Anda di halaman 1dari 11

Kebijakan Akreditasi Rumah Sakit

Akreditasi rumah sakit adalah pengakuan terhadap rumah sakit yang diberikan oleh lembaga
independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh menteri kesehatan, setelah dinilai bahwa
rumah sakit itu memenuhi standar pelayanan rumah sakit yang berlaku untuk meningkatkan mutu
pelayanan rumah sakit secara berkesinambungan (Permenkes No.12 tahun 2012 tentang Akreditasi
Rumah Sakit).

Rumah sakit wajib melakukan akreditasi dalam upayanya meningkatkan mutu pelayanan secara berkala
setiap 3 (tiga) tahun sekali. Hal ini tercantum dalam undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, pasal 40 ayat 1, menyatakan bahwa, dalam upaya peningkatan mutu pelayanan rumah
sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala menimal 3 (tiga) tahun sekali. Akreditasi wajib bagi semua
rumah sakit baik rumah sakit publik/pemerintah maupun rumah sakit privat/swasta/BUMN.

Data dari KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit) pada tahun 2015 tercatat baru 284 rumah sakit yang
terakreditasi secara nasional dari 2.415 rumah sakit yang terdaftar di Indonesia. Jumlah rumah sakit yang
belum terakreditasi yaitu 2.131 rumah sakit sehingga secara proporsi baru 11,75% rumah sakit yang
terakreditasi di Indonesia. Oleh karena itu, komitmen dari pimpinan dan dukungan dari seluruh SDM
yang ada di rumah sakit juga memiliki peran penting dalam mencapai keberhasilan. Pencapaian target
akreditasi bukan hal yang mudah untuk dilakukan tanpa adanya komitmen dari pemilik rumah sakit
untuk diakreditasi.

Saat ini banyak pimpinan rumah sakit yang menganggap bahwa akreditasi sekedar pencapaian status
kelulusan rumah sakit dan meningkatkan “gengsi” rumah sakit ketika mendapat sertifikat akreditasi
sehingga seringkali mengabaikan proses dalam mencapai kelulusan, yang artinya pemeliharaan budaya
mutu dan keselamatan pasien secara berkelanjutan seringkali terabaikan. Hal tersebut tentunya
merugikan masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan, yang secara umum masih belum
mengetahui makna dari akreditasi rumah sakit.

Sampai saat ini mungkin rumah sakit yang tidak terakreditasi tidaklah menjadi keresahan bagi
masyarakat, hanya ada beberapa yang pernah mempersoalkan, mempertanyakan, dan menggugatnya.
Tentunya masyarakat kita saat ini dalam memilih rumah sakit tidak terlalu mempersoalkan apakah rumah
sakit tersebut telah lulus paripurna atau masih lulus dasar. Hal tersebut terjadi karena edukasi dan
sosialisasi tentang akreditasi rumah sakit kepada masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan belum
banyak dilakukan.
Sekalipun Kementerian Kesehatan melalui lembaga independen KARS mengakui prestasi rumah sakit
dalam bentuk sertifikasi akreditasi mulai tingkat Perdana sampai tingkat Paripurna, hal tersebut belum
seluruhnya menjamin bahwa asesmen terhadap seluruh aspek dan standar dalam rumah sakit digunakan
sebagai acuan bagi masyarakat dalam memilih layanan kesehatan yang diinginkan. Sungguh ironi bahwa
masih ada rumah sakit yang tidak terlalu mempersoalkan budaya peningkatan mutu dan keselamatan
pasien. Hal tersebut karena masyarakat juga cuek dan tak mempersoalkan apakah rumah sakit yang akan
dikunjunginya terakreditasi atau tidak. Padahal, hal tersebut menjadi kewajiban masyarakat sebagai
kontrol terhadap manajemen dan pelayanan rumah sakit.

Kritik terhadap Kebijakan

Kebijakan tentang akreditasi rumah sakit tercantum dalam Permenkes nomor 12 tahun 2012, dalam
peraturan tersebut menyebutkan bahwa akreditasi rumah sakit adalah suatu pengakuan yang diberikan
oleh pemerintah pada manajemen rumah sakit, karena telah memenuhi standar yang ditetapkan.
Adapun tujuan akreditasi rumah sakit adalah meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang
mengutamakan keselamatan pasien. Kebijakan akreditasi rumah sakit tersebut merupakan turunan
Undang-undang nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit.

Diharapkan melalui proses akreditasi rumah sakit dapat (1) Meningkatkan kepercayaan masyarakat
bahwa rumah sakit menitikberatkan, sasarannya pada keselamatan pasien dan mutu pelayanan, (2)
Menyediakan lingkungan kerja yang aman dan efisien sehingga staf merasa puas, (3) Mendengarkan
pasien dan keluarga mereka, menghormati hak-hak mereka, dan melibatkan mereka sebagai mitra dalam
proses pelayanan, (4) Menciptakan budaya mau belajar dari laporan insiden keselamatan pasien, (5).
Membangun kepemimpinan yang mengutamakan kerja sama, kepemimpinan ini menetapkan prioritas
untuk dan demi terciptanya kepemimpinan yang berkelanjutan untuk meraih kualitas dan keselamatan
pasien pada semua tingkatan.

Makna akreditasi rumah sakit lebih sering diartikan sebagai kepentingan rumah sakit itu sendiri,
sementara maknanya bagi masyarakat justru "tenggelam". Hal ini tentunya menjadi sebuah ironi ketika
banyak rumah sakit berlomba-lomba mencapai kelulusan akreditasi dengan mengikuti berbagai
pelatihan, seminar, dan bimbingan teknis terkait, akan tetapi masyarakat sebagai pengguna jasa
pelayanan masih sedikit yang memahami arti dari makna sertifikasi kelulusan akreditasi rumah sakit.
Saat ini masyarakat patut mengetahui pentingnya arti akreditasi bagi mereka.
Memang dalam beberapa kasus, hal ini lebih disebabkan masyarakat juga "tidak mau tahu" dalam
masalah ini. Tapi satu hal yang pasti, aspek publik kelihatannya belum banyak dilibatkan. Mungkin
sebagian besar masyarakat mempunyai pemikiran bahwa tujuan penting dalam menggunakan jasa
pelayanan di rumah sakit adalah dilayani dengan baik, tidak mengecewakan mereka dan keluarga yang
dirawat menjadi sembuh. Tentunya pemahaman masyarakat yang semacam itu tidak sepenuhnya salah.
Karena salah satu tujuan akreditasi adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, dengan
salah satu aspeknya adalah kepuasan konsumen. Namun, bila kita kaji secara mendalam, ternyata
akreditasi mempunyai makna yang lebih luas.

Bagi rumah sakit, program akreditasi adalah instrumen yang valid untuk mengetahui sejauh mana
pelayanan di rumah sakit tersebut memenuhi standar yang berlaku secara nasional. Status terakreditasi
juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat atas layanan di rumah sakit dan sebagai alat
pencegahan terjadinya kasus malpraktik, Karena dalam melaksanakan tugasnya, tenaga di rumah sakit
telah memilki Standar Prosedur Operasional (SPO) yang jelas. Dengan kata lain, akreditasi bagi rumah
sakit adalah bentuk pertanggungjawaban (accountability) dan perlindungan kepada masyarakat sebagai
pengguna jasanya.

Bagi masyarakat, akreditasi dapat bermakna sebagai alat bantu yang shahih dalam menentukan pilihan
tempat pelayanan kesehatan yang baik. Rumah sakit yang telah terakreditasi tentu saja merupakan
pilihan yang tepat dan lebih bijaksana karena rumah sakit tersebut telah memenuhi standar pelayanan
yang berlaku, mulai dari tenaganya, peralatan medis, hingga fasilitas penunjang lainnya. Harapannya
masyarakat lebih merasa "aman" mendapat pelayanan di rumah sakit yang sudah terakreditasi daripada
yang belum terakreditasi.

Melihat kepentingan akreditasi rumah sakit bagi kepentingan publik tersebut, sudah sepantasnya harus
dilakukan dengan konsisten. Sehingga pimpinan rumah sakit sudah sepatutnya melaksanakan
keseluruhan proses akreditasi dengan sungguh-sungguh dengan tujuan untuk meningkatkan mutu dan
keselamatan pengguna jasa pelayanan di rumah sakit. Dengan demikian, tidak lagi kelulusan akreditasi
dianggap sebagai sekedar “sertifikat” semata, akan tetapi sebagai sebuah proses berkelanjutan tanpa
henti dalam meningkatkan tata kelola pelayanan kesehatan yang bermutu bagi masyarakat demi
mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

Rekomendasi

Permenkes nomor 12 tahun 2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit menegaskan bahwa Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib mendukung, memotivasi, mendorong dan memperlancar proses pelaksanaan
akreditasi untuk semua rumah sakit, dan dapat memberikan bantuan pembiayaan kepada rumah sakit
untuk proses akreditasi. Peran pemerintah untuk mengawal pelaksanaan suatu kebijakan sangat
diharapkan namun tetap harus didukung oleh semua pihak yang terkait termasuk pimpinan rumah sakit.
Komitmen dari pimpinan dan dukungan dari seluruh SDM yang ada rumah sakit juga memiliki peran
penting dalam mencapai keberhasilan.

Rumah sakit harus menjadikan akreditasi sebagai acuan utama dalam seluruh pembenahan dan
perbaikan yang dilakukan. Sehingga akreditasi rumah sakit selain sebagai upaya pemenuhan persyaratan
operasional pelayanan menurut undang-undang nomor 44 tahun 2009 juga merupakan sarana
pembenahan dan perbaikan terhadap tata kelola organisasi dan pelayanan yang telah dilakukan selama
ini. Seluruh komponen rumah sakit harus memiliki pemahaman yang sama tentang akreditasi dan
urgensinya sehingga dapat berperan optimal sesuai dengan posisi dan kompetensinya.

Akreditasi rumah sakit versi tahun 2012 memiliki fokus utama pada pasien dengan outcome berupa
pelayanan yang bermutu dan berorientasi pada keselamatan pasien. oleh karena itu output yang harus
direalisasikan oleh institusi rumah sakit adalah terbentuknya sistem manajemen rumah sakit yang sehat
dan sistem pelayanan yang baik. Diharapkan melalui pembenahan dan perbaikan sistem pelayanan
menjadikannya lebih efektif efisien, dengan indeks kepuasan masyarakat yang tinggi. Sehingga dalam
merealisasikan kedua hal tersebut unsur manajemen (struktural) dan pelayanan harus saling mendukung
dan menopang dalam kegiatan pelayanan di organisasi rumah sakit.

Oleh sebab itu, edukasi dan sosialisasi tentang kebijakan akreditasi rumah sakit tidak hanya penting
untuk diketahui dan disosialisasikan kepada institusi rumah sakit sebagai pelaksana, tetapi penting juga
bagi masyarakat umum sebagai penerima dampak dari pelayanan kesehatan untuk mengetahui dan
memahami seluruh hal tentang akreditasi rumah sakit. Sehingga mampu menciptakan mekanisme
kontrol sosial untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan secara berkesinambungan, dan kalimat
“terakreditasi KARS” pada sertifikat akreditasi tidak hanya sekedar menjadi status dan slogan semata.

Dalam menciptakan kontrol sosial yang efektif terhadap pelayanan kesehatan terutama di rumah sakit,
serta mendukung kegiatan akreditasi rumah sakit, maka berikut ini adalah beberapa program yang dapat
dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan dan KARS dalam memberikan pendidikan kepada masyarakat
tentang akreditasi rumah sakit, antara lain :

Melaksanakan sosialisasi tentang akreditasi rumah sakit kepada masyarakat melalui media cetak dan
elektronik, seperti poster, iklan, website, dan sebagainya.
Mengintegrasikan edukasi tentang akreditasi rumah sakit dalam program promosi kesehatan masyarakat
di tingkat dinas kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat pertama, yaitu pusat kesehatan rumah sakit
(Puskesmas), serta fasilitas kesehatan.

Mengintegrasikan edukasi tentang akreditasi rumah sakit dalam program promosi kesehatan rumah
sakit, serta melibatkan masyarakat dalam kegiatan dan proses akreditasi rumah sakit.

Mewajibkan seluruh rumah sakit yang telah lulus akreditasi untuk memasang status akreditasinya secara
jelas pada area depan rumah sakit, sehingga mudah dilihat oleh masyarakat.

Berdasarkan standar akreditasi versi 2007, terdapat tiga tahapan dalam pelaksanaan akreditasi yaitu
akreditasi tingkat dasar, akreditasi tingkat lanjut serta akreditasi tingkat lengkap. Akreditasi tingkat dasar
menilai lima kegiatan pelayanan di rumah sakit, yaitu: Administrasi dan Manajemen, Pelayanan Medis,
Pelayanan Keperawatan, Pelayanan Gawat Darurat dan Rekam Medik. Akreditasi tingkat lanjut menilai 12
kegiatan pelayanan di rumah sakit, yaitu: pelayanan yang diakreditasi tingkat dasar ditambah Farmasi,
Radiologi, Kamar Operasi, Pengendalian Infeksi, Pelayanan Resiko Tinggi, Laboratorium serta
Keselamatan Kerja, Kebakaran dan Kewaspadaan Bencana (K-3). Akreditasi tingkat lengkap menilai 16
kegiatan pelayanan di rumah sakit, yaitu: pelayanan yang diakreditasi tingkat lanjut ditambah Pelayanan
Intensif, Pelayanan Tranfusi Darah, Pelayanan Rehabilitasi Medik dan Pelayanan Gizi. Rumah sakit boleh
memilih akan melaksanakan akreditasi tingkat dasar (5 pelayanan), tingkat lanjut (12 pelayanan) atau
tingkat lengkap (16 pelayanan) tergantung kemampuan, kesiapan dan kebutuhan rumah sakit baik pada
saat penilaian pertama kali atau penilaian ulang setelah terakreditasi. Berdasarkan standar akreditasi
versi 2007 ini, sertifikasi yang diberikan kepada rumah sakit berupa: tidak terakreditasi, akreditasi
bersyarat, akreditasi penuh dan akreditasi istimewa. Tidak terakreditasi artinya hasil penilaian mencapai
65% atau salah satu kegiatan pelayanan hanya mencapai 60%. Akreditasi bersyarat artinya penilaian
mencapai 65% - 75% dan berlaku satu tahun. Akreditasi penuh artinya hasil penilaian mencapai 75% dan
berlaku selama 3 tahun. Akreditasi istimewa diberikan apabila dalam tiga tahun berturut-turut rumah
sakit mencapai nilai terakreditasi penuh dan status ini berlaku selama 5 tahun. Rumah sakit wajib
melaksanakan akreditasi minimal 6 bulan setelah SK perpanjangan izin keluar dan 1 tahun setelah SK izin
operasional.

Tujuan dan Manfaat Akreditasi Rumah Sakit

Tujuan Akreditasi Rumah Sakit

Tujuan akreditasi rumah adalah meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, sehingga sangat dibutuhkan
oleh masyarakat Indonesia yang semakin selektif dan berhak mendapatkan pelayanan yang bermutu.
Dengan demikian mutu pelayanan kesehatan diharapkan dapat mengurangi minat masyarakat untuk
berobat keluar negeri (KARS, 2012).

Menurut Permenkes Nomor 012 Tahun 2012 Pasal 2, akreditasi bertujuan untuk :
Meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit;

Meningkatkan keselamatan pasien rumah sakit;

Meningkatkan perlindungan bagi pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit dan rumah sakit
sebagai institusi;

Mendukung program pemerintah di bidang kesehatan.

Manfaat Akreditasi Rumah Sakit

Menurut Kementerian Kesehatan RI, manfaat akreditasi rumah sakit adalah sebagai berikut :

Bagi pasien dan masyarakat, antara lain : pasien dan masyarakat memperoleh pelayanan sesuai dengan
standar yang terukur.

Bagi petugas kesehatan di rumah sakit, antara lain : menimbulkan rasa aman dalam melaksanakan
tugasnya oleh karena rumah sakit memiliki sarana, prasarana dan peralatan yang telah memenuhi
standar.

Bagi rumah sakit, antara lain : sebagai alat ukur untuk negosiasi dengan pihak ketiga misalnya asuransi,
perusahaan dan lain-lain.

Bagi pemilik rumah sakit, antara lain : sebagai alat mengukur kinerja pengelola rumah sakit.

Bagi perusahaan asuransi, antara lain : acuan untuk memilih dan mengadakan kontrak dengan rumah
sakit.

Pelaksanaan Survei Akreditasi

Pelaksanaan survei akreditasi rumah sakit dijelaskan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) dalam
buku Pedoman Tata Laksana Survei Akreditasi Rumah Sakit Edisi II Tahun 2013.

Tujuan survei akreditasi ialah untuk menilai seberapa jauh rumah sakit mematuhi standar yang
ditetapkan. Rumah sakit yang menjalani survei akreditasi untuk pertama kali diharuskan memiliki catatan
balik ke belakang 4 (empat) bulan bukti sudah mematuhi standar. Rumah sakit yang menjalani survei
ulang diharuskan dapat menunjukan catatan balik ke belakang selama 12 (dua belas) bulan.
Pelaksanaan survei menggunakan metode telusur untuk mengikuti contoh dari pengalaman pasien
memperoleh pelayanan di rumah sakit dan melakukan evaluasi komponen dan sistem pelayanan.

Karakteristik penting proses survei adalah edukasi setempat oleh surveior. Pelaksanaan survei memuat
langkah-langkah yaitu sebagai berikut :

Pembukaan pertemuan.

Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien dan MDGs.

Perencanaan survei.

Telaah dokumen.

Verifikasi dan masukan.

Telaah rekam medis pasien secara tertutup (pasien sudah pulang).

Kunjungan ke area pelayanan pasien yang di pandu oleh kegiatan telusur.

Kegiatan survei yang terarah (terfokus/diluar rencana; karena ada temuan).

Telaah dari lingkungan, bangunan, sarana dan prasarana.

Wawancara dengan pimpinan (beberapa jenjang).

Persiapan surveior membuat laporan.

Pertemuan penutup survei dengan pimpinan (exit conference).

Penilaian Standar Pelayanan

Standar akreditasi rumah sakit edisi 1 tahun 2012 mengelompokkan standar ke dalam 4 (empat)
kelompok yang dinilai yaitu sebagai berikut:

Kelompok Standar Berfokus Pada Pasien, yaitu :

BAB 1 : Akses ke Pelayanan dan Kontinuitas pelayanan (APK).

BAB 2 : Hak Pasien dan Keluarga (HPK).

BAB 3 : Asesmen Pasien (AP).

BAB 4 : Pelayanan Pasien (PP).


BAB 5 : Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB).

BAB 6 : Manajemen dan Penggunaan Obat (MPO).

BAB 7 : Pendidikan Pasien dan Keluarga (PPK).

Kelompok Standar Manajemen Rumah Sakit, yaitu :

BAB 1 : Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP).

BAB 2 : Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).

BAB 3 : Tata kelola, Kepemimpinan dan Pengarahan (TKP).

BAB 4 : Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK).

BAB 5 : Kualifikasi dan Pendidikan Staf (KPS).

BAB 6 : Manajemen Komunikasi dan Informasi (MKI).

Sasaran Keselamatan Pasien, yaitu :

Sasaran I : Ketepatan Identifikasi Pasien.

Sasaran II : Peningkatan Komunikasi yang Efektif.

Sasaran III : Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu

Diwaspadai.

Sasaran IV : Kepastian Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, Tepat

Pasien Operasi.

Sasaran V : Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan

Kesehatan.

Sasaran VI : Pengurangan Risiko Pasien Jatuh.

Sasaran Program MDGs, yaitu :

Sasaran I : Penurunan Angka Kematian Bayi dan Peningkatan


Kesehatan Ibu.

Sasaran II : Penurunan Angka Kematian HIV/AIDS.

Sasaran III : Penurunan Angka Kesakitan TB.

Kriteria Kelulusan Akreditasi

Kriteria kelulusan akreditasi rumah sakit menurut KARS (2013:22) adalah sebagai berikut :

Kriteria Lulus

Kelulusan dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu :

Akreditasi Tingkat Dasar

Rumah sakit mendapat sertifikat akreditasi tingkat dasar bila hanya 4 (empat) bab yang mempunyai nilai
diatas 80% dan 11 (sebelas) bab lainnya minimal nilainya diatas 20 %.

Akreditasi Tingkat Madya

Rumah sakit mendapat sertifikat tingkat madya bila 8 (delapan) bab mendapat nilai 80% dan nilai 7
(tujuh) bab lainnya minimal diatas 20 %.

Akreditasi Tingkat Utama

Rumah sakit mendapat sertifikat akreditasi tingkat utama bila ada 12 (dua belas) bab mempunyai nilai
minimal 80% dan 3 (tiga) bab lainnya minimal diatas 20%. Bila nilai bab yang lainnya diatas 60% maka
rumah sakit dapat mengajukan Re-survei (Remedial).

Akreditasi Tingkat Paripurna

Kriteria Re-survei (remedial)

Re-survei atau remedial adalah survei yang dilakukan pada rumah sakit yang nilai bab-babnya minimal
60%.
Kriteria Tidak Lulus

Bab 4 dasar dibawah 80%.

Dan atau ada bab 11 lain dibawah 20%.

Rumah sakit dapat mengajukan akreditasi secepat-cepatnya 1 tahun, selambat-lambatnya 3 tahun.

Rumah sakit TIDAK diberi kesempatan remedial.

Ketentuan Penilaian Akreditasi Rumah Sakit

Ketentuan penilaian akreditasi rumah sakit menurut KARS (2013:14) adalah sebagai berikut :

Penilaian akreditasi rumah sakit dilakukan melalui evaluasi penerapan Standar Akreditasi Rumah Sakit
KARS yang terdiri dari 4 kelompok standar yang telah dijelaskan.

Penilaian suatu bab ditentukan oleh penilaian pencapaian (semua) standar pada bab tersebut, dan
menghasilkan nilai persentase bagi standar tersebut.

Penilaian suatu standar dilaksanakan melalui penilaian terpenuhinya Elemen Penilaian (EP),
menghasilkan nilai persentase bagi standar tersebut.

Penilaian suatu EP dinyatakan sebagai :

Tercapai Penuh (TP) diberikan skor 10.

Tercapai Sebagian (TS) diberikan skor 5.

Tidak Tercapai (TT) diberikan skor 0.

Tidak Dapat Diterapkan (TDD) tidak masuk dalam proses penilaian dan perhitungan.

Penentuan skor 10 (Sepuluh)

Temuan tunggal negatif tidak menghalangi nilai “tercapai penuh” dari minimal 5 telusur
pasien/pimpinan/staf.

Nilai 80%-100% dari temuan atau yang dicatat dalam wawancara, observasi, dan dokumen (misalnya, 8
dari 10) dipenuhi.
Data mundur “tercapai penuh” adalah sebagai berikut :

Untuk survei awal : selama 4 bulan ke belakang.

Survei lanjutan : selama 12 bulan ke belakang.

Penentuan skor 5 (Lima)

Jika 20% sampai 79% (misalnya, 2 sampai 7 dari 10) dari temuan atau yang dicatat dalam wawancara,
observasi dan dokumen.

Bukti pelaksanaan hanya dapat ditemukan di sebagian area atau unit kerja yang seharusnya
dilaksanakan.

Regulasi tidak dilaksanakan secara penuh/lengkap.

Kebijakan/proses sudah ditetapkan dan dilaksanakan tetapi tidak dapat dipertahankan.

Data mundur sebagai berikut :

Untuk survei awal : 1 sampai 3 bulan mundur..

Untuk survei lanjutan : 5 sampai 11 bulan mundur.

Penentuan skor 0 (Nol)

Jika < 19% dari temuan atau yang dicatat dalam wawancara, observasi dan dokumen.

Bukti pelaksanaan tidak dapat ditemukan di area atau unit kerja dimanan harus dilaksanakan.

Regulasi tidak dilaksanakan.

Kebijakan/prosedur tidak dilaksanakan.

Data mundur sebagai berikut :

Untuk survei awal : kurang 1 bulan mundur

Untuk survei lanjutan : kurang 5 sampai 11 bulan mundur.

Penentuan Tidak Dapat Diterapkan (TDD)

Jika persyaratan dari EP tidak dapat diterapkan berdasar atas organisasi rumah sakit, pelayanan,
populasi, pasien dan sebagainya, contohnya organisasi rumah sakit tidak melakukan riset.

Anda mungkin juga menyukai