terfokus pada
saling mempengaruhi antara kedua set variabel. Secara kasar, teori „top-
down’ berfokus pada kapasitas pemerintah, sebaliknya, teori „bottom-up’
berfokus pada kompleksitas sub-system.

Sub-sistem Kebijakan atau Kerangka Kerja Koalisi Advokasi Kerangka


kerja Sabatier adalah pendekatan umum untuk memahami proses kebijakan
karena pendekatan ini menolak ide yang memisahkan „implementasi‟ dari
bagian-bagian yang lain sebagai suatu yang tidak realistis dan salah arah.
Sabatier menyatakan bahwa norma dan kepercayaan yang fundamental
(atau „inti‟) dari sebuah koalisi advokasi relative jarang berubah dan
membahas perubahan-perubahan besar dalam lingkungan eksternal seperti
pergeseran kondisi makro-ekonomi atau pergantian dari rezim politik.
Sebaliknya, perubahan-perubahan kebijakan yang kurang fundamental
namun „normal‟ terjadi sebagai sebuah hasil dari pembelajaran yang
berorientasi kebijakan yang berinteraksi antara koalisi advokasi dalam sub-
sistem kebijakan. Elemen terakhir dalam Model Sabatier adalah untuk
mengidentifikasi keberadaan dari „Broker Kebijakan‟ atau „policy brokers’,
yaitu aktor yang memperhatikan dalam kompromi antara posisi yang
didukung oleh keberagaman koalisi.

Ada sejumlah pendekatan yang berbeda untuk memahami implementasi


yang lebih penting daripada perbedaan antara pendekatan „top-down’ dan
„bottom-up’. Melalui konsep „koalisi advokasi‟, model Sabatier mempunyai
nilai lebih dengan menyoroti kemungkinan bahwa banyaknya konflik yang
penting dalam kebijakan melintasi pemisahan simplistik antara pembuat
kebijakan dan mereka yang secara formal terbebani untuk
mengimplementasikannya. Sebagai sebuah generalisasi yang luas, dalam
berbagai macam sub-sistem kebijakan kesehatan, kebanyakan pemerintah
bersifat ambisius (mereka ingin membuat dampak yang signifikan), tetapi
sub-sistem yang ada bersifat kompleks dan pemerintah mempunyai
kapasitas terbatas dalam mengontrol secara langsung atas banyak aktor
kunci, contohnya, mereka sangat tergantung pada berbagai organisasi
profesi yang sangat berpengaruh. Hal ini menunjukkan bahwa persuasi dan
tawar-menawar akan sering menjadi sebuah bagian penting dalam strategi
implementasi. Untuk mensintesis saran-saran ini, Walt (1998) menyusun
sebuah strategi perencanaan dan pengelolaan plementasi perubahan dalam
sektor kesehatan pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. Strategi Perencanaan dan Pengaturan Implementasi Perubahan

Area atau aspek Implementasi Tipe aksi atau analisis

Analisis makro atas tingkat Analisis kondisi untuk memfasilitasi


kemudahan Implementasi perubahan dan, dimana
perubahan kebijakan kemungkinan, membuat penyesuaian
untuk menyederhanakannya, yaitu,
satu agen, tujuan yang jelas, tujuan
tunggal, ciri-ciri teknis yang
sederhana, perubahan marginal,
durasi yang pendek, manfaat yang
nyata, biaya yang jelas.
Membuat eksplisit nilai yang Mengidentifikasi nilai-nilai yang
mendasari kebijakan mendasari pengambilan keputusan
kebijakan. Jika nilai dari kepentingan-
kepentingan kunci berseberangan
dengan kebijakan, dukungan harus
dimobilisasi dan biaya diminimalka
Analisis stakeholder Meninjau kembali kelompok-kelompok
terkait (dan individu-individu) yang
mungkin atau menolak mendukung
perubahan dalam kebijakan tingkat
nasional dan institusional;
merencanakan bagaimana
memobilisasi dukungan dengan
membuat consensus atau
memobilisasi koalisi pendukung
Analisis kebutuhan dan Mempertimbangkan biaya dan
ketersediaan sumber daya manfaat dana dari luar negeri (jika
keuangan, teknik dan manajerial relevan); menilai perilaku – perilaku
yang cenderung self interest dalam
sistem ini; meninjau kembali insentif
dan sanksi untuk merubah perilaku;
meninjau kembali kebutuhan akan
pelatihan, sistem informasi baru atau
dukungan lainnya untuk perubahan
kebijakan.
Membangun proses implementasi Melibatkan perencana dan manager
yang strategis dalam analisis tentang bagaimana
melaksanakan kebijakan;
mengidentifikasi jaringan pendukung
dari perubahan kebijakan termasuk
„jawara - jawaranya‟; mengelola
ketidakpastian; memperkenalkan
kesadaran publik; mengadakan
mekanisme institusi untuk konsultasi,
monitoring dan „penyampaian‟ dari
kebijakan.

B. MENGANALISIS HEALTH CARE POLICY AND VALUE BASED


COMPETITION
Health care policy and value based competition Sektor kesehatan
merupakan bagian penting perekonomian di berbagai negara. Sejumlah
pendapat menyatakan bahwa sektor kesehatan sama seperti spons – menyerap
banyak sumber daya nasional untuk membiayai banyak tenaga kesehatan.
Pendapat yang lain mengemukakan bahwa sektor kesehatan seperti pembangkit
perekonomian, melalui inovasi dan investasi dibidang technologi biomedis atau
produksi dan penjualan obat-obatan, atau dengan menjamin adanya populasi
yang sehat yang produktif secara ekonomi. Sebagian warga masyarakat
mengunjungi fasilitas kesehatan sebagai pasien atau pelanggan, dengan
memanfaatkan rumah sakit, klinik atau apotik; atau sebagai profesi kesehatan –
perawat, dokter, tenaga pendukung kesehatan, apoteker, atau manajer. Karena
pengambilan keputusan kesehatan berkaitan dengan hal kematian dan
keselamatan, kesehatan diletakkan dalam kedudukan yang lebih istimewa
disbanding dengan masalah sosial yang lainnya.
Kesehatan juga dipengaruhi sejumlah keputusan yang tidak ada
kaitannya dengan layanan kesehatan: kemiskinan mempengaruhi kesehatan
masyarakat, sama halnya dengan polusi, air kotor atau sanitasi yang buruk.
Kebijakan kesehatan memberi arahan dalam pemilihan teknologi kesehatan
yang akan dikembangkan dan digunakan, mengelola dan membiayai layanan
kesehatan, atau jenis obat yang dapat dibeli bebas. Untuk memahami hal
tersebut, perlu mengartikan apa yang dimaksud dengan kebijakan kesehatan.
Apa Kebijakan Kesehatan Itu?
Kebijakan sering diartikan sebagai sejumlah keputusan yang dibuat oleh
mereka yang bertanggung jawab dalam bidang kebijakan tertentu – bidang
kesehatan, lingkungan, pendidikan atau perdagangan. Orang-orang yang
menyusun kebijakan disebut dengan pembuat kebijakan. Kebijakan dapat
disusun di semua tingkatan – pemerintah pusat atau daerah, perusahan
multinasional atau daerah, sekolah atau rumah sakit. Kebijakan disusun disektor
swasta dan pemerintah. Di sektor swasta, konglomerat multi nasional dapat
menyusun kebijakan bagi semua anak perusahaannya diseluruh dunia, tetapi
memberi kesempatan kepada anak perusahaan di daerah untuk memutuskan
kebijakan mereka sendiri dengan sejumlah syarat.
Definisi kebijakan oleh Thomas Dye yang menyatakan bahwa kebijakan
umum adalah apa yang dilaksanakan dan tidak dilaksanakan oleh pemerintah
tampaknya berlawanan dengan asumsi yang lebih formal bahwa segala
kebijakan disusun untuk mencapai suatu maksud atau tujuan tertentu.
Segitiga Kebijakan Kesehatan
Segitiga kebijakan kesehatan merupakan suatu pendekatan yang sudah
sangat disederhanakan untuk suatu tatanan hubungan yang kompleks, dan
segitiga ini menunjukkan kesan bahwa ke-empat faktor dapat dipertimbangkan
secara terpisah. Tidak demikian seharusnya! Pada kenyataannya, para pelaku
dapat dipengaruhi (sebagai seorang individu atau seorang anggota suatu
kelompok atau organisasi) dalam konteks dimana mereka tinggal dan bekerja;
konteks dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti: ketidak-stabilan atau ideologi,
dalam hal sejarah dan budaya; serta proses penyusunan kebijakan – bagaimana
isu dapat menjadi suatu agenda kebijakan, dan bagaimana isu tersebut dapat
berharga – dipengaruhi oleh pelaksana, kedudukan mereka dalam strutur
kekuatan, norma dan harapan mereka sendiri.

konteks

Isi/Content Actor

 Individu
 Grup
 Organiasai
Proses

Gambar 1.1 Segitiga Analisis Kebijakan

Sumber: Walt and Gilson (1994)

Para Pelaku Penyusun Kebijakan Seperti yang pembaca lihat dalam


Gambar 1.1., pelaku berada ditengah kerangka kebijakan kesehatan. Pelaku
dapat digunakan untuk menunjuk individu (seorang negarawan – Nelson
Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, misal), organisasi seperti World bank
atau perusahaan multi-nasional seperti Shell, atau bahkan suatu Negara atau
pemerintahan. Namun, penting untuk dipahami bahwa itu semua adalah
penyederhanaan. Individu tidak dapat dipisahkan dari organisasi dimana mereka
bekerja dan setiap organisasi atau kelompok dibangun dari sejumlah orang yang
berbeda, yang tidak semuanya menyuarakan hal yang sama, yang
masingmasing memiliki norma dan kepercayan yang berbeda. Para pelaku ini
berusaha untuk mempengaruhi proses politik ditingkat lokal, nasional, atau
internasional. Seringkali merekamerupakan bagian jaringan yang sering disebut
sebagai partner, untuk mengkonsultasikan dan memutuskan kebijakan diseluruh
tingkatan ini. Di tingkat lokal, sebagai contoh, pekerja kesehatan masyarakat
dapat bekerja dengan pegawai lingkungan, guru sekolah setempat, dan bahkan
perusahaan setempat. Dalam sisi spektrum yang lain, para pelaku ini dapat pula
dihubungkan dengan pelaku lain antar daerah, sebagai contoh, mereka bisa
menjadi anggota jaringan kerja antar pemerintahan (yakni: pejabat pemerintahan
dalam satu departemen dari pemerintahan suatu negara, mengambil pelajaran
dari pilihanpilihan yang diambil oleh pejabat pemerintahan dari satu negara yang
lain); atau mereka bisa saja menjadi bagian dari komunitas kebijakan – jaringan
professional yang saling bertemu dalam forum ilmiah atau bekerja sama dalam
proyek penelitian.

Untuk memahami seberapa besar pengaruh para pelaku tersebut dalam


proses kebijakan berarti pula memahami konsep kekuasaan, dan bagaimana
kekuasaan tersebut digunakan. Para pelaku mungkin berusaha untuk
mempengaruhi kebijakan, tetapi sampai dimana pengaruh tersebut tergantung
pada bagaimana mereka memandang kekuasaan tersebut. Kekuasaan dapat
dikategorikan berdasarkan kekayaan pribadi, kepribadian, tingkat atau akses
kepada ilmu pengetahuan, atau kewenangan, tetapi hal tersebut sangat
berhubungan dengan organisasi dan struktur (termasuk jaringan kerja) dimana
para pelaku individu ini bekerja dan tinggal.

Faktor Kontekstual yang Mempengaruhi Kebijakan Konteks mengacu ke


faktor sistematis – politk, ekonomi dan social, national dan internasional – yang
mungkin memiliki pengaruh pada kebijakan kesehatan. Banyak cara untuk
mengelompokkan fakto-faktor tersebut, tetapi Leichter (1979) memaparkan cara
yang cukup bermanfaat:

a. Faktor situasional, merupakan kondisi yang tidak permanen atau khusus


yang dapat berdampak pada kebijakan (contoh: perang, kekeringan).
b. Faktor struktural, merupakan bagian dari masyarakat yang relatif tidak
berubah. Faktor ini meliputi sistem politik, mencakup pula keterbukaan sistem
tersebut dan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pembahasan dan keputusan kebijakan; faktor struktural meliputi pula jenis
ekonomi dan dasar untuk tenaga kerja.
c. Faktor budaya, dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan. Dalam
masyarakat dimana hirarki menduduki tempat penting, akan sangat sulit
untuk bertanya atau menantang pejabat tinggi atau pejabat senior.
Kedudukan sebagai minoritas atau perbedaan bahasa dapat menyebabkan
kelompok tertentu memiliki informasi yang tidak memadai tentang hak-hak
mereka, atau menerima layanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan khusus
mereka.
d. Faktor internasional atau exogenous, yang menyebabkan meningkatnya
ketergantungan antar negara dan mempengaruhi kemandirian dan kerjasama
internasional dalam kesehatan

Untuk memahami bagaimana kebijakan kesehatan berubah, atau tidak,


mempunyai arti kemampuan untuk mengkaji kontek dimana kebijakan tersebut
dibuat, dan mencoba menilai sejauh mana jenis-jenis faktor tersebut dapat
mempengaruhi kebijakan yang dihasilkan.

Proses Penyusunan Kebijakan

Proses mengacu kepada cara bagaimana kebijakan dimulai,


dikembangkan atau disusun, dinegosiasi, dikomunikasikan, dilaksanakan dan
dievaluasi. Pendekatan yang paling sering digunakan untuk memahami proses
kebijakan adalah dengan menggunakan apa yang disebut „tahapan heuristiks‟
(Sabatier dan Jenkins-Smith 1993). Yang dimaksud disini adalah membagi
proses kebijakan menjadi serangkaian tahapan sebagai alat teoritis, suatu
model dan tidak selalu menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi didunia nyata.

Menggunakan Segitiga Kebijakan Kesehatan Menggunakan Segitiga


Kebijakan Kesehatan

Pembaca bisa menggunakan segitiga kebijakan kesehatan untuk


mengkaji atau memahami kebijakan tertentu atau pembaca dapat
menerapkannya untuk merencanakan suatu kebijakan khusus. Yang pertama
tadi mengacu kepada pengkajian kebijakan, sedangkan yang kedua mengenai
pengkajian untuk kebijakan. Pengkajian kebijakan pada umumnya bersifat
retrospektif – pengkajian ini melihat kembali penentuan kebijakan (bagaimana
kebijakan dapat dimasukkan kedalam agenda, bagaimana awal dan
perumusannya, apa isi kebijakan tersebut (konten). Pengkajian untuk kebijakan
biasanya bersifat prospektif – pengkajian yang melihat ke depan dan mencoba
untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi jika suatu kebijakan tertentu
dilaksanakan. Pengkajian ini memberikan pemikiran strategis untuk masa
mendatang dan dapat mengarah ke advokasi dan lobi kebijakan.

DAFTAR PUSTAKA

Ayuningtyas, Dumilah. 2014. Buku Kebijakan Kesehatan : Prinsip dan Praktek. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Buse, Kent., Mays, Nicholas. & Walt, Gill. Making Health Policy :Understanding Public
Health. Open University Press

Kent Buse, Nicholas Mays & Gill, Membuat Kebijakan Kesehatan Memahami Kebijakan
Kesehatan, Open University Press :U

Subarsono, AG. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005

Tangkilisan, Hessel Nogi. S. Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Lukman Offset.


2003.

Tangkilisan, Hessel Nogi. S. Kebijakan Publik Yang Membumi. Jakarta: Lukman Offset.
2003.

Anda mungkin juga menyukai